Home »
» Strategi Ampuh dan Solusi Jitu Nabi Saw dalam Mempersatukan Umat
Strategi Ampuh dan Solusi Jitu Nabi Saw dalam Mempersatukan Umat.
Peran Nabi Saw dalam membangun pilar persatuan umat Islam secara umum
dapat dibagi dalam tiga hal yang esensial: Pertama, usaha mengubah
kondisi masyarakat Arab di masa itu dan memanfaatkan faktor-faktor
politik untuk mempersiapkan kondisi yang diinginkan; Kedua, perencanaan
yang bersifat kultural dalam rangka membuat ilustrasi "umat bersatu"
bagi kaum Muslimin dan menciptakan ruang bagi perkembangan pikiran dan
pemahaman masyarakat terhadap tanggung jawab mereka; Ketiga, menerapkan
solusi-solusi yang ditawarkan oleh Nabi Saw sebagai sarana untuk
mewujudkan persatuan.
Solusi-solusi ini adalah bagian dari
dakwah Nabi Saw yang mencakup "solusi kebangsaan-keagamaan", "solusi
kesukuan", dan "solusi sosial-individual." Kini, kami akan membahas
secara ringkas masing-masing dari tiga solusi ini.
1. Solusi Kebangsaan-Keagamaan
a) Menciptakan persatuan nasional dan solidaritas keimanan
Kedatangan Nabi Saw ke Madinah disertai penandatanganan beberapa
perjanjian antar pelbagai kelompok. Perjanjian-perjanjian ini bisa
disebut sebagai salah satu bukti paling nyata perwujudan persatuan Islam
di masyarakat zaman itu.
Perjanjian Umum Madinah: Salah satu
perjanjian terpenting adalah kesepakatan antara Nabi Saw dan
kabilah-kabilah Yatsrib. Sebagian orang menilai bahwa kesepakatan ini
sebagai "undang-undang dasar tertulis pertama di dunia". Langkah beliau
merupakan cara terbaik untuk menciptakan persatuan kebangsaan dan
solidaritas keagamaan, karena persatuan antara kabilah yang saling
berseteru juga menjamin hak sosial orang Yahudi dan kaum Muhajirin. Di
sisi lain, kesepakatan ini merupakan sebuah pengantar menuju
terbentuknya persatuan politik dan pemerintahan.
Sebagai
contoh, dalam kesepakatan itu disebutkan bahwa kaum Muslimin adalah umat
bersatu yang terpisah dari umat lain; tidak ada hubungan antara kaum
Muslimin dan kaum kafir; dan tidak boleh ada jarak antara seorang Muslim
dengan Muslim lainnya. Kendati inti dari kesepakatan ini adalah
memanfaatkan sarana persatuan Islam demi memajukan masyarakat Muslim dan
ini dibuktikan oleh tiap butir kesepakatan ini, namun ada baiknya kami
menyinggung sebagian darinya:
* Kaum Muslimin harus bersatu dalam menghadapi kezaliman, perbuatan anarkis, dan konspirasi musuh.
* Tidak ada orang Muslim yang boleh berdamai (dengan musuh) di saat
perang tanpa persetujuan kaum Muslim yang lain. Kesepakatan damai hanya
bisa dilakukan atas nama semua kaum Muslimin.
* Semua kelompok
yang ikut berperang akan mendapat giliran bertempur secara berurutan.
Jadi, suatu kelompok tak akan dipaksa berperang dua kali berturut-turut.
* Hak masing-masing individu berkaitan dengan kewajibannya terhadap Allah Swt sama dan tidak ada perbedaan.
* Bila muncul perselisihan di antara kaum Muslimin, maka Nabi Saw adalah pengambil keputusan terakhir.
* Orang yang terjerat hutang besar tidak akan dibiarkan begitu saja, tapi akan dibantu oleh seluruh kaum Muslimin.
Di bagian lain dari kesepakatan bersejarah ini, yang ditujukan kepada
kaum Yahudi di Madinah, ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa Nabi Saw
bertujuan mewujudkan sebuah persatuan kebangsaan:
* Kaum
Muslimin dan Yahudi adalah satu umat dan hidup berdampingan di Madinah
sebagai satu bangsa. Masing-masing bebas menjalankan ajaran agamanya.
* Orang-orang Yahudi yang menandatangani kesepakatan akan mendapat
bantuan dan dukungan kaum Muslimin. Di sisi lain, bila kaum Muslimin
mengajak mereka untuk berdamai, maka mereka harus menerima ajakan itu.
* Kaum Muslimin dan Yahudi akan bahu membahu melawan pihak yang menentang kesepakatan ini.
* Kaum Muslimin dan Yahudi harus saling membantu dalam menghadapi serangan musuh ke Yatsrib.
* Tidak boleh ada orang kafir yang dimanfaatkan oleh kedua belah pihak, kecuali jika membawa maslahat bagi keduanya.
Alhasil, dapat disimpulkan bahwa upaya untuk menciptakan sensitifitas
keagamaan dan kebangsaan adalah salah satu langkah tepat Nabi Saw demi
mewujudkan persatuan Islam.
Mengukuhkan Solidaritas Keimanan:
Di kesempatan lain, Nabi Saw juga berkali-kali menegaskan pentingnya
mengukuhkan solidaritas keimanan kaum Muslimin. Dalam salah satu
pidatonya pasca penaklukan kota Makkah yang disampaikan di masjid
Al-Haram, beliau bersabda, "Tiap Muslim adalah saudara Muslim yang lain.
Kaum Muslimin adalah satu tangan yang berada di atas tangan yang lain."
Menciptakan rasa beragama yang kuat dan membangun ikatan keyakinan
tunggal di antara orang-orang yang beriman ini dapat kita renungkan
dalam sabda Nabi Saw, "Orang-orang beriman itu ibarat satu jiwa."
Bak seratus pancaran sinar matahari di halaman rumah, tapi cahaya itu tetap satu.
Jika kau ambil dinding-dinding, maka rumah pasti akan hancur, karena kaum mukminin itu bak satu jiwa
Tentunya simbol dari pancaran cahaya ini ada dalam tiap jiwa orang mukmin karena:
Binatang tak miliki jiwa persatuan, tapi kau melebur dalam jiwa persatuan
Jiwa serigala terpisah dari jiwa anjing, tapi jiwa para singa Allah (para pejuang yang berani) saling bersatu
b) Ikatan Persaudaraan
Ikatan sosial: Di tahun pertama kedatangan Nabi Saw ke Madinah, beliau
mengambil salah satu langkah terpenting dalam memanfaatkan faktor
kesatuan agama, yaitu mempersaudarakan antar sesama Muslim, baik pria
maupun wanita.
Dua suku bernama Aus dan Khazraj, satu sama lain saling membunuh,
Tapi terhapus sudah kedengkian antara mereka berkat Musthafa dan cahaya Islam,
Mantan lawan itu kini menjadi kawan, bertaut bak dahan-dahan anggur di taman,
Karena sabda ,"orang mukmin adalah saudara," kini mereka jadi satu badan,
Terpujilah ia yang tebarkan ribuan benih persatuan.
Dalam sebuah pertemuan umum, Nabi Saw bersabda, "Jalinlah persaudaraan di antara kalian demi ridha Allah."
Persaudaraan kolektif ini bertujuan untuk menghapus motif kesukuan dan
dilakukan berdasarkan kebenaran dan kerjasama social. Karena,
Sesungguhnya orang-orang beriman adalah saudara, maka damaikanlah antara
dua saudara kalian dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian
dirahmati. (QS. al-Hujurat:10).
Nabi Saw mempersaudarakan tiap
seorang Muhajir dengan seorang Anshar. Namun, sebagai pengecualian
bersejarah, beliau menyebut Ali sebagai saudara beliau di dunia dan
akhirat dalam sabdanya, "Dia (Ali) bagian dariku dan aku bagian
darinya."
Alhasil, langkah cerdas ini adalah sarana paling
efektif untuk mewujudkan persatuan kolektif di masa itu. Semua ini
menunjukkan upaya serius Nabi Saw demi menciptakan ikatan sosial yang
berasaskan iman kepada Allah Swt.
Iman kepada Allah Swt
merupakan pilar pembentukan masyarakat madani: Masyarakat yang dibentuk
Nabi Saw adalah suatu komunitas yang semua anggotanya memiliki ikatan
persaudaraan yang berasaskan ajaran tauhid. Mereka bertugas untuk
menjaga ikatan ini sehingga Allah akan melestarikan persatuan antara
pelbagai hati dengan kuasa-Nya. Sehingga dengan demikian, dasar sikap
saling memahami di tengah masyarakat Muslim akan menjadi kuat, Dan jika
mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi
pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan
para mukmin, dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang
beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di
bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi
Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana. (QS. al-Anfal: 62-63).
Dari ayat di atas, dapat
disimpulkan bahwa: Pertama, masyarakat tidak bisa dibentuk tanpa adanya
suatu ikatan sosial; Kedua, terwujudnya hal ini hanya dengan kekuasaan
Allah Swt semata; Ketiga, orang-orang mukmin mampu memprakarsai
terwujudnya persatuan sosial.
Firman Allah Swt yang terkait
dengan persaudaraan antar kabilah Yatsrib pun sangat jelas, Berpeganglah
dengan tali Allah dan jangan bercerai-berai. Ingatlah nikmat Allah atas
kalian, (yaitu) ketika kalian masih bermusuhan, kemudian Dia
mempersatukan hati kalian, sehingga dengan nikmat-Nya kalian menjadi
saudara. (QS. Ali Imran: 103).
Masyarakat madani bentukan Nabi
Saw yang diliputi oleh spirit persaudaraan adalah masyarakat yang
bersatu dalam memusuhi kekufuran dan menerima keimanan, Muhammad utusan
Allah dan mereka yang bersamanya, adalah orang-orang yang bersi keras
terhadap orang kafir dan mengasihi kepada sesama mereka. (QS. al-Fath:
29).
Masyarakat tersebut diumpamakan seperti satu badan, yang
semua anggotanya saling berhubungan erat dan bersama-sama dalam naungan
kasih sayang, sebagaimana yang diungkapkan dalam hadis, "Perumpamaan
orang-orang beriman dalam kasih sayang antar sesama mereka seperti satu
tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka yang lain akan turut
merasakannya."
Memanfaatkan tradisi sosial: Dengan persaudaraan
antara Muhajirin dan Anshar, maka Nabi Saw telah memanfaatkan salah
satu tradisi sosial masyarakat Arab, yaitu pembelaan terhadap sekutu
perjanjian, guna mewujudkan umat yang bersatu. Keberhasilan Nabi Saw ini
tak hanya membuat takjub orang-orang seperti Abu Sofyan, tapi dampak
positif dari kesetaraan yang terdapat pada ajaran Islam ini sampai
mendorong setiap orang untuk lebih mementingkan saudaranya dalam
kepemilikan harta. Para sejarawan menukil bahwa perjanjian persaudaraan
Muhajirin dan Anshar juga meliputi hak bersama dalam kepemilikan warisan
di antara mereka. Peristiwa pembagian ghanimah pasca perang Bani Nadhir
adalah contoh terbaik dari sikap itsar (mementingkan orang lain) yang
dipraktekkan kaum Anshar.
Alhasil, semua peristiwa dalam
sejarah Islam membuktikan betapa pentingnya peran Nabi Saw dalam
mencegah terjadinya perpecahan di tengah barisan kaum Muslimin dan
bagaimana langkah jitu beliau dalam memanfaatkan persatuan Islam.
Langkah beliau merupakan pelaksanaan perintah al-Quran, yaitu: Dan
janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang tercerai berai dan
berselisih (QS. Ali Imran:105).
Rasul Saw telah mengerahkan segala
upaya secara maksimal dalam mewujudkan persatuan di antara kaum
Muslimin, karena beliau menganggap persatuan adalah salah satu misi
pengutusannya dan amat mengkhawatirkan perpecahan kaum Muslimin. Ini
pula yang telah ditegaskan oleh al-Quran, Sungguh telah datang kepadamu
seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas
kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. at-Taubah:128).
Barangkali, beratnya misi ini pula yang menyebabkan beliau bersabda,
"Tak ada nabi yang disakiti seperti diriku."
Mendamaikan pihak
yang berselisih: Mendamaikan pihak yang berseteru dan nasihat serta
sikap Nabi Saw terkait dengan masalah ini, juga merupakan salah satu
langkah efektif beliau dalam menciptakan rasa persaudaraan.
Abu
Ayyub meriwayatkan, "Nabi Saw bersabda kepadaku, 'Wahai Abu Ayyub,
maukah aku tunjukkan kepadamu sedekah yang disukai Allah dan Rasul-Nya?'
Aku mengiyakan. Lalu beliau bersabda, 'Yaitu hendaklah engkau
mendamaikan orang-orang yang bertikai.'" (Dalam redaksi riwayat lain
disebutkan, "Yaitu dengan mendamaikan orang-orang yang berseteru dan
mendekatkan mereka ketika saling membenci.")
Dalam riwayat lain
disebutkan, ketika beliau ditanya tentang urgensi persaudaraan, beliau
menjawab, "Ganjaran bagi orang yang berusaha menciptakan perdamaian di
tengah manusia, sama seperti pahala orang yang berjihad di jalan Allah."
Kita bisa menyaksikan langkah cerdas beliau dalam mendamaikan umat pada
kasus pembagian ghanimah (harta rampasan perang) perang Badar. Belum
adanya undang-undang khusus pembagian ghanimah dan belum matangnya
pendidikan moral kaum Muslimin di masa itu menjadi salah satu penghalang
terciptanya persatuan di antara kaum Muslimin. Karena itu, beliau
diperintahkan untuk menjaga kesatuan dan persatuan umat dan orang-orang
yang beriman juga diharuskan mengikuti beliau di jalan ini, Maka
bertakwalah kepada Allah dan damaikanlah (yang bertikai) di antara
kalian, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya jika kalian orang yang beriman.
(QS. al-Anfal:1).
Nabi Saw berupaya sedemikian rupa untuk
melenyapkan benih perselisihan, hingga beliau sama sekali tidak suka
melihat sekecil apapun perpecahan terjadi dalam barisan kaum Muslimin.
Para sejarawan menulis bahwa beliau tetap menyisihkan bagian ghanimah
bagi mereka yang tidak ikut berperang guna menghindari prasangka
diskriminasi.
Yang menarik, sebelum perang Badar, kendati
sebagian kaum Muhajirin telah menyatakan dukungan mereka, namun Nabi Saw
tetap menunggu persetujuan kaum Anshar untuk berperang melawan musuh,
sebab isi perjanjian beliau dengan kaum Anshar adalah membela beliau
dalam batasan kota Madinah, sehingga membela beliau dalam peperangan di
luar Madinah tidak termasuk dalam perjanjian tersebut. Oleh karena itu,
Nabi Saw terlebih dahulu menanyakan pendapat kaum Anshar dan setelah
yakin akan dukungan mereka, beliau pun pergi ke medan perang.
Pada hakikatnya, hal ini menunjukkan perhatian Nabi Saw dalam menjaga tradisi sosial dan kondisi khusus politik di masa itu.
Memaafkan kesalahan individu: Hal lain yang kita saksikan dalam
peristiwa perang Uhud adalah perintah al-Quran kepada Nabi Saw untuk
tidak mencela orang-orang yang lari dari medan perang. Bahkan, beliau
diminta untuk memaafkan mereka dan bekerjasama dengan mereka, sehingga
mereka tetap berada dalam barisan kaum Muslimin, Maka maafkanlah mereka
dan mintakan ampun bagi mereka serta bermusyawarahlah dengan mereka.
(QS. Ali Imran:159).
Dapat dipastikan bahwa salah satu motivasi
dari keputusan terpuji ini adalah upaya menjaga persatuan politik umat
Islam. Dengan demikian, maka Nabi Saw telah melenyapkan potensi
perpecahan antara kelompok kaum Muslimin (lantaran penolakan terhadap
mereka yang lari dari medan perang) dan lapisan masyarakat lain.
Sejarah menyebutkan bahwa dalam perang ini, seorang pemuda Muslim asal
Iran—setelah memukul musuh—berkata, "Terimalah pukulanku dan ketahuilah
bahwa aku orang Persia." Mendengar itu, Nabi Saw mencelanya dan berkata
kepadanya, mengapa kau tidak menyebut dirimu seorang Anshar? Maksud
beliau adalah untuk menghapus segala bentuk fanatisme ras dan menjaga
persatuan barisan Islam. Selain itu, dengan pengarahan ini, beliau
hendak mengubah standar kebanggaan diri dari poros kesukuan dan ras
menjadi poros keagamaan dan keimanan.
Dengan demikian, Nabi Saw
memanfaatkan segala peluang untuk tetap menjaga persatuan dan mencegah
perpecahan, bahkan dalam peristiwa penghancuran masjid Dhirar (masjid
yang dibangun kaum munafik) pun hal ini tetap beliau perhatikan!
Menjaga keutuhan masyarakat: Kebijaksanaan Nabi Saw dalam menghancurkan
Masjid Dhirar bertujuan mencegah timbulnya lubang perpecahan dalam
barisan masyarakat Muslim. Dengan demikian, maka keutuhan masyarakat
tetap terjaga.
Dengarlah kisah lain al-Quran tentang penyimpangan,
Yaitu saat mereka bangun masjid selain masjid Nabi,
Mereka hias permadani dan atap serta kubahnya,
Tapi dengan niat cerai beraikan para sahabatnya,
Namun siapa yang bisa pisahkan para sahabatnya?
Oleh karena itu, dalam nasihat terakhirnya kepada umat Islam, Nabi Saw
bersabda: "Wahai manusia, darah dan harta kalian adalah terhormat,
seperti kehormatan hari ini dan bulan ini…" Di akhir khotbah, beliau
bersabda, "Wahai manusia, dengarkan ucapanku dan pahamilah! Ketahuilah
bahwa setiap Muslim adalah saudara Muslim yang lain, dan bahwa semua
kaum Muslimin itu bersaudara."
2. Solusi Kesukuan.
a) Melenyapkan rasisme dan fanatisme kesukuan
Solusi lain yang ditawarkan Nabi Saw untuk menciptakan persatuan umat
Islam adalah menghilangkan rasisme dan diskriminasi rasial.
Menghancurkan norma-norma Jahiliyah: Perjuangan Nabi Saw melawan
perbudakan di masa itu semakin luas menyusul bertambahnya kekuatan
politik dan sosial beliau. Gerakan ini merupakan bagian dari tuntutan
keadilan sosial yang beliau serukan demi menghadapi segala bentuk
penindasan di masa itu. Sebab, beliau ingin membangun sebuah masyarakat
religious dan pengikut partai Allah, Ketahuilah bahwa (para pengikut)
partai Allah adalah orang-orang yang beruntung (QS. al-Mujadilah:22).
Beliau telah belajar dari al-Quran bahwa kebahagiaan dan keberuntungan
tidak dapat diwujudkan dengan kezaliman, Sesungguhnya orang-orang zalim
tidak akan mendapat keberuntungan (QS. al-An`am: 35).
Dakwah
Nabi Saw kepada tauhid dan kasih sayang sosial menyebabkan pudarnya
diskriminasi dan standar Jahiliyah yang begitu memuja garis keturunan.
Pada akhirnya, semua orang condong kepada Islam tanpa ada ikatan
kesukuan dan nasab, sebab, "Tidak ada fanatisme dalam Islam."
Buah dari keberhasilan Nabi Saw dalam gerakan ini adalah masuk Islamnya
beberapa orang dari berbagai keluarga dan suku kaum musyrik serta
pemberontakan mereka terhadap tradisi kesukuan ala Jahiliyah. Langkah
beliau ini, selain berdampak secara sosial, yaitu keputusasaan kaum
musyrik dan kehancuran tradisi kuno, juga membuka jalan bagi kemunculan
tatanan sosial baru.
Norma kesetaraan keagamaan: Melalui
pelbagai perintah atau nasehatnya, Nabi Saw mengajari kaum Muslimin
untuk membebaskan para budak dan beliau sendiri adalah orang yang
pertama melakukan hal ini. Ini adalah ajaran dari Allah Swt dimana iman
kepada-Nya, akhirat, dan para nabi sejajar dengan menginfakkan harta di
jalan-Nya dan memerdekakan hamba sahaya, Akan tetapi sesungguhnya
kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, …(memerdekakan) hamba sahaya… (QS.
al-Baqarah: 177)
Dalam rangka melawan diskriminasi ala
Jahiliyah, Nabi Saw menjadikan para sahabatnya seperti Zaid bin Haritsah
sebagai panglima pasukan Islam; Bilal Habsyi sebagai muazin khususnya;
dan memuliakan Salman Farisi, "Barangsiapa yang memerdekakan seorang
budak mukmin, maka ia akan dimerdekakan oleh Allah." Secara bertahap,
beliau mengajarkan bahwa ketakwaan adalah standar baru dalam hubungan
sosial, Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang
paling bertakwa. (QS. al-Hujurat:13).
Nabi Saw secara
terang-terangan juga menyatakan bahwa budak Ethiopia dan majikan Quraisy
berkedudukan sama di sisi beliau. Karena itu, beliau disebut sebagai
pencetus kesetaraan derajat yang berasaskan agama. Beliau bersabda,
"Kalian semua adalah keturunan Adam yang berasal dari tanah. Tidak ada
orang Arab yang lebih unggul daripada orang Ajam kecuali dari sisi
takwa."
Alhasil, kesetaraan dan keadilan sosial yang diterapkan
Nabi Saw dalam melawan diskriminasi dan penindasan di masa itu adalah
salah satu solusi paling efektif dalam menciptakan persatuan di tengah
masyarakat Muslim yang masih rentan tertimpa pelbagai masalah.
Dalam literatur sejarah dan riwayat kita membaca bahwa Nabi Saw tidak
pernah membedakan antara budak dan orang yang merdeka. Beliau sendiri
yang mengajarkan manisnya kesetaraan dan keadilan sosial kepada umatnya.
Bahkan di tengah kaum Muslimin sendiri pun, tempat beliau tidak dibikin
istimewa dan menonjol, sehingga ketika beliau hadir di suatu majlis,
orang-orang tidak bisa menemukan beliau dengan gampang. Keadilan dan
kesetaraan ini bahkan juga diterapkan Nabi Saw dalam memandang para
sahabatnya, sebagaimana disebutkan bahwa beliau selalu membagi
perhatiannya kepada para sahabatnya; memandang si fulan dan si fulan
secara bergantian, tanpa ada perbedaan.
Jelas bahwa akhlak
terpuji ini sangat efektif untuk menarik simpati dan dukungan
masyarakat. Dalam sebuah analogi, beliau pernah bersabda, "Semua manusia
dari zaman Adam hingga sekarang ibarat gigi-gigi sisir; tak ada
keunggulan bangsa Arab atas bangsa Ajam, atau si kulit putih atas si
kulit hitam, kecuali dari sisi ketakwaan."
Tradisi Nabi Saw ini
terus berlanjut sepanjang masa pemerintahan beliau, sehingga tetap
menjadi salah satu sarana pemersatu umat. Beliau bertujuan menghapus
semua asas ketidakadilan Jahiliyah dan menghilangkan segala potensi
kembalinya tradisi Jahiliyah ke tengah masyarakat, Dan apakah mereka
masih menginginkan hukum Jahiliyah? (QS. al-Maidah:50).
Nabi Saw
adalah perintis gerakan kesetaraan sosial ini dan memanfaatkan setiap
peluang untuk mengukuhkan spirit keadilan di tengah masyarakat. Beliau
pernah bersabda, "Allah tidak suka melihat hamba-Nya berbeda dari
orang-orang lain."
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
penghapusan rasisme dan fanatisme Jahiliyah selalu menjadi perhatian
Nabi Saw. Sejarah mencatat pelbagai kecaman beliau kepada orang-orang
yang masih menjadikan jabatan dan nasab sebagai standar kemuliaan.
Diriwayatkan bahwa Salman Farisi sedang duduk di Masjid Nabi. Beberapa
sahabat Nabi Saw juga berada di sana. Ketika topik pembicaraan beralih
kepada nasab, masing-masing dari mereka menyebut garis keturunannya,
sampai tiba giliran mereka bertanya kepada Salman. Ia menjawab, "Aku
adalah Salman putra hamba Allah. Aku dahulu tersesat, namun Allah
membimbingku melalui Muhammad. Aku dahulu miskin, tapi Dia membuatku
kaya melalui Muhammad. Aku dahulu budak, tapi Dia memerdekakanku melalui
Muhammad." Ketika Nabi Saw datang, Salman memberitahukan kejadian itu
kepada beliau. Nabi Saw lalu berpaling kepada kelompok Quraisy itu dan
bersabda, "Wahai orang-orang Quraisy, kehormatan seseorang ditentukan
oleh agamanya, kemuliaannya oleh akhlaknya, dan nasabnya oleh akalnya."
Dalam riwayat lain, beliau menyebut perilaku saling membanggakan diri
atas dasar fanatisme kesukuan sebagai bagian dari neraka, "Hendaknya
orang-orang tidak membanggakan suku mereka, karena itu adalah salah satu
bahan bakar neraka."
Di samping itu, kehidupan Nabi Saw yang
bersahaja adalah cara lain untuk meningkatkan persatuan di antara umat.
Menurut Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Nabi Saw bahkan tidak
mengijinkan gorden bermotif dipasang di rumahnya. Hal ini adalah cara
terbaik untuk menarik simpati kalangan dhuafa di masa itu dan menjadi
salah satu faktor terwujudnya persatuan. Para sahabat menukil bahwa
beliau hidup dengan anggaran yang sangat sedikit.
Ungkapan
paling indah berkaitan dengan kesederhanaan para nabi disebutkan dalam
kitab Nahjul Balaghah, "Para nabi hidup secara qana`ah (merasa cukup
dengan rezeki yang didapat) yang memenuhi hati dan mata dengan kekayaan,
serta kesulitan (hidup) yang memenuhi penglihatan dan pendengaran
dengan gangguan."
Pembelaan terhadap kalangan dhuafa: Dalam
rangka menghapus fanatisme kesukuan, Nabi Saw juga melakukan pembelaan
terhadap kalangan dhuafa. Berdasarkan hukum masa itu, kalangan ini–yang
kebanyakan terdiri dari budak pria dan wanita–tidak memperoleh dukungan
dari suku manapun. Karena itu, mereka tidak memiliki hak sosial dan
politik di tengah masyarakat. Lantaran atmosfer politik khas Jahiliyah
dan beragam ketidakmampuan kalangan dhuafa ini, sehingga mereka tidak
memiliki peluang membentuk sebuah komunitas independen.
Dalam
kondisi semacam ini, penentangan Nabi Saw terhadap diskriminasi dan
fanatisme kesukuan serta pembelaan beliau terhadap kalangan dhuafa mampu
menarik simpati mereka kepada Islam dan figur Nabi Saw. Dengan
demikian, banyak kelompok yang membentuk persatuan sosial dan politik
dengan Nabi Saw sebagai porosnya. Pada hakikatnya, dakwah Nabi Saw dan
penekanan beliau tentang takwa dan standar kemuliaan manusia berperan
sangat efektif dalam mewujudkan persatuan Islam.
Pendeklarasian
dukungan terhadap kalangan dhuafa ini—yang semakin meluas seiring
perjalanan waktu—mampu membimbing mereka kepada satu tujuan dan
mengukuhkan pondasi persatuan agama.
b) Peran Baitullah.
Dengan mencermati beragam peristiwa dalam sejarah Islam, kita akan
melihat beberapa langkah Nabi Saw yang memanfaatkan sebagian kondisi dan
tradisi masyarakat Arab masa itu untuk mewujudkan persatuan.
Berkaitan dengan masalah ini, yang patut diperhatikan adalah pengaruh
Ka`bah dan cara Nabi Saw memanfaatkannya sebagai sarana penyatu dan
pemersatu umat, Sesungguhnya rumah pertama yang dibangun untuk manusia
adalah yang terletak di Makkah; rumah yang penuh berkah dan petunjuk
bagi semesta (QS. Ali Imran: 96).
Nabi Saw memanfaatkan dengan
baik posisi geografis Makkah dan kesempatan musim haji ketika semua
penduduk Semenanjung Arab berduyun-duyun pergi ke sana. Beliau
memperkenalkan risalahnya kepada para pembesar kabilah yang datang ke
Ka`bah. Literatur sejarah mencatat, kabilah-kabilah seperti Bani
Hanifah, Kindah, Bani Sha`sha`ah, dan Kalb sebagai menjadi sasaran
dakwah Nabi Saw. Ketertarikan penduduk Yatsrib kepada Islam pun bermula
dari digunakannya Ka`bah dan musim haji sebagai sarana dakwah oleh
beliau, Allah menjadikan Ka`bah, Baitullah Al-Haram, sebagai pusat
(peribadatan dan urusan dunia) manusia. (QS. al-Maidah: 97).
Cara di atas amat efektif dalam menarik perhatian khalayak kepada Nabi
Saw, sehingga membuat kaum musyrik dalam posisi terjepit. Sebelum
dimulainya musim haji, mereka bermusyawarah untuk menghadang laju dakwah
Nabi Saw dan mencari propaganda paling tepat guna mengubah pandangan
khalayak terhadap beliau. Slogan politis-psikis mereka adalah, Dan
mereka berkata, wahai orang yang kitab diturunkan kepadanya,
sesungguhnya engkau adalah orang gila. (QS. al-Hijr: 6).
Yang
patut diperhatikan adalah bahwa propaganda mereka selalu mencerminkan
semangat fanatisme ras dan kesukuan, Mereka berkata apakah kami akan
meninggalkan tuhan-tuhan kami hanya karena seorang penyair gila? (QS.
as-Shaffat: 36).
3. Solusi Sosial dan Individual.
a) Karakteristik Moral Bangsa Arab
Nabi Saw juga memanfaatkan karakteristik moral Arab Jahiliyah dalam
mewujudkan tujuan-tujuan beliau, khususnya di bidang persatuan umat
Islam.
Kondisi kejiwaan masyarakat di masa itu berkaitan erat
dengan kondisi sosial dan latar belakang sejarah mereka. Nabi Saw
berusaha untuk mengarahkan potensi yang ada menuju kondisi yang ideal.
Dengan kata lain, beliau menggunakan gabungan dari beberapa
karakteristik moral. Jadi, beliau memanfaatkan potensi moral dan
kejiwaan ini guna memunculkan keseragaman pikiran dan perilaku
masyarakat Arab dalam rangka membentuk umat yang bersatu.
Semangat fanatisme dan kesombongan bangas Arab, kesetiaan kepada janji,
keberanian, dan pemuliaan terhadap tamu, adalah beberapa karakteristik
sosial Arab Jahiliyah yang menonjol, Ketika orang-orang kafir menjadikan
kesombongan di hati mereka; (yaitu) kesombongan Jahiliyah. (QS.
al-Fath:26).
Nabi Saw menganggap bahwa memperbaiki norma-norma
yang berlaku di masa itu sehingga sesuai ajaran Islam adalah salah satu
kunci guna mewujudkan persatuan umat. Fanatisme kepada suku,
penghormatan terhadap kerabat dan pemuka keluarga, dan pembelaan
terhadap warga kabilah (yang biasanya dinyatakan secara tersirat atau
tersurat dalam bentuk perjanjian) berkali-kali menjadi motif yang
melatarbelakangi dukungan terhadap Nabi Saw, dan hal ini pada prinsipnya
menjadi sarana terbentuknya persatuan politik pertama dalam Islam.
Beliau sendiri sering bersabda, "Kaum Quraisy tidak pernah menggangguku
sampai Abu Thalib meninggal.".
Alhasil, baiat/perjanjian ini tak
hanya berguna di lingkup internal kabilah, namun juga dirasakan oleh
kabilah lain. Sesuai tradisi Jahiliyah, baiat ini akan tetap berlaku
sampai salah satu atau kedua pihak menyatakan diri keluar dari baiat.
Nabi Saw juga menggunakan metode ini dalam berdakwah. Sepanjang sejarah,
banyak perjanjian yang terjadi antara beliau dengan para sahabat, yang
akhirnya berujung pada meluasnya ruang lingkup persatuan Islam, seperti
yang terjadi pada baiat Aqabah Pertama dan Kedua, baiat Perang Badar,
Baiat Ridhwan, dll.
Keberanian bangsa Arab yang berakar pada
kondisi khas masyarakat dan persoalan geografis masa itu, juga tidak
pernah dikecam secara mutlak oleh Nabi Saw. Bahkan, beliau memanfaatkan
karakteristik ini demi mewujudkan tujuan risalahnya. Tak diragukan bahwa
sifat keberanian ini amat berpengaruh pada kemenangan politik Islam
dimana hanya dalam jangka sepuluh tahun, ia sudah dihadapkan dengan
delapan puluh lebih peperangan dan ekspedisi militer.
Dalam
banyak perang, Nabi Saw memuji keberanian para prajurit Islam dan
membandingkan nilainya dengan ibadah dan ketakwaan, seperti sabda
beliau, "Satu pukulan pedang Ali di perang Khandaq lebih baik daripada
ibadah jin dan manusia." Dengan cara demikian, beliau menyeimbangkan dan
mengarahkan karakteristik moral bangsa Arab. Di sisi lain, beliau juga
berupaya memperkuat sifat keramahan terhadap tamu yang ada pada diri
mereka, yang pada gilirannya juga berdampak positif dalam menarik
simpati orang lain untuk memeluk Islam.
Nabi Saw memerintahkan
kaum Muslimin untuk bersedekah dan menginfakkan sebagian harta mereka
berdasarkan ayat, Dan kalian tidak akan mencapai kebajikan sampai kalian
menginfakkan apa yang kalian cintai (QS. Ali Imran: 92). Beliau juga
bersabda, "Tingkatkan nilai persahabatan kalian dengan sikap dermawan."
Pada permulaan terbentuknya masyarakat Islam, beliau meminta kaum Anshar
untuk mendukung kaum Muhajirin. Para sahabat yang mulia—berdasarkan
karakteristik moral bangsa Arab dan yang telah mendapat polesan agama
sebagaimana dijelaskan di atas—mematuhi perintah ini dengan sebaik
mungkin. Bahkan mereka sampai melakukan undian untuk mendapat kesempatan
menempatkan (menjamu) kaum Muhajirin di rumah mereka, Dan orang-orang
yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum
(kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) 'mencintai' orang yang
berhijrah kepada mereka (Muhajirin), dan mereka (Anshar) tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka
(Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri
mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan, dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang
beruntung. (QS. al-Hasyr: 9).
Jadi, usaha Nabi Saw yang
memanfaatkan karakteristik moral bangsa Arab ini, yang telah
dilegitimasi dan diarahkan beliau, kian memperkuat dan memperluas
persatuan Islam dari hari ke hari. Tentu Islam menerima prinsip
keberagaman suku dan bangsa, namun ia menolak perpecahan dan
perselisihan di tengah umat Islam, sebab, Kami menjadikan kalian pria
dan wanita serta membuat kalian dalam berbagai bangsa dan kabilah supaya
kalian saling mengenal… (QS. al-Hujurat: 13). Oleh karena itu,
fanatisme yang tidak berdasarkan kebenaran dan norma agama, serta hanya
berporos pada kesukuan dan ras, tidak akan diterima oleh agama dan Nabi
Saw, "Tidak termasuk golongan kami orang yang menyeru kepada fanatisme."
b) Norma-norma Akhlak.
Nabi Saw menyebut kesempurnaan akhlak manusia sebagai salah satu tujuan
risalahnya, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia." Karena itu, salah satu cara yang beliau lakukan dalam mewujudkan
persatuan Islam adalah menunjukkan perilaku dan akhlak yang terpuji,
karena, Sesungguhnya engkau memiliki akhlak yang agung. (QS. al-Qalam:
4).
Sikap simpatik: Kelembutan perangai Nabi Saw adalah salah
satu sarana terpenting dalam mewujudkan persatuan dan memadamkan
perselisihan serta menarik hati manusia, Dengan rahmat Allah, engkau
bersikap lembut terhadap mereka. Jika engkau orang yang kasar dan
berhati keras, niscaya mereka akan menjauh dari sekelilingmu. (QS. Ali
Imran: 159).
Sejarah mencatat banyak peristiwa yang membuktikan
karakteristik terpuji dari akhlak Nabi Saw ini. Salah satunya
sebagaimana dituturkan dalam kisah berikut ini, seseorang bernama
Ghurits bin Harits menghadang Nabi Saw dengan pedang terhunus dan
berkata, "Siapa yang bisa menyelamatkanmu dari pedangku?" Beliau dengan
tenang menjawab,"Allah." Seketika itu juga, badan Ghurits gemetar dan
pedangnya terlepas dari tangannya. Beliau lalu memaafkan dan
membebaskannya. Sejak saat itu, kemanapun ia pergi, ia selalu berkata,
"Aku kembali kepada kalian setelah aku bertemu dengan manusia terbaik
yang pernah aku jumpai."
Sungguh ungkapan "manusia suci yang
paling baik perangainya dan dermawan yang paling baik pemberiannya"
hanya pantas disematkan kepada Nabi Saw. Akhlak mulia beliau-lah yang
menjadikannya sebagai suri teladan dan insan kamil, sampai-sampai kasih
sayang beliau mampu menarik para musuh ke barisan para pecintanya.
Dakwah Nabi Saw menghilangkan dahaga setiap jiwa yang kehausan dan
menarik simpati setiap pencari kebenaran. Ini adalah sarana terbaik
dalam mewujudkan persatuan di tengah umat.
Dalam hati tiap umat yang merasakan kebenaran, terdapat wajah dan suara Nabi.
Saat Nabi berseru dari luar, maka bersujudlah jiwa umat di dalam.
Hubungan kekerabatan: Terkait adab-adab khas Nabi Saw, kita bisa
menyinggung tentang hikmah hubungan kekerabatan beliau. Tidak diragukan
bahwa adanya tatanan kesukuan yang berlaku di masa itu mempengaruhi
terwujudnya keakraban, hubungan mesra antara kabilah dan persatuan
antara lapisan masyarakat. Hubungan kesukuan ini bisa disebut sebagai
pengganti perjanjian-perjanjian konstitusional yang bersifat resmi.
Sebelum kedatangan Islam pun, hubungan pernikahan antar kabilah bisa
mengubah permusuhan menjadi persahabatan. Sebagai contoh, pernikahan
Nabi Saw dengan Huwairiyah binti Harits dari Bani Mushtaliq mendorong
kaum Muslimin untuk memerdekakan orang-orang dari kabilah ini, sehingga
akhirnya menyebabkan semua kabilah tersebut masuk Islam. Atau,
pernikahan Nabi Saw dengan Shafiyah binti Hay bin Akhtab (yang notabene
adalah orang Yahudi). Setelah ditawan pasukan Muslim, Shafiyah lebih
memilih menjadi istri Nabi Saw ketimbang dibebaskan dan kembali ke
kaumnya. Pada akhirnya, ia memeluk Islam dan diikuti oleh beberapa orang
dari kabilahnya.
4. Umat Islam dan Persatuan.
Kami akan mengakhiri pembahasan ini dengan melihat misi umat Islam dalam
menjaga kesinambungan ajaran Nabi Saw dan persatuan Islam.
Persatuan adalah prinsip kehidupan dan menjamin keabadian suatu
ideologi. Para nabi diperintahkan untuk menghidupkan rahmat Ilahi di
dunia:
Dedaunan alam tumbuh dari persatuan; demikian pula dengan kehidupan di dunia (Iqbal Lahore)
Rahmat ilahi senantiasa bersama dengan Nabi Saw, Taatilah Allah dan
Rasul supaya kalian dirahmati (QS. Ali Imran: 132). Umat manusia
berkumpul di sekeliling Nabi terakhir ini, Dan Muhammad bukanlah ayah
salah satu dari kalian, tapi dia adalah utusan Allah dan nabi terakhir
(QS. al-Ahzab: 40). Dan beliau adalah mata air kasih sayang Ilahi,
Dengan rahmat Allahlah, maka engkau bersikap lembut kepada mereka (QS.
Ali Imran: 159).
Seruan persatuan Nabi Saw adalah seruan yang
juga disampaikan semua nabi tanpa terkecuali, dan pada diri beliau-lah
seruan ini mencapai kesempurnaannya:
Nama Ahmad adalah nama semua nabi, sebab saat seratus tiba, sembilan puluh pasti ada.
Beliau adalah mata rantai terakhir dari rangkaian penyeru tauhid dan
rahmat Ilahi; beliau adalah awal tujuan di balik pengutusan para nabi,
namun yang terakhir diutus, "Jika bukan karenamu, niscaya Aku tak
ciptakan semesta."
Rahasia yang menyimpan inti semesta diletakkan terakhir,
Dengan Muhammad-lah cinta suci berpasangan.
Oleh karena itu, Muhammad-lah yang memberi kehidupan kepada semua
bagian dari pohon mulia ini. Dengan risalahnya, pohon kenabian menemukan
maknanya, "Tak ada seorang nabi pun, baik Adam atau selainnya, kecuali
ia berada di bawah panjiku."
Sa'di, seorang penyair ternama dari Persia berujar:
Semua yang dimiliki orang terdahulu dan terakhir adalah bayangan dari Muhammad,
Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa; semua berteduh di bawah naungan Muhammad.
Oleh karena itu, maka umatnya adalah umat terbaik yang dipilih untuk menjadi pengikutnya.
Tiada keraguan bahwa umat Muhammad Saw mengemban tugas menyebarkan
dakwah beliau ke seantero dunia, sebab, Kalian adalah umat terbaik yang
dikeluarkan bagi manusia (QS. Ali Imran: 110). Mereka adalah umat
pilihan Allah dan selain mereka adalah orang-orang yang merugi, Siapa
pun yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima darinya,
dan di akhirat dia termasuk golongan yang merugi (QS. Ali Imran: 85).
Marilah kita berharap tibanya hari dimana persatuan Islam akan
menyatukan umat, sehingga seruannya akan sama seperti seruan Allah, Dan
Allah menyeru kepada darus salam dan membimbing siapa pun yang Ia
kehendaki ke jalan lurus (QS. Yunus: 25). Inilah cakrawala cemerlang
yang telah diilustrasikan oleh Nabi Saw bagi umatnya, sehingga firman
Tuhan ini relevan bagi mereka, "Berbahagialah engkau wahai Muhammad dan
umatmu."
Persatuan umat dianggap sejajar dengan inti tegaknya
agama, yaitu takwa dan penghambaan, Sesungguhnya umat kalian ini adalah
satu umat dan Aku adalah Tuhan kalian, maka sembahlah Aku (QS.
al-Anbiya`: 92). Di sisi lain, penegakan agama yang benar berkaitan erat
dengan persatuan, "Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa
yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa
yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.
(QS. as-Syura: 13)
Jelas bahwa memenuhi seruan Nabi Saw untuk
bersatu adalah sebuah upaya untuk menjamin kehidupan abadi umatnya,
Wahai orang-orang yang beriman, jawablah seruan Allah dan Rasul ketika
mengajak kalian kepada hal yang menghidupkan kalian (QS. al-Anfal: 24).
Ini adalah perintah tegas dari Allah bahwa, Wahai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan Rasul, serta jangan gugurkan amal kalian
(QS. Muhammad: 33). Ini adalah perintah yang bila ditentang maka akan
menyebabkan kebinasaan, Dan siapa pun yang membangkang terhadap Allah
dan rasul-Nya, berarti dia telah tersesat dalam kesesatan nyata. (QS.
al-Ahzab: 36)
Jangan ada orang yang tempuh jalan berbeda dengan Nabi,
Karena dia tak akan sampai ke tujuan,
Wahai Sa`adi, jalan lurus bisa ditempuh,
Hanya dengan mengikuti jalan Mustafa (Sa`adi).
Dengan demikian, persatuan umat adalah jalan menuju kemenangan, Dia-lah
yang telah mengutus Rasul-Nya dan agama yang benar untuk memenangkannya
di atas semua agama, dan cukuplah Allah sebagai saksi. (QS. al-Fath:
26).
Guna mewujudkan persatuan umat, yang diperlukan adalah
adanya tekad kolektif dan kesabaran, Wahai orang-orang yang beriman,
mintalah bantuan melalui kesabaran dan shalat, sesungguhnya Allah
bersama orang-orang penyabar (QS. al-Baqarah: 153); Bersabarlah,
sesungguhnya janji Allah itu benar (QS. ar-Rum: 60).
Kemah-kemah kita memang terpisah, tapi hati kita satu,
Kita dari Hijaz, Cina, dan Iran, tapi kita adalah satu embun di pagi yang cerah (Iqbal Lahore).
Masa depan yang gemilang adalah milik kaum mukmin yang gigih berjuang
dalam naungan cahaya persatuan, Mereka ingin memadamkan cahaya Allah
dengan mulut-mulut mereka, tapi Dia tetap akan menyempurnakan
cahaya-Nya, meski orang-orang kafir tidak menyukainya (QS. at-Taubah:
32). Mereka-lah yang akhirnya akan bergembira memperoleh hadiah dari
Tuhan, Dan ridha Allah itu jauh lebih agung, itu adalah keberuntungan
yang besar. (QS. at-Taubah: 72).
Kesimpulan:
Persatuan umat selalu menjadi salah satu idealisme ajaran para nabi.
Oleh karena itu, salah satu poros utama dalam dakwah Nabi Saw adalah
menebar benih-benih persatuan.
Bila kita menganalisa pelbagai
peristiwa dalam sejarah Islam maka kita dapat menyimpulkan bahwa demi
menegakkan persatuan, selain memanfaatkan pendekatan politis dan
kultural, Nabi Saw juga menggunakan beberapa metode tertentu. Dengan
memerhatikan kondisi sosial yang ada di tengah masyarakat, metode-metode
alternatif ini mampu mengarahkan umat menuju persatuan.
Perjanjian Madinah adalah jalan terbaik dalam menciptakan persatuan dan
solidaritas keagamaan. Memanfaatkan solusi kebangsaan-keagamaan hanya
bisa menjamin tegaknya pondasi sosial masyarakat. Karena itu, dibutuhkan
solusi lain yang berupa gerakan melawan fanatisme kesukuan dan rasisme
untuk menciptakan persatuan. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa
Nabi Saw pun memanfaatkan pendekatan karakteristik moral-sosial dalam
rangka mewujudkan persatuan.
Dengan demikian, salah satu metode
efektif untuk mengukuhkan persatuan di tengah umat Islam adalah
mengarahkan masyarakat guna menerapkan tiga metode di atas, yaitu:
solusi kebangsaan-keagamaan, kesukuan, dan sosial-individual.
Sumber: IRIB
Indonesia
Post a Comment
mohon gunakan email