Fakta nyata :::
sunni menolak nikah mut’ah…
salafi wahabi menolak nikah mut’ah...
Turis Saudi Ada Yang Nikah dengan Niat Talak, Jadi Bukan Nikah Mut’ah !!!
Adalah keanehan yang nyata bahwa Poligami dan Pernikahan Dini ditentang habis, tetapi disisi lain penyimpangan-penyimpangan seperti Perkawinan sesama jenis, Lokalisasi, dan lain-lainnya tidak mendapatkan serangan/penentangan yang berarti.
Sebagai penambah wawasan (dalam artian ‘positif’), dibagian Lanjutan saya kutipkan beberapa artikel dan fatwa mengenai :
1. Nikah dengan Niat Talak
2. Kawin Kontrak
Beberapa istilah yang hampir serupa adalah :
3. Nikah Mut’ah (dibolehkan oleh kalangan Syi’ah)
4. Nikah Misywar (dibolehkan oleh beberapa Ulama Sunni).
Fatwa #1 :
Majmu’ Fatawa wa Maqulat Islamiyah
jilid 5, hal. 41-43.
oleh Syaikh bin Baz.
Menikah di luar negeri itu mengandung bahaya besar dan sangat berbahaya, maka tidak boleh pergi ke luar negeri kecuali dengan syarat-syarat yang penting. Sebab pergi ke luar negeri itu dapat menyebabkan kekafiran kepada Allah dan dapat menjerumuskan kepada kemaksiatan, seperti minum minuman keras (khamar), melakukan zina dan tindak keja-hatan lainnya. Maka dari itulah para ulama menegaskan haramnya bepergian ke negara-negara kafir, sebagai pengamalan hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :
“Aku tidak bertanggung jawab atas setiap Muslim yang bermukim (tinggal) di tengah-tengah masyarakat musyrikin.”
Bermukim di tengah-tengah masyarakat kafir itu sangat berbahaya sekali, apakah itu untuk keperluan tourism, studi, perniagaan maupun lainnya. Maka mereka yang musafir dari kalangan pelajar SLTA atau SLTP atau untuk studi di perguruan tinggi menghadapi bahaya yang sangat besar. Maka kewajiban negara adalah memberikan jaminan dapat belajar di dalam negeri, dan tidak mengizinkan mereka pergi ke luar negeri karena banyak mengandung resiko dan bahaya yang sangat besar bagi mereka.
Banyak sekali keburukan yang lahir dari situ, seperti riddah (murtad), meremehkan maksiat zina dan minuman keras, dan yang lebih dari itu adalah meninggalkan shalat, sebagaimana telah menjadi maklum bagi siapa saja yang memperhatikan kondisi orang-orang yang suka bepergian ke luar negeri, kecuali mereka yang dibelaskasihi Allah, dan itu pun sangat sedikit sekali. Maka wajib mencegah mereka dari hal-hal tersebut dan hendaknya tidak diperbolehkan ke luar negeri kecuali orang-orang tertentu saja dari kalangan orang-orang yang dikenal komit dalam beragama, beriman dan mempunyai ilmu bila untuk kepentingan dakwah atau mendalami spesialisasi suatu disiplin ilmu yang memang dibutuhkan oleh negara Islam.
Dan Hendaknya bagi musafir yang dikenal mempunyai ilmu, keunggulan dan iman, wajib tetap istiqamah agar dapat berdakwah kepada Allah atas dasar bashirah dan mempelajari sebagaimana mestinya apa yang dibebankan kepadanya. Ada pengecualian lain, yaitu terpaksa harus mempelajari disiplin ilmu tertentu di mana tidak ada orang yang mempelajarinya dan tidak mudah untuk mendatangkan tenaga pengajar ke dalam negeri. Maka orang yang diutus untuk belajar itu adalah orang yang dikenal konsistendalam beragama, mempunyai bekal iman yang cukup dan mempunyai keunggulan, sebagaimana kami sebut di atas.
Adapun tentang menikah dengan niat talak (cerai) terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Di antara mereka ada yang mengha-ramkannya, seperti Imam Al-Auza’i Rahimahullaah dan sederet ulama lainnya. Mereka mengatakan bahwa nikah dengan niat talak itu serupa dengan nikah mut’ah. Maka hendaknya seseorang tidak melakukan pernikahan dengan niat akan menceraikannya dikemudian hari. Demikian pendapat mereka.
Mayoritas Ahlul ‘ilm (ulama), sebagaimana dicatat oleh Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah Rahimahullaah di dalam karya besarnya “al-Mughni” membolehkannya jika niatnya (hanya diketahui) dia dan Allah saja dan tanpa syarat. Maka jika seseorang melakukan perjalanan jauh untuk studi atau pekerjaan lainnya, sedangkan ia mengkhawatirkan dirinya (akan terjerumus ke dalam zina. pen), maka boleh menikah sekalipun dengan niat akan menceraikannya apabila tugasnya selesai. Pendapat ini yang lebih kuat apabila niatnya hanya antara dia dengan Allah saja tanpa suatu syarat dan tidak diberitahukan kepada istri atau walinya; dan yang tahu hanya Allah saja.
Jumhur (mayoritas) ulama membolehkan hal tersebut, sebagaimana dijelaskan dan itu sama sekali tidak termasuk mut’ah, karena niatnya hanya diketahui dia dan Allah saja dan nikah tersebut dilakukan tanpa syarat.
Sedangkan nikah mut’ah ada keterikatan dengan syarat, seperti hanya untuk satu bulan, dua bulan, setahuan atau dua tahun saja, yang disepakati antara laki-laki yang menikah dengan keluarga istri atau antara dia dengan istri itu sendiri. Nikah yang seperti ini disebut nikah mut’ah dan hukumnya haram, sebagaimana ijma’ ulama, dan tidak ada yang menganggapnya enteng kecuali Rafidhah (Syi’ah). Memang pada awal Islam itu diperbolehkan, namun kemudian dihapus dan diharamkan oleh Allah hingga hari kiamat, sebagaimana hal itu ditegaskan oleh hadits-hadits shahih.
Adapun menikah di suatu negeri yang ia datang ke sana untuk belajar (studi) atau ia datang ke sana sebagai duta atau karena sebab lainnya yang membolehkan ia bepergian ke negeri kafir, maka baginya boleh menikah dengan niat akan menceraikannya apabila ia akan kembali ke negaranya, sebagaimana dijelaskan di muka, apabila ia butuh nikah karena khawatir terhadap dirinya (akan perbuatan zina). Akan tetapi meninggalkan niat seperti itu lebih baik, sebagai sikap hati-hati di dalam beragama dan supaya keluar dari perbedaan pendapat para ulama, dan juga sebenarnya niat seperti itu tidak diperlukan. Sebab nikah itu sendiri tidak merupakan sesuatu yang terlarang dari talak bila memang ada maslahatnya sekalipun tidak ada niat talak ketika akan menikah.
_______________________________
Fatwa #2 :
Jawaban dari Ust. Ahmad Sarwat, Lc.
Dalam masalah nikah dengan niat untuk mentalak seperti ini, ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, niat itu sejak awal sudah disampaikan kepada calon istri atau kepada walinya dan mendapatkan persetujuan. Maka nikah itu namanya nikah mut’ah yang hukumnya haram. Nikahnya sendiri tidak sah bahkan kalau berkumpul suami istri hukumnya zina.
Kemungkinan kedua, niat itu dipendam di dalam hati tidak diberitahukan kepada calon istri. Hal itu berarti sejak awal ada niat untuk menzalimi istri atau menipu keluarganya. Nikahnya itu hanya pura-pura atau hanya untuk kepentingan sesaat. Nikah dengan jalan menipu ini pun dilarang dalam agama.
Namun bedanya antara nikah mut’ah di atas dan nikah dengan niat talak adalah bahwa nikah mut’ah itu haramnya seperti zina. Sedangkan nikah dengan niat talak itu berdosa, tetapi sesungguhnya nikahnya itu tetap sah. Yang dilarang adalah niat untuk menceraikannya sejak awal. Kalau saja ketika sejak mula nikah belum ada niat untuk menceraikan, tentu saja hukumnya halal.
Bahwa di kemudian hari terjadi sesuatu yang menyebabkan seorang suami menceraikan istrinya dengan sebab yang bisa diterima syariah, tentu hukumnya halal. Meski cerai itu tetap saja perkara halal yang paling dibenci Allah. Tetapi bila belum ada niat untuk menceraikan pada awalnya, hukumnya boleh.
Sedangkan bila sejak awal menikah sudah ada niat untuk menceraikannya, berdosalah dia ketika menceraikannya nanti. Namun pernikahannya itu tetap sah dan hubungan suami istri yang mereka lakukan juga sah. Dosanya ketika melaksanakan niatnya.
Adapun yang seringkali terjadi dan sudah bukan rahasia umum lagi adalah adanya para pezina dari negeri Arab yang datang ke negeri kita mencari pekerja seks profesional.Maka begitu puas berzina dan sudah merasa membayar kewajiban, mereka pun pulang dengan santainya ke negerinya di sana, sambil menyangka bahwa apa yang mereka lakukan itu halal.
Kalau kita punya anak perempuan yang sudah kita didik jadi anak wanita shalilah, kira-kira relakah kita menikahkannya dengan laki-laki macam begitu? Sementara kita sangat tahu bahwa dia hanya sementara saja di negeri ini. Dari visa masuk yang tertera di passport-nya saja kita bisa tahu bahwa kedatangannya hanya dalam rangka senang-senang dan wisata seks, bukan dalam rangka menikah secara syar’i.
Informasi ini bukan lagi hal yang perlu ditutup-tutupi, karena semuanya bebas terjadi di beberapa hotel mesum di Jakarta, serta jalur Bogor, Puncak, Cianjur (Bopunjur).
Di Puncak, turis-turis Timur Tengah menemukan surga dunia: pemandangan hijau, banyak bunga, air mengalir, dan bidadari berseliweran.
Indonesia Menjadi Obyek “Wisata Seks” Terpopuler Bagi Turis ArabRiyadh, Naif. Ketika Indonesia menjadi obyek dakwah dan ladang persemaian gerakan-gerakan Islam yang berasal dari negara-negara Arab, di sisi yang lain Indonesia juga menjadi obyek “wisata seks” yang sangat populer bagi turis-turis Arab.
Dan lebih naifnya lagi, praktik ini dilegalkan oleh fatwa beberapa ulama Saudi.
Baru-baru ini, Kepala Bidang Pembimbingan Masyarakat (Qism ar-Ra’aya) Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta mendesak Badan Pembesar Ulama (Hay’ah Kubbar al-Ulama) kerajaan petro dollar tersebut untuk mengeluarkan fatwa yang menyikapi maraknya fenomena “pernikahan” para lelaki Saudi dengan perempuan Indonesia “yang diniatkan adanya talak (cerai) setelahnya” (nikah bi niyyat at-thalaq).
Khalid al-Arrak, Kepbid Bimas Kedutaan Saudi di Jakarta menyatakan, pihaknya khawatir jika fenomena yang marak di kalangan lelaki negaranya itu kian hari kian merebak dan tak dapat dikontrol.
Harian Saudi Arabia al-Wathan (16/4) melansir, fenomena “nikah dengan niat talak di belakangnya” yang dilakukan oleh para lelaki Saudi dengan perempuan Indonesia itu sangat populer.
Al-Arrak menyatakan, para lelaki Saudi yang melakukan praktik ini tidak lagi memperhatikan undang-undang yang berlaku terkait pernikahan, karena mereka justru menyandarkan perbuatan mereka terhadap salah satu fatwa ulama yang melegalkannya. “Mereka melakukan pernikahan ini dengan bersandar pada fatwa ulama yang membolehkan nikah dengan niat bercerai (nikah bi niyyat at-thalaq),” ungkap al-Arrak.
Sayangnya, dari pihak perempuan Indonesia sendiri menjadikan praktik ini sebagai ladang pekerjaan. Lagi-lagi kemiskinan dan susahnya hidup yang melilit mereka adalah dendang usang kaset lawas yang dijadikan dalih. “Perempuan Indonesia beranggapan jika menikah dengan lelaki Saudi, sekalipun kelak akan diceraikan, dipandang sebagai solusi sesaat untuk mendulang uang dan jalan pintas untuk dapat keluar dari jerat kemiskinan,” tambah al-Arrak.
Kedutaan Saudi di Jakarta sendiri telah mencatat setiaknya 82 pengaduan pada tahun lalu, ditambah 18 pengaduan tahun ini yang diajukan oleh para “mantan istri” perkawinan ini, yang ternyata menghasilkan anak.
Meski tidak tercatat secara resmi di Kedutaan, namun pihaknya siap untuk memfasilitasi anak-anak yang diadukan itu untuk dapat pergi ke Saudi, negara bapak mereka berasal, dengan memberikan tiket dan visa masuk gratis.
Tetapi, dalam banyak kasus, para bapak mereka (pria Saudi) tidak akan mengakui kalau anak-anak tersebut adalah darah daging mereka, karena tidak adanya bukti-bukti legal dan lengkap dari pihak keluarga perempuan di Indonesia.
Salah seorang korban dari paktik ini, Isah Nur (24), mengaku pernah dinikahi pria Saudi saat ia berusia 16 tahun. Sekarang ia telah menjanda, dan meneruskan profesi lamanya sebagai “istri yang dinikahi sesaat untuk kemudian diceraikan” dengan menjalani kehidupan malam.
Lebih naif lagi, Isah mengaku senang saat dulu dinikahi pria Saudi tersebut, karena orang-orang Saudi dipercaya memiliki dan membawa berkah. “Umat Islam di Indonesia menganggap orang Mekkah dan Madinah memiliki dan membawa berkah,” katanya.
pria Saudi itu hanya akan menikmati tubuhnya saja, “Saat meninggalkan kami, pria itu hanya memberikan uang Rp. 3 juta,” tutur Isah.
Praktik “pernikahan dengan niat bercerai sesudahnya” ini benar-benar naif, dan lebih naif lagi dilegalkan oleh fatwa ulama. Indonesia adalah tempat terpopuler untuk obyek praktik ini bagi orang-orang Arab, karena dipandang paling murah dan paling mudah. Praktik demikian sejatinya tak jauh beda dengan prostisusi, prostitusi yang kemudian terlegalkan oleh fatwa ulama. dan salah satu lokasi wisata favorit bagi turis-turis Arab untuk melegalkan praktik tersebut adalah kawasan puncak dan sekitarnya.
Bunyi musik terdengar dari sebuah vila: bising, sejenis musik keras dengan irama dan lirik padang pasir. Sebuah jendela yang gordennya terbuka mengungkapkan suasana ruang tamu vila yang bising itu. Di bawah lampu nan terang, seorang perempuan berdiri di hadapan seorang pria sambil meliuk-liukkan badannya seirama nada. Kedua tangannya terentang ke atas, pinggulnya diputar-putar. Memang, tak sedahsyat goyang Inul, penyanyi dangdut yang ngetop akhir-akhir ini.
Pemandangan seperti itu sangat akrab dijumpai di Kampung Sampay saat musim Arab tiba, begitu orang-orang di sekitar puncak menyebutnya. Musim Arab adalah masa dimana turis-turis dari Timur Tengah menghabiskan waktu libur setelah musim haji.Kawasan puncak merupakan salah satu tempat favorit. Menikmati hawa sejuk dan menyewa vila-vila adalah salah satu kepuasan yang mereka cari.
Padahal, sang makelar kadang hanya menyuguhkan wanita jalanan. Tak hanya dari Cisarua, perempuan-perempuan pemburu rial juga datang dari Cianjur, Sukabumi, dan berbagai daerah lainnya.
Tapi ada yang lebih memicu aliran darah dari sekotak pemandangan lewat jendela itu: setidaknya, tubuh bagian atas penari itu tak ditutup apa pun. Sebelum segalanya jelas, rupanya penghuni vila menyadari gorden yang terbuka. Tiba-tiba jendela itu pun ditutup.
Di pertengahan Februari lalu itu, mereka meliput kawasan tersebut, desa yang dikabarkan pada bulan tertentu menjadi Kampung Arab dengan segala gaya berlibur turis Timur Tengah.
Kampung Arab? Nama asli kampung itu sendiri yakni Kampung Sampay, satu dari tiga kampung di Desa Tugu Selatan, satu kilometer di atas Taman Safari, Cisarua, Bogor. Dari Jakarta, jarak menuju kampung ini sekitar 84 kilometer.
Tapi, kalau Anda bertanya kepada penduduk sekitar tentang Kampung Arab, mereka tampak terbengong-bengong. Satu atau dua orang yang tiba-tiba memahami arah pertanyaan akan menjawab:, maksudnya Warung Kaleng?
Benar, lebih dari Kampung Sampay, lebih dari Kampung Arab, nama Warung Kaleng dikenal bukan saja oleh warga setempat, tapi juga sopir taksi di Bandara Soekarno-Hatta. Masuklah ke sembarang taksi, lalu sebut Warung Kaleng; dijamin Anda akan sampai ke Desa Sampay, Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Bogor.
Warung Kaleng sebenarnya adalah sepotong Jalan Jakarta-Puncak di kilometer 84, tak lebih dari 50 meter panjangnya. Di kanan-kiri jalan, berjajar 30-an warung. Ini yang unik, papan-papan nama warung itu bukan hanya berhuruf latin dengan kata-kata bahasa Indonesia, tapi juga (bahkan ada yang hanya) papan nama berhuruf Arab, dari wartel sampai toko roti, dari toko kelontong sampai rumah makan. Dan yang juga khas dibandingkan kampung lain, di sini banyak terlihat warga bertampang Timur Tengah.
BIDADARI-BIDADARI
Nama Warung Kaleng sudah menjadi nama alternatif bagi Kampung Sampay sejak zaman kolonial Belanda. Dulu, kawasan itu secara administratif adalah tanah partikelir, yang kemudian dijadikan basis perdagangan oleh pedagang pendatang dari Cina. Lambat laun, para pedagang itu berasimilasi dengan penduduk setempat, lantas masuklah Islam.
Kata penduduk setempat, riwayat nama Warung Kaleng bermula dari warung-warung yang didirikan oleh para pedagang Cina itu: hampir semua warung beratap seng atau kaleng. Jadilah sepetak lahan itu kemudian di sebut Warung Kaleng.
Nama itu tetap melekat meski suasana Cina praktis tak tercium lagi dan atap seng tak lagi terlihat. Kini, warung-warung itu bertembok dan sudah beratap genteng. Suasananya pun berganti ke-Arab-Araban. Belakangan, muncul sebutan baru itu: Kampung Arab—bukan hanya untuk sepetak Warung Kaleng, tapi juga untuk seluruh Kampung Sampay.
Jadi, melihat lokasinya, bolehlah dibilang Warung Kaleng merupakan gerbang Kampung Arab. Di kawasan warung itulah pusat lalu lintas turis Arab (kebanyakan dari Arab Saudi, Bah-rain, Kuwait, dan Qatar).
Soalnya, sejauh ini, hanya di warung-warung itu tersedia segala kebutuhan turis Arab yang khas: mulai dari minuman (vodka yang didatangkan dari Jakarta), tembakau dan bumbunya (yang langsung diimpor dari Timur Tengah) untuk merokok gaya Arab, sampai roti arab (buatan lokal).
Alkisah, di awal 1990-an, ketika Irak diserbu Amerika dan sekutunya, banyak turis Timur Tengah datang ke Kampung Sampay. Mereka menginap di vila-vila selama kira-kira satu minggu hingga satu bulan. Di tahun-tahun sebelumnya, turis Arab juga sudah datang ke Kampung Sampay, namun tak banyak.
Dikenalnya Kampung Sampay oleh turis Arab tentunya dimakcomblangi biro-biro pariwisata, terutama biro yang berkantor di sepanjang Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat. Di kawasan ini, para turis itu boleh merasa setengah di rumah sendiri, setidaknya dalam hal makan, karena di jalan ini ada dua rumah makan khas Timur Tengah.
Tapi kenapa Kampung Sampay? Konon, turis-turis dari padang pasir itu merindukan suasana yang berbeda dengan negeri mereka yang panas dan berpantai. Mereka mengidamkan berlibur di kawasan pegunungan yang sejuk dan hijau. Lalu, dibawalah mereka ke kawasan Puncak, dari Cisarua sampai Cipanas. Bila kemudian Warung Kaleng menjadi terpopuler di antara turis Arab, ada ceritanya.
Menurut Syaiful Idries, Kepala Urusan Administrasi Desa Tugu Selatan, gambaran orang Arab tentang surga dunia itu adalah jabal ahdor atau gunung hijau. Di Kampung Sampay, kata Syaiful, mereka menemukan jabal ahdor itu. Di Puncak ini kan banyak bunga, air mengalir, lingkungannya hijau dan indah, tuturnya.
Tapi kalau hanya gunung hijau, bukan hanya Kampung Sampay yang punya. Kampung ini menjadi istimewa buat turis Arab karena banyak bidadari dan secara sosial lingkungan di sini longgar, warganya tak begitu peduli dengan urusan orang lain. Jadi (Syaiful melanjutkan ceritanya sambil tertawa), bagi orang Arab, Warung Kaleng bukan hanya jabal ahdor, tapi juga jabal al jannah, gunung surga. ˜Bidadari-bidadari itu didatangkan dari desa lain yang cukup jauh, paparnya.
MERACUNI ANAK-ANAK
Singkat cerita, kerasanlah turis-turis itu berlibur di jabal al jannah. Bahkan, secara sosial keagamaan, suasana di sini pun okey: ada suara azan berkumandang saat menjelang salat wajib. Di Kampung Sampay, ada tiga pondok pesantren, dan ada pula satu pesantren baru yang sedang dibangun.
Warga setempat pun menyambut para turis Arab dengan terbuka. Apa boleh buat, secara nyata, mereka memang mendatangkan fulus. Penginapan terisi, makanan terjual, sumbangan pun mengalir. Lihatlah Haji Samsudin, 65 tahun, yang sedang memimpin pendirian sebuah pondok pesantren baru di Kampung Sampay ini, namanya Pondok Sikoyatun Najah.
Menurut Wak haji ini, sebagian biaya calon pesantrennya diperoleh dari sumbangan turis Arab. Di sebuah lorong di belakang Warung Kaleng, terpasang spanduk dalam tulisan dan bahasa Arab, yang artinya kurang lebih begini: Kami sedang membangun gedung untuk pondok pesantren di sini, mohon sumbangannya.
Dengan bahasa dan huruf Arab, jelaslah sasaran spanduk itu. Lantas, Nanang Supriatna, salah seorang Ketua RT di Kampung Sampay, mengatakan: Enggak ada Arab, enggak hidup ekonomi orang-orang sini.
Nanang yang sehari-hari berjualan kambing, pada Idul Adha yang lalu berhasil menjual 11 kambing. Kalau enggak ada Arab, kambing saya paling-paling laku dua ekor, tuturnya kepada TRUST. Dan ternyata bukan hanya 11. Begitu ia selesai bertransaksi untuk kambing yang ke-11 dengan Samid (mahasiswa Arab Saudi yang menginap di Vila Barita), datang pesanan dua kambing lagi dari turis Arab yang menginap di Aldita, vila pertama di daerah itu.
Tapi tak seluruh penduduk mengangguk-angguk dan mengucapkan ahlan wasahlan kepada tamu-tamu Timur Tengah itu. Haji Ichwan Kurtubi, 55 tahun, seorang tokoh masyarakat Kampung Sampay, merasa tak enak melihat perilaku para turis itu. Para ulama, katanya, pasti tidak setuju warga di sini memfasilitasi para turis itu ber-dugem ria alias berdunia gemerlapan. Mereka itu enggak bener. Masa sih ada Arab zina.
VODKA DI TANGAN KANAN
Tapi, anak-anak muda yang dijaga oleh Haji Ichwan itu sendiri tak peduli. Mereka dengan senang mengadakan ini dan itu untuk para turis. Dan dengan begitu ”mulai sebagai pemandu wisata, mencarikan kambing korban, mengantar si turis dengan ojek, mencarikan vila, sampai menjadi preman penjaga keamanan—mereka mendapatkan penghasilan. Kata Haji Ichwan: Ulama di sini sudah kalah sama anak-anak muda itu
Sedangkan Zaki al-Habsy, pengelola gerai penukaran uang di Warung Kaleng, mencoba bersikap realistis. Yang tidak suka dengan turis-turis Arab itu hanya orang-orang yang tidak berbisnis melayani mereka, kata Zaki yang juga agen perjalanan itu.
Sebenarnya, di balik ketenangan hijaunya bukit dan pepohonan Kampung Sampay, ada keresahan yang tersembunyi. Perilaku dan gaya berlibur lelaki-lelaki dari padang pasir itu yang eksklusif dan tertutup bagi siapa saja, kecuali terhadap orang-orang yang mereka butuhkan selain melahirkan kecemburuan, juga menimbulkan ketersinggungan.
Benar, wanita-wanita yang mereka datangkan bukan warga Tugu Selatan. Yang terlihat dari jendela itu, misalnya yang diminta menari striptease atau tari perut, konon, adalah perempuan dari Cianjur, 20-an kilometer dari Tugu. Tapi, menurut Haji Ichwan, suasana seperti itu di depan mata mereka adalah racun buat generasi muda. Apalagi, setidaknya, ada dua turis Arab meninggal di salah satu vila di Kampung Sampay selagi berpesta pora. â€Orang Arab kan sudah terkenal dengan pemeo: vodka di tangan kanan dan cewek di tangan kiri, kata Abubakar Sjarief, Kepala Desa Tugu Selatan.
Dan sebenarnya, Abubakar melanjutkan, yang mendapat rezeki dari turis Arab hanya beberapa orang saja. Pokoknya, rezeki (dari para turis) itu tidak berimbang dengan mudaratnya. Secara umum, ke depan, kami dirugikan, ungkapnya.
Memang, di luar tukang ojek, penjaga malam, tukang masak di vila, dan preman penjaga keamanan kampung, semua lahan usaha yang berhubungan dengan Arab dijalankan oleh pendatang. Kendati warga setempat bisa berbahasa arab, mereka tidak bisa menjadi pemandu wisata. Soalnya, untuk menjadi guide, mereka harus terdaftar di Ikatan Guide Puncak yang pengurusnya adalah pendatang.
Itulah, dari pemandu wisata, penerjemah, pengelola trans-portasi, sampai pengelola penyewaan mobil, hampir semuanya orang Jawa Tengah—terutama dari Solo dan sekitarnya dan dari Jakarta. Juga toko-toko yang berderet di Warung Kaleng, sebagian besar dimiliki pendatang.
Namun, soal rezeki ini tak pernah muncul ke permukaan sebagai konflik sosial. Konflik yang pernah terjadi adalah konflik moral. Tahun lalu, sejumlah santri mulai dari Ciawi hingga Cisarua menyerbu diskotek dan tempat mesum lain di kawasan Tugu Selatan. Gebrakan itu sampai sekarang masih terasa. Menurut Abubakar, sejak saat itu, wisata berbau seks di wilayah tersebut agak mereda. Turis Arab memang masih datang, tapi musik bising dari vila-vila jauh berkurang.
Menurut seorang pemandu wisata di situ, untuk sementara mereka membawa turis Arab ber-dugem ke tempat lain: Cipanas, bahkan sampai ke Selabintana. Tapi, bisa jadi, wanita yang menari-nari di tempat menginap sama saja dengan perempuan yang terlihat dari jendela itu. Soalnya, nomor telepon genggam mereka sudah ada di tangan para calo. Jadi, kapan saja, per-empuan itu bisa dihubungi, baik secara langsung maupun dengan SMS.
Menjelang “Kumbang” Datang
Kawasan Warung Kaleng atau Kampung Sampay di Puncak, Cisarua, mulai menunjukkan tanda-tanda aktivitasnya. Sejumlah tempat peristirahatan berupa vila dan bungalo yang mudah ditemui ditemui disitu sudah mulai dipesan.
Hingga pekan ketiga April, peningkatan pemesanan untuk pemakaian awal bulan depan diperkirakan mencapai 50%. Padahal musim yang ditunggu itu baru akan dimulai pada Juni hingga Agustus mendatang.
Pada Juni hingga Agustus, kawasan Puncak yang kerap dijadikan tempat wisata itu berubah menjadi kawasan yang dipenuhi pria Arab.
Sungguh malang nasib Puncak, sekarang tidak lebih adalah merupakan lokalisasi pelacuran pria-pria Arab hidung belang. Rasakan saja pria-pria Arab hidung belang itu, untuk berzina saja harus pergi ke luar negeri
karena tidak bisa di negaranya sendiri. Sungguh malang nasib negara kita ini, sebagian mucikari dan germo-germo di Puncak yang merasakan senang karena mendapatkan lapangan pekerjaan menyediakan jasa esek-esek di Puncak bagi laki-laki Arab hidung belang. Sungguh kasihan sekali bangsa kita ini mau saja dijadikan lokalisasi pelacuran oleh laki-laki Arab hidung belang.
Demikian pun para germo dan para penari striptease serta pelacur itu sangat berbahagia. Sungguh kasihan sekali bangsa kita ini yang senang sekali menyediakan jasa esek-esek bagi lelaki Arab hidung belang.
Saya jadi teringat ketika masih mahasiswa, saya memarkir mobil saya di sebuah rumah makan di puncak. Tiba-tiba, datang seorang menawarkan villa kepada kami (saya bersama teman), bahkan dengan tersenyum dia menambahkan:
“ada isinya mas!”. Sekarang baru saya sadari bahwa kawasan Puncak telah berubah menjadi kawasan maksiat lokalisasi bertaraf Internasional bagi laki-laki hidung belang Arab. Saya membayangkan, bagaimana iklan syurga Puncak itu beredar di kalangan laki-laki Arab hidung belang di Timur Tengah sana. “Puncak, puncak, syurga, syurga!”
Daripada kita menuding laki-laki Arab yang hidung belang itu, lebih baik kita bersedih atas mental melacur dan menggermo bangsa kita di Puncak sana.
Ada Musim Arab di Warung Kaleng
Nama Cisarua mungkin tak asing lagi. Kawasan wisata sejuk di Puncak, Kabupaten Bogor, itu kini semakin mencuat menyusul penggerebekan oleh polisi, Selasa (1/8) dini hari. Polisi menangkap para pelaku kawin kontrak yang melibatkan perempuan lokal dan WN Arab di kawasan tersebut.
Kecamatan Cisarua dipenuhi tempat hiburan dan penginapan. Ada yang berbentuk penginapan biasa, vila, atau hotel. Cisarua berada di ketinggian 650-1.100 meter di atas permukaan laut, memiliki suhu udara rata-rata 20,5 derajat Celsius, dengan curah hujan 112-161 milimeter persegi setiap tahunnya.
Cisarua terdiri dari sembilan desa dan satu kelurahan dengan total luas wilayah 6.373,62 hektar. Sembilan desa itu adalah Tugu Selatan (luas 1.712,61 hektar), Tugu Utara (1.703 hektar), Batulayang (226 hektar), Cibeureum (1.128,62 hektar), Citeko (461 hektar), Kopo (453,21 hektar), Leuwimalang (135,18 hektar), Jogjogan (154 hektar), dan Cilember (200 hektar). Satu kelurahan adalah Cisarua dengan luas 200 hektar. Di wilayah tersebut tercatat ada 1.577 vila, 42 hotel, 182 restoran dan 37 warung telekomunikasi. Fasilitas-fasilitas itu tersebar di seluruh desa dan kelurahan yang ada di Kecamatan Cisarua.
Namun, ada dua desa yang menjadi primadona wisatawan, terutama turis dari Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya, yakni Tugu Utara dan Tugu Selatan. Tak mengherankan jika di jalanan di dua desa tersebut bertebaran tulisan dalam huruf Arab di sana-sini. Nama-nama atau plang papan nama usaha di sana kebanyakan ditulis dalam huruf Arab dan dipasang di kaca atau pintu. Warga di dua desa tersebut, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, juga sangat fasih berbahasa Arab. Mungkin dua desa itu bisa disebut Little Town Arabian.
Suasana Arab dangat kental terasa di Tugu Selatan. Desa itu terletak sekitar 84,2 kilometer dari Jakarta, 42 kilometer dari Kantor Bupati Bogor di Cibinong, dan 90,3 kilometer dari Bandung. Jumlah penduduk 15.380 jiwa dari 3695 kepala keluarga. Di wilayah kami ada 44 RT, 17 RW, dan 7 dusun. Di Tugu Selatan sekarang ada 5 hotel, 2 tempat rekreasi, 344 vila, dan 4 restoran,” kata Sekretaris Desa Tugu Selatan, Baini, ketika ditemui Warta Kota di kantornya.
Di Desa Tugu Selatan ada kampung yang namanya sangat populer di Jazirah Arab. Kampung tersebut bernama Sampay atau lebih terkenal dengan sebutan Warung Kaleng. Sekarang, jalan utama kampung itu diberi nama Jalan Sindang Subur. Toh, nama itu tetap kalah populer dibanding Warung Kaleng. Meskipun di sini sudah diberi nama Jalan Sindang Subur, tetapi orang-orang lebih mengenal dengan sebutan Warung Kaleng. Itu sudah terkenal sejak zaman revolusi,” kata Ketua RT 14, H Syukur.
Menurutnya, nama Warung Kaleng punya cerita tersendiri. Dahulu, beberapa rumah di sana dimiliki oleh orang Cina yang sudah masuk Islam, yaitu Abdul Fadli, Abdul Salim dan Nur Salim. Mereka adalah pedagang kelontong yang warungnya berada di jalan raya, atau terletak di ujung jalan masuk ke Kampung Sampay.
Para pedagang itu membuat atap rumahnya dari kaleng bekas minyak goreng atau kaleng ble. Mereka menggunting kaleng tersebut dan memanteknya dengan paku hingga menjadi atap pengganti genteng atau asbes. Konon pada zaman revolusi, warung mereka sangat terkenal. Orang-orang yang datang ke warung-warung tersebut selalu menyebutnya dengan sebutan Warung Kaleng. Nama tersebut terus menempel hingga sekarang.
Pada zaman kemerdekaan, semakin banyak turis yang datang ke kampung tersebut. Kebanyakan berasal dari Arab Saudi atau negara Timur Tengah lainnya. Mereka suka datang ke kampung tersebut karena udaranya sejuk dan bersih, jauh berbeda dengan udara di negaranya. Tak ayal, bisnis penginapan pun tumbuh pesat. Kini di Kampung Sampay berdiri 10 vila dan satu hotel.
Seringnya turis Arab datang ke kampung itu membuat di sana ada istilah Musim Arab. Musim itu terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Pada bulan-bulan tersebut, para pekerja di Arab Saudi libur, sehingga banyak yang berlibur ke Indonesia dan melepas penat di Warung Kaleng. Repotnya, hal itu juga disusul dengan munculnya praktik zina antara para turis Arab dengan perempuan-perempuan lokal.
(Syiahali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email