Makam Raja Perlak pertama, Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, di Peureulak, Aceh Timur. Foto: Sri Mulyani.
Syiah hadir sejak awal Islam masuk Nusantara. Bahkan, Kerajaan Islam pertama di Nusantara didirikan oleh Syiah.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI
Dibaca: 6407 | Dimuat: 20 Juni 2013
HARI
ini adalah Hari Pengungsi Sedunia. Ironisnya, justru di hari ini para
pengungsi Syiah Sampang direlokasi paksa dari gedung olahraga Sampang.
Padahal, jika tengok sejarah, Syiah hadir sejak awal Islam masuk ke
Nusantara. Bahkan, menurut beberapa sejarawan, kerajaan Islam pertama di
Nusantara didirikan oleh Syiah: Kerajaan Perlak. Bukti arkeologisnya
makam Raja Perlak pertama, Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz
Syah, di Peureulak, Aceh Timur.
Sejarawan Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, meyakini
Islam yang sampai di Asia Tenggara paling dahulu ialah aliran Syiah.
Aliran Syiah dibawa oleh para pedagang Gujarat, Persia, dan Arab ke
pantai timur Sumatra, terutama ke Perlak dan Pasai, dan mendapat
dukungan dinasti Fathimiah di Mesir.
Pada tahun 800 Masehi,
sebuah kapal dagang berlabuh di Bandar Perlak. Armada itu mengangkut
seratus saudagar Muslim Arab Quraisy, Persia, dan India, yang dipimpin
nakhoda Khalifah. Mereka membarter kain, minyak atar, dan perhiasan
dengan rempah-rempah. “Rombongan misi Islam yang dipimpin Nakhoda
Khalifah semuanya orang-orang Syiah,” tulis sejarawan A. Hasjmy dalam Syi’ah dan Ahlussunnah.
Sejak itu, mereka kerap
datang ke Bandar Perlak sehingga banyak orang Perlak masuk Islam,
termasuk Meurah (Maharaja) Perlak dan keluarganya. Sebagai penghargaan
kepada Nakhoda Khalifah, pada tahun 840 Masehi diproklamasikan kerajaan
Perlak yang beribukota Bandar Khalifah, saat ini letaknya sekira enam
kilometer dari kota Peureulak. “Kerajaan Islam yang pertama berdiri di
Indonesia yaitu Perlak, boleh dinamakan Daulah Syi’iyah (Kerajaan
Syi’ah),” simpul Hasjmy.
Dalam perjalanannya
terjadi perebutan kekuasaan antara Sunni dan Syiah di Kerajaan Perlak.
Sehingga Kerajaan Perlak terbelah dua: Perlak pesisir untuk Syiah dan
Perlak pedalaman untuk Sunni.
Persengketaan terhenti
ketika mereka menghadapi musuh bersama; Sriwijaya, yang menyerang Perlak
pada 986 Masehi. Pada tahun 1006, perang usai karena Sriwijaya harus
perang melawan kerajaan Medang yang dipimpin Dharmawangsa. Karena Sultan
Perlak pesisir gugur, kerajaan Perlak dipimpin Sultan Perlak
pedalaman. Sejak itu, Sunni berkuasa dalam waktu lama.
Pengaruh Syiah merambah
kerajaan Samudra Pasai. Kerjaaan ini didirikan pada 1042 oleh Meurah
Giri, kerabat Sultan Mahmud dari kerajaan Perlak yang menganut Sunni.
Meurah Giri jadi sultan pertama dengan gelar Maharaja Mahmud Syah.
Keturunannya memerintah Pasai sampai 1210. Pascakematian Sultan Al-Kamil
yang tak meninggalkan putra mahkota, terjadi perang saudara.
Pada 1261 Meurah Silu,
juga keturunan Sultan Perlak, mengambil-alih kekuasaan Pasai. “Meurah
Silu adalah seorang Islam sejak awal, bukan diislamkan kemudian. Akan
tetapi Islamnya adalah Islam Syiah, yaitu mazhab yang berkembang di
Perlak,” tulis Ahmad Jelani Halimi, sejarawan Universitas Sains
Malaysia, dalam Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu.
Namun Dinasiti
Fathimiah rontok pada 1268. Terputuslah hubungan antara kaum Syiah di
pantai timur Sumatra dan Mesir. Dinasti Mamluk, yang berkuasa di Mesir
dan beraliran Syafii, mengirim Syekh Ismail ke pantai timur Sumatra
untuk memusnahkan aliran Syiah. Syekh Ismail berhasil membujuk Meurah
Silu untuk menyeberang ke aliran Syafi’i. Hubungan dengan Mamluk di
Mesir jelas terlihat dari gelar yang dipakai Meurah Silu, Malikul Saleh.
“Gelar ini merupakan gelar pendiri kerajaan Mamluk Mesir, Sultan Malik
al-Saleh Najmuddin al-Ayyubi,” tulis Ahmad Jelani.
“Selama Sultan Malikul Saleh berkuasa, agama Islam aliran Syiah ditindas,” tulis Slamet Muljana.
Sultan Perlak terakhir
meninggal pada 1292. Setelah itu, Perlak menjadi bagian dari kerajaan
Samudra Pasai di bawah Sultan Malikul Zahir, anak Malikul Saleh.
Menurut Hasjmy, kaum
Syiah yang terjepit di Perlak berusaha menguasai Pasai. Usahanya
berhasil dengan naiknya Arya Bakooy bergelar Maharaja Ahmad Permala
menjadi perdana menteri pada masa pemerintahan Ratu Nihrasiyah Rawangsa
Khadiyu (1400-1428). Perang kembali pecah antara pengikut Sunni dengan
Syiah. Arya Bakooy tewas dalam suatu pertempuran. Syiah pun tersingkir
dari arena politik di Samudra Pasai. Tetapi, sebagai suatu aliran
politik dan agama, ia masih terus hidup, teristimewa sekali sebagai
suatu aliran tasawuf, tarekat, dan filsafat.
Portugis yang telah
menguasai Malaka, menebarkan ancaman. Kerajaan-kerajaan Islam: Perlak,
Samudra Pasai, Beunua (Teumieng), Lingga, Pidie, Daya, dan Darussalam,
bersatu menjadi kerajaan Aceh Darussalam pada 1511 di bawah pimpinan
Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah. “Di kesultanan ini, kelompok
Ahlusunah dan Syiah dapat secara bebas menyampaikan akidah dan pemikiran
tasawuf mereka meskipun terkadang terjadi perselisihan di antara
mereka,” tulis Muhammad Zafar Iqbal, doktor sastra Persia dari
Universitas Tehran Iran, dalam Kafilah Budaya.
Selama Samudra Pasai di
bawah perdana menteri Arya Bakooy, tokoh besar Syiah Syekh Abdul Jalil
berangkat ke Tanah Jawa. Di daerah Jawa dia kemudian dikenal sebagai
Syekh Siti Jenar. Di Jawa, dia harus berhadapan dengan sejumlah wali
dalam perebutan pengaruh agama dan politik. Siti Jenar akhirnya diadili
dan dijatuhi hukuman mati.
Syiah juga menjalar ke
Minangkabau. Namun kemudian mendapat tentangan dari kaum adat, terutama
tiga haji yang baru kembali dari Mekah: Haji Piobang, Haji Sumanik, dan
Haji Miskin. Ketiga tokoh Wahabi tersebut membentuk gerakan untuk
menentang aliran Syiah dan pemurnian agama Islam.
Di Aceh sendiri, pada
abad ke-16 dan 17, tokoh-tokoh ulama Syiah dan Ahlusunah dari Arab,
Persia, dan India silih-berganti datang. “Di antara para penganjur
aliran Syiah yang utama di pantai timur Sumatra ialah penyair Hamzah
Fansuri dari Barus dan Syamsuddin al-Sumatrani pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda. Aliran Syiah di kesultanan Aceh itu pun kemudian
dibasmi oleh para pengikut aliran Syafi’i yang dipimpin oleh Syekh
Nuruddin Ar-Raniri,” tulis Slamet Muljana.
Dalam pengantar buku Syi’ah dan Politik di Indonesia,
Azyumardi Azra, direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
meragukan klaim-klaim mengenai pergumulan dan kekuasaan Syiah di
Nusantara. Dia menyoroti kelemahan pokok dari sisi metodologi dan
sumber-sumber sejarahnya.
Terlepas dari masih diperdebatkan, yang jelas Syiah bagian dari kita: Indonesia.
Selengkapnya laporan khusus "Syiah: Pendiri Kerajaan Islam Pertama di Nusantara," majalah Historia Nomor 6 Tahun I, 2012.Sumber: http://historia.co.id/artikel/modern/1246/Majalah-Historia/Syiah_di_Nusantara
Post a Comment
mohon gunakan email