“Imam adalah orang yang menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya”.
“Imam adalah seorang yang berilmu bukan seorang yang bodoh, yang akan membimbing umat bukan membuat makar”.
“Imam itu tinggi ilmunya, sempurna sifat lemah lembutnya, tegas dalam perintah, tahu tentang politik, punya hak untuk menjadi pemimpin”.
“Sesungguhnya Imam itu kendali agama dan sistem bagi kaum Muslimin serta pondasi Islam yang kokoh. Dengannya, shalat, zakat, puasa dan haji serta jihad menjadi lengkap”.
“Imam bertanggung jawab memelihara Islam, serta mempertahankan syareat, akidah dari penyimpangan dan penyesatan”.
“Imam bertanggung jawab mendidik umat, karenanya harus bersifat memiliki ilmu, tahu tentang situasi dan kondisi sosial, politik dan kepemimpinan”.
Tulisan di atas merupakan sedikit penjelasan tentang makna keimaman yang dikemukakan Ali bin Musa Ar-Ridha as. Beliau adalah pewaris keimamahan setelah ayahnya, musa Al-Kadzim as yang wafat diracun oleh Harun Ar-Rasyid. Ibunya, Taktam yang dijuluki Ummu Al-Banin dia adalah seorang yang shalehah, ahli ibadah, utama dalam akal dan agamanya dan setelah melahirkan Ali Ar-Ridha as, Imam Musa memberinya nama Ath-Thahirah. Imam Ali Ar-Ridha as hidup dalam bimbingan, pengajaran dan didikan ayahnya selama tiga puluh lima tahun. Sejarah menjadi saksi nyata bahwa para Imam Ahlul Bait ini sangat utama dalam kedudukannya yang sekaligus merupakan rujukan bagi kaum Muslimin dalam setiap permasalahan. Begitu juga Imam Ali Ar-Ridha yang tumbuh dalam didikan ayahnya pantas menjadi seorang Imam serta mursyid (guru penunjuk) yang akan memelihara madrasah Ahlu Bait Nabi dan menduduki posisi kepemimpinan di mata kaum Muslimin.
Begitulah, setiap Imam akan dibimbing oleh Imam sebelumnya dan setiap Imam akan memperkenalkan dan menunjukkan identitas Imam yang akan menggantikannya, agar kaum Muslimin tidak kebingungan tentang siapa penerus misinya guna merujuk kepadanya dalam mencari pengetahuan tentang syareat Islam, menimba ilmu dan makrifat serta mengikuti kepemimpinan dan petunjuknya.
Di zaman Ali Ar-Ridha as bidang ilmu, kegiatan penelitian, penulisan buku dan pendokumentasian telah berkembang pesat. Di masa ini juga hidup Asy-Syafi’i, Malik bin Anas, Ats-Tsauri, Asy-Syaibani, Abdullah bin Mubarak dan berbagai tokoh-tokoh ilmu pengetahuan syareat dan logika serta kemasyarakatan.
Mengenai situasi sosial saat itu, siapapun yang mengkaji akan mengetahui bahwa kehidupan istana yang dipimpin Al-Mahdi, Al-Hadi, Ar-Rasyid, Al-Amin dan Al-Makmun adalah kehidupan yang sarat dengan kofoya-foyaan, penuh dengan budak-budak perempuan, para penyanyi, penari dan gelas-gelas khomer. Ribuan juta dinar dan dirham dihambur-hamburkan sementara rakyat hidup dalam penekanan, pajak yang tinggi serta kelaparan dan berbagai teror yang ditujukan kepada mereka. di saat seperti inilah Imam Ahlul Bait menunjukkan sikap ramahnya kepada kaum tertindas yan ghidup dalam serba ketakutan serta menyerukan perbaikan dan perubahan yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Karenanya, mereka mengalami penyiksaan, pengejaran, pemenjaraan dan pembunuhan. Sedang situasi politik saat itu, setelah Harun Ar-Rasyid meracuni ayahnya dia masih hidup beberapa tahun bersama Imam Ali Ar-Ridha as. Perlakuan Harun Ar-Rasyid kepada Imam Ali Ar-Ridha as tidak seperti perlakuan terhadap ayahnya.
Sebelum Harun Ar-Rasyid meninggal, dia membagi negeri kekuasaannya di antara ketiga anaknya; Al-Amin, Al-Makmun, Al-Qasim. Sedangkan jabatan putra mahkota diberikan secara berurutan, pertama Al-Amin kemudian Al-Makmun dan Al-Qasim.
Namun setelah Harun Ar-Rasyid meninggal dunia, terjadi perebutan kekuasaan antara Al-Amin dan Al-Makmun. Dan setelah terjadinya peperangan yang dahsyat, Al-Amin kalah kemudian dibunuh, sedang kepalanya dipenggal lalu dibawa ke hadapan Al-Makmun. Selama masa itu, daulat Abbasiah terus menerus dilanda pergolakan fisik maupun politik dan perekonomiannya mengalami kemerosotan yang tajam. Sementara itu, Imam Ali Ar-Ridha as mempunyai pengaruh yang besar terhadap para pengikutnya. Untuk mengantisipasi keadaan itu dan sekaligus memadamkan adanya beberapa pemberontakan dari kaum Alawiyin, Al-Makmun kemudian mengumumkan rencananya untuk mengangkat Imam Ali Ar-Ridha sebagai putra mahkota sepeninggalnya. Walaupun rencana itu mendapat tantangan yang keras dari pihak keluarganya, namun dia tetap bersikeras untuk mempertahankan rencananya. Kemudian dia mengirim utusan kepada Imam Ali Ar-Ridha as dan memintanya agar datang ke Khurasan untuk bermusyawarah berkenaan dengan pengangkatan beliau sebagai putra mahkota. Dengan terpaksa Imam Ali Ar-Ridha as memenuhi panggilan itu. Setelah sampai di tempat Al-Makmun, rombongan kemudian ditempatkan di sebuah rumah, sedang Imam Ali Ar-Ridha as as, ditempatkannya di sebuah rumah tersendiri.
Akhirnya, Al-Makmun menuliskan nash baiat untuk Imam Ali Ar-Ridha as dengan tangannya sendiri, dan Imam pun menandatangani nash baiat, yang menyatakan bahwa beliau menerima pengangkatan dirinya sebagai putra mahkota.
Sejarah berbicara lain, Al-Makmun bukan orang yang tidak suka kedudukan. Dia telah membunuh saudaranya Al-Amin dan juga membunuh orang-orang yang telah mengabdi kepada saudaranya dan juga ayahnya, seperti Thahir bin Husain, Al-Fadhl bin Sahl dan lain-lain yang telah berjasa dalam mengukuhkan pemerintahannya, maka bukan juga hal yang mustahil jika dia akhirnya menyusun siasat untuk membunuh Imam dengan cara meracuninya.
Imam Ridha as syahid pada hari terakhir bulan Shafar tahun 203 Hijriah di kota Thus (Masyhad) dan dimakamkan di sana juga, di rumah Humaid bin Qahthabah di sisi kuburan Harun Ar-Rasyid pada arah kiblat. Sekarang, makam beliau as merupakan makam yang sangat menonjol, yang dikunjungi oleh jutaan penziarah yang berdesak-desakan di sekelilingnya. Kota di mana beliau as dimakamkan telah menjadi kota yang besar di Republik Islam Iran. Letaknya berbatasan dengan Rusia. Ia merupakan kota yang indah dan ramai. Di dalamnya terdapat perkumpulan-perkumpulan ilmiah dan sekolah agama.
Wilayah Khurasan di mana kota Masyhad berada memiliki nilai sejarah dan peran politik yang aktif dalam sejarah Islam dan sejarah Ahlul Bait as. Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada beliau as di saat beliau dilahirkan serta di hari syahidnya dan saat dibangkitkan kelak kemudian hari.
Akhirnya kami memohon kepada Allah swt agar menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang mengikuti pimpinan Sayyidil Mursalin Muhammad saw dan Ahlul Baitnya serta menjadi orang-orang yang berjalan pada jalan petunjuk-Nya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha mengabulkan doa.
Wal Hamdulillah Rabbil ‘Alamin.
(Al-Kisah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email