Pesan Rahbar

Home » » Mengapa Syiah mengusap kaki dalam berwudhu?

Mengapa Syiah mengusap kaki dalam berwudhu?

Written By Unknown on Thursday 8 September 2016 | 19:25:00


Oleh: Ayatullah Ja’far Subhani

Kenapa Syi’ah, bukannya mencuci kaki dalam wudhu’, malah mengusapnya?
Usap kaki dalam amalan wudhu’ mempunyai dasar Al-Qur’an dan sunnah. Berikut kami akan menjelaskannya secara ringkas:

Secara literal, ayat keenam surat Al-Ma’idah menyatakan bahwa orang muslim harus menjalankan dua tugas dalam wudhu’nya; tugas yang pertama adalah membasuh muka dan kedua tangan, lalu tugas yang kedua adalah mengusap kepala dan kedua kaki. Hal ini dapat dimengerti dengan mudah sekali dari kesertaan dua bagian ayat (QS. Al-Maidah : 6) berikut:

Bagian pertama:

فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ

Bagian kedua:

وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَکم إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِ‌ۚ

Apabila dua kalimat perintah di atas kita sampaikan kepada orang arab yang berbahasa Arab dan benak dia belum pernah mengetahui perbedaan-perbedaan hukum fikih, pasti dia akan memahami dua tugas tersebut di atas dari dua kalimat ini; yaitu perintah membasuh muka dan kedua tangan, serta perintah mengusap kepala dan kedua kaki.

Menurut tata bahasa dan sastra Arab, kata (أَرۡجُلَکم) harus disambungkan pada kata (رُءُوسِكُمۡ) sehingga kaki harus diusap sebagaimana kepala, dan tidak seharusnya kata itu disambungkan kepada kata (أَيۡدِيَكُمۡ) sehingga berarti kewajiban basuh kaki seperti basuh tangan. Alasan tidak dibenarkannya penyambungan kedua itu adalah konsekuensi yang tidak diterima menurut tata bahasa dan sastra Arab, dimana hal itu berarti adanya kalimat pemisah (ٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ) secara tidak tepat di antara kata (أَيۡدِيَكُمۡ) dan kata yang disambungkan kepadanya (أَرۡجُلَکم), bahkan keberadaan kalimat pemisah bukan pada tempatnya itu akan membuat pendengar atau pembaca salah paham.

Perlu diketahui juga bahwa variasi bacaan kata (أَرۡجُلکم) secara majrur (lam dibaca kasrah) atau mansub(lam dibaca fathah) tidak punya pengaruh apa-apa terhadap makna kewajiban usap kaki, karena bagaimana pun juga kata itu disambungkan pada kata (رُءُوسكُمۡ); bila kata (أَرۡجُلکم) dibaca secara majrur berarti mengikuti tampilan luar kata (رُءُوسكُمۡ), adapun jika kata itu dibaca secara mansub berarti mengikuti posisi kata (رُءُوسكُمۡ) dan statusnya sebagai obyek.

Banyak sekali keterangan ulama Syi’ah lmamiyah tentang makna ayat wudhu’ ini, antara lain Anda dapat membacanya di dalam kitab tafsir Majma Al-Bayan karya Thabarsi.[1]


Akar Perselisihan 

Tidak diragukan lagi bahwa secara literal ayat di atas menunjukkan kewajiban usap kaki dalam wudhu’, sehingga secara keseluruhan ayat tersebut mengharuskan dua basuh muka dan tangan serta dua usap kepala dan kaki.

Setiap kali Ibnu Abbas ditanya tentang cara berwudhu’ dia menjawab, “Al-Qur’an turun dengan membawa hukum usapan kaki.” Dia juga menjelaskan, “Orang-orang bersikeras untuk membasuh kaki dalam wudhu’, padahal hukum Islam yang sebenamya tentang hal itu adalah usap kaki.”[2]

Meskipun demikian, tetap perlu bagi kita untuk mengetahui akar perselisihan tentang masalah ini, dan menurut kajian hadis serta sejarah pensyariatan Wudhu’ ada dua faktor yang membuat masyarakat menyimpang dari kejelasan makna literal ayat di atas. Dua faktor itu adalah kekuasaan dan pola pikir personal atas dasar maslahat.


Kekuasaan 

Pemerintah dan kekuasaan punya pengaruh besar sekali dalam mengubah hukum usap kaki dalam wudhu’ menjadi basuh kaki. Lebih khusus Hajjaj bin Yusuf, dia sangat bersikukuh masyarakat harus membasuh kaki pada waktu wudhu’, karena menurutnya, kotor sekali kaki orang-orang yang hendak menunaikan shalat, mengingat bahwa mayoritas mereka tak beralas kaki.

Anas bin Malik adalah salah satu sahabat Nabi Saw yang berumur panjang dan selama bertahun-tahun dia juga hidup di kota Kufah. Ketika seseorang datang menyampaikan berita kepadanya bahwa Hajjaj memerintahkan massa untuk membasuh bagian luar dan dalam kaki, seketika itu pula dia protes seraya berkata, “Maha benar Allah Swt dan betapa bohongnya Hajjaj. Allah Swt berfirman, “Dan usaplah kepala dan kaki kalian.” (sedangkan Hajjaj memerintahkan mereka untuk membasuh kaki)[3]

Begitu gencar dan seriusnya seruan Bani Umayyah terhadap masyarakat untuk membasuh kaki mereka ketika wudhu’ sehingga fukaha (ahli fikih) yang hidup pada waktu itu tidak berani menentang.

Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari para sahabat Nabi Saw bahwa suatu ketika Abu Malik Asy’ari berkata kepada sanak familinya, “Beritahulah satu sama yang lain untuk berkumpul, karena aku akan mengajarkan cara Rasulullah Saw shalat.” Saat mereka telah berkumpul dia bertanya, “Apakah ada orang asing (selain famili) di antara kalian?” mereka menjawab, “Tidak.” Maka dia pun minta sewadah air, dan setelah mencuci mulut serta hidungnya dia membasuh tiga kali muka dan kedua tangannya, lalu dia mengusap kepala dan bagian atas (luar) kedua kakinya. Setelah itu dia shalat.[4]


Pola Pikir Personal atas Dasar Maslahat 

Pola pikir personal atas dasar maslahat yang diprioritaskan atas makna literal Al-Qur’an dan hadis Nabi Saw merupakan sumber bid’ah dalam agama, contoh-contohnya telah kami paparkan di dalam kitab khusus yang berjudul Bid’ah. Faktor ini pula yang menyebabkan masyarakat berpaling dari hukum usap kaki dalam wudhu’ dan menggantikannya dengan basuh kaki.

Abu Bakar Razi (50-70), tokoh ternama yang lebih dikenal dengan julukan Jashash, di dalam kitab Ahkam Al-Qur’annya menuliskan bahwa dari sisi kewajiban usap atau basuh kaki, ayat wudhu’ di atas terhitung ambigu atau tidak jelas. Untuk itu, menurut dia sebaiknya kaki dibasuh saat berwudhu’, karena itu pilihan yang lebih hati-hati dan mewakili dua kemungkinan tersebut secara bersamaan.[5]

Tentu saja klaim ambiguitas tidak sesuai dengan kedudukan ayat wudhu’ yang sedang menjelaskan tugas-tugas orang berwudhu’. Lebih dari itu, bila kehati-hatian yang dijadikan sebagai tolok ukur maka sewajarnya orang tersebut berwudhu’ dua kali; karena secara esensial, usap berbeda dengan basuh.

Penulis kitab tafsir Al-Manar termasuk ulama yang tidak mengingkari makna literal ayat tentang keharusan usap kaki. Namun di lain sisi dia mengatakan, “Apa gunanya mengusap kaki yang kotor dan dekil?!”[6]

Mungkin dia lalai bahwa ayat wudhu’ ini tidak dikhususkan untuk orang-orang primitif dan kompros, melainkan wahyu Ilahi dialamatkan baik untuk orang primitif maupun beradab, orang kota maupun orang desa, dan cahaya Ilahi ini akan terus terang serta berlaku sampai Hari Kebangkitan.

Di samping itu, kita akan tanyakan kepada dia apa gunanya usap kepala cukup dengan satu jari (menurut Mazhab Syafi’i)? Baik usap kaki maupun usap kepala dengan satu jari sama-sama tidak begitu jelas kegunaannya bagi sebagian orang, tapi kenapa yang pertama dianggap olehnya terlarang atau tidak sah sedangkan yang kedua boleh dan sah? Lebih dari itu, wudhu’ bukan sekedar untuk kebersihan, melainkan juga tindak kebersihan sekaligus ibadah. Maka itu, orang yang paling bersih secara lahiriah pun tetap harus berwudhu’ untuk menunaikan shalat, sedangkan orang kotor hendaknya membersihkan kaki dan organ wudhu’nya yang lain sebelum berwudhu’.

Itulah tadi sekilas pembahasan tentang ayat wudhu’. Selanjutnya, kita akan sama-sama mempelajari hadis-hadis yang bersangkutan dengan masalah ini:


Hadis-hadis Tentang Usap Kaki Nabi Saw.

Tidak menutup kemungkinan bahwa sebagian mengira orang di dalam kitab-kitab Ahli Sunnah tidak ada satu pun hadis yang meriwayatkan Nabi Muhammad Saw mengusap kedua kaki beliau dalam wudhu’, padahal dengan sekali penelitian saja lebih dari tiga puluh hadis bisa ditemukan, dimana mayoritas hadis itu menjelaskan cara wudhu’ Rasulullah Saw dan sahabat-sahabat beliau.

Makna ayat wudhu’ dan hadis yang begitu jelas menunjukkan kewajiban usap kaki dalam wudhu’ menuntut fukaha Ahli Sunnah untuk mengoreksi pendapat fikih mereka dalam hal ini, sehingga dengan demikian mereka membantu langkah umat menuju kesatuan dalam fikih, dan dengan demikian pula mereka mengikuti jejak sebagian besar sahabat serta tabi’in Nabi Muhammad Saw yang senantiasa mengusap kaki dalam berwudhu’. Di bawah ini kami akan menyebutkan sebagian dari mereka:
1. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata, “Aku melihat Rasulullah Saw mengusap bagian luar (atas) kedua kakinya.”[7]

2. Jabir bin Abdillah mengatakan, “Imam Muhammad bin Ali bin Husain as -yang dikenal dengan julukan Baqirul Ulum dan kehebatannya dalam ilmu serta fikih diakui oleh semua kalangan-[8] telah berkata kepadaku, “Usaplah atas kepala dan kedua kakimu.”[9]

3. Busr bin Sa’id mengatakan, “Usman berwudhu’ seraya mengusap kepala dan kedua kakinya sebanyak tiga kali, lalu dia berkata, “Demikianlah Rasulullah Saw berwudhu’.”.”[10]

4. Hamran bin Aban -budak Usman- telah meriwayatkan dari Usman bahwa Rasulullah Saw mengusap kepala dan kedua kakinya setelah membasuh muka dan kedua tangannya.[11]

5. Abdullah bin Zaid Mazini, dikenal dengan julukan lbnu Imarah, mengatakan bahwa Nabi Saw berwudhu’ dengan mengusap kepala dan kedua kakinya.[12]

6. Abdullah bin Abbas sering sekali mengatakan, “Sesungguhnya wudhu’ itu terdiri dari dua basuhan dan dua usapan.”[13]

7. Amir Syu’bi mengatakan, “Asas wudhu’ adalah dua basuhan dan dua usapan. Karena itu, di dalam tayamum organ yang harus dibasuh dalam wudhu’ tetap diperhatikan -agar diusap dalam tayamum- sedangkan organ yang harus diusap dalam wudhu’ ditinggalkan.”[14]

8. Rifaah bin Rafi’, salah satu sahabat Nabi Saw, meriwayatkan bahwa beliau Saw mengusap kepala dan kedua kakinya sampai gundukan di atas kaki.[15]

9. Abu Malik Asy’ari, sahabat Nabi Saw, juga telah mengajarkan cara wudhu’ Rasulullah Saw kepada sanak familinya, dan temyata di akhir wudhu’nya dia mengusap kedua kaki.[16]

10. Rifa’ah bin Rafi’ juga meriwayatkan dari Nabi Saw bersabda, “Shalat kalian tidak akan diterima kecuali jika wudhu’ kalian sempurna; basuhlah muka dan kedua tangan kalian, lalu usaplah kepala dan kedua kaki kalian sampai gundukan di atas kaki.”[17]
 
Itulah sebagian contoh dari tokoh sahabat dan tabi’in yang meriwayatkan usap kaki dalam wudhu’ dari Rasulullah Saw, adapun data lebih detil mengenai nama tokoh-tokoh yang meriwayatkan usap kaki dari beliau, para sahabat dan tabi’in telah kami sebutkan di dalam kitab Al-Inshaf fi Masa’ila Dama fiha al-Khilaf, jilid 1, dari halaman 56 sampai dengan 95.


Referensi:

[1] Thabarsi, Majma’ Al-Bayan, jld. 2, hal. 163-167; Al-Inshaf fi Masa’ila Dama fiha al-Khilaf, jld. 1, hal.1040.
[2] Suyuthi, Al-Dur Al-Mantsur, jld. 3, hal. 14.
[3] Thabari, Tafsir Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 6, hal. 82; lbnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim,jld. 2, hal. 20.
[4] Ahmad bin Hanbal, Musnad, jld. 5, hal. 342; Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabir, jld. 3, hal. 28, hadis no. 3412.
[5] Jashash, Ahkam Al-Qur’an, jld. 2, hal. 346.
[6] Rasyid Ridha, Al-Manar, jld. 6, hal. 234.
[7] Ahmad bin Hanbal, Musnad, jld. 1, hal. 153, hadis no. 739, hal. 183, hadis no. 91.
[8] Dzahabi, Tadzkiroh Al-Huffiidz, jld. 1, hal. 124.
[9] Thabari, Tafsir Jami’ AI-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 6, hal. 82.
[10] Ahmad bin Hanbal, Musnad, jld. 1, hal. 109, hadis no. 489.
[11] Muttaqi Hindi, Kanz Al-‘Ummal, jld. 0, hal. 436, hadis no. 26863.
[12] Ibid, hal. 451, hadis no. 26922.
[13] Thabari, Tafsir Jami’ AI-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 6, hal. 82.
[14] Ibid.
[15] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, jld. 1, hadis no. 460; Nasa’i, Sunan Al-Nasa’i, jld. 2, hal. 226.
[16] Ahmad bin Hanbal, Musnad, jld. 5, hal. 342.
[17] Hakim Nisyaburi, Al-Mustadrok, jld. 1, hal. 241.

(Hauzah-Maya/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: