Pesan Rahbar

Home » » Serat Wedhatama, Puncak Estetika Sastra Jawa Bernuansa Islami

Serat Wedhatama, Puncak Estetika Sastra Jawa Bernuansa Islami

Written By Unknown on Friday, 3 February 2017 | 19:35:00


Serat Wedhatama (serat tentang ajaran utama) merupakan salah satu dari karya sastra Jawa terkait ajaran moralistik-didaktis bernuansa Islami.

Serat ini ditulis oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Sri Mangkunegoro IV, Raja keraton Mangkunegaran Solo, yang lantaran olah laku spiritualnya dikenal mumpuni, konon wafat dalam keadaan mencapai maqam kesempurnaan hidup sehingga jasadnya pun sirna tak berbekas.

Serat ini, yang oleh sebagian sejarawan dinyatakan tidak ditulis oleh satu orang, juga dianggap sebagai salah satu puncak estetika sastra Jawa abad ke 19 dengan karakter mistik yang sangat kuat. Terdiri dari 100 bait Tembang Macapat, dibagi dalam lima tembang sebagai berikut:
1. Pangkur (14 bait, 1 – 14)
2. Sinom (18 bait, 15 -32)
3. Pucung (15 bait, 33 – 47)
4. Gambuh (35 bait, 48-82)
5. Kinanthi (18 bait, 83-100)

Isi Serat Wédhatama merupakan falsafah kehidupan, seperti soal tenggang rasa, tepa selira, bagaimana hidup sebagai manusia yang sempurna, menjalankan ajaran agama dengan bijak, juga tentang bagaimana menjadi manusia yang memiliki watak ksatria.


TEMBANG PANGKUR

(Sembah Raga/Syariat)

1.

Mingkar mingkuring angkara,
Akarana karanan mardi siwi,
Sinawung resmining kidung,
Sinuba sinukarta,
Mrih kretarta pakartining ngelmu luhung
Kang tumrap neng tanah Jawa,
Agama ageming aji.

Menahan diri dari nafsu angkara,
karena berkenan mendidik putra
disertai indahnya tembang,
dihias penuh variasi,
agar menjiwai tujuan ilmu luhur,
yang berlaku di tanah Jawa (nusantara)
agama sebagai landasan perbuatan.

2.

Jinejer neng Wedhatama
Mrih tan kemba kembenganing pambudi
Mangka nadyan tuwa pikun
Yen tan mikani rasa,
yekti sepi asepa lir sepah, samun,
Samangsane pasamuan
Gonyak ganyuk nglilingsemi.

Disajikan dalam serat Wedhatama,
agar tidak miskin pengetahuan
walaupun tua pikun
jika tidak memahami rasa (sirullah)
niscaya sepi tanpa guna
bagai ampas, percuma,
pada tiap pertemuan
sering bertindak ceroboh, memalukan.

3.

Nggugu karsaning priyangga,
Nora nganggo peparah lamun angling,
Lumuh ing ngaran balilu,
Uger guru aleman,
Nanging janma ingkang wus waspadeng semu
Sinamun ing samudana,
Sesadon ingadu manis.

Mengikuti kemauan sendiri,
Bila berkata tanpa pertimbangan (asal bunyi),
Tak mau dianggap bodoh,
senang mendapat pujian
namun bagi yang sudah cermat akan ilmu
justru selalu merendah diri,
selalu berprasangka baik.

4.

Si Pengung nora nglegawa,
Sangsayarda deniro cacariwis,
Ngandhar-andhar angendhukur,
Kandhane nora kaprah,
saya elok alangka longkanganipun,
Si wasis waskitha ngalah,
Ngalingi marang si pingging.

Si Dungu tidak menyadari,
bualannya semakin menjadi-jadi,
mengelantur bicara yang tidak-tidak,
Bicaranya tidak masuk akal,
makin aneh tak ada jedanya.
Lain halnya Si Pandai cermat dan mengalah,
Menutupi aib si bodoh.

5.

Mangkono ngelmu kang nyata,
Sanyatane mung weh reseping ati,
Bungah ingaran cubluk,
Sukeng tyas yen denina,
Nora kaya si punggung anggung gumrunggung
Ugungan sadina dina
Aja mangkono wong urip.

Demikianlah ilmu yang nyata,
sesungguhnya memberikan ketenteraman hati,
Gembira dibilang bodoh,
Tetap gembira jika dihina
Tidak seperti si dungu yang selalu sombong,
Ingin dipuji setiap hari.
Janganlah begitu caranya orang hidup.

6.

Urip sepisan rusak,
Nora mulur nalare ting saluwir,
Kadya guwa kang sirung,
Sinerang ing maruta,
Gumarenggeng anggereng
Anggung gumrunggung,
Pindha padhane si mudha,
Prandene paksa kumaki.

Hidup sekali saja berantakan,
Tidak berkembang nalarnya tercabik-cabik.
Umpama goa gelap menyeramkan,
Dihembus angin,
Suaranya gemuruh menggeram,
berdengung
Seperti halnya watak anak muda
Sudah begitu masih berlagak congkak.

7.

Kikisane mung sapala,
Palayune ngendelken yayah wibi,
Bangkit tur bangsaning luhur,
Lha iya ingkang rama,
Balik sira sarawungan bae durung
Mring atining tata krama,
Nggon-anggon agama suci.

Tujuan hidupnya hanya sederhana,
Maunya mengandalkan orang tuanya,
Yang terpandang serta bangsawan
Itu kan ayahmu!
Sedangkan kamu dikenal saja belum,
akan hakikat tata krama
ajaran agama yang suci.

8.

Socaning jiwangganira,
Jer katara lamun pocapan pasthi,
Lumuh asor kudu unggul,
Semengah sesongaran,
Yen mangkono keno ingaran katungkul,
Karem ing reh kaprawiran,
Nora enak iku kaki.

Cerminan dari dalam jiwa raga mu,
Nampak jelas jika bertutur kata halus,
Sifat tidak mau kalah, ingin menang sendiri
Sombong besar mulut
Bila demikian itu, disebut orang yang terlena
Puas diri berlagak tinggi
Tidak baik itu, Nak!

9.

Kekerane ngelmu karang,
Kekarangan saking bangsaning gaib,
Iku boreh paminipun,
Tan rumasuk ing jasad,
Amung aneng sajabaning daging kulup,
Yen kapengok pancabaya,
Ubayane mbalenjani.

Yang dibidik ilmu sihir
Rekayasa dari hal-hal gaib
Itu ibarat bedak.
Tidak meresap ke dalam jasad,
Hanya ada di luar daging
Bila terbentur marabahaya,
bisanya cuma menghindari.

10.

Marma ing sabisa-bisa,
Bebasane muriha tyas basuki,
Puruita-a kang patut,
Lan traping angganira,
Ana uga angger-ugering kaprabun,
Abon-aboning panembah,
Kang kambah ing siyang ratri.

Karena itu berusahalah sebisa mungkin,
upayakan berhati baik
Bergurulah secara baik
Yang sesuai dengan dirimu
Ada juga peraturan dan pedoman bernegara,
Menjadi syarat bagi yang berbakti,
yang berlaku siang malam.

11.

Iku kaki takok-eno,
marang para sarjana kang martapi
Mring tapaking tepa tulus,
Kawawa nahen hawa,
Wruhanira mungguh sanyataning ngelmu
Tan mesthi neng janma wredha
Tuwin mudha sudra kaki.

Hal itu tanyakan, Nak.
Kepada para sarjana yang menimba ilmu
Kepada jejaknya para suri teladan yang benar,
dapat menahan hawa nafsu
Pengetahuanmu adalah sejatinya ilmu,
Tidak mesti dikuasai orang tua,
Bisa juga bagi yang muda atau miskin, Nak!

12.

Sapantuk wahyuning Gusti Allah,
Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit,
Bangkit mikat reh mangukut,
Kukutaning jiwangga,
Yen mengkono kena sinebut wong sepuh,
Lire sepuh sepi hawa,
Awas roroning atunggil.

Siapapun yang menerima wahyu Tuhan,
Dengan cemerlang mencerna ilmu tinggi,
Mampu menguasai ilmu kasampurnan,
Kesempurnaan jiwa raga,
Bila demikian pantas disebut “orang tua”.
Arti “orang tua” adalah tidak dikuasai hawa nafsu
Paham akan dwi tunggal (menyatunya sukma dengan Tuhan).

13.

Tan samar pamoring sukma,
Sinuksmaya winahya ing ngasepi,
Sinimpen telenging kalbu,
Pambukaning warana,
Tarlen saking liyep layaping aluyup,
Pindha pesating sumpena,
Sumusuping rasa jati.

Tidaklah samar menyatunya sukma,
Meresap terpatri dalam semadi,
Diendapkan dalam lubuk hati
menjadi pembuka tirai,
Tidak lain berawal dari keadaan antara sadar dan tiada
Seperti terlepasnya mimpi
Merasuknya rasa yang sejati.

14.

Sejatine kang mangkana,
Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi,
Bali alaming ngasuwung,
Tan karem karameyan,
Ingkang sipat wisesa winisesa wus,
Mulih mula mulanira,
Mulane wong anom sami.

Sebenarnya yang demikian itu
sudah mendapat anugerah Tuhan,
Kembali ke “alam kosong”,
tidak mengumbar nafsu duniawi,
yang bersifat kuasa menguasai.
Kembali ke asal mula.
Oleh karena itu, wahai anak muda sekalian…

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: