Pesan Rahbar

Home » » Abu Bakar Menjadi Imam Shalat Bukanlah Bukti Keilmuannya Lebih Tinggi Dari Imam Ali

Abu Bakar Menjadi Imam Shalat Bukanlah Bukti Keilmuannya Lebih Tinggi Dari Imam Ali

Written By Unknown on Saturday, 20 September 2014 | 05:30:00


Alhamdulillah, Allah SWT memberikan kemudahan di tengah kesibukan kami untuk menuliskan risalah kecil yang insya Allah bermanfaat bagi para pecinta Ahlul Bait. Beberapa waktu yang lalu salafiyun membantah bahwa keilmuan Imam Ali berada di atas ketiga khalifah dan sahabat lainnya. Hadis yang menjadi hujjah salafiyun adalah hadis Abu Bakar menjadi Imam shalat dimana menurutnya seorang Imam adalah yang paling berilmu, sehingga jika Abu Bakar menjadi imam maka ilmunya melebihi semua orang yang bermakmum padanya. Kesimpulan ini sangat jelas kekeliruannya karena berimamnya seseorang yang lebih mulia kepada orang yang lebih rendah keutamaannya adalah sesuatu yang ma’ruf dalam syariat. Kami akan menunjukkan hadis-hadis yang akan membungkam para salafiyun. Mari kita bahas detail mengenai tema ini, berikut dalilnya.

Abu Bakar sendiri diriwayatkan pernah bermakmum kepada salah seorang sahabat Nabi. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya:

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ لَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ الْعُصْبَةَ مَوْضِعٌ بِقُبَاءٍ قَبْلَ مَقْدَمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَؤُمُّهُمْ سَالِمٌ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ وَكَانَ أَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا

Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Mundzir yang berkata telah menceritakan kepada kami Anas bin ‘Iyadh dari Ubaidillah dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar yang berkata “Ketika kaum Muhajirin yang pertama tiba di ‘Ushbah sebuah tempat di Quba sebelum kedatangan Rasulullah SAW, mereka diimami oleh Salim maula Abu Hudzaifah dan dia adalah orang yang paling banyak hafalan Al Qur’annya. [Shahih Bukhari 1/140 no 692].

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي ابْنُ جُرَيْجٍ أَنَّ نَافِعًا أَخْبَرَهُ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ قَالَ كَانَ سَالِمٌ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ يَؤُمُّ الْمُهَاجِرِينَ الْأَوَّلِينَ وَأَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَسْجِدِ قُبَاءٍ فِيهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَأَبُو سَلَمَةَ وَزَيْدٌ وَعَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ

Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb yang mengabarkan kepadaku Ibnu Juraij bahwa Nafi’ mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu Umar mengabarkan kepadanya yang berkata “Salim maula Abu Hudzaifah mengimami Muhajirin yang pertama dan para sahabat Nabi SAW di masjid Quba dan diantara mereka terdapat Abu Bakar, Umar, Abu Salamah, Zaid dan Amir bin Rabi’ah. [Shahih Bukhari 9/71 no 7175].

Apakah sekarang salafiyun mau mengatakan kalau Abu Bakar lebih rendah keilmuannya dari Salim maula Abu Hudzaifah?. Ataukah akan dikatakan bahwa para sahabat lebih mendahulukan Salim daripada Abu Bakar?.

Pernah pula diriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Auf menjadi Imam shalat kaum muslimin di saat Perang Tabuk dimana Abu Bakar ikut didalamnya. Bahkan dalam riwayat tersebut disebutkan pula bahwa Rasulullah SAW juga bermakmum kepada Abdurrahman bin Auf. Diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunannya,
حدثنا أحمد بن صالح ثنا عبد الله بن وهب أخبرني يونس بن يزيد عن ابن شهاب حدثني عباد بن زياد أن عروة بن المغيرة بن شعبة أخبره أنه سمع أباه المغيرة يقول عدل رسول الله صلى الله عليه و سلم وأنا معه في غزوة تبوك قبل الفجر فعدلت معه فأناخ النبي صلى الله عليه و سلم فتبرز ثم جاء فسكبت على يده من الإداوة فغسل كفيه ثم غسل وجهه ثم حسر عن ذراعيه فضاق كما جبته فأدخل يديه فأخرجهما من تحت الجبة فغسلهما إلى المرفق ومسح برأسه ثم توضأ على خفيه ثم ركب فأقبلنا نسير حتى نجد الناس في الصلاة قد قدموا عبد الرحمن بن عوف فصلى بهم حين كان وقت الصلاة ووجدنا عبد الرحمنن وقد ركع بهم ركعة من صلاة الفجر فقام رسول الله صلى الله عليه و سلم فصف مع المسلمين فصلى وراء عبد الرحمن بن عوف الركعة الثانية ثم سلم عبد الرحمن فقام رسول الله صلى الله عليه و سلم في صلاته ففزع المسلمون فأكثروا التسبيح لأنهم سبقوا النبي صلى الله عليه و سلم بالصلاة فلما سلم رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لهم ” قد أصبتم ” أو ” قد أحسنتم

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb yang berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus bin Yazid dari Ibnu Syihab yang berkata telah menceritakan kepadaku Abbad bin Ziyad bahwa Urwah bin Mughirah bin Syu’bah mengabarkan kepadanya yang mendengar dari ayahnya Mughirah yang berkata “Pada waktu perang Tabuk sebelum fajar Rasulullah SAW pernah menyimpang dari jalan maka aku turut menyimpang dari jalan menyertai beliau. Lalu Nabi SAW menghentikan kendaraan beliau, lalu beliau buang hajat. Setelah selesai, aku tuangkan ke tangan beliau air dari bejana. Beliau membasuh kedua telapak tangannya lalu mencuci muka. Kemudian beliau menyingsingkan kedua lengan jubah beliau yang terbuka dan terasa sempit, maka beliau memasukkan keduanya kembali kemudian mengeluarkan keduanya dari bawah jubah, lantas beliau membasuh kedua tangan sampai ke siku, dan mengusap kepala, lalu mengusap bagian atas khuf beliau. Setelah itu beliau naik kendaraan, dan kami meneruskan perjalanan, hingga kami mendapati orang-orang tengah mengerjakan shalat, mereka mengangkat Abdurrahman bin Auf sebagai imam, dia mengerjakan shalat bersama mereka pada awal waktunya dan kami mendapatkan Abdurrahman bin Auf telah mengerjakan satu rakaat Shalat Shubuh bersama mereka. Maka Rasulullah SAW datang dan masuk ke dalam barisan (shaf) bersama kaum Muslimin dan mengerjakan shalat di belakang Abdurrahman bin Auf untuk rakaat yang kedua. Setelah Abdurrahman salam, Nabi SAW berdiri menyempurnakan shalat. Maka tiba-tiba kaum Muslimin terkejut, kemudian mereka membaca “Subhaanallah”, karena mereka telah mendahului Nabi SAW dalam shalat. Setelah Rasulullah SAW shalat, beliau bersabda kepada mereka, “Kalian telah melakukan yang benar” atau “Kalian telah melakukan yang baik.” [Sunan Abu Dawud 1/85 no 149 dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani, diriwayatkan pula dalam Musnad Ahmad 4/244 no 18159, 4/274 no 18185, 4/294 no 18200 dinyatakan shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth].

Hadis di atas menunjukkan bahwa saat Perang Tabuk, Abdurrahman bin Auf pernah menjadi Imam shalat bagi kaum muslimin dan tidak diragukan lagi bahwa Abu Bakar termasuk orang yang ikut dalam Perang Tabuk. Sepertinya para sahabat lebih mengutamakan Abdurrahman bin Auf sebagai Imam daripada Abu Bakar. Sehingga dalam hal ini Abu Bakar telah berimam kepada Abdurrahman bin Auf. Apakah ini berarti Abdurrahman bin Auf lebih mulia atau lebih berilmu dari Abu Bakar?. Kemudian hal yang patut diperhatikan adalah Rasulullah SAW menjadi makmum di belakang Abdurrahman bin Auf dan beliau SAW tidak mengingkari perbuatan para sahabat yang lebih mengutamakan Abdurrahman bin Auf dari Abu Bakar, bahkan Beliau SAW mengatakan apa yang dilakukan sahabat itu sudah baik atau benar. Mari kita kembali bertanya kepada salafiyun, Apakah dalam hal ini keilmuan Rasulullah SAW lebih rendah dari Abdurrahman bin Auf?. Naudzubillah [kami berlindung kepada Allah SWT dari pendapat demikian].

Terakhir kita akan bawakan salah satu hadis Abu Bakar menjadi Imam shalat yang kami yakin akan membuat para salafiyun itu terdiam. Hadis tersebut adalah Rasulullah SAW ikut menjadi makmum di belakang Abu Bakar.

عن عائشة قال صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم خلف أبي بكر في مرضه الذي مات في قاعدا

Dari Aisyah yang berkata “Rasulullah SAW shalat di belakang Abu Bakar ketika sakit menjelang wafatnya sambil duduk” [Sunan Tirmidzi 2/196 no 362 dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani, Sunan Nasa’i no 786 dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani, Musnad Ahmad 6/159 no 25296 dimana syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “shahih menurut syarat Muslim”].

عن أنس قال صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم في مرضه خلف أبي بكر قاعدا في ثوب متوشحا به

Dari Anas yang berkata “Rasulullah SAW ketika sakit, shalat di belakang Abu Bakar sambil duduk dan berselimut dengan kain”. [Sunan Tirmidzi 2/197 no 363 dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani, Sunan Nasa’i no 785 dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani].

Hadis di atas menjadi bukti valid kebolehan seorang yang lebih utama untuk berimam pada orang yang lebih rendah keutamaannya. Bagi kita umat islam Rasulullah SAW adalah semulia-mulia manusia, orang yang paling mengetahui Al Qur’an dan As Sunnah dibanding Abu Bakar tetapi Beliau SAW pernah shalat menjadi makmum di belakang Abu Bakar. Apakah salafiyun itu akan berkata kalau keilmuan Abu Bakar yang menjadi imam lebih tinggi dari para makmumnya padahal Rasulullah SAW ada di dalamnya?. Naudzubillah [kami berlindung kepada Allah SWT dari pendapat yang demikian].

Kembali ke judul tulisan, kami sebelumnya telah membuktikan bahwa Imam Ali adalah sahabat yang paling berilmu diantara semua sahabat lain termasuk ketiga khalifah. Bukti yang kami tampilkan selain perkataan Imam Hasan adalah Hadis Tsaqalain. Hadis ini sebaik-baik bukti bahwa Imam Ali adalah Ahlul Bait yang menjadi pegangan bagi umat islam termasuk ketiga khalifah agar tidak tersesat. Hadis Tsaqalain adalah perkataan Rasulullah SAW yang menjadi hujjah keilmuan Imam Ali di atas semua sahabat tetapi tidak dimengerti oleh para pengingkar. Sedangkan Abu Bakar menjadi Imam shalat tidaklah menjadi hujjah keilmuan Abu Bakar di atas Imam Ali karena telah ma’ruf bahwa Rasulullah SAW sendiri manusia yang paling berilmu juga pernah bermakmum di belakang Abu Bakar.

Wallahu’alam.

_____________________________________ 

Keutamaan Imam Ali Sayyid Pemimpin Di Dunia dan Akhirat: Bukti Keutamaan Yang Lebih Tinggi Dari Abu Bakar dan Umar



Telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa Ali adalah Sayyid yaitu pemimpin atau penghulu di dunia dan juga di akhirat.

حدثنا أحمد بن عبد الجبار الصوفي قثنا أحمد بن الأزهر نا عبد الرزاق قال انا معمر عن الزهري عن عبيد الله بن عبد الله عن بن عباس قال بعثني النبي صلى الله عليه وسلم الى علي بن أبي طالب فقال أنت سيد في الدنيا وسيد في الآخرة من احبك فقد احبني وحبيبك حبيب الله وعدوك عدوي وعدوي عدو الله الويل لمن ابغضك من بعدي

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdul Jabbar Ash Shufi yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Al Azhar yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq yang berkata telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Az Zuhri dari Ubaidillah bin Abdullah dari Ibnu Abbas yang berkata “Nabi SAW mengutusku kepada Ali bin Abi Thalib lalu Beliau bersabda “Wahai Ali kamu adalah Sayyid [pemimpin] di dunia dan Sayyid [pemimpin] di akhirat. Siapa yang mencintaimu maka sungguh ia mencintaiku, kekasihmu adalah kekasih Allah dan musuhmu adalah musuhku dan musuhku adalah musuh Allah. Celakalah mereka yang membencimu sepeninggalKu [Fadhail Shahabah no 1092]

Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak Ash Shahihain no 4640, Al Khatib dalam Tarikh Baghdad 4/261, dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 42/292. Hadis di atas diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya dan sanadnya shahih tanpa keraguan
____________________________________

Masalah Mengenai Rasulullah Memerintahkan Abu Bakar Untuk Menjadi Imam Shalat


Az-Zuhri Berkata: Hamzah bin Abdullah bin Umar bercerita kepadaku bahwa Aisyah ra berkata: Tatkala sakit Rasulullah Saw bertambah parah, beliau bersabda: "Beritahukan orang-orang untuk segera mengangkat Abu Bakar sebagai Imam shalat bagi kaum Muslimin." Aku berkata: "Wahai Nabi Allah, Sesungguhnya Abu Bakar adalah sosok melankolis, bersuara rendah dan sering menangis-nangis apabila sedang membaca AL-Qur'an". Rasulullah tetap bersabda: "Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam shalat bagi muslimin". Aku memberi masukan seperti tadi kepada Rasulullah Saw, Kemudian beliau menanggapi: "Kalian hampir sama dengan sahabat-sahabat Yususuf, Segera Perintahkan Abu Bakar menjadi imam shalat bersama kaum Muslimin". Demi Allah, Aku tetap berkata seperti itu agar tugas imam tidak diserahkan kepada Abu Bakar dan karena aku tahu bahwa orang-orang tidak menyukai seseorang yang berdiri menggantikan tempat beliau serta bahwa mereka akan mencelanya apabila melakukan kesalahan. Aku ingin Agar tugas tersebut tidak dibebankan kepada Abu bakar" . 224

Ibnu Ishaq berkata: Ibnu Syihab berkata: Abdul Malik bin Abu Bakr bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam bercerita kepadaku, dari Ayahnya, dari Abdullah bin Zam'ah bin Al-Aswad bin Al-Muthalib bin Asad, ia berkata: "Tatkala sakit Rasulullah Saw semakin Parah, aku berada di tempat beliau bersama beberapa orang dari kaum Muslimin. Bilal Bin Rabah mengumandangkan adzan shalat, kemudian Rasulullah Saw bersabda: "Perintahkan seseorang untuk mengimami orang-orang untuk shalat". Aku segera keluar, ternyata Umar bin Khattab sudah berada di tengah-tengah kaum Muslimin. Aku berkata: "Wahai Umar, berdirilah dan imamilah orang-orang untuk shalat". Umar bin Khattab pun berdiri. Tatkala ia takbir Rasulullah Saw mendengar suara yang sangat lantang, kemudian beliau bersabda: "Dimana Abu Bakar? Allah dan kaum Muslimin tidak menginginkan ini semua". 225

Abu Bakar pun di cari. Setelah lama di cari akhirnya Abu Bakar datang lalu mengimami shalat kaum Muslimin. Umar bin Khattab bercerita kepdaku: "Sial Wahai anak Zam'ah, apa yang sebenarnya terjadi?

Demi Allah, tatkala engkau menyuruhku untuk menjadi imam kaum Muslimin, aku pikir Rasulullah Saw memerintahkan itu padamu. Andaikan aku tahu Rasulullah tidak menyuruhmu seperti itu, aku tidak akan menjadi imam kaum Muslimin". Aku berkata: " Demi Allah, Rasulullah tidak menyuruhku seperti itu. hanya saja tatkala aku tidak mendapatkan Abu Bakar, maka aku memandangmu sebagai orang yang paling pantas menjadi imam bagi kaum muslimin.

Referensi:
224. Muttafaq Alaihi. Pada Bukhari dihadits no. 664 sedangkan pada Muslim di hadits no. 418.
225. Hadits Hasan shahih diriwayatkan oleh Imam Abu Daud pada hadits no. 4660 dan Ahmad pada hadits no.12926. Al-Bani berkata dalam bukunya Shahih al-Sunan hadits ini Hasan Shahih.
_______________________________________

Abu Bakar Menjadi Imam Shalat Bukanlah Bukti Keilmuannya Lebih Tinggi Dari Imam Ali

Alhamdulillah, Allah SWT memberikan kemudahan di tengah kesibukan kami untuk menuliskan risalah kecil yang insya Allah bermanfaat bagi para pecinta Ahlul Bait. Beberapa waktu yang lalu salafiyun membantah bahwa keilmuan Imam Ali berada di atas ketiga khalifah dan sahabat lainnya. Hadis yang menjadi hujjah salafiyun adalah hadis Abu Bakar menjadi Imam shalat dimana menurutnya seorang Imam adalah yang paling berilmu, sehingga jika Abu Bakar menjadi imam maka ilmunya melebihi semua orang yang bermakmum padanya. Kesimpulan ini sangat jelas kekeliruannya karena berimamnya seseorang yang lebih mulia kepada orang yang lebih rendah keutamaannya adalah sesuatu yang ma’ruf dalam syariat. Kami akan menunjukkan hadis-hadis yang akan membungkam para salafiyun.

Abu Bakar RA sendiri diriwayatkan pernah bermakmum kepada salah seorang sahabat Nabi. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya:

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ لَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ الْعُصْبَةَ مَوْضِعٌ بِقُبَاءٍ قَبْلَ مَقْدَمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَؤُمُّهُمْ سَالِمٌ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ وَكَانَ أَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا

Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Mundzir yang berkata telah menceritakan kepada kami Anas bin ‘Iyadh dari Ubaidillah dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar yang berkata “Ketika kaum Muhajirin yang pertama tiba di ‘Ushbah sebuah tempat di Quba sebelum kedatangan Rasulullah SAW, mereka diimami oleh Salim maula Abu Hudzaifah dan dia adalah orang yang paling banyak hafalan Al Qur’annya. [Shahih Bukhari 1/140 no 692].

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي ابْنُ جُرَيْجٍ أَنَّ نَافِعًا أَخْبَرَهُ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ قَالَ كَانَ سَالِمٌ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ يَؤُمُّ الْمُهَاجِرِينَ الْأَوَّلِينَ وَأَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَسْجِدِ قُبَاءٍ فِيهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَأَبُو سَلَمَةَ وَزَيْدٌ وَعَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ

Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb yang mengabarkan kepadaku Ibnu Juraij bahwa Nafi’ mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu Umar mengabarkan kepadanya yang berkata “Salim maula Abu Hudzaifah mengimami Muhajirin yang pertama dan para sahabat Nabi SAW di masjid Quba dan diantara mereka terdapat Abu Bakar, Umar, Abu Salamah, Zaid dan Amir bin Rabi’ah. [Shahih Bukhari 9/71 no 7175]

Apakah sekarang salafiyun mau mengatakan kalau Abu Bakar lebih rendah keilmuannya dari Salim maula Abu Hudzaifah?. Ataukah akan dikatakan bahwa para sahabat lebih mendahulukan Salim daripada Abu Bakar?.

Pernah pula diriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Auf menjadi Imam shalat kaum muslimin di saat Perang Tabuk dimana Abu Bakar ikut didalamnya. Bahkan dalam riwayat tersebut disebutkan pula bahwa Rasulullah SAW juga bermakmum kepada Abdurrahman bin Auf. Diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunannya:

حدثنا أحمد بن صالح ثنا عبد الله بن وهب أخبرني يونس بن يزيد عن ابن شهاب حدثني عباد بن زياد أن عروة بن المغيرة بن شعبة أخبره أنه سمع أباه المغيرة يقول عدل رسول الله صلى الله عليه و سلم وأنا معه في غزوة تبوك قبل الفجر فعدلت معه فأناخ النبي صلى الله عليه و سلم فتبرز ثم جاء فسكبت على يده من الإداوة فغسل كفيه ثم غسل وجهه ثم حسر عن ذراعيه فضاق كما جبته فأدخل يديه فأخرجهما من تحت الجبة فغسلهما إلى المرفق ومسح برأسه ثم توضأ على خفيه ثم ركب فأقبلنا نسير حتى نجد الناس في الصلاة قد قدموا عبد الرحمن بن عوف فصلى بهم حين كان وقت الصلاة ووجدنا عبد الرحمنن وقد ركع بهم ركعة من صلاة الفجر فقام رسول الله صلى الله عليه و سلم فصف مع المسلمين فصلى وراء عبد الرحمن بن عوف الركعة الثانية ثم سلم عبد الرحمن فقام رسول الله صلى الله عليه و سلم في صلاته ففزع المسلمون فأكثروا التسبيح لأنهم سبقوا النبي صلى الله عليه و سلم بالصلاة فلما سلم رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لهم ” قد أصبتم ” أو ” قد أحسنتم

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb yang berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus bin Yazid dari Ibnu Syihab yang berkata telah menceritakan kepadaku Abbad bin Ziyad bahwa Urwah bin Mughirah bin Syu’bah mengabarkan kepadanya yang mendengar dari ayahnya Mughirah yang berkata “Pada waktu perang Tabuk sebelum fajar Rasulullah SAW pernah menyimpang dari jalan maka aku turut menyimpang dari jalan menyertai beliau. Lalu Nabi SAW menghentikan kendaraan beliau, lalu beliau buang hajat. Setelah selesai, aku tuangkan ke tangan beliau air dari bejana. Beliau membasuh kedua telapak tangannya lalu mencuci muka. Kemudian beliau menyingsingkan kedua lengan jubah beliau yang terbuka dan terasa sempit, maka beliau memasukkan keduanya kembali kemudian mengeluarkan keduanya dari bawah jubah, lantas beliau membasuh kedua tangan sampai ke siku, dan mengusap kepala, lalu mengusap bagian atas khuf beliau. Setelah itu beliau naik kendaraan, dan kami meneruskan perjalanan, hingga kami mendapati orang-orang tengah mengerjakan shalat, mereka mengangkat Abdurrahman bin Auf sebagai imam, dia mengerjakan shalat bersama mereka pada awal waktunya dan kami mendapatkan Abdurrahman bin Auf telah mengerjakan satu rakaat Shalat Shubuh bersama mereka. Maka Rasulullah SAW datang dan masuk ke dalam barisan (shaf) bersama kaum Muslimin dan mengerjakan shalat di belakang Abdurrahman bin Auf untuk rakaat yang kedua. Setelah Abdurrahman salam, Nabi SAW berdiri menyempurnakan shalat. Maka tiba-tiba kaum Muslimin terkejut, kemudian mereka membaca “Subhaanallah”, karena mereka telah mendahului Nabi SAW dalam shalat. Setelah Rasulullah SAW shalat, beliau bersabda kepada mereka, “Kalian telah melakukan yang benar” atau “Kalian telah melakukan yang baik.” [Sunan Abu Dawud 1/85 no 149 dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani, diriwayatkan pula dalam Musnad Ahmad 4/244 no 18159, 4/274 no 18185, 4/294 no 18200 dinyatakan shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth]

Hadis di atas menunjukkan bahwa saat Perang Tabuk, Abdurrahman bin Auf pernah menjadi Imam shalat bagi kaum muslimin dan tidak diragukan lagi bahwa Abu Bakar termasuk orang yang ikut dalam Perang Tabuk. Sepertinya para sahabat lebih mengutamakan Abdurrahman bin Auf sebagai Imam daripada Abu Bakar. Sehingga dalam hal ini Abu Bakar telah berimam kepada Abdurrahman bin Auf. Apakah ini berarti Abdurrahman bin Auf lebih mulia atau lebih berilmu dari Abu Bakar?. Kemudian hal yang patut diperhatikan adalah Rasulullah SAW menjadi makmum di belakang Abdurrahman bin Auf dan beliau SAW tidak mengingkari perbuatan para sahabat yang lebih mengutamakan Abdurrahman bin Auf dari Abu Bakar, bahkan Beliau SAW mengatakan apa yang dilakukan sahabat itu sudah baik atau benar. Mari kita kembali bertanya kepada salafiyun, Apakah dalam hal ini keilmuan Rasulullah SAW lebih rendah dari Abdurrahman bin Auf?. Naudzubillah [kami berlindung kepada Allah SWT dari pendapat demikian].

Terakhir kita akan bawakan salah satu hadis Abu Bakar menjadi Imam shalat yang kami yakin akan membuat para salafiyun itu terdiam. Hadis tersebut adalah Rasulullah SAW ikut menjadi makmum di belakang Abu Bakar.

عن عائشة قال صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم خلف أبي بكر في مرضه الذي مات في قاعدا

Dari Aisyah yang berkata “Rasulullah SAW shalat di belakang Abu Bakar ketika sakit menjelang wafatnya sambil duduk” [Sunan Tirmidzi 2/196 no 362 dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani, Sunan Nasa’i no 786 dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani, Musnad Ahmad 6/159 no 25296 dimana syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “shahih menurut syarat Muslim”].

عن أنس قال صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم في مرضه خلف أبي بكر قاعدا في ثوب متوشحا به

Dari Anas yang berkata “Rasulullah SAW ketika sakit, shalat di belakang Abu Bakar sambil duduk dan berselimut dengan kain”. [Sunan Tirmidzi 2/197 no 363 dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani, Sunan Nasa’i no 785 dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani].

Hadis di atas menjadi bukti valid kebolehan seorang yang lebih utama untuk berimam pada orang yang lebih rendah keutamaannya. Bagi kita umat islam Rasulullah SAW adalah semulia-mulia manusia, orang yang paling mengetahui Al Qur’an dan As Sunnah dibanding Abu Bakar tetapi Beliau SAW pernah shalat menjadi makmum di belakang Abu Bakar. Apakah salafiyun itu akan berkata kalau keilmuan Abu Bakar yang menjadi imam lebih tinggi dari para makmumnya padahal Rasulullah SAW ada di dalamnya?. Naudzubillah [kami berlindung kepada Allah SWT dari pendapat yang demikian].

Kembali ke judul tulisan, kami sebelumnya telah membuktikan bahwa Imam Ali adalah sahabat yang paling berilmu diantara semua sahabat lain termasuk ketiga khalifah. Bukti yang kami tampilkan selain perkataan Imam Hasan adalah Hadis Tsaqalain. Hadis ini sebaik-baik bukti bahwa Imam Ali adalah Ahlul Bait yang menjadi pegangan bagi umat islam termasuk ketiga khalifah agar tidak tersesat. Hadis Tsaqalain adalah perkataan Rasulullah SAW yang menjadi hujjah keilmuan Imam Ali di atas semua sahabat tetapi tidak dimengerti oleh para pengingkar. Sedangkan Abu Bakar menjadi Imam shalat tidaklah menjadi hujjah keilmuan Abu Bakar di atas Imam Ali karena telah ma’ruf bahwa Rasulullah SAW sendiri manusia yang paling berilmu juga pernah bermakmum di belakang Abu Bakar.
_____________________________________________

Kisah Abu Bakar Menjadi Imam Shalat Di Hari-hari Akhir Hidup Nabi saw. adalah Kisah Kepalsuan


Tak henti-hentinya saudara-saudara kami Ahlusunnah, dan khususnya yang Nawâshib di antara mereka, di antaranya adalah Pendiri Sekte Wahhabiyah dan kaum Wahabi …. Tak henti-hentinya mereka berdalil dengan kasus ditunjuknya Abu Bakar menjadi imam shalat di hari-hari akhir kehidupan Nabi saw. bahwa sebenarnya penunjukan itu oleh Nabi saw. adalah sebuah isyarat atau bahkan dianggap sebagai penunjukan samar/khafiy atas kekhalifahan Abu Bakar…

Akan tetapi, semua itu tidak berdasar… di sampan peristiwa penujukan itu adalah palsu!

Ibnu Abdil Wahhab berkata:

وما صح من أمره صلى الله عليه وسلم أبا بكر في مرض موته بإمامة الناس وهذا التقديم من أقوى إمارات حقيقة خلافة الصديق وبه إستدل أجلاء الصحابة كعمر وأبي عبيدة وعلي رضي الله عنهم أجمعين.

“Dan apa yang telah shahih bahwa Nabi saw. di waktu sakit kematiannya memerintah Abu Bakar untuk memimpin shalat. Dan pengajuan itu adalah isyarat terkuat akan hakikat Khilafahnya ash Shiddîq (Abu Bakar). Dan dengannya para pembesar sahabatseperti Umar, Abu Ubaid dan Ali ra. berdalil.”

Dalam blog haulasyiah, seorang pendekar Wahabiyah juga membanggakan dalil di atas dan mendendangkan nyanyian lama tanpa meneliti dan memerhatikan kepalsuannya… seakan mereka bersepakat untuk bergantung di atas lumut demi menyelamatkan doqma klasik mazhabnya…

Ust. Muhammad Umar As-Sewed berkata:
“Dalil-dalil yang menunjukkan akan adanya isyarat secara tidak langsung (bukan wasiat) dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang mengisyaratkan bahwa Abu Bakarlah yang lebih pantas menjadi khalifah sangat banyak. Isyarat-isyarat tersebut adalah sebagai berikut:

Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dipilih sebagai imam Shalat pengganti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam

Hadits-hadits yang menunjukkan diperintahkannya Abu Bakar untuk memimpin shalat menggantikan Rasulullah, shalallahu ‘alaihi wasallam sangat masyhur. Salah satu di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abi Musa radhiallahu ‘anhu berikut:

مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ فَاشْتَدَّ مَرَضُهُ فَقَال مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَقَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ رَقِيقٌ مَتَى يَقُمْ مَقَامَكَ لاَ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ فَقَالَ مُرِي أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَإِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ قَالَ فَصَلَّى بِهِمْ أَبُو بَكْرٍ حَيَاةَ رَسُولِ اللَّهِ. ]متفق عليه)

Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sakit parah beliau berkata: “Suruhlah Abu Bakar untuk mengimami manusia”. Maka berkatalah Aisyah: “Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang laki-laki yang amat perasa (mudah menangis). Bagaimana dia akan menggantikan kedudukanmu, dia tidak akan mampu untuk memimpin manusia”. Rasulullah berkata lagi: “Perintahkanlah Abu Bakar untuk mengimami manusia! Sesungguhnya kalian itu seperti saudara-saudaranya nabi Yusuf.”[1] Abu Musa berkata: maka Abu Bakar pun mengimami shalat dalam keadaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. (HR. Bukhari Muslim)”

Kemudina selanjutnya ia menyebutkan beberapa dalil yang telah kami bantah habis dalam edisi-edisi yang telah lewat.


Perhatikan Website Wahabi Disini:
http://haulasyiah.wordpress.com/2007/08/06/isyarat-rasulullah-abu-bakar-sebagai-khalifah-bantahan-syubuhat-syiah-ke-5/
*****

ISYARAT RASULULLAH ABU BAKAR SEBAGAI KHALIFAH, bantahan syubuhat syi’ah ke 5
Posted on Agustus 6, 2007 by haulasyiah

Pada edisi kali ini, akan kami sajikan adanya isyarat dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tentang penunjukan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah sepeninggal beliau shalallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini merupakan bukti dan penguat akan keabsahan beliau sebagai halifah sebagaimana telah kami sebutkan pada edisi 36. Isyarat ini sekaligus meruntuhkan syubhat dan kesesatan yang dilontarkan oleh Syi’ah Rafidlah yang meragukan keabsahan kekhalifahan beliau

Para ulama telah berbeda pendapat tentang bagaimana pengangkatan Abu Bakar ash-Shidiq sebagai khalifah. Apakah pengangkatan tersebut ditentukan dengan nash secara langsung dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam atau dilakukan dengan musyawarah antara kaum muslimin. Sebagian ulama berpendapat bahwa pengangkatan beliau sebagai khalifah ada lah hasil dari musyawarah dari kaum muslimin ketika itu.

Sedangkan Hasan al-Bashri dan sebagian para ulama dari kalangan ahlul hadits berpendapat bahwa terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah adalah dengan nash yang samar dan isyarat dari rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. (Lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 471)

Dalil-dalil yang menunjukkan akan adanya isyarat secara tidak langsung (bukan wasiat) dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang mengisyaratkan bahwa Abu Bakarlah yang lebih pantas menjadi khalifah sangat banyak. Isyarat-isyarat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dipilih sebagai imam Shalat pengganti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Hadits-hadits yang menunjukkan diperintahkannya Abu Bakar untuk memimpin shalat menggantikan Rasulullah, shalallahu ‘alaihi wasallam sangat masyhur. Salah satu di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abi Musa radhiallahu ‘anhu berikut:

مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ فَاشْتَدَّ مَرَضُهُ فَقَال مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَقَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ رَقِيقٌ مَتَى يَقُمْ مَقَامَكَ لاَ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ فَقَالَ مُرِي أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَإِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ قَالَ فَصَلَّى بِهِمْ أَبُو بَكْرٍ حَيَاةَ رَسُولِ اللَّهِ. ]متفق عليه)

Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sakit parah beliau berkata: “Suruhlah Abu Bakar untuk mengimami manusia”. Maka berkatalah Aisyah: “Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang laki-laki yang amat perasa (mudah menangis). Bagaimana dia akan menggantikan kedudukanmu, dia tidak akan mampu untuk memimpin manusia”. Rasulullah berkata lagi: “Perintahkanlah Abu Bakar untuk mengimami manusia! Sesungguhnya kalian itu seperti saudara-saudaranya nabi Yusuf”. Abu Musa berkata: maka Abu Bakar pun mengimami shalat dalam keadaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. (HR. Bukhari Muslim)

2. Perintah untuk meneladani Abu Bakar radhiallahu ‘anhu.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

اقْتَدُوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ… (رواه الترمذي والحاكم وصححه الألباني في الصحيحة: 1233)

Teladanilah dua orang setelahku, Abu Bakar dan Umar… (HR. Tirmidzi dan Hakim, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1233).

Syaikh Albani menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan dari beberapa shahabat, seperti Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah Ibnul Yaman, Anas bin Malik dan Abdullah bin Umar. Hadits ini juga dikeluarkan oleh banyak pakar-pakar ahlul hadits seperti Tirmidzi, Hakim, Ahmad, Ibnu Hibban, ath-Thahawi, al-Humaidi, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abi ‘Ashim, Abu Nu’aim, Ibnu Asakir dan lain-lain. (Lihat Silsilah Ahadits ash-Shahihah, juz 3 hal. 234, hadits no. 1233)

3. Abu Bakar adalah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Disebutkan dalam suatu riwayat dari ‘Amr bin ‘Ash:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ بَعَثَهُ عَلَى جَيْشِ ذَاتِ السَّلاَسِلِ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ عَائِشَةُ قُلْتُ مِنَ الرِّجَالِ قَالَ أَبُوهَا قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ عُمَرُ فَعَدَّ رِجَالاً. )رواه البخاري ومسلم)

Bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengutus Abu Bakar memimpin pasukan dalam perang dzatu tsalatsil. Aku mendatangi Rasulullah dan bertanya kepada beliau: “Siapakah orang yang paling engkau cintai?” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Aisyah.” Aku berkata: “Dari kalangan laki-laki wahai Rasululah?” Beliau menjawab: “Ayahnya”. Aku berkata: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Umar”. Kemudian beliau menyebutkan beberapa orang. (HR. Bukhari dalam Fadhailil A’mal, fathul Bari juz ke 7, hal. 18 dan Muslim dalam Fadhailus Shahabah juz ke-4 hal. 1856 no. 2384)

4. Abu Bakar dijadikan wakil menggantikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Diriwayatkan dari Jubair bin Muth’im, dia berkata:

أَتَتِ امْرَأَةُ النَّبِيَّ فَأَمَرَهَا أَنَ تَرْجِعَ إِلَيْهِ قَالَتْ أَرَأَيْتَ إِنْ جِئْتُ وَلَمْ أَجِدْكَ كَأَنَّهَا تَقُوْلُ الْمَوْتَ قَالَ إِنْ لَمْ تَجِدِيْنِيْ فَأْتِي أَبَا بَكْرٍ. (رواه البخاري)

Datang seorang wanita kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, maka Rasulullah menyuruhnya untuk datang kembali. Maka wanita itu mengatakan: “Bagaimana jika aku tidak mendapatimu?” –seakan-akan wanita itu memaksudkan jika telah meninggalnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau menjawab: “Jika engkau tidak mendapatiku, maka datangilah Abu Bakar”. (HR. Bukhari 2/419; Muslim, 7/110; lihat ظلال الجنة hal. 541-542, no. 1151).

Hadits ini merupakan isyarat yang jelas dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa yang akan menggantikan dirinya sepeninggal beliau adalah Abu Bakar ash-Shidiq radhiallahu ‘anhu.

5. Rencana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menuliskan wasiat kepada Abu Bakar radhiallahu ‘anhu

Lebih tegas lagi ketika Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam sakit, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada ‘Aisyah untuk memanggil ayahnya, Abu Bakar, untuk diberikan wasiat kepadanya. Tetapi kemudian beliau mengatakan: “Allah dan kaum mukminin tidak akan ridla, kecuali Abu Bakar”. Lihatlah riwayat lengkapnya sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ: ادْعِي لِي أَبَا بَكْرٍ أَبَاَكِ وَأَخَاكِ، حَتَّى أَكْتُبُ كِتَابًا، فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَتَمَنَّى مُتَمَنٍّ، وَيَقُوْلُ قَائِلُ: أَنَا أَوْلَى، وَيَأْبَى اللهُ وَالْمُؤْمِنُوْنَ إِلاَّ أَبَا بَكْرٍ.

Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anhuا, ia berkata; berkata kepadaku Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Panggillah Abu Bakar Bakar, Ayahmu dan saudaramu, sehingga aku tulis satu tulisan (wasiat). Sungguh aku khawatir akan ada seseorang yang menginginkan (kepemimpinan –pent.), kemudian berkata: “Aku lebih utama”. Kemudian beliau bersabda: “Allah dan orang-orang beriman tidak meridlai, kecuali Abu Bakar”. (HR. Muslim 7/110 dan Ahmad (6/144); Lihat Ash-Sha-hihah, juz 2, hal. 304, hadits 690)

Dalam riwayat ini jelas, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menghendaki dengan isyaratnya beliau bahwasanya Abu Bakar radhiallahu ‘anhu lah yang lebih layak menjadi khalifah sepeninggalnya. Tetapi beliau tidak jadi menulis wasiatnya, karena beliau yakin kaum mukminin tidak akan berselisih terhadap penunjukkan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah. Dan hal ini terbukti, setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam wafat, kaum muslimin sepakat untuk menunjuk Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah.

6. Abu Bakar adalah orang terdekat dan kekasih Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ جَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ عَبْدٌ خَيَّرَهُ اللَّهُ بَيْنَ أَنْ يُؤْتِيَهُ زَهْرَةَ الدُّنْيَا وَبَيْنَ مَا عِنْدَهُ فَاخْتَارَ مَا عِنْدَهُ فَبَكَى أَبُو بَكْرٍ وَبَكَى فَقَالَ فَدَيْنَاكَ بِآبَائِنَا وَأُمَّهَاتِنَا قَالَ فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ هُوَ الْمُخَيَّرُ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ أَعْلَمَنَا بِهِ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ إِنَّ أَمَنَّ النَّاسِ عَلَيَّ فِي مَالِهِ وَصُحْبَتِهِ أَبُو بَكْرٍ وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً وَلَكِنْ أُخُوَّةُ اْْلإِ سْلاَمِ لاَ تُبْقَيَنَّ فِي الْمَسْجِدِ خَوْخَةٌ إِلاَّ خَوْخَةَ أَبِي بَكْرٍ. (متفق عليه)

Dari Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk di atas mimbar, beliau bersabda: “Allah memberikan pilihan kepada seorang hamba antara diberi keindahan dunia atau apa yang ada di sisi-Nya. Maka hamba tersebut memilih apa yang ada di sisi-Nya. Maka Abu Bakar pun menangis seraya berkata: bapak-bapak dan ibu-ibu kami sebagai tebusan wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Abu Sa’id berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam itulah hamba yang diberi pilihan tersebut dan ternyata Abu Bakar adalah orang yang paling tahu di antara kami. Maka bersabdalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya manusia yang paling berjasa kepadaku dengan harta dan jiwanya adalah Abu Bakar. Kalau aku mengambil seorang kekasih, niscaya aku akan mengambil Abu Bakar sebagai khalil (kekasih), tetapi persaudaraan Islam lebih baik. Tidak tersisa masjid satu pintu pun, kecuali pintunya Abu Bakar. (HR. Bukhari dengan Fathul Bary, juz 7, hal. 359, hadits 3654; Muslim dengan Syarh Nawawi, juz 15 hal. 146, hadits 6120).

Al-Khullah adalah kecintaan yang paling tinggi. Para ulama menyatakan bahwa derajat khullah lebih tinggi dari tingkatan mahabbah. Oleh karena itu seorang yang disebut sebagai khalil, lebih tinggi kedudukannya daripada habib. Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah bahwa Allah hanya mengambil dua orang manusia sebagai khalil, yaitu nabi Ibrahim dan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan masalah mahabbah Allah sering menyebutkan dalam al-Qur’an, Allah mencintai orang-orang yang beriman, sabar, berjihad di jalan-Nya dan lain-lain.

Oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyatakan kalau saja beliau menjadikan khalil, maka niscaya Abu Bakarlah orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Abu Bakar adalah orang yang terdekat dan paling dicintai oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Hanya saja beliau shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mengambil khalil dari kalangan manusia.

Dengan disebutkannya beberapa isyarat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam di atas cukuplah kiranya menjadi hujjah yang tegas bahwa Abubakar adalah seorang yang paling layak menjadi khalifah. Dan kekhalifahannya adalah sah, tidak ada yang menyelisihi kecuali orang-orang yang dalam hatinya adanya penyakit.

Namun perlu diketahui bahwa pendapat ahlus sunnah ini adalah pernyataan yang keluar dari hujjah yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah secara ijma’, hal ini sama sekali tidak keluar dari kebencian kepada ahlul bait. Adapun tentang keutamaan ahlul bait, insya Allah akan kami bahas pada edisi mendatang.

Wallahu a’lam

Ust. Muhammad Umar As-Sewed
Nikuli dari: Buletin Manhaj Salaf Cirebon

*****
Ibnu Jakfari berkata:
Setelah penelitian panjang terhadap riwayat-riwayat yang dijadikan dalil oleh Syeikh Ibnu Abdil Wahhabdan kaum nawâshib Wahhâbiyah, dan pembuktian bahwa dalil-dalil tersebut tidak mampu bertahan di hadapan kritik dan pembuktian akan kepalsuannya, maka di sini tidak tersisa dari dalil yang diandalkan Syeikh kecuali berhujjah dengan shalat Abu Bakar di hari-hari akhir hidup Nabi saw. … Dan adapun klaimnya bahwa para pembesar sahabat, di antaranya Imam Ali as. telah berhujjah dengannya untuk membuktikan keabsahan Khilafah Abu Bakar adalah sebuah kepalsuan lain yang tidak akan mampu ia buktikan di hadapan kajian ilmiah… ia hanya sebuah kepalsuan yang diatas namakan Imam Ali as. oleh para pemalsu yang sektarian demia membela doktrin mazhabnya. Sebab jika benar, lalu mengapa Imam Ali as. enggan memberikan baiat untuk Abu Bakar bahkan menentangnya selamma enam bulan, seperti diriwayatkan dalam berbagai riwayat shahih, di antaranya oleh Imam Bukhari?!

Semua itu tidak berdasar, dan hanya kepalsuan belaka!!

Adapan mengaitkan-ngaitkan antara menjadi imam shalat (yang disitilahkan dengan imamah shughrâ) dengan kekhalifahan (yang disitilahkan dengan imamah kubrâ) adalah kesimpulan yang mengada-ngada, dan hanya dilontarkan oleh kaum jahil yang tidak mengerti permasalahan Khilafah/Imamah Kubra dalam teoloqi Islam, khususnya teoloqi Ahlusunnah wal Jama’ah! Sebab:
Pertama: Para ulama Sunni sendiri telah mengakui tidak adanya relevansi antara menjadi imam dalam shalat dan menjabat sebagai Khalifah, sebab ia adalah dua masalah yang sangat berbeda dalam segala seginya termasuk dalam syarat-syarat yang dibutuhkan oleh masing-masing. Ibnu Hazm telah mengakui kenyataan ini, ia berkomentar, “Adapun orang yang mengklaim bahwa Abu Bakar diajukan menjadi Khalifah karena diqiyas karena ia diajukan sebagai imam dalam shalat maka ia adalah batil/salah secara pasti, bâthilun biyaqînin. Sebab tidak setiap yang berhak menjkadi imam dalam shalat ia berhak menjadi Khalifah. Yang berhak menjadi imam dalam shalat adaalah yang paling bagus qira’atnya, walaupun ia seorang ajami (non Arab) ataupun orang Arab, sementara tidak berhak menjabat sebagai Khalifah kecuali seorang dari suku Quraisy. Bagaimana akan diqiayaskan antara keduanya, semantara qiyas itu seluruhnya batil.”[2]

Selain Ibnu Hazm, Syeikh Abu Zuhrah –seorang tohok ulama Azhar- juga menolak prinsip relasi tersebut, ia berkata, “Sebagian dari mereka berkata, ‘Nabi saw. telah merelakan ia menjadi imam dalam urusan akhirat kita (shalat), lalu apakah kita tidak meralakannya menjadi imam dalam urusan dunia kita?!’. Akan tetapi ia memaksa adalah relasi yang tidak berdasar, sebab politik (mengurus) urusan dunia berbeda dengan urusan ibadah. Maka dengan demikian isyarat itu tidaklah jelas mengandung penunjukan. Selain itu, dalam rapat di Saqifah yang di dalamnya terjadi persaingan tidak sehat antara kaum Muhajirin dan Anshar dalam memperebutkan jabatan Khilafah tidak seorang pun berdalil dengan dalil tersebut. Yang jelas mereka tidak meyakini adanya relasi antara imamah shalat dan jabatan kepemimpinan umat Islam (Khalifah/Imamah Kubrâ).”[3]

Kedua: Dalam fikih Ahlusunnah tidak memberi perhatian dalaam kualitas seorang imam dalam shalat, sebab seorang yang fajir sekalipun boleh dan sah menjadi imam shalat sementara makmunya orang-orang shaleh, waliyullah. Para ulama Ahlusunnah berdalil dengan sabda Nabi saw. yang mereka akui keshahihannya, “Shalatlah di belakang seorang yang barr/baik mapun yang fajir/jahat/derjana.” Sebagaimana mereka juga berdalil dengan bermakmumnya para pembesar sahabat di belakang Walîd ibn ‘Uqbah ketika memimpin shalat dalammkeadaan mabok berat di masa ketika ia menjadi gubernur wilayah Kufah di masa kepemimpinan Khalifah Utsman ibn Affan.

Andai menjadi imam dalam shalat adalah bukti legalitas kekhalifahan seorang pastilah Salim maula Abu Hudzaifah, Amar ibn ‘Âsh dan Abdurrahman ibn ‘Auf lebih berhak menjadi Khalifah sebab mereka pernah memimpin shalat dan di antara yang menajdi makmun adalah Abu Bakar![4] Sementara itu dalam riwayat-riwayat Ahlusunnah Abu Bakar kemudian mundur setelah kedatangan Nabi saw. ke dalam masjid dan menggantikannya menjadi imam shalat![5]

Abu Bakar Tidak Menjadi Imam Dalam Shalat Tersebut!

Seluruh riwayat yang mengisahkan peristiwa tersebut menegaskan bahwa beberapa saat setelah Abu Bakar memimpin shalat, Nabi saw. segera keluar bergegas menuju masjid dengan dipanggul Imam Ali as. dan al Fadhl putra Abbas ra. atau Abas sendiri dalam keadaan sakit parah sehingga kedua kaki suci beliau tidak menginjak ke tanah, kemudian beliau yang memimpin shalat dan menyingkirkan Abu Bakar dari posisinya sebagai imam shalat!

Jadi jika benar Nabi saw. yang memerintah Abu Bakar untuk menjadi imam shalat, mengapakah kemudian beliau memaksa diri bangkit menuju masjid dan menyingkirkan Abu bakar dari posisinya?! Bukankah kebangkitan Nabi saw. menuju masjid dalam keadaan seperti itu ingin menepis anggapan bahwa beliaulah yang memerintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dalam shalat!

Sibthu Ibn Jauzi telah menulis sebuah buku untuk membuktikan bahwa Abu Bakar tidak menjadi imam dalam shalat pada kasus tersebut. Dalam buku tersebut ia menyusun tiga bab, pertama pembuktian bahwa Nabi saw. keluar menuju masjid dan menyingkirkan Abu Bakar, kedua pembuktian adanya ijma dari Abu Hanifa, Malik, Syafi’i dan Ahmad tentang hal tersebut, ketiga, pembuktian kelemahan riwayat yang mengatakan bahwa Abu bakar lah yang menjadi imam dalam shalat tersebut. Dan ia mensifati yang mengatakannya sebagai gedil dan mengikuti hawa nafsu.

Ibnu Hajar al Asqallani –penutup para huffâdz- juga menegaskan bahwa Abu Bakar tidak menjadi imam dalam shalat itu. Ia berkata, “Telah banyak sekali riwayat dari Aisyah dengan tegas menunjukkan bahwa yang menjadi imam dalam shalat tersebut adalah Nabi saw.”[6]

Jadi andai mereka berdalil dengan shalatnya Abu Bakar sebagai bukti keabsahan Khilafahnya, niscaya orang lain dapat berdalil dengan disingkirkannya Abu Bakar dari posisinya sebagai imam shalat adalah isyarat kuat bahwa ia sama sekali tidak memiliki kelayakan untuk menjadi imam shalat apalagi menjadi Khalifah!

Keempat: Bukti-bukti otentik mengatakan bahwa Abu Bakar saat itu termasuk yang diperintah Nabi saw. untuk bergabung dengan tentara di bawah komandan Usamah ibn Zaid. Jadi tidak mungkin Nabi saw. yang memerintah Abu Bakar untuk menjadi imam shalat ketika itu![7]

Kelima: Andai dalil yang mereka banggakan itu shahih dan sempurna sanad dan matan dalam pandangan Ahlusunnah, maka itu masih belum cukup, -seperti sering saya tegaskan- sebab ia hanya diriwayatkan oleh ulama Ahlusunnah sendiri, ulama Syi’ah tidak pernah meriwayatkannya dan tidak pula pernah menshahihkannya… Sementara kebutuhan mereka dalam membela keabsahan Khilafah Abu Bakar adalah dalam menghadapi hujatan ulama Syi’ah, lalu bagaimana dalam mempertahankan dan/atau membuktikannya, mereka (Ahlusunnah) berhujjah dengan dalil sepihak? Bukankah yang demikian itu menyalai etika berdialoq?


Al Khulashah

Jadi apa yang sedang mereka banggakan adalah gugur dengan sendirinya. Dan dengan gugurnya dalil-dalil yang mereka banggakan dan mereka andalkan dalam menegakkan keabsahan khilafah Abu Bakar maka runtuhlah pilar mazhab mereka yang mereka tegakkan di atasnya!!

Walhandu Lihhahi….

Referensi:
[1] Terjemahan hadis di atas oleh ustadz Wahabi bernama Muh. Umar as Sewed adalah salah, sebab kata shawâhib dengan wazan (bentuk kata) fawâ’il menunjukkan perempuan… jadi tidak benar jika diterjemahkan dengan: saudara-saudaranya nabi Yusuf. Akan tetapi yang dimaksud dengannya adalah wanita-wanita yang mengganderungi Nabi Yusuf as. Tapi tak mengapalah kesalahan itu, dan saya tidak akan mengatakan bahwa ia diakibatkan karena sang ustadz pujaan kaum Wahabi itu baru belajar bahasa Arab…. Sebab bisa jadi beliau adalah pakar dalam bahasa Arab, namun kali ini tergelincir… Semoga tidak keseleo atau patah tulang dalam ketergelincirannya kali ini!! Amîn.
[2] Al Fishal Fi al Milal wa an Nihal,4/109.
[3] Tarikh al Madzâhib al Islamiyah:23.
[4]Lebih lanjut baca Shahih Bukhari, Kitabul Ahkâm, Bab Istiqshâul Mawâli wa Isti’mâlihim,9/88, Shahih Muslim, Bab al Mashu ‘ala al Imamah1/230, Musnad Imam Ahmad,4/248, 250 dan 251, Sunan Abu Daud,1/37, Sunan Ibnu Mâjah,1/392, Sunan an Nasa’i, 1/77, Bab Kaifa al Mashu ‘Ala al Imamâh, Sirah Ibn Hisyâm,4/272, Sirah Ibn Katsir,3/513 pada bab peperangan Dzatus Salâsil.
[5] Shahih Bukhari, Bab man Dakhala Liyaummu an Nâsa Fa jâa al Imam fa Yataakhkhara al awal,1/174
[6] Fathu al Bâri,2/123.
[7] Fathu al Bâri,8/124, ath Thabaqât al Kubrâ; Ibnu Sa’ad,4/66, Tarikh al Ya’qûbi,2/77, Tarikh al Khamîs,2/154 dll.
_______________________________________

Abu Bakar, pada waktu Rasul sedang sakit, berada di bawah komando Usamah di Jurf, di luar kota Madinah, dan Rasul mengutuk barangsiapa yang meninggalkan ekspedisi Usamah.. Bagaimana mungkin Rasul memerintahkan Anu Bakar dan Umar menjadi imam shalat ? karena :
1. Abu Bakar, pada waktu Rasul sedang sakit, berada di bawah komando Usamah di Jurf, di luar kota Madinah, dan Rasul mengutuk barangsiapa yang meninggalkan ekspedisi Usamah.. Bagaimana mungkin Rasul memerintahkan Anu Bakar dan Umar menjadi imam shalat ?
2. Ada hadis diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, yang berasal dari ummu’lmu’minin ‘A’isyah, yang berkata: ‘Rasul Allah wafat sementara Abu Bakar berada di Sunh suatu tempat di luar Madinah, dan ‘Umar berkata, ‘Demi Allah, (Nabi) tidak wafat’… ‘ Ini menunjukkan bahwa Abu Bakar sama sekali tidak hadir pada shalat dzhuhur di Masjid Nabi pada hari wafatnya Rasul. Bagaimana mungkin Rasul memerintahkan Abu Bakar mengimami shalat itu, sedang ia berada di Sunh ?
3. Hadis yang berasal dari ummu’lmu’minin Aisyah itu juga mengandung banyak pertentangan. Pertama yang diriwayatkan oleh Amasy, bahwa ‘A’isyah berkata, ‘Nabi shalat sambil duduk di sebelah kiri Abu Bakar’, seperti tercantum dalam Sahih Bukhari (Shahih Bukhari, bab “Arrajulu ya’tammu bi’l imam wa ya’tammuna nas bi’l ma’mum”, jilid 1, hlm. 91.) dan di bagian lain yang diriwayatkan oleh alAswad, ummu’lmu’minin Aisyah berkata bahwa ‘Rasul shalat duduk di samping Abu Bakar’. Dan di bagian lain lagi ummu’l mu’minin disebutkan sebagai telah berkata bahwa Nabi, tatkala beliau sedang sakit, ‘shalat sambil duduk di sebelah kanan Abu Bakar yang shalat sambil berdiri’.
4. Hadis di atas bertentangan dengan hadis Shahih Bukhari, yang berbunyi: ‘Sesungguhnya imam itu dijadikan pemimpin untuk diikuti; kalau imam shalat sambil duduk, maka seluruh jemaah harus shalat sambil duduk’ ( Shahih Bukhari, bab “Iqamah ash Shaff min Tamam ashShalah”, jilid 1, hlm. 87. ) . Oleh karena itu maka bila Rasul, sebagai imam, shalat duduk, maka Abu Bakar sebagai makmum juga harus duduk. Ini menunjukkan lemahnya hadis tersebut.
5. Kalau nilai imam shalat demikian pentingnya, dan Abu Bakar betul ditunjuk sebagai imam shalat tatkala Rasul sedang sakit, maka tentulah Abu Bakar telah mengemuka kannya di Saqifah.
6. Semua ulama sunni sependapat atas hadis Nabi: ‘Shalatlah di belakang orang orang yang baik maupun orang orang jahat’.
7. Kemudian, riwayat itu berbunyi: ‘Sesungguhnya Abu Bakar shalat mengikuti Nabi, dan jemaah shalat mengikuti Abu Bakar’. Maka, siapakah sebenarnya yang menjadi imam? Kalau Abu Bakar yang menjadi imam, tidak mungkin ia shalat mengikuti Rasul; kalau Rasul Allah yang menjadi imam, maka tidak mungkin jemaah shalat mengikuti Abu Bakar. Maka dikatakanlah bahwa Rasul shalat duduk sebagai imam, dan jemaah tidak dapat melihat rukuk dan sujudnya, sehingga harus mendengar dan melihat Abu Bakar yang shalat berdiri. Tetapi ini bertentangan dengan hadis Nabi dalam Shahih Bukhari, bahwa kalau imam duduk maka makmum juga harus duduk. Hadis hadis yang berasal dari ummu’lmuminin ‘A’isyah ini berisi banyak pertentangan.
8. Apabila kita ingat bahwa pada waktu itu Rasul Allah memerlukan keluar Masjid untuk shalat, dengan digotong oleh ‘Ali bin Abi Thalib dan Fadhl bin ‘Abbas sampai ‘kaki beliau tidak menyentuh tanah’, seperti disepakati oleh semua, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Rasul tidaklah menunjuk seseorang untuk menjadi imam shalat. Hadis hadis yang disebut di atas jelas muncul agaknya dibuat karena argumentasi bahwa pengangkatan Abu Bakar merupakan ijma’ sukar dipertahankan.
9. Rasul keluar dengan maksud menjadi imam untuk membuktikan kepada istri istri Nabi (‘A’isyah putri Abu Bakar dan Hafshah putri ‘Umar), bahwa beliau tidak menunjuk siapa pun untuk menjadi imam shalat; sebab, sebagaimana dapat kita simpulkan dari hadis hadis tersebut yang meminta Rasul mengangkat Abu Bakar dan ‘Umar menjadi imam shalat adalah ‘Aisyah dan Hafshah; dan hadis hadis yang disampaikan kemudian terbanyak berasal dari Aisyah.
10. Tentang siapa yang meminta Rasul menyuruh Abu Bakar menjadi imam. Sebagian mengatakan ‘ummu’lmuminin Aisyah yang melakukannya sebanyak tiga kali atau lebih, sebagian mengatakan bahwa ‘A’isyah meminta pada Rasul, melalui Hafshah (ummu’lmu’minin, anak ‘Umar bin Khaththab), sekali atau dua kali, dan tatkala Rasul menghardik, Hafshah berkata kepada ‘Aisyah, ‘Belum pernah aku mendapat kebaikan dari Anda’. Mengenai shalat itu sendiri; sebagian mengatakan shalat ‘ashr, sebagian mengatakan shalat ‘isya, dan sebagian lagi shalat shubuh.
______________________________________

Pembaiatan oleh imam ‘Ali bukanlah pengakuan akan keabsahan Abu Bakar …Baiat ‘Ali terhadap Abubakar karena Kaum Muslimin Meminta Hal Tersebut Sebagai Syarat Agar Mereka Mau memerangi sebagian kabilah Arab yang MURTAD.. Abubakar dan Umar Tidak Memberi peluang Kelompok Imam Ali menghimpun kekuatan


Syi’ah berpendapat bahwa Ali adalah khalifah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad, dan sudah ditunjuk oleh Beliau atas perintah Allah di Ghadir Khum. Syi’ah meninggikan kedudukan Ali,

Menurut riwayat dari Al-Ya’qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan suatu peristiwa sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke Madinah seusai menunaikan ibadah haji ( Hijjatul-Wada’),malam hari Rasulullah saw bersama rombongan tiba di suatu tempat dekat Jifrah yang dikenal denagan nama “GHADIR KHUM.” Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Ia keluar dari kemahnya kemudia berkhutbah di depan jamaah sambil memegang tangan Imam Ali Bin Abi Tholib r.a.Dalam khutbahnya itu antara lain beliau berkata : “Barang siapa menanggap aku ini pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.Ya Allah, pimpinlah orang yang mengakui kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya”.

Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi Ahlul Baitdan pengikutnya, Ali mem-bai’at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat.

Sahabat Nabi  SAW ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.


Imam Ali AS berbai’at kepada Abubakar setelah USMAN bin AFFAN menyatakan : “tidak seorangpun mau bergabung dalam lasykar muslim untuk memerangi kaum MURTAD kalau anda tidak berbai’at kepada ABUBAKAR”...

Jadi Imam Ali menjaga keutuhan Islam dari kepunahan !!!


Sepeninggal Rasulullah memang banyak kaum muslimin yang kembali ke agamanya semula. Karena Nabi Muhammad, pimpinan mereka, sudah wafat, mereka merasa berhak berbuat sekehendak hati. Bahkan muncul orang-orang yang mengaku Nabi, antara lain Musailamah Al-Kadzab, Thulaiha Al-Asadi, dan Al-Aswad Al-Ansi.Kemurtadan saat itu terjadi di mana-mana dan menimbulkan kekacauan. Untuk itu Abu Bakar mengirim 11 pasukan perang dengan 11 daerah tujuan. Antara lain, pasukan Khalid bin Walid ditugaskan menundukkan Thulaiha Al-Asadi, pasukan ‘Amer bin Ash ditugaskan di Qudhla’ah. Suwaid bin Muqrim ditugaskan ke Yaman dan Khalid bin Said ditugaskan ke Syam.Menurut riwayat Ibnu Jarir dari Qatadah, dia menceritakan bahwa setelah Allah menurunkan ayat ini, diketahuilah bahwa akan terjadi beberapa kelompok manusia akan murtad, yaitu keluar dari agama Islam. Peristiwa itu kemudian benar-benar terjadi, ketika Nabi Muhammad saw. berpulang ke rahmatullah, maka pada waktu itu murtadlah sebagian orang dari Islam, terkecuali dari tiga tempat, yaitu penduduk Madinah,penduduk Mekah dan penduduk Bahrain.


Peristiwa terjadinya orang-orang murtad ini sudah banyak sekali. Di dalam sejarah disebutkan bahwa pada masa Nabi Muhammad saw. masih hidup telah terjadi tiga kali peristiwa orang-orang murtad, yaitu:

A. Golongan Bani Mudhij yang dipelopori oleh Zulkhimar, yaitu Al-Aswad Al-Ansy seorang tukang tenung. Dia mengaku sebagai nabi di negeri Yaman, akhirnya dia dihancurkan Allah, dibunuh oleh Fairuz Ad-Dailami.

B. Golongan Bani Hanifah, yaitu kaum Musailamah Al-Kazzab. Musailamah mengaku dirinya sebagai nabi. Pernah dia berkirim surat kepada Nabi Muhammad saw. mengajak beliau untuk membagi dua kekuasaan di negeri Arab. Dia memerintah separoh negeri dan Nabi Muhammad saw. memerintah yang separoh lagi. Nabi Muhammad saw. membalas suratnya itu dengan mengatakan bahwa bumi ini adalah kepunyaan Allah dan Allah akan mempusakakan bumi ini kepada siapa yang dikehendaki di antara hamba-Nya dan bahwa kemenangan terakhir akan berada pada orang yang bertakwa kepada-Nya. Akhirnya Musailamah diperangi oleh Khalifah Abu Bakar dan ia mati dibunuh oleh Wahsyi yang dulu pernah membunuh Hamzah, paman Nabi pada perang Uhud.

C. Golongan Bani Asad, pemimpinnya bernama Tulaihah bin Khuwailid, dia juga mengaku dirinya menjadi nabi, maka Aba Bakar memerangi dengan memberitahukan Khalid bin Walid untuk membunuhnya. Dia mundur dan lari ke negeri Syam dan akhirnya dia kembali menjadi seorang muslim yang baik.
banyak benar terjadi golongan-golongan yang murtad terdiri dari 7 golongan, yaitu:1. Ghathafan2. Bani Khuza`ah3. Bani Salim4. Bani Yarbu’5. Sebagian Bani Tamim6. Kindah7. Bani Bakr
Salam dan Solawat.

Ada dua pilihan bagi Imam Ali :
1. Memerangi Abubakar cs dengan resiko ISLAM  hancur  binasa karena MUSUH  MUSUH  Imam Ali  dan  MUSUH MUSUH  ABUBAKAR  Cs telah mengepung mereka !!
2. Membai’at Abubakar  secara the facto (taqiyah terpaksa)  agar  Islam tetap hidup dimuka bumi ini… Tanpa membai’at  secara THE JURE

Ummul Mukminin Aisyah telah berkata: “Sekalian orang Arab telah murtad setelah wafatnya Rasulullah” Al-Bidayah wa al-Nihayah: 6/336; Tarikh Madinah Dimasyq: 30/316, dalam pandangan Syiah yang dimaksud dengan murtad bukanlah murtad daripada keimanan, akan tetapi menentang perintah-perintah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah.Ummul Mukminin Aisyah telah berkata:
Sekalian orang Arab telah murtad setelah wafatnya RasulullahAl-Bidayah wa al-Nihayah: 6/336; Tarikh Madinah Dimasyq: 30/316, Wahabi ingin mempermasalahkan Syiah iaitu engkau mengatakan sesudah Nabi semua orang selain empat orang telah murtad, iaitu selama masa 23 tahun usaha keras Rasulullah mendidik hanya empat orang yang tidak murtad? Jawaban kami ialah, kalau kami mengatakan hanya empat orang yang tidak murtad,tetapi Ummul Mukminin Aisyah mengatakan semua orang Islam itu murtad, tentunya dalam pandangan Syiah yang dimaksud dengan murtad bukanlah murtad daripada keimanan, akan tetapi menentang perintah-perintah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah.

Pada zaman khalifah ke dua, ketika salah seorang sahabat meninggal, saat Huzaifah tidak menerima bahawa sahabat ini bukan daripada kalangan munafik, hinggalah khalifah tidak hadir untuk menyolatinya kerana ia takut orang tersebut daripada golongan munafik. Ini kerana Syiah dan Sunni menerima bahawasanya Huzaifah sahabat penyimpan rahsia dan Rasulullah pernah mengatakan nama-nama orang munafik kepadanya.

Baru-bari ini ada seorang saudara dari Sunni membangkitkan satu persoalan menarik. Di zaman perjanjian Hudaibiyah, sekumpulan orang Islam telah membai’at Nabi di bawah pohon. Pembai’atan ini masyhur dengan Bai’atul Ridwan yang membawa kepada turunnya ayat berikut:
Mereka yang membai’at dikau hakikatnya mereka membai’at Allah, sesungguhnya Allah ridha dengan Mukminin jikalau mereka membai’at engkau di bawah pohon.”

Ahlusunnah tidak dapat menerima bahawa apabila seseorang itu yang telah diredhai tuhannya boleh atau mampu untuk menyimpang dari jalan kebenaran. Antara yang terlibat dalam pembai’atan ini ialah para sahabat besar seperti Umar, Abu Bakar, Uthman, Khalid dan beberapa orang lagi telah hadir.
Jawapan kami ialah pertamanya ayat itu sendiri menggunakan kalimah ‘iz zarfiah muqayyad‘. Iaitu ayat itu menyatakan pada ketika itu Allah meridhai engkau yang memberi Bai’at. Dengan ini tuhan meridhai mereka sebelum dan selepas pembai’atan tertakluk dengan syarat selagi individu itu mampu tetap menjaga kemakmuran ini.

Kami membacakannya mereka kisah orang yang telah kami berikannya ayat maka dia menuruti Syaitan dan termasuk di kalangan mereka yang sesat”al-A’raf 175

Kesimpulannya dengan pengajaran peristiwa ini, jikalau Tuhan meridhai seseorang, maka Dia akan menyatakan keridhaanNya dengan bentuk yang sangat berharga selama seseorang itu menjaga keistiqamahan prinsip itu. Jika tidak, begitu banyak orang yang memiliki makam yang sangat tinggi namun setelah itu mereka tersesat.

Sebagai contoh Abdullah bin Abi Sara sahabat Rasulullah (s) penulis wahyu pertama, akan tetapi selepas beberapa ketika ia murtad dan menghina Rasulullah (s). Hingga sampai ke satu tahap, Rasulullah berkata pada waktu Fath Makkah, beberapa orang daripada mereka, walaupun mereka bergantung pada kain Kaabah, penggallah kepala mereka, salah seorang daripada mereka ialah Abdullah bin Abi Sara’.

Allah (swt) berfirman kepada Rasulullah (s):
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu ‘jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” Surah az-Zummar ayat 65.

Kita menerima bahwasanya ayat-ayat ini diturunkan tentang sahabat. Akan tetapi berapa ramai antara sahabat-sahabat yang mampu menjaga makam tersebut, Perlulah adanya pembahasan dan penelitian.
Begitu juga dalam Sahih Muslim terdapat hadis yang bernama Hadis Haudh, yang mana tidak ada jalan lagi untuk Ahlussunnah mengelak dari hal tersebut. Di hari kiamat sebilangan para sahabat akan dibawa ke api neraka. Rasulullah bertanya ke mana dibawa sahabat-sahabat baginda. Lantas dijawab ke neraka. Ditanya kenapa, lantas dijawab lagi, kerana mereka murtad dan kembali ke masa jahiliyah sepeninggalan baginda. Yang lebih menarik, Bukhari mengatakan hanya sedikit daripada mereka yang selamat.Sahih Bukhari: 7/208; Shawahid Tanzil: 284/1


Orang-orang yang menyangsikan legalitas kekhilafahan pasca Rasul saw mengatakan, “Jika Imam Ali as menentang para khalifah, mengapa Imam Ali as tidak bersikap memerangi mereka? Mengapa Imam Ali as membaiat mereka?

Di bawah ini dipaparkan argumentasi atas pertanyaan tersebut.


Mengapa Imam Ali as Tidak Bangkit Melawan Para Khalifah?

Bagaimana mungkin ia akan memeranginya? Dengan kemampuan biasa atau kemampuan gaib (malakuti)?

Pertama: Dengan kekuatan atau kemampuan biasa
Jika Imam Ali as menginginkan perang dengan kekuatan atau kemampuan biasa maka tidaklan diyakini akan berhasil (kalah). Begitu halnya kesaksian dalam sejarah bahwa di Ghadir Khum sebanyak 100.000 orang mendengar pesan dari Nabi saw. Setelah berlalu 30 hari dari peristiwa Ghadir Khum, ketika Rasulullah saw meninggal, segelintir dari para pendukung Ali as memberikan kesaksian (atas hak kekhalifahan Imam Ali as ini) dan tidak membawa hasil hingga umat hari demi hari bertambah kesesatan mereka.

Kedua: Dengan kekuatan atau kemampuan gaib.
Jika dengan kekuatan Ilahi mereka (para khalifah sebelumnya) berperang, seperti halnya beliau as mendobrak dan mencabut pintu Khaibar (dan menjadikannya sebagai tamengnya), maka semua rakyat akan terbunuh, hingga tidak ada lagi yang tersisa dari mereka dan pada saat itulah, mereka akan memerintah (umat). Maka sudah seharusnya rakyat dengan bebas memilih jalannya karena dunia adalah tempat ujian.

Ketiga: Jika Imam Ali as memiliki pengikut untuk berperang.
Seperti halnya Thalhah dan Zubair menginginkan pemerintahan Kufah dan Basrah, Muawiyah juga tidak hadir untuk menyerahkan pemerintahan Syam. Amirul Mukminin as ketika itu memiliki pengikut hingga dia berperang melawan Muawiyah dan setelah itu, beliau menerima keinginan-keinginan dari pihak musuh yang tidak dikehendaki.

Yang sebenarnya, para khalifah telah merampas kekhalifahan dari beliau as. Mereka mengetahui bahwa kepemimpinan semua negeri Islam ada di tangan Imam Ali as. Bukanlah suatu argumen (yang tepat) bahwa Imam Ali as tidak bangkit melawan mereka, ketika beliau as tidak memiliki pengikut sekalipun. Begitu halnya dengan apa yang dikatakan beliau as dalam khotbah Syiqsyiqiyyah, beliau as berkata, “Apakah saya akan menyerang tanpa pengikut atau pasukan?”

Dalam khotbah ini, beliau as berkata, “Saya berfikir dalam perkara ini (imamah), apakah saya akan menyerang tanpa pengikut, atau saya akan bersabar atas kesesatan umat, yang karenanya orang tua akan senantiasa renta dan para pemuda akan menjadi tua. Seorang mukmin akan senantiasa berada dalam musibah hingga dia meninggal, dan saya telah bersabar atas musibah ini, dalam keadaan mata dan tenggorokan saya tertusuk duri”.


Mengapa Imam Ali as Membaiat Khalifah?

Pertama: Dalam sejarah disebutkan ketika Abu Bakar memimpin pemerintahan selam enam bulan, Musailamah Kadzdzab dengan pasukan murtadnya siap untuk menyerang Madinah. Abbas, paman Imam Ali as, yang berkhidmat kepada beliau as telah bersiap dan menyatakan, “Islam akan lenyap, dikarenakan tidak seorang pun yang taat pada perintah Abu Bakar untuk pergi perang melawan Musailamah dan pasukannya’. Rakyat berkata, ‘Karena Imam Ali as tidak membaiat Abu Bakar maka kami tidak ikut serta dalam peperangan melawan Musailamah.’
Akhirnya, Imam Ali as pun bangkit dan datang ke masjid membaiat Abu Bakar untuk menyelamatkan Islam. Ketika itu pula, rakyat memastikan untuk berperang melawan pasukan Musailamah. Tertulis dalam sejarah bahwa dalam peperangan melawam pasukan Musailamah, seratus orang penghafal al-Qur’an tewas, yang pada akhirnya Musailamah kalah. Jika Imam Ali as tidak membaiatnya, kaum Muslim dan Islam akan musnah (untuk selama-lamanya).
Kedua: Pada saat itu, Kaisar Romawi menanti kesempatan adanya perbedaan dan perselisihan di antara kaum Muslim yang ada di Madinah hingga dia siap untuk menyerang dan dapat menjatuhkan Islam.


Mengapa Imam Ali as Shalat Bersama Mereka?

Pada peristiwa penyerangan Musailamah, Imam Ali as membaiat Abu Bakar untuk langgengnya Islam. Namun, tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa Imam Ali as datang (shalat berjamaah) ke mesjid sebagai tanda keridhaannya atas kepemimpinan Abu Bakar. Selain itu, jika beliau as tidak ikut serta shalat bersama mereka (di mesjid), itu berarti bahwa beliau dianggap menentang baiat.


Mengapa Imam Ali as Memberikan Petunjuk Masalah Politik, Sosial, Fikih Dan Peradilan Walau Tidak Membantu Mereka?

Pemberian petunjuk dalam masalah politik, sosial, fikih dan peradilan sangat bermanfaat bagi masyarakat Islam ketika itu dan masa yang akan datang. Dengan melalui petunjuk beliau as, maka akan tampak kebodohan dan ketidaktahuan khalifah ketika itu. Oleh karenanya, dalam 70 kali kesempatan, Umar berkata, “Jika tidak ada Ali, maka Umar akan celaka”.
Dari sisi lain, dengan keagungan keilmuan bagi para peneliti dapat menemukan jalan kebenaran dan akan tersebar kapasitas dari keilmuan Imam Ali as.


Mengapa Imam Ali as. Akhirnya Membaiat Abu Bakar?

Adapun mengapa akhirnya Imam Ali as. memberikan baitannya untuk Abu Bakar? Riwayat-riwayat dari Aisyah di atas mengatakan bahwa ia memohon perdamaian dengan pihak Abu Bakar dikarenakan kematian Fatimah yang mengakibatkan berpalingnya orang-orang dari Ali as.
Demikian Aisyah menganalisa sikap politis Imam Ali as. dan itu adalah hak Aisyah untuk mengatakannya! Sebagaimana orang lain juga boleh mengutarakan analisanya dalam masalah tersebut. Akan tetapi Imam Ali as. menerangkan kepada kita sebab mengapa beliau pada akhirnya memberikan baiat untuk Abu Bakar dan tidak terus mengambil sikap oposisi, apalagi perlawanan bersenjata!
Dalam keterangan-keterangan yang dinukil dari Imam Ali as. ada beberapa sebab:

Pertama, tidak adanya pembela yang cukup untuk mengambil alih kembali hak kewalian beliau.
Sikap Imam Ali as. itu telah beliau abadikan dalam benyak kesempatan, di antara dalam pidato beliau yang terkenal dengan nama khuthbah Syiqsyiqiyyah.
Imam Ali as. berpidato:

أَمَا وَاللهِ لَقَدْ تَقَمَّصَهَا إبْنُ اَبِيْ قُحَافَةَ وَإِنَّهُ لَيَعْلَمُ أَنَّ مَحَلِّي مِنْهَا مَحَلُّ اْلقُطْبِ مِنَ الْرُحَى , يَنْحَدِرُ عَنِّي اْلسَيْلُ وَ لاَ يَرْقَى إلَىَّ الْطَيْرُ. فَسَدَلْتُ دُوْنَهَا ثَوْبًا  وَ طَوَيْتُ عَنْهَا كَشْحًا . وَ طَفِقْتُ أَرْتَئِ بَيْنَ أنْ أَصُوْلَ بِيَدٍ جَذَّاءَ أوْ أَصْبِرَ عَلَى طِخْيةٍ عَمْيَاءَ , يَهْرَمُ فِيْهَا الْكَبِيْرُ وَ يَشِيْبُ فِيْهَا الْصَغِيْرُ, وَ يَكْدَحُ  فِيْهَا الْمُؤْمِنُ حَتَّى يَلْقَى رَبَّهُ !
فَرَاَيْتُ اَنَّ الْصَبْرَ عَلَى هَاتَا أَحْجَى . فَصَبَرْتُ , وَ فِي الْعَيْنِ قَذًى, و فِي الْحَلْقِ شَجًا أَرَى تُرَاثِيْ نَهْبًا.   

“Demi Allah, sesungguhnya putra Abu Quhafah (Abu ABakar) telah mengenakan busana kekhilafahan itu, padahal ia tahu bahwa kedudukanku sehubungan dengan itu adalah bagaikan kedudukan poros pada penggiling. Air bah mengalir dariku dan burung tak dapat terbang sampai kepadaku. Maka aku mengulur tabir terhadap kekhilafahan dan melepaskan diri darinya.
Kemudian aku mulai berpikir, apakah aku harus menyerang dengan tangan terputusatau bersabar atas kegelapan yang membutakan, dimana orang dewasa menjadi tua bangka dan anak kecil menjadi beruban dan orang mukmin yang sesungguhnya hidup dalam tekanan sampai ia menemui Tuhannya!
Maka aku dapati bahwa bersabar atasnya lebih bijaksana. Maka aku bersabar, walaupun ia menusuk mata dan mencekik kerongkongan. Aku menyaksikan warisanku dirampok… “[1]

Kedua, sikap enggan memberikan baiat itu sudah cukup membuktikan hak kewalian beliau yang mereka bekukan.
Dan ketiga, mengingat maslahat umat Islam menuntut agar beliau mengorbankan hak beliau demi meraih maslahat Islam yang lebih abadi. Sebab eksistenti kaum Muslimin dan Dawlah Islam sedang terancam dengan maraknya kaum murtad yang meninggalkan agama Islam dan berniat untuk menyerang kota suci Madinah dan memerangi kaum Muslim!

Dalam sebuah pernyataannya, Imam Ali as. menjelaskan sebab mengapa beliau sudi memberikan baiat untuk Abu Bakar:

فأَمْسَكْتُ يدي حتَّى رأيتُ راجِعَةَ الناسِ قد رجعت عن الإسلامِ , يدعون إلى مَحقِ دين محمد (ص), فَخَشيتُ إن لم أنصرِ الإسلامِ و أهلَه أن أرى فيه ثَلْمًا أو هدمًا تكون المصيبةُ بِهِ عليَّ أعظَم من فوتِ ولايَتِكم.

“Dan ketika aku saksikan kemurtadan orang-orang telah kembali meninggalkan Islam, mereka mengajak kepada pemusnahan agama Muhammad saw., maka aku khawatir jika aku tidak membela Islam dan para  pemeuluknya aku akan menyaksikan celah atau keruntuhan Islam yang bencananya atasku lebih besar dari sekedar hilangnya kekuasaan atas kalian.”[2]

Inilah sebabh hkiki dalam maalah ini, bukan seperti yang diasumsikan sebagian orang.

Adapaun tuduhan Syeikh bahwa dengan demikian kaum Syi’ah menuduh Imam mereka bersikap pengecut, maka kesimpulan miring itu sama sekali tidak berdasar, sebab pada diri Nabi Harun as. terdapat uswah, teladah baik bagi Imam Ali as. ketika beliau berkata, seperti diabadikan dalam Al Qur’an:

وَ لَمَّا رَجَعَ مُوسى إِلى قَوْمِهِ غَضْبانَ أَسِفاً قالَ بِئْسَما خَلَفْتُمُوني مِنْ بَعْدي أَ عَجِلْتُمْ أَمْرَ رَبِّكُمْ وَ أَلْقَى الْأَلْواحَ وَ أَخَذَ بِرَأْسِ أَخيهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ قالَ ابْنَ أُمَّ إِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُوني وَ كادُوا يَقْتُلُونَني فَلا تُشْمِتْ بِيَ الْأَعْداءَ وَ لا تَجْعَلْني مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمينَ

“Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: “Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu?” Dan Musa pun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya. Harun berkata: “Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku,sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang lalim.” (QS.A’râf [7];150)

Imam Ali as. mengalami kondisi serupa dengan parnah dialami oleh Nabi Harun as. ketika kaumnya membangkang dengan kesesatan akibat provokasi Samiri.

Ketertindasan dan ketidak-berdayaan Imam Ali as. itu telah diberitakan Nabi saw. dalam banyak sabda beliau, di antaranya adalah hadis yang sangat terkenal yang berbunyi:

أنتم المستَضْغَفٌون بَعدي

“Sepeninggalku, kalian akan ditindas.”[3]


Nabi saw. Mengabarkan Bahwa Umat Akan Mengkhianati Imam Ali as.

Bahkan lebih dari itu, Nabi saw. telah memberitakan dari balik tirai ghaib, bahwa umat ini akan menelantarkan Ali as. dan tidak memberikan kesetian pembelaan untuknya. Mereka akan mengkhianatinya!
Imam Ali as. berulang kali mengatakan:

إنّه ممّا عهد إليّ النبي (صلى الله عليه وآله وسلم) أنّ الاُمّة ستغدر بي بعده.

“Termasuk yang dijanjikan Nabi kepadaku bahwa umat akan mengkhianatiku sepeninggal beliau.”

Hadis ini telah diriwayatkan dan dishahihkan al Hakim dan adz Dzahabi. Ia berkata:

صحيح الاسناد

“Hadis ini sahih sanadnya.”

Adz Dzahabi pun menshahihkannya. Ia berkata:

صحيح

“Hadis ini shahih.” [4]

Sebagaimana juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, al Bazzâr, ad Dâruquthni, al Khathib al Baghdâdi, al Baihaqi dkk.


Nabi saw. Mengabarkan Bahwa Umat Akan Menuangkan Kedengkian Mereka Kepada Imam Ali as.

Demikian juga, sebagian orang yang memendam dendam kusumat dan kebencian kepada Nabi saw. akan menuangkannya kepada Imam Ali as., dan puncaknya akan mereka lakukan sepeninggal Nabi saw.
Kenyataan itu telah diberitakan Nabi saw. kepada Ali as. Para ulama meriwayatkan banyak hadis tentangnya, di antaranya adalah hadis di bawah ini:
Imam Ali as. berkata:

بينا رسول الله (صلى الله عليه وسلم) آخذ بيدي ونحن نمشي في بعض سكك المدينة، إذ أتينا على حديقة، فقلت: يا رسول الله ما أحسنها من حديقة ! فقال: إنّ لك في الجنّة أحسن منها، ثمّ مررنا بأُخرى فقلت: يا رسول الله ما أحسنها من حديقة ! قال: لك في الجنّة أحسن منها، حتّى مررنا بسبع حدائق، كلّ ذلك أقول ما أحسنها ويقول: لك في الجنّة أحسن منها، فلمّا خلا لي الطريق اعتنقني ثمّ أجهش باكياً، قلت: يا رسول الله ما يبكيك ؟ قال: ضغائن في صدور أقوام لا يبدونها لك إلاّ من بعدي، قال: قلت يا رسول الله في سلامة من ديني ؟ قال: في سلامة من دينك.

“Ketika Rasulullah saw. memegang tanganku, ketika itu kami sedang berjalan-jalan di sebagian kampong kota Madinah, kami mendatangi sebuah kebun, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah alangkah indahnya kebun ini!’ Maka beliau bersabda, ‘Untukmu di surga lebih indah darinya.’ Kemudian kami melewati tujuh kebun, dan setiap kali aku mengatakannya, ‘Alangkah indahnya’ dan nabi pun bersabda, ‘Untukmu di surga lebih indah darinya.’ Maka ketika kami berda di tempat yang sepi, Nabi saw. memelukku dan sepontan menangis. Aku berkata, ‘Wahai Rrasulullah, gerangan apa yang menyebabkan Anda menangis?’ Beliau menjawab, ‘Kedengkian-kedengkian yang ada di dada-dada sebagian kaum yang tidak akan mereka tampakkan kecuali setelah kematianku.’ Aku berkata, ‘Apakah dalam keselamatan dalam agamaku?’ Beliau menjawab, ‘Ya. Dalam keselamatan agamamu.’”

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la, al Bazzâr dengan sanad shahih, al Hakim dan adz Dzahabi dan mereka menshahihkannya,[5]Ibnu Hibbân dkk. [6]

Ia juga disebutkan oleh asy Syablanji dalam kitab Nûr al Abshârnya:88
Jadi jelaslah bagi kita apa yang sedang dialami oleh Imam Ali as. dari sebagian umat ini!
_____________________________________


Kapan Imam Ali Membaiat Abu Bakar? : Membantah Para Nashibi.

Cukup banyak situs nashibi [yang ngaku-ngaku salafy] menyebarkan syubhat bahwa Imam Ali membaiat Abu Bakar pada awal-awal ia dibaiat. Mereka mengutip riwayat dhaif dan melemparkan riwayat shahih. Mereka mengutip dari riwayat [yang tidak mu’tabar menurut sebagian mereka] dan melemparkan riwayat mu’tabar dan shahih di sisi mereka. Mengapa hal itu terjadi?. Karena kebencian mereka terhadap Syiah. Salafy nashibi itu menganggap pernyataan Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan sebagai “syubhat Syi’ah”. Menurut salafy nashibi yang namanya “syubhat Syi’ah” pasti dusta jadi harus dibantah meskipun dengan dalih mengais-ngais riwayat dhaif.

Kami akan berusaha membahas masalah ini dengan objektif dan akan kami tunjukkan bahwa kabar yang shahih dan tsabit adalah Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan yaitu setelah wafatnya Sayyidah Fathimah [‘Alaihis Salam] dan ini tidak ada kaitannya dengan Syiah dan riwayat di sisi mereka. Riwayat yang menyatakan Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan adalah riwayat shahih dan tsabit dari kitab yang mu’tabar di sisi para ulama yaitu Shahih Bukhari. Tidak ada keraguan akan keshahihan riwayat ini:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام بِنْتَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ وَفَدَكٍ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمُسِ خَيْبَرَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ دَفَنَهَا زَوْجُهَا عَلِيٌّ لَيْلًا وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ وَصَلَّى عَلَيْهَا وَكَانَ لِعَلِيٍّ مِنْ النَّاسِ وَجْهٌ حَيَاةَ فَاطِمَةَ فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ اسْتَنْكَرَ عَلِيٌّ وُجُوهَ النَّاسِ فَالْتَمَسَ مُصَالَحَةَ أَبِي بَكْرٍ وَمُبَايَعَتَهُ وَلَمْ يَكُنْ يُبَايِعُ تِلْكَ الْأَشْهُرَ فَأَرْسَلَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ أَنْ ائْتِنَا وَلَا يَأْتِنَا أَحَدٌ مَعَكَ كَرَاهِيَةً لِمَحْضَرِ عُمَرَ فَقَالَ عُمَرُ لَا وَاللَّهِ لَا تَدْخُلُ عَلَيْهِمْ وَحْدَكَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ وَمَا عَسَيْتَهُمْ أَنْ يَفْعَلُوا بِي وَاللَّهِ لآتِيَنَّهُمْ فَدَخَلَ عَلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ فَتَشَهَّدَ عَلِيٌّ فَقَالَ إِنَّا قَدْ عَرَفْنَا فَضْلَكَ وَمَا أَعْطَاكَ اللَّهُ وَلَمْ نَنْفَسْ عَلَيْكَ خَيْرًا سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَكِنَّكَ اسْتَبْدَدْتَ عَلَيْنَا بِالْأَمْرِ وَكُنَّا نَرَى لِقَرَابَتِنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَصِيبًا حَتَّى فَاضَتْ عَيْنَا أَبِي بَكْرٍ فَلَمَّا تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي وَأَمَّا الَّذِي شَجَرَ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ مِنْ هَذِهِ الْأَمْوَالِ فَلَمْ آلُ فِيهَا عَنْ الْخَيْرِ وَلَمْ أَتْرُكْ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ فِيهَا إِلَّا صَنَعْتُهُ فَقَالَ عَلِيٌّ لِأَبِي بَكْرٍ مَوْعِدُكَ الْعَشِيَّةَ لِلْبَيْعَةِ فَلَمَّا صَلَّى أَبُو بَكْرٍ الظُّهْرَ رَقِيَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَتَشَهَّدَ وَذَكَرَ شَأْنَ عَلِيٍّ وَتَخَلُّفَهُ عَنْ الْبَيْعَةِ وَعُذْرَهُ بِالَّذِي اعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ اسْتَغْفَرَ وَتَشَهَّدَ عَلِيٌّ فَعَظَّمَ حَقَّ أَبِي بَكْرٍ وَحَدَّثَ أَنَّهُ لَمْ يَحْمِلْهُ عَلَى الَّذِي صَنَعَ نَفَاسَةً عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَلَا إِنْكَارًا لِلَّذِي فَضَّلَهُ اللَّهُ بِهِ وَلَكِنَّا نَرَى لَنَا فِي هَذَا الْأَمْرِ نَصِيبًا فَاسْتَبَدَّ عَلَيْنَا فَوَجَدْنَا فِي أَنْفُسِنَا فَسُرَّ بِذَلِكَ الْمُسْلِمُونَ وَقَالُوا أَصَبْتَ وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى عَلِيٍّ قَرِيبًا حِينَ رَاجَعَ الْأَمْرَ الْمَعْرُوفَ

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Bukair yang berkata telah menceritakan kepada kami Al-Laits dari ‘Uqail dari Ibnu Syihaab dari ‘Urwah dari ‘Aaisyah Bahwasannya Faathimah [‘alaihis-salaam] binti Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] mengutus utusan kepada Abu Bakr meminta warisannya dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dari harta fa’i yang Allah berikan kepada beliau di Madinah dan Fadak, serta sisa seperlima ghanimah Khaibar. Abu Bakr berkata ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda ‘Kami tidak diwarisi, segala yang kami tinggalkan hanya sebagai sedekah”. Hanya saja, keluarga Muhammad [shallallahu 'alaihi wasallam] makan dari harta ini’. Dan demi Allah, aku tidak akan merubah sedikitpun shadaqah Rasulullah [shallallaahu 'alaihi wa sallam] dari keadaannya semula sebagaimana harta itu dikelola semasa Rasulullah [shallallaahu 'alaihi wa sallam], dan akan aku kelola sebagaimana Rasulullah mengelola. Maka Abu Bakr enggan menyerahkan sedikitpun kepada Fathimah sehingga Fathimah marah kepada Abu Bakr dalam masalah ini. Fathimah akhirnya mengabaikan Abu Bakr dan tak pernah mengajaknya bicara hingga ia meninggal. Dan ia hidup enam bulan sepeninggal Nabi [shallallaahu 'alaihi wa sallam]. Ketika wafat, ia dimandikan oleh suaminya, Aliy, ketika malam hari, dan ‘Aliy tidak memberitahukan perihal meninggalnya kepada Abu Bakr. Padahal semasa Faathimah hidup, Aliy dituakan oleh masyarakat tetapi, ketika Faathimah wafat, ‘Aliy memungkiri penghormatan orang-orang kepadanya, dan ia lebih cenderung berdamai dengan Abu Bakr dan berbaiat kepadanya, meskipun ia sendiri tidak berbaiat di bulan-bulan itu. ‘Aliy kemudian mengutus seorang utusan kepada Abu Bakar yang inti pesannya  ‘Tolong datang kepada kami, dan jangan seorangpun bersamamu!’. Ucapan ‘Aliy ini karena ia tidak suka jika Umar turut hadir. Namun ‘Umar berkata ‘Tidak, demi Allah, jangan engkau temui mereka sendirian’. Abu Bakr berkata ‘Kalian tidak tahu apa yang akan mereka lakukan terhadapku. Demi Allah, aku sajalah yang menemui mereka.’ Abu Bakr lantas menemui mereka. ‘Aliy mengucapkan syahadat dan berkata ”Kami tahu keutamaanmu dan apa yang telah Allah kurniakan kepadamu. Kami tidak mendengki kebaikan yang telah Allah berikan padamu, namun engkau telah sewenang-wenang dalam memperlakukan kami. Kami berpandangan, kami lebih berhak karena kedekatan kekerabatan kami dari Rasulullah [shallallaahu 'alaihi wa sallam’]. Hingga kemudian kedua mata Abu Bakr menangis. Ketika Abu Bakr bicara, ia berkata “Demi Yang jiwaku ada di tangan-Nya, kekerabatan Rasulullah lebih aku cintai daripada aku menyambung kekerabatanku sendiri. Adapun perselisihan antara aku dan kalian dalam perkara ini, sebenarnya aku selalu berusaha berbuat kebaikan. Tidaklah kutinggalkan sebuah perkara yang kulihat Rasulullah [shallallahu 'alaihi wa sallam] melakukannya, melainkan aku melakukannya juga’. Kemudian ‘Aliy berkata kepada Abu Bakr ‘Waktu baiat kepadamu adalah nanti sore’. Ketika Abu Bakr telah shalat Dhuhur, ia naik mimbar. Ia ucapkan syahadat, lalu ia menjelaskan permasalahan ‘Aliy dan ketidakikutsertaannya dari bai’at serta alasannya. ‘Aliy kemudian beristighfar dan mengucapkan syahadat, lalu mengemukakan keagungan hak Abu Bakar, dan ia menceritakan bahwa apa yang ia lakukan tidak sampai membuatnya dengki kepada Abu Bakar. Tidak pula sampai mengingkari keutamaan yang telah Allah berikan kepada Abu Bakr. Ia berkata “Hanya saja, kami berpandangan bahwa kami lebih berhak  dalam masalah ini namun Abu Bakr telah bertindak sewenang-wenang terhadap kami sehingga kami pun merasa marah terhadapnya”. Kaum muslimin pun bergembira atas pernyataan ‘Aliy dan berkata “Engkau benar”. Sehingga kaum muslimin semakin dekat dengan ‘Aliy ketika ‘Aliy mengembalikan keadaan menjadi baik” [Shahih Bukhaari no. 4240-4241].

Hadis riwayat Bukhari ini juga disebutkan dalam Shahih Muslim 3/1380 no 1759 dan Shahih Ibnu Hibban 11/152 no 4823. Dari hadis yang panjang di atas terdapat bukti nyata kalau Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan yaitu setelah wafatnya Sayyidah Fathimah [‘alaihis salam]. Sisi pendalilannya adalah sebagai berikut. Pehatikan lafaz Perkataan Aisyah:

فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ اسْتَنْكَرَ عَلِيٌّ وُجُوهَ النَّاسِ فَالْتَمَسَ مُصَالَحَةَ أَبِي بَكْرٍ وَمُبَايَعَتَهُ وَلَمْ يَكُنْ يُبَايِعُ تِلْكَ الْأَشْهُرَ

Ketika [Sayyidah Fathimah] wafat ‘Aliy memungkiri penghormatan orang-orang kepadanya, dan ia lebih cenderung berdamai dengan Abu Bakr dan berbaiat kepadanya, meskipun ia sendiri tidak berbaiat di bulan-bulan itu.

Aisyah [radiallahu ‘anha] menyatakan dengan jelas bahwa baiat Imam Ali kepada Abu Bakar adalah setelah kematian Sayyidah Fathimah [‘alaihis salam] yaitu setelah enam bulan dan Imam Ali tidak pernah membaiat pada bulan-bulan sebelumnya. Jadi dari sisi ini tidak ada yang namanya istilah baiat kedua. Itulah baiat Imam Ali yang pertama dan satu-satunya.

Aisyah [radiallahu ‘anha] kemudian menyebutkan dengan jelas peristiwa yang terjadi setelah Sayyidah Fathimah wafat yaitu Imam Ali memanggil Abu Bakar kemudian memutuskan untuk memberikan baiat di hadapan kaum muslimin. Aisyah [radiallahu ‘anha] menyebutkan bahwa Abu Bakar berkhutbah di hadapan kaum muslimin, perhatikan lafaz:

فَلَمَّا صَلَّى أَبُو بَكْرٍ الظُّهْرَ رَقِيَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَتَشَهَّدَ وَذَكَرَ شَأْنَ عَلِيٍّ وَتَخَلُّفَهُ عَنْ الْبَيْعَةِ وَعُذْرَهُ بِالَّذِي اعْتَذَرَ إِلَيْهِ

Ketika Abu Bakr telah shalat Dhuhur, ia menaiki mimbar. Ia mengucapkan syahadat, lalu ia menjelaskan permasalahan ‘Aliy dan ketidakikutsertaan Ali dari bai’at serta alasannya.

Abu Bakar sendiri sebagai khalifah yang akan dibaiat menyatakan di hadapan kaum muslimin alasan Imam Ali tidak memberikan baiat kepadanya. Ini bukti nyata kalau Abu Bakar sendiri merasa dirinya tidak pernah dibaiat oleh Imam Ali. Khutbah Abu Bakar disampaikan di hadapan kaum muslimin dan tidak satupun dari mereka yang mengingkarinya. Maka dari sini dapat diketahui bahwa Abu Bakar dan kaum muslimin bersaksi bahwa Ali tidak pernah membaiat sebelumnya kepada Abu Bakar.

Kemudian mari kita lihat riwayat yang dijadikan hujjah oleh salafy nashibi bahwa Imam Ali telah memberikan baiat kepada Abu Bakar pada awal pembaiatan Abu Bakar:

حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا جعفر بن محمد بن شاكر ثنا عفان بن مسلم ثنا وهيب ثنا داود بن أبي هند ثنا أبو نضرة عن أبي سعيد الخدري رضى الله تعالى عنه قال لما توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم قام خطباء الأنصار فجعل الرجل منهم يقول يا معشر المهاجرين إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا استعمل رجلا منكم قرن معه رجلا منا فنرى أن يلي هذا الأمر رجلان أحدهما منكم والآخر منا قال فتتابعت خطباء الأنصار على ذلك فقام زيد بن ثابت فقال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان من المهاجرين وإن الإمام يكون من المهاجرين ونحن أنصاره كما كنا أنصار رسول الله صلى الله عليه وسلم فقام أبو بكر رضى الله تعالى عنه فقال جزاكم الله خيرا يا معشر الأنصار وثبت قائلكم ثم قال أما لو فعلتم غير ذلك لما صالحناكم ثم أخذ زيد بن ثابت بيد أبي بكر فقال هذا صاحبكم فبايعوه ثم انطلقوا فلما قعد أبو بكر على المنبر نظر في وجوه القوم فلم ير عليا فسأل عنه فقال ناس من الأنصار فأتوا به فقال أبو بكر بن عم رسول الله صلى الله عليه وسلم وختنه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعه ثم لم ير الزبير بن العوام فسأل عنه حتى جاؤوا به فقال بن عمة رسول الله صلى الله عليه وسلم وحواريه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال مثل قوله لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعاه

Telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad bin Syaakir yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Affan bin Muslim yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abi Hind yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah dari Abu Sa’id Al Khudriy radiallahu ta’ala ‘anhu yang berkata “ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka khatib khatib di kalangan anshar berdiri kemudian datanglah salah seorang dari mereka yang berkata “wahai kaum muhajirin sungguh jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyuruh salah seorang diantara kalian maka Beliau menyertakan salah seorang dari kami maka kami berpandangan bahwa yang memegang urusan ini adalah dua orang, salah satunya dari kalian dan salah satunya dari kami, maka khatib-khatib Anshar itu mengikutinya. Zaid bin Tsabit berdiri dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berasal dari kaum muhajirin maka Imam adalah dari kaum muhajirin dan kita adalah penolongnya sebagaimana kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Abu Bakar radiallahu ta’ala anhu berdiri dan berkata “semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian wahai kaum Anshar, benarlah juru bicara kalian itu” kemudian ia berkata “jika kalian mengerjakan selain daripada itu maka kami tidak akan sepakat dengan kalian” kemudian Zaid bin Tsabit memegang tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian maka baiatlah ia” kemudian mereka pergi.
Ketika Abu Bakar berdiri di atas mimbar, ia melihat kepada orang-orang kemudian ia tidak melihat Ali, ia bertanya tentangnya maka ia menyuruh orang-orang dari kalangan Anshar memanggilnya, Abu Bakar berkata “wahai sepupu Rasulullah dan menantunya apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya. Kemudian Abu Bakar tidak melihat Zubair, ia menanyakan tentangnya dan memanggilnya kemudian berkata “wahai anak bibi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah” maka ia membaiatnya. [Mustadrak Al Hakim juz 3 no 4457].

Hadis riwayat Al Hakim di atas juga diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 8/143 no 16315 dan Al I’tiqad Wal Hidayah hal 349-350 dengan jalan sanad yang sama dengan riwayat Al Hakim di atas.
Hadis semakna juga diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh Ibnu Asakir 30/276-277, Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 8/143 no 16316 dan Al I’tiqad Wal Hidayah hal 350. Berikut riwayat Ibnu Asakir:

وأخبرنا أبو القاسم الشحامي أنا أبو بكر البيهقي أنا أبو الحسن علي بن محمد بن علي الحافظ الإسفراييني قال نا أبو علي الحسين بن علي الحافظ نا أبو بكر بن إسحاق بن خزيمة وإبراهيم بن أبي طالب قالا نا بندار بن بشار نا أبو هشام المخزومي نا وهيب نا داود بن أبي هند نا أبو نضرة عن أبي سعيد الخدري قال قبض النبي (صلى الله عليه وسلم) واجتمع الناس في دار سعد بن عبادة وفيهم أبو بكر وعمر قال فقام خطيب الأنصار فقال أتعلمون أن رسول الله (صلى الله عليه وسلم) كان من المهاجرين وخليفته من المهاجرين ونحن كنا أنصار رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فنحن أنصار خليفته كما كنا أنصاره قال فقام عمر بن الخطاب فقال صدق قائلكم أما لو قلتم غير هذا لم نتابعكم وأخذ بيد أبي بكر وقال هذا صاحبكم فبايعوه وبايعه عمر وبايعه المهاجرون والأنصار قال فصعد أبو بكر المنبر فنظر في وجوه القوم فلم ير الزبير قال فدعا بالزبير فجاء فقال قلت أين ابن عمة رسول الله (صلى الله عليه وسلم) وحواريه أردت أن تشق عصا المسلمين قال لا تثريب يا خليفة رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فقام فبايعه ثم نظر في وجوه القوم فلم ير عليا فدعا بعلي بن أبي طالب فجاء فقال قلت ابن عم رسول الله (صلى الله عليه وسلم) وختنه على ابنته أردت أن تشق عصا المسلمين قال لا تثريب يا خليفة رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فبايعه هذا أو معنا

Telah mengabarkan kepada kami Abul Qaasim Asy Syahaamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al Baihaqi yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Al Al Hafizh Al Isfirayiniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ali Husain bin ‘Ali Al Hafizh yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ishaq bin Khuzaimah dan Ibrahim bin Abi Thalib, keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Bindaar bin Basyaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hisyaam Al Makhzuumiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abi Hind yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah dari Abu Sa’id Al Khudriy yang berkata “Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat dan orang-orang berkumpul di rumah Sa’ad bin Ubadah dan diantara mereka ada Abu Bakar dan Umar. Pembicara [khatib] Anshar berdiri dan berkata “tahukah kalian bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dari golongan muhajirin dan penggantinya dari Muhajirin juga sedangkan kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka kita adalah penolong penggantinya sebagaimana kita menolongnya. Umar berkata “sesungguhnya pembicara kalian benar, seandainya kalian mengatakan selain itu maka kami tidak akan membaiat kalian” dan Umar memegang tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian maka baiatlah ia”. Umar mulai membaiatnya kemudian diikuti kaum Muhajirin dan Anshar.
Abu Bakar naik ke atas mimbar dan melihat kearah orang-orang dan ia tidak melihat Zubair maka ia memanggilnya dan Zubair datang. Abu Bakar berkata “wahai anak bibi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah” maka ia membaiatnya. Kemudian Abu Bakar melihat kearah orang-orang dan ia tidak melihat Ali maka ia memanggilnya dan Ali pun datang. Abu Bakar berkata “wahai sepupu Rasulullah dan menantunya apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya. Inilah riwayatnya atau dengan maknanya [Tarikh Ibnu Asakir 30/276-277].

Salafy berhujjah dengan riwayat Abu Sa’id di atas dan melemparkan riwayat Aisyah dalam kitab shahih. Mereka mengatakan “bisa saja Aisyah tidak menyaksikan baiat tersebut”. Sayang sekali hujjah mereka keliru, riwayat Aisyah shahih dan tsabit sedangkan riwayat Abu Sa’id mengandung illat [cacat] yaitu pada sisi kisah “adanya pembaiatan Ali dan Zubair”.

Perhatikan kedua riwayat di atas yang kami kutip. Kami membagi riwayat tersebut dalam dua bagian. Bagian pertama yang menyebutkan pembaiatan Abu Bakar oleh kaum Anshar dan bagian kedua yang menyebutkan pembaiatan Ali dan Zubair [yang kami cetak biru]. Bagian pertama kedudukannya shahih sedangkan bagian kedua mengandung illat [cacat] yaitu inqitha’. Perawinya melakukan kesalahan dengan menggabungkan kedua bagian tersebut. Buktinya adalah sebagai berikut:

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان ثنا وهيب ثنا داود عن أبي نضرة عن أبي سعيد الخدري قال لما توفى رسول الله صلى الله عليه و سلم قام خطباء الأنصار فجعل منهم من يقول يا معشر المهاجرين ان رسول الله صلى الله عليه و سلم كان إذا استعمل رجلا منكم قرن معه رجلا منا فنرى أن يلي هذا الأمر رجلان أحدهما منكم والآخر منا قال فتتابعت خطباء الأنصار على ذلك قال فقام زيد بن ثابت فقال إن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان من المهاجرين وإنما الإمام يكون من المهاجرين ونحن أنصاره كما كنا أنصار رسول الله صلى الله عليه و سلم فقام أبو بكر فقال جزاكم الله خيرا من حي يا معشر الأنصار وثبت قائلكم ثم قال والله لو فعلتم غير ذلك لما صالحناكم

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Affan yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud dari Abi Nadhrah dari Abi Sa’id Al Khudriy yang berkata “ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka khatib khatib di kalangan anshar berdiri kemudian datanglah salah seorang dari mereka yang berkata “wahai kaum muhajirin sungguh jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menunjuk salah seorang diantara kalian maka Beliau menyertakan salah seorang dari kami maka kami berpandangan bahwa yang memegang urusan ini adalah dua orang, salah satunya dari kalian dan salah satunya dari kami, maka khatib-khatib Anshar itu mengikutinya. Zaid bin Tsabit berdiri dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berasal dari kaum muhajirin maka Imam adalah dari kaum muhajirin dan kita adalah penolongnya sebagaimana kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Abu Bakar radiallahu ta’ala anhu berdiri dan berkata “semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian wahai kaum Anshar, benarlah juru bicara kalian itu” kemudian ia berkata “ demi Allah, jika kalian mengerjakan selain daripada itu maka kami tidak akan sepakat dengan kalian” [Musnad Ahmad 5/185 no 21657, Syaikh Syu’aib berkata “sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim”].

Hadis riwayat Ahmad ini juga diriwayatkan dalam Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 5/114 no 4785, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 14/562 no 38195, Ahadits ‘Affan bin Muslim no 307, Tarikh Ibnu Asakir 30/278 dengan jalan sanad ‘Affan bin Muslim. ‘Affan bin Muslim memiliki mutaba’ah yitu Abu Dawud Ath Thayalisi sebagaimana disebutkan dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/84 no 602. Riwayat Wuhaib bin Khalid dengan jalan sanad yang tinggi hanya menyebutkan bagian pertama tanpa menyebutkan bagian kedua. Sedangkan bagian kedua adalah perkataan Abu Nadhrah:

حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ ، نا عَبْدُ الأَعْلَى بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى ، نا دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدٍ ، عَنْ أَبِي نَضْرَةَ ، قَالَ : ” لَمَّا اجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ مَا لِي لا أَرَى عَلِيًّا ، قَالَ : فَذَهَبَ رِجَالٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَجَاءُوا بِهِ ، فَقَالَ لَهُ : يَا عَلِيُّ قُلْتَ ابْنُ عَمِّ رَسُولِ اللَّهِ وَخَتَنُ رَسُولِ اللَّهِ ؟ فَقَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : لا تَثْرِيبَ يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ ابْسُطْ يَدَكَ فَبَسَطَ يَدَهُ فَبَايَعَهُ ، ثُمَّ قَالَ أَبُو بَكْرٍ : مَا لِي لا أَرَى الزُّبَيْرَ ؟ قَالَ : فَذَهَبَ رِجَالٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَجَاءُوا بِهِ ، فَقَالَ : يَا زُبَيْرُ قُلْتَ ابْنُ عَمَّةِ رَسُولِ اللَّهِ وَحَوَارِيُّ رَسُولِ اللَّهِ ؟ قَالَ الزُّبَيْرُ : لا تَثْرِيبَ يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ ابْسُطْ يَدَكَ فَبَسَطَ يَدَهُ فَبَايَعَهُ “

Telah menceritakan kepadaku Ubaidullah bin Umar Al Qawaariiriy  yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul A’laa bin ‘Abdul A’laa yang berkata telah menceritakan kepada kami Daawud bin Abi Hind dari Abu Nadhrah yang berkata Ketika orang-orang berkumpul kepada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata “Ada apa denganku, aku tidak melihat ‘Aliy ?”. Maka pergilah beberapa orang dari kalangan Anshaar yang kemudian kembali bersamanya Lalu Abu Bakr berkata kepadanya “Wahai ‘Ali, engkau katakan engkau anak paman Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus menantu beliau?”. ‘Ali radliyallaahu ‘anhu berkata : “Jangan mencela wahai khalifah Rasulullah. Bentangkanlah tanganmu” kemudian ia membentangkan tangannya dan berbaiat kepadanya. Kemudian Abu Bakr pun berkata “Ada apa denganku, aku tidak melihat Az-Zubair?”. Maka pergilan beberapa orang dari kalangan Anshaar yang kemudian kembali bersamanya. Abu Bakr berkata “Wahai Zubair, engkau katakan engkau anak bibi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus hawariy beliau”. Az-Zubair berkata “Janganlah engkau mencela wahai khalifah Rasulullah. Bentangkanlah tanganmu”. Kemudian ia membentangkan tangannya dan berbaiat kepadanya” [As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1292].

Dawud bin Abi Hind dalam periwayatannya dari Abu Nadhrah memiliki mutaba’ah dari Al Jurairiy sebagaimana yang diriwayatkan Al Baladzuri dalam Ansab Al Asyraf 1/252 dengan jalan sanad Hudbah bin Khalid dari Hammad bin Salamah dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah. Hammad bin Salamah memiliki mutaba’ah dari Ibnu Ulayyah dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah sebagaimana disebutkan Abdullah bin Ahmad dalam As Sunnah no 1293.

Riwayat Al Jurairy juga disebutkan oleh Ibnu Asakir dengan jalan sanad dari Ali bin ‘Aashim dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah dari Abu Sa’id [Tarikh Ibnu Asakir 30/278]. Riwayat Ibnu Asakir ini tidak mahzfuzh karena kelemahan Ali bin ‘Aashim. Yaqub bin Syaibah mengatakan ia banyak melakukan kesalahan. Ibnu Ma’in menyatakan tidak ada apa-apanya dan tidak bisa dijadikan hujjah. Al Fallas berkata “ada kelemahan padanya, ia insya Allah termasuk orang jujur”. Al Ijli menyatakan tsiqat. Al Bukhari berkata “tidak kuat di sisi para ulama”. Daruqutni juga menyatakan ia sering keliru. [At Tahdzib juz 7 no 572]. An Nasa’i menyatakan Ali bin ‘Aashim “dhaif” [Ad Dhu’afa no 430]. Ali bin ‘Aashim dhaif karena banyak melakukan kesalahan dan dalam riwayatnya dari Al Jurairiy ia telah menyelisihi Hammad bin Salamah dan Ibnu Ulayyah keduanya perawi tsiqat. Riwayat yang mahfuzh adalah riwayat dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah tanpa tambahan dari Abu Sa’id.

Dengan jalan sanad yang tinggi yaitu riwayat Dawud bin Abi Hind dan riwayat Al Jurairiy dari Abu Nadhrah maka diketahui bahwa bagian kedua yang menyebutkan pembaiatan Ali dan Zubair bukan perkataan Abu Sa’id Al Khudriy melainkan perkataan Abu Nadhrah.

Riwayat Wuhaib yang disebutkan Al Hakim, Baihaqi dan Ibnu Asakir dengan sanad yang panjang menggabungkan kedua bagian tersebut dalam satu riwayat padahal sebenarnya bagian pertama adalah perkataan Abu Sa’id Al Khudriy sedangkan bagian kedua adalah perkataan Abu Nadhrah. Riwayat Ja’far bin Muhammad bin Syaakir dari ‘Affan bin Muslim dari Wuhaib dan riwayat Abu Hisyaam dari Wuhaib memiliki pertentangan yang menunjukkan bahwa riwayat tersebut diriwayatkan dengan maknanya sehingga memungkinkan terjadinya pencampuran kedua perkataan Abu Sa’id dan Abu Nadhrah.
  • Pada riwayat ‘Affan dari Wuhaib disebutkan kalau yang berkata “sesungguhnya juru bicara kalian benar” adalah Abu Bakar tetapi pada riwayat Abu Hisyaam dari Wuhaib yang mengatakan itu adalah Umar.
  • Pada riwayat ‘Affan dari Wuhaib disebutkan kalau yang memegang tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian” adalah Zaid bin Tsabit tetapi dalam riwayat Abu Hisyaam dari Wuhaib yang memegang tangan Abu Bakar dan mengatakan itu adalah Umar.
Riwayat yang tsabit dalam penyebutan baiat Ali dan Zubair kepada Abu Bakar adalah riwayat perkataan Abu Nadhrah sedangkan riwayat Wuhaib dengan sanad yang panjang telah terjadi pencampuran antara perkataan Abu Nadhrah dan Abu Sa’id Al Khudri. Hal ini dikuatkan oleh riwayat Wuhaib dengan sanad yang tinggi tidak terdapat keterangan penyebutan baiat Ali dan Zubair. Abu Nadhrah Mundzir bin Malik adalah tabiin yang riwayatnya dari Ali, Abu Dzar dan para sahabat terdahulu [Abu Bakar, Umar dan Utsman] adalah mursal [Jami’ Al Tahsil Fii Ahkam Al Marasil no 800] maka riwayat yang menyebutkan pembaiatan Ali dan Zubair adalah riwayat dhaif.

Apalagi telah disebutkan dalam riwayat shahih dan tsabit dari Aisyah sebelumnya bahwa baiat Imam Ali kepada Abu Bakar terjadi setelah kematian Sayyidah Fathimah [‘alaihis salam] yaitu setelah enam bulan. Dalih salafy yang melahirkan istilah “baiat kedua” jelas tidak masuk akal karena jika memang riwayat Abu Sa’id benar maka baiat Imam Ali kepada Abu Bakar itu sudah disaksikan oleh kaum muslimin lantas mengapa perlu ada lagi baiat kepada Imam Ali setelah enam bulan dihadapan kaum muslimin. Apalagi setelah enam bulan Abu Bakar malah dalam khutbahnya menyebutkan kalau Ali belum pernah memberikan baiat dan alasannya. Kemusykilan ini terjelaskan bahwa riwayat Abu Sa’id itu dhaif, Abu Sa’id tidak menyebutkan baiat Ali dan Zubair, itu adalah perkataan Abu Nadhrah yang tercampur dengan riwayat Abu Sa’id.

Jadi jika kita melengkapi riwayat Al Hakim dan yang lainnya [tentang penyebutan baiat Ali] dengan riwayat yang mahfuzh maka riwayat tersebut sebenarnya sebagai berikut:

حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا جعفر بن محمد بن شاكر ثنا عفان بن مسلم ثنا وهيب ثنا داود بن أبي هند ثنا أبو نضرة عن أبي سعيد الخدري رضى الله تعالى عنه قال لما توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم قام خطباء الأنصار فجعل الرجل منهم يقول يا معشر المهاجرين إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا استعمل رجلا منكم قرن معه رجلا منا فنرى أن يلي هذا الأمر رجلان أحدهما منكم والآخر منا قال فتتابعت خطباء الأنصار على ذلك فقام زيد بن ثابت فقال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان من المهاجرين وإن الإمام يكون من المهاجرين ونحن أنصاره كما كنا أنصار رسول الله صلى الله عليه وسلم فقام أبو بكر رضى الله تعالى عنه فقال جزاكم الله خيرا يا معشر الأنصار وثبت قائلكم ثم قال أما لو فعلتم غير ذلك لما صالحناكم ثم أخذ زيد بن ثابت بيد أبي بكر فقال هذا صاحبكم فبايعوه ثم انطلقوا أبو نضرة قال فلما قعد أبو بكر على المنبر نظر في وجوه القوم فلم ير عليا فسأل عنه فقال ناس من الأنصار فأتوا به فقال أبو بكر بن عم رسول الله صلى الله عليه وسلم وختنه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعه ثم لم ير الزبير بن العوام فسأل عنه حتى جاؤوا به فقال بن عمة رسول الله صلى الله عليه وسلم وحواريه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال مثل قوله لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعاه

Telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad bin Syaakir yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Affan bin Muslim yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abi Hind yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah dari Abu Sa’id Al Khudriy radiallahu ta’ala ‘anhu yang berkata “ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka khatib khatib di kalangan anshar berdiri kemudian datanglah salah seorang dari mereka yang berkata “wahai kaum muhajirin sungguh jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyuruh salah seorang diantara kalian maka Beliau menyertakan salah seorang dari kami maka kami berpandangan bahwa yang memegang urusan ini adalah dua orang, salah satunya dari kalian dan salah satunya dari kami, maka khatib-khatib Anshar itu mengikutinya. Zaid bin Tsabit berdiri dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berasal dari kaum muhajirin maka Imam adalah dari kaum muhajirin dan kita adalah penolongnya sebagaimana kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Abu Bakar radiallahu ta’ala anhu berdiri dan berkata “semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian wahai kaum Anshar, benarlah juru bicara kalian itu” kemudian ia berkata “jika kalian mengerjakan selain daripada itu maka kami tidak akan sepakat dengan kalian” kemudian Zaid bin Tsabit memegang tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian maka baiatlah ia” kemudian mereka pergi.

Abu Nadhrah berkata Ketika Abu Bakar berdiri di atas mimbar, ia melihat kepada orang-orang kemudian ia tidak melihat Ali, ia bertanya tentangnya maka ia menyuruh orang-orang dari kalangan Anshar memanggilnya, Abu Bakar berkata “wahai sepupu Rasulullah dan menantunya apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya. Kemudian Abu Bakar tidak melihat Zubair, ia menanyakan tentangnya dan memanggilnya kemudian berkata “wahai anak bibi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah” maka ia membaiatnya

Akhir kata sepertinya Salafy nashibi harus berusaha lagi mengais-ngais riwayat dhaif untuk melindungi doktrin mereka. Atau mungkin akan keluar jurus “ngeyelisme” yang seperti biasa adalah senjata pamungkas orang yang berakal kerdil. Lebih dan kurang kami mohon maaf [kayak bahasa “kata sambutan”].

Salam Damai

____________________________________

(Scondprince/Prajurit-Al-Mahdi/Syiahali/Jakfari/ABNS)


Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: