Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar Ayatullah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei dalam sejumlah pidatonya menjelaskan banyak hal tentang pribadi Sayyidah Fathimah az-Zahra as.
Keagungan Sayyidah Fathimah az-Zahra as
Ayatullah Sayyid Ali Khamenei saat bertemu dengan para pengidung Ahlul Bait pada 24 November 1994 tentang keagungan pribadi Sayyidah Fathimah az-Zahra as mengatakan, "Apa saja yang telah kita ucapkan mengenai Sayyidah Fathimah az-Zahra as tetap saja kurang. Pada hakikatnya kita tidak apa yang harus diucapkan dan apa yang harus dipikirkan. Sedemikian luasnya dimensi keberadaan Haura Insiyah, Ruh Mujarrad, Inti Kenabian dan Wilayah bagi kita, sehingga kita tidak mampu memahaminya. Kita benar-benar dibuat tidak berdaya dengan pribadi agung ini."
Maqam Sayyidah Fathimah az-Zahra as
Sayyidah Fathimah az-Zahra benar-benar merupakan pribadi besar dan berada di level pertama Islam. Sejatinya beliau menjadi pribadi level teratas dalam sejarah kehidupan manusia. Hal ini dapat ditemukan dalam ucapan Rasulullah saw saat berkata kepadanya, "Ala Tardhaina an Takuni Sayyidata Nisail ‘Alamin (Apakah engkau tidak rela menjadi junjungan wanita sedunia?). Engkau junjungan wanita seluruh dunia sepanjang sejarah manusia. Sayyidah Fathimah az-Zahra as sendiri bertanya kepada Rasulullah saw, "Fa aina Maryamu binti ‘Imran? Bagaimana dengan Maryam junjungan wanita yang telah dijelaskan dalam al-Quran? Rasulullah saw bersabda, "Maryam merupakan junjungan seluruh wanita di masanya. Sementara engkau adalah junjungan seluruh wanita sepanjang sejarah umat manusia."
Bila pribadi Sayyidah Fathimah az-Zahra tampak bagi otak sederhana dan mata kita yang hanya bisa melihat dari dekat, niscaya kita akan membenarkan betapa beliau adalah junjungan seluruh wanita di alam semesta. Seorang wanita yang telah mencapai maqam spiritual dan keilmuan di usia muda dan umur yang pendek. Maqam ini sama dengan derajat para nabi dan auliya. Sejatinya Sayyidah Fathimah az-Zahra adalah fajar yang menyingsing dan darinya mentari imamah dan wilayah bersinar. Beliau bak langit tinggi yang dari pelukannya muncul banyak bintang wilayah. Seluruh Imam as begitu menghormati dan menghargai ibunya. Penghormatan yang jarang didapat oleh seseorang dari para Imam as. (Cuplikan pidato di Hari Kelahiran Sayyidah Fathimah az-Zahra pada 9 Oktober 1997).
Berkah Sayyidah Fathimah az-Zahra as
Berkah Sayyidah Fathimah az-Zahra as tidak terbatas pada sekelompok kecil manusia. Bahkan bila memandang secara realistis dan logis, manusia berutang pada keberadaan Sayyidah Fathimah az-Zahra as. Ini bukan hal yang terlalu dibesar-besarkan. Sebuah kenyataan. Sebagaimana manusia berutang pada Islam, al-Quran, ajaran para nabi dan Rasulullah saw. Sepanjang sejarah selalu demikian. Hari ini juga demikian. Setiap harinya cahaya Islam dan spiritual Sayyidah Fathimah az-Zahra as semakin tampak. Manusia akan merasakan hal itu.
Berkah yang banyak yang disebutkan dalam al-Quran dengan ungkapan al-Kautsar merupakan kabar gembira yang diberikan kepada Rasulullah saw. Disebutkan bahwa takwil "Inna A'thainaaka al-Kautsar" adalah Sayyidah Fathimah az-Zahra as. Sejatinya beliau adalah sumber segala kebaikan yang setiap harinya dari sumber agama dilimpahkan kepada seluruh mansuia dan makhluk hidup di dunia. Banyak orang yang berusaha menutupi-nutupi kenyataan ini, bahkan mengingkarinya tapi mereka tidak mampu. "Wallahu Mutimmu Nurihi wa lalu Kariha al-Kafiruun"(ash-Shaff ayat 8).
Kita harus mendekatkan diri pada inti cahaya ini. Kelaziman dari upaya ini, kita juga akan bercahaya. Kita harus bercahaya dengan perbuatan, bukan hanya cinta kosong. Perbuatan yang sebenarnya adalah cinta, wilayah dan keimanan itu sendiri. Hal inilah yang didiktekan dan yang diinginkan dari kita. Dengan amal kita harus menjadi bagian dari keluarga dan bergantung pada keluarga ini. Bukan hal yang mudah ketika Qanbar berada di rumah Imam Ali as. Salman menjadi "Salman minnaa Ahlulbait" juga bukan pekerjaan mudah. Kita sebagai masyarakat berwilayah dan Syiah Ahlul Bait berharap dari para Imam as agar menjadikan kita bagian dari mereka dan termasuk orang-orang yang mengelilingi mereka. Hati kita ingin agar Ahlul Bait menilai kita seperti itu. Tapi ingat! Ini bukan hal yang mudah. Ini tidak akan bisa terwujudkan hanya dengan pengakuan. Semua ini membutuhkan amal, sikap pemaaf, pengorbanan dan berupaya menyerupai akhlak mereka. (Pidato di Hari Kelahiran Sayyidah Fathimah az-Zahra as pada 26 Desember 1991).
Belajar dari Sirah Sayyidah Fathimah az-Zahra as
Coba kalian perhatikan! Sayyidah Fathimah az-Zahra meraih segala keutamaan ini di usianya yang keberapa? Di usia yang ke berapa segala kecemerlangan ini ditampakkannya? Di usia yang masih muda; 18, 20 atau ada yang mengatakan 25 tahun. Semua keutamaan ini tidak diraih begitu saja. "Imtahanaki Allah alladzi Khalaqaka qabla an Yakhluqaki Fawajadaki lamma Imtahanaki Shabira" (Allah Sang Penciptamu telah mengujimu sebelum menciptamu dan menemukanmu begitu sabar ketika diuji). Allah swt telah menguji hamba-Nya yang terpilih ini. Apa yang Allah lakukan telah diperhitungkan dengan matang. Bila Dia memaafkan, maka hal itu dilakukan dengan perhitungan matang. Allah mengetahui betapa hamba pilihan-Nya ini fana di jalan ilahi saat memaafkan, mengorbankan dan mengenal. Oleh karenanya Allah menjadikannya sebagai inti keberkahan manusia.
Kita juga harus melewati jalan ini. Kita juga harus jadi orang pemaaf, berkorban dan menaati Allah. Bukankah dalam riwayat disebutkan betapa Sayyidah Fathimah az-Zahra beribadah sehingga kakinya bengkak (hatta Tawarrama Qadamaaha). Begitu lamanya ia berdiri di mihrabnya beribadah kepada Allah. Kita juga harus berdiri di mihrab kita untuk beribadah! Kita juga harus berzikir kepada Allah. Kita juga harus terus memperbanyak cinta ilahi dalam hati kita. Bukankah kita mengetahui betapa beliau dengan kondisi lemah pergi ke masjid agar dapat meraih kembali hak yang dirampas? Kita juga harus berusaha keras dalam segala kondisi guna mengembalikan hak kepada yang berhak. Kita harus seperti beliau tidak takut kepada siapapun. Bukankah disebutkan dalam riwayat bahwa beliau seorang diri berdiri di hadapan masyarakat di masanya? Kita juga harus seperti yang disabdakan oleh suaminya, "La Tastauhisyuu fi Thariq al-Huda li Qillati Ahlihi" (Jangan pernah takut di jalan Allah sekalipun dengan jumlah sedikit!) Kita jangan pernah takut sekalipun jumlah kita sedikit menghadapi dunia kezaliman dan hegemoni. Teruslah berusaha! Bukankah diriwayatkan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Sayyidah Fathimah az-Zahra as membuat Allah menurunkan surat ad-Dahr untuknya, suami dan anak-anaknya? Pengorbanan yang dilakukan untuk orang-orang miskin dan membantu orang-orang yang membutuhkan dengan harga dirinya dan keluarganya bakal merasakan lapar yang luar biasa! "Yu'tsiruuna ‘ala Anfusihim wa lau Kana bihim Khashaashah (al-Hasyr ayat 9). Kita juga harus melakukan perbuatan seperti ini.
Tidak bisa dibiarkan kita berbicara lantang tentang cinta Fathimah az-Zahra as. Perhatikan bagaimana beliau dikarenakan orang-orang yang lapar, makanan yang seharusnya untuk diri, suami dan anak-anak tercintanya diberikan kepada orang-orang yang lapar. Beliau memberikan makanan itu kepada orang miskin. Bukan satu hari. Bukan dua hari, tapi tiga hari. Kita yang mengaku sebagai pecinta pribadi yang semacam ini, tapi ternyata bukan hanya tidak pernah memisahkan makanan dari kerongkongan kita untuk diberikan kepada orang-orang miskin, bila perlu kita enyahkan juga makanan yang hendak memasuki kerongkongan orang-orang miskin!
Riwayat-riwayat yang disebutkan dalam buku Ushul al-Kafi dan sebagian buku hadis lain tentang tanda-tanda orang Syiah kembali pada masalah ini. Artinya, Syiah harus berbuat seperti ini! Kita harus mendemostrasikan kehidupan mereka dalam kehidupan kita, sekalipun dalam bentuknya yang lemah. Tentu saja kita ini siapa dan mereka siapa! Jelas, kita tidak akan pernah sampai ke tingkat mereka, bahkan sebatas lingkaran tangan mereka juga tidak akan sampai. Namun kita harus berbuat seperti yang mereka lakukan. Tentu saja tidak boleh terjadi kita hidup bertentangan dengan apa yang dicontohkan oleh Ahlul Bait tapi pada saat yang sama kita mengaku sebagai bagian dari orang-orang yang dibebaskan oleh Ahlul Bait. Apakah hal yang demikian mungkin terjadi? Coba asumsikan ada seorang yang hidup di masa Imam Khomeini ra yang senantiasa mengikuti musuh bangsa Iran yang selalu dibicarakan oleh Imam Khomeini ra. Apakah orang itu mampu mengatakan bahwa dirinya taat kepada Imam? Bila ada ucapan seperti ini keluar dari orang yang seperti itu, apakah kalian tidak menertawakannya? Kondisi yang ada ini sama juga dengan masalah Ahlul Bait.
Kita harus buktikan kelayakan kita!
Apakah kita tidak mengatakan bahwa bila seseorang mendengar apa saja perabot rumah tangga Sayyidah Fathimah az-Zahra as, pasti air matanya bercucuran? Apakah kita tidak mengatakan bahwa wanita dengan derajat tinggi seperti beliau tidak memperhatikan dunia dan hiasannya? Lalu mengapa setiap harinya kita malah menumpuk segala bentuk perabot, perhiasan dan hal-hal yang tidak berarti? Kita tinggikan mahar anak-anak perempuan.
Di awal-awal, ketika ada keluarga yang memberikan mahar mahal, kita biasanya menertawakannya. Kita katakan kepada mereka apakah kalian benar-benar akan memberikan logam emas sebanyak itu. Bila memang benar, lebih baik bila kalian tidak langsung mengatakan 72 logam emas! Namun sekarang bagaimana! Kita menyaksikan betapa penentuan mahar yang mahal telah menjadi sebuah kenyataan. Apa sebenarnya yang telah terjadi! Anda sebagai ayah dari anak perempuan, apakah anda dapat mengklaim pengikut ayah Fathimah as? Hal ini tidak bisa dibiarkan. Kita harus memikirkan kondisi kita. (Pidato di Hari Kelahiran Sayyidah Fathimah az-Zahra as pada 26 Desember 1991).
Shiddiqah Kubra
Nilai Sayyidah Fathimah az-Zahra as kembali pada ibadah dan penghambaannya kepada Allah. Bila tidak ada penghambaan dalam diri Sayyidah Fathimah as, beliau tidak akan disebut Shiddiqah Kubra (kejujuran terbesar). Apa artinya shiddiq? Shiddiq adalah seseorang yang jujur menunjukkan apa yang dipikir dan diucapkan dalam perbuatannya. Selama kejujuran ini semakin besar, maka sudah pasti nilai seorang manusia juga bertambah. Ia menjadi Shiddiq seperti yang disebutkan oleh al-Quran dalam surat an-Nisa' ayat 69 yang artinya "Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." Dalam ayat ini jelas mendudukkan shiddiqin setelah nabiyyin. Tapi perlu diketahui Sayyidah Fathimah az-Zahra lebih di atas itu. Karena beliau adalah Shiddiqah Kubra yang berarti wanita terbaik dari kalangan shiddiqin.. Sifat Shiddiq ini diberikan karena penghambaan. Bila hal itu tidak dilakukan, niscaya beliau tidak akan diberi sebutan Shiddiqah Kubra. Artinya, inti dari semua ini adalah penghambaan kepada Allah.(Pidato di Hari Kelahiran Sayyidah Fathimah az-Zahra as pada 26 Desember 1991).
Dimensi Kehidupan Sayyidah Fathimah az-Zahra as
Dalam kehidupan biasa Sayyidah Fathimah az-Zahra as ada satu poin penting yang patut diperhatikan. Sayyidah Fathimah az-Zahra as mampu menggabungkan antara seorang wanita muslim dalam perilakunya dengan suami dan anak-anaknya dan melaksanakan kewajibannya di rumah dan dari sisi lain melaksanakan kewajibannya sebagai seorang mujahid yang tidak pernah lelah menghadapi pelbagai peristiwa politik pasca meninggalnya Rasulullah saw. Beliau mendatangi masjid dan berpidato lantang membela sikapnya dan berbicara sebagai seorang mujahid tulen yang tidak pernah merasa lelah serta menanggung segala kesulitan. Sementara itu, beliau adalah seorang hamba Allah yang melaksanakan shalatnya di malam hari. Beliau bangkit melaksanakan shalat hanya karena Allah semata. Tunduk dan khusyu di hadapan-Nya. Di bilik mihrabnya, wanita muda ini bak para wali senior Allah melangsungkan munajatnya dengan Sang Kekasih.
Tiga dimensi yang mampu dikumpulkan dalam dirinya menjadikan titik cemerlang dalam kehidupan Sayyidah Fathimah az-Zahra as. Beliau dengan indah menggabungkan tiga dimensi ini. Sebagian orang beranggapan bahwa manusia yang sibuk dengan ibadah dan disebut abid tidak akan mampu menjadi seorang politikus. Atau sebagian lain beranggapan seorang politikus, laki-laki maupun perempuan, dan aktif di medan jihad, bila seorang wanita, pasti ia tidak akan mampu melaksanakan kewajibannya sebagai ibu dan istri yang baik. Bila seorang laki-laki, ia tidak akan mampu menjadi kepala rumah tangga yang memimpin keluarganya dengan baik. Mereka membayangkan keduanya bertentangan. Padahal dalam pandangan Islam ketiganya ini tidak saling bertentangan, bahkan saling membantu mengantarkan manusia menjadi sempurna.
Kalian harus mempertahankan partisipasi kalian mengikuti demonstrasi, berpartisipasi dalam pembangunan, ikut ke medan tempur dan ikut serta dalam pemilu. Partisipasi kalian sangat berpengaruh dalam menentukan masa depan negara dan Revolusi. Pada saat yang sama kalian memperbaiki hubungan spiritual dengan Allah lewat ibadah dan zikir. Pertanyaannya, bagaimana hal ini dengan mudah dapat dilakukan? Kita punya teladan bernama Sayyidah Fathimah az-Zahra as. (Pidato di Acara Peringatan Syahadah Sayyidah Fathimah az-Zahra as pada 13 Desember 1989).
Sayyidah Fathimah az-Zahra Sejak Kecil Hingga Akhir Hayatnya
Ada sebuah hadis yang diriwayatkan dari Syiah bahwa Rasulullah kepada Sayyidah Fathimah az-Zahra as bersabda, "Wahai Fathimah! Aku tidak mampu membuatmu tidak butuh akan sesuatu di hadapan Allah." Artinya, engkau harus berpikir tentang dirimu sendiri. Itulah mengapa Sayyidah Fathmah az-Zahra sejak kecil hingga akhir hayatnya senantiasa memikirkan dirinya. Perhatikan bagaimana beliau menjalani kehidupannya! Sebelum menikah beliau adalah seorang anak perempuan kecil yang membantu ayahnya yang punya tugas agung. Menyaksikan itu Rasulullah saw menyebutnya dengan Ummu Abiha (ibu ayahnya).
Di masa itu, ketika Rasulullah saw tengah berusaha meninggikan bendera Islam agar kekal selama-lamanya, sudah pada tempatnya bila kepada Sayyidah Fathimah az-Zahra disebut Ummu Abiha. Rasulullah saw memberikan panggilan seperti itu kepada beliau disebabkan pengabdian, kerja keras dan perjuangannya. Hal itu dilakukannya dengan baik selama di Mekah di Syi'b Abi Thalib atau saat ibunya wafat meninggalkan ayahnya seorang diri. Sayyidah Fathimah az-Zahra senantiasa berada di sisi ayahnya. Kesedihan mendalam baru saja menghantui Rasulullah saw setelah ditinggal paman dan isterinya. Tentu saja Rasulullah merasakan kesendirian. Pada masa itulah Sayyidah Fathimah az-Zahra bangkit memenuhi kekosongan yang ada. Dengan tangan-tangan mungilnya beliau menepis debu ujian dari wajah ayahnya. Ummu Abiha mampu mengademkan hati Rasulullah saw. Sebutan ini dimulai sejak masa itu.
Bayangkan kepribadian yang luas dan penuh perjuangan ini! Setelah itu tiba periode Islam dan masa pernikahannya dengan Ali bin Abi Thalib as. Ya, itulah Ali yang menjadi contoh nyata sempurna seorang basiji yang penuh pengorbanan terhadap revolusi. Basiji adalah ini. Artinya, seluruh kehidupannya diwakafkan hanya untuk Islam. Diwakafkan sesuai yang diinginkan Rasulullah saw dan membuat Allah rela kepadanya. Imam Ali as tidak pernah berbicara dan meninggalkan sesuatu untuk pribadinya. Selama 10 tahun hidup bersama Rasulullah saw, Imam Ali as hanya bekerja dan berbuat untuk kemajuan Islam. Bila kalian menyaksikan bahwa Fathimah az-Zahra as, Imam Ali as dan anak-anaknya memilih lapar demi orang miskin disebabkan prinsip mulia mereka. Karena bila seorang Imam Ali as hanya memikirkan pekerjaan, ia akan mampu mendapatkan profesi yang terbaik.
Itulah Imam Ali as yang di masa tuanya bekerja menggali sumur. Beliau menggali sumur seukuran leher unta dan mengambil air dari sana. Baru saja selesai menggali sumur dan tangannya belum dibersihkan dan dicuci dari tanah dan debu, beliau lalu duduk sibuk menuliskan surat wasiat bahwa sumur itu diperuntukkan umat Islam. Beliau menulis surat wakaf! Imam Ali as banyak melakukan hal ini. Betapa banyak kebun kurma yang menghijau berkat kerjanya. Lalu mengapa Imam Ali as harus menahan lapar di usia muda? Dalam sebuah riwayat disebutkan, Fathimah az-Zahra as menghadap Rasulullah saw. Beliau tampak sangat lapar. Rasul sendiri menyaksikan betapa wajahnya telah berwarna kuning. Hati Rasulullah saw tersayat-sayat menyaksikan kenyataan ini. Beliau lalu menengadahkan tangannya ke atas berdoa untuk putrinya.
Seluruh kerja keras Imam Ali as diperuntukkan di jalan Allah dan demi kemajuan Islam. Imam Ali as tidak pernah bekerja untuk dirinya. Ini contoh nyata dan sempurna seorang basiji.
... Saat itu Fathimah az-Zahra ternyata lebih memilih seorang pemuda yang mewakafkan dirinya di jalan Allah yang senantiasa berada di medan perang. Ini tidak sederhana. Anak perempuan seorang pemimpin Islam waktu itu dan segala lamaran yang datang dengan kekayaan dan pribadi, ternyata Allah memilihkan Ali untuk Fathimah. Sayyidah Fathimah az-Zahra as juga rela dengan pilihan ini dan merasa bahagia. Beliau kemudian hidup dengan Imam Ali as dan rela dengan kehidupannya. Ucapan Sayyidah Fathimah az-Zahra di hari-hari terakhir hidupnya kepada Imam Ali as menjadi saksi semua ini.
Sayyidah Fathimah az-Zahra as bersabar. Beliau harus membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Setelah itu beliau membela mati-matian hak wilayah. Beliau menanggung segala kesulitan dan siksaan di jalan Allah. Semua itu dilaluinya dan akhirnya mereguk cawan syahadah. Inilah Sayyidah Fathimah az-Zahra as.(Pidato di Hari Wiladah Sayyidah az-Zahra as pada 23 November 1994)
(IRIB-Indonesia/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email