Saat menyampaikan keterangan di sela-sela ibadah umrah di Mekah, Arab Saudi, Habib Rizieq menyatakan bahwa dirinya, bersama umat Islam, akan terus mengingatkan TNI untuk terus berpihak pada rakyat Indonesia.
“Setahu saya TNI itu punya Sapta Marga. TNI harus setia pada konstitusi. TNI tak punya pilihan kecuali bersama rakyat,” ujar Habib Rizieq, seperti terekam dalam video yang diunggah oleh Habiburrahman Bin Syawal Khan ke Facebook.
Habib Rizieq juga menjelaskan posisi dan fungsi TNI di tengah masyarakat. Menurutnya, TNI seharusnya berpihak pada rakyat.
“Kalau Presiden berseteru dengan rakyatnya, TNI harus berada di tengah untuk mendamaikan keduanya. Tapi kalau dua ini terus berseteru dan bisa mengganggu kestabilan negara, maka TNI harus berpihak kepada rakyat,” sambungnya lagi.
Selain itu, Habib Rizieq juga mengingatkan agar TNI dan Polri tetap setia pada rakyatnya dan tidak membela pihak-pihak yang memiliki kepentingan.
“Jangan membela cukong. Di negeri kita ada pemodal. Ada pemodal yang ngatur-ngatur TNI, Polri, Menteri. Ada pemodal yang ingin memaksakan kehendak. Ada orang kafir dipaksa untuk menjadi wakil presiden setelah bebas dari penjara akibat menista agama . Mereka ingin memaksakan kehendak mereka,” lanjut Habib Rizieq.
Ia pun mengajak semua umat agar menyelamatkan TNI dan Polri dari cengkeraman para pemodal yang ingin mengubah Indonesia sesuai dengan keinginan mereka.
“TNI bukan musuh kita, Polri bukan musuh kita, Pemerintah bukan musuh kita. Jadi kita mestinya menyelamatkan mereka, untuk dipisahka dari pemodal-peodal jahat. Insya Allah bisa kita kembalikan ke jalan benar,” ucap Habib Rizieq.
“Tapi kalau mereka sudah dirangkul sedemikian erat, apa boleh buat. Ulama harus menyelamatkan rakyat,” tutupnya.
Seperti diketahui, saat ini Habib Rizieq tengah berada di Mekah, Arab Saudi untuk menjalankan ibadah umrah. Namun selain itu, Habib Rizieq mengaku bahwa dirinya sengaja berangkat ke luar negeri agar tak ditangkap oleh polisi.
Jadi siapa yang antek aseng perlu diluruskan.
Siapakah Tomy Winata..??
Siapa yang tak kenal Tomy Winata? Pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang satu ini lihai dan licin bagaikan belut yang telah diolesi oli.
Bagaikan raksasa yang berdiri mengangkang, jaringan bisnisnya menggurita disegala aspek perekonomian di negeri ini.
Saking tajirnya Tommy Winata ini, orang bilang uangnya itu mungkin saja sudah tak ada nomor serinya lagi.
Namun bagaimanapun juga, patut kita akui keuletan dan kelihaian Tomy Winata dengan tangan dinginnya itu ia mengukir satu persatu unit bisnisnya bagaikan mengukir lekak-lekuk patung Jepara yang sulit dan rumit menjadi indah dan enak dilihat.
Semua unit bisnisnya dipoles sedemikian rupa menjadi sedemikian kinclongnya seperti tukang poles batu Bacan di Rawabening Jakarta yang lihai menghsluskan dan mengkilapkan batu bacan. yang saat ini sangat digemari dan diburu banyak orang karena telah menjadi tren di kalangan eksekutif muda dan kawula muda Jakarta.
Namun apa lacur, kali ini taipan cerdas yang disegani di negeri zamrud khatulistiwa ini terpaksa harus gigit jari dan terkapar tak berdaya setelah mimpi indahnya untuk meraup Margin Profit dari proyek jembatan Merak Banten dan Bakauheni Lampung itu gagal total ditangan Jokowi.
Proyek itu justru di kunci oleh Jokowi. Impiannya pun tumbang seketika.
Rupanya Jokowi tak setuju dengan sistem jembatan yang menghubungkan Merak Banten dengan Bakauheni Lampung itu. Menurut Jokowi biayanya terlalu besar, dan balik modalnya pun butuh waktu yang sangat lama kurang lebih sekitar 30 tahun lamanya. Setidaknya itu menurut perhitungan Jokowi.
Sebagai negara Maritim, Jokowi lebih cenderung mengoptimalkan fungsi kelautan dengan mekanisme tol lautnya itu yang menghubungkan dermaga-dermaga disetiap pulau dengan kapal-kapal besar. Bukan dengan bikin jembatan untuk menghubungkan antar pulau.
Padahal Tomy Winata ini sudah menggelontorkan fulus yang sangat besar. Bayangkan saja untuk melakukan survey dan studi pra-kelaikan (Feasibility Study), ia sudah tekor sekitar 1,5 triliun rupiah. Investasi yang sebegitu besarnya justru kandas ditangan Jokowi. Pil yang paling pahit yang terpaksa harus ditelan Tomy Winata di era Jokowi saat ini.
Ya mau bagaimana lagi, namanya juga resiko bisnis. Untung rugi dalam bisnis merupakan resiko tak terduga yang sudah pasti dipahami dengan betul bagi pebisnis handal sekaliber Tomy Winata.
Proyek Reklamasi Bali
SBY keluarkan Perpres Nomor 51 Tahun 2014 terkait perubahan terhadap peruntukan ruang sebagian kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang merupakan bagian dari Kawasan Teluk Benoa, Bali. Perpres tersebut merupakan revisi dari Perpres No. 45/2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan), menyebutkan perubahan sebagian status zona kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Kawasan Teluk Benoa, serta arahan umum pemanfaatan ruang kawasan tersebut.
Reklamasi Teluk Benoa ini adalah warisan bermasalah SBY.
Dalam Amdal, pelaksana proyek terdiri dari Adhi Karya, Waskita Karya, dan Hutama Karya menyatakan, pemasangan tiang-tiang penyangga jalan dilakukan menggunakan ponton. Nyatanya, mereka menguruk dengan tanah kapur.
Setelah mulai beroperasi tahun 2013, kita memang melihat ada banyak kerusakan mangrove. Sangat tidak sesuai dengan janji-janji manis saat hendak dibangun yang akan tetap menjaga mangrove. Sebelum proyek selesai sudah terlihat jelas kerusakannya.
Menyadari akan hal ini, SBY langsung terjun ke teluk Benoa untuk menanam mangrove. Tak tanggung-tanggung, beliau mengajak Christiano Ronaldo sebagai duta mangrove. Dan yang mengajak Christiano Ronaldo datang menjadi duta mangrove adalah Tomy Winata.
Tomy Winata adalah pendiri Artha Graha yang selama ini dinilai sangat dekat dengan SBY, selain Bakri dan yang sejenisnya. Tentu bukan sebuah kebetulan jika Tomy Winata adalah investor utama PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI). Sementara anda tau siapa yang mendapat izin pengelolaan reklamasi teluk Benoa selama 30 tahun? TWBI.
Tapi jika diteliti lebih dalam, Jokowi sepertinya melihat adanya kongkalikong antara Tomy Winata dan pemerintah sebelumnya. PT Bangungraha Sejahtera Mulia adalah anak perusahaan dari Artha Graha, BSM ini bekerjasama sharing profit dengan BUMD Banten dan Lampung, di mana Tomy Winata duduk sebagai komisarisnya. Sementara Pemprov Lampung dan Banten hanya memiliki 2.5% saham.
Terkait proyek ini, di tangan SBY lahir Perpres Nomor 86 tahun 2011 tentang Kawasan Strategis Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda (KSISS) atau yang lebih dikenal dengan istilah Jembatan Selat Sunda (JSS) itu.
Namun setelah SBY lengser, Jokowi menghentikan proyek ratusan triliun tersebut tanpa basa basi. Dihentikan, titik.
Proyek raksasa sebesar 225 Triliun Rupiah itu kini hanya tinggal kenangan. Padahal kalau saja jembatan itu jadi, sudah pasti pulau Jawa dan Sumatera akan maju pesat. Transportasi jadi lancar, suplai logistik antar pulau bukan menjadi hambatan lagi tanpa perlu menunggu jadwal kapal Ferry bersandar di Dermaga, tanpa perlu antrian kendaraan-kendaraan pribadi, Kontainer, dan truk-truk besar yang berkilo-kilo meter jauhnya di pelabuhan Merak maupun di Bakauheni.
Sebenarnya gagasan untuk menghubungkan pulau Jawa dan pulau Sumatera dengan jembatan sudah ada sejak jaman Presiden pertama NKRI, yaitu Ir. Soekarno. Dengan latar belakang Insinyur yang ia milki, Soekarno menggagas mega proyek ini dengan sebutan Tri Nusa Bima Sakti sebagai grand desain pembangunan infrastruktur jalan nasional.
Namun entah kenapa, apakah karena dananya di era Soekarno dulu masih sangat minim ataukah mungkin saja ada faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi sehingga proyek itu akhirnya hanya sekedar jadi Master Plan saja.
Lalu pada jaman pemerintahan Habibie pasca tumbangnya Presiden Soeharto yang digulingkan oleh mahasiswa Reformasi, proyek jembatan selat Sunda mulai digulirkan lagi. Habibie sendiri yang memimpin langsung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada tahun 1988 yang silam untuk mewujudkan rencana proyek peninggalan jaman Soekarno dulu.
Proyek jembatan sepanjang 29 Kilo Meter yang melintasi Selat Sunda itu sudah dihitung dengan cermat dan secara terperinci oleh Habibie. Dana yang dihitung secara teliti oleh Habibie untuk pembuatan jembatan itu sebesar 100 Triliun Rupiah. Namun apa daya, proyek impian itu gagal total akibat dihantam serangan badai puting beliung Krisis Moneter yang sangat dasyat sehingga memporak-porandakan perekonomian di seluruh pelosok negeri ini.
Setelah sekian lama terkubur impian para pemimpin bangsa ini untuk menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera dengan jembatan seperti di San Fransisco itu, akhirnya di jaman SBY dimunculkan lagi ke permukaan untuk merealisasikan proyek impian yang selalu kandas ditengah jalan itu.
Tomy Winata ditunjuk oleh pemerintahan SBY menjadi rekanan swasta melalui konsorsium Graha Banten Lampung Sejahtera (GBLS) yang merupakan salah satu anak perusahaan Artha Graha yakni PT. Bangungraha Sejahtera Mulia.
Bagi Anda yang belum tahu, PT. BSM ini adalah perusahaan swasta milik Tommy Winata yang bekerjasama sharing profit dengan BUMD Banten dan Lampung. Tomy Winata duduk sebagai komisaris utama, sedangkan Pemprov Banten dan Lampung hanya memiliki saham 2,5 persen saja di perusahaan bentukan Tomy Winata itu.
Sebagai seorang pengusaha handal yang banyak makan asam garam didunia persilatan proyek raksasa dalam negeri, Tomy Winata tak kehilangan akal. Proyek kelas ikan hiu ini harus ditangkap dengan cantik dan lincah.
Tomy Winata bukan pengusaha kelas ayam sayur. Sebagai jaminan bahwa proyek itu bukan hanya sekedar proyek NATO (Not Action Talk Only), Taipan cerdas ini menginginkan adannya payung hukum dan jaminan dari pemerintah agar ia bisa menjalankan proyek tersebut sampai rampung.
Maka lahirlah dari tangan SBY Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2011 tentang Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda (KSISS) atau yang lebih dikenal dengan istilah Jembatan Selat Sunda (JSS) itu.
Selain menerbitkan Peraturan Presiden, Presiden SBY juga membentuk Tim 7 untuk membantu memfasilitasi pembangunan Jembatan Selat Sunda itu. Tim 7 tersebut terdiri dari Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Perindustrian, Sekretaris Kabinet, dan Kepala Bappenas.
Harapan Presiden SBY, proyek itu sudah bisa dimulai (groundbreaking) pada tahun 2015 mendatang dengan jangka waktu pekerjaan selama 10 tahun sehingga sudah dapat dinikmati oleh masyarakat luas dan pelaku bisnis pada tahun 2025 nanti.
Namun sayang beribu sayang, hingga SBY lengser keprabon, nasib proyek raksasa itu justru tak jelas juntrungannya, terkatung-katung bagaikan daun kering yang jatuh luruh perlahan-lahan dari rantingnya dan hanyut di sungai yang landai.
Pemerintahan pun berganti, dan Jokowi naik tahta menjadi orang nomor satu di negeri ini. Atas nama pemerintah, tanpa basa-basi yang berkepanjangan, secara resmi Jokowi menghentikan proyek ratusan trilyun rupiah itu.
Tomy Winata pun nangis darah. Barangkali dalam hatinya ia ngedumel, et dah kepeng sudah habis trilyunan rupiah, eh ndilalah malah gagal maning, gagal maning. Semprul nian.
Jadi siapakah yang antek aseng? Jangan dibalik-balik ya!!
(Info-Teratas/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email