KISAH SYAHADAH
Perintah Ubaidillah bin Ziyad untuk membantai Al-Husain as disambut oleh pasukannya. Seruannya untuk menjauhkan diri dari kebenaran mereka ikuti. Agama Umar bin Sa’ad telah dibelinya dengan harga dunia. Tawarannya kepada Umar untuk menjadi komandan pasukan penjegal diterimanya dengan senang hati. Bersama dengan empat ribu orang pasukan berkuda, dia keluar untuk memerangi Al-Husain As. Selain itu Ubaidillah bin Ziyad juga mengirimkan lasykar demi lasykar hingga pada hari keenam bulan Muharram jumlah seluruh pasukan yang terkumpul mencapai dua puluh ribu orang. Pasukan besar ini mempersulit keadaan Al-Husain sampai persediaan air minum beliau habis dan dahaga mulai mencekik leher beliau dan rombongan yang bersamanya.
*****
Dengan berdiri bersandarkan pada pangkal pedangnya, beliau berkata dengan suara yang lantang, “Kuingatkan kalian kepada Allah. Apakah kalian mengenalku ?”
Mereka menjawab, “Ya, kami mengenalmu dengan benar. Engkau adalah putra dan cucu Rasulullah .”
Beliau bertanya lagi, “Tahukah kalian bahwa Rasulullah Saw adalah kakekku ?”
“Ya, benar,” jawab mereka serentak.
“Bukankah Fatimah putri Rasulullah adalah ibuku ?”
“Ya, benar.”
“Bukankah Ali bin Abi Thalib ayahku ?”
“Ya, benar.”
“Bukankah Khadijah binti Khuwailid,[1] wanita pertama yang memeluk agama Islam adalah nenekku ?”, tanya Al-Husain selanjutnya.
“Ya, benar.”
“Bukankah Hamzah [2] penghulu para syuhada adalah paman ayahku ?”
“Ya, benar.”
“Bukankah Ja’far[3] yang terbang di surga adalah pamanku ?”
“Ya, benar.”
“Tahukah kalian bahwa kini pedang Rasulullah berada di tanganku ?”
“Ya, benar.”
“Tahukah kalian bahwa sorban yang kupakai ini adalah sorban Rasulullah Saw ?”
“Ya, benar.”
“Tahukah kalian bahwa Ali As adalah orang pertama yang memeluk agama Islam, orang yang paling berilmu,orang yang paling bijak dan pemimpin bagi semua insan Mukmin baik laki-laki maupun perempuan ?”, tanya Al-Husain As.
“Ya, benar.”
“Kalau begitu atas dasar apa kalian hendak membunuhku, padahal ayahku adalah orang yang kelak akan menjagi penjaga telaga Kautsar. Dialah yang akan menghalau sekelompok orang dari telaga itu seperti orang menghalau kawanan unta yang hendak meminum air. Bendera Rasulullah pun kelak akan berada di tangannya?”, tanya Al-Husain lebih lanjut.
“Semua yang Anda katakan itu benar dan sudah kami ketahui,” jawab mereka. “Tapi meskipun demikian, kami tidak akan melepaskan Anda sampai Anda merasakan maut dalam keadaan dahaga yang mencekik leher.”
Saat Al-Husain menyampaikan pidatonya ini, anak-anak dan adik beliau, Zainab,yang mendengarkan kata-kata beliau itu serentak menangis meraung-raung sambil memukuli wajah mereka sendiri.
Al-Husain segera memanggil adiknya, Abbas[4], dan putra beliau, Ali[5]. Kepada mereka berdua beliau berkata, “Diamkanlah mereka! Jika tidak, mereka akan terus menangis.”
Syimr bin Dzil Jausyan[6] – semoga Allah melaknatnya – maju. Dengan suara yang lantang, dia memanggil-manggil, “Mana anak-anak saudariku, Abdullah[7], Ja’far[8], Abbas dan Utsman[9]?”
Kepada mereka Al-Husain As berkata, “Penuhilah panggilannya sekalipun dia orang yang fasik! Sebab dia masih termasuk paman kalian.”
“Ada apa denganmu sampai kau memanggil kami?”, tanya mereka kepada Syimr.
Syimr menjawab,”Wahai keponakanku sekalian, Aku jamin kalian aman. Jadi jangan kalian bunuh diri kalian sendiri dengan membela Al-Husain. Tunduk dan patuhlah kepada Amirul Mukminin Yazid bin Mu’awiyah!”
“Celaka kau dan terkutuklah keamanan yang kau janjikan itu!,” ujar Abbas bin Ali As. Kau suruh kami untuk meninggalkan saudara dan pemimpin kami Al-Husain As, putra Fatimah As dan tunduk kepada orang-orang laknat putra orang-orang terkutuk itu ?” Syimr pergi meninggalkan mereka dengan amarah yang meluap.
Perawi berkata: Sewaktu Al-Husain As melihat gelagat ketidaksabaran mereka untuk segera menyerang dan tidak berfaedahnya semua nasehat yang beliau berikan, beliau berkata kepada Abbas, adiknya, ” Jika kau dapat memalingkan perhatian mereka hari ini, lakukanlah segera! Mungkin dengan itu kita dapat beribadah kepada Allah Swt pada malam ini. Karena Dia tahu bahwa aku sangat menyenangi shalat menghadap kepada-Nya dan membaca ayat-ayat suci-Nya.”
Perawi berkata: Abbas meminta kesempatan tersebut kepada mereka. Umar bin Sa’ad tidak memberikan jawabannya. Umar[10] bin Hajjaj menegurnya. Katanya, “Demi Allah, mereka bukanlah orang-orang Dailam atau Turki yang meminta kesempatan itu. Sebaiknya kita berikan kesempatan ini kepada mereka. Apalagi mereka adalah keluarga dekat Nabi Muhammad Saw” Permintaan itu pun mereka kabulkan.
Perawi berkata: Al-Husain As duduk dan tertidur. Ketika terjaga, beliau berkata, “Wahai adikku Zainab, baru saja aku bermimpi melihat kakek kita Rasulullah Saw, ayah, ibu, dan kakak kita Al-Hasan. Mereka semua berkata kepadaku,” Wahai Husain, kau akan segera pergi berkumpul bersama kami.” Sebagian riwayat menyebutkan kata “Besok”.
Perawi berkata: Zainab yang mendengar kata-kata abangnya itu langsung memukuli wajahnya dan berteriak histeris. “Zainab, hentikanlah! Jangan kau buat musuh gembira melihat musibah yang menimpa kita,” kata Al-Husain As kepadanya.
Malam pun tiba. Al-Husain As mengumpulkan para sahabatnya. Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah Swt, beliau berkata,
“Amma ba’du. Aku tidak pernah tahu ada sahabat yang lebih setia dari kalian atau keluarga yang lebih mulia dan lebih baik dari keluargaku. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian padaku dengan balasan-Nya yang lebih baik.
Malam kini telah tiba. Jadikanlah ini kesempatan untuk pergi. Aku minta setiap orang yang pergi membawa pergi bersamanya seorang dari keluargaku. Pergilah di kegelapan malam ini. Tinggalkan aku seorang diri berhadapan dengan mereka. Sebab mereka hanya menginginkan aku.”
Saudara-saudara Al-Husain As, anak-anak beliau dan anak-anak Abdullah bin Ja’far[11] berseru, “Mengapa kita mesti melakukannya? Apakah supaya kita dapat hidup lebih lama setelah kematianmu? Semoga Allah tidak menakdirkan hal itu terjadi pada diri kita.” Orang pertama yang mengatakah hal itu adalah Abbas bin Ali dan kemudian diikuti oleh yang lainnya.
Perawi berkata: Al-Husain As mengalihkan pandangannya ke arah anak-anak Aqil[12] dan berkata, “Cukup saudara kalian Muslim saja yang terbunuh. Kuizinkan kalian untuk pergi. Pergilah!”
Menurut riwayat lain, saat itulah saudara-saudara dan seluruh keluarga beliau berkata, “Wahai putra Rasulullah, apa yang akan dikatakan oleh orang-orang dan apa jawaban kami kepada mereka jika kita sampai meninggalkan pemimpin kita dan anak dari putri Nabi kita Saw, tanpa ikut membidikkan anak panah, tanpa menusukkan tombak dan tanpa mengayunkan pedang bersamanya. Tidak. Demi Allah, kami tidak akan meninggalkanmu selamanya. Tapi sebaliknya, kami akan melindungimu dengan menjadikan badan ini sebagai perisai hidupmu sampai kami semua terbunuh dan syahid di sisimu lalu masuk di tempatmu di sisi Allah Swt. Semoga Allah memperburuk kehidupan setelahmu.”
Muslim bin ‘Ausajah[13] bangkit dan berkata, “Apakah kami akan meninggalkanmu sendirian padahal musuh telah mengepungmu dari segala penjuru? Demi Allah, tidak! Semoga Allah tidak menakdirkan aku melakukan hal tersebut hingga aku dapat mematahkan tombakku di dada mereka dan membabat habis mereka dengan pedangku selagi pangkalnya masih berada dalam genggamanku. Dan jika aku tidak memiliki senjata lagi untuk berperang melawan mereka, akan kulempari mereka dengan batu. Tak akan kutinggalkan engkau sampai aku mati dalam membelamu.”
Said[14] bin Abdullah Al-Hanafi berdiri dan berseru, “Demi Allah, kami tidak akan pernah meninggalkanmu, wahai putra Rasulullah. Sehingga Allah mengetahui bahwa kami telah menjaga wasiat Nabi Muhammad Saw dengan membelamu. Jika akau tahu bahwa aku akan terbunuh dalam usahaku membelamu lalu hidup kembali dan dibakar hidup-hidup kemudian abuku disebarkan, begitu seterusnya sampai tujuh puluh kali, tak akan kutinggalkan dirimu sampai kutemui ajalku. Apalagi aku tahu bahwa aku hanya akan sekali mati terbunuh lalu memperoleh kemuliaan abadi.”
Zuhair bin Al-Qain tak mau kalah. Katanya, “Demi Allah, wahai putra Rasulullah. Aku gembira jika harus mati terbunuh lalu hidup lagi sebanyak seribu kali, tapi Allah menyelamatkan Anda dan keluarga Anda dengan kematianku.”
Kemudian sahabat-sahabat beliau yang lain mengatakan hal yang serupa. Mereka berkata, “Jiwa kami adalah tebusan jiwa Anda. Kami akan membela Anda dengan tangan dan wajah kami. Bila kami harus mati terbunuh di sampingmu, berarti kami telah memenuhi janji kami kepada Allah dan kami telah melaksanakan apa yang menjadi kewajiban kami.”
Pada waktu itu ada yang berkata kepada Muhammad bin Basyir Al-Hadhrami[15], ” Anakmu kini tengah ditawan di negeri Rey[16]” Ia menjawab, ” Aku hanya mengharapkan pahala dari Allah untuk kami. Aku tidak ingin melihat ia ditawan sedangkan aku masih hidup.”
Al-Husain As memperhatikan pembicaraan tersebut. Beliau lalu berkata,“Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu. Engkau kubebaskan dari baiatku. Lakukanlah sesuatu untuk kebebasan anakmu !”
“Semoga binatang-binatang buas memangsaku hidup-hidup jika aku sampai meninggalkan Anda,” katanya.
“Kalau begitu , berikan kain-kain yang ada kepada anakmu ini untuk menebus saudaranya!” ujar Al-Husain as Kemudian kain-kain yang berharga seribu dinar tersebut diserahkan kepadanya.
Perawi berkata: Malam itu Al-Husain As dan para sahabatnya larut dalam dengungan rabbani. Dengungan suara mereka tak ubahnya suara kawanan lebah. Mereka tenggelam dalam ruku’, sujud, berdiri menghadap kiblat dan duduk bermunajat. Malam itu kurang lebih tiga puluh orang dari kamp Umar bin Sa’ad melewati mereka[17].
Keesokan harinya, Al-Husain As memerintahkan untuk mendirikan sebuah kemah lagi dan meminta satu tempat yang berisi minyak kesturi yang telah dicampur dengan bunga. Lalu beliau masuk ke dalam kemah tersebut untuk memakai minyak.
Diriwayatkan bahwa Burair bin Hushain Al-Himdani dan Abdur Rahman bin Abdi Rabbih Al-Anshari[18] berdiri di depan pintu kemah itu menunggu giliran setelah beliau. Pada saat itulah Burair bercAnda dengan Abdur Rahman. Abdur Rahman berkata kepadanya, “Hai Burair, kenapa engkau tertawa ? Sekarang ini bukan waktunya untuk bercAnda dan bermain ?!”
Burair menjawab,”Dari dulu sampai sekarang kaum kerabatku mengetahui bahwa aku bukanlah orang yang suka bermain-main. Tapi hal itu aku lakukan karena aku gembira sekali menyaksikan jalan yang kita lalui ini. Demi Allah, kita hanya perlu berhadapan dengan mereka sebentar sambil memainkan pedang kita, lalu kita akan segera jatuh ke dalam pelukan bidadari surga.”
Perawi berkata: Pasukan Umar bin Sa’ad bersiap-siap di atas kuda mereka. Melihat itu, Al-Husain As segera mengutus Burair[19] bin Hushain untuk menasehati mereka. Tapi sayang, kata-kata Burair tidak mereka indahkan. Sia-sia saja usaha yang dilakukan oleh sahabat setia Al-Husain as itu.
Al-Husain As naik ke atas untanya – atau kudanya, menurut riwayat yang lain – dan meminta mereka semua untuk diam. Keheningan menyelimuti padang tandus dan gersang itu.
Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah Swt dan menyampaikan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw, para malaikat, nabi dan rasul-Nya, beliau berkata,
“Celakalah kalian semua! Saat kalian merengek-rengek meminta bantuan kami, kami segera datang memenuhi panggilan kalian. Tapi kini kalian justru menghunus pedang untuk menyerang kami, padahal kalian masih terikat janji baiat dengan kami. Kalian nyalakan api yang sedianya kami siapkan untuk musuh kami dam musuh kalian. Kini kalian telah berubah menjadi budak-budak musuh kalian untuk memerangi pemimpin kalian sendiri, padahal mereka tidak berlaku adil kepada kalian dan tak ada kebaikan yang bisa kalian harapkan dari mereka.
Bukankah sebaiknya kalian sarungkan lagi pedang yang telah dihunus itu dan meninggalkan kami dengan hati lembut. Sekarang masih belum terlambat. Tapi rupanya kalian sangat cepat untuk mendapat kutukan.
Terkutuklah kalian, hai budak-budak hina, pendurjana, pencampak kitab Allah, pemutar balik kata, pewaris dosa-dosa, sasaran tiupan setan dan pemadam Sunnah ! Merekakah yang kalian dukung dengan menghinakan kami?
Demi Allah, ini bukan kali pertama kalian bertindak licik. Kelicikan ini telah mengakar pada kalian semua. Kini orang-orang merasa jijik menyaksikan tindakan kalian ini. Dan kalian menjadi santapan empuk para penguasa zalim.
Ketahuilah bahwa Yazid bin Mu’awiyah memberiku dua pilihan, mati atau hidup terhina. Kami tidak akan memilih kehinaan selamanya. Allah tidak menghendaki hal itu terjadi pada kami, juga Rasul-Nya dan kaum Mukminin. Jiwa suci kami lebih memilih mati dengan terhormat daripada tunduk kepada para penguasa zalim. Ketahuilah, bahwa aku memilih untuk mati bersama kelompok kecil ini, meski tak ada lagi orang yang mau membelaku.”
Lalu beliau meneruskan khotbah tersebut dengan bait-bait syair Farwah bin Masik Al-Muradi[20]:
Jika kami menang, hal itu sudah terbiasa dari dulu,
Dan jika kalah, tak ada cela bagi kekalahan itu,
Rasa takut tak pernah merasuki kalbu kami,
Hanya ajallah dan adanya takdir ilahi.
Bila maut tak menghampiri suatu golongan,
Pasti ia sedang mendatangi kaum yang lain,
Mautlah penutup umur orang-orang mulia,
Ia jugalah pembinasa umat-umat terdahulu.
Jika para raja hidup kekal, kita pun abadi,
Jika orang mulia tetap hidup, kita tak akan mati,
Katakanlah kepada mereka, “Ingatlah bahwa,
Kalian akan mengalami hal yang sama.
Kemudian beliau berkata,
“Ketahuilah! Demi Allah, setelah ini kalian hanya akan hidup sebentar, selama waktu orang menunggang kuda. Selanjutnya kalian akan diputar seperti gilingan gandum dan digoncang dari porosnya. Ini adalah janji yang diberikan oleh ayahku dari kakekku Rasulullah Saw.
Karena itu bulatkanlah tekad kalian dan kumpulkanlah semua sekutu kalian untuk membinasakanku. Kemudian umumkan keputusan itu dan binasakanlah aku, jangan kalian beri aku kesempatan lagi!
Aku berserah diri kepada Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian. Tak ada sesuatu pun yang melata di muka bumi kecuali ada pada kekuasaan-Nya. Tuhanku berada di jalan yang lurus.
Ya Allah, jangan Kau turunkan hujan untuk mereka ! Tapi azablah mereka dengan paceklik seperti paceklik di masa Yusuf as!
Utuslah seorang dari Bani Tsaqif untuk menguasai dan menghinakan mereka sehina-hinanya. Karena mereka telah mendustakan dan melecehkan kami. Engkaulah Tuhan kami. Kepada-Mulah kami berserah diri dan kepada-Mulah kami kembali. Engkau tempat kembali segala sesuatu.”
Al-Husain As turun lalu meminta kuda Rasulullah Saw yang bernama “Murtajiz”. Setelah naik ke atasnya, beliau memerintahkan para sahabat setianya agar bersiap-siap untuk bertempur.
Diriwayatkan dari Imam Muhammad Baqir As beliau berkata, “Jumlah mereka semua empat puluh oang penunggang kuda dan seratus pejalan kaki.” Riwayat lain menyebutkan jumlah yang lain.
Perawi berkata: Umar bin Sa’ad bergerak maju dan membidikkan anak panahnya ke arah perkemahan Al-Husain As sembari berseru, “Saksikanlah dan sampaikan pada tuan gubernur bahwa aku adalah orang pertama yang membidikkan panah.” Selanjutnya anak-anak panah menghujani perkemahan Al-Husain mengikuti anak panah bidikan Ibnu Sa’ad.
Kepada para sahabatnya Al-Husain As berkata, “Semoga Allah merahmati kalian semua. Bangkit dan sambutlah kematian ini! Kematian yang memang harus kita alami. Anak-anak panah ini membawa pesan perang kepada kalian.”
Beberapa saat peperangan tak berimbang ini berkecamuk. Serangan demi serangan dilancarkan, sehingga beberapa orang dari sahabat Al-Husain gugur sebagai syahid.
Al-Husain As memegang janggutnya dan berkata, “Allah sangat murka kepada bangsa Yahudi ketika mereka menisbatkan Uzair sebagai anak-Nya. Juga kepada orang-orang Nasrani saat mereka menjadikan-Nya oknum ketiga dari tiga oknum tuhan mereka. Kepada kaum Majusi Allah murka ketika mereka memilih menyembah matahari dan bulan daripada Allah. Dan kini kemurkaan Allah turun atas sekelompok orang yang bahu membahu membunuh anak dari putri Nabi mereka.
Ketahuilah! Demi Allah, tak akan kupenuhi tawaran mereka sampai aku menemui Allah Swt dengan tubuh bersimbah darah.”
Diriwayatkan bahwa Imam Ja’far Shadiq As berkata,
“Ayahku mengatakan bahwa ketika Al-Husain berpapasan dengan Umar bin Sa’ad dan pertempuran tengah berkecamuk dengan hebatnya, Allah menurunkan pertolongan-Nya hingga kemenangan berada di atas kepala Al-Husain As.
Lalu Allah memberinya dua pilihan: Kemenangan atas musuh-musuhnya atau bertemu dengan-Nya. Al-Husain As memilih untuk bertemu dengan Tuhannya[21].”
Perawi mengatakan: Al-Husain As berkata,”Adakah orang yang masih menginginkan ridha Allah dengan menolong kami ? Adakah orang yang masih mau membela kehormatan Rasulullah Saw ?”
Tiba-tiba Hurr bin Yazid Al-Riyahi menghadap komAndan tertinggi pasukan Ibnu Ziyad, Umar bin Sa’ad dan berkata, “Masihkah kau berniat untuk memerangi orang ini?”
Umar menjawab, “Tentu. Aku akan terus memeranginya, minimal sampai kepalanya melayang dan jari-jari tangannya terpotong.”
Hurr pergi meninggalkan Ibnu Sa’ad dan menyendiri sedang badannya menggigil. Muhajir bin Aus[22] yang menyaksikan pemandangan aneh ini berkata,”Demi Allah, aku bingung melihat keadaanmu ini. Padahal jika ada orang yang bertanya, siapakah orang Kufah yang paling berani, aku akan dengan mantap menjawab bahwa orang itu adalah kau. Apa gerangan yang terjadi padamu?”
Hurr menjawab, “Demi Alah, aku dihadapkan pada dua pilihan, surga atau neraka. Aku bersumpah bahwa aku lebih memilih surga walaupun mesti dicincang atau dibakar hidup-hidup.”
Setelah berkata demikian, Hurr memacu kudanya dengan cepat menuju perkemahan Al-Husain As dengan tangan di atas kepala dan berseru,”Ya Allah, kini aku bertaubat kepada-Mu, terimalah taubatku ini! Aku telah melakukan kesalahan besar dengan membuat rasa takut yang mencekam hati kekasih-kekasih-Mu dan anak-anak putri Nabi-Mu.”
Kepada Al-Husain As ia berkata, “Akulah orang yang menghalangimu untuk kembali ke kotamu dan menggiringmu ke tempat ini. Demi Allah, aku tidak pernah mengira bahwa mereka akan berlaku sekejam ini padamu. Kini aku bertaubat kepada Allah Swt. Masih terbukakah pintu taubat buatku ?”
Al-Husain As menjawab: “Ya. Allah telah menerima taubatmu. Turunlah !”
Hurr berkata: “Lebih baik aku berada di atas punggung kudaku dan bertempur membelamu daripada berjalan kaki. Karena bila aku turun, mereka akan langsung membunuhku.”
Katanya lagi: “Jika aku merupakan orang pertama yang menghadang Anda, izinkan aku untuk menjadi orang pertama yang gugur dari barisanmu. Aku berharap dapat menjabat tangan kakek Anda, Rasulullah Saw dihari kiamat kelak.”
Al-Husain As mengijinkannya. Kini Hurr berada di tengah-tengah medan laga dan bertempur dengan sengitnya hingga berhasil membuat beberapa jagoan musuh terkapar di tanah. Tapi ia pun gugur sebagai pahlawan. Jasadnya dibawa ke perkemahan Al-Husain As. Beliau sambil membersihkan wajah Hurr dari debu dan tanah berkata, “Engkau Hurr (Merdeka) seperti nama yang ibumu berikan. Engkau bebas dan merdeka di dunia dan akhirat.”
Perawi berkata: Burair bin Khudhair, seorang yang terkenal zuhud dan ahli ibadah, keluar dari barisan. Yazid bin Mi’qal[23] datang menyambutnya. Keduanya sepakat untuk bermubahalah dan memanjatkan doa agar Allah Swt membinasakan orang yang bersalah di tangan orang yang benar.
Pertarungan antara keduanya dimulai. Sabetan pedang Burair mengakhiri hidup Yazid. Yazid tewas Burair terus berperang dengan sengitnya sampai kemudian gugur sebagai syahid. Semoga Allah Swt meridhainya.
Wahb bin Habbab Al-Kalbi[24] keluar dari barisan. Dengan terampil dan gerakan yang cepat dan lincah, ia menari-narikan pedangnya dan bertempur dengan gagah berani. Beberapa saat setelah itu, ia kembali ke perkemahan dan menghampiri ibu dan istrinya yang ikut dalan rombongan Al-Husain As. Kepada ibunya ia bertanya,”Ibu, puaskah kau menyaksikan aku bertempur di pihak Al-Husain ?”
Sang ibu menjawab,”Tidak. Aku tidak pernah akan merasa puas sampai menyaksikan kau terbunuh di sisi beliau?”
Istrinya berkata,”Wahb, demi Allah, jangan kau siksa aku dengan kepergianmu.”
“Anakku, jangan kau pikirkan apa yang istrimu katakan itu! Kembalilah ke medan laga dan berperanglah demi membela anak putri Nabimu. Kelak kau akan mendapatkan syafa’at kakeknya di hari kiamat.”
Wahb kembali ke tengah medan dan terus bertarung melawan musuh-musuh Allah sampai kedua tangannya putus. Sang istri menghampirinya dengan membawa kayu penyangga dan berseru,”Teruslah bertempur demi membela orang-orang suci ini, keluarga Muhammad Rasulullah Saw”
Wahb mendatangi istrinya dan menyuruhnya pergi ke kemah para wanita. Sambil memegangi pakaian sang suami ia berkata, “Aku tak mau kembali. Aku ingin mati bersamamu.”
Al-Husain As menghampiri mereka dan menyuruh istri Wahb untuk segera kembali ke tempat para wanita berada dan berkata,“Semoga Allah membalas kebaikan kalian. Kembalilah kau ke kemah para wanita. Allah merahmatimu.”
Wahb Al-Kalbi terus bertempur hingga akhirnya ia gugur sebagai syahid. Ridhwanullahi ‘alahi.
Giliran Muslim bin ‘Ausajah maju. Dengan sengitnya, ia mengobrak-abrik barisan musuh. Segala rintangan dan cobaan ia lalui dengan tabah. Sampai ia jatuh tersungkur di atas tanah. Ia masih bernafas. Al-Husain As bersama Habib bin Madhahir mendatanginya. Al-Husain berkata kepadanya,”Semoga Allah merahmatimu, hai Muslim.” Beliau membaca ayat suci:
فمنهم من قضي نحبه ومنهم من ينتظر وما بدلوا تبديلا
“Di antara mereka ada yang gugur, ada pula yang masih menunggu. Mereka tidak merubah-rubah (janji mereka).”
Habib mendekatinya dan berbisik,”Sungguh berat bagiku menyaksikan kematianmu, wahai Muslim. Bergembiralah karena surga telah menantimu. “
Dengan suara lirih yang nyaris tak terdengar Muslim menjawab, “Allah juga telah menjanjikan kebaikan untukmu.”
“Jika aku tahu bahwa aku hidup lebih lama lagi, dengan senang hati akan kulaksanakan wasiatmu,” kata Habib lagi.
“Wasiatku padamu adalah dia – sambil menunjuk kepada Al-Husain As – Berperanglah demi dia sampai engkau juga terbunuh seperti aku,” ujar Muslim.
“Dengan senang hati akan kulaksanakan wasiatmu ini,” jawab Habib.
Muslim bin ‘Ausajah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ridhwanullahi ‘alahi.
‘Amr bin Quradhah Al-Anshari[25] maju meminta izin dari Al-Husain as Beliau mengijinkannya. Ia pun langsung masuk ke medan laga dan bertempur dengan gagah berani. Ia rindu untuk segera mendapatkan pahala dan berkhidmat pada Tuhan penguasa langit. Banyak nyawa tentara Ibnu Ziyad yang berhasil ia pisahkan dari badan mereka.
Dialah teladan dari kebenaran dan perjuangan. Tak ada anak panah yang melesat ke arah Al-Husain As kecuali ia lumpuhkan. Dan tak ada pedang yang terayun ke arah Al-Husain As kecuali ia tangkis dengan taruhan nyawa. Tak ada gangguan yang berhasil sampai ke tubuh Al-Husain As selama dia ada, hingga badan ‘Amr penuh luka yang menganga. Sambil menengok ke arah Al-Husain, ia berkata,”Ya Husain, wahai putra Rasulullah, setiakah aku padamu ? “
Al-Husain As menjawab, “Ya. Kau akan berada di depanku di surga nanti. Sampaikan salamku kepada Rasulullah Saw dan katakan kepada beliau bahwa aku akan segera menyusul.”
‘Amr kembali bertempur dengan gigihnya hingga akhirnya ia gugur. Ridhwanullahi ‘alaihi.[26]
Jaun[27], seorang yang berkulit hitam, bekas budak Abu Dzar, maju siap bertempur. Kepadanya Al-Husain As berkata, “Engkau tidak terikat baiat denganku. Demi keselamatanmu, engkau ikut bersama kami. Karena itu, jangan kau tempuh jalan yang kami pilih.”
Jaun menjawab, “Wahai putra Rasulullah, di saat senang aku selalu makan dari hidanganmu. Apakah kini dengan adanya kesulitan yang Anda hadapi, aku lantas berdiam diri? Demi Alah, bau badanku ini busuk. Jalur keturunanku pun hina. Dan kulitku hitam. Biarkan aku mencium bau surga sehingga bauku menjadi harum, silsilah kuturunanku menjadi mulia dan kulitku menjadi putih. Demi Allah tak akan kutinggalkan Anda sampai darahku yang hitam ini bercampur dengan darah kalian.”
Ia pun bertempur dengan sengitnya hingga gugur sebagai syahid. Ridhwanullahi ‘alahi.
Perawi berkata: ‘Amr bin Khalid Al-Shaidawi[28] tampil ke depan dan berkata kepada Al-Husain As, “Wahai putra Rasulullah, nyawaku kujadikan tebusan jiwamu. Aku ingin segera menyusul kawan-kawanku dan tidak ingin mati setelah Anda. Sebab jika hal itu terjadi, berarti aku akan menyaksikan Anda dibantai seorang diri di depan mata keluargamu.”
Al-Husain As menjawab, “Majulah! Kami akan segera menyusulmu.”
Ia pun maju bertempur sampai akhirnya gugur. Ridhwanullahi ‘alaihi.
Perawi berkata: Handhalah bin Sa’ad Al-Syabami[29] datang dan berdiri di depan Al-Husain As untuk melindungi beliau dari serangan anak-panah, pedang dan tombak musuh dengan wajah dan dadanya, sambil berseru,
“Hai kalian semua, aku khawatir nasib kalian akan berakhir seperti musuh-musuh Allah, seperti kaum Nabi Nuh, Tsamud dan lainnya. Allah tidak pernah menzalimi hamba-hamba-Nya.
Wahai kaumku, aku mencemaskan keadaan kalian di hari kiamat kelak. Hari di mana kalian akan kebingungan dan melarikan diri, padahal tak ada yang dapat melindungi kalian dari kemurkaan Allah. Wahai kaumku, jangan kalian bunuh Al-Husain, karena hal itu dapat menjadi penyebab kalian dibinasakan oleh Allah dengan azab-Nya. Sungguh merugi orang yang membuat kedustaan.”
Lalu ia berpaling menghadap Al-Husain As dan berkata, “Bolehkah aku segera pergi menghadap Tuhan kita dan menyusul kawan-kawan yang lain?”
Beliau menjawab, “Pergilah ke tempat yang paling baik untukmu dari dunia seisinya! Pergilah menuju kerajaan Allah yang abadi!”
Ia maju dan berperang dengan gagah berani. Dengan penuh kesabaran ia hadapi segala derita yang menimpanya hingga akhirnya ia jatuh tersungkur dan gugur sebagai syahid. Ridhwanullahi ‘alaihi.
Waktu shalat dhuhur tiba. Al-Husain memerintahkan Zuhair bin Al-Qain dan Sa’id bin Abdillah Al-Hanafi untuk maju ke depan beliau bersama setengah dari jumlah pasukan beliau yang masih tersisa. Mereka lalu melaksanakan shalat khauf (Sholat di waktu perang tengah berkecamuk).
Sebuah anak panah melesat ke arah Al-Husain As. Sa’id bin Abdillah Al-Hanafi segera menyambutnya dengan berdiri tegak bak tameng hidup Al-Husain As, dan tak bergeming sedikit pun sampai akhirnya jatuh tersungkur mencium tanah sambil berkata, “Ya Allah, kutuklah orang-orang ini seperti Engkau mengutuk kaum ‘Aad dan Tsamud. Ya, Allah, sampaikanlah salamku kepada Nabi-Mu. Sampaikan padanya derita dan perihnya luka yang kurasakan ini, karena mengharapkan pahala dari-Mu dengan membela cucu Nabi-Mu.”
Ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan tiga belas anak panah di tubuhnya, selain dari luka yang disebabkan oleh sayatan pedang dan tusukan tombak. Ridhwanullahi ‘alaihi.
Perawi berkata: Suwaid bin Umar bin Abi Al-Mutha’[30], orang terhormat yang gemar shalat, maju bertempur bak singa liar. Segala kepedihan dan keperihan ia hadapi dengan penuh ketabahan, hingga akhirnya jatuh di antara korban peperangan tak berimbang ini dengan berlumuran darah dari luka ynag ia alami. Tak ada lagi gerakan yang terlihat dari tubuhnya. Sampai kemudian ia mendengar suara orang-orang yang mengatakan bahwa Al-Husain As terbunuh. Dengan menahan rasa sakit yang teramat sangat, ia keluarkan pisau dari sela-sela sepatunya dan bangkit bertarung kembali hingga terbunuh. Ridhwanullahi ‘alaihi.
Pasukan Al-Husain bertarung dengan sengitnya. Mereka seperti yang dikatakan orang:
Sekelompok orang, ketika ditantang bencana,
Di antara pasukan berkuda yang siap menerjang,
Mereka jadikan hati sebagai perisai,
Berlomba hadiahkan nyawa mereka tersayang.
Kini hanya Al-Husain As dan keluarganya saja yang masih tersisa. Ali bin Al-Husain As, pemuda yang tampan dan menawan baik paras maupun perangainya ini, meminta izin ayahnya untuk maju melawan para durjana musuh-musuh Allah. Izin diberikan.
Al-Husain hanya dapat mengikuti langkahnya lewat pAndangan yang sayu. Air mata membasahi pipinya. Sambil terisak beliau berkata, “Ya Allah, saksikanlah ! Pemuda yang sangat mirip dengan Rasul-Mu baik wajah, perangai maupun tutur katanya, kini maju menghadang musuh dan bertarung dengan mereka. Dialah obat kerinduan kami kepada Nabi-Mu. Dengan memandanginya kami dapat mengobati kerinduan itu.”
Kemudian beliau berseru, “Hai Ibnu Sa’ad, semoga Allah memutus garis keturunanmu seperti engkau memutus keturunanku dengan membunuhnya.”
Ali bin Al-Husain As maju dan dengan gerakan yang lincah dan penuh semangat ia berhasil mencerai-beraikan barisan musuh. Korban berjatuhan terkena sabetan pedangnya. Kemudian ia kembali ke ayahnya dan berkata, “Ayah, rasa haus ini telah mencekik leherku. Dan besi ini terasa sangat berat di badanku. Adakah cara agar aku bisa mendapatkan air barang seteguk ?”
Al-Husain As sedih mendengar permintaan anak kesayangannya itu dan sambil menangis beliau berkata, “Oh malangnya engkau! Dari mana aku bisa mendapatkan air? Bertempurlah sejenak! Tak lama lagi kakekmu Muhammad Saw akan memberimu minuman dengan cawannya dan setelah itu kau tidak akan merasakan dahaga lagi selamanya.”
Ia pun kembali ke medan laga dan bertempur dengan sengitnya, hingga sebuah anak panah kiriman Munqidz bin Murrah Al-‘Abdi mengenainya. Ali bin Al-Husain As tersungkur dan berseru, “Ayah, salam dariku untukmu. Ini dia, kakekku Rasulullah berkirim salam padamu dan berpesan agar engkau cepat-cepat datang menyusul kami.” Cawan syahadah ia teguk. Ridhwanullahi ‘alaihi.
Al-Husain As segera menghampirinya dan meletakkan pipi sang anak di pipinya seraya berkata, “Semoga Allah membinasakan mereka yang membunuhmu. Alangkah durhakanya mereka kepada Allah sehingga berani menginjak-injak kehormatan Rasulullah Saw Dunia kini tak berarti lagi setelah kepergianmu, anakku.”
Perawi berkata: Zainab binti Ali keluar dari kemah dan menjerit histeris,”Oh sayangku, oh keponakanku.” Ia menghampiri jasad Ali bin Al-Husain As lalu menjatuhkan dirinya di atas tubuh tak bernyawa itu.
Al-Husain As segera mengambil Zainab dan mengembalikannya ke kemah para wanita.
Satu demi satu jawara Bani Hasyim maju. Sebagian telah gugur di tangan musuh. Saat itulah Al-Husain As berseru, “Bersabarlah wahai anak-anak pamanku ! Bersabarlah wahai keluargaku! Demi Allah, kalian tak akan merasakan kehinaan lagi setelah hari ini.”
Perawi berkata: Seorang anak yang belia[31] dengan wajah bak bulan purnama mendadak keluar dari barisan Al-Husain As dan bertempur dengan sengit. Ibnu Fudhail Al-Azdi[32] datang dan memukul kepalanya. Tengkorak kepala sang anak pecah dengan luka yang menganga. Ia jatuh tersungkur dan menjerit, “Paman…”
Al-Husain As segera keluar dari perkemahannya dan memacu kudanya secepat kilat. Dengan pedang yang terhunus di tangan kanannya dan amarah yang memuncak, disabetnya Ibnu Fudhail, yang saat melihat Al-Husain As berusaha untuk menyelamatkan diri dari maut yang hampir pasti. Pukulan Al-Husain ditangkisnya dengan lengan tangan. Suara lengkingannya terdengar kala tangan si durjana itu terlepas dari sikunya. Teriakannya terdengar oleh pasukan Ibnu Sa’ad. Mereka segera datang berusaha untuk dapat menolongnya. Tapi sial, kaki-kaki kuda mereka justru menginjak-injaknya hingga ia tewas mengenaskan.
Perawi berkata: Debu-debu yang beterbangan reda sudah. Tampak Al-Husain As berdiri di samping anak tersebut yang masih menyentak-nyentakkan kakinya di tanah. Beliau berkata, “Terkutuklah mereka yang telah membunuhmu. Di hari kiamat kelak, kakekmu[33] akan menuntut balas kematianmu dari mereka semua.”
Kemudian beliau berkata lagi, “Sungguh berat rasanya bagi pamanmu ini, kala mendengar panggilanmu tapi tak menjawabnya. Atau menjawab tapi suaranya tak lagi dapat memberikan apa-apa. Demi Allah, hari ini telah dipenuhi oleh orang-orang zalim dan sedikit orang yang mau menolong kita.”
Al-Husain menggendong jasad belia ini dan meletakkannya di tempat sanak keluarganya yang telah menjadi korban kebiadaban hari itu.
Saat Al-Husain As memandangi jasad-jasad keluarga dan sahabatnya, beliau bertekad untuk menghadapi sendiri musuh-musuhnya dengan jiwa dan raga. Beliau berkata,
“Adakah orang yang mau membela kehormatan Rasulullah Saw ? Adakah seorang muslim di sini yang takut kepada Tuhannya karena menzalimi kami? Adakah orang yang mau menolong kami karena mengharapkan pahala dari Allah ?”
Jerit tangis para wanita meledak. Al-Husain As mendatangi kemah dan berkata kepada Zainab,“Ambilkan anakku yang paling kecil[34]! Aku ingin mengucapkan selamat tinggal padanya.”
Al-Husain mengambil anak tersebut. Ketika hendak menciumnya, sekonyong-konyong sebuah anak panah yang dibidikkan oleh Harmalah bin Kahil[35] melesat dan menancap tepat di kerongkongannya yang mungil itu.. Leher sang anak menganga bagai disembelih. Kepada Zainab, Al-Husain As berkata, “Ambillah !”
Darah segar yang mengucur deras dari leher tersebut beliau tampung di telapak tangan hingga penuh. Lalu darah itu beliau lemparkan ke atas sambil berseru, “Ya Allah, ringankanlah deritaku ini! Engkau telah menyaksikan semuanya.”
Imam Baqir As berkata, “Tak setetes pun dari darah itu yang tumpah ke tanah.”
Ada riwayat lain yang lebih logis dan layak untuk diterima. Saat-saat menegangkan dengan berkecamuknya peperangan dan sadisnya pembantaian yang dilakukan oleh musuh, bukan saat yang tepat untuk berpamitan dengan seorang bayi. Riwayat kedua ini menyebutkan bahwa Zainab, adik kandung Al-Husain As, keluar dari kemahnya dengan membawa bayi tersebut seraya berkata, “Abangku, anakmu ini sudah tiga hari lamanya tidak meneguk air sama sekali. Mintalah air untuknya barang seteguk.”
Al-Husain As mengambil sang anak dan berkata kepada mereka, “Hai kalian semua! Kalian telah membantai sahabat-sahabat dan sanak keluargaku. Kini tinggal anakku yang masih bayi ini yang tercekik rasa dahaga. Berilah ia beberapa tetes air untuk membasahi tenggorokannya !”
Ketika Al-Husain tengah berkata demikian, tiba-tiba seseorang melepaskan anak panah ke arah bayi yang berada di tangan Al-Husain As itu hingga menembus leher mungilnya.
Al-Husain As memanjatkan doa agar Allah Swt mengazab mereka. Doa tersebut menjadi kenyataan dengan terbantainya mereka di tangan Mukhtar.
Perawi berkata: Rasa dahaga kian mencekik Al-Husain as Dengan menunggang Mutsannat (Nama kuda beliau, pent), beliau pergi menuju sungai Furat. Abbas, adik beliau ikut menyertai. Di tengah jalan, mereka berdua dihadang oleh pasukan berkuda Ibnu Sa’ad. Seorang dari Bani Darim membidikkan panahnya ke arah Al-Husain As. Anak panah itu dengan cepat melesat dan mengenai dagu bawah beliau. Al-Husain mencabutnya dan meletakkan tangannya di luka tersebut sampai darah memenuhi kedua telapak tangannya. Beliau melemparkan darah itu dan berkata, “Ya Allah, aku mengadukan kepada-Mu segala apa yang mereka perbuat terhadap anak putri Nabi-Mu.”
Pasukan kuda Ibnu Sa’ad kini menghadang Abbas dan mengepungnya dari segala penjuru. Dengan sadis mereka mencincangnya. Semoga Allah mensucikan ruhnya[36]. Ridhwanullahi ‘alaihi.
Menyaksikan itu, Al-Husain As tak lagi dapat membendung tangisnya. Dalam hal ini, seorang penyair berkata:
Pemuda yang paling pantas untuk ditangisi,
Adalah yang membuat Al-Husain menangisinya.
Dialah saudara, dan anak ayahnya, Ali,
Abul Fadhl dengan luka di sekujur tubuhnya.
Pembela setia dan pengikut sejati,
Demi Al-Husain, tinggalkan air, pilih dahaga.
Perawi berkata: Al-Husain As menyerukan untuk bertanding dengannya. Semua yang mencoba maju, beliau robohkan, hingga banyak korban berjatuhan terkena sabetan pedang putra Ali tersebut. Sambil bertempur beliau bersenandung:
Kematian lebih baik dari menanggung hina,
Tapi kehinaan lebih baik dari api neraka.
Perawi berkata: Demi Allah, tak pernah sekalipun aku menyaksikan seorang yang hatinya telah pilu menyaksikan pembantaian anak, keluarga dan para sahabatnya yang lebih tabah dari Al-Husain As. Ketika pasukan musuh mendesaknya, dengan memainkan pedangnya beliau balas mendesak gerak laju mereka, bagai serigala yang melepaskan diri dari ikatan yang membelenggunya. Pasukan musuh yang berjumlah tiga puluh ribu orang beliau cerai-beraikan. Barisan mereka terobrak-abrik bak pasukan belalang.
Kemudian beliau kembali lagi ke kemah dan berkata lirih, “Tak ada daya dan upaya kecuali atas kehendak Alah yang Maha Tinggi dan Agung.”
Perawi berkata: Al-Husain As terus bertempur sampai kemudian pasukan musuh menghalangi beliau untuk kembali ke perkemahannya.
Kepada mereka beliau berseru, “Celakalah kalian, hai pengikut keluarga Abu Sufyan! Jika kalian tidak lagi mempunyai agama dan tidak takut akan siksaan Allah di hari kiamat, jadilah orang-orang yang merdeka dalam urusan dunia kalian! Tengoklah kembali rasa kecemburuan kalian jika memang kalian orang Arab !”
Syimr menyahut, “Apa maksudmu, hai putra Fatimah?”
Al-Husain menjawab, “Akulah yang berperang dengan kalian. Sedang wanita-wanita itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan kalian. Cegahlah orang-orang bengis, bodoh dan durjana ini dari perbuatan mereka menginjak-injak kehormatanku selagi aku masih hidup!”
“Kukabulkan permintaanmu itu, hai putra Fatimah[37],” sahut Syimr.
Mereka kemudian serentak maju menyerang Al-Husain as. Serangan dibalas dengan serangan. Meskipun demikian, Al-Husain As berusaha untuk mendapatkan seteguk air yang bisa membasahi kerongkongannya. Usahanya sia-sia. Badan beliau kini menanggung tujuh puluh dua buah luka.
Al-Husain As berhenti untuk beristirahat sejenak, setelah badan beliau melemah dan ketangkasannya mengendur. Tiba-tiba sebuah batu menghantam dahinya selagi beliau berhenti. Dengan bajunya, beliau mengusap darah segar yang mengalir dari dahi suci itu.
Mendadak sebuah anak panah beracun dan bermata tiga lepas dari busurnya, melesat dan tepat bersarang di jantung beliau. Al-Husain As berseru:
بسم الله وبالله وعلى ملة رسول الله
Lalu beliau mengangkat kepalanya ke atas dan berkata, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa mereka telah membunuh satu-satunya cucu Nabi-Mu.”
Al-Husain mencabut anak panah itu dari punggungnya. Darah memuncrat bagai pancuran. Kegesitan Al-Husain dalam berperang kian melemah. Kini beliau berhenti dan berdiam diri. Setiap orang yang datang ke arahnya, langsung pergi menginggalkannya karena takut akan menemui Allah dengan darah Al-Husain As. Sampai kemudian seorang dari Bani Kindah bernama Malik bin Nasr[38] datang menghampiri dan memaki beliau. Tak lama kemudian ia mengayunkan pedangnya ke kepala Al-Husain. Penutup kepala beliau terbelah dan pedang melukai kepalanya. Penutup kepala Al-Husain As berubah menjadi merah bercampur darah.
Al-Husain As meminta selembar kain untuk menutup luka yang menganga di kepalanya, juga sebuah topi yang diikatkan di kepala.
Tak lama setelah itu, pasukan berkuda musuh kembali menyerang dan mengepungnya. Tiba-tiba Abdulah[39] bin Al-Hasan bin Ali – seorang anak yang belum akil baligh – keluar dari kemah para wanita berlari menuju ke arah Al-Husain As. Zainab binti Ali menyusul dan mencegahnya. Ia meronta-ronta dan berkata, “Demi Allah, aku tidak mau berpisah dari pamanku.”
Bahr bin Ka’ab[40] – menurut riwayat lain Harmalah bin Kahil – datang hendak memukul pedangnya ke arah Al-Husain As. Anak tersebut menghardiknya, “Hai anak perempuan kotor ! Kau akan membunuh pamanku ?”
Pedang terayun. Sang anak menangkisnya dengan tangan kosong. Lengan mungil itu nyaris terlepas dari pangkalnya dan tergantung di kulit tangan. Terdengar suara jeritan yang memilukan, “Pamaaan[41] !”
Al-Husain As memeluknya dan berkata, “Bersabarlah menerima derita ini, wahai keponakanku. Sebentar lagi Allah akan mengumpulkanmu dengan ayah dan kakekmu yang shaleh.”
Harmalah melepasakan anak panahnya hingga menembus leher anak Al-Hasan itu. Ia gugur di pangkuan pamannya, Al-Husain As.
Syimr bin Dzil Jausyan menyerang kemah Al-Husain as dan merusaknya dengan tombak yang ada di tangannya, lalu berkata, “Beri aku api! Biar kubakar habis semua yang ada di dalamya.”
Al-Husain As menyahut, “Hai anak Dzil Jausyan! Kau mau membakar keluargaku ? Semoga Allah membakarmu dengan neraka jahannam.”
Syabats datang dan memaki Syimr hingga akhirnya ia pergi meninggalkan tempat itu dengan rasa malu.
Perawi berkata: Al-Husain As mengatakan kepada keluarganya, “Beri aku baju yang sudah kumal biar kupakai di bawah bajuku ini, supaya aku tidak telanjang jika mereka merampas pakaianku.”
Celana kolor diberikan. Al-Husain As menolak dengan mengatakan, “Bukan ini. Ini adalah pakaian orang hina.” Lantas beliau mengambil baju yang sudah kumal dan jelek yang kemudian beliau kenakan di bawah baju aslinya. Ketika beliau terbunuh, mereka melucuti pakaian beliau.
Kemudian beliau mengambil celana dari kain Yaman. Setelah merobek celana itu beliau memakainya. Tujuan beliau merobeknya adalah supaya celana itu tidak ikut dirampas dari badannya. Setelah beliau terbunuh, Bahr bin Ka’ab merampasnya dan meninggalkan Al-Husain as tanpa celana. Sebagai ganjaran atas apa yang diperbuatnya terhadap cucu Rasulullah Saw itu, Allah mengazabnya dengan menjadikan kedua tangannya kering seperti dua batang kayu kering di musim panas dan di musim dingin kedua tangannya itu basah dan mengeluarkan cairan darah dan nanah, sampai akhirnya maut menghabisi riwayatnya.
Al-Husain telah bersimbah darah dan tubuh beliau kini tak ubahnya seperti binatang lAndak. Saat itulah Shaleh bin Wahb Al-Muzani[42] menusukkan tombaknya ke pinggang beliau. Al-Husain jatuh tersungkur dari kudanya dengan pipi kanan menempel di tanah. Beliau bangkit kembali.[43]
Perawi berkata: Zainab keluar dari kemahnya dan berteriak histeris, “Oh abangku! Oh Junjunganku! Oh Ahlul Bait! Andai saja langit jatuh ke bumi dan gunung runtuh di lembahnya.”
Syimr dengan congkak menghadap pasukannya dan berseru, “Tunggu apa lagi kalian? Habisi orang ini!” Orang-orang terkutuk itu segera menyerang Al-Husain As dari segala arah.
Zar’ah bin Syuraik[44] datang memukul pundak kiri Al-Husain As. Beliau balas memukul Zar’ah dan membantingnya ke tanah.
Seorang lagi datang dan memukulkan pedangnya di pundak suci Al-Husain As. Beliau jatuh tersungkur. Daya tempur Al-Husain kian melemah. Dengan susah payah beliau merangkak. Melihat itu, Sinan bin Anas Al-Nakha’i[45] menusukkan tombaknya di tulang atas dada Al-Husain lalu mencabutnya dan kembali menusukkan tombaknya itu di tulang dada beliau.
Tak puas dengan itu semua, Sinan membidikkan panahnya ke arah Al-Husain. Anak panah itu tepat bersarang di leher beliau. Al-Husain As jatuh. Sambil terduduk beliau berusaha untuk mencabut anak panah itu dari lehernya. Tapi setiap kali, kedua telapak tangan beliau lebih dahulu dipenuhi oleh darah yang mengucur deras Darah itu beliau usapkan di kepala dan janggutnya seraya berkata, “Dengan begini aku akan menghadap Allah dengan berlumuran darah dan terampas hakku.”
Umar bin Sa’ad berkata kepada seorang di sebelah kanannya, “Turun kau dan habisi Al-Husain !”
Khauli bin Yazid Al-Ashbahi[46] lebih dahulu datang untuk memenggal kepala suci cucu Nabi Saw. Tiba-tiba badannya menggigil gemetaran. Sinan bin Anas Al-Nakha’i datang dan tanpa membuang-buang waktu lagi ia ayunkan pedangnya ke leher Al-Husain sambil berkata, “Aku bersumpah demi Allah, akan kupenggal kepalamu meskipun aku tahu bahwa kau adalah cucu Rasulullah dan anak dari dua orang yang paling mulia di dunia.” Ia pun memenggal kepala suci Al-Husain, shalawat dan salam Allah atas Al-Husain As dan keluarganya.
Dalam hal ini penyair berkata:
Adakah bencana seperti yang menimpa Al-Husain,
Di hari ia terbunuh di tangan kotor Sinan.
Diriwayatkan bahwa Sinan di kemudian hari ditangkap oleh Mukhtar. Jari-jari tangannya dipotong sepanjang ruas jari. Kedua tangan dan kakinya dipisahkan dari tubuhnya. Lalu Mukhtar memasak minyak di dalam sebuah kuali dan melemparkan Sinan yang menggigil ketakutan ke dalamnya.
Abu Thahir Muhammad bin Husain Al-Barsi dalam kitab “Ma’alimu Al-Din[47]” meriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq As, beliau berkata,“Ketika peristiwa terjadi, para malaikat gaduh[48] dan berkata, “Tuhan, ini Al-Husain kekasih-Mu, putra kekasih-Mu dan anak putri Nabi-Mu.” Lalu Allah Swt menunjukkan Al-Mahdi kepada mereka dan berfirman, “Aku akan membalas kematian Al-Husain dengannya.”
Perawi berkata: Waktu itu debu yang tebal dan berwarna pekat beterbangan di awan diiringi oleh angin merah, sehingga tak ada sesuatu pun yang tampak. Melihat itu, orang-orang mengira bahwa azab Allah akan segera turun. Hal itu berlangsung beberapa saat sebelum kemudian menghilang kembali.
Hilal bin Nafi’ berkata, “Aku berada di barisan Umar bin Sa’ad. Mendadak seseorang berseru, “Tuan, bergembiralah! Syimr telah berhasil membunuh Al-Husain.” Aku pun segera keluar menengok ke arah dua barisan bertemu. Kuhampiri ia. Al-Husain As tengah melewati detik-detik akhir kehidupannya di alam fana ini. Demi Allah, tak pernah aku menyaksikan seorang korban yang berlumuran darah yang lebih tampan dan bersinar wajahnya dari Al-Husain. Sinar yang memancar dari wajahnya dan ketampanan parasnya membuatku terlena untuk berfikir membunuhnya.
Pada saat-saat yang paling menegangkan itu, Al-Husain meminta air. Lalu kudengar suara orang yang mengatakan, “Demi Allah, kau tak akan mendapatkan air sampai kau masuk ke neraka dan meminum timah panasnya[49].”
Kepadanya Al-Husain As menjawab, “Aku tidak mungkin masuk neraka. Tapi aku akan segera pergi menemui kakekku Rasulullah Saw dan akan tinggal bersamanya di sebuah rumah di dalam surga, di sisi Tuhan Yang Maha Perkasa sambil meminum air surgawi yang segar. Lalu aku akan mengadukan kepadanya segala yang kalian perbuat terhadapku.”
Mendengar jawaban Al-Husain As tersebut orang-orang terkutuk itu marah. Tak ada lagi rasa belas kasihan yang masih tersisa di lubuk hati mereka. Lantas mereka memenggal kepala Al-Husain As sedang beliau terus berkata-kata kepada mereka. Aku heran sekali menyaksikan mereka yang tidak memiliki rasa kemanusiaan sama sekali. Kukatakan kepada mereka, “Demi Allah, aku tidak akan ikut urusan kalian selama-lamanya.”
Mereka lalu melucuti barang-barang yang dikenakan oleh Al-Husain As. Ishaq bin Haubah[50] Al-Hadhrami mengambil baju beliau dan memakainya. Dengan perbuatannya itu, ia ditimpa penyakit belang dan rambutnya rontok.
Diriwayatkan bahwa di baju beliau terdapat lebih dari seratus buah tusukan pedang, tombak dan anak panah.
Imam Ja’far Shadiq As berkata, “Al-Husain mengalami tiga puluh tiga buah tusukan dan tiga puluh empat buah luka sabetan pedang.”
Celana yang beliau pakai dirampas oleh Bahr bin Ka’ab Al-Tamimi. Diriwayatkan bahwa dengan mengambil celana tersebut, beberapa waktu lamanya ia menjadi lumpuh.
Serban beliau di ambil oleh Akhnas bin mirtsad bin ‘Alqamah Al-Hadhrami[51]. Menurut pendapat lain: Jabir bin Yazid Al-Audi[52]. Setelah serban tersebut dipakai, ia menjadi gila.
Aswad bin Khalid[53] mengambil sepasang sAndal beliau.
Bajdal bin Sulaim Al-Kalbi[54] mengambil cincin Al-Husain. Jari tangannya terputus bersama cincin tersebut setelah ia memakainya. Di kemudian hari, ia ditangkap oleh pasukan Mukhtar yang lalu memotong kedua tangan dan kakinya, kemudian membiarkannya bersimbah darah hingga tewas
Selendang beliau yang terbuat dari kain sutera diambil oleh Qais bin Asy’ats[55].
Baju besi beliau diambil oleh Umar bin Sa’ad. Ketika Ibnu Sa’ad terbunuh, Mukhtar memberikannya kepada Abu ‘Amrah[56], pembunuh Umar.
Jumai’ bin Khalq Al-Audi[57]. Mengambil pedang Al-Husain. Tapi ada pendapat yang lain yang mengatakan bahwa yang mengambil pedang tersebut adalah seorang dari Bani Tamim yang bernama, Aswad bin Handhalah.[58]
Pendapat ketiga adalah riwayat Ibnu Sa’ad[59], yang menyebutkan bahwa Al-Falafis Al-Nahsyali[60] yang mengambil pedang beliau. Muhammad bin Zakaria menambahkan bahwa pedang tersebut di kemudian hari berada di tangan putri Habib bin Budail[61].
Pedang yang dirampas ini bukanlah pedang Dzul Fiqar yang terkenal itu. Sebab Dzul Fiqar selalu disimpan dan dijaga bersama benda-benda lainnya yang merupakan pusaka kenabian dan imamah. Para perawi menukil riwayat-riwayat yang membenarkan klaim kita di atas
Perawi berkata: Seorang budak perempuan datang dari arah kemah Al-Husain As. Seorang laki-laki menghadangnya seraya berkata, “Hai hamba Allah ! Tuanmu telah terbunuh.” Budak tersebut berkata, “Aku segera berlari menemui tuan-tuanku sembari menjerit histeris. Mendengar jeritanku, mereka langsung berdiri menghampiriku. Kami larut dalam tangisan dan jeritan.”
Pasukan musuh mulai menjarah apa-apa yang ada di kemah keluarga Rasulullah Saw dan para kekasih Zahra’. Mereka menarik dan merampas kain selendang orang perempuan dari belakang. Putri-putri Rasulullah dan keluarganya berhamburan keluar kemah dan menangis sahut menyahut, larut dalam suasana duka perpisahan dengan para penjaga mereka, orang-orang yang mereka cintai.
Hamid bin Muslim berkata: Aku melihat seorang wanita dari Bani Bakr bin Wail yang ikut bersama suaminya di barisan Umar bin Sa’ad. Ketika menyaksikan orang-orang Ibnu Sa’ad dengan rakusnya menyerbu kemah para wanita keluarga Al-Husain As dan menjarah apa saja yang mereka temukan, ia segera mengambil pedang dan berjalan menuju perkemahan tersebut seraya berkata, “Hai keluarga Bakr bin Wail! Sadarkah kalian bahwa yang kalian rampas adalah barang-barang milik keluarga Rasulullah? Kekuasaan hanya milik Allah. Aku akan membalaskan dendam Rasulullah dari kalian semua.” Sang suami datang lalu mengambil dan mengembalikannya ke tempat semula.
Perawi berkata: Mereka kemudian mengeluarkan para wanita dari dalam kemah lalu membakar kemah-kemah tersebut. Wanita-wanita mulia keluarga Rasulullah keluar dengan perasaan sedih yang sangat, terampas segala hak mereka, dan bertelanjang kaki. Tak henti-hentinya mereka menangis. Mereka berjalan bagai tawanan yang hina.
Dengan memelas mereka berkata, “Demi Allah, kami mohon dari kalian. Ijinkan kami untuk melihat tempat jasad Al-Husain As berada.” Saat menyaksikan jasad suci yang tercabik-cabik itu mereka menjerit hiteris dan memukuli wajah mereka sendiri.
Perawi berkata: Demi Allah, aku masih ingat bagaimana Zainab binti Ali meratapi Al-Husain As dan menjerit dengan suara parau dan hati yang hancur,
“Oh Muhammad! Salam sejahtera dari Tuhan penguasa langit untukmu. Lihatlah! Ini Husainmu tengah terbujur kaku di alam terbuka dengan tubuh bersimbah darah. Badannya terpotong-potong.
Oh sungguh malang! Kini putri-putrimu menjadi tawanan musuh Allah. Hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, Muhammad Mustafa, Ali Murtada, Fatimah Zahra’ dan Hamzah Sayyidusy Syuhada, kuadukan penderitaan ini.
Wahai Muhammad! Ini Husainmu, terbaring di alam terbuka. Menjadi sasaran terpaan angin timur. Inilah korban kebiadaban anak-anak sundal.
Oh malangnya! Betapa beratnya penderitaan yang kau alami, wahai Abu Abdillah. Hari ini adalah hari kematian kakekku Rasulullah Saw.
Wahai para sahabat Muhammad, lihatlah ! Cucu-cucu Nabi kalian sedang digiring sebagai tawanan.”
Dalam sebagian riwayat disebutkan:
“Oh Muhammad! Lihatlah putri-putrimu kini menjadi tawanan. Cucumu terbantai di padang sahara menjadi sasaran terpaan angin timur. Ini Husainmu yang terpenggal kepalanya dan terampas imamah dan serbannya.
Ayahku kujadikan tebusan jiwa orang yang dicincang di hari Senin, yang dirusak kemahnya, yang tidak jauh sehingga diharapkan kedatangannya, yang tiak terluka hingga perlu diobati.
Jiwaku ini tebusan jiwa orang susah yang telah bebas, orang dahaga yang telah gugur, yang janggutnya meneteskan darah, seorang cucu utusan Tuhan penguasa langit, cucu Nabi pembawa hidayah.
Demi Muhammad Mustafa. Demi Ali Murtada. Demi Khadijah Kubra. Demi Fatimah Zahra’, penghulu kaum wanita. Demi dia yang matahari kembali ke tempat semula hingga dapat melaksanakan shalat.
Perawi berkata: Kata-kata Zainab ini membuat semua orang yang mendengarnya, baik kawan maupun lawan, menangis.
Terlihat Sakinah[62] putri Al-Husain As memeluk jasad ayahnya yang sudah tak bernyawa lagi itu. Beberapa orang badui datang dan menariknya dengan paksa agar meninggalkan tempat itu.
Perawi berkata: Umar bin Sa’ad berseru kepada pasukannya, “Siapa yang mau menjadi sukarelawan untuk menginjak-injak jasad Al-Husain dengan kaki kudanya ?”
Sepuluh orang maju menyatakan kesediaan mereka. Mereka adalah:
Ishaq bin Haubah yang merampas baju Al-Husain.
Akhnas bin Mirtsad.
Hakim bin Thufail Al-Sabi’i[63].
‘Amr bin Shabih Al-Shaidawi[64].
Raja’ bin Munqidz Al-‘Abdi[65].
Salim bin Khaitsamah Al-Ja’fi[66].
Shaleh bin Wahb Al-Ja’fi[67].
Wahidh bin Ghanim[68].
Hani bin Tsubait Al-Hadhrami[69].
Usaid bin Malik[70].
Mereka segera memacu kuda dan menginjak-injak jasad Al-Husain As dengan kaki kuda mereka hingga dada dan punggung cucu Nabi Saw itu hancur[71].
Perawi berkata: Kesepuluh orang itu datang menghadap Ubaidillah bin Ziyad. Usaid bin Malik, salah seorang dari mereka, berkata:
Kamilah yang menghancurkan dada dan punggungnya
Dengan kuda yang lincah dan bertali kekang kuat
Kepada mereka Ibnu Ziyad bertanya, “Siapakah kalian?”
Dengan bangga mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang menginjak-injak jasad Al-Husain dengan kuda kami. Kami telah berhasil melumatkan punggung dan dadanya.”
Ubaidillah bin Ziyad sangat puas mendengar jawaban itu. Ia lalu memerintahkan untuk memberi mereka sedikit hadiah.
Abu Umar Al-Zahid[72] berkata, “Setelah kami teliti, ternyata kesepuluh orang tersebut adalah anak hasil zina.”
Di kemudian hari Mukhtar berhasil menangkap mereka semua. Setelah mengikat mereka dengan rantai besi, ia memerintahkan pasukan berkudanya untuk menginjak-injak dan melumatkan punggung mereka. Mereka semua tewas dengan cara demikian.
Ibnu Rabbah[73] berkata: Aku pernah bertemu dengan seorang buta yang ikut menyaksikan pembantaian terhadap Al-Husain As. Kepadanya aku bertanya perihal penyebab kebutaannya.
Dia menjawab, “Aku menyaksikan pembantaian itu dari dekat. Bahkan aku termasuk salah satu dari kesepuluh orang tersebut. Hanya saja aku tidak ikut andil memukul atau melempar sesuatu kepada Al-Husain. Setelah beliau terbunuh, aku pulang ke rumahku, lalu melaksanakan shalat Isya’ dan kemudian tidur. Tiba-tiba aku melihat ada seorang yang datang kepadaku dan mengatakan, “Jawablah pertanyaan Rasulullah !”
Kukatakan, “Ada apa sehingga aku mesti pergi menemui beliau ?”
Tanpa menjawab, ia memegangku dengan erat dan menyeretku. Aku melihat Nabi Saw duduk di padang sahara. Kegelisahan tampak jelas pada raut wajahnya. Beliau bertopang dagu pada kedua tangannya. Sebuah senjata kecil ada di tangan beliau. Di sebelah Rasulullah Saw, kulihat ada seorang malaikat yang berdiri tegak dengan menghunus pedang yang terbuat dari api. Sembilan orang temanku telah lebih dahulu tewas di tangannya. Setiap ia memukulkan pedangnya, api segera tersembur darinya dan memanggang tubuh mereka.
Aku mendekat ke tempat beliau berada dan bersimpuh di hadapannya. Aku sapa beliau, “Assalamu ‘alaika, ya Rasulullah.” Tak kudengar jawaban beliau. Lama beliau berdiam diri. Kemudian sambil mengangkat wajahnya, beliau bersabda, “Hai musuh Allah, kau telah menginjak-injak kehormatanku, membantai keluargaku dan tidak mengindahkan hakku sama sekali. Bukankah demikian ?”
Jawabku, “Ya Rasulullah, demi Allah, aku tidak ikut andil dalam memukulkan pedang, menusukkan tombak atau melemparkan anak panah sama sekali.”
“Benar,” jawab beliau. “Tapi bukankah kau telah ikut dalam menambah jumlah mereka ? Mendekatlah kemari !”
Aku mendekat. Beliau menunjukkan kepadaku sebuah bejana yang dipenuhi darah seraya bersabda, “Ini adalah darah cucu kesayanganku Al-Husain.”
Lalu beliau memoles mataku dengan darah itu. Ketika terjaga dari tidurku, mataku menjadi buta sampai sekarang.”
Diriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq As, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda, “Di hari kiamat kelak, Allah akan membangunkan sebuah kubah yang terbuat dari cahaya untuk Fatimah. Lalu Al-Husain akan datang dengan kepala di tangannya. Saat menyaksikan hal itu, Fatimah menjerit histeris hingga tak ada satu pun malaikat maupun nabi kecuali ikut larut dalam tangisan menyertainya. Maka Allah menampakkannya di depan Fatimah dalam sebaik-baik rupa. Kemudian Al-Husain As menyerang para pembunuhnya tanpa kepala. Setelah itu Allah menghadapkan kepadaku semua orang yang ikut andil dalam membantai dan mencincangnya untuk kubunuh semuanya. Lalu mereka dihidupkan kembali untuk dibunuh oleh Amirul Mukminin Ali. Setelah itu mereka dibangkitkan lagi. Kini giliran Al-Hasan membantai mereka. Mereka hidup lagi. Al-Husain membunuh mereka semua. Kemudian mereka dihidupkan lagi. Lalu satu persatu keturunanku membunuh mereka semua. Saat itulah, kemarahan dan dendam yang lama terpendam tersalurkan dan semua derita dapat dilupakan.”
Kemudian Imam Ja’far Shadiq As berkata, “Semoga Allah merahmati Syiah kita. Demi Allah, mereka adalah orang-orang Mukmin sejati. Mereka ikut menyertai kita dalam musibah dengan kesedihan dan derita mereka yang berkepanjangan.”
Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Di hari kimat kelak, Fatimah datang diiringi oleh sekelompok wanita. Terdengar suara yang mempersilahkannya untuk masuk surga. Ia menolak dan berkata, “Aku tidak akan masuk sebelum tahu apa yang diperbuat umat terhadap anakku.”
Terdengar suara, “Lihatlah ke tengah-tengah padang Mahsyar !” Fatimah As melihat Al-Husain As berdiri tegak tanpa kepala. Ia menjerit histeris menyaksikan keadaan putranya. Aku pun ikut menjerit mendengar jeritannya. Demikian juga para malaikat.”
Dalam riwayat lain disebutkan: Fatimah meratap dan mengatakan, “Oh anakku! Oh buah hatiku!” Beliau meneruskan, Saat itulah Allah murka karena kemarahan Fatimah, lalu memerintahkan agar mereka semua dimasukkan ke dalam neraka yang disebut Habhab yang telah dinyalakan seribu tahun lamanya hingga berwarna hitam. Tak ada jalan bagi kesenangan untuk masuk ke dalamnya dan tak ada jalan bagi kesusahan untuk keluar darinya. Datang perintah dari Tuhan kepadanya, “Santaplah para pembunuh Al-Husain!” Neraka itu pun segera melahap habis mereka. Setelah mereka berada di dalamnya, ia menggelegar diiringi oleh teriakan dan jeritan mereka.
Mereka lantas berseru, “Tuhan, mengapa Engkau menyiksa kami sebelum para penyembah berhala ?”
Datang jawaban dari Allah yang mengatakan, “Orang yang tahu tidak seperti orang yang tidak mengetahui.”
Kedua hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Babuwaih[74] dalam kitab ‘Iqabu Al-A’mal[75].
Catatan Kaki:
[1]Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul ‘Uzza dari bangsa Quraisy. Beliau adalah istri pertama Nabi Saw yang lima belas tahun lebih tua dari beliau. Beliau lahir di kota Mekah. Wanita ini mempunyai harta yang berlimpah dan perniagaan yang dikirimnya ke Syam dengan cara mengupah orang. Ketika Rasulullah Saw berumur 25 tahun, beliau pergi berniaga dengan harta Khadijah ke Syam dan kembali dengan keuntungan besar. Menikah dengan Rasulullah Saw sebelum masa kenabian.Nabi Saw mengajaknya untuk memeluk agama Islam dan beliau menerimanya dengan senang hati, sehingga beliau menjadi wanita Islam pertama. Bersama dengan Rasulullah Saw, beliau menunaikan ibadah salat secara diam-diam. Khadijah wafat di Mekah tiga tahun sebelum Nabi Saw hijrah ke kota Madinah.
(Lihat, Al-Thabaqat Al-Kubro 8 hal. 7-11, Al-Ishabah bagian biografi wanita, Shifatu Al-Shafwah 2 hal. 2, Tarikhu Al-Khamis 1 hal. 301 dan Al-A’lam 2 hal. 302)
[2] Abu ‘Umarah Hamzah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, dikenal dengan gelar Sayyidusy Syahada’ yang gugur sebagai syahid pada tahun ke-3 H. Beliau adalah paman Nabi dan salah seorang bangsawan Quraisy. Ikut hijrah bersama dengan Nabi Saw ke Madinah. Ikut serta dalam perang Badar dan peperangan lainnya. Beliau terbunuh di perang Uhud dan dimakamkan di Madinah.
(Lihat, Tarikhu Al-Islam 1 hal. 99, Shifatu Al-Shafwah 1 hal. 144 dan Al-A’lam 2 hal 278).
[3] Ja’far bin Abi Thalib As dengan julukan Abu ‘Abdillah, seorang sahabat dari kalangan Bani Hasyim dan pemuda yang gagah berani. Beliau adalah orang pertama dari keturunan Abu Thalib yang gugur di jalan Islam. Gelar beliau yang lain adalah Abul Masakin (Ayah orang-orang miskin). Ja’far adalah anak ketiga Abu Thalib setelah Thalib dan ‘Aqil. Anak Abu Thalib setelah Ja’far adalah Ali. Ibu mereka Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdu Manaf. Ja’far syahid pada tahun kedelapan hijriyyah, dalam perang Mu’tah. Saat itu ia turun dari kudanya bertempur dengan gagah berani. Sambil memegang panji Islam di tangan kanannya, ia maju ke depan barisan kaum muslimin. Sewaktu tangan kanan beliau terkena sabetan pedang dan terlepas dari pangkalnya, panji tersebut segera beliau pindahkan ke tangan kirinya. Tangan itu pun bernasib sama, putus disambar ayunan pedang musuh. Secepat kilat bendera suci itu beliau raih dan dekap ke dadanya, sampai akirnya beliau gugur sebagai syahid. Di jasad beliau saat itu terdapat 90 buah luka tusukan pedang, tombak dan panah. Nabi Saw bersabda bahwa Allah akan mengganti tangannya yang putus itu dengan sayap, sehingga ia dapat terbang berkeliling di dalam surga. Sebab itulah beliau terkenal dengan gelar Thayyar (Orang yang terbang seperti burung).
(Lihat, Maqatilu Al-Thalibiyyin 6 hal. 18, Al-Bidayah wa Al-Nihayah 4 hal. 255, Tahdzibu Al-Tahdzib 2 hal. 98, Usdu Al-Ghabah 1 hal. 286, Al-Ishabah 1 hal. 237, Al-Thabaqatu Al-Kubro 4 hal. 22, Hilyatu Al-Auliya’ 1 hal. 114, Shifatu Al-Shafwah 1 hal. 205 dan Al-A’lam 2 hal. 125).
[4] Abul Fadhl Abbas bin Ali bin Abi Thalib, ibunya bernama Ummul Banin binti Hizam bin Khalid bin Rabi’ah bin Wahid Al-‘Amiri. Abbas adalah anak Imam Ali yang pertama dari Ummul Banin. Beliau adalah seorang pemuda tampan yang gemar menunggang kuda gemuk dan besar, sedang kedua kakinya menggeser di tanah. Abbas juga dikenal dengan sebutan Qamaru Bani Hasyim ( Purnama Bani Hasyim). Dalam tragedi Karbala beliau mendapat tugas sebagai pemberi air minum. Sewaktu beliau gugur, panji Al-Husain ada di tangannya. Beliau merupakan orang terakhir yang gugur dari saudara-saudara kandungnya. Pembunuhnya adalah Zaid bin Raqqad Al-Janbi dan Hakim bin Thufail Al-Tha’i Al-Nabsi. Kedua orang ini mendapatkan luka kutukan di tubuh masing-masing.
(Lihat Maqatilu Al-Thalibiyyin hal. 84-85, Tasmiatu man Qutila ma’a Al-Husain hal. 149, Rijalu Al-Syekh hal. 76, Ansharu Al-Husain hal. 131 yang menyebutkan bahwa kitab Al-Ziarah dan Al-Irsyad menulis sesuatu tentang beliau, juga kitab sejarah karangan Thabari, Ishfahani, Mas’udi dan Khawarizmi ).
[5] Ali Akbar bin Al-Husain As, dengan julukan Abul Hasan, Seorang pemuda mulia dan gagah berani dari keturunan Abu Thalib. Ibunya bernama Laila binti Abi Murrah (Qurrah) bin ‘Urwah (‘Amr) bin Mas’ud bin Mughits (Ma’bad) Al-Tsaqafi. Ibu Laila bernama Maimunah binti Abu Sufyan bin Harb. Saat itu beliau berumur 27 tahun. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau (Ali Akbar) telah menikah dengan seorang wanita bekas budak. Beliaulah orang pertama dari Bani Hasyim yang terbunuh dalam peristiwa Karbala oleh tusukan pedang Murrah bin Munqidz bin Nu’man Al-‘Abdi, pada saat membela dan membentengi ayahnya dari serangan musuh. Para sahabat setia Imam Husein As segera mengejar Murrah dan menghabisinya dengan sabetan pedang mereka. Menurut riwayat, beliau lahir pada masa khilafah Utsman bin Affan. Para ahli sejarah menyebutnya Akbar untuk membedakannya dari adik beliau Ali Zainal Abidin dan Ali Ashghar.
(Lihat, Maqatilu Al-Thalibiyyin hal. 80-81, Al-Thabaqat 5 hal. 156, Tasmiatu man Qutila ma’a Al-Husain hal. 150, Rijalu Al-Syekh hal. 76 yang menyebutnya sebagai Ali Ashghar bin Al-Husain, Nasabu Quraisy hal. 57, Al-Bidayah wa Al-Nihayah 8 hal. 185, Al-A’lam 4 hal. 277 dan Ansharu Al-Husain hal. 129 yang menulis bahwa Al-Ziarah dan Al-Irsyad menyebutkan sesuatu tentang beliau, juga Thabari, Ishfahani, Khawarizmi dan Mas’udi dalam kitab-kitab mereka).
[6] Syimr bin Dzil Jausyan yang nama aslinya Syurahbil bin Qurath Al-Dhababi Al-Kilabi, dengan julukan Abu Al-Shabighah, adalah salah seorang dalang pembunuhan dan pembenci Al-Husain as Sebelumnya dia pernah memegang kekuasaan di suku Hawazin dan terkenal dengan keberaniannya. Ikut serta dalam perang Shiffin bersama dengan Imam Ali As.
Suatu saat, Abu Ishaq Al-Sabi’i mendengar Syimr berdoa setelah sholatnya, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku termasuk orang yang mulia, karena itu ampunilah aku !”
Kepadanya Abu Ishaq berkata, “Bagaimana Allah akan mengampunimu, padahal engkau telah andil dalam pembunuhan terhadap cucu tercinta Rasulullah Saw ?”
Syimr menyahut, “Apa yang dapat kami lakukan lagi selain itu ? Ketika para pemimpin kami memerintahkan sesuatu, tak ada lagi yang dapat kami lakukan selain mematuhinya. Bila kami menentang perintah tersebut, nasib kami akan lebih buruk dari keledai-keledai ini.”
Pada waktu Mukhtar mengadakan pemberontakan, ia termasuk orang yang dikejar-kejar. Syimr keluar dari kota Kufah dan melarikan diri ke Kiltaniyyah, sebuah desa di kawasan Khuzistan. Di sana ia berpapasan dengan orang-orang Mukhtar. Syimr yang belum sempat berpakaian, segera menyerang membabi buta ke arah mereka. Abu Amrah mendapat kesempatan untuk menyabetkan pedangnya dan ia berhasil membunuh Syimr. Jasadnya dibuang dan menjadi santapan anjing-anjing liar.
(Lihat, Al-Kamil fi Al-Tarikh 4 hal. 92, Mizanu Al-I’tidal 1 hal. 449, Lisanu Al-Mizan 3 hal. 152, Jamharatu Al-Ansab hal. 72, Safinatu Al-Bihar 1 hal. 714 dan Al-A’lam 3 hal. 175-176).
[7] Abdullah bin Ali bin Abi Thalib, ibu beliau bernama Ummul Banin binti Hizam. Pada saat terbunuh usia beliau 25 tahun. Kakaknya bekata kepadanya, “Majulah ke depanku, supaya aku dapat mengawasimu! ..” Beliau dibunuh oleh Hani bin Tsubait Al-Hadhrami. Pendapat lain mengatakan bahwa pembunuhnya adalah Khauli bin Yazid Al-Ashbahi dengan panahnya yang dilanjutkan dengan tebasan pedang seorang dari Bani Tamim.
(Lihat, Maqatilu Al-Thalibiyyin hal. 82, Tarikh Thabari 6 hal. 89, Tasmiatu Man Qulita Ma’a Al-Husain hal. 149, Rijalu Al-Syekh hal. 76, Ansharu Al-Husain hal. 129-130 yang menyebutkan bahwa Al-Ziarah dan Al-Irsyad juga menuliskan sedikit biografinya, juga Thabari, Ishfahani, Mas’udi dan Khawarizmi dalam kitab-kitab mereka).
[8] Ja’far bin Ali bin Abi Thalib as, ibunya bernama ummul Banin. Usianya ketika terbunuh sembilan belas tahun. Pembunuhnya adalah Khauli bin Yazid Al-Ashbahi. Pendapat lain menyebutkan Hani bin Tsubait Al-Hadhrami.
(Lihat, Maqatilu Al-Thalibiyyin hal. 83, Tasmiati Man Qutila Ma’a Al-Husain hal. 149, Rijalu Al-Syekh hal. 72, Ansharu Al-Husain hal. 130, dan menulis bahwa Al-Ziarah dan Al-Irsyad menyebutkannya juga Thabari, Ishfahani, Mas’udi dan Khawarizmi dalam kitab mereka).
[9] Utsman bin Ali bin Abi Thalib, ibunya bernama Ummul Banin binti Hizam. Ketika terbunuh usianya 21 tahun. Khauli bin Yazid Al-Ashbahi melemparnya dengan panah hingga melemah. Lalu seorang dari Bani Abban bin Darim menebas kepalanya. Utsman inilah yang dalam riwayat disebutkan bahwa Imam Ali As berkata, “Anak ini kuberi nama Utsman, nama saudaraku Utsman bin Madh’un. Dalam riwayat lainnya, Hubairah bin Murim mengatakan, “Ketika kami sedang duduk bersama Imam Ali As, beliau memanggil anaknya yang bernama Utsman lalu berkata, “Aku tidak memberinya nama Utsman si khalifah, tetapi nama saudaraku Utsman bin Madh’un.”
(Lihat, Maqatilu Al-Thalibiyyin hal. 84, Tasmiatu Man Qutila Ma’a Al-Husain hal. 150, Taqribu Al-Ma’arif tulisan tangan, Ansharu Al-Husain hal. 130 yang menulis bahwa Al-Ziarah dan Al-Irsyad menyebutkannya, juga Thabari, Ishfahani, Mas’udi dan Khawarizmi dalam kitab-kitab mereka).
[10] Naskah A: ‘Amr bin Hajjaj.
[11] Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib Al-Hasyimi Al-Quraisyi, termasuk sebagai sahabat Nabi Saw. Beliau lahir di Habasyah (Etophia.Penj.) ketika ayah dan ibunya hijrah ke sana. Beliau adalah anak kaum muslimin pertama yang lahir di sana. Terkenal sangat dermawan, hingga mendapat julukan Bahr Al-Jud (Samudera Kedermawanan). Banyak penyair yang memujinya lewat bait syair mereka. Beliau termasuk salah seorang komandan tentara Ali di perang Shiffin. Wafat di Madinah pada tahun 80 H. Ada pula pendapat yang menyebutkan tahun yang lain.
(Lihat, Al-Ishabah biografi No. 4582, Fawatu Al-Wafayat 1 hal. 209, Tahdzibu Ibni Asakir 7 hal. 325, Al-A’lam 4 hal. 76 dan Zainab Al-Kubra karangan Syekh Ja’far Al-Naqdi ).
[12] Abu Yazid, Aqil bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib Al-Hasyimi Al-Quraisyi adalah orang bangsa Quraisy yang paling banyak tahu tentang sejarah, kelebihan, kekurangan dan nasab mereka. Beliau adalah seorang sahabat yang berlisan fasih dan cepat dalam menjawab. Saudara seayah Ja’far dan Ali yang lebih tua dari mereka berdua ini, hijrah ke Madinah pada tahun 8 H. Mendertia kebutaan di akhir hayatnya dan wafat pada permulaan zaman pemerintahan Yazid. Riwayat lain mengatakan beliau wafat pada masa Mu’awiyah.
(Lihat, Al-Ishabah biografi No. 5630, Al-Bayan wa Al-Tabyin 1 hal. 174, Al-Taj 8 hal. 30 dan Al-A’lam 4 hal. 242).
[13] Muslim bin ‘Ausajah Al-Asadi, salah seorang jawara Arab pada masa awal Islam. Beliau adalah orang pertama dari sahabat setia Al-Husain As yang syahid, setelah mereka yang gugur terlebih dahulu dalam serangan pertama. Beliau termasuk sahabat yang pernah berjumpa dengan Rasulullah Saw. Beliaulah yang mangambil baiat untuk Imam Husain As di Kufah. Muslim bin Aqil mengangkatnya sebagai komandan seperempat jumlah orang Bani Midzhaj dan Bani Asad dalam perjuangannya yang singkat. Ketika hadir di Karbala, beliau telah berusia lanjut.. Beliau termasuk tokoh penting di kota Kufah. Syabats bin Rab’i menyampaikan rasa sedihnya atas terbunuhnya beliau.
(Lihat, Rijalu Al-Syekh hal. 80, Tarikh Thabari 5 hal. 435, 369, Biharu Al-Anwar 45 hal. 69, Al-Akhbaru Al-Thiwal hal. 249, 250, 252, Al-Kamil fi Al-Tarikh 4 hal. 28, Al-A’lam 7 hal. 222, Ansharu Al-Husain hal. 108, Tasmiatu Man Qutila Ma’a Al-Husain hal. 52 yang menyebutkan bahwa Muslim bin ‘Ausajah Al-Asadi dari Bani Sa’ad bin Tsa’labah tewas di tangan Muslim bin Abdullah dan Ubaidillah bin Khasykarah).
[14] Naskah R: Sa’ad bin Abdullah.
[15] Naskah B: Muhammad bin Bisyr Al-Hadhrami.
Dalam biografi Imam Husain as dari kitab Al-Thabaqat hal. 180, riwayat ini juga ada dan nama orang ini sama dengan nama yang ada di sini. Tetapi kitab Tarikh Thabari 5 hal. 444 dan Ansabu Al-Asyraf menyebutkan nama tersebut sebagai Basyir bin ‘Amr.
[16] Rey adalah nama satu kota terkenal dan termasuk kota besar zaman itu. Kota ini memiliki banyak buah-buahan dan anugerah Tuhan lainnya. Daerah ini adalah tempat persimpangan jamaah haji yang melewati jalan biasa dan yang datang dari daerah-daerah sekitar pegunungan. Jarak antara Rey dan Naisyabur 160 farsakh. Sedangkan antara Rey dan Qazwain 27 farsakh.
(Lihat, Mu’jamu Al-Buladan 2 hal. 79 dan 3 hal. 116).
[17] Naskah A setelah ini menyebutkan:
Demikianlah Al-Husain yang asyik beribadah dan memiliki sifat-sifat yang sempurna. Ibnu ‘Abdi Rabbih menulis dalam juz ke-4 dari kitab Al-‘Iqd : Ada orang yang berkata kepada Ali bin Al-Husain as, “Mengapa ayah Anda mempunyai anak sedikit ?” Beliau dalam jawabannya mengatakan ,”Yang mengherankan adalah kenapa aku menjadi anaknya, padahal beliau setiap harinya salat seribu rakat. Lalu kapan beliau mempunyai kesempatan untuk mendatangi istri-istrinya.”
[18] Naskah R: Abdur Rahman Abdu Rabbih.
Abdur Rahman bin Abdi Rabbih Al-Anshari dari Bani Salim bin Khazraj. Amirul Mukminin Ali As adalah guru yang mengajarinya Al-Quran. Beliau termasuk salah seorang yang mengambil baiat untuk Al-Husain As di Kufah. Tampaknya, beliau adalah seorang bangsawan dan tokoh terkemuka.
(Lihat, Tarikh Thabari 5 hal. 423, Rijalu Al-Syekh hal. 76-77, Tasmiatu Man Qutila Ma’a Al-Husain hal. 153, Biharu Al-Anwar 45 hal. 1, Ansharu Al-Husain hal. 97).
[19] Naskah A: Khudhair
Naskah R: Hudhair
[20] Abu ‘Amr Farwah binti Masik (Masikah) bin Harits bin Salamah Al-Ghuthaifi Al-Muradi, seorang sahabat, salah seorang gubernur Islam dan penyair yang berasal dari Yaman. Di zaman Jahiliyyah, dia termasuk seorang pengikut raja-raja Bani Kindah . Pada tahun kesembilan atau kesepuluh hijrah, dia pindah ke Mekah dan masuk agama Islam. Di tahun-tahun akhir hayatnya, ia pindah ke Kufah. Wafat tahun 30 H.
(Lihat, Al-Thabaqat 1 hal. 63, Al-Ishabah biografi No. 6983, Raghbatu Al-Amil 4 hal. 10 dan Al-A’lam 5 hal. 143).
[21] Naskah A setelah ini menyebutkan: Diriwayatkan oleh Abu Thahir Muhammad bin Husein Al-Narsi dalam kitab Ma’alimu Al-Din.
[22] Para ahli sejarah Islam tidak menyebutkan biografinya.
Kitab Tasmiatu Man Qutila Ma’a Al-Husain hal. 155 menyebutkan bahwa Muhajir bin Aus adalah salah seorang yang terbunuh di barisan Al-Husain As. Dia berasal dari kabilah Bujailah. Wallahu a’lam, mungkin saja ada dua orang yang bernama Muhajir bin Aus. Atau mungkin orang ini pada awalnya berada di barisan Umar bin Sa’ad lalu bergabung dengan pasukan Imam Husain As dan gugur bersama beliau.
[23] Naskah A: Yazid bin Mughfil.
Para ahli sejarah tidak menyebutkan biografinya. Dia orang yang kejam dan terkutuk.
[24] Naskah A: Wahb bin Janah.
Dalam kitab Dhiya’u Al-‘Ainain hal. 25 disebutkan: Wahb bin Abdullah bin Habbab Al-Kalbi, ibunya bernama Qamra. Banyak orang yang menyebutkan kisahnya dalam peristiwa Karbala yang dinukil dari kitab Malhuf dan kitab Maqtal lainnya.
[25] Naskah R dan A: ‘Amr bin Qurthah.
Dalam banyak buku namanya disebutkan ‘Amr bin Quradhah Al-Anshari. Kitab Al-Ziarah menyebutnya dengan nama Umar bin Ka’ab Al-Anshari. Naskah lain dari Al-Ziarah menulisnya Imran. Beliau diutus oleh Al-Husain As untuk berunding dengan Umar bin Sa’ad.
(Lihat, Tarikh Thabari 5 hal. 413, Al-Manaqib 4 hal. 105, Biharu Al-Anwar 45 hal. 22, 71, Maqtalu Al-Husain 2 hal. 22, Ansharu Al-Husain hal. 104, dan Tasmiatu Man Qutila Ma’a Al-Husain hal. 153).
[26] Naskah B setelah ini menyebutkan: Kitab Al-Manaqib menulis syair ‘Amr:
Seluruh Anshar telah mengetahui dengan baik
Bahwa aku setia dalam membela keluarga
Aku bertempur dengan pedang tanpa gentar
Demi Al-Husain kekasih dan pujaanku
[27] Jaun seorang bekas budak berkulit hitam dan berusia lanjut. Ayahnya bernama Hawi. Dalam beberapa kitab disebutkan bahwa namanya adalah Juwain bin Abi Malik.
(Lihat, Tasmiatu Man Qutila Ma’a Al-Husain hal. 152, Rijalu Al-Syekh hal. 72, Al-Manaqib 4 hal. 103, Al-Maqtal 1 hal. 237 dan 2 hal. 19, Tarikh Thabari 5 hal. 420, Biharu Al-Anwar 45 hal. 82 dan Ansharu Al-Husain hal. 72).
[28] Naskah R: Umar bin Khalid Al-Shaidawi.
‘Amr bin Khalid Al-Shaidawi berasal dari Shaida, seperti yang dinukil oleh banyak sumber kepustakaan. Kitab Al-Rajabiyyah menyebutnya dengan nama ‘Amr bin Khalaf. Sepertinya perbedaan ini timbul dari kesalahan menulis nama Khalid.
Bani Shaida adalah salah satu pecahan kabilah Bani Asad dari bangsa Arab keturunan ‘Adnan. Sebagian ahli meyakini bahwa beliau ini adalah ‘Amr bin Khalid Al-Azdi. Sebab, masih menurut mereka, telah terjadi kesalahan dalam menulis antara Al-Azdi dan Al-Asadi. Tetapi menurut hemat kami, perbedaan ini muncul karena memang dua nama itu adalah nama dua orang yang berbada. Walaupun kami tetap tidak menutup kemungkinan bahwa kedua nama tadi adalah nama satu orang.
(Lihat, Tasmiatu Man Qutila Ma’a Al-Husain hal. 155, Tarikh Thabari 5 hal. 446, Al-Maqtal 2 hal. 24, Biharu Al-Anwar 45 hal. 72 dan 23, Ansharu Al-Husain hal. 102).
[29] Naskah R: Handhalah bin Sa’ad Al-Tsami.
Naskah A: Handhalah bin As’ad Al-Syami.
[30] Nama beliau adalah Suwaid bin ‘Amr Al-Khats’ami, seperti yang disebutkan dalam banyak sumber sejarah. Beliau adalah orang terhormat yang gemar sholat, salah seorang dari dua sahabat Al-Husain As yang masih tersisa dan gugur setelah Imam Husain As terbunuh. Dialah akhir korban kebiadaban tentara Ibnu Ziyad yang tewas di tangan Hani bin Tsubait Al-Hadhrami. Beliau keturunan Khats’am bin Anmar bin Arasy dari bangsa Arab Qahthan.
(Lihat, Rijalu Al-Syekh hal. 74, Al-Manaqib 4 hal. 102 yang menyebutnya dengan nama ‘Amr bin Abi Al-Mutha’ Al-Ja’fi, Biharu Al-Anwar 45 hal. 24, Tasmiatu Man Qutila Ma’ Al-husain hal. 154 yang menyebutnya dengan nama Suwaid bin ‘Amr bin Al-Mutha’, Ansharu Al-Husain hal. 91-92).
[31] Dia adalah Qasim bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, saudara kandung Abu Bakar bin Al-Hasan yang gugur terlebih dahulu.
(Lihat, Maqatilu Al-Thalibiyyin hal. 50).
[32] Maqatilu Al-Thalibiyyin hal. 88 menyebutnya dengan nama ‘Amr bin Sa’id bin Nufail Al-Azdi.
[33] Naskah A: Kakek dan ayahmu …
[34] Dia adalah Abdullah bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, dari ibu yang bernama Rubab binti Imruul Qais bin ‘Adi bin Aus. Nama pembunuhnya diperselisihkan oleh para ahli sejarah. Sebagian mengatakan bahwa pembunuhnya adalah Harmalah, tapi sebagian lagi menyebutkan Uqbah bin Bisyr.
(Lihat, Maqatilu Al-Thalibiyyin hal 89-90).
[35] Biografinya tidak disebutkan oleh para ahli sejarah. Dia adalah seorang yang bengis dan terkutuk.
Ketika Harmalah berhasil ditangkap oleh pasukan Mukhtar, ia dihadapkan pada sang komandan. Mukhtar saat melihat wajah orang terkutuk ini langsung menangis dan berkata, “Celakalah engkau! Tidak cukupkah apa yang kau lakukan hingga tega membantai seorang bayi dan menyembelihnya ? Hai musuh Allah, tidakkah kau tahu bahwa dia adalah cucu Rasulullah ?” Selanjutnya Mukhtar memerintahkan untuk menjadikannya sasaran bidikan anak panah. Tak lama kemudian tubuh Harmalah telah menjadi sasaran berpuluh-puluh anak panah. Iapun tewas secara mengenaskan.
Riwayat lain mengatakan, saat Mukhtar memandang Harmalah, ia berkata, “Syukur kepada Allah yang telah memberiku kesempatan menuntut balas darimu, hai musuh Allah. Mukhtarmemanggil algojonya dan berkata, “Potong kedua tangan dan kakinya !” Perintah dilakasanakan. “Bawakan api kemari !”, perintah Mukhatar kemudian. Api kini telah berada di hadapannya. Lalu ia mengambil pedang besinya dan memanggangnya hingga memerah. Setelah pedang itu berwarna putih, ia meletakkannya di leher Harmalah sampai matang diringi jeritan dan raungan Harmalah. Adegan itu berkelanjutan sampai leher orang terkutuk itu putus.
(Lihat Hikayatu Al-Mukhtar hal. 55 dan 59).
[36] Naskah B: setelah ini menyebutkan: Orang yang membunuhnya adalah Zaid bin Warqa’ Al-Hanafi dan Hakim bin Thufail Al-Sanbusi.
[37] Naskah B: Syimr menjawab, “Kukabulkan permintaanmu itu.” Iapun lalu berseru, “Menjauhlah kalian dari sanak keluarga orang ini ! Seranglah ia sendiri ! Aku bersumpah dia adalah lawan yang baik.” Merekapun segera menyerang beliau.
[38] Para sejarawan tidak menyebutkan biografinya. Dia adalah seorang yang bengis dan terkutuk.
[39] Abdullah bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ibunya adalah putri Salil bin Abdullah, saudara Abdullah bin Jair Al-Bajli.
Pendapat lain mengatakan: Ibunya adalah seorang budak.
Ada juga yang mengatakan: Rubab binti Imruul Qais. Ketika terbunuh umurnya baru sebelas tahun.
(Lihat, Tasmiatu Man Qutila Ma’a Al-Husain hal. 150, Maqatilu Al-Thalibiyyin hal. 89, Rijalu Al-Syekh hal. 76 dan Ansharu Al-Husain hal. 132).
[40] Naskah B: Abjar bin Ka’ab. Para ulama tidak menulis biografinya. Ia adalah seorang yang bengis dan terkutuk. Setelah ini akan disebutkan bahwa dialah yang merampas celana yang dikenakan oleh Al-Husain As.
[41] Naskah B dan A: “Ibuuu !”
[42] Kitab Mustadraku ‘Ilni Al-Rijal 4 hal. 248 menyebutkan: Shaleh bin Wabh Al-Muzani seorang yang bengis dan terkutuk….
[43] Naskah A: Pipi kanan beliau menempel tanah. Beliau berseru,
“بسم الله وبالله وعلى ملة رسول الله “.
Lalu beliau bangkit lagi
[44] Kitab Mustadraku ‘Ilmi Al-Rijal 3 hal. 426 menulis: Zar’ah bin Syuraik Al-Tamimi. Para ahli sejarah tidak menyebutkan biografinya. Dia adalah serang yang kejam dan terkutuk.
[45] Mustadraku ‘Ilmi Al-Rijal 4 hal. 161: Sinan bin Anas, pembunuh Imam Husain as. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Ibnu Ziyad membunuh Sinan kala ia berkata, “Aku telah membunuh orang yang mempunyai ayah dan ibu paling mulia.”
Akan tetapi, pendapat yang masyhur dan populer menyatakan bahwa tentara Mukhtarlah yang membunuhnya.
Dalam kitab Hikayatu Al-Mukhtar hal. 45 disebutkan: Ibrahim salah seorang komandan pasukan Mukhtar, ketika Sinan tertangkap berkata kepadanya, “Celakalah kau ! Ceritakan apa yang kau lakukan di hari Thaff (Asyura’) !”
Ia menjawab, “Aku tidak melakukan apa-apa kecuali hanya mengambil tali pengikat celana Al-Husain.” Mendengar itu Ibrahim menangis lau memerintahkan untuk mencincang paha Sinan dan membakar dagingnya hingga setengah matang. Kemudian ia memerintahkan Sinan untuk memakannya. Setiap kali ia menolak, tusukan pisau menyentuh badannya. Ketika ia sudah lemas dan ajal telah mendekatinya, Ibrahim menyembelihnya dan membakar bangkainya.
[46] Mustadraku ‘Ilmi Al-Rijal 3 hal. 344: Khauli bin Yazid Al-Ashbahi, salah seorang pembunuh Al-Husain as tewas di tangan Mukhtar.
[47] Syekh Tehrani dalam kitab Al-Dzari’ah 21 hal. 198 mengatakan: Ma’alimu Al-Din karangan Syekh Abu Thahir Muhammad bin Hasan Al-Qursi (Al-Barsi). Sayyid Ibnu Thawus menukil riwayat darinya di dalam kitab Al-Malhuf…
[48] Naskah A: Para malaikat gaduh dengan suara tangis mereka dan berkata, “Tuhan, .. “
[49] Naskah A: Aku mendengar Al-Husain menjawab, “Celaka kau ! Aku tidak akan masuk ke neraka dan tidak akan meminum cairan panasnya. Tapi …”
[50] Naskah A: bin Huwayyah.
Akan disebutkan setelah ini bahwa ia termasuk salah satu dari sepuluh orang uyang menginjak-injak jasad suci Al-Husain As dengan kuda mereka. Dia adalah anak hasil zina.
[51] Dalam sebagian naskah disebutkan: Akhnas bin Mirtsad.
Akan disebutkan bahwa ia termasuk dari sepuluh orang yang menginjak-injak jasad Al-Husain As dengan kuda mereka hingga dada dan punggung beliau hancur. Diapun anak zina.
[52] Mustadraku ‘Ilmi Al-Rijal 2 hal. 105. Jabir bin Yazid Al-Audi. Biografinya tidak disebutkan oleh para ulama. Dia adalah seorang yang bengis dan terkutuk.
[53] Dalam biografi Imam Husain As dari kitab Al-Thabaqat hal 187 disebutkan: Aswad bin Khalid Al-Audi. Seorang yang kejam dan terkutuk.
[54] Naskah R: Najdal
Mustadraku ‘Ilmi Al-Rijal 2 hal. 5. Bajdal bin Sulaim Al-Kalbi, seorang yang bengis dan terkutuk yang tewas di tangan Mukhtar.
[55] Dalam biografi Imam Husain As dari kitab Al-Thabaqat hal. 187 disebutkan: Selendang beliau diambil oleh Qais bin Asy’ats bin Qais Al-Kindi. Ia lalu terkenal dengan sebutan Qais Qathifah (Selendang).
Biografinya tidak disebutkan tapi ia adalah seorang yang bengis dan terkutuk.
[56] Biografinya tidak disebutkan.
[57] Naskah B: Al-Azdi.
Dalam biografi Imam Husain As dari kitab Al-Thabaqat hal. 187 disebutkan: Pedang beliau yang lain diambil oleh Jumai’ bin Khalq Al-Audi.
Biografinya tidak tertulis. Dia adalah seorang yang bengis dan terkutuk.
[58] Biografinya tidak disebutkan. Dia seorang yang kejam dan terkutuk.
[59] Naskah R: Ibnu Sa’id
Naskah A: Ibnu Abi Sa’ad.
Teks di atas diambil dari naskah B, dan inilah yang benar. Sebab beliau adalah Muhammad bin Sa’ad bin mani’ Al-Bashri, wafat tahun 230 H, penulis kitab Al-Thabaqat Al-Kubra, yang dicetak tidak sempurna. Di antara kekurangan cetakannya adalah mengenai biografi Imam Husain As. Biografi Imam Husain As dari kitab Al-Thabaqat dicetak di majalah “Turatsuna” No. 10 dengan tahqiq Allamah Sayyid Abdul Aziz Al-Thabathaba’i. Dan riwayat Ibnu Sa’ad yang dinukil di sini dapat Anda Lihat di majalah Turatsuna No. 10 hal. 187.
[60] Naskah R: Al-Qalaqis.
Naskah B: Al-Qalafis.
Teks diambil dari naskah A dan biografi Imam Husain as dari kitab Al-Thabaqat hal. 187.
[61] Kami tidak menemukan satu sumberpun yang menulis biografi putri Habib bin Budail ini. Sedangkan Habib bin Budail sendiri adalah salah seorang yang meriwayatkan hadis Wilayah (Kepemimpinan Imam Ali As, penj.)
(Lihat, Al-Ghadir 1 hal. 25 dan Usdu Al-Ghabah 1 hal. 441).
[62] Sakinah binti Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib As, seorang wanita mulia dan terhormat. Beliau adalah penghulu wanita di zamannya. Wafat pada tahun 117 H. Sebagian ahli sejarah menisbatkan banyak kedustaan yang sudah jelas kepada beliau. Di sini kami tidak dapat membahasnya.
(Lihat, Al-Thabaqat 8 hal. 348, Al-Durru Al-Mantsur hal. 244, Wafayatu Al-A’yan 1 hal. 211 dan Al-A’lam 3 hal. 106).
[63] Naskah B dan A: Al-Sunbusi. Teks diambil dari naskah R.
Dia adalah Hakim bin Thufail Al-Tha’i, termasuk salah seorang pemuka kamunya dan orang yang ditokohkan pada zaman Bani Umayyah. Ketika Mukhtar berhasil menguasai Kufah dan mengumumkan pembunuhan massal terhadap para pembunuh Al-Husain, Hakim ditangkap dan dijadikan sasaran bidikan anak panah hingga tewas dengan tubuh yang lebih mirip landak dengan banyaknya anak panah yang menancap di tubuhnya.
(Lihat, Al-Kamil fi Al-Tarikh 4 hal. 94 dan Al-A’lam 2 hal. 269).
[64] Para ahli sejarah tidak menyebutkan biografinya. Dia seorang yang bengis dan terkutuk.
[65] Mustadraku ‘Ilmi Al-Rijal 3 hal. 395. Raja’ bin Munqidz Al-‘Abdi, para sejarawan tidak menyebutkan biografinya. Ia orang yang kejam.
[66] Naskah A: Khutsaimah.
Mustadraku ‘Ilmi Al-Rijal 4 hal. 7. Salim bin Khaitsamah Al-Ja’fi. Biografinya tidak tertulis. Ia seorang yang keji dan terkutuk.
[67] Mustadraku ‘Ilmi Al-Rijal 4 hal. 248. Shaleh bin Wahb Al-Muzani, seorang yang keji dan terkutuk.
[68] Naskah B dan A: Bin Na’im.
Biografinya tidak tertulis. Dia orang yang kejam dan terkutuk.
[69] Naskah A: Hani bin Syabats.
Biografinya tidak tertulis. Dia orang yang kejam dan terkutuk.
[70] Biografinya tidak tertulis. Dia seorang yang kejam dan terkutuk.
[71] Banyak ulama yang berpendapat bahwa mereka berniat untuk melumatkan punggung dan dada Al-Husain As. Akan tetapi Allah Swt tidak mengizinkan hal itu terjadi dan mereka tidak sempat melakukan niat jahat mereka itu. Sebagian riwayat menguatkan klaim ini. Wallahu a’lam.
[72] Naskah B: Abu ‘Amr.
Beliau adalah Muhammad bin Abdul wahid bin Abu Hasyim Al-Mutharraz Al-Bawardi yang dikenal dengan sebutan Ghulamu Tsa’lab. Beliau termasuk salah seorang ahli bahasa yang bersahabat dengan Tsa’lab, ahli ilmu Nahwu. Banyak karya yang ia tinggalkan. Wafat di Baghdad pada tahun 345 H.
(Lihat, Wafayatu Al-A’yan 1 hal. 500, Tarikhu Baghdad 2 hal. 356 dan Al-A’lam 6 hal. 254).
[73] Dia adalah Atha’ bin Abi Rabbah, seorang tabi’in. Dia bekas budak yang berkulit hitam. Lahir di Yaman dan dibesarkan di Mekah. Lalu ia menjadi mufti di sana. Wafat pada tahun 114 H. (Lihat, Tadzkiratu Al-Huffadh 1hal. 92, Shifatu Al-Shafwah 2 hal. 119 dan Al-A’lam 4 hal. 135).
[74] Muhammad bin Ali bin Husain bin Musa bin Babuwaih Al-Qummi, yang lebih dikenal dengan Syekh Shaduq, seorang muhaddits besar. Tak ada orang Qom yang sepadan dengannya. Beliau pindah ke kota Rey. Wafat pada tahun 381 dan dimakamkan di sana. Banyak karya yang ditinggalkannya.
Kitab ‘Iqabu Al-A’mal menjelaskan siksaan dosa-dosa yang diperbuat manusia. Kitab ini dicetak bersama kitab beliau lainnya, “Tsawabu Al-A’mal”. Telah dicetak berulang-ulang.
[75] Naskah A setelah ini menyebutkan:
Disebutkan dalam kitab Tadzyil karangan Syekh Muhadditsin di Baghdad Muhammad bin Najjar jilid ke-30 dalam biografi Fatimah binti Abul Abbas Al-Azdi dengan sanadnya dari Thalhah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Musa bin Imran pernah memohon dari Tuhannya, “Tuhanku, saudaraku Harun telah meninggal dunia. Ampunilah segala kesalahannya.” Allah menjawabnya dengan berfirman, “Hai Musa anak Imran, jika kau memohon ampunan untuk seluruh umat manusia dari zaman dahulu hingga akhir kelak, niscaya akan kukabulkan permintaanmu itu. Kecuali bagi mereka yang telah membunuh Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib As.”
(Haidarrein/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email