Pesan Rahbar

Home » , » Bagi Kita Yang Ingin Doanya Terkabul Ketika Dalam Keadaan Sulit

Bagi Kita Yang Ingin Doanya Terkabul Ketika Dalam Keadaan Sulit

Written By Unknown on Sunday 30 July 2017 | 10:24:00


Imam Ja’far As-Shodiq as berpesan,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُسْتَجَابَ لَهُ فِي الشِّدَّةِ فَليُكْثَرِ الدُّعاءَ فِي الرَّخاءِ

“Siapa yang ingin dikabulkan doanya ketika dalam keadaan sulit maka perbanyaklah berdoa ketika dalam keadaan makmur.” (Wasa’il As-Syiah)


Ayat atau riwayat manakah yang menyatakan, “Apabila seseorang tidak memahami makna doa maka doanya tidak akan terkabulkan?”
*****

Dalam al-Quran tidak terdapat satu pun ayat yang menyinggung tentang hal ini; namun secara umum harus diketahui bahwa lafaz-lafaz bukanlah tujuan dan maksud esensial dari berdoa, melainkan hanyalah merupakan sebuah wahana dan media untuk menyampaikan pesan doa.

Karena itu, sudah sangat wajar apabila manusia dalam doa dan hubungannya dengan Allah Swt yang hanya menggunakan lafaz-lafaz kemudian tidak menaruh perhatian terhadap maknanya, sehingga doa yang dia sampaikan tidak akan menyisakan pengaruh baginya.

Sebagaimana dalam sebuah riwayat dari Imam Shadiq As kita membaca, “Allah Swt tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai, karena itu setiap engkau berdoa maka perhatikanlah hatimu dan yakinlah bahwa doamu itu akan terijabah.”[1]

Namun demikian, orang-orang yang tidak mengenal bahasa Arab dengan baik, dengan memahami secara umum kandungan doa ini sudah mencukupi baginya untuk berdoa. 


Catatan Kaki:

[1]. Muhammad bin Yakub Kulaini, al-Kâfi, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari dan Muhammad Akhundi, jil.2, hal. 473, Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Keempat, 1407 H.

«إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَ جَلَّ لَا یَسْتَجِیبُ دُعَاءً بِظَهْرِ قَلْبٍ‏ سَاهٍ‏ فَإِذَا دَعَوْتَ فَأَقْبِلْ بِقَلْبِکَ ثُمَّ اسْتَیْقِنْ بِالْإِجَابَةِ»


Mengingat bahwa dalam doa-doa al-Qur’an yang harus dikedepankan adalah orang itu sendiri kemudian orang lain kemudian terakhir orang-orang mukmin lainnya dan adanya ayat yang menegaskan ‘alaikum anfusakum (jagalah dirimu)! Dari sisi lain, kita saksikan adanya riwayat-riwayat seperti Sayidah Zahra As yang pertama-tama berdoa untuk orang lain dan kemudian untuk dirinya! Bagaimana hal yang sepintas kontradiksi ini dapat dipecahkan? Urutan mana yang harus kami jalankan? Orang lain atau diri sendiri?
*****

Pada makam tazkiyah (penyucian jiwa) dan perbaikan diri, manusia harus mendahulukan dirinya atas orang lain. Hal ini merupakan instruksi lugas al-Qur’an dan riwayat; karena tanpa melakukan tazkiyah nafs, maka mustahil ia dapat memberikan petunjuk kepada orang lain.

Namun tatkala ia berada pada makam doa dan bermohon hajat kepada Allah Swt, alangkah baiknya jika manusia mendahulukan orang lain atas dirinya.

Hal ini juga sangat dianjurkan dalam riwayat-riwayat; karena perbuatan ini tidak hanya tidak akan menunda terpenuhinya hajat manusia, melainkan akan segera menyebabkan terpenuhinya hajat manusia itu pun dalam kadar yang lebih banyak.
*****


Tampaknya antara makam tazkiyah dan menjauh dari dosa dengan makam doa dan memohon kepada Allah Swt, telah bercampur baur dalam pertanyaan Anda sehingga menimbulkan kekeliruan dalam menyampaikannya. Karena pada makam pertama; yaitu pada masalah perbaikan diri (tazkiyat al-nafs) dan menjauh dari dosa, yang dapat disimpulkan dari ayat dan riwayat adalah bahwa manusia harus mendahulukan dirinya atas orang lain.

Al-Qur’an di samping memberikan nasihat untuk menjauh dari api neraka dan menyucikan diri dari akhlak tercela dengan melakukan penyucian diri, juga menyatakan kepada orang-orang beriman, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. Al-Maidah [5]:105) Atau pada ayat lainnya dalam al-Qur’an disebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Qs. Al-Tahrim [66]:6) Artinya kalian jangan melakukan dosa sehingga terjerembab dalam api neraka seperti ini.

Sebagaimana yang Anda saksikan, di sini yang mengemuka bukanlah masalah doa dan munajat, melainkan kedudukan, makam perbaikan diri dan menjauhi akhlak tercela. Dalam situasi seperti ini manusia harus mendahulukan dirinya sendiri atas orang lain; namun hal ini tidak bermakna meninggalkan amar makruf dan nahi mungkar; karena mengerjakan segala kewajiban merupakan salah satu jalan perbaikan diri dan manusia tidak boleh mengabaikan amar makruf dan nahi mungkar dengan dalih perbaikan diri.

Adapun dalam makam doa dan memohon hajat, pada makam ini, kita berkaca pada riwayat, yang menyinggung banyak tentang persoalan ini, persoalannya menjadi terbalik; karena sesuai dengan anjuran para maksum dalam hal ini, supaya kita lebih baik mendahulukan orang lain atas diri kita, sebagaimana dalam sebuah kisah ketika Imam Mujtaba As menukil tentang perilaku bundanya dan mengemuka dalam pertanyaan Anda, Sayidah Zahra As dalam menjawab pertanyaan Imam Mujtaba As tentang doa, bersabda, “al-jar tsumma al-dar. “Tetangga dulu kemudian diri kita.”[1]

Atau pada tempat lainnya, diriwayatkan dari Imam Sajjad As, “Sesungguhnya para malaikat tatkala mendengar seorang beriman yang mendoakan saudara mukminnya tatkala ia tidak ada atau menyebutnya dengan baik dan berkata kepadanya, “Betapa engkau merupakan saudara baik, engkau mendoakan untuk saudara mukminmu padahal ia tidak berada di sekelilingmu dan menyebutnya dengan baik. Sesungguhnya Allah Swt akan mengaruniamu dua kali lebih banyak atas apa yang engkau inginkan untuk saudaramu.”[2]

Riwayat-riwayat seperti ini banyak disebutkan dalam sebagian litetarur hadis; sebagai contoh, pada kitab Wasâil al-Syiah, terdapat sebuah bab dengan judul “Bab Istihbâb Ikhtiyâr al-Insân al-Du’â lil Mu’min ‘ala al-du’â linafsihi (Anjuran Mendahulukan Doa Bagi Orang Lain Sebelum Berdoa untuk Diri) dan pada bab itu terdapat banyak riwayat dalam kaitannya dengan anjuran mendoakan orang lain sebelum mendoakan diri sendiri.[iQuest]


Catatan Kaki:

[1]. Syaikh Hurr ‘Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 7, hal. 112, Muassaah Ali al-Bait, Qum.
[2]. Ibid, hal. 111

(Khazanah-Ahlul-Bait/Islam-Quest/Berbagai_sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: