Biografi Pendek Kehidupan para Imam as. Nama dan Ciri-Ciri Khusus Keutamaan dan Kesempurnaan Dalil Imamah
Imam-imam Syiah
Makam Empat Imam Syiah di Baqi sebelum perusakan pada 21 April 1926 oleh rezim Saudi
Makam Empat Imam Syiah di Baqi sebelum perusakan. Makam dari kiri ke kanan 1. Imam Hasan bin Ali As, 2. Imam Ali bin Husain As, 3. Imam Muhammad bin Ali As, dan 4. Imam Ja'far bin Muhammad As
Imam-imam Syiah (Bahasa Arab: أئمة الشيعة ) adalah para pemimpin yang terdiri dari dua belas orang dan berasal dari keluarga Rasulullah Saw. Dalam pandangan Syiah, para Imam ini adalah para khalifah setelah Nabi Muhammad Saw dan pemimpin-pemimpin umat Islam. Imam Pertama adalah Imam Ali As dan para Imam setelahnya adalah anak-anak dan cucu-cucu dari pasangan Imam Ali As dan Sayidah Fatimah Zahra Sa.
Imam-imam ini diangkat oleh Allah Swt dan memiliki ilmu Ilahi, maqam ishmah (maksum) dan wewenang untuk memberi syafaat. Umat Islam dengan ber-tawassul (berperantara) kepada mereka dapat ber-taqarrub kepada Allah Swt. Para Imam As di samping berposisi sebagai sentra rujukan ilmu, mereka juga adalah pemimpin politik umat Islam. Terdapat banyak ayat yang membahas tentang masalah kepemimpinan (imamah) para Imam tanpa menyebut langsung nama mereka. Ayat-ayat seperti ayat ulil amr, ayat tathir, ayat wilāyah, ayat ikmāl, ayat tabligh dan ayat shādiqin adalah beberapa contoh ayat yang menyinggung tentang kepemimpinan mereka.
Dalam beberapa riwayat dari Rasululah Saw disebutkan tentang ciri-ciri, nama-nama dan jumlah para Imam As. Di antara hadis yang paling terkenal yang dapat disebutkan di sini adalah hadis tsaqalain, hadis manzilat, hadis safinah, hadis yaum al-dār, hadis madinatul ilm, hadis thair masywi, hadis rayat, hadis kisā, hadis Jabir, dan hadis dua belas khalifah. Berdasarkan riwayat-riwayat ini, para imam seluruhnya berasal dari Quraisy dan Ahlulbait Nabi Muhammad Saw dan Imam Mahdi Yang Dijanjikan adalah Imam Pamungkas dari silsilah imamah dalam mazhab ini.
Terdapat juga banyak riwayat dari Rasulullah Saw terkait dengan imamah Imam Pertama dalam pelbagai literatur. Demikian juga, terdapat beberapa riwayat dari Nabi Muhammad Saw dan Imam Ali As yang menegaskan tentang imamah Imam Kedua. Kemudian setelah itu, setiap Imam, memperkenalkan Imam setelahnya sesuai dengan nash. Sesuai dengan kandungan nash-nash ini, para Imam dan khalifah setelah Nabi Muhammad Saw terdapat dua belas orang. [1]
Kedudukan Para Imam bagi Syiah
Ajaran imamah para Imam Duabelas merupakan salah satu fondasi keyakinan Syiah Duabelas Imam. Keyakinan ini didukung oleh banyak nash dari Rasulullah Saw dan para Imam As yang dapat dijumpai dalam beberapa literatur. Para ahli tafsir dan teolog Syiah meyakini bahwa dalam al-Quran juga disinggung tentang masalah imamah para Imam. [2]
Di antara ayat-ayat al-Quran yang menyinggung masalah imamah adalah ayat ulil amr, ayat tathir, ayat wilāyah, ayat ikmāl, ayat tabligh, dan ayat shādiqin. Sesuai dengan keyakinan Syiah Duabelas Imam, masa imamah para dua belas Imam bermula semenjak wafatnya Nabi Muhammad Saw pada tahun 11 Hijriah dan ketika Imam Ali As menjadi Imam dan terus berlangsung hingga sekarang ini tanpa terputus. Semenjak tahun 260 Hijriah, setelah wafatnya Imam Hasan Askari As dan berpindahnya posisi imamah ke putra Imam Hasan Askari As, Imam Mahdi Ajf. Pada masa Imam Mahdi Ajf, kondisi imamah berubah dari kondisi lahir (zhuhur) menjadi kondisi ghaib dan masa panjang imamah Imam Mahdi Ajf hampir dalam kondisi ghaibat. Kaum Syiah memandang para Imam itu sebagai maksum dan memiliki ilmu ladunni. [3]
Mereka meyakini bahwa dengan bertawassul kepada mereka maka manusia dapat bertaqarrub kepada Allah Swt. Ziarah kuburan para Imam merupakan bagian dari ajaran Syiah dan mereka menilai bahwa para Imam ini menyandang kedudukan dapat memberikan syafaat kepada umatnya.[4]
Dalil-dalil Pembuktian Imamah
Dalil-dalil pembuktian imamah, senantiasa menjadi tema penting bagi penyusunan buku di kalangan Syiah Imamiyah dan ulama Syiah telah banyak menulis buku dengan pendekatan yang beragam dalam hal ini. Kitab Sulaim bin Qais al-Hilali adalah kitab yang ditulis pada akhir-akhir abad pertama Hijriah. Kitab ini tergolong sebagai kitab yang paling kuno yang menyebutkan tentang Duabelas Imam. [5]
Sebagai contoh buku dalam masalah nash atas dua belas Imam As yang harus disebutkan di sini adalah tulisan-tulisan seperti Muqtadhab al-Atsar karya Ibnu ‘Ayyassy Jauhari (w 401 H), dan Kifayat al-Atsar karya Khazar Qummi (akhir-akhir abad 4 H) dimana para penulisnya berusaha mengumpulkan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan nash para imam duabelas dari literatur-literatur yang beragam dari kalangan Syiah dan Sunni. Di samping kitab-kitab nash-nash, yang patut disebut di sini seperti Dalāil al-Imāmah dalam masalah mukjizat para Imam, seperti Dalāil al-Imāmah yang disandarkan sebagai karya Ibnu Rustam Thabari (cetakan Najaf, 1383 H), atau karya dengan judul umum al-Washiyah dalam memaparkan perpindahan wasiat dalam silsilah para Imam Duabelas, seperti Itsbāt al-Washiyyah karya Mas’udi (cetakan Najaf, Kitabkhaneh Haidairiyah). [6]
Para teolog melakukan pembuktian secara referensial (naqli) imamah para Imam Dua Belas As dan mengkhususukan sebuah pasal dari karya penting mereka. [7]
Di antara yang terkenal dari riwayat ini yang dapat disebut pada kesempatan ini adalah seperti hadis tsaqalain, hadis manzilah, hadis safinah, hadis yaum al-dar, hadis madinah al-ilm, hadis thair masywi, hadis rayat, hadis kisa, hadis Jabir, dan hadis dua belas khalifah.
Hadis 12 Khalifah
Di samping hadis-hadis Syiah, di kalangan Sunni juga terdapat hadis-hadis yang menyebutkan tentang adanya 12 imam setelah Nabi Muhammad Saw. Sepanjang abad pertama Hijriah diriwayatkan hadis-hadis dari sahabat Rasulullah Saw dengan kandungan berisi berita gembira tentang 12 imam yang disampaikan oleh Nabi Saw dalam berbagai kesempatan. Di antara hadis-hadis ini, hadis dari Jabir bin Samrah yang dinukil dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim merupakan hadis yang paling dikenal; dalam hadis ini dijelaskan bahwa para pemimpin setelah Nabi Muhammad Saw ada 12 orang dan kesemuanya berasal dari Quraisy. [8]
Hadis ini yang merupakan hadis terkenal di dunia Islam pertama-tama disebutkan dalam literatur-literatur Sunni dan kemudian masuk ke dalam literatur-literatur Syiah. [9]
Dalam tingkatan selanjutnya harus disebutkan sebuah hadis dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan bahwa jumlah pemimpin terdapat 12 orang sama dengan jumlah pemimpin Bani Israel. [10]
Sunni menyodorkan penafsiran lain dari 12 pemimpin ini dan memperkenalkan 12 orang lain selain para Imam Syiah.
Mengenal Para Imam Syiah
1. Imam Ali
Artikel Utama: Imam Ali bin Abi Thalib As
Imam Ali As adalah putra Abu Thalib paman Nabi Muhammad Saw dan salah seorang pemimpin Bani Hasyim. Abu Thalib mengadopsi Nabi Muhammad Saw semasa kecil dan membesarkan kemenakannnya itu di rumahnya. Ia hidup hingga setelah awal misi kenabian dan mendukung Nabi Muhammad Saw. Abu Thalib menjaga Rasulullah Saw dari ancaman orang-orang musyrik Arab khususnya kaum Quraisy.[11]
Di Masa Rasulullah
Amirul Mukminin Ali As (sesuai nukilan masyhur) lahir 10 tahun sebelum bi’tsah. Setelah 6 tahun akibat kekeringan yang melanda kota Mekkah dan sekitarnya, sesuai dengan permintaan Nabi Muhammad Saw, Imam Ali pindah ke kediaman saudara sepupunya dan berada di bawah bimbingan dan gemblengan langsung Nabi Muhammad Saw. [12]
Pada permulaan masa risalah, tatkala Nabi Muhammad Saw bertolak dari goa Hira menuju ke kota dan kediamannya, Ali As disertai Khadijah Sa istri Rasulullah Saw adalah orang yang pertama beriman kepadanya. Pada awal masa penyampaian risalah secara terbuka yaitu pada peristiwa Yaum al-Dar juga Imam Ali adalah satu-satunya yang menyatakan iman kepada Nabi Muhammad Saw secara terang-terangan. Sepanjang hidupnya Imam Ali sekali pun tidak pernah menyembah selain Allah Swt. [13]
Imam Ali senantiasa berada di samping Rasulullah Saw hingga Sang Nabi hijrah dari Mekkah ke Madinah. Pada malam hijrah juga dimana ketika itu orang-orang kafir mengepung rumah Nabi Muhammad Saw dan memutuskan untuk mencabik-cabik Rasulullah Saw di atas pembaringan, Ali tidur di atas pembaringan Rasulullah Saw demi menjaga keselamatan Rasulullah Saw supaya ia dalam keadaan aman bertolak menuju Madinah. [14]
Sebab turun (asbabun nuzul) ayat isytira juga sehubungan dengan pengorbanan Imam Ali ini. Demikian juga, selama di Madinah Imam Ali senantiasa mendampingi Rasulullah Saw dan menikah dengan Fatimah Zahra Sa putri kinasih Rasulullah Saw. Tatkala mengikatkan tali persaudaraan di antara para sahabat, Nabi Muhammad Saw menjadikan Imam Ali As sebagai saudaranya. [15]
Setiap perang yang diikuti Nabi Muhammad Saw, Imam Ali hadir dan turut serta bersama Rasulullah Saw kecuali perang Tabuk dimana Rasulullah Saw menjadikan Imam Ali As sebagai penggantinya di Madinah. Imam Ali tidak pernah kabur dari medan perang dan tidak pernah berpaling dari musuhnya. Imam Ali tidak pernah menentang Nabi Muhammad Saw sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Saw sendiri, “Sekali-kali Ali tidak pernah berpisah dari kebenaran dan kebenanran pun tidak pernah berpisah dari Ali.” [16]
Setelah Rasulullah Saw
Masa ketika Rasulullah Saw wafat, Imam Ali berusia 33 tahun. Meski ia memiliki segudang keutamaan dan kepribadian unggul di antara para sahabat, dan pada berbagai peristiwa misalnya hari Ghadir Khum, Rasulullah Saw memperkenalkan Imam Ali As sebagai khalifahnya. Namun karena usianya masih muda dan orang-orang memusuhinya karena banyak menumpahkan darah pada peperangan bersama Rasulullah Saw, Imam Ali disingkirkan dari posisi khalifah sehingga dengan demikian Imam Ali tersingkir dari pelbagai urusan pemerintahan. Setelah lebih dari setahun menyampaikan protes, Imam Ali berdiam diri selama 25 tahun (masa tiga khalifah setelah wafatnya Rasulullah Saw) dan menghabiskan waktunya untuk menggembleng orang-orang untuk menjaga dan membela Islam. Setelah terbunuhnya Khalifah Ketiga, orang-orang memberikan baiat kepada Imam Ali dan memilihnya sebagai khalifah. [17]
Imam Ali pada masa khilafahnya yang berumur kurang lebih 4 tahun 9 bulan terlibat dalam 3 perang saudara. Sebagaian sahabat dimana yang terdepan adalah Ummul Mukminin Aisyah, Talha dan Zubair menjadikan darah Usman (menuntut pembunuhnya) sebagai dalih untuk memberontak dan mengobarkan perang Jamal di dekat daerah Basrah.
Dalam perang Shiffin di perbatasan Irak dan Suriah, Imam Ali kontak senjata dengan Muawiyah selama satu tahun setengah. Adapun fitnah terakhir yang harus dihadapi oleh Imam Ali As selama masa pemerintahannya adalah perang Nahrawan melawan kaum Khawarij. Dapat dikatakan bahwa kebanyakan urusan pemerintahan Imam Ali adalah untuk menyelesaikan persoalan internal dan setelah berlalu beberapa lama, subuh hari tepatnya pada tanggal 19 Ramadhan tahun 40 Hijriah di Masjid Kufah, ketika menunaikan salat, kepala Imam Ali ditebas oleh sebagian Khawarij dan pada malam ke-21 bulan itu juga, Imam Ali gugur sebagai syahid. [18]
Tipologi Karakter Imam Ali As
Amirul Mukminin Ali As sesuai dengan kesaksian sejarah dan pengakuan dari kawan dan lawan tidak memiliki cela dan kekurangan dalam kesempurnaan. Imam Ali adalah teladan sempurna sebagai murid dan hasil gemblengan Rasulullah Saw. [19]
Imam Ali dalam masalah ilmu dan pengetahuan merupakan sahabat Nabi Muhammad Saw yang paling cerdas dan pandai. Ia adalah orang yang paling fasih dalam Islam mengekspresikan penjelasan-penjelasan ilmiah, dalam argumentasi dan dalil. Ia mengemukakan pembahasan-pembahasan filosofis dalam masalah-masalah teologi dan berbicara tentang batin al-Quran. Imam Ali As adalah orang yang paling fasih dalam bahasa Arab dan menetapkan sastra Arab untuk menjaga lafaz-lafaznya. Ia adalah orang yang paling fasih di kalangan Arab dalam berpidato. [20] ( Lihat Nahjul Balāghah)
Dalam masalah keberanian, Imam Ali bak pepatah. Banyak cerita dan kisah tentang Imam Ali As dalam urusan takwa dan ibadah, sikap pengasih kepada orang-orang yang ada di bawahnya dan peduli kepada orang-orang yang kurang mampu, pemurah kepada orang-orang miskin. [21]
2. Imam Hasan As
Artikel Utama: Imam Hasan bin Ali As
Imam Hasan Mujtaba As dan saudaranya Imam Husain As adalah dua putra Imam Ali As dari Sayidah Fatimah Zahra Sa. Berulang kali Rasulullah Saw bersabda, “Hasan dan Husain adalah putraku.” Berdasarkan pernyataan Nabi Saw ini, Imam Ali berkata kepada anak-anaknya yang lain, “Kalian adalah anak-anakku. Hasan dan Husain adalah anak-anak Rasulullah.”[22]
Imam Hasan lahir di Madinah pada tahun 3 Hijriah. Pada usia 7 tahun, Imam Hasan kehilangan datuknya Rasulullah Saw dan kemudian dalam waktu yang tidak terlalu lama, Imam Hasan berduka atas kepergian ibundanya Fatimah Zahra Sa. [23]
Setelah kesyahidan sang ayah, berdasarkan perintah Allah dan sesuai dengan wasiat Imam Ali, Imam Hasan menduduki pos imamah dan selama hampir 6 bulan menjadi khalifah mengatur urusan umat. Dalam masa ini, Imam Hasan berperang melawan Muawiyah yang merupakan musuh bebuyutan Imam Ali dan keluarganya sudah sekian lama mendambakan khilafah menjadi miliknya (mula-mula dengan dalih ingin menuntut darah Khalifah Ketiga dan kemudian secara tegas menyatakan ingin mengambil alih khilafah). Muawiyah membawa pasukannya ke Irak yang menjadi pusat pemerintahan Imam Hasan As dan memulai perang. Para panglima pasukan Imam Hasan juga secara perlahan terbeli dengan uang Muawiyah disertai janji-janji muluk sehingga mereka melawan Imam Hasan sedemikian sehingga memaksa Imam Hasan untuk berdamai dengan Muawiyah. Akhirnya Imam Hasan menyerahkan pemerintahannya kepada Muawiyah dengan beberapa syarat (di antaranya dengan syarat bahwa apabila Muawiyah mangkat khilafah harus dikembalikan kepada Imam Hasan dan keluarganya, keluarga dan para Syiah harus terjaga dari gangguan). [24]
Muawiyah semenjak masa-masa awal pemerintahannya telah melanggar syarat-syarat perdamaian. Imam Hasan selama masa imamahnya yang berlangsung selama 10 tahun hidup di bawah tekanan. Selama itu, Imam Hasan bahkan dalam rumahnya saja tidak pernah merasa aman. Pada akhirnya pada tahun 50 Hijriah atas provokasi dan perintah Muawiyah, Imam Hasan gugur sebagai syahid akibat racun yang dibubuhi oleh istrinya. [25]
Haram Imam Husain As di Karbala
3. Imam Husain As
Artikel Utama: Imam Husain As
Imam Husain (Sayid al-Syuhada) putra kedua Imam Ali dari Fatimah Zahra binti Rasulullah Saw lahir pada tahun 4 Hijriah. Setelah kesyahidan saudara tuanya, Imam Hasan As, berdasarkan perintah Allah Swt dan wasiat saudaranya menjabat sebagai imam. [26]
Periode imamah Imam Husain As berlangsung selama 10 tahun kecuali 6 bulan terakhir semasa dengan khilafah Muawiyah. Pada masa itu, Imam Husain As hidup di bawah tekanan. Muawiyah yang berusaha mengukuhkan fondasi khilafahnya mengangkat putranya yang merupakan seorang yang tidak mengenal etika dan agama Yazid sebagai khalifah. [27]
Pada pertengahan tahun 60, Muawiyah meninggal dunia dan putranya Yazid yang menggantikannya sebagai khalifah. [28]
Segera setelah ayahnya wafat, Yazdi menginstruksikan kepada gubernur Madinah untuk mengambil baiat dari Imam Husain dan kalau ia menolak untuk memberikan baiat maka kepalanya harus dikirim ke Syam (Suriah)!! Setelah gubernur Madinah menyampaikan permintaan Yazid kepada Imam Husain As untuk berbaiat, Imam Husain meminta waktu untuk memikirkan permintaan itu dan pada malam harinya Imam Husain bertolak ke Mekkah bersama keluarganya. Imam Husain berdiam dan mencari perlindungan di Ka’bah yang merupakan Rumah Tuhan tempat aman secara resmi dalam islam. [29]
Gelombang surat berdatangan dari Irak khususnya dari kota Kufah ke kota Mekkah memanggil Imam Husain As untuk datang ke Irak guna menjadi pemimpin dan pengatur urusan umat serta untuk memimpin gerakan perlawanan melawan pemeritahan zalim. [30]
Pada musim haji, Imam Husain memperoleh informasi bahwa sekelompok orang bayaran Yazid dengan pakaian haji masuk ke kota Mekkah. Mereka datang dengan satu misi yaitu untuk membunuh Imam Husain As. [31]
Imam Husain menyampaikan pidato singkat di hadapan jamaah haji yang berjumlah sangat banyak dan mengabarkan kepada mereka tentang keinginan Imam Husain untuk pergi ke Irak dan demikian juga kesyahidan yang akan dijumpainya dalam perjalanan ini. Imam Husain As meminta pertolongan kepada umat Muslim untuk membantunya dan mempersembahkan diri mereka di jalan Allah. Keesokan harinya Imam Husain disertai dengan keluarga dan sekelompok sahabatnya bertolak menuju Irak. [32]
Sekelompok orang terkemuka mengingatkan akan bahaya yang akan menimpa Imam Husain As dan keluarganya dalam perjalanan dan perjuangan ini. Mereka menyampaikan itu demi kebaikan Imam Husain As sendiri. Namun Imam Husain menyatakan bahwa ia tidak akan berbaiat dan tidak akan menyetujui pemerintahan zalim dan tiran. Imam Husain menyadari bahwa ke manapun ia pergi dan di manapun ia berada mereka akan membunuhnya. Dan kini ia meninggalkan kota Mekkah demi untuk menjaga kehormatan Baitullah supaya tidak ternoda dengan pertumpahan darah. [33]
Karbala
Kurang lebih 70 KM dari kota Kufah terdapat sebuah padang bernama Karbala. Imam Husain As beserta keluarga dan orang-orang yang menyertainya dikepung oleh lasykar Yazid. Selama 8 hari, Imam Husain dan rombongan berhenti di tempat itu dan setiap hari ruang kepungan semakin sempit dan jumlah pasukan musuh semakin bertambah. Pada akhirnya Imam Husain As, keluarga dan para sahabatnya yang sangat kecil jumlahnya berperang melawan 30.000 pasukan musuh. [34]
Dalam beberapa hari ini, Imam Husain semakin mengukuhkan sikapnya dan menyeleksi sahabat-sahabatnya. Ketika malam tiba, Imam Husain mengundang para sahabatnya untuk bertemu dan menyampaikan, “Kita tidak punya jalan kecuali mati syahid. Mereka hanya berurusan dengan saya. Saya melepaskan baiat dari kalian. Barang siapa yang ingin pergi silahkan gunakan kegelapan malam untuk menyelamatkan diri kalian dari bala ini.” [35]
Hari terakhir 9 Muharram, ultimatum (entah baiat atau perang) pihak musuh kepada Imam Husain tiba. Imam Husain As memanfaatkan malam hari itu untuk beribadah dan memantapkan tekadnya untuk berperang keesokan harinya. [36] (silahkan lihat Hari Tasu’a).
Hari 10 Muharram tahun 61 Hijriah, Imam dengan jumlah pasukan yang sangat minim (keseluruhannya sebanyak 90 orang dimana 40 orang dari mereka merupakan sahabat lama Imam Husain dan 30an orang lainnya pada malam dan siang hari dari pasukan musuh bergabung dengan Imam Husain. Selebihnya adalah kerabat Imam Husain dari Bani Hasyim, anak-anak, saudara-saudara dan kemenakan, serta sepupu) berhadapan dengan pasukan musuh dan perang tidak seimbang berkecamuk. [37] (Lihat Hari Asyura).
Hari itu mereka berperang semenjak pagi hari hingga matahari tenggelam. Imam Husain dan para pemuda Bani Hasyim lainnya serta para sahabat hingga orang terakhir kesemuanya syahid (di antara mereka yang syahid dua anak kecil Imam Hasan dan seorang putra Imam Husain yang masih belia dan seorang bayi yang masih menyusui gugur sebagai syahid). [38]
Penawanan Keluarga Imam
Setelah perang usai, pasukan musuh memporak-porandakan kemah-kemah dan memenggal kepala para syahid lalu membawa keluarga Imam Husain As dengan kepala-kepala para syahid ke Kufah kemudian dibawa ke hadapan Yazid. [39]
Peristiwa Karbala dan para tawanan wanita dan putri-putri Ahlulbait diberandal dari kota ke kota. Pidato dan orasi yang disampaikan oleh Imam Sajjad dan Sayidah Zainab binti Ali bin Abi Thalib di Kufah dan Syam berhasil membongkar kedok Bani Umayah. Keduanya berpidato tentang propaganda Muawiyah selama puluhan tahun sedemikian sehingga Yazid menyatakan kebencian terhadap para anteknya karena telah membiarkan hal ini terjadi di hadapan khalayak ramai.
Tragedi Karbala sangat berpengaruh dalam sejarah Islam sehingga dalam rentang waktu yang cukup lama telah berhasil membongkar kedok pemerintahan Bani Ummayah dan semakin mengokohkan akar Syiah. Semenjak peristiwa Asyura, perlawanan-perlawanan dan pemberontakan terjadi dimana-mana berlangsung hingga 12 tahun. Orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Imam Husain As tidak satu pun dari mereka yang luput dan selamat dari tindak balas dendam. [40]
4. Imam Sajjad As
Artikel Utama: Imam Ali bin Husain As
Imam Ali bin Husain As yang bergelar Sajjad dan Zainal Abidin adalah anak dari Imam Ketiga, Imam Husain As. Ia lahir dari seorang putri raja Iran, Yazdgerd. Tiga orang lagi saudara Imam Sajjad syahid di Karbala. Namun karena jatuh sakit, Imam Sajjad tidak turut berperang dan bersama para tawanan dari Ahlulbait Imam Husain As digiring ke Syam. [41]
Setelah melalui masa penawanan, Imam Sajjad dikembalikan ke Madinah secara terhormat sesuai dengan perintah Yazid untuk mencegah kemarahan dan amukan massa. Imam Sajjad As untuk kedua kalinya, sesuai perintah Abdul Malik salah seorang Khalifah Bani Umayah, dengan tangan dan kaki terantai dibawa dari Madinah ke Syam dan kemudian kembali ke Madinah. [42]
Imam Keempat, setelah kembali ke Madinah berdiam diri di rumah dan menghabiskan waktu untuk beribadah kepada Allah Swt. Imam Sajjad As tidak menemui seorang pun kecuali beberapa orang khusus (khas) Syiah seperti Abu Hamzah Tsumali, Abu Khalid Kabili dan orang-orang semisalnya. Mereka mempelajari ajaran-ajaran Ilahiah dari Imam Sajjad As dan menyebarkannya kepada orang-orang Syiah.
Dengan cara seperti ini ajaran Syiah semakin berkembang luas yang hasilnya dapat dijumpai pada masa imamah Imam Kelima, Imam Baqir As. Shahifah Sajjadiyah yang mencakup 57 doa merupakan salah satu karya Imam Sajjad As. [43]
Setelah 35 tahun menjalani masa imamah, Imam Sajjad syahid pada usia 95 tahun akibat racun Walid bin Abdul Malik yang diperintahkan oleh Hisyam salah seorang Khalifah Bani Umayah. [44]
5. Imam Baqir As
Artikel Utama: Imam Muhammad bin Ali As
Imam Muhammad bin Ali yang lebih dikenal dengan nama Baqir al-‘Ulum (Sang Penyingkap Ilmu). Gelar Bāqir al-‘Ulum ini diberikan oleh Rasulullah Saw kepadanya. Imam Baqir As lahir pada tahun 57 dan ia turut menjadi saksi atas tragedi Karbala. Ketika itu usianya baru menginjak 4 tahun. Imam Baqir As mencapai posisi imamah setelah ayahnya berdasarkan perintah Allah Swt dan diperkenalkan oleh pendahulunya. Imam Baqir As gugur sebagai syahid pada tahun 114 atau 117 (sesuai dengan sebagian riwayat Syiah, Imam Baqir diracun oleh Ibrahim bin Walid bin Abdul Malik kemenakan Hisyam Khalifah Bani Umayah). [45]
Pada masa Imam Baqir As, karena kezaliman Bani Umayah kepada umat, setiap hari terjadi perang dan pemberontakan di mana-mana yang menyita perhatian, waktu dan tenaga aparat pemerintahan sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengusik Ahlulbait As. [46]
Dari sisi lain, terjadinya tragedi Karbala dan ketertindasan Ahlulbait semakin menyedot perhatian dan membuat umat Islam simpati terhadap mereka sehingga tersedia kesempatan berharga bagi Imam Baqir As untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam hakiki dan Ahlulbait kepada masyarakat. Kondisi seperti ini tidak alami oleh para Imam sebelumnya. Banyaknya hadis dan riwayat yang tidak terbilang banyaknya yang diriwayatkan dari Imam Baqir As adalah saksi nyata atas kondisi yang kondusif ini.[47]
6. Imam Shadiq As
Artikel Utama: Imam Ja'far bin Muhammad As
Imam Ja’far bin Muhammad (Shadiq) putra Imam Kelima, Imam Muhammad Baqir As lahir tahun 83 Hijriah dan syahid pada tahun 148 (65 tahun) akibat diracun oleh Mansur Khalifah Abbasi. [48]
Imam Shadiq As adalah Imam yang usianya lebih panjang dan lebih lama periode imamahnya. Tentunya setelah Imam Mahdi yang hidup dalam masa ghaibah. Pada masa imamah Imam Shadiq As berkat adanya perlawanan dan pemberontakan di mana-mana dan khususnya pemberontakan Musawwadah (bendera hitam) yang bangkit untuk menggulingkan pemerintahan Bani Umayah. Pemberontakan dan peperangan ini berujung pada jatuhnya Bani Umayah. Kesempatan yang dimanfaatkan dengan baik oleh Imam Kelima selama 20 tahun imamah untuk menyebarkan hakikat-hakikat Islam dan ajaran-ajaran Ahlulbait As semakin terbuka lebar bagi Imam Shadiq As. [49]
Selama 34 tahun masa imamahnya, Imam Shadiq As menghabiskan waktunya untuk menyebarkan ajaran-ajaran agama dan menggembleng ribuan ulama dalam pelbagai bidang keilmuan seperti Zurarah, Muhammad bin Muslim, Mukmin Thaq, Hisyam bin Hakam, Aban bin Taghlib, Huraiz, Hisyam Kalbi Nisabih, Jabir bin Hayyan, dan lainnya. Bahkan sebagian ulama Sunni seperti Sufyan Tsauri, Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi), Qadhi Sakuni, Qadhi Abu al-Bakhtari dan lain sebagianya adalah orang-orang yang menuntut ilmu di hadapan Imam Shadiq As (dalam sejarah dikenal terdapat 4000 lulusan ulama dari madrasah Imam Shadiq As). [50]
Hadis-hadis dari Shadiqain (Imam Kelima dan Imam Keenam) yang dikutip berasal dari kumpulan-kumpulan hadis dari Rasulullah Saw dan 10 Imam lainnya. [51]
Mansur Abbasi memerintahkan untuk mendatangkan Imam Shadiq dari Madinah (Imam Shadiq sebelumya pernah datang ke Irak atas perintah Safah Khalifah Abbasi dan sebelumnya juga pernah didatangkan ke Syam bersama Imam Kelima atas peritah Hisyam Khalifah Abbasi).
Mansur mengawasi Imam Shadiq As selama beberapa waktu dan berulang kali telah berniat untuk membunuh Imam Ja’far. Namun akhirnya ia membolehkan Imam Shadiq untuk kembali ke Madinah. Imam Shadiq terpaksa harus taqiyyah selama sisa hidupnya dan hidup jauh dari hiruk-pikuk masyarakat hingga ia syahid akibat diracun oleh Mansur. [52]
Haram Imam Musa Kazhim di Kazhimain Baghdad
7. Imam Kazhim As
Artikel Utama: Imam Musa bin Ja’far As
Imam Ketujuh Musa bin Kazhim putra Imam Keenam lahir pada tahun 128 Hijriah dan gugur syahid tahun 183 H dalam penjara karena diracun. [53]
Imam Ketujuh semasa dengan Khalifah Abbasiyah seperti Mansur, Hadi, Mahdi dan Harun. Ia hidup pada masa yang sangat mencekik dan pelik serta banyak mempraktikkan taqiyyah. Tatkala dalam perjalanan haji ke Madinah, Khalifah Abbasiyah pada waktu itu memerintahkan untuk menangkap Imam Kazhim ketika sedang salat di Masjid Nabawi. Imam Kazhim As ditangkap dengan rantai dan dijebloskan ke dalam penjara. Ia dibawa dari Madinah ke Basrah dan dari Basrah ke Baghdad. Beberapa tahun lamanya ia dipindahkan dari satu penjara ke penjara lainnya hingga akhirnya gugur syahid di penjara Baghdad akibat diracun oleh Sindi bin Syahik. Imam Musa Kazhim dimakamkan di sebuah tempat bernama Maqabir Quraisy yang kini bernama kota Kazhimain, Baghdad Irak. [54]
Haram Imam Ridha As di Mashyad
8. Imam Ridha As
Artikel Utama: Imam Ali bin Musa As
Imam Kedelapan Ali bin Musa al-Ridha adalah putra Imam Ketujuh yang lahir pada tahun 148 Hijriah (menurut kebanyakan kitab sejarah) dan syahid pada tahun 203 Hijriah. [55]
Setelah kesyahidan ayahnya, berdasarkan perintah Allah dan diperkenalkan oleh pendahulunya, Imam Ridha As menduduki posisi imamah dan untuk beberapa lama dalam periode imamahnya semasa dengan Harun Khalifah Abbasiyah dan setelah itu putranya Amin dan putranya yang lain yaitu Makmun. [56]
Setelah Khalifah Harun meninggal, Makmun berselisih dengan saudaranya, Amin. Perselisihan ini berujung pada peperangan berdarah dan berakhir pada terbunuhnya Amin. Hingga pada masa itu, kebijakan politik Bani Abbasiyah dalam menghadapi para sayid Alawi penuh dengan kekerasan dan meski terkadang salah seorang Alawi bangkit mengusung perlawanan dan pemberontakan. Pemberontakan ini tentuny sangat menyulitkan pemerintahan Bani Abbasiyah. Para Imam Syiah meski tidak bekerja sama dengan perjuangan dan para pengusung perlawanan, namun orang-orang Syiah yang pada waktu itu cukup banyak dari sisi kuantitas (jumlah) selalu menjadikan para Imam Ahlulbait As sebagai para pemimpin agama dan menganggap para aparat pemerintahan sebagai orang-orang berdosa dan sangat jauh berbeda dengan para pemimpin agama. Kondisi yang menguntungkan orang-orang Syiah ini sangat berbahaya bagi aparat pemerintahan khilafah dan mereka merasa terancam dengan kondisi seperti ini. [57]
Makmun berpikir untuk menyudahi kebijakan politik yang telah digunakan selama 70 tahun oleh para pendahulunya dan merumuskan cara baru yang sesuai dengan tuntutan zaman ketika itu. Karena itu, Makmun memutuskan untuk menjadikan Imam Ridha As sebagai putra mahkota karena pada sayid Alawi tatkala mereka melihat dekat dengan kekuasaan maka tentunnya tidak akan lagi bangkit mengadakan perlawanan. Orang-Orang Syiah dengan menyaksikan Imam mereka dekat dengan kekuasaan yang orang-orang di sekelilingnya sebagai orang-orang yang bergelimang dosa, tentunya mereka tidak lagi memiliki keyakinan yang dalam kepada Imam. Dengan demikian, bangunan mazhab mereka roboh dan tidak lagi menjadi ancaman bagi para aparat pemerintahan. [58]
Setelah mencapai maksud ini, maka melenyapkan Imam Ridha tidaklah begitu sulit bagi Makmun. Demikian pikiran Makmun. Untuk merealisasikan keputusan ini, Makmun meminta Imam Ridha As dari Madinah untuk datang ke Moro. Pada awalnya, Makmun menawarkan khilafah kepada Imam Ridha As namun kemudian berubah menjadi putra mahkota. Imam Ridha menolak secara halus permintaan itu namun Makmun mendesak supaya Imam Ridha As menerima tawaran itu. Akhirnya Imam Ridha As menerima tawaran menjadi putera mahkota itu dengan syarat bahwa ia tidak turut campur dalam urusan pemerintahan, mengangkat dan menurunkan. [59]
Tidak lama berselang, Makmun menyadari kesalahanyna dengan menyaksikan perkembangan pesat Syiah. Akhirnya ia memutuskan untuk meracun Imam Ridha As dan akibat racun itu Imam Ridha As gugur syahid. Imam Kedelapan dikebumikan di kota Thus Iran yang kini terkenal dengan kota Masyhad. [60]
Haram Imam Jawad di Kazhimain Baghdad
9. Imam Jawad
Artikel Utama: Imam Muhammad bin Ali bin Musa As
Imam Muhammad bin Ali (yang digelari dengan Ibnu al-Ridha, Taqi, Jawad) putra Imam Kedelapan lahir pada tahun 195 Hijriah di kota Madinah. Sesuai dengan beberapa riwayat Syiah, Imam Jawad syahid pada tahun 220 Hijriah akibat provokasi Khalifah Mu’tashim salah seorang Khalifah Bani Abbasiyah. Ia menyuruh istri Imam Jawad yang merupakan putri Makmun Abbasi untuk meracuni Imam Jawad As. Imam Jawad dimakamkan di samping datuknya Imam Ketujuh di Kazhimain. [61]
Imam Jawad menduduki pos imamah berdasarkan perintah Allah Swt dan setelah diperkenalkan pendahulunya (Imam Ridha As). Tatkala ayahandanya wafat, Imam Kesembilan sendiri berada di Madinah. Makmun memintanya untuk datang ke Baghdad yang ketika itu merupakan pusat pemerintahan Khilafah Bani Abbasiyah. Secara lahir, Makmun menampakkan kecintaannya kepada Imam Jawad sehingga ia menikahkan putrinya dengan Imam Jawad.
Makmun menjaga Imam Jawad di Baghdad dan pada hakikatnya ingin mengontrol Imam Jawad dalam dan luar rumah. Setelah beberapa lama Imam Jawad kembali ke Madinah hingga akhir masa pemerintahan Makmun. Setelah Makmu mangkat, Mu’tashim yang naik takhta khilafah dan kembali meminta Imam Jawad ke Baghdad dan mengawasinya. Pada akhirnya Imam Jawad syahid akibat diracun oleh istrinya atas perintah Mu’tashim. [62]
10. Imam Hadi As
Artikel Utama: Imam Ali bin Muhammad Al-Hadi As
Imam Ali bin Muhammad As (bergelar Naqi atau Hadi) adalah putra Imam Kesembilan lahir pada tahun 212 Hijriah di kota Madinah. Imam Hadi syahid pada tahun 254 Hijriah akibat diracun oleh Khalifah Abbasiyah, Mu’taz (menurut riwayat-riwayat Syiah). [63]
Imam Hadi As pada masa hidupnya semasa dengan 7 Khalifah Abbasiyah yaitu Makmun, Mu’tashim, Watsiq, Mutawakkil, Muntashir, Musta’in, Mu’taz. [64]
Mutawakkil pada tahun 243 memanggil Imam Hadi dari Madinah ke Samarrah – yang menjadi ibukota pemerintahan - karena omongan-omongan yang tidak senonoh tentang Imam Hadi. Setelah Imam Hadi masuk ke kota Samarra, secara lahir Mutawakkil tidak melakukan tindakan apa-apa atas Imam Hadi namun di balik panggung Mutawakkil sama sekali tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sedikit pun untuk tidak mengganggu dan mengusik Imam Hadi. Berulang kali Mutawakkil memanggil Imam Hadi dengan maksud untuk membunuhnya dan terkadang memerintahkan kepada orang-orangnya untuk menggeledah rumah Imam Hadi. [65]
Mutawakkil tiada bandingannya di antara para khalifah Abbasiyah dalam memusuhi Ahlulbait khususnya keapda Ali As. Ia secara terang-terangan melaknat Imam Ali. Mutawakkil menyusuh salah seorang untuk meniru-niru mimik Imam Ali di acara-acara istana dengan maksud ingin melecehkannya. Pada tahun 237 Hijriah, Mutawakkil memerintahkan untuk menghancurkan kubah Haram Imam Husain As di Karbala demikian juga menginstruksikan untuk meratakan rumah-rumah yang ada terdapat di sekitar tempat itu dengan tanah. [66]
Pada masa Mutawakkil, kondisi hidup para sayid Alawi – yang tinggal di Hijaz – sangat memprihatinkan sedemikian sehingga para wanitanya tidak memiliki pakaian yang cukup dan sebagian dari mereka hanya memiliki satu mukenah untuk salat dan harus bergantian mengenakan mukenah itu untuk salat. di kemah yang sudah lusuh. Kondisi yang sama juga dialami oleh para sayid Alawi di Mesir. Imam Kesepuluh sabar menghadapi siksaan dan gangguan Mutawakkil hingga ia mangkat. Setelah Mutawakkil tutup usia, yang menggantikannya adalah Muntashir, Musta’in dan Mu’taz. Imam Hadi syahid akibat diracun oleh Mu’taz. [67]
11. Imam Hasan Askari As
Artikel Utama: Imam Hasan Askari As
Hasan bin Ali (digelari Askari) putra Imam Kesepuluh lahir pada tahun 232 Hijriah dan syahid pada tahun 260 Hijriah (menurut sebagian riwayat Syiah) akibat diracun oleh Khalifah Abbasiyah, Mu’tamid. [68]
Setelah ayahandanya wafat, Imam Askari meraih posisi imamah berdasarkan perintah Allah Swt dan setelah diperkenalkan oleh pendahulunya. Imam Kesebelas menjalani periode imamah selama 7 tahun. Selama masa imamah ini, Imam Askari sangat banyak mempraktikkan taqiyyah karena perlakuan yang berlebihan pemerintahan Abbasiyah. Imam Askari tidak banyak berhubungan dengan masyarakat bahkan orang-orang Syiah secara umum kecuali orang-orang tertentu.
Masa hidup Imam Askari lebih banyak dihabiskan dalam penjara. Alasan banyaknya tekanan ini disebabkan oleh beberapa hal di antaranya: pertama, pada masa itu populasi masyarakat Syiah semakin banyak dan kekuataannya sudah diperhitungkan. Semua orang tahu bahwa komunitas Syiah meyakini imamah dan mereka juga telah mengenal para Imam. Karena itu, pihak pemerintah Abbasiyah mengawasi secara ketat gerak-gerik para Imam dan dengan segala cara berupaya untuk melenyapkan mereka. Kedua, pihak pemerintah Abbasiyah tahu bahwa orang-orang khusus Syiah meyakini putra Imam Kesebelas dan menilainya sebagai Mahdi Yang Dijanjikan karena adanya riwayat-riwayat mutawatir Syiah dan Sunni bahwa Rasulullah Saw telah mengabarkan tentang keberadaannya semenjak dulu. [69]
Karena itu, Imam Kesebelas lebih banyak diawasi ketimbang para Imam sebelumnya dan khalifah yang berkuasa pada masa itu memutuskan dengan segala cara supaya silsilah imamah Syiah berakhir. Tatkala diberitakan kepada khalifah yang berkuasa pada waktu itu bahwa Imam Askari jatuh sakit, ia mengirim tabib (dokter) disertai beberapa orang kepercayaannya dan beberapa hakim ke rumah Imam Hasan Askari As untuk mengawasi kondisi Imam Askari dan segala sesuatu yang terjadi di dalam rumahnya.
Setelah kesyahidan Imam Askari, khalifah Abbasiyah yang memerintah saat itu tetap saja mengawasi rumah Imam Kesebelas dan memeriksa istri dan para budak perempuan Imam Askari As untuk memastikan kehamilannya. Pemeriksaan ini berlangsung selama dua tahun semenjak kesyahidan Imam Askari hingga benar-benar mereka putus asa. [70]
Imam Kesebelas dimakamkan di rumahnya di kota Samarra di dekat kuburan ayahadannya. [71]
12. Imam Mahdi Ajf
Artikel Utama: Imam Muhammad bin Hasan Ajf
Mahdi Mau’ud (yang umumnya dikenal dengan Imam Ashr dan Shahib al-Zaman) adalah putra Imam Kesebelas. Nama dan julukannya sama dengan nama dan julukan (kunya) Rasulullah Saw. Imam Mahdi Yang Dijanjikan lahir pada tahun 255 Hijriah di kota Samarra dan hingga tahun 260 H (yang merupakan tahun kesyahidan ayahandanya) berada di bawah bimbingan dan gemblengan ayahandanya.
Selama itu, keberadaan Imam Mahdi tidak diketahui oleh masyarakat kecuali beberapa orang-orang khusus Syiah. Setelah kesyahidan Imam Askari, periode imamah Imam Mahdi bermula dan sesuai dengan perintah Allah Swt tersembunyi dari pandangan masyarakat (gaib). Gaibnya Imam Mahdi Ajf dibagi menjadi dua bagian:
Ghaibat Sughra yang bermula semenjak tahun 260 Hijriah hingga tahu 329 Hijriah (yang kurang lebih berlangsung selama 70 tahun). Pada masa-masa ini, Imam Mahdi berhubungan dengan masyarakat melalui empat deputi khususnya (nuwab khas). [72]
Ghaibat Kubra yang bermula dari tahun 329 Hijriah dan berlanjut hingga kini. Rasulullah Saw dalam sebuah hadis yang diterima oleh Sunni dan Syiah bersabda: “Sekiranya tidak tersisa dari usia dunia kecuali hanya satu hari maka Allah Swt akan memanjangkan hari itu hingga Mahdi dari keturunanku muncul dan memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi dengan kezaliman.”[73]
Literatur Sunni tentang Para Imam
Di samping apa yang disampaikan di atas, ulama dan masyarakat Sunni senantiasa menyebut para Imam As dengan penuh penghormatan dan kemuliaan sehingga karena rasa hormat ini mendorong mereka untuk menulis kitab terkait dengan kemuliaan-kemuliaan dan keutamaan-keutamaan mereka. Kitab-kitab yang telah ditulis oleh ulama Sunni terkait dengan keutamaan Ahlulbait tidak terhitung banyaknya. Salah satu tindakan yang menginsiprasi banyak penulis dalam hal ini adalah sebuah kasidah karya Abu al-Fadhl Yahya bin Salamah Hashkafi yang memuji satu persatu Imam Duabelas dalam kasidah tersebut. [74]
Berikut ini adalah beberapa contoh kitab yang yang ditulis oleh ulama Sunni terkait dengan keutamaan para Iam Ahlulbait As:
1. Mathalib al-Su’ul fi Manaqib Ali al-Rasul, Kamaluddin Ibnu Thalha Syafi’i (w 562 H), cet. Najaf, Dar al-Kutub al-Tijariyah.
2. Tadzkirah Khawwash al-Ummah fi Khasaish al-Aimmah, karya ulama Hanafi, Yusuf bin Qazhawagli, Sibth Ibnu Jauzi (w 654 H), telah berulang kali dicetak salah satuna di Najaf, tahun 1369 H.
3. Al-Fushul al-Muhimmah fi Ma’rifat al-Aimmah, Ibnu Sabbagh Maliki (w 855 H), yang telah berulang kali dicetak salah satunya di Najaf, Dar al-Kutub al-Tijariyah. Ibnu Sabbagh dalam karyanya ini banyak mengutip kitab al-Irsyad Syaikh Mufid. [75]
4. Al-Syadzarat al-Dzahabiyah atau al-Aimmah al-Itsna ‘Asyar, karya Syamuddin Ibnu Thulun, salah seorang ulama Hanafi kelahiran Suriah (w 953 H), cet. Beirut, 1958 H.
5. Al-Ittihaf Bihubb al-Asyraf, karya Abdullah bin Amir Syabrawi, salah seorang ulama Syafi’i berkebangsaan Mesir (w 1172 H), cet. Kairo, 1313 H.
6. Nur al-Abshar fi Manaqib Ali Bait al-Nabi al-Mukhtar, Sayid Mu’min Syablanji (w 1290 H), telah berulang kali dicetak salah satunya di Mesir, 1346 H.
7. Yanabi’ al-Mawaddah, karya Sulaiman bin Ibrahim Qundusi, salah seorang ulama Hanafi (w 1294 H), cet. Istanbul, 1302 H. [76]
Catatan Kaki
1. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm. 197-199.
2. Makarim Syirazi, Payām Qur’ān, jld. 9, Imāmān dar Syi’ah, hlm. 182 dan seterusnya.
3. Terjemahan Persia al-Mizan, jld. 13, hlm. 274.
4. Al-Tibyan, Syaikh Thusi, jld. 1, hlm. 214.
5. Al-Tibyan, Syaikh Thusi, jld. 1, hlm. 227; silahkan lihat Najjasyi, hlm. 440.
6. Untuk contoh-contoh lainnya silahkan lihat, ibid, hlm. 219, 298.
7. Misalnya silahkan lihat, Sayid Murtadha, hlm. 502-503; Allamah Hilli, hlm. 314.
8. Silahkan lihat, Bukhari, jld. 8, hlm. 127; Muslim, jld. 3, hlm. 1454-1453; Abu Daud, jld. 4, hlm.106; Tirmidzi, jld. 4, hlm 501.
9. Bandingkan dengan Nu’mani, hlm. 62; Ibnu Babawaih, hlm. 469 dan seterusnya; Khazar, 49 dan seterusnya; Ibnu ‘Ayyasyh, hlm. 4.
10. Silahkan lihat, Ahmad bin Hanbal, jld. 1, hlm. 398, 406; Hakim, jld. 4, hlm. 501; bandingkan dengan Nu’mani, 74-75; Khazar, hlm. 23 dan seterusnya; Ibnu Ayyash, hlm 3.
11. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 199.
12. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 199.
13. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 199-200.
14. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 200.
15. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 200-201.
16. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 201.
17. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 201.
18. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 201-202.
19. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 202.
20. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 202-203.
21. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 204-205.
22. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 205.
23. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 205.
24. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 205-206.
25. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 206-207.
26. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 207.
27. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 207-208.
28. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 208.
29. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 209.
30. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 209-210.
31. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 210.
32. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 210.
33. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 211.
34. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 211-212.
35. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 212.
36. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 212-213.
37. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 213.
38. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 213.
39. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 213-214.
40. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 214.
41. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 215-216.
42. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 216.
43. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 216.
44. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm. 216.
45. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 217.
46. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 217.
47. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 217-218.
48. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 218.
49. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 218-219.
50. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 219.
51. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 219.
52. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 220.
53. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 221.
54. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 221.
55. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 222.
56. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 222.
57. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 222-223.
58. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 223.
59. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 223-224.
60. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 224.
61. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 224-225.
62. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 225.
63. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 225-226.
64. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 226.
65. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 226.
66. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 226-227.
67. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 227.
68. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 227-228.
69. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 228.
70. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 229.
71. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 229.
72. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 230.
73. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 231.
74. Sibth Ibnu Jauzi, hlm. 365-367; Ibnu Thulun, hlm. 40-43.
75. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 199.
76. Thabathabai, Syi’ah dar Islām, hlm, 199.
Daftar Pustaka
1. Nahj al-Balāghah, Penj. Sayid Ja’far Syahidi, Tehran, Ilmi wa Farhanggi, 1377 S.
2. Thabathabai, Sayid Muhammad Husain, Syi’ah dar Islām, Qum, Daftar Intisyarat Islami, 1383 S.
3. Ibnu Babawaih, Muhammad, al-Khishāl, 1403 H.
4. Ibnu Shabbagh Maliki, Ali, al-Fushul al-Muhimmah, Najaf, Dar al-Kutub al-Tijariyah.
5. Ibnu Thulun, Muhammad, al-Aimmah al-Itsnā Asyar, Beirut, 1958 M.
6. Ibnu ‘Ayyash Jauhari, Ahmad, Muqathadhib al-Atsar, Qum, 1379 H.
7. Ibnu Yamin Farayumundi, Diwān Asy’ar, Editor oleh Husain Ali Bastani Rad, Tanpa Tempat, Intisyarat Kitabkhaneh Sanai, 1344 S.
8. Abu Daud Sajistani, Sulaiman, Sunan, Kairo, Dar Ihya al-Sunnah al-Nabawiyah.
9. Ahmad bin Hanbal, Musnad, Kairo, 1313 H.
10. Bukhari, Muhammad, Shahih, Istanbul, 1315 H.
11. Tirmidzi, Muhammad, Sunan, Kairo, 1357 H/1938 M.
12. Hakim Naisyaburi, Muhammad, al-Mustadrak, Haidar Abad, 1334 H.
13. Khazar Qummi, Ali, Kifāyat al-Atsar, Qum, 1401 H.
14. Sibth Ibnu Jauzi, Yusuf, Tadzkirah al-Khawwāsh, Najaf, 1383 H/1964 M.
15. Sayid Murtadha, Ali, al-Dzakhirah, Qum, 1411 H.
17. Thabathabai, Abdul Aziz, Ahlulbait As fi al-Maktabah al-Arabiyah, Qum, 1405 H.
18. Allamah Hilli, Hasan, Kasyf al-Murād fi Syarh Tajrid al-I’tiqād, Qum, Maktabah al-Mustafawi.
19. Kitab Sulaim bin Qais, Beirut, 1400 H/1980 M.
20. Muslim bin Hajjaj Naisyaburi, Kairo, 1955 M.
21. Najjasyi, Ahmad, al-Rijāl, Qum, 1407 H.
22. Nu’mani, Muhammad, al-Ghaibah, Beirut, 1403 H/1983 M.
(Sadeqin/Wiki-Shia/Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email