Presiden Donald Trump menggunakan sesi pelantikannya sebagai panggung untuk menyeru kepada “dunia yang berperadaban” agar bersatu melawan “terorisme Islam radikal, yang akan kita hapus seluruhnya dari muka bumi.” Seruan tersebut mendapat respon yang penuh dengan antusiasme dari para peserta yang hadir di Natinal Mall.
Kata-kata tersebut mengingatkan kita kepada Presiden George W. Bush dan pemerintahannya. Setelah serangan 11 September, Bush menyebut ‘perang melawan terorisme’ sebagai ‘perang salib.’ Pemerintahan Bush mengartikan perang melawan terorisme sebagai salah satu perang suci melawan Muslim.
Trump tidak menggunakan kata ‘Perang Salib,’ namun terdapat tema teokratis kristen yang sangat nyata dalam deklarasinya untuk ‘memperkuat persekutuan lama dan membentuk persekutuan baru’ dalam perang melawan terorisme radikal Islam.
“Landasan politik kita adalah kesetiaan total terhadap Amerika Serikat. Dan melalui loyalitas kita terhadap negara kita, kita akan menemukan kembali loyalitas kita terhadap satu sama lain,” Kata Trump.
Segera setelah mengemukakan kembali komitmennya untuk melakukan perang, ia menambahkan, “Ketika kita membuka hati kita untuk patriotisme, tidak ada ruang bagi prasangka. Injil mengatakan pada kita, ‘Betapa bagus dan menyenangkannya ketika manusia-manusia Tuhan hidup bersama dalam kesatuan.'”
“Kita harus membicarakan pikiran kita secara terbuka, memperdebatkan ketidaketujuan kita dengan jujur, namun selalulah mengejar solidaritas. Ketika Amerika bersatu, Amerika tidak dapat dihentikan. Tidak boleh ada ketakutan—kita telah dilindungi dan akan selalu dilindungi.”
“Kita akan dilindungi oleh laki-laki dan wanita luar biasa dalam militer dan aparat penegak hukum kita, dan yang terpenting, dilindungi oleh Tuhan.”
Ini adalah seruan untuk perang suci, sebuah pengukuhan terhadap perang dan pertumpahan darah dengan menegaskan bahwa semua kekerasan yang dilakukan oleh orang Amerika disetujui oleh Tuhan.
Terkait dengan kata-kata “perang salib” yang disampaikan Bush, James Carroll menulis untuk The Nation pada tahun 2004 mengenai Paus Katolik pada masa perang salib. Sang Paus ingin mengatasi “terusirnya” umat kristen post-millennial selama ratusan tahun. Ia pun menyerukan sebuah Perang Suci. Umat Islam dianggap kafir karena mereka merebut Tanah Suci.
“Saat itu, pendudukan tersebut didefinisikan sebagai penghinaan terhadap Tuhan yang tidak dapat ditoleransi,” kata Carroll. “Tanah suci harus direbut. Dalam beberapa bulan sejak seruan Paus, 100.000 orang ‘mengangkat salib’ untuk mengambil kembali Tanah Suci demi Kristus.” Carrol membandingkan jumlah orang yang berhasil dimobilisir oleh Paus waktu itu dengan jumlah hari ini. Proporsi seratus ribu penduduk Eropa waktu itu sama dengan lebih dari sejuta orang Eropa hari ini, “yang meninggalkan segalanya untuk pergi berperang.”
Carroll melanjutkan, “Dengan nama Yesus, dan berkah Tuhan yang pasti, para salibis melancarkan serangan yang hari ini bisa diistilahkan dengan shock and awe (istilah yang populer merujuk pada strategi serangan militer AS di Irak), di tempat manapun yang mereka tuju. Di Yerussalem, mereka secara kejam membantai Muslim dan Yahudi—dan bisa dikatakan berarti seluruh penduduk kota tersebut.”
Trump di bawah kekuatan Kristen fundamental
Nafsu membunuh meninggalkan jejak kekerasan yang nyata, dan Carroll berpendapat, invasi keagamaan dan perang salib “telah membangun identitas Barat yang berlawanan sama sekali dengan Islam, kelompok oposisi yang masih survive hingga hari ini.”
Trump, terutama didukung oleh kekuatan kristen fundamental yang dipimpin oleh Wakil Presiden Mike Pence, bertujuan untuk membuat identitas Barat ini sebagai bagian utama dalam perang melawan terorisme. Dengan demikian, para petugas negara pun akan lebih tidak sensitif terhadap kritik mengenai apakah pantas menggunakan kata-kata yang menunjukkan bahwa Amerika sedang mengobarkan perang suci.
Bush secara terselubung, dan terkadang terang-terangan, menggunakan cara pandang bahwa terjadi benturan peradaban antara Barat dan Islam, kesan yang coba dihindari oleh Barack Obama. Ia tidak pernah menyerukan identitas Barat ini untuk menyatukan masyarakat. ketika ia membahas terorisme dalam pidato pengangkatan keduanya, ia berbicara mengenai kemungkinan untuk menyudahi peperangan abadi.
“Kita akan membela rakyat kita dan menjunjung nilai-nilai kita dengan kekuatan bersenjata dan aturan hukum,” kata Obama. Kebalikannya, Trump memerintahkan pemerintah Amerika untuk tidak ragu-ragu dalam membunuh Muslim radikal karena Tuhan ada di sisi Amerika.
Proyek untuk mempertahankan hegemoni atau dominasi Amerika di dunia berlanjut dengan dahsyat semasa pemerintahan Obama, yang mengakibatkan kematian jutaan rakyat sipil di Timur Tengah. Sepanjang tahun 2016, AS menjatuhkan 26.171 bom di tujuh negara mayoritas Muslim. Menggunakan drone predator, ribuan terduga militer atau tersangka teroris, dan tentu saja rakyat sipil, dibunuh di negara-negara ini. Obama berusaha mundur dari penyiksaan, meskipun ia tidak menuntut mantan petugas pemerintahan Bush atas penyiksaan yang mereka lakukan.
Membingkai perang permanen melawan Islam radikal sebagai perang yang didukung oleh Tuhan Kristen adalah bingkai yang dapat digunakan untuk mengembalikan teknik penyiksaan. Ini adalah undangan untuk tidak memanusiakan “musuh” dan melakukan semua jenis kekerasan; tidak hanya atas nama kebaikan Amerika, namun juga atas nama moral dan pertahanan Kristen. Semua itu dibutuhkan untuk melawan siapapun yang mengancam peradaban mereka.
Pastinya, ini adalah retorika yang, sebagaimana digunakan oleh para petugas negara, akan mendorong kelompok kulit putih Amerika untuk mengikuti prasangka mereka dan melakukan kekerasan terhadap warga kulit coklat yang mereka anggap sebagai ancaman.
ISIS dan kelompok yang dianggap ekstremis lain tentunya akan sangat senang jika dengan Trump menyebarkan retorika ini. Jika Trump dan Pence mendeklarasikan fase baru perang yang dijanjikannya semasa pidato pelantikan kemarin, jajaran prajurit radikal Islam mungkin akan bertambah banyak.
Mereka tidak akan mundur dari tentara Amerika yang mengklaim “dilindungi Tuhan”. Banyak negara akan menyaksikan kehancuran yang lebih buruk dari perampokan dan pendudukan militer asing. Eskalasi pembunuhan besar-besaran pun mungkin akan naik secara drastis.
(Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email