Pesan Rahbar

Home » » Keistimewaan Keluarga Para Nabi

Keistimewaan Keluarga Para Nabi

Written By Unknown on Monday 5 January 2015 | 08:42:00


Telah menjadi sunatullah, Nabi-nabi memiliki keluarga yang dimuliakan, diagungkan dan anak keturunan mereka dipilih oleh Allah sebagai washi, pelanjut risalah kenabian. Berikut ini beberapa ayat Al-Qur'an menjelaskan masalah ini :
"Dan Kami menganugerahkan kepada Ishak dan Yaqub. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian keturunannya (Nuh) iaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik; dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas, semuanya termasuk orang-orang yang soleh; dan Ismail, Alyasa', Yunus dan Luth, masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya); dan Kami lebihkan (pula) derajat sebahagian dari bapa-bapa mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka. Dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka kepada jalan yang lurus. Inilah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya." (Qs. Al-An'am : 84).

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan al-kitab, maka diantara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak diantara mereka yang fasiq" (Qs. Al-Hadid : 26).

"Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Yaqub dan Kami jadikan kenabian dan al-Kitab kepada keturunannya, dan Kami berikan kepadanya balasan di dunia; dan sesungguhnya di akhirat mereka benar-benar termasuk orang-orang yang soleh" ( Qs. Al-Ankabut : 27)

Dan beberapa ayat lainnya yang tersebar dalam Al-Qur'an satu-satunya kitab Samawi yang tetap steril dari berbagai upaya penyelewengan dan perubahan.

Ayat-ayat di atas berbicara tentang sunatullah di muka bumi, dalam hal pemilihan washi para Nabi yang berasal dari keturunan mereka yang soleh dan suci, bukan yang fasiq dan bahwa pewarisan ilmu al-Kitab, hukum dan kenabian di antara putra-putra mereka yang suci telah ditetapkan sejak diturunkannya Adam as ke muka bumi. Silsilah yang suci ini memberikan gambaran yang jelas bahwa risalah Ilahiah ini tidak pernah keluar dari lingkaran keluarga-keluarga Nabi yang disucikan, dan tidak diwarisi oleh hati yang pernah dikotori oleh kesyirikan, kekejian dan kezaliman.

Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (Qs. Al-Baqarah: 124).

Jika ajaran Nabi terdahulu saja yang hanya berlaku untuk masa dan kaum tertentu memerlukan silsilah yang suci dan jiwa yang bersih, maka bagaimana mungkin ajaran Islam tidak memerlukan silsilah yang suci yang akan saling mewarisi ajaran Muhammad Saw yang luhur dan kekal hingga hari kiamat?. Jika Nabi terdahulu saja memerlukan orang yang menggantikannya di dalam urusan tabligh dari kalangan keluarga dan keturunannya yang soleh, maka bagaimana mungkin Rasulullah Saw tidak membutuhkan orang-orang yang meneruskan ajaran ini dari keluarga dan keturunannya yang suci? Jika ayat-ayat tentang nabi dan keturunannya menekankan bahwa pemilihan washi para nabi telah berlaku bagi keluarga nabi yang soleh dengan tujuan untuk menjaga kesucian risalah, maka bagaimana mungkin ajaran Muhammad Saw yang kekal tidak membutuhkan peribadi-peribadi suci dari keturunannya yang akan menjaga nilai-nilai ajaran Ilahi dari usaha penyimpangan?

Melalui pengkajian ayat-ayat Al-Qur'an, tampak jelas bahwa masalah pemilihan atau seleksi pelanjut kepemimpinan Ilahiah adalah semata-mata wewenang Dzat yang Maha Mengetahui, tanpa adanya campur tangan sesiapapun.

"Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami." (Qs. Fathir : 32).

Dalam ayat lain, dikisahkan tentang Nabi Musa as, "Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (iaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Mengetahui (keadaan) kami." Allah berfirman : "Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa." (Qs. Thaha : 29-36).

Kita menyaksikan dalam ayat ini betapa Nabi Musa memohon kepada Allah SWT dengan penuh pengharapan dan kerendahan hati untuk memilih saudaranya, Harun, sebagai pembantunya dalam urusan Tabligh. Jika nabi Musa as saja, dengan segala ketinggian kedudukan dan kedekatannya kepada Allah SWT tidak memperkenankan dirinya untuk memilih langsung orang yang akan menggantikan dia sepeninggalnya dan yang membantunya dalam tugas-tugasnya, maka bagaimana mungkin umat Islam berhak memilih orang-orang yang menggantikan Rasulullah Saw sebagai khalifah sepeninggalnya? sebuah keberanian ‘ijtihad' yang telah menimbulkan perselisihan, perpecahan bahkan sampai pertumpahan darah dikalangan sahabat.

(Dokumentasi/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: