Pesan Rahbar

Home » » Sayyidah Fathimah Az-Zahra as Di Mata Rahbar

Sayyidah Fathimah Az-Zahra as Di Mata Rahbar

Written By Unknown on Sunday, 3 January 2016 | 14:22:00


Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar Ayatullah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei ‎dalam sejumlah pidatonya menjelaskan banyak hal tentang pribadi Sayyidah Fathimah az-‎Zahra as.‎

Keagungan Sayyidah Fathimah az-Zahra as

Ayatullah Sayyid Ali Khamenei saat bertemu dengan para pengidung Ahlul Bait pada 24 ‎November 1994 tentang keagungan pribadi Sayyidah Fathimah az-Zahra as mengatakan, ‎‎"Apa saja yang telah kita ucapkan mengenai Sayyidah Fathimah az-Zahra as tetap saja ‎kurang. Pada hakikatnya kita tidak apa yang harus diucapkan dan apa yang harus dipikirkan. ‎Sedemikian luasnya dimensi keberadaan Haura Insiyah, Ruh Mujarrad, Inti Kenabian dan ‎Wilayah bagi kita, sehingga kita tidak mampu memahaminya. Kita benar-benar dibuat tidak ‎berdaya dengan pribadi agung ini."‎

Maqam Sayyidah Fathimah az-Zahra as

Sayyidah Fathimah az-Zahra benar-benar merupakan pribadi besar dan berada di level ‎pertama Islam. Sejatinya beliau menjadi pribadi level teratas dalam sejarah kehidupan ‎manusia. Hal ini dapat ditemukan dalam ucapan Rasulullah saw saat berkata kepadanya, "Ala ‎Tardhaina an Takuni Sayyidata Nisail ‘Alamin (Apakah engkau tidak rela menjadi junjungan ‎wanita sedunia?). Engkau junjungan wanita seluruh dunia sepanjang sejarah manusia. ‎Sayyidah Fathimah az-Zahra as sendiri bertanya kepada Rasulullah saw, "Fa aina Maryamu ‎binti ‘Imran? Bagaimana dengan Maryam junjungan wanita yang telah dijelaskan dalam al-‎Quran? Rasulullah saw bersabda, "Maryam merupakan junjungan seluruh wanita di masanya. ‎Sementara engkau adalah junjungan seluruh wanita sepanjang sejarah umat manusia."‎

Bila pribadi Sayyidah Fathimah az-Zahra tampak bagi otak sederhana dan mata kita yang ‎hanya bisa melihat dari dekat, niscaya kita akan membenarkan betapa beliau adalah ‎junjungan seluruh wanita di alam semesta. Seorang wanita yang telah mencapai maqam ‎spiritual dan keilmuan di usia muda dan umur yang pendek. Maqam ini sama dengan derajat ‎para nabi dan auliya. Sejatinya Sayyidah Fathimah az-Zahra adalah fajar yang menyingsing ‎dan darinya mentari imamah dan wilayah bersinar. Beliau bak langit tinggi yang dari ‎pelukannya muncul banyak bintang wilayah. Seluruh Imam as begitu menghormati dan ‎menghargai ibunya. Penghormatan yang jarang didapat oleh seseorang dari para Imam as. ‎‎(Cuplikan pidato di Hari Kelahiran Sayyidah Fathimah az-Zahra pada 9 Oktober 1997)‎.

Berkah Sayyidah Fathimah az-Zahra as‎

Berkah Sayyidah Fathimah az-Zahra as tidak terbatas pada sekelompok kecil manusia. ‎Bahkan bila memandang secara realistis dan logis, manusia berutang pada keberadaan ‎Sayyidah Fathimah az-Zahra as. Ini bukan hal yang terlalu dibesar-besarkan. Sebuah ‎kenyataan. Sebagaimana manusia berutang pada Islam, al-Quran, ajaran para nabi dan ‎Rasulullah saw. Sepanjang sejarah selalu demikian. Hari ini juga demikian. Setiap harinya ‎cahaya Islam dan spiritual Sayyidah Fathimah az-Zahra as semakin tampak. Manusia akan ‎merasakan hal itu.‎

Berkah yang banyak yang disebutkan dalam al-Quran dengan ungkapan al-Kautsar ‎merupakan kabar gembira yang diberikan kepada Rasulullah saw. Disebutkan bahwa takwil ‎‎"Inna A'thainaaka al-Kautsar" adalah Sayyidah Fathimah az-Zahra as. Sejatinya beliau ‎adalah sumber segala kebaikan yang setiap harinya dari sumber agama dilimpahkan kepada ‎seluruh mansuia dan makhluk hidup di dunia. Banyak orang yang berusaha menutupi-nutupi ‎kenyataan ini, bahkan mengingkarinya tapi mereka tidak mampu. "Wallahu Mutimmu Nurihi ‎wa lalu Kariha al-Kafiruun"(ash-Shaff ayat 8).‎

Kita harus mendekatkan diri pada inti cahaya ini. Kelaziman dari upaya ini, kita juga akan ‎bercahaya. Kita harus bercahaya dengan perbuatan, bukan hanya cinta kosong. Perbuatan ‎yang sebenarnya adalah cinta, wilayah dan keimanan itu sendiri. Hal inilah yang didiktekan ‎dan yang diinginkan dari kita. Dengan amal kita harus menjadi bagian dari keluarga dan ‎bergantung pada keluarga ini. Bukan hal yang mudah ketika Qanbar berada di rumah Imam ‎Ali as. Salman menjadi "Salman minnaa Ahlulbait" juga bukan pekerjaan mudah. Kita ‎sebagai masyarakat berwilayah dan Syiah Ahlul Bait berharap dari para Imam as agar ‎menjadikan kita bagian dari mereka dan termasuk orang-orang yang mengelilingi mereka. ‎Hati kita ingin agar Ahlul Bait menilai kita seperti itu. Tapi ingat! Ini bukan hal yang mudah. ‎Ini tidak akan bisa terwujudkan hanya dengan pengakuan. Semua ini membutuhkan amal, ‎sikap pemaaf, pengorbanan dan berupaya menyerupai akhlak mereka. (Pidato di Hari ‎Kelahiran Sayyidah Fathimah az-Zahra as pada 26 Desember 1991)‎.

Belajar dari Sirah Sayyidah Fathimah az-Zahra as

Coba kalian perhatikan! Sayyidah Fathimah az-Zahra meraih segala keutamaan ini di usianya ‎yang keberapa? Di usia yang ke berapa segala kecemerlangan ini ditampakkannya? Di usia ‎yang masih muda; 18, 20 atau ada yang mengatakan 25 tahun. Semua keutamaan ini tidak ‎diraih begitu saja. "Imtahanaki Allah alladzi Khalaqaka qabla an Yakhluqaki Fawajadaki ‎lamma Imtahanaki Shabira" (Allah Sang Penciptamu telah mengujimu sebelum menciptamu ‎dan menemukanmu begitu sabar ketika diuji). Allah swt telah menguji hamba-Nya yang ‎terpilih ini. Apa yang Allah lakukan telah diperhitungkan dengan matang. Bila Dia ‎memaafkan, maka hal itu dilakukan dengan perhitungan matang. Allah mengetahui betapa ‎hamba pilihan-Nya ini fana di jalan ilahi saat memaafkan, mengorbankan dan mengenal. ‎Oleh karenanya Allah menjadikannya sebagai inti keberkahan manusia.‎

Kita juga harus melewati jalan ini. Kita juga harus jadi orang pemaaf, berkorban dan menaati ‎Allah. Bukankah dalam riwayat disebutkan betapa Sayyidah Fathimah az-Zahra beribadah ‎sehingga kakinya bengkak (hatta Tawarrama Qadamaaha). Begitu lamanya ia berdiri di ‎mihrabnya beribadah kepada Allah. Kita juga harus berdiri di mihrab kita untuk beribadah! ‎Kita juga harus berzikir kepada Allah. Kita juga harus terus memperbanyak cinta ilahi dalam ‎hati kita. Bukankah kita mengetahui betapa beliau dengan kondisi lemah pergi ke masjid agar ‎dapat meraih kembali hak yang dirampas? Kita juga harus berusaha keras dalam segala ‎kondisi guna mengembalikan hak kepada yang berhak. Kita harus seperti beliau tidak takut ‎kepada siapapun. Bukankah disebutkan dalam riwayat bahwa beliau seorang diri berdiri di ‎hadapan masyarakat di masanya? Kita juga harus seperti yang disabdakan oleh suaminya, ‎‎"La Tastauhisyuu fi Thariq al-Huda li Qillati Ahlihi" (Jangan pernah takut di jalan Allah ‎sekalipun dengan jumlah sedikit!) Kita jangan pernah takut sekalipun jumlah kita sedikit ‎menghadapi dunia kezaliman dan hegemoni. Teruslah berusaha! Bukankah diriwayatkan ‎bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Sayyidah Fathimah az-Zahra as membuat Allah ‎menurunkan surat ad-Dahr untuknya, suami dan anak-anaknya? Pengorbanan yang dilakukan ‎untuk orang-orang miskin dan membantu orang-orang yang membutuhkan dengan harga ‎dirinya dan keluarganya bakal merasakan lapar yang luar biasa! "Yu'tsiruuna ‘ala Anfusihim ‎wa lau Kana bihim Khashaashah (al-Hasyr ayat 9). Kita juga harus melakukan perbuatan ‎seperti ini.‎

Tidak bisa dibiarkan kita berbicara lantang tentang cinta Fathimah az-Zahra as. Perhatikan ‎bagaimana beliau dikarenakan orang-orang yang lapar, makanan yang seharusnya untuk diri, ‎suami dan anak-anak tercintanya diberikan kepada orang-orang yang lapar. Beliau ‎memberikan makanan itu kepada orang miskin. Bukan satu hari. Bukan dua hari, tapi tiga ‎hari. Kita yang mengaku sebagai pecinta pribadi yang semacam ini, tapi ternyata bukan ‎hanya tidak pernah memisahkan makanan dari kerongkongan kita untuk diberikan kepada ‎orang-orang miskin, bila perlu kita enyahkan juga makanan yang hendak memasuki ‎kerongkongan orang-orang miskin!‎

Riwayat-riwayat yang disebutkan dalam buku Ushul al-Kafi dan sebagian buku hadis lain ‎tentang tanda-tanda orang Syiah kembali pada masalah ini. Artinya, Syiah harus berbuat ‎seperti ini! Kita harus mendemostrasikan kehidupan mereka dalam kehidupan kita, sekalipun ‎dalam bentuknya yang lemah. Tentu saja kita ini siapa dan mereka siapa! Jelas, kita tidak ‎akan pernah sampai ke tingkat mereka, bahkan sebatas lingkaran tangan mereka juga tidak ‎akan sampai. Namun kita harus berbuat seperti yang mereka lakukan. Tentu saja tidak boleh ‎terjadi kita hidup bertentangan dengan apa yang dicontohkan oleh Ahlul Bait tapi pada saat ‎yang sama kita mengaku sebagai bagian dari orang-orang yang dibebaskan oleh Ahlul Bait. ‎Apakah hal yang demikian mungkin terjadi? Coba asumsikan ada seorang yang hidup di ‎masa Imam Khomeini ra yang senantiasa mengikuti musuh bangsa Iran yang selalu ‎dibicarakan oleh Imam Khomeini ra. Apakah orang itu mampu mengatakan bahwa dirinya ‎taat kepada Imam? Bila ada ucapan seperti ini keluar dari orang yang seperti itu, apakah ‎kalian tidak menertawakannya? Kondisi yang ada ini sama juga dengan masalah Ahlul Bait.‎

Kita harus buktikan kelayakan kita!‎

Apakah kita tidak mengatakan bahwa bila seseorang mendengar apa saja perabot rumah ‎tangga Sayyidah Fathimah az-Zahra as, pasti air matanya bercucuran? Apakah kita tidak ‎mengatakan bahwa wanita dengan derajat tinggi seperti beliau tidak memperhatikan dunia ‎dan hiasannya? Lalu mengapa setiap harinya kita malah menumpuk segala bentuk perabot, ‎perhiasan dan hal-hal yang tidak berarti? Kita tinggikan mahar anak-anak perempuan.‎

Di awal-awal, ketika ada keluarga yang memberikan mahar mahal, kita biasanya ‎menertawakannya. Kita katakan kepada mereka apakah kalian benar-benar akan memberikan ‎logam emas sebanyak itu. Bila memang benar, lebih baik bila kalian tidak langsung ‎mengatakan 72 logam emas! Namun sekarang bagaimana! Kita menyaksikan betapa ‎penentuan mahar yang mahal telah menjadi sebuah kenyataan. Apa sebenarnya yang telah ‎terjadi! Anda sebagai ayah dari anak perempuan, apakah anda dapat mengklaim pengikut ‎ayah Fathimah as? Hal ini tidak bisa dibiarkan. Kita harus memikirkan kondisi kita. (Pidato ‎di Hari Kelahiran Sayyidah Fathimah az-Zahra as pada 26 Desember 1991)‎.

Shiddiqah Kubra

Nilai Sayyidah Fathimah az-Zahra as kembali pada ibadah dan penghambaannya kepada ‎Allah. Bila tidak ada penghambaan dalam diri Sayyidah Fathimah as, beliau tidak akan ‎disebut Shiddiqah Kubra (kejujuran terbesar). Apa artinya shiddiq? Shiddiq adalah seseorang ‎yang jujur menunjukkan apa yang dipikir dan diucapkan dalam perbuatannya. Selama ‎kejujuran ini semakin besar, maka sudah pasti nilai seorang manusia juga bertambah. Ia ‎menjadi Shiddiq seperti yang disebutkan oleh al-Quran dalam surat an-Nisa' ayat 69 yang ‎artinya "Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-‎sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para ‎shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman ‎yang sebaik-baiknya." Dalam ayat ini jelas mendudukkan shiddiqin setelah nabiyyin. Tapi ‎perlu diketahui Sayyidah Fathimah az-Zahra lebih di atas itu. Karena beliau adalah Shiddiqah ‎Kubra yang berarti wanita terbaik dari kalangan shiddiqin.. Sifat Shiddiq ini diberikan karena ‎penghambaan. Bila hal itu tidak dilakukan, niscaya beliau tidak akan diberi sebutan ‎Shiddiqah Kubra. Artinya, inti dari semua ini adalah penghambaan kepada Allah.(Pidato di ‎Hari Kelahiran Sayyidah Fathimah az-Zahra as pada 26 Desember 1991)‎.

Dimensi Kehidupan Sayyidah Fathimah az-Zahra as

Dalam kehidupan biasa Sayyidah Fathimah az-Zahra as ada satu poin penting yang patut ‎diperhatikan. Sayyidah Fathimah az-Zahra as mampu menggabungkan antara seorang wanita ‎muslim dalam perilakunya dengan suami dan anak-anaknya dan melaksanakan kewajibannya ‎di rumah dan dari sisi lain melaksanakan kewajibannya sebagai seorang mujahid yang tidak ‎pernah lelah menghadapi pelbagai peristiwa politik pasca meninggalnya Rasulullah saw. ‎Beliau mendatangi masjid dan berpidato lantang membela sikapnya dan berbicara sebagai ‎seorang mujahid tulen yang tidak pernah merasa lelah serta menanggung segala kesulitan. ‎Sementara itu, beliau adalah seorang hamba Allah yang melaksanakan shalatnya di malam ‎hari. Beliau bangkit melaksanakan shalat hanya karena Allah semata. Tunduk dan khusyu di ‎hadapan-Nya. Di bilik mihrabnya, wanita muda ini bak para wali senior Allah ‎melangsungkan munajatnya dengan Sang Kekasih.‎

Tiga dimensi yang mampu dikumpulkan dalam dirinya menjadikan titik cemerlang dalam ‎kehidupan Sayyidah Fathimah az-Zahra as. Beliau dengan indah menggabungkan tiga ‎dimensi ini. Sebagian orang beranggapan bahwa manusia yang sibuk dengan ibadah dan ‎disebut abid tidak akan mampu menjadi seorang politikus. Atau sebagian lain beranggapan ‎seorang politikus, laki-laki maupun perempuan, dan aktif di medan jihad, bila seorang wanita, ‎pasti ia tidak akan mampu melaksanakan kewajibannya sebagai ibu dan istri yang baik. Bila ‎seorang laki-laki, ia tidak akan mampu menjadi kepala rumah tangga yang memimpin ‎keluarganya dengan baik. Mereka membayangkan keduanya bertentangan. Padahal dalam ‎pandangan Islam ketiganya ini tidak saling bertentangan, bahkan saling membantu ‎mengantarkan manusia menjadi sempurna.‎

Kalian harus mempertahankan partisipasi kalian mengikuti demonstrasi, berpartisipasi dalam ‎pembangunan, ikut ke medan tempur dan ikut serta dalam pemilu. Partisipasi kalian sangat ‎berpengaruh dalam menentukan masa depan negara dan Revolusi. Pada saat yang sama ‎kalian memperbaiki hubungan spiritual dengan Allah lewat ibadah dan zikir. Pertanyaannya, ‎bagaimana hal ini dengan mudah dapat dilakukan? Kita punya teladan bernama Sayyidah ‎Fathimah az-Zahra as. (Pidato di Acara Peringatan Syahadah Sayyidah Fathimah az-Zahra as ‎pada 13 Desember 1989)‎.

Sayyidah Fathimah az-Zahra Sejak Kecil Hingga Akhir Hayatnya

Ada sebuah hadis yang diriwayatkan dari Syiah bahwa Rasulullah kepada Sayyidah Fathimah ‎az-Zahra as bersabda, "Wahai Fathimah! Aku tidak mampu membuatmu tidak butuh akan ‎sesuatu di hadapan Allah." Artinya, engkau harus berpikir tentang dirimu sendiri. Itulah ‎mengapa Sayyidah Fathmah az-Zahra sejak kecil hingga akhir hayatnya senantiasa ‎memikirkan dirinya. Perhatikan bagaimana beliau menjalani kehidupannya! Sebelum ‎menikah beliau adalah seorang anak perempuan kecil yang membantu ayahnya yang punya ‎tugas agung. Menyaksikan itu Rasulullah saw menyebutnya dengan Ummu Abiha (ibu ‎ayahnya).‎

Di masa itu, ketika Rasulullah saw tengah berusaha meninggikan bendera Islam agar kekal ‎selama-lamanya, sudah pada tempatnya bila kepada Sayyidah Fathimah az-Zahra disebut ‎Ummu Abiha. Rasulullah saw memberikan panggilan seperti itu kepada beliau disebabkan ‎pengabdian, kerja keras dan perjuangannya. Hal itu dilakukannya dengan baik selama di ‎Mekah di Syi'b Abi Thalib atau saat ibunya wafat meninggalkan ayahnya seorang diri. ‎Sayyidah Fathimah az-Zahra senantiasa berada di sisi ayahnya. Kesedihan mendalam baru ‎saja menghantui Rasulullah saw setelah ditinggal paman dan isterinya. Tentu saja Rasulullah ‎merasakan kesendirian. Pada masa itulah Sayyidah Fathimah az-Zahra bangkit memenuhi ‎kekosongan yang ada. Dengan tangan-tangan mungilnya beliau menepis debu ujian dari ‎wajah ayahnya. Ummu Abiha mampu mengademkan hati Rasulullah saw. Sebutan ini ‎dimulai sejak masa itu.‎

Bayangkan kepribadian yang luas dan penuh perjuangan ini! Setelah itu tiba periode Islam ‎dan masa pernikahannya dengan Ali bin Abi Thalib as. Ya, itulah Ali yang menjadi contoh ‎nyata sempurna seorang basiji yang penuh pengorbanan terhadap revolusi. Basiji adalah ini. ‎Artinya, seluruh kehidupannya diwakafkan hanya untuk Islam. Diwakafkan sesuai yang ‎diinginkan Rasulullah saw dan membuat Allah rela kepadanya. Imam Ali as tidak pernah ‎berbicara dan meninggalkan sesuatu untuk pribadinya. Selama 10 tahun hidup bersama ‎Rasulullah saw, Imam Ali as hanya bekerja dan berbuat untuk kemajuan Islam. Bila kalian ‎menyaksikan bahwa Fathimah az-Zahra as, Imam Ali as dan anak-anaknya memilih lapar ‎demi orang miskin disebabkan prinsip mulia mereka. Karena bila seorang Imam Ali as hanya ‎memikirkan pekerjaan, ia akan mampu mendapatkan profesi yang terbaik.‎

Itulah Imam Ali as yang di masa tuanya bekerja menggali sumur. Beliau menggali sumur ‎seukuran leher unta dan mengambil air dari sana. Baru saja selesai menggali sumur dan ‎tangannya belum dibersihkan dan dicuci dari tanah dan debu, beliau lalu duduk sibuk ‎menuliskan surat wasiat bahwa sumur itu diperuntukkan umat Islam. Beliau menulis surat ‎wakaf! Imam Ali as banyak melakukan hal ini. Betapa banyak kebun kurma yang menghijau ‎berkat kerjanya. Lalu mengapa Imam Ali as harus menahan lapar di usia muda? Dalam ‎sebuah riwayat disebutkan, Fathimah az-Zahra as menghadap Rasulullah saw. Beliau tampak ‎sangat lapar. Rasul sendiri menyaksikan betapa wajahnya telah berwarna kuning. Hati ‎Rasulullah saw tersayat-sayat menyaksikan kenyataan ini. Beliau lalu menengadahkan ‎tangannya ke atas berdoa untuk putrinya.‎

Seluruh kerja keras Imam Ali as diperuntukkan di jalan Allah dan demi kemajuan Islam. ‎Imam Ali as tidak pernah bekerja untuk dirinya. Ini contoh nyata dan sempurna seorang ‎basiji.‎

‎... Saat itu Fathimah az-Zahra ternyata lebih memilih seorang pemuda yang mewakafkan ‎dirinya di jalan Allah yang senantiasa berada di medan perang. Ini tidak sederhana. Anak ‎perempuan seorang pemimpin Islam waktu itu dan segala lamaran yang datang dengan ‎kekayaan dan pribadi, ternyata Allah memilihkan Ali untuk Fathimah. Sayyidah Fathimah az-‎Zahra as juga rela dengan pilihan ini dan merasa bahagia. Beliau kemudian hidup dengan ‎Imam Ali as dan rela dengan kehidupannya. Ucapan Sayyidah Fathimah az-Zahra di hari-hari ‎terakhir hidupnya kepada Imam Ali as menjadi saksi semua ini.‎

Sayyidah Fathimah az-Zahra as bersabar. Beliau harus membesarkan dan mendidik anak-‎anaknya. Setelah itu beliau membela mati-matian hak wilayah. Beliau menanggung segala ‎kesulitan dan siksaan di jalan Allah. Semua itu dilaluinya dan akhirnya mereguk cawan ‎syahadah. Inilah Sayyidah Fathimah az-Zahra as.(Pidato di Hari Wiladah Sayyidah az-Zahra ‎as pada 23 November 1994)

(IRIB-Indonesia/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: