Pesan Rahbar

Home » » Al-Mahdi yang Dijanjikan dan Kegaibannya adalah Berita Gembira Seluruh Agama

Al-Mahdi yang Dijanjikan dan Kegaibannya adalah Berita Gembira Seluruh Agama

Written By Unknown on Sunday, 3 January 2016 | 14:01:00

 
Benih Keyakinan Akan Penyelamat Dunia.
Keyakinan akan kepastian munculnya penyelamat agama yang mendunia dan berdirinya pemerintahan Tuhan yang adil di seluruh bumi merupakan titik persamaan yang nyata antarseluruh agama.1

Adapun perbedaan di antara agama-agama tersebut adalah dalam penetapan siapa sebenarnya juru penyelamat agama yang mendunia ini yang akan mewujudkan dan merealisasikan seluruh tujuan para nabi.

Doktor Muhammad Mahdi Khan menyampaikan pada enam bab pertama dalam bukunya Miftah Bab al-Abwâb tentang pandangan masing-masing keenam agama yang terkenal tentang kemunculan nabi terakhir dan kemunculan juru penyelamat dunia. Dia menjelaskan bahwa seluruh agama, dalam hal ini paling tidak keenam agama tersebut, memberikan kabar gembira akan kemunculan juru penyelamat Tuhan di masa mendatang atau di akhir zaman untuk memperbaiki dunia, mencegah kezaliman, dan kejahatan serta mewujudkan kebahagiaan pada umat manusia.2 Hal itu juga disampaikan oleh Mirza Muhammad al-Astarabadi dalam bukunya Dzâkhirat al-Abwâb secara terperinci dan menukil beberapa bagian dari nas-nas dan berita gembira yang sangat banyak dari berbagai kitab samawi pada sejumlah kaum tentang hal tersebut.

Kenyataan ini merupakan hal yang jelas yang dinyatakan oleh mereka yang mau mempelajari keyakinan akan adanya juru penyelamat bahkan bagi mereka yang menolak kebenaran tersebut ataupun meragukannya seperti sebagian orientalis, semisal Golad Zihar Majri dalam bukunya Al-‘Aqidah wa Syâri’ah fî al-Islâm.3 Mereka menganggap bahwa keyakinan akan adanya juru penyelamat merupakan puncak sejarah keberagamaan bahkan telah ada sejak dulu pada kitab-kitab agama orang Mesir, Cina, Mongol, Budha, Majusi, dan Hindu serta Akhbasy. Terlebih-lebih pada tiga agama besar dunia, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam.4

Kabar Gembira Akan Juru Penyelamat dalam Kitab- Kitab Suci.
Dengan memerhatikan keyakinan agama-agama tentang juru penyelamat dunia, hal itu berdasarkan nas-nas (bukti-bukti) yang jelas dalam kitab agama mereka dan bukan penjelasan atau penafsiran yang disampaikan oleh pemuka-pemuka agama akan nas-nas yang kabur yang dimungkinkan akan adanya penakwilan yang beragam.5

Perhatian yang demikian ini membuktikan akan landasan keyakinan tersebut dan merupakan bentukbentuk nyata kesamaan dalam ajaran-ajaran para nabi as.

Sesungguhnya setiap ajaran kenabian—paling tidak ajaran utama dan yang paling besar—merupakan sebuah langkah dalam rangka mempersiapkan kemunculan penyelamat agama yang mendunia yang akan merealisasikan tujuan ajaran-ajaran tersebut secara keseluruhan.6

Sebagaimana bahwa kabar gembira akan kepastian munculnya juru penyelamat dunia memberi pengaruh pada ajaran-ajaran ini, hal itu juga menjadi faktor pendorong bagi para pengikut para nabi untuk bergerak dalam rangka mewujudkan tujuan risalah mereka. Dengan begitu, mereka berusaha ikut serta berperan pada masyarakat dunia untuk merealisasikan tujuan-tujuan seluruh ajaran kenabian secara sempurna di masa kejayaan agama yang mendunia.
Karena itu pula, kabar gembira akan keyakinan tersebut merupakan faktor penting dalam berbagai nas-nas agama dan ajaran-ajaran kenabian.

Tertanamnya Pemikiran Akan Juru Penyelamat pada Pengikut Agama Yahudi dan Nasrani.
Sesungguhnya keyakinan akan kemunculan sang juru penyelamat merupakan pemikiran yang tertanam pada orang Yahudi dan terdapat pula dalam kitab Taurat serta sumber-sumber agama yang diakui oleh mereka. Pembicaraan tentang keyakinan ini di kalangan orang Yahudi sangat banyak dan terperinci di kalangan para peneliti modern, khususnya di dunia Barat seperti George Roger Ford dalam bukunya Malayin Minal Ladzina Hum Ahyaulyaum Lan Yamutu Abadan (Ribuan Orang-Orang Yang Hidup Saat Ini Yang Tidak Mati). Begitu juga senator Amerika Bill Manchelli dalam bukunya Man Yajrau ‘Ala al-Kalam (Yang Menjadi Pembicaraan) dan peneliti Barat seperti Grace Hallsel dalam bukunya An-Nubuwwah wa Siyâsah (Kenabian dan Politik) dan masih banyak yang lainnya.7

Setiap orang yang mempelajari agama Yahudi akan mendapati bahwa keyakinan akan adanya juru penyelamat sangat tertanam pada agama tersebut. Contoh-contoh yang kami sebutkan sebelumnya mengenai hal ini merupakan bukti akan keyakinan adanya juru penyelamat. Begitu pula pengaruh-pengaruh politik yang muncul merupakan hasil dari pergerakan Yahudi yang bersumber dari keyakinan tersebut. Khususnya, pada abad-abad terakhir ditujukan sebagai persiapan akan kemunculan sang juru selamat dunia yang mereka yakini.

Akar pergerakan ini adalah keyakinan orang Yahudi pada hal ini (datangnya juru selamat) mencakup batasan waktu dari dimulainya persiapan-persiapan kemunculan sang juru selamat yang dimulai sejak tahun 1914—yaitu tahun dimulainya Perang Dunia I—sampai kembalinya bangsa Yahudi ke Palestina dan mendirikan pemerintahan yang mereka anggap merupakan tahapan di antara tahapan-tahapan persiapan yang penting bagi kemunculan sang juru selamat yang dijanjikan. Mereka meyakini bahwa kembalinya mereka ke Palestina adalah awal peperangan terpisah yang mencegah munculnya kejahatan di dunia. Sejak saat itu, dimulailah hukum al-malakut di bumi guna menjadikan bumi seperti surga Firdaus.8

Terlepas dari perdebatan yang terjadi dalam perincian mengenai keyakinan ini di kalangan orang-orang Yahudi, hal yang disepakati adalah pemikiran tentang juru selamat merupakan inti ajaran mereka dan puncak ajaran Yahudi—di sela-sela penyimpangan perincian dan penentuan akan hal tersebut—untuk membangun sebuah gerakan strategis yang cukup panjang dan melelahkan yang menguras seluruh kemampuan dan pemikiran orang-orang Yahudi. Mereka mengerahkan segenap daya upaya dan pergerakan mereka menuju perwujudan dari apa yang mereka gambarkan tentang kepemimpinan orang Yahudi atas pengikutnya dan sekaligus bukti persiapan kemunculan sang juru selamat yang dijanjikan.

Jelaslah, jika keyakinan akan hal itu tidak tertanam dan bersandar pada bukti-bukti keagamaan orang-orang Yahudi, mereka tidak akan mampu mewujudkan pergerakan seperti ini dengan segala kekuatannya. Hal seperti ini mustahil muncul dari pemikiran yang tidak berdasar dan tidak bersumber serta tertancap kuat di kalangan masyarakat mereka.

Begitu pula umat Nasrani yang percaya pada pokok pemikiran tersebut berlandaskan pada sejumlah ayat-ayat dan kabar gembira yang terdapat pada Injil dan Taurat.

Para pendeta menjelaskan keimanan akan kepastian kembalinya Isa al-Masih di akhir zaman untuk memimpin manusia dalam revolusi besar dunia. Setelah itu, beliau menyelimuti dunia dengan keamanan dan keselamatan di muka bumi sebagaimana yang diucapkan Uskup Jerman, Fander, dalam bukunya Mîzân al-Haqq9, “Sesungguhnya al-Masih membawa kekuatan dan pedang untuk mendirikan pemerintahan dunia yang adil.” Inilah keyakinan yang tersebar di berbagai kalangan Nasrani.

Keyakinan akan Juru Selamat Dunia dalam Pemikiran.
Selain Agama Patut diperhatikan bahwa keimanan akan kepastian munculnya sang juru selamat dunia dan pemerintahannya yang adil yang peperangan padam di dalamnya, keselamatan dan keadilan tersebar di alam dunia, bukan merupakan keyakinan khusus dalam agama samawi melainkan sebaliknya mencakup berbagai aliran pemikiran dan filsafat selain agama. Kita dapati banyak karya-karya pemikiran yang menjelaskan tentang kepastian akan hal itu, seperti apa yang disampaikan oleh ilmuwan Inggris terkenal, Bertrand Russel, “Sesungguhnya dunia sedang menanti sang juru selamat yang menyatukan manusia di bawah satu panji dan satu seruan.”10 Begitu pula ahli kimia termuka dan penemu teori probabilitas kalkulus yaitu Albert Einstein berkata, “Sesungguhnya hari yang seluruh alam diliputi dengan keselamatan dan kebahagiaan serta manusia saling mencintai dan bersaudara tidaklah jauh.”11

Lebih jelas dan lebih dalam lagi apa yang disampaikan oleh ilmuwan Irlandia yang terkenal, Bernard Rosso, yang menerangkan dengan jelas akan kepastian munculnya sang juru selamat dan keharusan akan panjangnya umur sang juru selamat sebelum kemunculannya. Hal ini menyerupai keyakinan Imamiyah tentang umur Imam Mahdi as yang panjang. Ia berpendapat bahwa adalah keharusan untuk mendirikan pemerintahan yang dijanjikan. Ia juga berpendapat dalam bukunya Al-Insan as-Suberman (Superman)—seperti yang dinukil oleh DR. Abbas Mahmud Aqqad dalam bukunya dari Bernard Rosso—ketika menjelaskan tentang sang juru selamat yaitu “Manusia yang hidup yang memiliki tubuh yang sempurna, memiliki kemampuan akal yang luar biasa, manusia agung yang melebihi manusia-manusia pada umumnya setelah usaha yang panjang. Dia memiliki umur yang panjang bahkan lebih dari tiga ratus tahun yang dapat dimanfaatkan oleh segenap generasi sepanjang kehidupannya yang panjang.”12

Panjangnya Umur Sang Juru Selamat dalam Pemikiran Manusia.
Sesungguhnya karakter-karakter yang disebutkan oleh ilmuwan Irlandia tentang juru selamat dunia baik dari sisi kesempurnaan fisik, akal, maupun panjangnya umur sang juru selamat serta kemampuan untuk mengumpulkan berita-berita masa kini dan segala hal pendorong baginya dalam rangka mewujudkan tujuan utamanya, yaitu revolusi perbaikan yang besar dan mendunia, serupa dengan apa yang diyakini oleh mazhab Ahlulbait tentang Imam Mahdi al-Muntazhar as dan kegaiban beliau.

Masalah tentang panjangnya umur sang juru selamat dunia yang telah ditekankan oleh Bernard Rosso menggambarkan tentang kemampuan nalar manusia akan keharusan seorang juru selamat yang memiliki seluruh kemampuan dan kesempurnaan saat kemunculannya dalam menghadapi zaman agar mampu mewujudkan tugas dan tanggung jawabnya.13

Hal demikian, menurut pandangan mazhab Imamiyah Itsna ‘Asyariah (Syi’ah Dua Belas Imam), merupakan buah dari kegaiban Imam Mahdi as yang panjang. Akan tetapi, perbedaannya adalah keyakinan kami tentang imam yang maksum menyatakan bahwa beliau memiliki segala sesuatu yang dibutuhkan untuk revolusi besar dunia tersebut berupa kemampuan dan kondisi yang diharapkan sejak awal dari umur beliau yang panjang. Beliau memiliki kelayakan tersebut sejak awal untuk melakukan perbaikan dunia dan sanggup untuk melaksanakan dan mewujudkannya. Beliau mampu untuk melakukan hal tersebut manakala kondisi siap untuk menerima kemunculannya. Adapun panjangnya masa kegaiban, merupakan sebuah tuntutan usaha para pembantu beliau dan masyarakat guna merealisasikan tujuan tersebut sehingga mereka mempersiapkan faktorfaktor pendukung untuk hal itu dari masa ke masa, dari generasi ke generasi berikutnya.14

Keyakinan pada al-Mahdi as adalah Manifestasi Kebutuhan Fitriah Manusia.
Keyakinan akan munculnya seorang juru selamat dunia menyingkapkan adanya landasan yang kuat dan kokoh pada hal tersebut yang bersumber dari fitrah manusia, yakni kebutuhan akan adanya juru selamat. Dengan kata lain, keyakinan pada al-Mahdi menunjukkan adanya kebutuhan secara fitrah dan disepakati serta menyeluruh pada diri manusia. Kebutuhan ini berada pada puncak kebutuhan manusia yang menginginkan adanya kesempurnaan dengan segala bentuknya. Kemunculan sang juru selamat dunia dengan mendirikan pemerintahan yang adil pada hari yang dijanjikan mengungkapkan bahwa masyarakat kelak mencapai kesempurnaan yang dinanti-nantikan.

Allamah Syahid Muhammad Baqir Shadr berkata,
“Al-Mahdi as bukanlah suatu gambaran akan keyakinan Islam yang memiliki warna agama saja melainkan sebentuk harapan yang dituju oleh manusia dengan berbagai agama dan keyakinan manusia. Dia juga merupakan bentuk kebutuhan fitrah yang dirasakan oleh manusia di sela-sela keragaman keyakinan dan sarana-sarana mereka tentang hal yang gaib yang dijanjikan pada manusia mengenai datangnya suatu hari (ketika seorang manusia sempurna) akan merealisasikan inti risalah langit yang agung dan mewujudkan tujuan puncaknya di muka bumi ini. Saat itu, jalan kebahagiaan manusia yang membentang luas dengan penuh ketenangan akan dijumpai setelah melewati sejarah kesulitan dan kesengsaraan yang panjang.”

“Bahkan,” lanjut Muhammad Baqir Shadr, “perasaan gaib seperti ini, yaitu harapan akan masa depan, tidak hanya terbatas pada orang-orang mukmin atau beragama saja, tetapi mencakup selain mereka juga. Hal ini juga memiliki pengaruh pada manusia-manusia yang secara ideologi dan keyakinan menolak dengan keras akan hal yang gaib, seperti materialisme. Mereka menafsirkan sejarah berdasarkan adanya perbedaan-perbedaan. Mereka juga mempercayai akan adanya hari yang dijanjikan yang akan membersihkan perbedaan-perbedaan tersebut dan dunia saat itu diliputi oleh ketenangan dan kebahagiaan.

“Begitu pula kita saksikan dalam proses perjalanan ruhani manusia tentang perasaan ini yang telah dilakukan sepanjang sejarah dengan segala bentuknya dan betapa banyak manusia secara umum melakukan banyak hal untuk hal ini.”15

Dengan demikian, keyakinan atau pemikiran yang kelak diwujudkan al-Mahdi as merupakan pemikiran yang banyak tersebar di antara manusia secara umum.

Hal ini muncul karena didasari oleh kebutuhan fitrah manusia yang menginginkan kesempurnaan dengan segala bentuknya, yakni hal yang demikian mengungkapkan adanya kebutuhan secara fitrah. Karena itu, kemunculannya merupakan kepastian karena fitrah tidak akan menuntut sesuatu yang tidak ada dan hal ini sangat jelas.

Pemikiran Manusia tentang Kegaiban Imam Mahdi afs.
Pemikiran manusia menilai bahwa tidak ada penghalang bagi juru selamat dunia untuk memiliki umur panjang. Pandangan ini memiliki kesesuaian dengan pandangan dan keyakinan mazhab Ahlulbait. Bahkan, pemikiran manusia menilai bahwa umur panjang merupakan keharusan untuk menciptakan revolusi perbaikan yang besar dan mendunia sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ilmuwan Irlandia, Bernard Rosso. Dengan demikian, secara umum pemikiran manusia tidak menentang keyakinan akan kegaiban jika bukti-bukti yang menetapkan hal tersebut dapat diterima oleh akal.

Para ulama menjelaskan kemungkinan secara rasional tentang panjangnya umur Imam Mahdi as dan juga memaparkan bahwa hal tersebut tidaklah bertentangan dengan kaidah akal mana pun, seperti yang dilakukan oleh Syekh Mufid dalam kitab beliau Al-Fushûl al-‘Asyrah fî al-Ghaybah, Sayid Murtadha dalam tulisan beliau berjudul Al-Muqni’ fî al-Ghaybah, dan Allamah Karajaki dalam sebuah tulisan berjudul “Al-Burhân ‘alâ Thulil ‘Umri Imam Zaman” yang termuat dalam kitab beliau, yaitu Kanz al- Fawâid juz kedua. Begitu pula yang dilakukan oleh Syekh Thabarsi dalam bukunya I’lam al-Wara` dan kajian-kajian tentang Imam Mahdi as yang ditulis oleh Sayid Shadr dan masih banyak lagi tulisan-tulisan ulama mengenai hal tersebut. Bahkan, sedikit sekali buku yang ditulis mengenai kegaiban yang tidak memuat pembahasan, perdebatan, dan pembuktian mengenai topik ini.

Pemikiran Keagamaan yang Meyakini Kemunculan Juru Selamat Dunia Setelah Kegaiban.
Kesepakatan akan kepastian munculnya sang juru selamat dunia berbarengan dengan keyakinan kemunculan beliau setelah kegaiban yang panjang. Orang-orang Yahudi meyakini akan kembalinya ‘Uzair atau Minhas bin Azir bin Harun. Umat Nasrani meyakini akan kegaiban (Isa) al-Masih dan mempercayai bahwa beliau akan muncul kembali.

Sementara itu, orang-orang Nasrani Abesinia menantikan kemunculan pemimpin dan raja mereka, yaitu Theodor bak al-Mahdi di akhir zaman. Begitu pula ajaran Hindu meyakini kembalinya Fisnawa. Orang-orang Majusi (penyembah api) meyakini bahwa Osyeder masih hidup dan para pemeluk ajaran Budha meyakini bahwa sang Budha akan kembali. Di antara mereka, ada juga yang menantikan kemunculan Nabi Ibrahim as dan lain-lain.16

Dengan demikian, masalah kegaiban juru selamat dunia (al-Mahdi) bukan masalah yang asing dalam permasalahan agama. Sangat tidak beralasan jika dikatakan bahwa keyakinan pada hal tersebut merupakan keyakinan yang dilandasi oleh khurafat atau dongeng semata. Khurafat atau dongeng tidak mungkin membentuk satu pemikiran dasar pada setiap agama tanpa adanya penentangan dari seorang ulama, pendeta, atau agamawan-agamawan dari masing-masing ajaran tersebut. Kalaupun terdapat perbedaan dan penentangan, bukan pada inti masalah melainkan pada sosok yang mengalami kegaiban yang dinanti-nantikan kemunculannya pada selain agama yang meyakini kemunculan sosok yang mereka kehendaki.

Tersebarnya pokok pemikiran ini di seluruh agama langit menyingkap tentang membuminya keyakinan tersebut pada seluruh agama samawi yang telah ditanamkan melalui wahyu Ilahi. Hal tersebut dikuatkan dengan kehidupan yang terjadi pada para nabi dan umat yang menyaksikan berbagai kegaiban, seperti kegaiban Nabi Ibrahim as dan kemunculan beliau kembali, kegaiban Nabi Musa as dari Bani Israil dan kemudian kembali lagi pada mereka setelah bertahun-tahun hidup di Madyan, dan kegaiban Nabi Isa as dan kemunculan beliau kelak di akhir zaman yang telah ditegaskan dalam berbagai ayat al-Quran dan hal tersebut disepakati di kalangan umat Islam. Selain itu, hal tersebut juga diterangkan dalam beberapa hadis. Begitu pula kegaiban yang dialami oleh Nabi Ilyas as yang diyakini di kalangan Ahlusunnah sebagaimana yang diterangkan oleh Mufti Haramain Kanji asy-Syafi’i pada bab ke-25 dalam kitabnya Al-Bayân fî Akhbâri Shâhib az-Zamân. Penulis juga menerangkan tentang kegaiban Nabi Khidir as yang terus berlangsung hingga kemunculan al-Mahdi as di akhir zaman yang kelak menjadi pendamping beliau.17

Bahkan, tersebarnya pemikiran dan keyakinan tentang kegaiban sang juru selamat dunia dalam ajaran-ajaran agama terdahulu, telah menjadi petunjuk adanya nas-nas langit yang dengan jelas memerikan hal tersebut. Hal itu dapat kita saksikan dalam beberapa contoh kenabian yang terdapat dalam penelitian dari berbagai kitab suci yang dilakukan oleh seorang ilmuwan Sunni, Said Ayyub, tentang Imam Mahdi as.

Adapun perbedaan tentang penentuan sosok sang juru selamat dunia bersumber dari kesimpangsiuran nasnas yang memberitakan kegaiban sebagian para nabi dan nas-nas yang membicarakan tentang kegaiban sang juru selamat dunia serta berbagai faktor lain yang insya Allah kita bahas mendatang.

Perbedaan Penentuan Sosok Juru Selamat Dunia.
Hal yang disepakati di seluruh agama langit adalah kepastian munculnya seorang juru selamat di hari yang dijanjikan. Hal itu telah dijelaskan oleh Ayatullah Mar’asyi Najafi dalam kitab Ihqâq al-Haq pada mukadimah juz ke-13. Beliau menjelaskan, “Patut diketahui bahwa umat, aliran, dan agama-agama bersepakat—kecuali sebagian kecil sekali—akan kemunculan seorang penyelamat dunia dari langit dan merupakan utusan Ilahi untuk memperbaiki kerusakan dan kehancuran yang terjadi di muka bumi ini, membenahi dan membersihkan segala kekejian dan kemungkaran serta menerangi dunia dengan keadilan setelah digelapkan oleh kezaliman. Titik perbedaan yang terjadi di antara mereka adalah sebagian berpendapat bahwa sang juru penyelamat adalah ‘Uzair, sebagian lain al-Masih, ada juga yang berpendapat bahwa dia adalah Ibrahim al-Khalil. Sebagian kaum Muslim berpendapat bahwa sang juru penyelamat adalah keturunan dari Imam Abu Muhammad Hasan. Sebagian lain berpendapat dari keturunan Abu Abdillah Husain asy-Syahid…”

Jika terjadi perbedaan dalam agama-agama bahkan aliran dan mazhab yang menjadi bagian dari agama tersebut tentang penentuan sosok sang juru penyelamat dunia, terlepas dari kesepakatan mereka tentang kepastian munculnya sang juru selamat setelah masa kegaibannya, lantas apa rahasia di balik perbedaan ini?

Terjadinya perbedaan disebabkan adanya perbedaan penafsiran tentang nas-nas dan penakwilan pemberitaan dari langit yang bersandar pada faktor-faktor di luar hal tersebut, bukan disebabkan nas-nas atau pemberitaan itu sendiri. Hal itu juga disebabkan oleh subjektifitas para pemeluk agama dan aliran dalam menerapkan nas-nas tersebut meskipun dalam bentuk penakwilan. Artinya, penetapan sosok selamat dunia yang dijanjikan bukan dari nas atau kabar itu sendiri, melainkan muncul dari pemilihan seseorang di luar nas, kemudian berusaha menerapkannya pada nas-nas tersebut. Selain itu, faktor-faktor lainnya dan juga politik banyak pula mempengaruhi perbedaan tersebut. Namun, hal ini bukan menjadi pembahasan kita.

Secara garis besar, jelas bahwa sebagian berkaitan dengan keyakinan agama-agama terdahulu dan sebagian lainnya berkenaan dengan aliran-aliran dalam Islam. Yang menjadi pembicaraan secara umum adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh nas-nas dan berita dari langit dan juga dari kenabian, mampu memberikan kepuasan pada agama-agama dan aliran-aliran tersebut serta mampu menghapus keyakinan yang dipertahankan serta mampu menjadi pengecualian dari keyakinan terdahulu.

Berkaitan dengan faktor pertama, kami mengatakan bahwa sesungguhnya nas-nas atau pemberitaan langit atau hadis-hadis dari Nabi maupun para imam mengenai sang juru selamat dunia berbicara mengenai suatu masalah yang memiliki gambaran gaib, yaitu tentang sesosok manusia masa depan dan peran penting sejarah yang besar yang akan merealisasikan tujuan agung kemanusiaan sepanjang sejarah dan hal itu akan terealisasi di hari yang dijanjikan dengan segala keagungannya. Dari satu sisi, secara alamiah manusia cenderung mewujudkan hal-hal gaib dengan sesuatu yang zahir dan tampak yang dapat mereka rasakan. Di sisi lainnya, setiap orang memiliki fanatisme pada kelompoknya, ajarannya, dan pada keyakinan masing-masing. Mereka ingin agar sosok yang memiliki peran penting dalam sejarah tersebut adalah seseorang dari kelompok atau golongan mereka.

Karena itu, secara alamiah pasti terjadi perbedaan dalam menetapkan sosok pribadi sang juru selamat dunia tersebut. Hal itu disebabkan setiap pemeluk agama berusaha menerapkan sosok gaib manusia masa depan yang dibicarakan oleh nas-nas dan berita dari langit yang autentik dan dapat dipercaya pada orang-orang yang mereka kenal dan mereka cintai di antara pemimpinpemimpin mereka. Fanatisme yang ada pada diri mereka, disadari ataupun tidak, mendorong pula pada hal tersebut.

Begitu juga naluri alamiah mempengaruhi mereka untuk memiliki suatu kebanggaan bila peran penting sejarah tersebut ada pada manusia dari kelompok mereka.

Kerancuan antara Kabar Gembira dan Penakwilannya.
Dari sinilah, setiap kelompok berupaya untuk menerapkan kriteria-kriteria yang telah disebutkan dalam berbagai nas dan riwayat yang menyampaikan kabar gembira pada pribadi-pribadi yang mereka cintai atau yang paling dekat kriterianya dengan yang disampaikan dalam nas-nas tersebut. Jika mereka menjumpai kriteria-kriteria yang dengan jelas disebutkan tetapi hal itu tidak dapat mereka terapkan pada pribadi yang mereka pilih, dengan sengaja mereka menyelesaikan dengan cara menakwil nas-nas tersebut, membelokkan, menyembunyikan, dan mengubahnya agar sesuai dengan pribadi yang mereka pilih sebelumnya atau mencampuradukkan antara nas-nas dan berita-berita dari langit lainnya—berkenaan dengan nabi-nabi terdahulu atau penyelamat dunia di kurun waktu tertentu atau penyelamat atas penyimpangan yang terjadi pada umat tertentu—dengan nas-nas atau berita gembira khusus yang membicarakan tentang penyelamat dunia yang kelak mendirikan sebuah pemerintahan yang adil di atas muka bumi ini di akhir zaman dan merealisasikan tujuantujuan kenabian dan tujuan-tujuan para washi (penerima wasiat, selanjutnya ditulis washi) secara keseluruhan.

Metode Penyelesaian Perbedaan.
Ketika sebab terjadinya perbedaan dalam penentuan pribadi sang juru selamat dunia sudah jelas, hal ini memungkinkan bagi kita untuk mengetahui jalan penyelesaiannya. Dengan nalar ilmiah yang sehat dan meyakinkan kita akan berupaya mencapai pribadi yang sesungguhnya secara argumentatif. Mungkin kita dapat meringkas tahapan-tahapan tersebut sebagai berikut:

1. Memilah berita-berita gembira dan nas-nas khusus tentang juru selamat dunia yang dijanjikan di akhir zaman dengan nas-nas lain mengenai nabi atau washi tertentu. Bersandar pada petunjuk nas-nas atau kabar gembira itu sendiri dari sumber aslinya. Begitu pula bersandar pada apa yang dituntut dari pondasi dasar pertama yang terkait dengan kepentingan-kepentingan para nabi dan para washi serta sejarah yang terjadi pada mereka. Hal itu juga didasari oleh apa yang dituntut atas pengetahuan yang benar akan peran mereka dan kepentingan terbesar mereka sebagai penyelamat dunia.

2. Membatasi karakter-karakter dan kriteria-kriteria khusus yang ditetapkan oleh nas-nas atau kabar gembira tersebut pada sang juru selamat yang dijanjikan secara menyeluruh dan menjelaskan gambaran yang diterangkan tentang pribadi tersebut sebelum adanya klaim penerapan terlebih dahulu pada pribadi tertentu agar gambaran penjelasan tentangnya tidak berpengaruh pada objek penerapan yang diyakini sebelumnya.

3. Setelah menyempurnakan gambaran yang semestinya yang diambil dari sumber aslinya, dimulailah tahap pengenalan terhadap sifat-sifat dan kriteria-kriteria khusus serta fakta sejarah yang telah disebutkan sebagai objek-objek penerapan bagi juru selamat dunia yang dijanjikan. Setelah itu, disesuaikan dengan gambaran yang dijelaskan oleh nas-nas itu sendiri. Yang dihasilkan dari dua tahapan sebelumnya guna penyempurnaan tersebut merupakan penjabaran adanya ketidaksesuaian kriteria-kriteria yang ada pada objek penerapan dengan gambaran yang dihasilkan. Pengenalan terhadap objek penerapan yang sebenarnya di antara objek-objek penerapan lainnya kemudian diupayakan.

Kepemimpinan Al Mahdi dan Penyelesaian Perbedaan.
Ditegaskan bahwa sesungguhnya berita gembira dari langit yang disebutkan dalam kitab-kitab suci tertuju pada al-Mahdi al-Muntazhar yang diyakini oleh mazhab Ahlulbait, seperti yang akan kami jelaskan, dan juga dikuatkan oleh berbagai aliran pada nas-nas mereka menyangkut kabar gembira tersebut.18

Dengan demikian, pengenalan akidah Ahlulbait tentang al-Mahdi al-Muntazhar as membuka cakrawala yang luas guna mendapatkan petunjuk tentang objek penerapan yang sesungguhnya pada sang juru selamat dunia yang diberitakan seluruh agama sesuai dengan nas-nas dan kabar gembira yang disebutkan dalam kitab-kitab suci. Meskipun demikian, muncul keyakinan baru di sela-sela keyakinankeyakinan para pengikut agama-agama terdahulu.

Sebagai contoh atas berpengaruhnya pengenalan akidah Ahlulbait, kami tunjukkan hasil penelitian yang dilakukan Qadhi Jawad as-Sabathi, salah seorang ulama terkemuka abad ke-12 Hijriah. Sebelumnya, beliau adalah salah seorang ulama Nasrani kemudian mengenal Islam dan memeluk ajaran Sunni sebagai aliran pertama yang ia jumpai. Kemudian, dia menulis sebuah buku yang cukup terkenal berjudul Al- Barahin as-Sabathiyah yang isinya membantah Nasrani dan membuktikan bahwa syariat mereka telah dihapus berdasarkan pada ayat-ayat yang disebutkan dalam nas-nas kitab suci mereka.19

Pendapat Qadhi Sabathi.
Saat membahas salah satu kabar gembira yang terdapat dalam kitab Kesaksian dari Perjanjian Lama mengenai penyelamat dunia lalu membandingkan penafsiran orangorang Yahudi dan Nasrani di dalamnya, Qadhi Sabathi membantah penakwilan mereka tentang hal tersebut sehingga sampai pada kesimpulan pendapat beliau yaitu, “Ini adalah nas yang jelas mengenai al-Mahdi yang disepakati di kalangan umat Islam bahwa al-Mahdi akan menghukum tidak hanya dengan pendengaran dan sisi lahir saja atau hanya sekedar luar saja akan tetapi beliau menghukumi dengan sisi batin. Hal seperti itu tidak pernah terjadi pada seorang nabi dari para nabi atau para wali (kekasih Allah).” Setelah menganalisis nas-nas tersebut, beliau berkata,

“…umat Islam berbeda pendapat mengenai al-Mahdi. Adapun saudara-saudara kami dari kalangan Ahlusunnah waljamaah berpendapat bahwa al-Mahdi adalah seorang laki-laki dari keturunan Fathimah as bernama Muhammad, ayahnya bernama Abdullah dan ibunya bernama Aminah. Sementara Imamiyah berpendapat bahwa al-Mahdi adalah Muhammad putra Hasan al-Askari yang lahir pada tahun 255 H dari seorang pembantu Imam Hasan bernama Nargis (dalam kondisi tersembunyi) di masa pemerintahan al-Mu’tamid. Ia kemudian gaib tahun…20 lalu muncul kembali, setelah itu gaib lagi. Kegaiban yang ini adalah (periode) kegaiban kubra (panjang) dan tidak akan muncul kecuali dikehendaki oleh Allah Swt. Kendati pendapat mereka (Imamiyah) mendekati apa yang disampaikan dalam nas tersebut, maksud saya yang sebenarnya hanyalah mempertahankan umat Muhammad saw, terlepas dari fanatisme terhadap mazhab tertentu. Oleh karena itu, apa yang saya sebutkan pada Anda bahwa sesuatu yang diyakini Imamiyah sesuai dengan nas ini.”21

Kita perhatikan di sini bahwa ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang agama Nasrani ini memerikan adanya kesesuaian berita yang disampaikan, yang menjadi pembahasan kita, dengan Imam Mahdi al- Muntazhar yang diyakini mahzab Ahlulbait. Kendatipun beliau tidak memeluk mahzab Syi’ah setelah beliau memeluk Islam, tetapi dia berseberangan dengan mazhab yang ia ikuti dalam masalah ini dan menguatkan pendapat mazhab Ahlulbait. Bahkan secara gamblang beliau menyatakan kesesuaian kabar gembira yang disebutkan dalam kitab pencerahan (Kesaksian?) dengan pendapat Ahlulbait. Yang mengantarkannya pada objek penerapan yang sebenarnya adalah pengenalan terhadap pendapat Imamiyah mengenai al-Mahdi al-Muntazhar. Tanpa pengenalan tersebut, dia mungkin tidak akan sampai pada objek penerapan yang sesungguhnya yang sesuai dengan apa yang digambarkan dan disebutkan sebagai berita gembira dalam kitab suci. Andaikan tanpa pengenalan tersebut, dia akan terjebak menolak pendapat-pendapat Nasrani tentang kabar gembira tersebut atau melupakannya begitu saja atau melakukan penakwilan isi berita tersebut kemudian menerapkannya pada pendapat mazhab yang ia anut mengenai al-Mahdi yang dijanjikan.

Hal ini juga dapat kita perhatikan dan dapat dipelajari di berbagai kajian-kajian ulama-ulama kontemporer di kalangan Ahlulkitab (Yahudi dan Nasrani) mengenai kabar gembira ini. Kajian ini menyebabkan kegeraman bagi mereka setelah mengetahui bahwa sosok yang menjadi pembahasan mereka dan mengetahui pendapat Ahlulbait tentang al-Mahdi al-Muntazhar. Terlebih-lebih mereka yang meyakini hal tersebut adalah umat Islam yang juga memungkinkan bagi umat Islam mempersiapkan diri untuk mengenal lebih jauh pendapat ini. Beliau juga menjelaskan kesesuaian yang nyata atas berita gembira yang mereka ketahui melalui kitab-kitab suci mereka dengan al-Mahdi al-Muntazhar yang diyakini oleh mazhab Imamiyah. Inilah hal yang mendorong mereka mempelajari kabar-kabar gembira tersebut dalam kitab-kitab suci mereka. Contoh lain adalah apa yang telah dilakukan Allamah Muhammad Shadiq Fakhrul Islam yang sebelumnya beragama Nasrani kemudian masuk Islam dan akhirnya memeluk ajaran Ahlulbait. Beliau menulis sebuah kitab ensiklopedia berjudul Anis al-A`lam yang memuat penentangan terhadap Yahudi dan Kristen.22 Di dalam buku tersebut ia juga membahas kabar gembira tersebut dan kesesuaian penerapannya pada Imam Mahdi al-Muntazhar Muhammad bin Hasan Askari as. Hal ini pula yang dilakukan Allamah Muhammad Ridha Ridhai yang menolak pendapat Yahudi—beliau sebelumnya adalah seorang ulama Yahudi (rabbi)—setelah memeluk Islam dan menulis kitab berjudul Manqul Ridhai yang juga memuat topik tentang kabar gembira dan menghasilkan kesimpulan yang serupa.

Penerapan Kabar Langit Tidak Sesuai pada Selain Imam Mahdi.
Bagi orang-orang yang mau memperhatikan nas-nas atau kabar gembira dari langit, sangat jelas bahwa nas-nas dan kabar gembira tersebut memaparkan berbagai karakter dan kriteria bagi sang juru selamat dunia yang tidak mungkin dapat diterapkan pada selain Imam Mahdi as yang sesuai dengan akidah Ahlulbait. Karena itu, bagi mereka yang tidak mengenal akidah Ahlulbait, tidak akan mungkin sampai pada objek penerapan yang sesungguhnya yang menjadi pembahasan dalam nas-nas tersebut. Satu contoh, jika kita memperhatikan pendapat-pendapat para penafsir Injil mengenai ayat 1-17 Kitab Kesaksian Pasal 12 tentang penyingkapan, Yohana Lahuti menjelaskan, “Seseorang yang menjadi pembicaraan sebagai kabar gembira dalam ayat-ayat ini belum terlahir. Oleh karena itu, penafsiran yang jelas dan makna sesungguhnya dari ayat-ayat tersebut bergantung pada masa mendatang dan akan terwujud di masa depan.”23

Padahal ayat-ayat tersebut berbicara dengan jelas mengenai pemerintahan Ilahi yang akan dibangun oleh sosok tersebut di seluruh dunia. Orang tersebut akan menghancurkan segala bentuk kejahatan dan kebatilan yang merupakan tujuan-tujuan utama dan juga menjadi batasan serta tolok ukur gerakan sang juru selamat dunia.

Namun, para penafsir Injil tidak mampu menerapkan berita tersebut pada sosok yang mereka pilih sebagai juru selamat, yaitu Isa al-Masih putra Maryam as, karena kabar gembira yang diriwayatkan Yohana Lahuti disampaikan oleh al-Masih as. Beliau sendiri yang memberitakan akan kemunculan sang juru selamat dunia. Karena mereka (penafsir Injil) tidak memiliki pengenalan dan pengetahuan ajaran Ahlulbait mengenai al-Mahdi al-Muntazhar as, mereka tidak mendapatkan petunjuk mengenai sosok sesungguhnya yang disampaikan pada ayat-ayat tersebut.

Kabar Gembira dan Kegaiban Imam Ke-12.
Seorang peneliti dari kalangan pengikut Ahlusunnah, setelah mengenal ajaran-ajaran Ahlulbait khususnya tentang al-Mahdi al-Muntazhar as, mampu mendapat petunjuk mengenai sosok yang dibicarakan oleh ayat-ayat tersebut. Peneliti tersebut adalah Ustad Said Ayyub. Beliau menjelaskan dalam kitabnya Al-Masih ad-Dajjal mengenai ayat-ayat tersebut. Ka’ab berkata, “Tertulis di dalam perjalanan para nabi, al-Mahdi, dan segala perbuatannya dalam kegaiban.” Kemudian, Ustad Said Ayyub memberi sebuah catatan pada nas ini dan berkata, “Dan aku menyaksikan bahwa hal itu juga aku temukan dalam kitab-kitab Ahlulkitab. Orang-orang Ahlulkitab menelusuri berita-berita mengenai al-Mahdi sebagaimana menelusuri berita-berita kakeknya. Berita di dalam perjalanan mimpi menyebutkan tentang seorang wanita yang akan melahirkan dari rahimnya dua belas laki-laki. Kemudian, berita itu menyebutkan wanita lain, yaitu wanita yang akan melahirkan laki-laki terakhir yang merupakan keturunan dari wanita pertama. Disebutkan dalam perjalanan mimpi, sesungguhnya wanita ini akan diliputi oleh marabahaya dan marabahaya tersebut diungkapkan dengan kata attanin dan berkata bahwa at-tanin berdiri di hadapan wanita tersebut sehingga melahirkan dan akan menelan anak yang baru saja ia lahirkan.”24 Yakni, penguasa ingin membunuh anak tersebut. Akan tetapi, setelah kelahiran bayi tersebut, Berkeley mengatakan dalam tafsirnya, “Tatkala marabahaya datang menyerbu wanita tersebut, Allah menutupi anaknya dan menjaganya.”25 Allah menggaibkan bayi tersebut sebagaimana ucapan Berkeley.

Disebutkan dalam Kitab Kesaksian bahwa kegaiban anak tersebut akan terjadi selama 1260 hari26 dan hal ini merupakan masa baginya yang disimbolkan di kalangan Ahlulkitab. Kemudian, Berkeley menerangkan tentang keturunan wanita pertama secara umum. Ia berkata,
“Sesungguhnya tanin akan menyatakan peperangan terhadap keturunan wanita ini sebagaimana yang disebutkan dalam Kitab Kesaksian. Tanin murka pada wanita (wanita pertama) kemudian memerangi seluruh keturunannya yang tersisi menjaga khasiat-khasiat Tuhan.”27

Ustad Said Ayub mengakhiri apa yang disebutkan sebelumnya dengan ucapan “Inilah karakter-karakter al-Mahdi. Dia adalah pribadi yang digambarkan di kalangan Syi’ah Imamiyah (Syi’ah Dua Belas Imam).” Ucapan beliau ditegaskan dengan catatan-catatan yang termuat pada catatan kaki mengenai kesesuaian karakter-karakter tersebut pada al-Mahdi dari keluarga Nabi.28

Kabar Gembira dan Keistimewaan-Keistimewaan Imam Mahdi as
Memperhatikan Injil yang membahas keistimewaan sang juru selamat, bisa disimpulkan bahwa tidaklah mungkin keistimewaan tersebut diterapkan kecuali pada sosok yang disampaikan dalam ajaran Ahlulbait seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Apabila kita memperhatikan keistimewaan-keistimewaan lahir tersebut, hal itu merupakan arahan hikmah Ilahi sebagai petunjuk bagi yang lainnya akan sosok sesungguhnya mengenai sang juru selamat dunia dengan bukti-bukti yang jelas di antara petunjuk-petunjuk yang menerangkan keistimewaan-keistimewaan lahir. Dengan begitu, hal itu akan memudahkan umat manusia untuk mengikutinya. Satu contoh kita perhatikan mengenai isyarat atau petunjuk yang disampaikan ajaran Ahlulbait tentang bahaya yang mengancam yang menyebabkan kegaiban Imam

Keduabelas mereka. Kemudian, adanya penguatan bahwa imam tersebut mendapatkan penjagaan dari Allah dengan kegaiban hingga waktu yang ditentukan bagi kemunculan beliau yang memberi keberkahan. Sebagaimana diketahui, pendapat mengenai kegaiban Imam Keduabelas merupakan pendapat penting yang membedakan ajaran Ahlulbait dari ajaran lainnya tentang al- Mahdi al-Muntazhar. Oleh karena itu, banyak isyarat yang menyebutkan hal tersebut guna memudahkan pengenalan dan mendapatkan petunjuk tentang siapa sesungguhnya sang juru selamat dunia itu.

Begitu pula isyarat-isyarat lainnya yang menyebutkan keistimewaan-keistimewaan dan semua itu hanya sesuai dengan ajaran Ahlulbait tentang para imam mereka. Sebagai contoh, pendapat yang mengatakan bahwa Imam Mahdi adalah imam ke-12 dari keturunan suci yang terus bersambung sebagaimana disebutkan pada ayat-ayat yang telah kami sebutkan. Berita gembira lainnya yang disebutkan dalam kitab-kitab suci seperti yang dimuat dalam Safar Takwin Minal Ashlul ‘Ibra29 merupakan janji yang terucap dari Tuhan semesta alam pada kekasih-Nya Ibrahim akan keberkahan dan keberlangsungan keturunan Ismail melalui Muhammad saw dan dua belas imam dari keluarga beliau.30

Jelaslah, ekstensi dua belas pemimpin dari keturunan Ismail tidak terwujud secara turun temurun sebagaimana yang diisyaratkan sebagai kabar gembira kecuali pada sosok para dua belas imam dari kalangan Ahlulbait.

Hal ini juga dikuatkan dengan realitas sejarah yang terjadi, terlebih-lebih hadis dari Nabi Muhammad saw yang disepakati di kalangan umat Islam.31

Semua itu khusus untuk mereka (dua belas imam) sehingga membentuk realitas sejarah Islam yang disandarkan pada mazhab Ahlulbait dan disebut juga sebagai mazhab Imamiyah Itsna ‘Asyariah (mazhab dua belas imam).

Karena itu, jelas bahwa berita-berita gembira menerangkan suatu kebenaran, yaitu al-Mahdi adalah imam penutup mereka dari dua belas imam.

Kabar Gembira dan Karakter-Karakter Imam Mahdi as.
Berita-berita gembira juga menyebutkan beberapa julukan yang khusus bagi Imam Mahdi seperti julukan al-Qaim.32 Satu contoh kita perhatikan berita gembira berikut dari nubuat para nabi yang dibahas oleh Qadhi Jawad as-Sabathi yang menyatakan bahwa hal itu tertuju pada al-Mahdi sesuai dengan keyakinan Imamiyah Itsna ‘Asyariah: “…2) Ruh Tuhan bersemayam padanya, ruh hikmah dan kepahaman, ruh kemufakatan dan kekuatan, dan ruh pengetahuan serta ketakutan pada Tuhan menyatu padanya; 3) Kenikmatannya adalah ketakutan pada Tuhan. Dia tidak memutuskan hanya dengan pandangan matanya atau melalui pendengaran telinganya saja; 4) Menghukumi dengan sadar bagi penghuni bumi, membelah bumi dengan katupan mulutnya, dan mematikan orang munafik dengan hembusan dari kedua bibirnya… 6) Mendamaikan domba dan serigala, menumbuhkan tanaman dan semak, menyatukan ternak dan hewan buas bersama-sama, menuangkan minuman bagi anak kecil…9) Tidak berbuat jahat dan berbuat kerusakan di setiap gunung yang suci karena bumi penuh dengan makrifat pada Allah bagaikan air memenuhi lautan. 10) Pada hari itu, al-Qaim mengibarkan panji bangsa-bangsa dan umat yang mengharapkannya dan menanti kemunculannya dan tempat yang ia tempati akan menjadi mulia.”33

Salah satu sifat atau julukan lainnya bagi Imam Mahdi adalah shahib ad-dar yang disebutkan dalam kabar gembira mengenai penantian sang juru selamat dunia yang orang-orang Kristen tidak mengkhususkannya sebagai sebuah isyarat ketiadaan kekhususan ini dan membicarakan kemunculannya yang tiba-tiba yang disebutkan dalam Injil Markus, 13: 35.34

Sifat atau julukan lainnya adalah al-muntaqim lidamil Husain as al-mustasyhid ‘inda nahril furat (penuntut balas darah al-Husain yang syahid di tepi Sungai Furat). Julukan tersebut disebutkan dalam kabar gembira yang termuat dalam Safar Armia jilid 46, halaman 2-11.

Hal tersebut telah dijelaskan Ustad Ardani, yaitu hasil dari penelitiannya mengenai buku Al-Kitab al-Muqaddas Tahtal Mazhar. Beliau menyebutkan bahwa julukan almuntaqim lidamil Husain (penuntut balas darah al-Husain) berkenaan dengan al-Mahdi.35 Masih banyak contoh lain yang tidak mungkin kami sebutkan dalam buku ini.

Petunjuk Mengenai Sosok Juru Selamat dalam Pandangan al-Bisyarat (Kabar Gembira).
Pengenalan mengenai kekhususan tersebut di atas menuntun kita pada sebuah penetapan bahwa sang juru selamat dunia yang diberitakan oleh seluruh agama adalah al-Mahdi bin Hasan Askari as sebagaimana pendapat dan keyakinan Ahlulbait as. Hal itu disebabkan berita-berita gembira dari langit tersebut tidak sesuai dengan ajaran-ajaran lainnya. Kesimpulannya, agama-agama terdahulu tidak memberitakan mengenai sang juru selamat dunia secara umum saja tetapi membenarkan rincian tentang sosok beliau sesungguhnya melalui penyebutan akan sifatsifat dan kekhususan-kekhususan secara terperinci yang tidak mungkin dapat diterapkan pada selain beliau. Dengan demikian, kabar gembira dari langit tersebut merupakan bukti lain akan kebenaran ajaran dan keyakinan Ahlulbait mengenai al-Mahdi.

Dalam hal ini, kami cukup menyebutkan beberapa isyarat dari sebagian berita gembira yang disampaikan baik dalam Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru (Taurat dan Injil) mengingat keduanya diakui sebagai kitab terbesar dan terpenting pada agama-agama sebelum Islam, yaitu Yahudi dan Kristen. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang ada pada saat ini, telah banyak dikaji dan diteliti oleh pemukapemuka agama Yahudi dan Kristen. Dengan banyaknya kajian dan penelitian, telah banyak pula buku yang tersebar sebagai penjelasan mengenai kedua kitab suci tersebut dan banyak pula terjadi kekeliruan disebabkan banyaknya penerjemahan ke berbagai bahasa di dunia. Oleh karena itu, berpegangan pada bahasa asli dari kedua kitab suci36 tersebut yaitu dalam bahasa Ibrani lebih meyakinkan sehingga tidak terjerumus dalam kesalahan dan kekaburan dalam penerjemahan.

Membatasi berita dari kedua kitab tersebut tidak berarti sedikitnya berita-berita gembira yang tidak mungkin dapat ditafsirkan kecuali pada sosok al-Mahdi al- Muntazhar as yang sesuai dengan keyakinan dan pandangan Ahlulbait as.

Bahkan sebaliknya, berita-berita gembira tersebut sangat banyak dan dijelaskan di berbagai kitab-kitab suci agama-agama lainnya dengan konteks dan isyarat yang lebih jelas dan juga menjadi penelitian dan kajian khusus mengenai masalah ini. Akan tetapi, berita-berita tersebut (dari agama-agama lain) tidak begitu terkenal dan naskah-naskahnya tidak tersebar. Sebagian besar dari naskah-naskah tersebut juga belum diterjemahkan dari bahasa aslinya kecuali sedikit sekali. Adapun pembatasan akan pembuktian dari keduanya, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, hanya sebatas penambahan pembuktian kebenaran. Sementara perincian kami kembalikan pada pribadi-pribadi yang memadai dan kompeten dalam pembahasan tersebut.

Penyandaran pada Berita Gembira dari Kitab Suci Terdahulu dan Masalah Tahrif (Penyimpangan) di Dalamnya.
Dalam hal ini, ada dua permasalahan penting yang layak untuk dipaparkan sebelum mendapatkan kesimpulan yang ingin dihasilkan.

Pertama, perdebatan mengenai pertanyaan berikut.

Bagaimana mungkin kita dapat bersandar pada kitab-kitab agama lain untuk menetapkan masalah penting seperti masalah penetapan sosok sang juru selamat dunia dan beliau adalah al-Mahdi bin Hasan Askari as dan juga penetapan akan kebenaran keyakinan agama tersebut pada ajaran Ilahi, sementara umat Islam sepakat bahwa dalam kitab-kitab tersebut telah terjadi penyimpangan?

Kami yakin bahwa mungkin saja kita mampu menjawab pertanyaan tersebut dengan sedikit pemikiran dalam objek permasalahan. Kita dapat menyimpulkannya sebagai berikut:

1. Bahwa penetapan ajaran dan keyakinan Ahlulbait mengenai al-Mahdi al-Muntazhar bersandar pada berbagai bukti dan argumentasi rasional serta ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis yang disepakati di kalangan umat Islam. Begitu pula fakta sejarah dari perjalanan kehidupan para imam Ahlulbait as seperti yang dapat kita saksikan di banyak kitab akidah yang membahas masalah ini.

Adapun penyandaran pada kabar-kabar gembira yang disebutkan dalam kitab-kitab suci terdahulu, hal itu sebagai bukti tambahan atau penguatan. Karena itu, kesimpulan yang dihasilkan tidak mungkin dapat digugurkan dan disalahkan hanya karena kesalahan dan gugurnya bukti tambahan tersebut.

Hal ini disebabkan keyakinan ini (kemunculan sang juru selamat) dibangun berdasarkan bukti-bukti lainnya. Dengan demikian, tidak ada ruang untuk menggugurkan kebenaran keyakinan tersebut hanya dengan menggugurkan sebagian bukti-bukti (bukti tambahan) dengan asumsi adanya penyimpangan dalam kitab-kitab suci tersebut.

2. Hasil terpenting dari penelitian dan penguatan yang bersumber dari bukti-bukti tersebut adalah memberi hidayah (petunjuk) para pengikut agama-agama tersebut pada kebenaran dan pada sosok juru selamat sesungguhnya dengan bersandar pada kitab-kitab suci mereka sendiri. Hal ini merupakan pembuktian yang sempurna bagi mereka. Ini adalah hal yang pertama. Kedua, sesungguhnya penelitian dan kajian ini, menguatkan sisi global dari masalah al-Mahdi as dan menciptakan diskusi baru guna mencari titik persamaan antaragama mengenai sosok pribadi sang juru selamat dunia yang sama-sama mereka nantikan kehadirannya.

3. Tidak tepat orang yang mengatakan bahwa seluruh kandungan yang ada dalam kitab-kitab agama terdahulu telah mengalami penyimpangan seluruhnya.

Akan tetapi, yang disepakati oleh umat Islam hanyalah sebagian saja dari kitab tersebut yang mengalami perubahan bukan seluruhnya. Karena itu, segala pemberitaan yang terdapat dalam kitab-kitab terdahulu yang dibenarkan oleh nas-nas Islam, yaitu al-Quran dan hadis, dihukumi benar dan tidak terjadi penyimpangan dalam hal tersebut. Hal ini sangatlah jelas.

Penyandaran pada al Bisyarat (Kabar Gembira) yang Dibenarkan Islam
1. Satu hal yang ditetapkan dalam Islam bahwa Rasulullah saw telah memberi kabar gembira mengenai al-Mahdi yang dijanjikan dari keluarga suci beliau, yaitu keturunan dari putra Fathimah as.37

Maka itu, berita gembira yang disebutkan dalam kitab-kitab agama terdahulu, selama sesuai dengan ajaran yang dijelaskan dalam nas-nas syariat Islam, tidak terjamah oleh penyimpangan. Dengan demikian, kita bisa bersandar dan berargumentasi dengan berita-berita tersebut.

2. Selain itu, al-Quran sendiri telah memberikan kabar gembira mengenai pemerintahan Ilahi yang adil dan mendunia yang kelak berdiri di akhir zaman, seperti yang telah dijelaskan dalam beberapa ayat sucinya yang tertuju pada al- Mahdi yang dijanjikan, kepastian akan keberadaannya dan kegaibannya. Insya Allah, hal ini akan kami paparkan pada pembahasan mendatang. Hal ini berarti membenarkan kandungan yang telah disebutkan pada berita gembira dalam kitab-kitab terdahulu mengenai al-Mahdi mengingat permasalahan yang diberitakan oleh kitab-kitab terdahulu bersumber dari sumber yang serupa dengan berita yang disampaikan oleh al-Quran. Dengan demikian, kebenaran berita-berita gembira tersebut dan tidak terjadinya penyimpangan di dalamnya tidak menjadi penghalang bagi kita untuk bersandar dan berargumentasi dengan kitab-kitab terdahulu dalam kerangka kandungan yang dibenarkan oleh al-Quran.

3. Sebagian dari berita-berita gembira tersebut berkaitan dengan kondisi nyata kehidupan dan berhubungan dengan fakta sejarah. Yakni, kondisi nyata dari kehidupan juga membenarkan hal itu. Contoh, berita gembira menggambarkan bahwa juru selamat dunia adalah pemimpin keduabelas dari keturunan Ismail.

Dia adalah putra terbaik dan kelahirannya terjadi pada kondisi politik yang mencekam dan menakutkan karena kelahirannya. Maka, Allah menjaganya dan menggaibkannya dari pandangan para penguasa yang zalim sampai waktu kemunculannya yang dijanjikan dan berita-berita lainnya. Semua itu sesuai dengan sejarah yang terjadi. Hal ini juga menjadi bukti lainnya akan kebenaran berita-berita tersebut karena secara ilmiah berita ini disampaikan sebelum terjadinya kejadian yang diberitakan. Hal ini menegaskan bahwa berita tersebut termasuk pemberitaan gaib yang tidak mungkin muncul kecuali dari mereka yang memiliki hubungan dengan Zat Yang Gaib, Allah Swt. Oleh karena itu, bisa kita tetapkan kebenaran berita tersebut dan menyatakan bahwa berita tersebut tidak mengalami penyimpangan. Dengan demikian, kita dapat bersandar dan berargumentasi melalui berita-berita tersebut.38

Pengaruh Berita Gembira pada Keyakinan Mengenai al-Mahdi
Adapun masalah kedua adalah menyangkut sanggahan bahwa bersandar pada berita gembira tersebut dalam penetapan keyakinan ajaran Ahlulbait tentang al-Mahdi al-Muntazhar as akan membuka pintu keraguan dan pengakuan bahwa keyakinan dan ajaran ini masuk dalam pemikiran Islam melalui pemikiran israiliyat dan merupakan penyimpanganpenyimpangan ajaran agama-agama terdahulu. Jawaban atas sanggahan tersebut sangat jelas seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Sanggahan itu benar jika keyakinan dan ajaran Imamiyah mengenai al-Mahdi hanya bersandar pada bukti-bukti tersebut saja. Padahal faktanya tidak demikian.

Andaipun kami mengatakan bahwa setiap pemikiran Islam memiliki kesamaan dengan pemikiran agama-agama terdahulu, pemikiran tersebut bagian dari pemikiran Islam. Banyak permasalahan dan hakikat-hakikat serta pemikiran-pemikiran yang jelas dan disepakati dalam Islam yang dikuatkan al-Quran dan hadis-hadis dari Nabi Muhammad saw yang semua itu juga terdapat dalam ajaran-ajaran agama terdahulu. Karena itu, jelas sekali kesalahan sanggahan tersebut bagi orang-orang yang mau berpikir. Tolok ukur dalam penilaian mengenai sebuah pemikiran yang menyusup dalam Islam adalah ketika dipaparkan di hadapan al-Quran dan Sunnah. Jika sesuai kita menerimanya dan jika tidak sesuai, maka kita menolak pemikiran tersebut. Bukan menjelaskan pemikiran tersebut yang sesuai dengan kitab-kitab terdahulu dan menolak pemikiran yang sesuai dengannya bersandar pada pengetahuan yang mengatakan bahwa ada di antara kitab-kitab terdahulu yang tidak terjamah oleh penyimpangan dan ada di dalamnya pemikiran yang bersumber dari sumber yang disampaikan oleh al-Quran.

Selain itu, keyakinan dan ajaran Ahlulbait mengenai al-Mahdi al-Muntazhar as, bersandar pada fakta sejarah yang nyata. Imam Mahdi as adalah imam keduabelas dari para imam di kalangan Ahlulbait as. Bahkan, kelahiran beliau dalam kondisi yang mencekam juga dicatat oleh para ahli sejarah dari berbagai kalangan dan mazhab-mazhab dalam Islam.

Para ulama dari berbagai aliran, bahkan yang menduga bahwa beliau bukanlah al-Mahdi yang dijanjikan, juga menyatakan hal tersebut. Tidak sedikit dari ulama Ahlusunnah yang menyatakan bahwa beliau adalah al-Mahdi as.39

Kesimpulan Pembahasan
Kita sampai pada akhir dari pembahasan yaitu menetapkan kesimpulan yang dihasilkan dari pembahasan tersebut dalam beberapa poin.

1. Dasar dari pemikiran tentang keyakinan akan adanya sang juru selamat dunia di akhir zaman dan yang akan mendirikan pemerintahan Ilahi yang adil yang mampu merealisasikan kebahagian bagi umat manusia seluruhnya adalah bersumber dari benih fitrah manusia yang menginginkan adanya kesempurnaan. Oleh karena itu, kita dapat memperhatikan di berbagai pemikiran yang ada pada manusia, meskipun orang-orang materialis, akan kepastian terwujudnya hari yang dijanjikan. Adapun pemikiran ini secara agama, terkumpul dalam kemutawatiran berita-berita gembira dari langit yang termuat dalam kitab-kitab suci agama-agama tersebut. Dengan demikian, kita tidak dapat menerima pendapat orang-orang orientalis yang menyatakan bahwa pemikiran atau keyakinan ini adalah pemikiran dan keyakinan yang bersumber pada khurafat (kebohongan) dan hikayat kosong.

2. Pendapat mengenai adanya al-Mahdi yang dijanjikan kemunculannya dan kegaibannya—yang diyakini oleh mazhab Ahlulbait as dan berbeda dengan keyakinan Ahlusunnah mengenai al-Mahdi—tidaklah aneh dalam pemikiran manusia yang menilai bahwa seorang juru selamat dunia hendaknya memiliki umur yang panjang. Terlebih-lebih dalam pemikiran agama yang menilai bahwa keyakinan pada sang juru selamat dunia dengan keyakinan akan kemunculan beliau setelah kegaibannya sangat dekat. Bahkan, sejarah para nabi membuktikan dan menguatkan pendapat ini.

3. Kesepakatan agama-agama langit tentang keyakinan pada sang juru selamat dunia dan kegaibannya sebelum kemunculannya menimbulkan perbedaan yang tajam mengenai sosok pribadi beliau. Perbedaan ini disebabkan beberapa faktor di antaranya:

- Kabar gembira yang dimuat dalam kitab-kitab suci mengenai al-Mahdi membicarakan sebuah permasalahan yang gaib. Secara alamiah manusia memiliki keinginan untuk merealisasikan hakikat-hakikat yang gaib pada hal-hal yang mampu diindra dan dapat diketahui.

- Fanatisme agama atau aliran dan keinginan memiliki kebanggaan untuk berperan penting dalam peran sejarah seperti ini mendorong para pengikut seluruh aliran dan agama menakwilkan berita gembira tersebut atau mencampuradukkannya dengan berita-berita gembira lainnya mengenai nabi atau washi tertentu selain sang juru selamat dunia ataupun melakukan penyimpangan agar dapat diterapkan pada karakter atau sifat-sifat yang disebutkan pada pemimpin mereka atau simbol-simbol keyakinan mereka. Dengan demikian, perbedaan timbul disebabkan kesalahan penafsiran dan penerapan berita-berita gembira langit, bukan kekeliruan pada berita-berita gembira itu sendiri.

4. Jalan penyelesaian perbedaan-perbedaan tersebut adalah memilah berita-berita gembira mengenai sang juru selamat dunia dari berita-berita lainnya yang berkenaan dengan para nabi dan para washi. Kemudian, membatasi gambaran yang dibentuk oleh berita-berita langit mengenai juru selamat dunia tanpa adanya pengaruh dari objek-objek penerapan berita tersebut sebelumnya. Setelah itu, objek-objek penerapan disodorkan pada berita-berita gembira langit untuk mengetahui hakikat dan kesesuaian objek penerapan bersandar pada fakta sejarah yang dapat dibenarkan dan tidak hanya membatasi objek-objek penerapan yang dianggap sebelumnya dengan simbol-simbol agama tertentu, tetapi, sebaliknya, mencocokkan seluruh objek penerapan dari seluruh agama dan aliran dengan gambaran yang digambarkan oleh berita-berita gembira dari langit secara terperinci.

5. Sesungguhnya berita-berita gembira dari langit tersebut memberi petunjuk—berdasarkan metode ilmiah ini—pada pengetahuan yang sebenarnya bahwa juru selamat dunia yang diberitakan sebagai kabar gembira adalah imam keduabelas dari keluarga nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Beliau mengalami kegaiban karena kondisi yang terpaksa dan kezaliman yang berusaha untuk melenyapkannya, yakni berita gembira tersebut tertuju pada Imam Mahdi yang diyakini oleh mazhab Ahlulbait.

Melalui penyebutan dan pencandraan tentang sifat atau karakter yang tidak mungkin diterapkan pada selain beliau, jelaslah bahwa berita gembira tersebut tertuju pada beliau. Begitu pula kekhususan-kekhususan yang menjadi keistimewaan beliau dan kemasyhuran mengenai hal itu sebagaimana yang telah kami paparkan.

6. Penyandaran para berita-berita gembira ini menetapkan kebenaran ajaran Ahlulbait mengenai al-Mahdi al-Muntazhar merupakan bukti lain akan kebenaran ajaran tersebut selain bukti-bukti akal, Quran, dan sejumlah hadis yang kesahihannya disepakati di kalangan umat Islam. Dengan demikian, hal itu tidak menjadi penghalang sebagai bukti melalui berita gembira tersebut. Setelah itu kita menetapkan adanya penyimpangan pada agama-agama terdahulu, tetapi tidak mencakup seluruh nas yang ada pada kitab-kitab suci mereka. Kita dapat melakukan penyandaran sebatas apa yang telah dibenarkan oleh nas-nas Islam dan hal itu dimuat pada kitab-kitab agama terdahulu. Begitu pula apa yang telah dibenarkan oleh fakta sejarah yang menyingkap kebenaran akan apa yang diberitakan sebagai bagian dari berita-berita gaib yang tidak ada seorang pun yang mengetahui selain Allah dan di antara berita gaib tersebut adalah berita-berita al- Mahdi.

7. Sesungguhnya dalam penyandaran pada berita-berita gembira dari agama-agama terdahulu akan kebenaran ajaran Ahlulbait mengenai al-Mahdi yang dijanjikan terlebih-lebih penyandaran pada bukti-bukti syariat dan bukti-bukti akal membuahkan beberapa hasil di antaranya penyingkapan mengenai betapa pentingnya keyakinan ini dan begitu mendalamnya keyakinan tersebut pada para pengikut ajaran-ajaran agama. Pertolongan bagi pemeluk agama-agama dan mazhab-mazhab lainnya untuk mendapatkan petunjuk pengenalan sosok sejati sang juru selamat dunia dalam nas kitab suci mereka dan mengajak mereka kembali pada Islam melalui jalan ini sekaligus bukti atas mereka melalui nas-nas yang diakui di kalangan mereka. Ini penting karena pembuktian seperti ini adalah pembuktian yang lebih nyata. Hasil lainnya adalah menciptakan poros penyatuan dalam perbaikan agama di kalangan pemeluk agama yang beragam, memuliakan upaya mereka yang dibangun atas dasar keyakinan akan adanya sang juru selamat dunia saat ini dan menjadikannya dari upaya-upaya penentangan para pembangkang akan kemunculannya sesuai dengan keyakinan Islam yang luas dan universal serta terperinci dalam memaparkan pemikiran yang mendasar ini pada pemikiran agama dan kemanusiaan.

Allamah Syahid Ayatullah Sayid Muhammad Baqir Shadr berkata:
“Jika pemikiran mengenai al-Mahdi lebih dahulu dari Islam, maka pengenalan-pengenalan secara terperinci mengenai hal itu yang telah digariskan dalam Islam harus lebih mampu memberikan kepuasan pada setiap kebutuhan yang mendesak mengenai pemikiran ini sejak munculnya sejarah agama, dan harus lebih kaya serta lebih peduli pada perasaan-perasaan tertindas orang-orang teraniaya dan terzalimi sepanjang sejarah. Hal itu dikarenakan Islam mencoba membawa pemikiran ini dari hal yang gaib menuju kenyataan, dari masa mendatang menuju masa sekarang, dan dari sekedar pengenalan akan adanya penyelamat dunia di masa mendatang yang tidak diketahui masanya menuju pada keyakinan akan keberadaannya saat ini, serta penyadaran orang-orang yang sadar akan adanya hari yang dijanjikan untuk mempersiapkan seluruh dimensi yang dibutuhkan beliau guna mewujudkan peran penting beliau.

“Al-Mahdi tidak kembali pada pemikiran kita menanti kelahirannya atau sebatas berita agar kita mengetahui objeknya, tetapi al-Mahdi adalah fakta yang nyata yang kita nantikan perbuatannya.

Al-Mahdi adalah sesosok manusia tertentu yang hidup di antara kita. Dengan segala sisinya, kita menyaksikannya dan dia menyaksikan kita. Al-Mahdi menghidupkan kembali harapan-harapan kita, merasakan penderitaan kita, dan ikut serta dalam kesedihan dan kegembiraan kita, menyaksikan segala fenomena yang terjadi di atas muka bumi baik berupa azab, keputusasaan, dan kezaliman orang-orang yang berbuat aniaya, menyaksikan seluruhnya baik dari dekat maupun jauh. Beliau menanti sebuah masa yang dia diperkenankan untuk mengulurkan tangannya pada setiap orang yang teraniaya, manusia-manusia yang terkucilkan, dan memenuhi harapan orang-orang yang tertindas serta menghancurkan orang-orang yang berbuat zalim.

“Telah ditakdirkan pada sang juru selamat untuk tidak mengumumkan dirinya, memperlihatkan diri dan pribadinya pada orang lain kendati ia hidup bersama mereka. Hal itu sebagai sebuah penantian untuk waktu yang dijanjikan. Jelaslah, pemikiran-pemikiran mengenai ajaran-ajaran Islam ini menetapkan harapan setiap orang yang tertindas, adanya penyelamat bagi para penanti, dan mempersempit jurang pemisah antara mereka dan beliau mengenai harapan-harapan diri mereka sepanjang penantian.

“Manakala diharapkan pada kita untuk percaya pada pemikiran tentang al- Mahdi dengan segala sifat-sifatnya sebagai manusia yang hidup saat ini seperti kita hidup, menanti seperti kita menanti. Hal ini tidak lain untuk menghidupkan pemikiran pada diri kita untuk menolak segala bentuk kezaliman dan kejahatan dan terealisir saat ini yang ditampilkan oleh al-Mahdi sosok pemimpin yang kita nanti-nantikan. Tidak ada baiat kezaliman di atas pundaknya sebagaimana disebutkan dalam hadis dan sesungguhnya keyakinan pada beliau adalah keyakinan pada penolakan terhadap kezaliman, keyakinan pada sosok pemimpin yang hidup saat ini dan mengikuti jejaknya.”40


Daftar Pustaka:
1. Bahwa Imam Mahdi as berkorespondensi dengan para pengikutnya di masa kegaiban pendek melalui para wakil khususnya, setidaknya dapat dilihat dari sejumlah tawqî yang disusun oleh, misalnya, Ayatullah Sayid Hasan Syirazi dalam buku bertajuk Kalimat al-Imâm al-Mahdiy. Beberapa contoh tawqî dapat dilihat dalam buku Imam Mahdi sebagai Simbol Perdamaian Dunia karya Muhammad Baqir ash-Shadr, (Jakarta: Al-Huda), 2004, h.148-158—peny.
2. Pada masa kegaiban pendek tersebut, yang terjadi dari 260-329/ 873-941, ada empat wakil khusus Imam afs yang terkenal, yakni, Abu Amr Utsman bin Sa’id al-Amri (w.260/874-75), Abu Ja`far Muhammad bin Utsman al-Amri (w.304 atau 305/916 atau 917), Abul Qasim Husain bin Ruh an-Nawbakhti (w.326/937-38), dan Abul Hasan Ali bin Muhammad as-Samarri (d.329/940-941)—peny.


Catatan Kaki:
1. Rujuk buku Ayatullah Syekh Muhammad Amin Zainuddin dan DR. Ahmad Amin mengenai hadis-hadis Mahdi dan kemahdian, hal.13.
2. Mulhaqat Ihqaq al-Haq, Ayatullah Mar’asyi Najafi, jil.29, hal. 621-2.
3. Al-‘Aqidah wa Syâri’ah fi al-Islâm, hal.218. Penulis menggambarkan bahwa keyakinan akan juru selamat merupakan dongeng yang berasal dari selain Islam. Akan tetapi, ia pun mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kesepakatan seluruh agama (Al Masdar, hal. 192) dan pengingkaran hadis merupakan pemikiran yang bersumber dari orang-orang orientalis dan sebagian orang Muslim, seperti Ahmad Amin yang terpengaruh pendapat mereka.
4. Silakan merujuk buku Al-Imâmah wa Qaim al-Qiyâmah karya Dr. Mustafa Ghalib, hal.270.
5. Rujuk nas-nas khusus tentang al-Mahdi yang dijanjikan dari kitab Bisyarat ‘Ahdain karya Syekh Muhammad Shadiqi.
6. Untuk memperjelas persiapan ini, pembaca dipersilakan merujuk pada kitab Sejarah Kegaiban Kubra karya Sayid Syahid Muhammad Shadr dalam ucapan beliau tentang petunjuk-petunjuk Allah untuk hari yang dijanjikan sebelum Islam hal.251 dan setelahnya.
7. Rujuk pula Ahl al-bayt fî al-Kitâb al-Muqaddas, Ahmad Wasithi, hal.121-123.
8. Shahîfah al-‘Ahd, Libanon, Nomor 685, makalah berjudul Harakat asy-Suhûd Yahuwa an-Nasy’ah, at-Tanzim al-Mu’taqid.
9. Bisyarat ‘Ahdayn (Berita Gembira dalam Dua Perjanjian), hal.261 menukil dari kitab Mîzân al-Haqq karya Uskup Jerman, Fander, hal.271.
10. Al-Mahdi al-Mau’ud wa Daf’us Syubhat ‘Anhu, Sayid Abdur Ridha Syahristani, hal.6.
11. Al Mahdi Al Mau’ud Wa Daf’us Syubhat ‘Anhu, Sayid Abdur Ridha Syahrestani, hal.7.
12. Bernard Rosso karya Ustad Abbas Mahmud Aqqad, hal.124-5. Penulis juga membuat catatan atas ucapan Bernard Rosso dengan pendapat, “Menjelaskan pada kita bahwasanya superman bukanlah sesuatu yang mustahil dan sesungguhnya ajarannya tidak terlepas dari kebenaran yang tetap.” Menukil dari kitab Al-Mahdi al-Muntazhar fi al-Fikr al-Islami, hal.9. Hal ini juga dinukil oleh Syekh Muhammad Hasan Ali Yassin dalam kitabnya Al-Mahdi al-Muntazhar Bayna Tashawwur wa Tashdiq, hal.81.
13. Untuk lebih jelas tentang poin ini, rujuk pembahasan yang telah ditulis oleh Ayatullah Muhammad Syahid Shadr tentang al-Mahdi, hal.41-48, cet. ke-3, Darut Ta’aruf.
14. Guna penjelasan yang lebih lanjut, rujuk buku Tarikh Ghaybat al-Kubra, hal.276 dan selanjutnya.
15. Al-Bahts Haul al-Mahdi, hal.7-8.
16. Rujuk kitab Difa’ ‘an al-Kâfî karya Sayid Umaidi, jil.1, hal.181; Ihqâq al-Haq, jil.13, hal.3-4.
17. Al-Bayân fî Akhbari Shâhib az-Zamân, hal.149-150.
18. Seperti kitab Bisyarat ‘Ahdayn karya Syekh Muhammad Shadiwi dan terjemahannya dalam bahasa Arab oleh penulis sendiri yang dicetak dengan judul al-Bisyarat wa al-Muqaraqat serupa dengan kitab tersebut dalam bahasa Persia dengan judul Bisyarat Shuhufe âsamani Be Zuhur-e Hadzrat-e Mahdi karya Ali Akbar Sya’fi Isfahani. Dalam bahasa Arab, juga ditulis sebuah buku oleh Muhammad Jawad Mughniyah dengan judul Al-Mahdi al-Muntazhar wa al-‘Aql.
19. Kasyf al-Asrar, Mirza Hasan Nuri, hal.84. Lebih dari buku tersebut, sebuah buku besar ditulis sebanyak enam jilid dengan judul Anis al-A`lam fi Nasrat al-Islam karya pendeta Kristen Armenia yang memeluk Islam dan mengikuti mazhab Ahlulbait. Beliau pun menulis buku tersebut dalam bahasa Persia untuk memenuhi keinginan-keinginan ulama-ulama Islam di akhir abad ke-12 dan di awal abad ke-13, yang akan disebutkan, dengan nama Syekh Muhammad Shadiq Fakhrul Islam. Nama tersebut adalah julukan yang diberikan ulama Isfahan saat itu sebagai penghargaan atas upaya beliau menulis buku setebal enam jilid tersebut.
20. Yang benar kegaiban Imam Mahdi setelah ayahnya wafat dan berlangsung selama 69 tahun. Mungkin as-Sabathi meninggalkan beberapa bait untuk menguatkan poin penekanan. Namun, ia lupa memenuhi kekosongan tersebut pada buku yang beredar seperti itu.
21. Kasyf al-Astar), hal. 85. Disebutkan bahwa kitab Al-Barahin as-Sabatiyah telah dicetak lebih dari 30 tahun sebelum pencetakan kitab Kasyf al-Astar.
22. Bisyarat ‘Ahdayn, hal.264.
23. Bisyarat ‘Ahdayn (Kabar gembira, Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru), hal.264.
24. Safar Ru’ya (Kesaksian, 12:3).
25. Safar Ru’ya (Kesaksian, 12:5).
26. Ayat ini merupakan simbol teks asli berbunyi, “Dan akan gaib (menghilang) dari tanin satu masa, dua masa, dan setengah masa.”
27. Safar Ru’ya (Kesaksian, 12:13).
28. Al-Masih ad-Dajjal, Said Ayyub, hal.379-380 dinukil dari Al-Mahdi al-Muntazhar fî Fikr al-Islâmi yang dicetak oleh Markaz ar-Risalah, hal.13-14.
29. Safar at-Takwin (Kejadian, 17:20, 22-25).
30. Ahl al-bayt fî Kitâb al-Muqaddas, Ahmad Wasithi, hal.105-107.
31. Rujuk pasal pertama kitab Muntakhab al-آtsar fî al-Imâmi Itsna ‘Asyar karya Ayatullah Syekh Luthfullah Shafi. Dalam kitab tersebut dinukil 271 hadis dari berbagai sumber hadis yang muktabar menurut kalangan umat Islam. Hadis-hadis tersebut memuat pemberitaan Nabi Muhammad saw akan keberlangsungan imamah (kepemimpinan) pada dua belas imam dari kalangan Ahlulbait sampai hari kiamat. Di antara hadis-hadis tersebut juga disebutkan dengan jelas nama-nama mereka yang menyatakan bahwa imam pertama adalah Ali as dan imam terakhir adalah Imam Mahdi as. Syekh Shafi di bagian pasal ini juga memberi satu catatan penelitian sejarah yang menyebutkan bahwa hadis-hadis tersebut tidak mungkin dapat diterapkan selain pada dua belas imam dari keluarga Nabi Muhammad saw.
32. Julukan ini khusus bagi para imam dari keluarga nabi yang suci. Namun, jika disebut julukan ini adalah Imam Mahdi as yaitu imam ke-12. Rujuk kitab An-Najm ats-Tsaqib karya Ayatullah Mirza Husain Nuri, ibid 1, hal.211 dari cetakan yang diterbitkan dalam bahasa Arab. Ayatullah Mirza Husain Nuri menyebutkan bahwa julukan ini disebutkan dalam kitab Zabur, hal.12 dan lainnya. Hal itu dinukil dari kitab Dzakhirat al-Albab karya Syekh Muhammad Astarabadi.
33. Ahl al-Bayt fî Kitab al-Muqaddas, hal.123-127.
34. Bisyarat al-‘Ahdayn¸ hal.277.
35. Al-Kitab al-Muqaddas Tahtal Mazhar, hal.155 dinukil dari kitab Difa’ an al-Kâfل karya Sayid Tsamir Umaydi, jilid 1. Mengenai kabar gembira tersebut rujuk kitab Ahl al-Bayt fî Kitab al-Muqaddas jilid 1, hal.185-186.
36. Rujuk penukilan yang dilakukan oleh Syekh Shadiqi dalam kitabnya Bisyarat al-‘Ahdayn tentang hal tersebut dari kitab-kitab suci agama-agama lain.
37. Bahkan penelitian dan kajian dari kalangan ulama Ahlusunnah menetapkan kemutawatiran hadis-hadis tersebut, seperti kitab At-Taudih fî Tawaturi Ma Ja`a fî al-Muntazhar wa ad-Dajjal wa al-Masih karya Imam Syaukani. Begitu pula yang disebutkan dalam Al-Isya’ah fî Asyrath as-Sa’ah karya Barzanji dan kitab At-Tasrih karya Kisymiry dan kitab-kitab lainnya.
38. Penetapan ini juga dibenarkan oleh hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw dan para imam yang suci—shalawat dan salam bagi mereka—mengenai al-Mahdi yang menyebutkan kelahiran beliau dari Imam Hasan Askari as dan kegaibannya. Berita tersebut disampaikan sebelum kelahiran dan kegaiban beliau dan ditambah dengan pemberitaan dari al-Quran dan lainnya. Kemudian, terbukti apa yang diberitakan secara nyata dan kebenarannya kendatipun di sebagian lainnya (berita-berita lain selain mengenai al-Mahdi—penerj.) masih terdapat perdebatan. Hal itu karena kebenaran yang sesuai dengan realitas membuktikan kebenaran sumbernya, yaitu wahyu yang bersambung dengan Zat Pemberi wahyu. Tidak ada yang mengetahui kegaiban selain-Nya dan tidak ada yang mengetahui kegaiban-Nya kecuali orang-orang yang Dia kehendaki. Para ulama di antaranya Syekh Shaduq dalam kitab Ikmal ad-Dîn, jilid 1, halaman19, Syekh Thusi dalam kitab al-Ghaybah, halaman101-107, Thabarsi dalam kitab I’lam al-Wara` dan Ibnu Thawus dalam Kasyf al-Mahjah berdalil dengan argumentasi ini mengenai kebenaran akan kegaiban dan kepemimpinan Imam Mahdi bin Imam Hasan Askari as.
39. Syekh Qanduzi al-Hanafi menyebutkan dalam kitab Yanabi’ al-Mawaddah bahwa banyak ulama Ahlusunnah yang menyatakan bahwa al-Mahdi yang dijanjikan adalah putra Hasan Askari as dan beliau (al-Mahdi) hidup dan gaib. Seperti yang dijelaskan oleh Mirza Nuri dalam kitab Kasyf al-Astar terdapat empat puluh ulama dari mereka (Ahlusunnah) dan pendapat-pendapat mereka yang dinukil oleh penulis. Begitu pula yang telah dilakukan oleh Allamah Najmuddin Askari dalam kitab beliau Al-Mahdi al-Mau’ud al-Munthazhar ‘Inda ‘Ulama-i Ahlus-sunah wa al-Imamiyah. Sayid Tsamir Umaidi mengumpulkan pendapat-pendapat dan penjelasan mereka pada juz pertama dari kitab Difa’ ‘an al-Kâfî. Sayid Amin Amili juga menulis pada jilid ke-5 dari kitab Al-Majalis as-Saniyyah yang membicarakan tentang al-Mahdi al-Muntazhar as.
40. Bahtsun Haula al-Mahdi, hal.12-14.

(Teladan Abadi/ABNS
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: