Bertolak dari fakta bahwa prinsip agama adalah keimanan kepada wujud Tuhan yang menciptakan alam semesta, dan bahwa perbedaan mendasar antara pandangan dunia Ilahi dan pandangan dunia Materialisme terletak pada ada atau tidaknya keimanan kepada Tuhan pencipta alam ini, maka upaya pertama yang perlu dijalani oleh seorang pencari kebenaran sebelum segala sesuatunya, yaitu bagaimana ia memberikan jawaban terhadap pertanyaan; apakah Allah itu ada ataukah tidak?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus menggunakan akal sehingga nanti akan dapat menemukan jawaban, positif ataukah negatif, yang betul-betul meyakinkan. Ketika jawaban itu positif, barulah kita akan membahas masalah-masalah berikutnya, yaitu masalah Tauhid, Keadilan Ilahi dan seluruh sifat-sifat Allah SWT. Sedangkan bila jawaban itu negatif yang berarti bukti atas kebenaran pandangan dunia Materialisme, kita tidak perlu lagi membahas semua persoalan-persoalan yang berkaitan dengan agama.
Pengetahuan Hudhuri dan Pengetahuan Hushuli
Dalam rangka mengenal Allah, ada dua macam penge-tahuan di hadapan kita, yaitu pengetahuan kehadiran (hudhuri) dan pengetahuan kehasilan (hushuli). Pada pengetahuan kehadiran, seseorang dapat mengetahui dan mengenal Allah dengan hati dan penyaksian batin, tanpa perantara pemahaman-pemahaman yang berupa gambaran konseptual dalam pikiran. Jelas bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan kehadiran mengenai Allah, sebagaimana yang diakui oleh para urafa’, tidak membutuhkan argumentasi rasional.
Tetapi, pengetahuan kehadiran atau penyaksian batin tidak dapat dikuasai oleh manusia biasa tanpa terlebih dahulu membina jiwanya melalui sair suluk islami. Adapun tingkatan-tingkatan yang rendah dari pengetahuan ini, walaupun dapat dicapai oleh orang-orang biasa, akan tetapi karena biasanya ia tidak dilandasi kesadaran, tidaklah cukup untuk membentuk pandangan dunia yang berlandaskan kesadaran.
Pada pengetahuan hushuli, seseorang mengenal Allah melalui konsep-konsep universal seperti Sang Pencipta, Mahakaya, Mahatahu, Mahakuasa dan meyakini keberadaan-Nya. Kemudian, ia menggabungkannya dengan pengetahuan kehasilan lainnya hingga ia dapat memperoleh suatu pandangan dunia yang utuh. Semua pengetahuan yang didapatkan manusia dari studi rasional dan argumentasi filosofis, masuk ke dalam pengetahuan kehasilan ini. Ketika manusia telah memiliki ilmu semacam ini, ia pun dapat mengenal Allah dengan pengetahuan kehadiran.
Pengetahuan Fitri
Dalam hadis para imam atau ucapan kaum urafa’, seringkali kita menjumpai ungkapan seperti “Pengenalan fitri tentang Tuhan“ atau “Secara fitri, manusia mengenal Tuhannya”. Untuk memahami ungkapan semacam ini, terlebih dahulu kita perlu menjelaskan kata fitrah. Kata ini berasal dari bahasa Arab yang berarti “sebuah bentuk penciptaan”. Sesuatu itu fitri (dinisbahkan kepada fitrah) ketika bentuk penciptaan suatu makhluk menuntut sesuatu itu.
Dari sinilah kita dapat memperhatikan tiga karakteristik pada perkara-perkara fitri:
1. Perkara-perkara fitri adalah titik kesamaan bagi makhluk-makhluk satu spesis, kendati keberadaannya itu berbeda dari sisi kualitas; lemah dan kuatnya.
2. Perkara-perkara fitri selalu ada sepanjang hidup manusia. Dan tidak mungkin setiap makhluk mempunyai fitrah yang mengalami perubahan dan perbedaan dari satu masa ke masa.
“Itulah fitrah Allah yang telah Dia ciptakan manusia atas dasar fitrah itu dan tidak mungkin mengalami perubahan bagi Allah” (Qs. Ar-Rum: 30).
3. Karena perkara-perkara fitri itu sebuah kemestian dari penciptaan makhluk, ia tidak diusahakan melalui proses pembelajaran, walaupun untuk memperkuat dan mengem-bangkannya membutuhkan bimbingan dan arahan.
Perkara-perkara fitri yang ada pada manusia dapat dibagi kepada dua macam:
Pertama, pengetahuan-pengetahuan fitriyah yang dimiliki oleh setiap orang tanpa memerlukan proses belajar.
Kedua, kecenderungan-kecenderungan fitri. Maka, jika pada seseorang terbukti adanya semacam pengetahuan tentang Allah (ma’rifatullah) yang tidak perlu proses belajar, pengetahuan itu dapat dinamakan pengenalan fitriyah terhadap Allah (ma’rifatullah ‘alal fitrah). Dan apabila terbukti adanya kecenderungan kepada Allah dan kecondongan untuk menghamba kepada-Nya pada setiap manusia, hal itu dapat dinamakan penghambaan fitri kepada Allah.
Kebanyakan pemikir memandang agama dan kecenderungan kepada Allah termasuk keistimewaan yang ada pada setiap manusia, sebagai perasaan atau kesadaran beragama. Dan kami akan menambahkan di sini bahwa mengenal Allah dapat pula dikategorikan sebagai konsekuensi dari fitrah setiap manusia.
Akan tetapi, sebagaimana dorongan fitrah dalam penghambaan diri kepada Allah itu bukan termasuk dorongan yang berkesadaran (syu’uri), begitu pula dorongan fitri dalam mengenal Allah itu bukanlah pengetahuan yang berkesadaran, yaitu pengetahuan yang didasari oleh kesadaran di mana orang-orang biasa tidak lagi membutuhkan telaah rasional dalam rangka mengenal Allah.
Di samping itu, patut diperhatikan catatan berikut ini, bahwa pada setiap individu terdapat derajat pengenalan kepada Allah yang bersifat kehadiran (hudhuri) atau fitri, walaupun derajat ini itu sangatlah rendah. Oleh karena itu, mungkin setiap orang akan meyakini adanya Allah hanya dengan merenung sejenak atau dengan bernalar secara sederhana. Kemudian ia akan berusaha berangsur-angsur untuk meningkatkan dan memperkokoh pengenalannya kepada Allah sampai mata batinnya terbuka, atau bahkan ia akan sampai kepada derajat syu’uriyah, yaitu pengetahuan yang penuh kesadaran.
Kesimpulannya, mengenal Allah secara fitri yaitu bahwa hati seseorang dapat mengenal Allah, dan di dalam jiwanya terdapat potensi pengenalan ini secara sadar, yang kemudian dapat menjadi kuat. Akan tetapi, potensi-potensi fitri ini pada orang biasa tidak sebegitu kuat disadari. Maka itu, mereka memerlukan argumentasi rasional. Artinya, selain melalui fitrah, mereka tetap membutuhkan pembahasan rasional untuk dapat mengenal Allah secara sadar.
Sumber: Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Amuzesy-e Aqa’id, pelajaran 5.
(Study-Syiah/Berbagai_sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email