Pesan Rahbar

Home » » Menyebabkan pecahnya Perang Rantai

Menyebabkan pecahnya Perang Rantai

Written By Unknown on Wednesday, 21 January 2015 | 22:51:00


Pertanyaan:
Apa yang menyebabkan pecahnya Perang Rantai?


Jawaban Global:

Perang Rantai (Sariyyah Dzât al-Salâsil) merupakan salah satu peristiwa yang disebutkan berbeda-beda dalam litetarur-literatur sejarah terkait dengan kejadiannya. Berdasarkan sebagian literatur, beberapa kabilah bermaksud ingin menyerang Madinah. Mengetahui hal ini, Rasulullah Saw mengeluarkan seruan untuk perang dan Abu Bakar, Umar diutus pergi sebagai panglima perang namun mereka tidak berhasil mengalahkan kabila-kabilah itu.

Kemudian Amru bin Ash diutus yang memutuskan untuk mengalahkan mereka dengan kecohan namun ia juga tidak berhasil. Pada akhirnya, beberapa orang dikirim dikomandoi oleh Imam Ali As. Lalu dengan beberapa kontak senjata ringan, pasukan musuh berhasil dicerai berai dan kalah oleh pasukan Imam Ali As. Imam Ali kembali ke Madinah dengan membawa kemenangan beserta pampasan perang dan beberapa tawanan.

Sebagian literatur lainnya menyebutkan bahwa Rasulullah Saw semenjak awal mengirim Amru bin Ash untuk berperang melawan musuh. Kemudian pasukan yang dipimpin oleh Abu Ubaidah menyusul dan pasukan Islam yang dipimpin oleh Amru bin Ash dapat mengalahkan musuh.


Jawaban Detil:

Pada tahun kedelapan Hijriah[1] meletus perang antara kaum Muslimin dan musuh. Pada perang itu, Rasulullah Saw tidak turut serta. Perang disebut sebagai Sariyah Dzat al-Salasil.

Sehubungan dengan alasan penamaan perang ini menjadi perang Dzat al-Salasil terdapat dua pendapat:
1. Sebagian literatur menyebutkan sebab penamaan perang ini: Imam Ali As mengikat tawanan musuh dengan tali sehingga nampak seperti rantai.[2]
2. Literatur lainnya menyebutkan, “Salasil adalah nama sungai yang terletak di daerah Jadzam dan perang meletus di tempat ini. Karena itu perang itu disebut sebagai perang Dzat al-Salasil.[3]


Dalam menjelaskan perang dan pelbagai peristiwa yang terjadi di tempat itu, dalam beberapa literatur, terdapat dua nukilan:

1. Sebagian literatur mengungkap perang ini sebagaimana berikut: Rasulullah Saw dikabari bahwa kabilah Bali dan Qadha’ah mengumpulkan anggota sukunya (pria) dan bertolak menuju Madinah untuk membuat kekacauan (memicu perang). Rasulullah Saw mengirim Amru bin Ash yang dari jalur ibu memiliki kekerabatan dengan kabilah Bali beserta tiga puluh orang untuk pergi menghadapi kabilah itu. Amru bin Ash dipilih supaya ia mengajak anggota kabilah itu untuk mengenal Islam. Amru bin Ash bergerak maju hingga mendekati daerah mereka dan berhenti di tempat itu karena takut akan serangan musuh. Kemudian ia mengutus seseorang untuk menghadap Rasulullah Saw dan meminta pertolongan darinya. Rasulullah Saw mengirimkan dua ratus orang di antaranya adalah Abu Bakar dan Umar di bawah komando Abu Ubaidah Jarrah untuk membantu Amru bin Ash. Rasulullah Saw menasihatkan untuk tidak saling bersilang pendapat. Tatkala pasukan kedua (bantuan) tiba; muncullah silang pendapat terkait siapa yang harus menjadi komando perang, Abu Ubaidah atau Amru bin Ash. Amru berkata kepadanya, “Engkau dikirim kemari untuk membantuku.” Kaum Muhajirin yang tiba bersama pasukan kedua berkata, “Tidak sama sekali. Engkau menjadi komandan pasukanmu sendiri dan Abu Ubadah tetap menjadi komandan pasukan kami.” Namun Amru tidak menerima hal ini. Abu Ubaidah berkata, “Wahai Amru! Rasulullah Saw bersabda kepadaku, ‘Kalian jangan bersilang pendapat.’ Sekiranya engkau adalah komandan pasukan maka saya akan mematuhimu.” Amru bin Ash berkata, “Saya adalah pemimpinmu dan engkau adalah pembantuku.” Abu Ubaidah juga menerima pernyataan Amru bin Ash ini. Pada akhirnya Amru bin Ash mengerjakan salat dan pasukannya yang di dalamnya ada Abu Ubaidah, Abu Bakar dan Umar bermakmum di belakangnya. Pasukan ini bergerak menuju ke arah musuh dan kebanyakan pasukan musuh kabur dan dengan kontak senjata ringan perang berkhir.[4] Karena komandan pasukan ini adalah Amru bin Ash sehingga sebagian literatur menyebut sariyah (perang) ini sebagai Sariyyah Amru bin Al-Ash.[5]

2. Sebagai bandingan (tandingan) pendapat ini, terdapat nukilan lainnya: Suatu hari seseorang datang menghadap Rasulullah Saw. Ia duduk bersimpuh di hadapan Rasulullah Saw dan berkata bahwa ia datang untuk memikirkan kemaslahatan umat. Rasulullah Saw berkata, “Kemaslahatan yang mana?” Katanya, “Sebagian musuh telah bersepakat untuk mengawasi Anda di Madinah dan ingin membuat kekacauan.” Orang itu memperkenalkan siapa saja mereka. Rasulullah Saw berkata kepada Imam Ali As untuk memanggil orang-orang berkumpul di masjid. Setelah orang-orang berkumpul, Rasulullah Saw naik ke atas mimbar. Setelah memuji dan memuja Allah Swt, Rasulullah Saw bersabda, “Musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya datang dan beranggapan bahwa mereka dapat mencerai beraikan kalian di Madinah dan membuat kekacauan di kota ini. Siapa di antara kalian yang dapat menjawab keinginan mereka membuat onar (berperang dengan mereka). Seseorang dari Muhajirin berdiri dan menerima permintaan ini. Rasulullah Saw mengirimkan tujuh ratus orang bersamanya. Pria Muhajirin itu beserta pasukannya berangkat menuju ke kabilah itu. Tatkala tiba di tempat itu, orang-orang bertanya siapakah Anda? Katanya, “Aku adalah pembawa pesan Rasulullah Saw. Apakah kalian ingin memberikan kesaksian atas keesaan Allah dan risalah rasul-Nya? Kalau tidak maka saya akan memerangi kalian. Orang-orang berkata kepadanya, “Kembalilah. Jumlah kami sangatlah banyak sehingga kalian tidak akan mampu menghadapinya.” Orang itu kembali dan melaporkan kejadian di tempat itu. Rasulullah Saw meminta orang lain. Kali ini ada seorang pria dari kaum Muhajirin yang maju dan Rasululah Saw menyerahkan panji kepadanya. Kejadian yang ia hadapi sama dengan pasukan yang pertama dikirim.

Rasulullah Saw bertanya Ali dimana? Ali berdiri di tempatnya dan memberikan penghormatan. Rasulullah Saw bersabda, “Pergilah ke tempat itu dan pendekanlah tangan musuh-musuh.”[6] Ali pergi ke rumah Fatimah dan mengambil ammamah khusus kemudian berangkat menuju ke kabilah Bali dan Qadha’ah. Imam Ali beserta pasukannya tiba di tempat itu pada tengah malam dan tidak bergerak maju hingga pagi hari. Tatkala ia telah usai mengerjakan salat Subuh bersama dengan pasukannya. Imam Ali As memperlihatkan barisan pasukannya yang tengah bersandar di atas pedang mereka. Imam Ali As berkata, “Ayyuhannas!

Saya datang mewakili Rasulullah Saw untuk mengajak kalian kepada (penyembahan) Tuhan yang Esa dan risalah Rasul-Nya. Kalian harus menerimanya dan kalau tidak saya akan menggunakan pedang memerangi kalian. Orang-orang berkata, “Sebagaimana teman kalian yang sebelumnya kembalilah. Jumlah kami sangat bnyak dan kalian tidak akan mampu menghadapinya.” Imam Ali menimpali, “Demi Allah! Saya tidak akan kembali hingga kalian menerima Islam atau saya akan habisi kalin dngan pedang. Saya adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthhalib. Mendengar nama Ali telah menimbulkan ketakutan di barisan pasukan musuh. Terjadi kontak senjata ringan dan Ali As berhasil membunuh enam atau tujuh orang dari mereka. Kaum Muslimin meraih kemenanngan dan kembali ke Madinah dengan membawa pampasan perang.[7]

Sebagian literatur sejarah menyebutkan bahwa orang pertama dan kedua itu adalah Abu Bakar dan Umar. Literatur ini menyebutkan bahwa mereka setelah kontak senjata ringan menderita kekalahan dan kembali.[8]

Demikian juga sejumlah literatur menyebutkan bahwa setelah dua orang itu, tongkat komando diserahkan kepada Amru bin Ash yang ingin mengalahkan musuh dengan tipuan. Namun ia juga menderita kekalahan dan kembali. Setelah Amru bin Ash pulang dengan kekalahan, kemudian Imam Ali As yang diutus.[9]

Pada sebagian literatur disebutkan, “Pada masa kembalinya Imam Ali As, Rasulullah Saw beserta sebagian sahabat menyambut kedatangan Imam Ali. Rasulullah Saw berkata kepada sahabat, “Wahai para pengikutku! Jangan salahkan Aku karena mecintai Ali bin Abi Thalib. Karena Aku mencintai Ali atas perintah Allah Swt.”[10]

Demikian juga kebanyakan ahli tafsir Syiah berdasarkan sebagian riwayat[11] meyakini bahwa sya’n al-nuzul surah al-Adiyat terkait dengan kisah ini.[12]


Referensi:
[1]. Muhammad bin Yusuf Shalihi Dimasyqi, Subul al-Hudâ wa al-Rusyad fi Sirah Khair al-‘Ibâd, jil. 6, hal. 167, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cetakan Pertama, 1414 H.
[2]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 21, hal. 77, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-‘Arab, Cetakan Kedua, 1403 H; Hasan bin Muhammad Dailami, Irsyâd al-Qulub ila al-Shawâb, jil. 2, hal. 248, Qum, al-Syarif al-Radhi, Cetakan Pertama, 1412 H.
[3]. Taqiyuddin Maqrizi, Imtâ’ al-Asmâ bimâ Linnabi min al-Ahwâl wa al-Amwâl wa al-Hafidah wa al-Mitâ’, Riset oleh Muhammad Abdul Hamid Namisi, jil. 1, hal. 344, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cetakan Pertama, 1420 H; Muhammad bin Ahmad Dzahabi, Târikh al-Islâm, Riset oleh Umar bin Abdul Salam Tadmiri, jil. 2, hal. 513, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cetakan Pertama, 1409 H.
[4]. Abu Ja’far bi Muhammad bin Jarir Thabari, Târikh al-Umam wa al-Muluk (Târikh Thabari), Riset oleh Muhammad bin Abul Fadhl Ibrahim, jil. 3, hal. 32, Beirut, Dar al-Turats, Cetakan Kedua, 1387 H; Abdurrahman bin Ali Ibnu Jauzi, al-Muntazham, Riset oleh Muhammad Abdul Qaddir ‘Atha, Musthafa Abdul Qadir, jil. 3, hal. 321, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cetakan Pertama, 1412 H; Abdul Malik, Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, Riset oleh Mustafa al-Saqa al-Abyari dan Abdul Hafizh Syilbi, jil. 2, hal. 623, Beirut, Dar al-Ma’rifah, Beirut, Cetakan Pertama, Tanpa Tahun.
[5]. Muhammad bin Sa’ad bin Sa’ad Katib Waqidi, al-Thabaqât al-Kubrâ, jil. 2, hal. 99, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, Cetakan Kedua, 1418 H.
[6]. Pada sebagian literatur disebutkan bahwa hanya tiga puluh orang berkuda yang dikirim menyertainya; Fadhlullah bin Ali Rawandi Kasyani, al-Nawâdir, Riset dan edit oleh Ahmad Shadiqi Ardestani, hal. 33, Qum, Dar al-Kitab, Cetakan Pertama, Tanpa Tahun.
[7]. Syaikh Mufid, al-Irsyâd fi Ma’rifat Hujajillâh ‘ala al-‘Ibâd, jil. 1, hal. 114-116, Qum, Kongre Syaikh Mufid, Cetakan Pertama, 1413 H; Fadhl Hasan Thabarsi, I’lâm al-Warâ bi A’lâm al-Huda, hal. 195-196, Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Ketiga, 1390 H.
[8]. Ibnu Syahr Asyub Mazandarani, Manâqib Alu Abi Thalib As, jil. 3, hal. 140, Qum, Intisayarat Allamah, Cetakan Pertama, 1379 H; Hasan bin Yusuf Allamah Hilli, Kasyf al-Yaqin fi Fadhâil Amir al-Mu’minin As, Riset dan edit oleh Husain Dargahi, hal. 151, Wizarat Irsyad Tehran, Cetakan Pertama, 1411 H.
[9]. Said bin Abdullah Quthbuddin Rawandi, al-Kharâij wa al-Jarâih, jil. 1, hal. 167, Qum, Muassasah Imam Mahdi Ajf, Cetakan Pertama, 1409 H.
[10]. Abu al-Qasim Furat Kufi, Tafsir Furât, Riset oleh Muhammad Kazhim Mahmudi, hal. 599, Tehran, Wizarat Irsyad Islami, Cetakan Pertama, 1410 H.

«فإنما حبی علیا من أمر الله و الله أمرنی أن أحب علیا»

[11]. Sebagai contoh silahkan lihat, Ali Ibrahim Qummi, Tafsir al-Qummi, Riset dan edit oleh Sayid Thayyib Musawi Jazairi, jil. 2, hal. 438, Qum, Dar al-Kitab, Cetakan Ketiga, 1404 H.
[12]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, Mukaddimah Muhammad Jawad Balaghi, jil. 10, hal. 803, Tehran, Nasir Khusruw, Cetakan Ketiga, 1372 S.

(Islam-Quest/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: