Pesan Rahbar

Home » » Prof. Sumanto Al-Qurtuby: Apakah Umat Islam Wajib Ikuti Fatwa MUI?

Prof. Sumanto Al-Qurtuby: Apakah Umat Islam Wajib Ikuti Fatwa MUI?

Written By Unknown on Wednesday, 16 November 2016 | 20:21:00


Buntut padangan keagamaan Majelis Ulama Indonesia soal Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama terkait dugaan penistaan agama lahirlah demonstrasi yang bertajuk ‘Kawal Fatwa MUI’. Selain turut mewarnai masa kompetisi Pilgub DKI, demo anti-Ahok yang diikuti sejumlah petinggi partai itu dinilai tidak lagi soal Al Maidah 51. Dalam pertemuan delegasi demo dan Wapres Jusuf Kalla di Istana (4/11), Kapolri Tito Karnavian menyatakan telah terjadi perubahan permintaan dari menuntut “proses hukum” menjadi “Ahok harus ditangkap”.

Isu soal kasus Ahok, seperti kata KH. Said Aqil Sirajd, semakin liar meski yang bersangkutan telah minta maaf. Tanpa tenden aling-aling, pandangan MUI soal Ahok yang turut memicu situasi seperti ini dikritik tokoh masyarakat Ahmad ‘Buya Syafi’i Ma’arif dan KH. Mustafa ‘Gus Mus’ Bisri.

Buya Syafi’i menyebut seharusnya MUI melakukan kajian yang lebih matang terkait pernyataan Ahok yang cukup sensitif bagi masyarakat yang tengah belajar bertoleransi. Karena itu, tokoh senior Muhammadiyah ini tidak sependapat dengan fatwa MUI yang mengatakan bahwa Ahok telah menghina Al Qur’an dan menghina ulama.

Berbicara soal profil MUI ini, Prof. Sumanto Al-Qurtuby menyebut “lembaga plat merah” yang dibentuk oleh Orde Baru pada tahun 1975 ini dalam rangka untuk “menyenangkan” atau “membahagiakan” umat Islam dan sejumlah tokoh Muslim. Pada awal-awal pendirian rezim Orde Baru dulu, Soeharto dianggap lebih pro dan “menganakemaskan” kelompok abangan, khususnya lagi kaum “Kejawen” (baik sipil maupun militer), dalam struktur pemerintahan, dan kurang memberi “porsi” kepada umat Islam.

“Nah, supaya tidak disorot “miring ke kiri”, beliau mendirikan MUI ini yang tugasnya memberi nasehat kepada pemerintah terkait dengan masalah atau isu-isu keagamaan dan keislaman,” kata pria yang mengajar di King Fahd University Saudi ini.

Lebih lanjut, Sumanto menyebtu MUI itu hanya sebuah lembaga tempat berkumpulnya sejumlah ormas Islam di Indonesia kecuali Syiah dan Ahmadiyah yang dianaktirikan. Seperti lembaga atau ormas lain, baik yang “plat merah”, “plat hijau” maupun “plat kuning”, MUI memiliki cabang sampai ke daerah-daerah di Indonesia, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten.

“Pula, seperti umumnya lembaga dan ormas keagamaan, MUI juga mempunyai banyak divisi atau “departemen” yang mengurusi banyak hal. Apakah semua pengurus MUI itu “ulama”? Belum tentu.”

Di berbagai daerah diluar Jawa, para pengurus dan elit MUI itu banyak yang berprofesi sebagai birokrat, politisi, polisi, tentara, pengusaha, dan lain sebagainya yang sama sekali tidak memiliki kualifikasi keulamaan serta “nol jumbo” wawasan keislamannya.

“Tetapi mereka “ditokohkan” oleh masyarakat Islam setempat karena dipandang memiliki status sosial tinggi,” kata jebolan IAIN Walisongo ini.

Apakah semua pengurus MUI dari pusat sampai daerah itu memiliki pandangan yang sama dan seragam mengenai masalah keislaman, sosial-keagamaan, dan kebangsaan? Tentu saja tidak. Tidak semua pengurus MUI itu berpandangan “saklek”, konservatif, intoleran, anti-pluralisme, anti-kebangsaan, dan seterusnya. Banyak dari mereka yang berwawasan terbuka, progresif, toleran, cinta kebangsaan, dan lain sebagainya.

“Jadi semua tergantung dari individu-individu. Banyak teman-temanku yang “keren abis” juga duduk di kepengurusan MUI, baik di pusat maupun daerah,” katanya.

Apakah semua pernyataan yang keluar dari MUI itu disebut “fatwa? Tentu saja tidak, kata Sumanto. Ada yang hanya sebatas pendapat biasa atau “sikap keprihatinan” untuk menyikapi kondisi atau masalah sosial-politik-keagamaan-kebangsaan.

“Disebut “fatwa” jika itu diputuskan melalui “departemen fatwa” di MUI serta melalui prosedur penggalian hukum Islam tertentu.”

Intelektual Muslim asal Jawa Tengah ini kembali bertanya, “Apakah umat Islam wajib mengikuti fatwa yang dikeluarkan MUI?”

Tentu saja tidak, katanya. “Fatwa” alias pendapat hukum, bagi Sumanto, tidak mengikat. Fatwa itu hanya sebuah “pendapat” yang bisa dikeluarkan oleh siapa saja yang memiliki kualifikasi sebagai “mufti”. Dan MUI bukan satu-satunya yang mengeluarkan fatwa. Ormas-ormas Islam lain, seperti NU atau Muhammadiyah, juga sering sekali mengeluarkan fatwa yang tidak jarang berseberangan dengan fatwa MUI dan ormas lain.

“Umat Islam bebas dan merdeka untuk memilih fatwa mana yang dianggap paling “oye”,” katanya dalam catatannya di akun facebook pribadinya (14/11)

Lalu, mengapa akhir-akhir ini orang-orang pada “hiruk-pikuk” sampai ada gerakan jihad “pengawal fatwa MUI” segala? “Ya itu biasa orang-orang yang “lebay njeblay” yang dimobilisasi oleh para “makelar politik” dan “bisnismen agama” itu,” katanya.[]

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: