Pesan Rahbar

Home » » Menguak Misteri Kematian Syekh Siti Jenar. Ternyata Syekh Siti Jenar Tidak Dieksekusi Wali Songo!

Menguak Misteri Kematian Syekh Siti Jenar. Ternyata Syekh Siti Jenar Tidak Dieksekusi Wali Songo!

Written By Unknown on Friday 24 March 2017 | 21:06:00


Beragamnya versi yang menjelaskan tentang asal-usul dan sosok Syekh Siti Jenar telah menarik minat banyak kalangan sejarahwan Muslim di negeri kita untuk menyelidikinya lebih jauh. Maka demikian pula halnya tentang misteri kematian tokoh Wali yang satu ini, yang konon selain alim dan dikenal weruh sak durunge winarah(tahu sebelum terjadi; memiliki kemampuan melihat sesuatu yang belum terjadi, memandang masa depan dengan jelas, terarah, terukur, dan terencana), adalah sosok yang sekaligus juga diakui sakti mandraguna pada masanya. Namun hingga kini tetap saja tersisa banyak pertanyaan terkait kematiannya. Benarkah dia telah dieksekusi mati oleh para Wali? Jika benar, siapa sebenarnya sosok Wali yang telah membunuhnya? Jika salah, siapa pembunuh Syekh Siti Jenar yang sesungguhnya, dan di manakah jasadnya dikebumikan?

Buku Ternyata Syekh Siti Jenar Tidak Dieksekusi Wali Songo

Tak dapat disangkal bahwa dalam berbagai literatur yang membahas seputar kematian Syekh Siti Jenar, secara umum kesamaan yang diperlihatkan hanya sebatas yang berkaitan dengan masanya saja. Yaitu keterangan yang menyebutkan bahwa sang Syekh wafat pada masa kerajaan Islam Demak di bawah pemerintahan Raden Fatah, atau sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI. Itu pun masih mengecualikan sebagian kisah versi Cirebon, yang menyebutkan bahwa wafatnya Syekh Siti Jenar justru terjadi pada masa Sultan Trenggono.

Sementara terkait proses kematiannya, berbagai sumber yang ada memberikan penjelasan yang berbeda-beda. Tak heran bila sampai saat ini, terdapat beberapa asumsi tentang misteri kematian Syekh Siti Jenar tersebut.

Versi Pertama, mengacu pada “Serat Syeikh Siti Jenar” Ki Sosrowidjojo, disebutkan bahwa Syekh Siti Jenar mangkat akibat dihukum mati oleh Sultan Demak, Raden Fatah atas persetujuan Dewan Wali Songo yang dipimpin oleh Sunan Bonang. Bertindak sebagai algojo atau pelaksana hukuman pancung itu adalah Sunan Kalijaga. Eksekusi berlangsung di alun-alun kesultanan Demak.

Menurut versi Kedua, sebagaimana tercantum dalam Wawacan Sunan Gunung Jati Pupuh ke-39 terbitan Emon Suryaatmana dan T.D Sudjana (alih bahasa pada tahun 1994), Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Gunung Jati. Pelaksana hukuman atau algojonya tak lain adalah Sunan Gunung Jati sendiri, dengan tempat eksekusi di Masjid Ciptarasa Cirebon. Mayat Syekh Siti Jenar dimandikan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Giri, kemudian dimakamkan di Graksan, yang kemudian disebut sebagai Pasarean Kemlaten.

Merujuk pada versi Pertama, Sudirman Tebba (2000: 41), menyebutkan secara lebih detail prosesi eksekusi Syekh Siti Jenar saat dipenggal lehernya oleh Sunan Kalijaga. Pada awalnya mengucur darah berwarna merah, kemudian berubah menjadi putih.

Saat itulah Syekh Siti Jenar berkata: “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya”. Kemudian tubuh Syekh Siti Jenar naik ke surga seiring dengan kata-kata: ”Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan selain dari Allah Yang Mahakuasa, dia akan kecewa, karena dia tidak akan memperoleh apa yang dia inginkan”.

Untuk kisah yang terdapat dalam versi pertama dan kedua masih memiliki kelanjutan yang hampir sama.

Sebagaimana dikemukakan dalam Suluk Syekh Siti Jenar, disebutkan bahwa setelah Syekh Siti Jenar meninggal di Krendhawasa tahun Nirjamna Catur Tunggal (1480 M. Tahun yang tentu saja masih terlalu dini untuk kematian Syekh Siti Jenar), jenazahnya dibawa ke Masjid Demak. Karena saat itu magrib tiba, maka pemakaman dilakukan esok paginya agar bisa disaksikan oleh raja. Para ulama sepakat untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar sambil melafalkan puji-pujian kepada Tuhan. Ketika waktu shalat tiba, para santri berdatangan ke masjid. Pada saat itu tiba-tiba tercium bau yang sangat harum, seperti bau bunga Kasturi. Selesai shalat para santri diperintahkan untuk meninggalkan masjid. Tinggal para ulama saja yang tetap berada di dalamnya untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar.

Bau harum terus menyengat, oleh karena itu Syekh Malaya mengajak ulama lainnya untuk membuka peti jenazah Syekh Siti Jenar. Tatkala peti itu terbuka, jenazah Syekh Siti Jenar memancarkan cahaya yang sangat indah, lalu muncul warna pelangi memenuhi ruangan masjid. Sedangkan dari bawah peti memancarkan sinar yang amat terang, bagaikan siang hari.

Dengan gugup, para ulama mendudukkan jenazah itu, lalu bersembah sujud sambil menciumi tubuh tanpa nyawa itu bergantian hingga ujung jari. Saat jenazah kembali dimasukkan ke dalam peti, Syekh Malaya terlihat tidak berkenan atas tindakan rekan-rekannya itu.

Sedangkan dalam Suluk Syekh Siti Jenar dan Suluk Walisanga dikisahkan bahwa para ulama telah berbuat curang. Jenazah Syekh Siti Jenar diganti dengan bangkai anjing kudisan. Jenazah itu pun mereka makamkan di tempat yang dirahasiakan. Peti jenazah diisi dengan bangkai anjing kudisan. Bangkai itu dipertontonkan keesokan harinya kepada masyarakat untuk mengisyaratkan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar adalah sesat.

Digantinya jenazah Syekh Siti Jenar dengan bangkai anjing ini ternyata diketahui oleh salah seorang muridnya yang bernama Ki Luntang. Dia datang ke Demak untuk menuntut balas. Maka terjadilah perdebatan sengit antara Ki Luntang dengan para Wali yang berakhir dengan kematiannya. Sebelum mati, Ki Luntang menyindir kelicikan para Wali dengan mengatakan (Sofwan, 2000: 221):

“…luh ta payo totonen derengsun manthuk, yen wus mulih salinen, bangke sakarepmu dadi. Khadal, kodok, rase, luwak, kucing kuwuk kang gampang lehmu sandi, upaya sadhela entuk, wangsul sinantun gajah, sun pastheake sira nora bisa luruh reh tanah Jawa tan ana…”

…nah silahkan lihat diriku yang hendak menjemput kematian. Jika nanti aku telah mati, kau boleh mengganti jasadku sekehendakmu; (dengan) kadal, kodok, rase, luwak atau kucing tua yang mudah kau peroleh. Tapi, jika hendak mengganti dengan gajah, kau pasti tidak akan bisa karena di tanah Jawa tidak ada…”

Seperti halnya sang guru, Ki Luntang pun mati atas kehendaknya sendiri, berkonsentrasi untuk menutup jalan hidup menuju pintu kematian.

Versi Ketiga, seperti disebutkan (Hasyim, 1987: 47), bahwa Syekh Siti Jenar meninggal karena dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Giri, dan algojo pelaksana hukuman mati tersebut adalah Sunan Gunung Jati. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa vonis yang diberikan Sunan Giri atas usulan Sunan Kalijaga.

Dikisahkan juga bahwa Syekh Siti Jenar mempunyai sebuah pesantren yang banyak muridnya. Namun sayang, ajaran-ajarannya dipandang sesat dan keluar dari ajaran Islam. Ia mengajarkan tentang keselarasan antara Tuhan, manusia dan alam (Hariwijaya, 2006: 41-42).

Hubungan manusia dengan Tuhannya diungkapkan dengan “Manunggaling kawula-gusti” dan “Curiga Manjing Warangka”. Hubungan manusia dengan alam diungkapkan dengan “Mengasah Mingising Budi, Memasuh Malaning Bumi”, dan “Hamemayu Hayuning Bawana”, yang bermuara pada pembentukan “Jalma Sulaksana”, “Al-insan Al-kamil”, “Sarira Bathara”, “Manusia Paripurna”, “Adi Manusia” yang imbang lahir-batin, jiwa-raga, intelektual-spiritual, dan kepala-dadanya.

Konsep manunggaling kawula gusti oleh Syekh Siti Jenar disebut dengan “uninong aning unong”, saat sepi senyap, hening, dan kosong. Sesungguhnya Zat Tuhan dan zat manusia adalah satu, manusia ada dalam Tuhan dan Tuhan ada dalam manusia.

Sunan Giri sebagai ketua persidangan, setelah mendengar penjelasan dari berbagai pihak dan bermusyawarah dengan para Wali, memutuskan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat. Ajarannya bisa merusak moral masyarakat yang baru saja mengenal Islam. Karenanya Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati.

Meski demikian, Syekh Siti Jenar masih diberi kesempatan selama setahun untuk memperbaiki kesalahannya sekaligus menanti berdirinya Negara Demak secara formal, karena yang berhak menentukan hukuman adalah pihak negara (Widji saksono, 1995: 61). Kalau sampai waktu yang ditentukan ia tidak mengubah pendiriannya, maka hukuman tersebut akan dilaksanakan.

Sejak saat itu, pesantren Syekh Siti Jenar ditutup dan murid-muridnya pun bubar, menyembunyikan diri dan sebagian masih mengajarkan ajaran WahdatulWujud meskipun secara sembunyi-sembunyi. Setelah satu tahun berlalu, Syekh Siti Jenar ternyata tidak mengubah pendiriannya. Maka dengan terpaksa Sunan Gunung Jati melaksanakan eksekusi yang telah disepakati dulu. Jenazah Syekh Siti Jenar pun dimakamkan di lingkungan keraton agar orang-orang tidak memujinya.

Versi Keempat, sebagaimana yang dikisahkan dalam Babad Demak, menyebut Syekh Siti Jenar wafat karena vonis hukuman mati yang dijatuhkan Sunan Giri sendiri. Menurut babad ini, Syekh Siti Jenar meninggal bukan karena kemauannya sendiri, atau dengan kesaktiannya dia dapat menemui ajalnya, melainkan karena dibunuh oleh Sunan Giri. Keris ditusukkan hingga tembus ke punggung dan mengucurkan darah berwarna kuning. Setelah mengetahui bahwa suaminya dibunuh, istri Syekh Siti Jenar menuntut bela kematian itu kepada Sunan Giri. Sunan Giri menghiburnya dengan mengatakan bahwa bukan dia yang membunuh Syekh Siti Jenar tetapi suaminya itu mati atas kemauannya sendiri. Diberitahukan juga bahwa Syekh Siti Jenar kini berada di dalam surga. Sunan Giri meminta dia melihat ke atas dan di sana dia melihat suaminya berada di surga dikelilingi bidadari yang agung, duduk di singgasana yang berkilauan (Sofwan, 2000: 218).

Kematian Syekh Siti Jenar dalam versi ini juga dikemukakan dalam Babad Tanah Jawa yang disadur oleh S. Santoso, dengan versi sedikit berbeda. Dalam babad ini disebutkan bahwa Syekh Siti Jenar terbang ke surga, tetapi badannya kembali ke masjid. Para ulama takjub karena dia dapat terbang ke surga, namun kemudian marah karena badannya kembali ke masjid. Melihat hal yang demikian, Sunan Giri kemudian mengatakan bahwa tubuhnya harus ditikam dengan sebuah pedang, kemudian dibakar. Syekh Maulana kemudian mengambil pedang dan menikamkannya ke tubuh Syekh Siti Jenar, tetapi tidak mempan. Syekh Maulana bertambah marah dan menuduh Syekh Siti Jenar berbohong atas pernyataannya yang menegaskan bahwa dia rela mati.

Syekh Siti Jenar menerima banyak tikaman dari Syekh Maulana, tetapi dia terus berdiri. Syekh Maulana kian gusar dan berkata, “Itu luka orang jahat, terluka tapi tidak berdarah”. Dari luka-luka Syekh Siti Jenar itu seketika keluar darah berwarna merah. Syekh Maulana berkata lagi, ”Itu luka orang biasa, bukan kawula gusti, karena darah yang keluar berwarna merah”. Dari merah yang mengucur itu seketika berubah berwarna putih. Syekh Maulana berkata lagi. “Ini seperti kematian pohon kayu, keluar getah dari lukanya. Kalau ‘insan kamil’ betul tentu dapat masuk surga dengan badan jasmaninya, berarti kawula gusti tidak terpisah”. Dalam sekejap mata, tubuh Syekh Siti Jenar pun hilang dan darahnya sirna.

Syekh Maulana kemudian membuat muslihat dengan membunuh seekor anjing, membungkusnya dengan kain putih dan mengumumkan kepada masyarakat bahwa mayat Syekh Siti Jenar telah berubah menjadi seekor anjing disebabkan ajarannya yang bertentangan dengan syariat. Anjing itulah yang kemudian dibakar.

Beberapa waktu setelah peristiwa itu, para ulama didatangi oleh seorang penggembala kambing yang mengaku sebagai murid Syekh Siti Jenar. Dia berkata, ”Saya dengar para Wali telah membunuh guru saya, Syekh Siti Jenar. Kalau memang demikian, lebih baik saya juga Tuan-tuan bunuh. Sebab saya ini juga Allah, Allah yang menggembalakan kambing”. Mendengar penuturannya itu kemudian Syekh Maulana membunuhnya dengan pedang yang sama dengan yang digunakan untuk membunuh Syekh Siti Jenar. Seketika tubuh mayat penggembala kambing itu pun lenyap. (Tebba, 2003: 43).

Versi Kelima, seperti tercatat dalam Serat Negara Kertabumi yang disunting oleh Rahman Selendraningrat, disebutkan bahwa vonis hukuman mati terhadap Syekh Siti Jenar dijatuhkan oleh Sunan Gunung Jati, sedangkan yang menjalankan eksekusi atau algojonya adalah Sunan Kudus. Kisah eksekusi terhadap Syekh Siti Jenar yang terdapat dalam versi ini berbeda dari yang lain, karena ditengarai telah bercampur aduk dengan kisah eksekusi Ki Ageng Pengging yang dilakukan oleh Sunan Kudus.

Kisah kematian Syekh Siti Jenar dalam sastra “Kacirebonan” ini diawali dengan memperlihatkan posisi para pengikut Syekh Siti Jenar di Cirebon sebagai kelompok oposisi atas kekuatan Kesultanan Cirebon. Sejumlah tokoh pengikutnya pernah berusaha untuk menduduki tahta, tetapi semuanya menemui kegagalan. Tatkala Pengging dilumpuhkan, Syekh Siti Jenar yang pada saat itu menyebarkan agama di sana, kembali ke Cirebon diikuti oleh para muridnya dari Pengging. Di Cirebon, kekuatan Syekh Siti Jenar menjadi semakin kokoh, pengikutnya meluas hingga ke desa-desa. Setelah Syekh Datuk Kahfi meninggal dunia, Sultan Cirebon menunjuk Pangeran Punjungan untuk menjadi guru agama Islam di Padepokan Amparan Jati.

Pangeran Punjungan bersedia menjalankan tugas yang diembankan Sultan kepadanya, namun dia tidak mendapatkan murid di sana karena orang-orang telah menjadi murid Syekh Siti Jenar. Bahkan panglima bala tentara Cirebon bernama Pangeran Carbon lebih memilih untuk menjadi murid Syekh Siti Jenar. Dijaga oleh muridnya yang banyak, Syekh Siti Jenar merasa aman tinggal di Cirebon Girang.

Keberadaan Syekh Siti Jenar di Cirebon terdengar oleh Sultan Demak. Sultan kemudian mengutus Sunan Kudus disertai 700 orang prajurit ke Cirebon. Sultan Cirebon menerima permintaan Sultan Demak dengan tulus, bahkan memberi bantuan untuk tujuan itu.

Langkah pertama yang diambil Sultan Cirebon adalah mengumpulkan para murid Syekh Siti Jenar yang ternama, antara lain Pangeran Carbon, para Kyai Geng, Ki Palumba, Dipati Cangkuang dan banyak orang lain di istana Pangkuangwati. Selanjutnya bala tentara Cirebon dan Demak menuju padepokan Syekh Siti Jenar di Cirebon Girang. Syekh Siti Jenar kemudian di bawa ke masjid Agung Cirebon, tempat para Wali telah berkumpul.

Dalam persidangan itu, yang bertindak sebagai Hakim Ketua adalah Sunan Gunung Jati. Melalui perdebatan yang panjang, pengadilan memutuskan Syekh Siti Jenar harus dihukum mati. Kemudian Sunan Kudus melaksanakan eksekusi itu menggunakan keris pusaka Sunan Gunung Jati. Peristiwa itu terjadi pada bulan Safar 923 H atau 1506 (Sofwan, 2000: 222).

Pada peristiwa selanjutnya, mulai diperlihatkan kecurangan yang dilakukan oleh para ulama di Cirebon terhadap keberadaan jenazah Syekh Siti Jenar. Dikisahkan, setelah eksekusi dilaksanakan, jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan di suatu tempat yang kemudian banyak diziarahi orang. Untuk mengamankan keadaan, Sunan Gunung Jati memerintahkan secara diam-diam agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke tempat yang dirahasiakan, sedangkan di kuburan yang sering dikunjungi orang itu dimasukkan bangkai anjing hitam.

Ketika para peziarah menginginkan agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke Jawa Timur, kuburan dibuka dan ternyata yang tergeletak di dalamnya bukan mayat Syekh Siti Jenar melainkan bangkai seekor anjing. Para peziarah terkejut dan tak bisa mengerti keadaan itu. Ketika itu Sultan Cirebon memanfaatkan situasi dengan mengeluarkan fatwa agar orang-orang tidak menziarahi bangkai anjing dan segera meninggalkan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar (Sulendraningrat, 1983: 28).


Versi Keenam, mengacu pada Serat Seh Siti Jenar gubahan Ki Sosrowidjojo, yang kemudian disebarluaskan kembali oleh Abdul Munir Mulkan (t.t), disebutkan bahwa Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Wali Songo. Pada saat hukuman harus dilaksanakan, para anggota Wali Songo mendatangi Syekh Siti Jenar untuk melaksanakan eksekusi. Akan tetapi kemudian para anggota Wali Songo tidak jadi melaksanakan hukuman tersebut, karena Syekh Siti Jenar justru memilih cara kematiannya sendiri, dengan memohon kepada Allah agar diwafatkan tanpa harus dihukum oleh pihak Sultan dan para Sunan, sekaligus Syekh Siti Jenar menempuh jalan kematiannya sendiri, yang sudah ditetapkan oleh Allah.

Sofwan (2000: 215-217) mengutip Suluk Walingsanga (sebagaimana juga yang terdapat dalam Serat Seh Siti Jenar dalam berbagai versi) yang di dalamnya terdapat cerita yang mengisahkan bahwa kematian Syekh Siti Jenar berawal dari perdebatan yang terjadi antara Syekh Siti Jenar dengan dua orang utusan Sultan Demak, yakni Syekh Domba dan Pangeran Bayat sebagai utusan Sultan Fatah dan Majelis Wali Songo. Dua orang utusan ini diperintah Sultan atas persetujuan Majelis Wali Songo untuk mengadakan tukar pikiran dengan Syekh Siti Jenar atau lebih tepatnya menginvestigasi mengenai ajaran yang dia sampaikan kepada murid-muridnya.

Disinyalir bahwa ajaran yang telah disampaikan oleh Syekh Siti Jenar menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan dan ketertiban di wilayah Demak. Hal ini disebabkan ulah para muridnya yang berbuat kegaduhan, merampok, berkelahi, bahkan membunuh. Bila ada kejahatan atau keonaran, tentu murid Syekh Siti Jenar yang menjadi pelakunya. Ketika pengawal kerajaan menangkap mereka, maka mereka bunuh diri di dalam penjara. Bila dikorek keterangan dari mereka, dengan angkuh mereka mengatakan bahwa mereka adalah murid Syekh Siti Jenar yang telah banyak mengenyam ilmu makrifat, dan selalu siap mati bertemu Tuhan.

Mereka beranggapan bahwa hidup sekadar menjalani mati, oleh karena itu mereka merasa jenuh menyaksikan bangkai bernyawa bertebaran di atasnya. Dunia ini hanya dipenuhi oleh mayat, maka mereka lebih memilih meninggalkan dunia ini. Mereka juga mengejek, mengapa orang mati diajari shalat, menyembah dan mengagungkan nama-Nya, padahal di dunia ini orang tidak pernah melihat Tuhan.

Berkenaan dengan pemahaman yang demikian ini, maka Syekh Domba dan Pangeran Bayat diutus oleh Sultan Demak untuk menemui Syekh Siti Jenar. Dalam pertemuan itu terjadi perdebatan antara utusan Sultan dengan Syekh Siti Jenar. Dalam perdebatan itu, terlihat bahwa kemahiran Syekh Siti Jenar berada di atas Syekh Domba dan Pangeran Bayat. Pada akhirnya, Syekh Domba merasa kagum atas uraian dan kedalaman ilmu Syekh Siti Jenar, bahkan dia bisa menyetujui kebenarannya. Dia ingin menjadi muridnya secara tulus, kalau saja tidak dicegah oleh Pangeran Bayat.

Selanjutnya, kedua utusan itu kembali ke Demak melaporkan apa yang telah mereka saksikan tentang ajaran Syekh Siti Jenar. Setelah berunding dengan Majelis Wali Songo, Sultan kemudian mengutus lima orang Wali untuk memanggil Syekh Siti Jenar ke istana guna mempertanggungjawabkan ajarannya. Kelima utusan itu adalah Sunan Kalijaga, Sunan Ngudung, Pangeran Modang, Sunan Geseng, dan Sunan Bonang sebagai pemimpin utusan itu. Mereka diikuti oleh empat puluh orang santri lengkap dengan persenjataannya untuk memaksa Syekh Siti Jenar datang ke istana. Sesampainya di kediaman Syekh Siti Jenar, kelima Wali tersebut terlibat perdebatan sengit. Perdebatan itu berakhir dengan ancaman Sunan Kalijaga. Sekalipun mendapatkan ancaman dari Sunan Kalijaga, Syekh Siti Jenar tetap tidak bersedia datang ke istana karena menurutnya Wali dan raja tidak berbeda dengan dirinya, sama-sama terbalut darah dan daging yang akan menjadi bangkai. Lalu dia memilih mati. Mati bukan karena ancaman yang ada, tetapi karena kehendak diri sendiri. Syekh Siti Jenar kemudian berkonsentrasi, menutup jalan hidupnya dan kemudian meninggal dunia.

Berbeda dengan enam versi sebelumnya, versi Ketujuh menceritakan bahwa terdapat dua orang tokoh utama, yang memiliki nama asli yang berdekatan dengan nama kecil Syekh Siti Jenar, San Ali. Tokoh yang satu adalah Hasan Ali, nama Islam Pangeran Anggaraksa, anak Rsi Bungsi yang semula berambisi menguasai Cirebon, namun kemudian terusir dari Keraton, karena kedurhakaan kepada Rsi Bungsi dan pemberontakannya kepada Cirebon. Ia menaruh dendam kepada Syekh Siti Jenar yang berhasil menjadi seorang guru suci utama di Giri Amparan Jati. Tokoh yang satunya lagi adalah San Ali Anshar al-Isfahani dari Persia, yang semua merupakan teman seperguruan dengan Syekh Siti Jenar di Baghdad. Namun ia menyinpan dendam pribadi kepada Syekh Siti Jenar karena kalah dalam hal ilmu dan kerohanian.

Ketika usia Syekh Siti Jenar sudah uzur, dua tokoh ini sepakat bekerja sama untuk berkeliling ke berbagai pelosok tanah Jawa, ke tempat-tempat yang penduduknya menyatakan diri sebagai pengikut Syekh Siti Jenar, padahal mereka belum pernah bertemu dengan Syekh Siti Jenar. Sehingga masyarakat tersebut kurang mengenal sosok asli Syekh Siti Jenar. Pada tempat-tempat seperti itulah, dua tokoh pemalsu ajaran Syekh Siti Jenar itu memainkan perannya, mengajarkan berbagai ajaran mistik, bahkan perdukunan yang menggeser ajaran tauhid Islam.

Hasan Ali mengaku dirinya sebagai Syekh Lemah Abang, dan San Ali Anshar mengaku dirinya sebagai Syekh Siti Jenar. Hasan Ali beroperasi di Jawa bagian Barat, sementara San Ali Anshar di Jawa Bagian Timur. Kedua orang inilah yang sebenarnya telah dihukum mati oleh anggota Wali Songo, karena sudah melancarkan berbagai fitnah keji terhadap Syekh Siti Jenar sebagai guru dan anggota Wali Songo.

Kemungkinan karena silang sengkarut kemiripan nama itulah, maka dalam berbagai Serat dan Babad di daerah Jawa, cerita tentang Syekh Siti Jenar menjadi simpang siur. Namun pada aspek yang lain, ranah politik juga ikut memberikan andil pendiskreditan nama Syekh Siti Jenar. Karena naiknya Raden Fatah ke tampuk kekuasaan Kesultanan Demak, diwarnai dengan intrik perebutan tahta kekuasaan Majapahit yang sudah runtuh, sehingga segala intrik bisa terjadi dan menjadi “halal” untuk dilakukan, termasuk dengan mempolitisasi ajaran Syekh Siti Jenar yang memiliki dukungan massa banyak, namun tidak menggabungkan diri dalam ranah kekuasaan Raden Fatah.

Akhirnya, menilik begitu banyaknya versi kematian Syekh Siti Jenar, manakah di antara ketujuh versi kematian ini yang dapat dipegang kebenarannya? Tentu masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menjawabnya. Tapi setidaknya, kita menjadi sedikit paham bagaimana situasi dan kondisi yang melingkupi kehidupan Syekh Siti Jenar pada masa itu. Masa yang seperti digambarkan secara cerdas oleh Sunan Kalijaga dalam lakon wayangnya, sebagai masa kelam merebaknya fitnah terhadap para ulama yang baik, khususnya para Wali Songo, bahkan tak terkecuali diri Sunan Kalijaga sendiri yang disebut-sebut sebagai algojo pembunuh Syekh Siti Jenar. Yaitu fitnah yang dilakukan oleh para ulama buruk yang gemar menjilat penguasa ketika itu.

Mereka inilah yang kemudian gemar menghembuskan kabar bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh Dewan Wali Songo di masjid Demak, dan mayatnya berubah menjadi anjing kudisan, dan dimakamkan di bawah mihrab pengimaman masjid. Suatu hal yang sangat mustahil terjadi dalam konteks hukum dan etika Islam, namun kerap dianggap sebagai sebuah kebenaran atas nama kemukjizatan oleh masyarakat awam.

Keberadaan para ulama “penjilat” penguasa, yang untuk memenuhi ambisi duniawinya bersedia menebar fitnah terhadap sesama ulama, dan untuk selalu dekat dengan penguasa bahkan bersedia menyatakan bahwa suatu ajaran kebenaran sebagai sebuah kesesatan dan makar, karena menabrak kepentingan penguasa itu sebenarnya sudah digambarkan oleh para ulama terdahulu. Kepada ulama dengan tabiat buruk inilah Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ “Ulum al-Din menyebutnya sebagai al-‘ulama’ al-su’ atau ulama yang jelek dan kotor.

Sementara karena gerah melihat tingkah laku para ulama pada zaman Demak, terkait dengan bobroknya moral dan akhlak penguasa, di samping fitnah keji yang ditujukan kepada sesama ulama, namun beda pendapat dan kepentingan, maka Sunan Kalijaga membuatkan deskripsi tentang keberadaan al-‘ulama’ al-su’ itu secara lebih halus. Sesuai dengan profesinya sebagai budayawan, utamanya sebagai dalang, Sunan Kalijaga menggambarkan kelakuan para ulama ambisius politik dan memiliki karakter jelek itu sebagai tokoh Sang Yamadipati yang berarti Dewa Pencabut Nyawa dan Pendeta Durna yang artinya ulama munafik bermuka dua.

Kedua tokoh tersebut dalam serial pewayangan model Sunan Kalijaga digambarkan sebagai ulama yang memakai pakaian kebesaran ulama; memakai surban, destar, jubah, sepatu, biji tasbih dan pedang.

Penyematan karakter seperti itu kemungkinan adalah salah satu cara Sunan Kalijaga dalam mencatatkan sejarah bangsanya, yang terhina dan teraniaya akibat tindakan para ulama jahat yang mengkhianati citra keulamaannya, dengan menjadikan diri sebagai Sang Yamadipati, mencabut nyawa manusia yang dianggapnya berbeda pandangan dengan dirinya atau dengan penguasa, kepada siapa sang ulama mengabdikan dirinya.

Mungkin juga hal tersebut merupakan cara Sunan Kalijaga melukiskan suasana batin bangsanya yang sudah mencitrakan pakaian keulamaan dan dalil-dalil keagamaan tak lebih sebagai atribut Sang Pencabut Nyawa. Atas nama agama, atas nama pembelaan terhadap Tuhan, dan karena dalil-dalil mentah, maka aliran serta pendapat yang berbeda harus ditumpas habis. Hal serupa yang pernah diramalkan sendiri oleh Syekh Siti Jenar, bahwa akibat tajamnya perbedaan mazhab atau aliran itulah, manusia bisa mengantarkan saudara seimannya ke altar kematian atau mezbah pembantaian.

Gambaran pendeta Durna adalah wujud dari rasa muak Sunan Kalijaga terhadap para ulama yang menjilat kepada kekuasaan, bahkan aktivitasnya digunakan untuk semata-mata membela kepentingan politik dan kekuasaan, menggunakan dalil keagamaan hanya untuk kepentingan dan keuntungan pribadi dengan mencelakakan banyak orang sebagai tumbalnya. Citra diri ulama yang ‘tukang’ hasut, penyebar fitnah, penggunjing, dan pengadu domba. Itulah yang dituangkan oleh Sunan Kalijaga dalam sosok Pendeta Durna. Seolah mengacu pada sosok-sosok ulama yang telah memfitnah diri Sunan Kalijaga sendiri sebagai salah seorang pembunuh Syekh Siti Jenar.

Sebagai generasi sekarang yang hidup terpaut waktu cukup lama dengan masa hidup Syekh Siti Jenar, kita semua, kaum Muslimin di Indonesia—tanpa bermaksud menafikan kebenaran semua versi kematian Syekh Siti Jenar di atas, tentu layak mengambil pelajaran dari apa yang disampaikan oleh Sunan Kalijaga; bahwa di setiap masa, tak terkecuali di masa kita sekarang, keberadaan para Yamadipati dan Pendeta Durna itu sama sekali tak dapat dipungkiri adanya. Semoga Allah senantiasa berkenan menjaga kita dari fitnah, makar dan kejahatan mereka. Agar kita tak mengalami nasib buruk serupa Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga.

(Islam-Indonesia/Ahmad-Samantho/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: