Sejarah saling menuding sesat terhadap
satu kelompok oleh kelompok lain sudah sangat sangat lama bahkan sama
tuanya dengan sejarah agama itu sendiri. Perpecahan antara Sunni dan
syiah mengawali sejarah saling tuding tersebut dimana ulama sunni yang
menyebut diri sebagai Ahlul Sunnah dan di dukung oleh penguasa zaman itu
menuding sesat bakan kafir kepada saudaranya dari kalangan Syiah.
Konflik sunni syiah bukan hanya persoalan keyakinan akan tetapi lebih
dominan unsur politik dan kepentingan penguasa saat itu.
Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abbas Syah, aliran Sunni mulai masuk ke Peureulak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syi’ah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada sultan.
Kaum Syi’ah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Ali Mughat Syah dari aliran Syi’ah naik tahta. Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syi’ah dan Sunni yang kali ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Sunni.
Pertentangan mahzab yang keras ini sempat ke Peureulak dalam masa sultan Alaiddin Saiyid Maulana Ali Mughaiyad Syah (Bukan Ali Mughaiyad Syah Sultan di Kerajaan Aceh Darussalam) Kaum Ahlusunnah dapat menumbangkan kerajaan Islam Syi’ah Peureulak dan Mendirikan Kerajaan Islam Ahlusunnah Peureulak.
Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara Syi’ah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian:
v Peureulak Pesisir (Syi’ah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Syah (986‑988) dengan ibukota Bandar Peureulak.
v Peureulak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat (986–1023) dengan Ibukota Bandar Khalifah.
Pada tahun 375 H atau (986 M), kerajaan Sriwijaya menyerang Peureulak, Peperangan tersebut menyebabkan Sultan Alaidin Saiyid Maulana Mahmud Syah syahid, peperangan dengan kerajaan Sriwijaya terus dilanjutkan, sehingga tahun 393 H (1006 M) tentara Sriwijaya keluar dari Peureulak dengan mengalami kerugian yang besar. Maka Sultan Makhdum Alaidin Malik Ibrahim Syah (dari golongan Sunni) menjadi Sultan tunggal Kerajaan Islam Peureulak dan melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006
Disisi lain peperangan ini membawa dampak positif dengan meluasnya pengaruh ajaran Islam ke daerah pedalaman dan ke pantai Barat Utara oleh para Muhajjirin yang hijrah, dan diantara mereka membuka negeri-negeri Islam baru, Seperti Negeri Samudra Pasai, Negeri Isak dan Negeri Lingga (Aceh Tengah), Negeri Serbajadi dan Negri Peunaron (daerah Tamiang dan Lokop).
Sejarah keislaman di Kesultanan Perlak tidak luput dari persaingan antara kelompok Sunni dan Syiah. Perebutan kekuasaan antara dua kelompok Muslim ini menyebabkan terjadinya perang saudara dan pertumpahan darah. Silih berganti kelompok yang menang mengambil alih kekuasaan dari tangan pesaingnya.
Aliran Sunni mulai masuk ke Kesultanan Perlak, yaitu pada masa pemerintahan sultan ke-3, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah. Setelah ia meninggal pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni, yang menyebabkan kesultanan dalam kondisi tanpa pemimpin. Pada tahun 302 H (915 M), kelompok Syiah memenangkan perang. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah kemudian memegang kekuasaan kesultanan sebagai sultan ke-4 (915-918). Ketika pemerintahannya berakhir, terjadi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni, hanya saja untuk kali ini justru dimenangkan oleh kelompok Sunni.
Kurun waktu antara tahun 918 hingga tahun 956 relatif tidak terjadi gejolak yang berarti. Hanya saja, pada tahun 362 H (956 M), setelah sultan ke-7, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat meninggal, terjadi lagi pergolakan antara kelompok Syiah dan Sunni selama kurang lebih empat tahun. Bedanya, pergolakan kali ini diakhiri dengan adanya itikad perdamaian dari keduanya. Kesultanan kemudian dibagi menjadi dua bagian. Pertama, Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988). Kedua, Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023).
Peureulak kemudian mengalami Penggabungan dengan Samudera Pasai.
Dalam tradisi pemikiran keagamaan di
Aceh, terutama pada pertengahan abad XVII M, sejarah mencatat fakta
telah terjadinya kontroversi yang berlarut dan berujung pada pembunuhan
pemikiran ajaran tertentu. Ajaran yang dikembangkan Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin as-Sumatrani, umpamanya, mendapatkan perlawanan yang sengit
dari Nuruddin ar-Raniry. Pertentangan disulut oleh penentangan Ar-Raniry
terhadap ajaran kedua ulama penganut paham Ibnu Arabi tersebut tentang
doktrin wujudiyah, dimana akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
Kemenangan Ar-Raniry dinilai berkat kedekatannya dengan penguasa ketika
itu, yakni Sultan Iskandar Sani (1637-1641).
Sejarah menulis peranan Ar-Raniry
demikian besar dalam mempertahankan ortodoksi Islam di Aceh. Dengan
dukungan penguasa, dia dapat mengembangkan paham yang dianutnya.
Walhasil, paham keagamaan yang berseberangan terbukti mampu disingkirkan
olehnya.
Bek keuh takheun Yazid kaphe, hana dali Yang peusiasa. Hana hadih nibak nabi, hana dali kheun Rabbana. Indonesianya : Kata Nurddin ibn Hasanji, demikian tegas dalam katanya Ulama Aceh telah mufakat demikian riwayat ceritanya Saidina Ali dan Muawiyah, disisi Allah mereka sama Siapa yang cerca orang dua itu. dari Allah murka menimpa Juga Yazid anak Muawiyah, jaga lidahmu wahai saudara Janganlah dikata Yazid kaf’ir, tiada dalil menopangnya Tiada hadis ucapan nabi, tiada bukti firman Ilahi (Dr- Ahmad Daudy. MA .Allah dan Manusia dalam Konsepsi Nuruddin Ar-Raniry, CV. Rajawali Jakarta).
Fatwa itu menunjukkan bahwa telah terjadi perbedaan pemahaman dalam kontek peristiwa Perang Siffin (tahun 37 H) dan Perang Karbala (tahun 60 H) dalam pandangan Sunni. Syeikh Nuruddin mencoba mengaburkan dan memperingatkan ulama-ulama pada masa itu untuk tiduk terpengaruh dengan ajaran Syi’ah. Perbedaan faham antara Syi’ah dan Ahlussunnah terajut dalam rentang sejarah yang panjang yang membias sampai ke Aceh dan mula berdirinya Kerajaan Jeumpa, Kerajaan Peureulak (249 H) disusul Kerajaan Samudra Pase (433 H) sampai pada Kerajaan Aceh Darussalam (920-1322).
Fatwa itu merupakan juga suatu ilustrasi bahwa paham Syi’ah pernah berkembang di Aceh. Bait terakhir adalah merupakan suatu pengunci agar hal itu tidak dibicarakan lagi. Berdasarkan fakta sejarah saya tidak merasa enggan untuk berkesimpulan bahwa faham Syi’ah pernah berkembang di Aceh. Namun dengan banyaknya ulama Ah1ussunnah baik di Aceh ataupun yang datang dari Mekah yang menganut mazhab Syafi’iah pengaruh Syi’ah pun mulai memudar.
Selepas pembinaan pertama oleh Nabi Allah Ibrahim, kaabah telah melalui beberapa siri pembinaan terutamanya selepas kebakaran besar yang berlaku semasa pemerintahan Yazid bin Muawiyah. Abdullah bin Az-zubair telah membiarkan keadaan kaabah yang terbakar sehinggalah musim haji yang berikutnya.
Sesat Menyesatkan dan Konflik Berdarah di Aceh.
Nurudin Ar-Raniry yang berasal dari Ranir India ingin
sekali menjadi ulama nomor satu di Aceh. Salah satu cara yang
dilakukannya adalah menyatakan sesat kepada ulama selain dia. Nurudin
Ar-Raniry mengeluarkan pernyataan sesat kepada Hamzah Fanshury yang
berpaham wahdaul wujud dan menfatwakan pengikut Hamzah Fanshury
halal darahnya. Setelah Nurudin Ar-Raniry mengeluarkan fatwa sesat dan
halal darah maka efeknya sungguh tragis dan memilukan. Hampir semua
murid-murid Hamzah Fanshury di bunuh. Di depan mesjid raya Baiturahman,
pengikut Hamzah Fanshury di bakar hidup-hidup beserta karya-karyanya.
Akibat dari perbuatan itu, 100 tahun kemudian Belanda menyerang Aceh dan
membakar habis mesjid Raya Baiturahman tanpa sisa dan Aceh melewati
sejarahnya dengan berdarah dan konflik yang tak berkesudahan.
Penentangan keras ar-Raniry terhadap doktrin
Wujudiyah Hamzah Fansuri dan as-Sumatrani ini, tampaknya merupakan
warisan dari pertentangan antara kaum ortodoks dan heretodoks (dalam hal
ini kaum filsuf) yang pernah terjadi dalam sejarah pemikiran filsafat
Islam sejak berabad-abad sebelumnya. Al-Ghazali, merupakan contoh jelas
seorang ulama ortodoks yang dengan gigih berusaha menggugurkan
argumen-argumen para filsuf tentang hubungan ontologis antara Tuhan
dengan alam yang dianggap ancaman serius atas kandungan Islam yang
bersifat wahyu.
Zaman Sultan Iskandar Muda hampir seluruh Aceh
menjadi pengamal berbagai macam Tarekat, pengikut terbesar dari Tarekat
Syattariyah yang mursyidnya adalah Syekh Abdul Ra’uf As-Singkily yang
dikenal dengan Syiah Kuala dan merupakan keponakan dari Hamzah Fanshuri.
Aceh mengalami kemajuan dan kemakmuran yang luar biasa. Kemudian pada
masa Sultan Alaidin Iskandar Tsani (menantu Iskandar Muda) telah
melarang tarekat secara resmi. Pemimpin Tarekat pada masa itu adalah
Syamsudin As-Sumatrani (Wafat tahun 1630), murid dari Hamzah Fanshuri.
Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba dalam bukunya “Ilmu Thariqat dan Hakikat”
menceritakan bahwa Ulama-ulama Aceh telah mengadakan musyawarah dibawah
pimpinan Mufti Syekh Nurudin Ar-Raniry dan musyawarah memutuskan bahwa
penganut tarekat dianggap kafir, murtad dan harus di bunuh mati. Menurut
Tgk. H. Hasan Krueng Kale, seorang tokoh ulama di Aceh, pada masa itu
telah terbunuh 70 orang penganut tarekat. Akibat tindakan itu Aceh
seperti menerima azab dari Allah, diserang oleh Belanda, mesjid di Bakar
dan konflik tak berkesudahan.
Pada bulan Oktober 1998 Surau Panton Labu Aceh Utara
milik yayasan Prof. Dr. SS. Kadirun Yahya MA M.Sc dibakar masa atas
pengaruh beberapa ulama termasuk pernyataan Tgk. Muhibbudin Wali yang
mangatakan sesat kepada tarekat Kadirun Yahya. Setelah Alkah Zikir
Panton Labu di bakar tidak lama kemudian mulai lagi konflik berdarah di
Aceh dengan episode yang lebih memilukan, di mulai dengan Tragedi Ara
Kundo, Simpang KKA dan diikuti berbagai macam tragedi lain, ribuan nyawa
melayang sampai masa damai sekarang ini.
Saya kagum dengan ketua Majelis Permusyawaratan Ulama
(MPU) Prof. Dr. Muslim Ibrahim MA, yang tidak pernah sembarang
mengeluarkan pernyataan. Ketika orang menanyakan pendapat Beliau tentang
tarekat yang disesatkan orang dengan senyum beliau menjawab : “Jangan
mudah kita menuduh sesat kepada orang lain karena
pertanggung-jawabannya bukan hanya di dunia akan tetapi juga di akhirat
kelak di hadapan Allah. Hanya Allah yang mengetahui siapa sesat dan
siapa benar”.
Semoga di Aceh akan banyak ulama-ulama arif seperti
Prof. Dr. Muslim Ibrahim MA yang sangat bijak menyikapi setiap persoalan
dan selalu berpihak kepada ummat bukan berpihak kepada kepentingan
politik segelintir orang.
Post a Comment
mohon gunakan email