1. Sembahyang Islam
2. Sembahyang Hindu
3. Sembahyang Budha
4. Sembahyang Orang-Orang Tionghoa
5. Sembahyang Yahudi
6. Sembahyang Kristen
Perhatikan Simbol Seluruh Agama Sebagai Berikut:
Ketika Maharaja Purnawarman (raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M)), berhasil dalam upaya penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km), ia mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana (sumber : Sunda : Arti dan Pandangan Hidup: http://ngamumule-islam.blogspot.co.id/2010/05/sunda-arti-dan-pandangan-hidup.html).
_____________________________________
Sunda: Arti dan Pandangan Hidup
1. Arti dari istilah Sunda
a. Arti “Sunda” dalam Bahasa Sansakerta
Menurut Bahasa Sansekerta yang merupakan induk bahasa-bahasa Austronesia, terdapat 6 (enam) arti kata Sunda, yaitu sebagai berikut:
· Sunda dari akar kata “Sund” artinya bercahaya, terang benderang;
· Sunda adalah nama lain dari Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam;
· Sunda adalah nama Daitya, yaitu satria bertenaga besar dalam cerita Ni Sunda dan Upa Sunda;
· Sunda adalah satria wanara yang terampil dalam kisah Ramayana;
· Sunda dari kata cuddha artinya yang bermakna putih bersih;
· Sunda adalah nama gunung dahulu di sebelah utara kota Bandung sekarang (Prof.Berg, juga R.P Koesoemadinata, 1959).
b. Arti “Sunda” dalam Bahasa Kawi
Dalam Bahasa Kawi terdapat 4 (empat) makna kata “Sunda”, yaitu:
· Sunda berarti “air”, daerah yang banyak air;
· Sunda berarti “tumpukan” bermakna subur;
· Sunda berarti “pangkat” bermakna berkualitas;
· Sunda berarti ”waspada” bermakna hati-hati.
c. Dalam Bahasa Jawa:
Dalam Bahasa Jawa arti kata “Sunda” adalah sebagai berikut:
· Sunda berarti “tersusun “ maknanya tertib;
· Sunda berarti “bersatu” ( dua menjadi satu) maknanya hidup rukun;
· Sunda berarti “angka dua” (cangdrasangkala), bermakna seimbang;
· Sunda, dari kata “unda” atau “naik”, bermakna kualitas hidupnya selalu naik;
· Sunda berasal dari kata “unda” yang berarti terbang, melambung, maknanya disini adalah semakin berkualitas.
d. Arti kata “Sunda” dalam Bahasa Sunda
Orang Sunda juga memiliki beberapa arti tentang kata “Sunda” itu sendiri, yaitu:
· Sunda, dari kata “saunda”, berarti lumbung, bermakna subur makmur;
· Sunda, dari kata “sonda”, berarti bagus;
· Sunda, dari kata “sonda”, berarti unggul;
· Sunda, dari kata “sonda”, berarti senang;
· Sunda, dari kata “sonda” berarti bahagia;
· Sunda, dari kata “sonda”, berarti sesuai dengan keinginan hati;
· Sunda, dari kata “sundara”, berarti lelaki yang tampan;
· Sunda, dari kata “sundari”, berarti wanita yang cantik;
· Sunda, dari kata “sundara” nama Dewa Kamajaya: penuh rasa cinta kasih;
· Sunda berarti indah.
2. Purnawarman dan Istilah Sunda
Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M). Ia membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura, pertama kalinya nama "Sunda" digunakan. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Kalau kita pahami dan mencerna lebih mendalam tentang arti-arti kata “Sunda” yangdiberikan oleh Purnawarman di atas nampaknya kita tidak menemukan sebuah arti jelek atau kurang baik. Selama ini banyak orang yang mengatakan apa arti sebuah nama?, namun ada juga orang yang mengatakan bahwa nama merupakan sebuah do’a. terlepas dari semuanya itu, yang pasti manusia secara mendasar tidak menginginkan sesuatu itu jelek atau buruk, mereka selalu mengharapkan kebaikan, keindahan atau kesempurnaan. Maka untuk itu Purnawarman yang memberikan nama istilah “Sunda”, tentunya menghendaki adanya kebaikan terhadap apa yang diberinya nama.
3. Hubungan nama dan pandangan hidupnya.
Tujuan dan harapan dari kata “Sunda” tetunya mengharapkan kebaikan dalam berbagai aspek di masyarakat. Hanya sebuah nama tentunya tidak akan berarti apabila tidak diiringi dengan pandangan hidup masyarakatnya yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mendukung dari nama yang baik itu tentunya masyarakat harus menciptakan norma-norma kemasyarakatan, agar tujuan dari pemberian nama tersebut dapat berhasil.
Norma-norma tersebut merupakan salah satu aspek dari pandangan hidup yang sudah barang tentu dimiliki oleh setiap kelompok masyarakat bahkan semua bangsa di muka bumi ini. Masalah pandangan hidup suatu bangsa merupakan persoalan yang sangat asasi bagi kekokohan dan kelestarian suatu bangsa. Karena, dalam pandangan hidup ini terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh sesuatu bangsa, terkandung pikiran-pikiran terdalam dan gagasan suatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Pandangan hidup suatu bangsa merupakan suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya.
Masyarakat Sunda sebagai kelompok masyarakat budaya yang sudah tua dan mampu bertahan hingga kini kiranya memiliki pandangan hidupnya sendiri dan dapat hidup dalam kemandiriannya di tengah-tengah masyarakat dan budaya lainnya. Pandangan hidup itu mencakup unsur-unsur tentang manusia sebagai pribadi, hubungan manusia dengan lingkungan masyarakatnya, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan Tuhan, dan tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasaan batiniah.
Munculnya pandangan hidup ini tentunya sebuah harapan agar terciptanya sebuah kesinambungan antara nama dengan tingkah laku masyarakatnya. Nama sunda yang sudah baik, tidak akan terlaksana baik apa bila masyarakatnya tidak memiliki pandangan hidup yang baik, padangan hidup ini harus menjadi sebuah norma sehingga masyarakatnya benar-benar mentaatinya dan tujuan akhirnya adalah tercipta kebaikan dalam masyarakatnya seperti apa yang tersirat dalam arti nama sunda.
4. Bagimana pandangan hidup orang Sunda mengatur hubungan antara manusia dengan sesama manusia, agar tujuan dari arti nama “Sunda” itu dapat tercapai?
1) Kawas gula jeung peueut
“seperti gula dengan nira yang matang”
artinya : hidup rukun sayang menyayangi, tidak pernah berselisih.
2) Ulah kawas seuneu jeung injuk
“jangan sepert api dengan ijuk”
Artinya: jangan mudah berselisih.agar pandai mengendalikan napsu-napsu negatif yang merusak hubungan dengan orang lain.
3) Ulah nyieun pucuk ti girang
“jangan merusak tunas dari hulu”
Artinya: jangan mencari bibit permusuhan
4) Ulah neundeun piheuleut ulah nunda picela
“jangan menyimpan jarak jangan menyimpan cela”
Artinya: jangan mengajak orang lain untuk melakukan kejelekan dan permusuhan.
5) Bisi aya ti geusan mandi
“kalau-kalau ada dari tempat mandi”
Artinya: segala sesuatu harus dipertimbangkan agar pihak lain tidak tersinggung.
6) Henteu asa jeung jiga
“tidak merasa sangsi dan ragu”
Artinya: sudah merasa seperti saudara, bersahabat
7) Yén ana perkara ajang dhéng buka (Jawa-Cirebon)
“jika ada perkara jangan dibuka”
Artinya: jika kita mengetahui sesuatu kejelekan orang lain, hal itu Janganlah disebarluaskan.
Kita melakukan suatu kebajikan ataupun kebaikan terhadap orang lain atau seseorang harus merupakan kesadaran dari diri kita sendiri, jangan sekedar terbawabawa saja, seperti tampak dalam contoh berikut ini:
8) Ulah rubuh-rubuh gedang
“jangan rebah seperti papaya”
Artinya: janganlah mengerjakan pekerjaan tanpa mengetahui apa maksud dan tujuannya, hanya karena orang lain melakukannya.
Penampilan tingkah laku orang Sunda dalam pergaulan hendaknya saling mencintai, saling menghargai, sopan-santun, saling setia dan jujur disertai kerelaan, sesuai ‘folkways’ yang mencakup aturan hidup/kehidupan sosial, sopan-santun, dan kesusilaan. Sebagaimana tampak dalam ungkapan berikut ini:
9) Ngadeudeul ku congo rambut
“memberi bantuan dengan ujung rambut”
Artinya: memberi sumbangan atau bantuan kecil, tetapi disertai kerelaan atau dengan ikhlas hati.
10) Pondok jodo panjang baraya
“pendek jodoh panjang persaudaraan”
Artinya: meskipun sebagai suami istri sudah berpisah, hendaknya persaudaraan tetap dilanjutkan/dipertahankan.
(ditambah ungkapan nomor 2)
Masyarakat Sunda sering menghindari hal-hal perselisihan, menghindari menghasut dan melibatkan orang lain ke dalam perselisihan, sebagaimana tampak dalam ungkapan Nomor 2,3, dan Selain itu, ada juga ungkapan sebagaimana berikut ini.
11) Ulah marebutkeun balung tanpa eusi
“jangan memperebutkan tulang tanpa isi”
Artinya: jangan memperebutkan perkara yang tidak ada gunanya’
12) Ulah ngadu-ngadu raja wisuna
“jangan membangkitkan amarah”
Artinya: jangan membangkitkan bibit kemarahan antara dua orang agar pecah persahabatannya/berpisah bersahabat.
Hidup rukun dan damai akan tercapai apabila dalam kehidupan bermasyarakat kita saling sayang-menyayangi, saling hormat-menghormati, dan tidak memancing keresahan dan kemarahan orang lain, seperti tampak pada ungkapan nomor 3 dan 7 di samping ungkapan berikut ini:
13) Ulah ngaliarkeun taleus ateul
“jangan menyebarkan talas gatal”
Artinya: jangan menyebarkan perkara yang dapat menimbulkan keburukan/keresahan.
Selain itu, di dalam proses interaksi sosial antara individu yang satu dengan individu lainnya, dalam masyarakat Sunda tidak boleh menyinggung perasaan orang lain yang akan mengakibatkan perpecahan di antara anggota masyarakat itu sendiri. Seperti terungkap dalam data nomor 5 dan ungkapan berikut ini:
14) Ulah nyolok mata buncelik
“jangan mencolok mata yang melotot”
Artinya: jangan berbuat sesuatu di hadapan orang lain, dengan maksud mempermalukan orang lain.
15) Ulah biwir nyiru rombengeun
“bibir jangan seperti niru yang rusak dan sobek-sobek”
Artinya: janganlah membicarakan sesuatu yang tidak pantas
terdengar oleh orang lain, senantiasa mengendalikan diri dalam bertutur kata.
Sesuai dengan sosial solidaritas, bahwa dalam berkehidupan bermasyarakat kita tidak boleh mementingkan diri sendiri tetapi harus mendahulukan kepentingan masyarakat dan keputusan pribadi yang tidak menguntungkan, sesuai dengan sikap yang dikehendaki oleh masyarakat Sunda yang tidak boleh mementingkan diri sendiri, sebagaimana tampak dalam ungkapan berikut ini:
16) Buruk-buruk papan jati
“betapa pun lapuknya kayu jati itu kuat”
Artinya: betapapun besar kesalahan saudara atau sahabat, mereka tetap saudara kita, orang tua tentu dapat mengampuninya.
17) Kaciwit daging kabawa tulang
“tercubit kulit dagingpun terbawa”
Artinya: ikut tercemar karena perbuatan salah seorang sanak keluarga
18)Ulah mapay ka puhu leungeun
“jangan menyusur ke pangkal lengan”
Artinya: janganlah kesalahan anak membawa buruk kepada orang tuanya.
Manusia di muka bumi ini sesuai dengan ajaran agama diwajibkan saling hormat-menghormati, dan saling harga menghargai dengan sesama manusia, sesuai pula dengan sila Pancasila. Dalam masyarakat Sunda pun hal itu tercermin pada ungkapan berikut ini:
19) Wong asih ora kurang pangalé, wong sengit ora kurang panyacad
“orang pengasih tidak kurang pujian, orang yang jelek (pemarah) tidak kekurangan celaan”
Artinya: orang yang pengasih kepada yang lain akan disenangi, dan orang yang bengis akan dibenci.
20) Ana deleng dén deleng, anu rungu dén rungu
“ada penglihatan dilihat, ada pendengaran didengar”
Artinya: jika ada sesuatu lihatlah atau dengarlah dengan patuh, tetapi janganlah dilihat atau didengar dengan tujuan jelek.
Data ungkapan yang telah disajikan, yang merupakan pencerminan dari adanya hubungan antara manusia dengan sesama manusia dalam masyarakatnya sesuai dengan pandangan hidup orang Sunda, juga dengan folkwas, solidarity social, juga tentang fungsi keluarga dan tatasosial dalam masyarakat Sunda.
5. Bagimana pandangan hidup orang Sunda mengatur hubungan anatara manusia dengan Negara dan bangsa?
Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, menurut pandangan hidup orang Sunda, hendaknya didasari oleh sikap yang menjungjung tinggi hukum, membela negara, dan menyuarakan hati nurani rakyat. Pada dasarnya tujuan hukum yang berupa hasrat untuk mengembalikan rasa keadilan, yang bersifat menjaga
1. Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balaréa.
“‘harus mengarah kepada hukum, mengarah ke kaki negara, bermupakat kepada orang banyak”
Artinya: harus menjungjung tinggi hukum, berpijak kepada ketentuan negara, dan bermupakat kepada kehendak rakyat.
Masyarakat Sunda memetingkan kerja sama dalam kekeluargaan demi kelangsungan dan kesejahteraan hidup masyarakatnya, sebagaimana tampak dalam ungkapan nomor 8 dan ungkapan berikut ini:
2. Bengkung ngariung bongkok ngaronyok
“melingkar/lengkung dalam berkumpul bungkuk dalam berhimpun”
Artinya: bersama-sama dalam suka dan duka.
Dalam hidup bermasyarakat, di dalam masyarakat Sunda kita dituntut agar dapat mengerjakan sesuatu itu lebih mementingkan masyarakat, bangsa, dan negara, sebagaimana tercermin dalam ungkapan berikut ini:
3. Kudu inget ka bali geusan ngajadi
“harus ingat kepada tempat kejadian”
Artinya: harus selalu ingat ke tempat dilahirkan/kelahira
4. Lain palid ku cikiih, lain datang ku cileuncang
“bukan hanyut karena air kencing, bukan datang karena air hujan”
Artinya: bukan hadir tanpa tujuan
5. Dén hormat maring pusaka, leluhur, wong atua karo, guru, lan ratu.
“harus hormat terhadap pusaka, leluhur, kedua orang tua, guru, dan raja”
Artinya: pusaka leluhur, kedua orang tua, guru, dan raja harus dihormati.
Masalah yang tidak kurang pentingnya dalam kehidupan masyarakat Sunda ialah bahwa kita harus menjungjung tinggi keadilan dan kebenaran. Seperti tercermin dalam ungkapan berikut ini:
6. Nyuhunkeun bobot pangayon timbang taraju
“memohon pertimbangan”
Artinya: memohon pertimbangan dan kebijaksanaan yang seadil-adilnya, memohon ampun.
7. Yén ana angin bolang-baling, aja gandulan wit ing kiara, tapi gandulana suket sadagori.
“ jika ada angin ribut, jangan berpegang pada kiara, tetapi peganglah tumbuhan sadagori”
Artinya: jika terjadi huru-hara, janganlah berpegang pada yang besar atau berkuasa, tetapi berpeganglah kepada sesuatu yang sering dianggap kecil, yakni kebenaran.
8. Sakunang ananing geni, sadom ananing baraya
“walaupun sebesar kunang-kunang adalah api, walaupun seujung jarum adalah senjata”
Artinya: sekecil apapun milik negara itu harus tetap dipertanggungjawabkan.
Dari hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, kita dituntut agar taat dan patuh terhadap norma-norma dan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh agama atau pemerintah. Mengenai norma dan aturan dalam masyarakat Sunda dapat dilihat dalam ungkapan nomor 27 dan ungkapan berikut ini.
9. Aja nolak kandika pandita ratu
“jangan menolak perintah pendeta/raja”
Artinya: turutilah segala perintah/keputusan atau aturan ulama dan pemerintah.
Ungkapan pandangan hidup yang ada di atas jelas melambangan sebuah harapan agar masyarakat Sunda menjadi manusia yang baik secara individu maupun secara kelompok. Paribahasa atau ungkapan yang diuraikan diatas merupakan sebuah bentuk terjemahan dari arti “Sunda”. Namun yang jadi masalah sekarang adalah apakah arti nama dan pandangan hidup itu sudah dilaksanakan oleh masyarakat Sunda?
Pertanyan Besar ini tidak perlu di jawab disini, semua orang bisa menilai diri pribadi masing-masing. Kalaupun arti nama dan pribahasa itu belum di jalankan bukan salah orang-orang pendahulu memberikan nama, tetapi lebih kepada individu masing-masing
_____________________________________
Apa yang dilakukan Maharaja Purnawarman, sangat mirip dengan Ritual Qurban yang dilakukan Penganut Millah Ibrahim. Peristiwa ini memunculkan pendapat, kerajaan Tarumanegara sejatinya adalah penganut Braham (ajaran monotheime peninggalan Nabi Ibrahim), dan bukan penganut agama Hindu, yang jelas-jelas sangat menentang pengorbanan dengan hewan sapi (Sumber : Forum Republika / Pribumi Indonesia: Adalah Keturunan Rasulullah yang Bermazhab Ahlulbayt (Syiah) Bagian II ).
Hal ini sebagaimana tertulis pada buku Fa Xian, Catatan Mengenai Negeri-negeri Budha (PT Ilmu Buana Populer, Jakarta 2005), di halaman 15 :
Didalamnya berisikan catatan Fa Xian/Fa Shien sepulang dari India di era tahun ke-7 Kaisar Xiyi (411M). Pada persinggahannya selama 5 bulan itu ia menulis…
“Kami tiba di sebuah negeri bernama Yapoti (Jawa dan atau Sumatera) di negeri itu Agama Braham sangat berkembang, sedangkan Buddha tidak seberapa pengaruhnya.“
Monotheime Masyarakat Sunda
Dalam konsepsi teologis orang Sunda pra Hindu, hyang (sanghyang, sangiang) adalah Sang Pencipta (Sanghyang Keresa) dan Yang Esa (Batara Tunggal) yang menguasai segala macam kekuatan, kekuatan baik ataupun kekuatan jahat yang dapat mempengaruhi roh-roh halus yang sering menetap di hutan, di sungai, di pohon, di batu atau di tempat-tempat lainnya.
Hyang mengusai seluruh roh-roh tersebut dan mengendalikan seluruh kekuatan alam. Pada masa masuknya pengaruh Hindu, konsep ke-esa-an hyang terpelihara karena semua dewa tunduk dan takluk pada hyang ini, kekuatannya dianggap melebihi dewa-dewa yang datang kemudian. Dengan kata lain, orang-orang Sunda pra Hindu-Budha sudah menganut faham monoteistis dimana hyang dihayati sebagai maha pencipta dan penguasa tunggal di alam.
Konsep Monotheisme, juga tergambar di dalam hirarki kepatuhan pada Naskah Siksakandang Karesian, yang berisi Pasaprebakti (Sepuluh Tingkat Kesetiaan), yang isinya sebagai berikut : “Anak satia babakti ka bapa; pamajikan satia babakti ka salaki; kawala satia babakti ka dunungan; somah satia babakti ka wado; wado satia babakti ka mantri; mantri satia babakti kanu manganan (komandan); nu nanganan satia babakti ka mangkubumi; mangkubumi satia babakti ka raja; raja satia babakti ka dewata; dewata satia babakti ka hyang.”
Konsepsi ini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam, yaitu Allah, sebagai Dzat Maha Pencipta. Dan ketika muncul proses Islamisasi di Nusantara. Istilah sembahyang pun lahir dari tradisi ritus menyembahHyang (Yang Tunggal), sama dengan shalat menyembah Allah Yang Maha Esa di dalam Islam (Sumber : Menjawab Misteri Kelangkaan Candi di Tatar Sunda: https://moeflich.wordpress.com/2009/12/05/menjawab-misteri-kelangkaan-candi-di-tatar-sunda/).
__________________________________________
Menjawab Misteri Kelangkaan Candi di Tatar Sunda
Oleh: Moeflich Hasbullah*
Salah satu pertanyaan penting dalam Sejarah Jawa Barat selama ini adalah “Mengapa di Tatar Sunda sangat langka ditemukan candi-candi peninggalan kerajaan-kerajaan masa lampau seperti halnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur?” Paling tidak ada dua jawaban untuk pertanyaan ini. Pertama, argumen sosiologis-agrikultural. Mata pencaharian utama penduduk Priangan adalah ngahuma (berladang) kemudian bersawah. Hal ini dikenal sejak zaman kerajaan Sunda. Ciri masyarakat peladang adalah kebiasaan nomaden yaitu selalu berpindah tempat untuk mencari lahan yang subur. Kebiasaan ini berpengaruh pada tempat tinggal orang Sunda yang tidak memerlukan bangunan permanen yang kokoh. Kemungkinan besar itulah salah satu sebab mengapa di Priangan tidak banyak peninggalan berupa candi atau keraton seperti di Jawa Tengah (Lubis 1998: 26).
Kedua, argumen proses Islamisasi. Islamisasi di Sunda cenderung lebih intensif dibanding dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Proses Islamisasi yang lebih intensif berpengaruh pada militansi beragama orang Sunda. Karena keislamannya yang kuat, masyarakat Sunda yang sudah masuk Islam diduga “menghancurkan” bangunan candi-candi sebagai peninggalan agama Hindu Budha dan tempat pemujaan yang bertentangan dengan keyakinan yang diajarkan Islam.
Hingga saat ini kedua asumsi tersebut belum didukung oleh bukti-bukti sejarah. Tulisan pendek ini akan menjawab pertanyaan tersebut melalui tiga argumen: monoteisme orang Sunda, tradisi egalitarian masyarakat dan realitas kekuasaan Sunda pra-Islam.
Monoteisme Orang Sunda
Dari berita sejarah yang ada dan dari hasil penelitian arkeologi terkini, kawasan Sunda adalah daerah yang pertama mendapat pengaruh Hindu dan Budha dari India. Aktifitas politik pemerintahan dengan rangkaian kegiatan birokratisnya telah berjalan sejak awal-awal abad masehi. Hal ini menunjukan bahwa orang-orang Sunda adalah orang pertama di Nusantara yang telah mengerti dan menggunakan mekanisme birokrasi dalam mengatur hubungan penguasa-rakyat dan dalam hubungan sosial antara masyarakatnya.
Pengaruh Hindu dan Budha yang datang dari India setelah mengalami proses sinkretisasi dengan agama lokal (animisme dan dinamisme) mulai diterima oleh kalangan elit politik kerajaan. Stratifikasi sosial yang kastaistis telah memberikan keuntungan-keuntungan tersendiri bagi para ningrat kerajaan, sementara masyarakat lapisan luar kerajaan masih menggunakan keyakinan lama yang menyembah hyang yang oleh Fa-Hien disebut sebagai “agama yang buruk” seperti tertuang dalam laporan berita Cina. Ungkapan “agama yang buruk” oleh Fa-Hien ini merupakan ungkapan yang biasa diucapkan oleh orang yang taat pada suatu agama terhadap orang yang beragama lain.
Dalam konsepsi teologis orang Sunda pra Hindu, hyang (sanghyang, sangiang) adalah Sang Pencipta (Sanghyang Keresa) dan Yang Esa (Batara Tunggal) yang menguasai segala macam kekuatan, kekuatan baik ataupun kekuatan jahat yang dapat mempengaruhi roh-roh halus yang sering menetap di hutan, di sungai, di pohon, di batu atau di tempat-tempat lainnya. Hyang mengusai seluruh roh-roh tersebut dan mengendalikan seluruh kekuatan alam. Pada masa masuknya pengaruh Hindu, konsep ke-esa-an hyang terpelihara karena semua dewa Hindu tunduk dan takluk pada hyang ini, kekuatannya dianggap melebihi dewa-dewa Hindu yang datang kemudian. Dengan kata lain, orang-orang Sunda pra Hindu-Budha sudah menganut faham monoteistis dimana hyang dihayati sebagai maha pencipta dan penguasa tunggal di alam. Konsepsi ini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam, yaitu Allah, ketika muncul proses Islamisasi di Nusantara. Istilah sembahyang pun lahir dari tradisi ritus menyembah Hyang (Yang Tunggal) sama dengan shalat menyembah Allah Yang Maha Esa dalam agama Islam.
Ketika pengaruh Hindu masuk ke masyarakat Sunda, ajaran Hindu mempengaruhi keyakinan lokal masyarakat yang sudah mapan. Kedua keyakinan teologis ini kemudian mengalami proses sinkretisasi. Ini tergambar dalam hirarki kepatuhan yang terdapat pada Naskah Siksakandang Karesian yang berisi Pasaprebakti (Sepuluh Tingkat Kesetiaan) yang isinya sebagai berikut : “Anak satia babakti ka bapa; pamajikan satia babakti ka salaki; kawala satia babakti ka dunungan; somah satia babakti ka wado; wado satia babakti ka mantri; mantri satia babakti kanu manganan (komandan); nu nanganan satia babakti ka mangkubumi; mangkubumi satia babakti ka raja; raja satia babakti ka dewata; dewata satia babakti ka hyang.” Konsep hyang merupakan konsep yang memang sudah hidup pada orang Sunda jauh sebelum adanya pengaruh Hindu dan Budha.
Tradisi sesembahan orang Sunda pra Hindu-Budha tidak terpusat di Candi tapi menyembah hyang di kahiyangan. Konsep kahiyangan sangat abstrak alias tidak menyebut tempat fisik dan bangunan. Kahiyangan merupakan tempat para dewa bersemayam mulai dari para dewa lokapala (pelindung dunia) sampai pwah sanghyang sri (dewi padi), pwah naga nagini (dewi bumi) dan pwah soma adi (dewi bulan) yang menghuni jungjunan bwana (puncak dunia). Tradisi orang Sunda menyembah hyang adalah salah alasan yang menjelaskan kelangkaan candi di tatar Sunda Priangan. Kuatnya kepercayaan Sunda lama terhadap hyang yang monoteistik tidak mendorong orang Sunda untuk membangun candi sebagai pusat peribadatan sebagai mana di Jawa Tengah dan Timur. Satu dua candi kecil yang ditemukan di Jawa Barat, ketimbang menunjukkan kuatnya pengaruh agama Hindu-Budha, tampaknya dibangun lebih sebagai simbol kekuasaan bahwa disitu pernah ada penguasa kecil, keturunan dari Kerajaan Sunda.
Tradisi Egaliter Orang Sunda
Pengaruh Hindu dan Budha datang ke pulau Jawa sekitar awal abad masehi dan daerah yang pertama bersentuhan dengannya adalah Jawa Barat dengan pusat pemerintahan yang diduga berada di sekitar Karawang dan Bekasi sekarang. Pengaruh kedua agama ini nampaknya kurang begitu kuat meresap pada masyarakat Sunda karena masyarakat Sunda sangat kuat dalam menganut keyakinan aslinya yang bercorak monoteistis yaitu mengabdi pada hyang tunggal.
Bukti kuat pernyataan ini adalah bahwa hingga saat ini bukti-bukti arkeologis yang mendukung kuatnya pengaruh Hindu-Budha sangat sedikit ditemukan di Jawa Barat. Jika di Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak terdapat peninggalan bangunan dan monumen sakral yang bercorak Hindu dan Budha, ini disebabkan karena sosialisasi Hindu dan Budha yang sangat intensif, baik yang dilakukan oleh kalangan keraton maupun oleh para brahmana dan pedanda.
Cepatnya penyebaran agama Hindu dan Budha pada masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur disebabkan karena konsep dan ajaran god-kings (dewa-raja) yang sesuai dengan alam berfikir masyarakat Jawa ketika itu. Bagi masyarakat Jawa, raja dihayati sebagai panutan mutlak karena dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Gelar para raja adalah gabungan dari dua otoritas yaitu otoritas politik (raja) dan otoritas religius (dewa) yang tergabung dalam istilah-itilah seperti rajaresi, khalifatullah fil ‘ardhi sayidin panatagama dan lain-lain. Kepatuhan mutlak kepada raja inti ajaran Hindu juga bersumber dari klasifikasi sosial yang sangat ketat. Ini tergambar dari stratifikasi masyarakat Jawa yang feodalistik antara kelas ningrat atau priyayi dan wong cilik. Penghayatan raja sebagai titisan dewa dan adanya kelas sosial yang tajam ini berakibat pada tiadanya perbedaan pendapat antara raja dengan rakyatnya, termasuk dalam persoalan agama. Keraton dalam kebudayaan Jawa adalah pemegang otoritas kebenaran yang berfungsi sentral baik dalam agama, politik dan kebudayaan.
Pada masyarakat Sunda, pola seperti ini tidak ditemukan. Corak budaya yang berkembang adalah kebudayaan rakyat di mana posisi keraton tidak terlalu menentukan pembentukan variasi budaya. Kebudayaan yang berkembang pada masyarakat Sunda didominasi oleh kebudayaan agraris dengan berbagai keunikannya. Dengan kata lain, kebudayaan Jawa dapat didefinisikan sebagai kebudayaan feodal yang hirarkis sementara kebudayaan Sunda adalah kebudayaan rakyat yang egaliter yang mencerminkan kesamaan derajat antar manusia. Salah satu buktinya adalah bahasa Sunda Buhun yang demokratis dan tidak hierarkis pada masa pra-Mataram seperti terlihat dalam undak-usuk sekarang.
Bukti lain yang mempertegas adalah seni pewayangan. Pada masyarakat Jawa, lakon cerita wayang merupakan sumber ilham dalam memahami fungsi-fungsi sosial mereka dalam hidup berbangsa dan berbudaya. Epos Mahabarata dan Ramayana menjadi sumber pendidikan etis yang menghasilkan perilaku-perilaku yang kastaistis seperti kemunculan slogan ningrat dan wong cilik tadi. Pada masyarakat Sunda, seni pewayangan lebih merupakan media hiburan pelepas lelah dalam aktifitas agrarisnya sehari-hari. Orang Sunda tidak menjadikan lakon cerita wayang sebagai sabda suci yang mesti diteladani. Mereka telah memiliki etika agraris yang sangat kuat yang tidak bisa digantikan dengan etika Hindu-Budha seperti yang ditayangkan dalam pewayangan yang sangat rumit dengan nilai-nilai filosofisnya. Sifat egalitarian masyarakat agraris dan kepercayaan monoteistik orang Sunda yang sudah lama berakar kuat ini justru menjadi bekal penerimaan orang Sunda terhadap ajaran agama baru yang sesuai dengan kultur dan kepercayaan mereka yaitu Islam. Ketika Islam datang ke tatar Sunda dan mulai berinteraksi dengan masyarakatnya, spontan mendapat sambutan yang sangat luar biasa, terutama dari kalangan rakyat biasa.
Realitas egalitarianisme masyarakat Sunda, tradisi komunikasi yang demokratis dan pengaruh Islam yang luas setelahnya, adalah penyebab tidak banyak ditemukannya Candi di tatar Sunda sebagai simbol hegemoni kerajaan dan nilai-nilai Hindu. Egalitarianisme nilai-nilai masyarakat dan demokratisnya pola komunikasi antara penguasa dengan rakyat berpengaruh pada cara raja dan rakyatnya memandang kekuasaan dan cara memandang dirinya masing-masing. Raja tidak perlu memisahkan dirinya dalam sebuah bangunan Candi yang eksklusif dan kokoh jauh dari rakyatnya.
Sebagaimana keraton berfungsi sebagai simbol pemisahan yang jelas antara kompleks kekuasaan raja dengan rakyatnya, candi juga dibangun sebagai simbol penegasan yang jelas antara raja dan rakyatnya dan lebih merupakan sarana eksklusif para raja melakukan ritus sesembahan dan pemujaan. Di tatar Sunda yang egaliter dan kedekatannya dengan alam sebagai masyarakat agraris menyebabkan fokus sesembahan dan penghormatan lebih langsung kepada alam dan ke sanghyang ketimbang kepada para raja.
Hanya Satu Kerajaan
Di Nusantara, fungsi candi bukan hanya sebagai tempat beribadah para raja semata, tetapi juga sebagai monumen sebuah dinasti yang berkuasa. Pertarungan politik dan adu gengsi kekuasaan antar kerajaan telah menghasilkan candi-candi megah di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Wangsa Syailendra dengan Candi Borobudurnya dan Wangsa Sanjaya dengan Candi Prambanannya. Pergantian kekuasaan kerajaan, baik melalui suksesi formal maupun melalui perebutan kekuasaan selalu diiringi dengan pembangunan candi megah sebagai monumen kekuasaannya. Ketika kita menyaksikan banyaknya candi-candi besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, maka kita dapat menduga selain sebagai simbol majunya sebuah kerajaan, betapa banyaknya pula konflik dan persaingan politik yang terjadi di Jawa pada zaman itu.
Fungsi candi sebagai monumen kekuasaan seorang raja seperti ini tidak ditemukan di tatar Sunda karena kerajaan yang berkuasa di tatar Sunda hanya satu yaitu Kerajaan Sunda, cuma pusat pemerintahannya saja yang berpindah-pindah sejak dari Galuh (Ciamis), pindah ke Pakuan Padjadjaran (Bogor), pindah lagi ke Kawali (Ciamis) dan kemudian pindah ke Pakuan lagi (Sartono Kartodirdjo, 1977). Dengan kata lain, kekuasaan raja di Sunda tersentralisir dan kemungkinan keratonnya pun hanya satu. Tetapi –paling tidak hingga saat ini— keratonnya pun belum ditemukan berada di kota mana dari tempat yang berpindah-pindah itu. Candi yang sudah ditemukan pun, seperti candi Cangkuang di Garut, candi di Batujaya Karawang dan di Bojongmenje Rancaekek, Bandung, selain proses rekonstruksinya masih kontroversial, juga belum merepresentasikan sebagai bekas peninggalan kekuasaan kerajaan Sunda. Dengan demikian, kekuasaan tunggal yaitu kerajaan Sunda adalah alasan kuat yang mendukung alasan-alasan lain yang sudah dikemukakan tentang tidak banyaknya candi di tatar Priangan.
Dengan demikian, kelangkaan candi di sebuah kawasan tidak selalu mengkespresikan tingkat peradaban. Candi hanyalah salah satu bangunan monumental yang dibangun oleh sebuah dinasti kerajaan untuk kebutuhan prestise sesembahan keluarga raja, selain sebagai simbol kekuasaan. Kerajaan Sunda adalah kerajaan kuat yang terbukti ketika kerajaan Madjapahit berada dipuncak kekuasaannya, kerajaan Sunda tidak pernah takluk di bawah pengaruhnya. Dengan demikian, pendirian candi dalam sebuah wilayah kekuasaan lebih berhubungan langsung dengan pola kekuasaan, konsep teologis dan tradisi politik yang berkembang. Tampaknya, sesuai dengan kecenderungan kuat konsep teologisnya yang monoteistik, tradisi pola komunikasi yang demokratis antara penguasa dan rakyatnya serta kekuasaan Sunda yang terpusat dan tunggal, kelangkaan dan bahkan ketiadaan candi di Tatar Sunda memang sebuah kemestian sejarah. Inilah kekhasan lokal Sunda. Masyarakat Sunda perlu membuang semacam “ratapan historis” kelangkaan candi di Jawa Barat sebagai sebuah indikasi rendahnya peradaban atau sebaliknya banyaknya candi sebagai indikasi prestasi peradaban. Persepsi ini justru sebuah sikap “minder kebudayaan” (cultural inferiority complex) dihadapan kebudayaan lain, sementara kebudayaan Sunda memiliki sistem sosial kebudayaan sendiri yang sesungguhnya lebih berorientasi nilai-nilai, relijiusitas dan hal-hal lain yang bersifat abstrak. Wallahu a’lam!!
*)Dosen pada Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam (SPI)
UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
_______________________________________
WaLlahu a’lamu bishshawab
Catatan:
Keberadaan ajaran Monotheisme dalam masyarakat Sunda, kuat dugaan tidak lepas dari keterkaitan historisnya, dengan salah seorang Pelopor Monotheisme, Nabi Ibrahim.
Hubungan historis tersebut, bisa terlihat dari salah seorang Leluhur masyarakat Sunda, yang bernama Dewawarman I (Pendiri Kerajaan Salakanagara), yang tidak lain seorang perantau dari Pallawa, Bharata (India).
Untuk sama dipahami, awal mula Bangsa Pallawa berasal dari Tanah Persia, dan susur galurnya akan sampai kepada zuriat Nabi Ibrahim as. (Sumber : (connection) Majapahit, Pallawa dan Nabi Ibrahim ? ).
Demikian juga, Leluhur masyarakat Sunda bernama Ajisaka, yang diperkirakan berasal dari Negeri Saka (Sakas), dimana silsilah Bangsa Sakas juga akan bertemu kepada Keluarga Nabi Ibrahim as. (Sumber : Legenda Ajisaka, mengungkap zuriat Nabi Ishaq di Nusantara).
(Kanzunqalam/Ahmad-Samantho/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email