Salaam Sahabat...
Menjadi orang tua yang mampu memberikan wasiat yang haq kepada putra-putrinya adalah harapan kita. Nah, sahabat kali ini dengan merenungkan serta mengkaji wasiat Imam Khomeini, seorang Kekasih Allah SWT kepada putranya kami berharap kita akan memperoleh bekal untuk memberi wasiat kepada putra-putri kita. Selamat merenungkannya…
Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam. Semoga Salawat dan Salam tercurah kepada Muhammad dan Keluarga-Sucinya. Dan semoga laknat Allah menimpa musuh-musuh mereka.
Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, Yang Satu, dan tak ada sekutu baginya. Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah abdi dan rasul-Nya; dan bahwa ‘Ali, amîr al-mu’minîn, dan anak-keturunanya yang ma’shûm (‘ala yhimus-salam) adalah para penerusnya; dan bahwa apa pun yang dibawa oleh Rasulullah adalah kebenaran; dan bahwa kubur, Kebangkitan, Surga, dan Neraka adalah benar; dan bahwa Allah akan membangkitkan siapa yang ada di dalam kubur.
Inilah wasiat dari seorang ayah yang telah tua, yang telah menyia-nyiakan hidupnya dalam kecongkakan tanpa mempersiapkan bekal bagi kehidupan yang kekal, tak pula mengambil langkah yang tulus di jalan menuju Rabb yang Penyayang. Tak jua ia terbebaskan dari perangkap godaan setan dan keburukan nafsu badani. Begitupun, ia tak berputus asa dari keridhaan dan keagungan Rabb Yang Agung, dan menancapkan harapannya atas ampunan dan berkah-Nya, sebagai satu-satunya bekal perjalanannya. Wasiat ini ditujukan kepada seorang anak-lelaki yang menikmati anugerah kemudaan dan berada dalam posisi yang lebih baik untuk menyucikan dirinya dan mempersembahkan pelayanan kepada para makhluk-Nya. Diharapkan, seperti ayahnya ridha kepadanya, Allah juga akan ridha dengannya dan membantunya untuk mempersembahkan pelayanan kepada orang-orang papa dan tertindas – yang (sesungguhnya) adalah bagian bangsa yang paling mulia – seperti dianjurkan oleh Islam.
Ketergantungan Manusia kepada Allah
Ahmad Khomeini, Anakku! Semoga Allah menganugerahkan hidayah-Nya kepadamu. Entah dunia ini kekal dalam waktu atau tidak, dan entah rantai kemaujudan dan berujung atau tidak, semua kemaujudan itu faqîr (bergantung kepada sesuatu yang lain) karena mereka bukannya ada dengan
sendirinya.Jika kau amati segenap rantai-tak-berujung kemaujudan dengan cahaya akal, kamu akan mendengar jeritan kebutuhan dan kebergantungan (esensial) – untuk adanya mereka maupun penyempurnaan mereka. Mereka mengakui kebergantungan (mereka) kepada Yang Ada Dengan Sendirinya (dan) Yang Kesempurnaan-Nya adalah Milik-Nya Sendiri. Jika dengan suara akal engkau berbicara kepada rantai kemaujudan yang (secara esensial) bergantung itu, dan bertanya kepada mereka :”Wahai kemaujudan yang faqîr, siapakah gerangan yang mampu memuasi kebutuhanmu?” maka mereka seluruhnya akan secara serempak menjerit dengan lisan fitrah mereka, “Kami butuh akan suatu Wujud yang tak bersifat faqîr seperti kami, dalam hal keberadaannya maupun kesempurnaannya.”
Bahkan, lebih dari itu, fitrah mereka pun (sebenarnya) bukan milik mereka: “..Fitrah Allah yang atasnya Dia menciptakan manusia. Tak sekali-kali ada perubahan dalam (alam) ciptaan Allah.” (QS Al-Rûm [30]: Fitrah tauhid adalah dari Allah, dan apa saja yang dalam-dirinya bersifat bergantung (al-faqîr bi al-dzat) tak akan bisa menjadi serba mencukupi-diri (ghani bi al-dhat). Perubahan seperti itu adalah sesuatu yang mustahil. Dan, karena mereka (secara esensial) bergantung dan membutuhkan, tak ada – kecuali Dia Yang Mencukupi-Diri-yang dapat mengatasi kebutuhan dan kepapaan mereka. Karena kepapaan ini bersifat esensial bagi mereka dan tak akan pernah bisa di atasi – entah rantai (kemaujudan) ini memiliki
awal (abadi) dan kekal atau tidak. Dan, tak ada sesuatu pun selain-Nya yang dapat memuasi kebutuhan mereka. (Karenanya) apa pun yang memiliki keindahan dan kesempurnaan, kedua sifat itu bukanlah miliknya, melainkan pengejawantahan Kesempurnaan dan Keindahan-Nya. “… dan kalian tidak melempar ketika kalian melempar, tetapi Allahlah yang melempar…” (QS Al-Anfâl [8]: 17)
Hal ini benar berkenaan dengan semua tindakan, ucapan, dan perbuatan. Seseorang yang menangkap fakta ini dan memahami (secara intuitif) kebenaran ini tak akan terikat dengan siapa pun kecuali Dia dan tak akan meminta apa-apa dari siapa pun kecuali Dia. Cobalah menyelam ke dalam kilatan Ilahi ini dalam kesendirianmu dan bisikkan ke dalam telinga sang bayi yang ada di hatimu. Ulang-ulangilah hingga dia membuka lisannya untuk berbicara serta sinarnya menerangi wilayah jasadi (mulki) dan nirbendawi (malakut) kemaujudanmu. Ikatkan dirimu kepada Yang Mencukupi-Diri Secara Mutlak agar engkau dapat mencampakkan apa-apa yang selain-Nya. Kejarlah kemenangan persatuan (wushul) dengan-Nya agar Ia membebaskanmu dari apa saja termasuk dirimu sendiri, (dan kemudian Ia) menerimamu dalam hadirat-Nya, serta mengizinkanmu untuk masuk (ke dalamnya).
Alam Semesta sebagai Penampakan Allah
Anakku yang kukasihi, Dia, Subhânahu wa Ta’âlâ (Yang Mahasuci dan Tinggi), adalah Yang Pertama dan Terakhir, Yang Lahir (Tampak) dan Batin
(Tersembunyi). (Persis seperti firmanNya):
“Dia Yang Pertama dan Terakhir, Yang Lahir dan Yang Batin.”(QS Al-Hadîd [57]: 3)
(Dalam sebuah doa diungkapkan):
“Adakah mungkin bagi yang selain-Mu memiliki penampakan yang Kau tak miliki sehingga ia dapat menampakkan-Mu.
Kapan kiranya Kau telah tersembunyi sedemikian sehingga Kau mungkin memerlukan sesuatu untuk mengungkapkan-Mu?
Dan kapan Kau pernah menjauh sehingga menjadi mungkin untuk mencapai-Mu lewat jejak-jejak-Mu (yakni, ciptaan-ciptaan-Mu)?
Butalah mata yang tak menampak-Mu sebagai (bersifat) mengawasi-diri.”
(Atau seperti kata Furuqi Busthami)
“Kau tak pernah tak hadir sehingga aku perlu mau bertemu dengan-Mu.
Tak pula Kau tersembunyi sehingga kuharus mencari-Mu.”
Dialah Yang Menampakkan-Diri dan apa saja yang menampakkan-diri adalah penampakan-Nya.
(Sesungguhnya) diri kita sendirilah (yang menjadi) hijab, egoisme, dan ego kitalah yang mengalangi pandangan kita.
(Inilah keluhan Hafiz):
“Kaulah hijab-mu sendiri, wahai Hafiz, singkirkan dirimu.”
Aku memohon pertolongan kepada Allah, Subhânahu wa Ta’âlâ, dan memohon kepada-Nya
dengan sungguh dan penuh seluruh untuk membebaskanku dari penutup-penutup-mataku ini.
(Seperti terungkap dalam sebuah doa yang lain):
“Ilâhî, anugerahilah daku kepasrahan-total kepada Mu,
dan sinari mata-mata-hatiku dengan pancaran penglihatan kepada-Mu,
hingga mata-mata-hati itu mengorak hijab-hijab (yang menutupi) cahaya itu dan mencapai sumber Keagungan-(Mu),
dan (jadikan) ruh ruh kami terpancang dalam ambang Kesucian-Mu.
Ilâhî, jadikan aku termasuk yang menyahut tatkala Kau memanggil mereka,
dan yang ketika Kau menatap mereka, mereka pingsan (akibat terpana) oleh Kedahsyatan-Mu.”
Anakku, kita masih (terjebak) dalam perangkap hijab-hijab (yang menutupi) kegelapan, dan di baliknya adalah hijab-hijab (yang menutupi) cahaya. Dan kita, yang matanya masih tertutup, terperangkap di dinding jurang!
Al-Quran, Rasul, dan Para Imam
Anakku, jika kau bukan seorang pengembara didunia ruhani, setidaknya berupayalah untuk tak menyangkali maqam-maqam keruhanian dan ‘irfani. Karena, salah satu dari tipuan terbesar setan dan diri badani, yang mengalangi manusia dari meraih berbagai maqam kemanusiaan dan keruhanian adalah mendorong-dorong manusia untuk menyangkali atau bahkan melecehkan pelancongan ruhaniah menuju Allah. Hal ini akan menyeret manusia untuk menafikannya. Sebagai akibatnya, matilah (potensi keruhanian kita) sebelum ia sempat tumbuh dan berkembang. Padahal, inilah tujuan semua nabi-besar (salam atas mereka), para wali yang mulia, dan semua kitab samawi, khususnya Al-Quran yang abadi.
Al-Quran, kitab (mengenai) ma’rifat (kepada) Allah dan pelancongan spiritual menuju-Nya, telah jatuh dalam pengabaian dan disalah-tafsiri oleh sahabat-sahabat yang jahil akan arah (yang dituju)-nya. Ia menjadi korban pandangan-pandangan yang menyesatkan dan pendapat-pendapat subjektif -yang sesungguhnya dengan tegas dilarang oleh para Imam (salamun alaihim) – sedemikian rupa sehingga setiap orang menafsirkannya secara semaunya sendiri. Kitab yang agung ini diturunkan dalam suatu lingkungan yang paling gelap dan pada suatu masa yang di dalamnya hidup orang-orang yang paling terbelakang.
(Akan tetapi) Ia diwahyukan pada hati-ilahi milik seseorang yang hidup dalam masyarakat yang sama. Di dalamnya, terdapat kebenaran-kebenaran dan ajaran-ajaran yang tak pernah didapati sebelumnya di dunia pada masa itu, apalagi di lingkungan tempatnya diturunkan. Inilah mukjizat terbesar dan terluhur. Ia mengandung perkara-perkara ‘irfani yang tak pernah didapati dalam karya-karya Plato dan Aristoteles – yang dianggap sebagai filosof-filosof terbesar masa itu .
Bahkan, para filosof Muslim, yang belajar dalam buaian Al-Quran suci dan (merasa) mengambil darinya, cenderung mengabaikan ayat-ayat yang secara tersurat menegaskan sifat-hidup seluruh kemaujudan di dunia. Dan, para ‘arif besar Islam, yang meneguhkan pernyataan-pernyataan seperti ini, mereka-(lah) yang telah menyerap dari Al-Quran. Tak ada kitab lain yang mengandung jenis perkara-perkara mistikal seperti yang terkandung dalam Al-Quran.
Inilah mukjizat-mukjizat Rasul yang mulia, yang menghubungkan-diri dengan Sumber Wahyu sehingga sumber itu menyampaikan kepadanya rahasia-rahasia kemaujudan. Dia jugalah yang, tegak di puncak kesempurnaan manusia, menampakkan hakikat-hakikat itu dengan terang-benderang tanpa hijab yang mengalangi. Pada saat yang sama, Ia hadir di seluruh dimensi kemanusiaan dan tahap-tahap kemaujudan, dan merupakan pengejawantahan tertinggi dari:
“Dia Yang Pertama dan Terakhir, Yang Lahir dan Yang Batin.”
“Dengan demikian, ia (Rasul) menginginkan semua manusia untuk mencapai kesempurnaan. (Oleh karena itu) sungguh menyakitkan baginya untuk melihat bahwa mereka gagal mencapai kesempurnaan itu. Maka, boleh jadi ayat: Thâ-hâ. Tak Kami turunkan Al Quran kepadamu agar kamu tertekan.” (QS Thâ Hâ [20]:1-2) secara tak langsung merujuk pada kenyataan ini.
Dan boleh jadi, hadis Nabi berikut ini juga merujuk padanya: “Tak ada nabi yang dibuat untuk menderita siksaan (batin) sepertiku”.
Orang-orang yang mencapai maqam seperti itu, atau yang mirip dengannya, tak akan pernah menarik diri dari orang-orang (masyarakat). Malah, sebaliknya, mereka dibebani (tugas) untuk membimbing orang-orang yang tersesat dan mengakrabkan serta menyelaraskan mereka dengan penampakan-penampakan (Allah) itu meski (mungkin) mereka tak berhasil. Orang-orang yang mencapai maqam-maqam tertentu – yang sehirup (minuman dari gelas ‘irfan) telah membuat mereka lupa diri dan pingsan-meski mereka mencapai kesempurnaan-kesempurnaan tertentu, mereka tak dapat menggapai pengetahuan yang paling puncak.
Musa as., jatuh pingsan oleh penglihatan akan penampakan Allah, tetapi kemudian pulih berkat kemurahan hati dan (kemudian) ditugaskan melayani (orang-orang). (Tapi), sang Nabi penutup, dengan mencapai maqam tertinggi (yang biasa dicapai oleh) manusia dan berada di luar khayalan siapa pun, menjadi penampakan asma-asma Ilahi yang Mahabesar dan Mencakup. Lalu, ia ditugaskan membimbing (orang-orang) dengan kata-kata ini, “Wahai orang yang berselimut, bangun dan sampaikan peringatanmu.” (QS Al-Muddatstsir [74]: 1-2)
Anakku yang kukasihi, itu semua aku sampaikan – meski aku bukan apa-apa, bahkan lebih rendah dari itu – agar engkau tak sampai ke mana-mana (dalam perjalanan spiritualmu), setidaknya jangan menyangkali (hakikat) maqam-maqam spiritual dan ajaran-ajaran Ilahi. Cobalah untuk menjadi salah satu di antara orang-orang yang bersahabat dengan orang-orang saleh dan ‘arif- meski kamu bukan salah seorang dari mereka. Dan jangan meninggalkan dunia ini dengan perasaan bermusuhan dengan teman-teman Allah,Ta’âlâ.
Anakku, akrabkan dirimu dengan Al-Quran, kitab agung pengetahuan ini, meski hanya dalam bentuk membacanya (tanpa mempelajarinya). Dengan demikian, engkau telah membangun hubungan dengan Yang Terkasih. Jangan berpikir bahwa membaca saja tanpa pemahaman (ma’rifah) adalah tak ada gunanya. Kesan seperti itu adalah hasutan setan. Bukankah ini adalah kitab yang datang dari Yang Terkasih untuk semua orang, termasuk untukmu Anakku! Surat dari Yang Terkasih amatlah indah meski si pencinta tak tahu maknanya. Dengan hasrat seperti itu, cinta Yang Terkasih, yang adalah kebaikan tertinggi, akan menyapamu dan, siapa tahu, Ia mungkin mengulurkan tangannya. Bahkan, jika kita harus bersujud sepanjang umur kita sebagai tanda terima kasih karena memiliki Al-Quran sebagai kitab suci kita, itu masih tak mencukupi.
Anakku, doa-doa dan wirid-wirid yang telah sampai kepada kita lewat para Imam yang ma’shûm adalah petunjuk-petunjuk bagi (upaya kita untuk)
mengenal-Nya, ‘Azza wa Jalla. Inilah cara yang paling luhur untuk menggapai kehambaan (‘ubudiyah) dan hubungan antara Allah dan ciptaannya. Doa-doa dan wirid-wirid itu mengandung ajaran-ajaran Ilahi dan cara-cara untuk mencapai keintiman dengan-Nya. Malah, semuanya itu merupakan buah-tangan dari rumah-tangga-kenabian (ahl bait al-nubuwwah) dan mencerminkan keadaan (hal-hal) orang-orang yang memiliki (mata)-hati dan para pelancong (di jalan menuju Allah). Jangan sampai hasutan orang-orang yang lalai menjauhkanmu dari mendapatkan manfaat dari semuanya itu dan-kalau engkau memang memiliki kemampuan untuk itu – dari menjadikannya bagian dari hidupmu. Kalaupun kita membaktikan seluruh hidup kita untuk menyampaikan terima kasih kepada para Imam – yakni orang-orang yang jiwanya telah terbebaskan itu – sebagai pembimbing kita, itu semua tak cukup.
Pada tahap ini, berdiri di ambang kematian dan menarik napas terakhir kehidupanku, nasihatku bagimu yang menikmati anugerah kemudaan adalah pilihlah sebagai teman dan sahabat orang-orang yang jiwanya telah terbebas, setia pada Islam, dan cenderung pada keruhanian. Yakni orang-orang yang tak memiliki kecenderungan pada dunia dan kemilaunya, yang tak mengejar harta duniawi melebihi yang biasanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya, yang pertemuan-pertemuan dan pesta-pestanya tak terkotori oleh dosa dan (orang-orang) yang memiliki akhlak luhur. Akibat dari pertemanan dan persahabatan adalah, satu di antara dua, baik atau buruk. Berupayalah untuk menjauh dari pertemuan-pertemuan yang bisa membuat seseorang lalai dari Allah. Menjadi akrab dengan pesta-pesta seperti itu akan menyeret seseorang untuk menyia-nyiakan kapasitas (potensi) peluang pertumbuhan ruhaniah -suatu kerusakan yang tak dapat dipulihkan.[]
(Mizan/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email