Pesan Rahbar

Home » » AL - MAHDI YANG DI JANJIKAN DAN KEGAIBANNYA DALAM AL - QUR'AN

AL - MAHDI YANG DI JANJIKAN DAN KEGAIBANNYA DALAM AL - QUR'AN

Written By Unknown on Sunday, 3 January 2016 | 12:43:00


PANDANGAN yang paling menonjol yang ditampakkan ajaran Ahlulbait as mengenai al-Mahdi yang dijanjikan, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa al- Mahdi hidup saat ini dan dalam masa kegaiban serta menetapkan sosok beliau sebagai imam ke-12 dari para imam keluarga Nabi saw. Al-Mahdi dilahirkan sebagai putra dari Imam Hasan Askari pada tahun 255 H. Beliau mengemban tugas imamah pada tahun 260 H setelah ayah beliau wafat. Imam Mahdi mengalami dua masa kegaiban. Yang pertama, kegaiban pendek (sughra) yang berlangsung sampai tahun 329 H. Selama masa kegaiban tersebut beliau berhubungan dengan para pengikutnya melalui wakil-wakil khusus beliau. Setelah masa kegaiban pendek, beliau memasuki masa kegaiban panjang (kubra) yang berlangsung hingga saat ini sampai Allah Swt mengizinkan beliau muncul untuk mewujudkan tugas-tugas penting dalam mendirikan pemerintahan Islam yang mendunia yang akan memenuhi bumi ini dengan keadilan. Insya Allah.

Ahlusunnah sepakat bahwa Imam Mahdi adalah putra dari keturunan Fathimah Zahra as. Sebagian mereka meyakini bahwa Imam Mahdi telah lahir dan sebagian yang lain meyakini akan lahir dan muncul di akhir zaman untuk mewujudkan tugas-tugas penting yang dijanjikan. Namun, pendapat tersebut tidak didasari oleh dalil-dalil nakli (al-Quran) maupun dalil akli (logika) kecuali bersandar pada hadis-hadis yang menyebutkan bahwa kemunculan beliau akan terjadi di akhir zaman. Dalil-dalil semacam ini bukanlah dalil yang lengkap. Begitu pula bukti tersebut tidak bisa menafikan adanya kegaiban karena kelahiran beliau dan kemunculan beliau tidak mungkin terjadi pada masa yang sama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kepastian akan kemunculan beliau di akhir zaman adalah menafikan kegaiban karena dua hal yang bertentangan mustahil berkumpul secara akal. Mazhab Imamiyah berpendapat bahwa kegaiban terjadi sebelum kemunculan. Dengan demikian, tidak ada pertentangan di antara keduanya (kegaiban dan kelahiran—penerj.) Ajaran Ahlulbait memaparkan beberapa dalil secara terperinci untuk menetapkan adanya kegaiban di sejumlah kitab-kitab akidah mereka yang terkenal.1

Berita-berita yang dimuat dalam kitab-kitab agama terdahulu mengenai juru selamat dunia yang dijanjikan di akhir zaman tidak mungkin diterapkan pada selain al-Mahdi bin Hasan Askari as yang diyakini oleh ajaran Ahlulbait. Bahkan, berita-berita tersebut menyebutkan dengan jelas mengenai kegaiban beliau. Hal ini menjadi pandangan yang penting yang membedakan pandangan Imamiyah seperti yang telah dijelaskan bahwa beliau adalah pemimpin terakhir dari dua belas imam yang memiliki keistimewaan dan kekhususan yang tidak didapatkan pada selain beliau. Pengenalan pada ajaran dan keyakinan Ahululbait mengenai al-Mahdi al-Muntazhar dapat dijadikan sebagai perantara untuk menyelesaikan perbedaan pandangan tentang figur sesungguhnya sang juru selamat dunia berlandaskan pada metode kajian ilmiah dalam mempelajari berita-berita gembira tersebut. Al-Quran dengan jelas menerangkan bahwa di setiap masa harus ada seorang imam yang benar yang menuntun manusia pada hidayah menuju Allah Swt dan menjadi saksi atas seluruh perbuatan manusia serta menjadi hujjah (bukti) Allah pada setiap zaman di dunia dan akhirat.

Begitu pula sejumlah ayat yang menerangkan sifat dan karakter yang tidak mungkin dapat diterapkan—pada masa sekarang ini—pada selain Imam Mahdi as yang diyakini keberadaannya dan kegaibannya dalam ajaran Ahlulbait as. Dengan demikian, ayat-ayat tersebut menjadi bukti kebenaran ajaran Ahlulbait as mengenai al-Mahdi al-Muntazhar as. Pada dasarnya, ayat-ayat ini menetapkan kemustahilan akan kekosongan bumi dari hujjah (bukti) Allah berupa imam yang benar di setiap zaman. Ayat-ayat tersebut dengan gamblang menyebutkan hal itu dan tidak perlu mendapatkan penjelasan lebih lanjut. Adapun perbedaan politik yang kita saksikan dalam sejarah Islam yang berimbas pada terbentuknya berbagai pandangan dan ajaran serta keyakinan, kembali pada pengaburan makna yang sebenarnya dari konteks ayat-ayat tersebut dan memalingkannya pada penakwilan-penakwilan yang sangat jauh dari makna eksternal ayat-ayat tersebut.
Kami sempurnakan pembahasan ini dengan mempelajari makna dan konteks beberapa hadis yang memiliki nilai kesahihan dari sisi riwayatnya dan dimuat dalam kutub as-sittah (kitab-kitab standar hadis di kalangan Ahlusunnah—penerj.) yang mu’tabar dan terkenal di kalangan Ahlusunnah juga berbagai kitab lainnya yang diakui di seluruh mazhab Islam. Seluruhnya akan menjadi bukti bagi mereka, yaitu menyempurnakan makna ayat-ayat al-Quran yang dituju dan menentukan figur-figur sesungguhnya yang telah dibatasi oleh ayat-ayat tersebut dengan jalan menerangkan sifat dan karakter beliau secara umum. Bukti-bukti tersebut juga akan menetapkan bahwa al-Mahdi as yang dijanjikan yang disampaikan oleh Rasulullah saw sebagai berita gembira adalah imam keduabelas dari para imam suci keluarga Nabi saw dan beliau adalah putra Imam Hasan Askari as.

Zaman Tidak Pernah Kosong dari Seorang Imam 
Allah Swt berfirman, 
Yaitu pada hari yang Kami seru seluruh manusia dengan imam (pemimpin) mereka. Siapa yang diberikan catatan amalnya dari sebelah kanan, mereka adalah orang-orang yang membaca catatan amal mereka dan mereka tidak akan dizalimi sedikit pun. Dan siapa yang buta di dunia, maka di akhirat pun akan buta dan akan menempuh jalan yang sesat. (QS. al-Isra`:71-72)

Ayat ini melalui kata كُلَّ نَُ ا “setiap manusia” dengan jelas menerangkan bahwa setiap kelompok manusia pada masa tertentu memiliki pemimpin tertentu yang menyeru pada hari kiamat. Pemimpin tersebut menjadi hujjah atas mereka dan menjadi saksi bagi mereka kelak di hari perhitungan dan juga mengandung makna hujjah. Lalu siapa ما imâm yang dimaksudkan dalam ayat tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan itu, sepatutnya merujuk kembali pada istilah-istilah yang digunakan dalam al-Quran itu sendiri agar lebih diketahui makna yang diinginkan dari ayat tersebut. Dengan demikian, kita mendapatkan petunjuk untuk mengetahui makna yang sesuai dan sebenarnya dalam konteks ayat tersebut.

Kata imâm dalam al-Quran digunakan bagi orang yang diikuti oleh banyak orang. Ada dua bentuk imam yang digunakan dalam al-Quran dan tidak ada bentuk ketiga, yaitu imam yang ditetapkan oleh Allah Swt yang memberi petunjuk pada seluruh ciptaan-Nya untuk kembali pada Allah dan atas perintah-Nya, seperti yang dijelaskan dalam beberapa ayat di antaranya:

Allah berfirman, 
Dan Kami jadikan mereka aimmah (para pemimpin) yang memberi petunjuk atas perintah Kami… (QS.al-Anbiya: 73)

Allah berfirman,
Sungguh Kami telah menjadikanmu sebagai imam bagi manusia. (QS. al-Baqarah: 124)

Allah berfirman,
Dan Kami ingin memberikan pada orang-orang yang tertindas di bumi ini dan akan Kami jadikan mereka aimmah (para pemimpin) dan Kami jadikan mereka para pewaris. (QS al-Qashash: 5)

Allah berfirman,
Dan Kami jadikan seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS al-Furqan: 74)

Dengan memperhatikan ayat-ayat tersebut, seluruhnya menyatakan bahwa penetapan seorang imam ditetapkan langsung oleh Allah Swt.

Adapun bentuk kedua adalah seseorang yang diikuti dalam kesesatan sebagaimana yang difirmankan Allah Swt,
Dan perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran (aimmatal kufri).” (QS. at-Taubah: 12)

Allah berfirman,
Dan Kami jadikan mereka aimmah (para pemimpin) yang menyeru pada neraka dan pada hari kiamat mereka tidak mendapat pertolongan. (QS. al-Qashash:41)2

Inilah makna yang digunakan untuk sosok-sosok tertentu dalam al-Quran. Adapun penggunaan pada selain pribadi, terkadang digunakan pada dua makna dan dalam bentuk tunggal. Sementara, makna yang disebutkan sebelumnya terkadang mengunakan bentuk tunggal dan terkadang menggunakan bentuk jamak. Makna pertama ditujukan pada kitab Taurat, seperti yang dijelaskan dalam ayat,

Dan diturunkan dari sisi-Nya kitab pada Nabi Musa as sebagai imam (petunjuk) dan rahmat. (QS. Hud: 17)

Dari penggunaan kata dalam ayat tersebut dapat disimpulkan akan pembenaran penyebutan kata imâm bagi kitab-kitab langit lainnya atau minimal pada kitab-kitab langit yang utama.

Adapun makna kedua yaitu bermakna lauhul mahfuzh sebagaimana yang difirmankan Allah Swt,
Dan segala sesuatu telah Kami perhitungkan pada Imamin Mubin (kitab yang jelas) (Lauhul Mahfuzh). (QS. Yasin: 12)

Imam yang Dimaksud dalam Ayat 
Siapakah yang dimaksud dengan imâm dalam ayat yang zaman tidak pernah kosong darinya dan mengajak manusia yang hidup di zamannya pada hari akhir? Apakah ia orang tertentu? Ataukah salah satu dari kitab langit di setiap zaman ataukah imam adalah lauhul mahfuzh?

Yang dimaksud dengan imâm dalam ayat tersebut tidak mungkin sebuah kitab langit atau lauhul mahfuzh karena ayat tersebut secara umum dan jelas menyatakan—tidak kosong di setiap zaman dan setiap kaum memiliki imam mencakup manusia-manusia sejak awal hingga akhir. Sementara itu, dibuktikan dalam al-Quran dan sejarah bahwa kitab langit pertama yang diturunkan adalah kitab Nabi Nuh as. Maka, pendapat yang menyatakan bahwa imam dalam ayat itu adalah salah satu kitab langit di setiap masa berarti mengecualikan masa-masa Nabi Nuh as. Hal ini jelas bertentangan dengan makna eksternal dari ayat yang menyatakan cakupannya di setiap masa sebagaimana disebutkan dalam ayat dengan kata كُلَّ نَُ ا “setiap manusia”.

Begitu pula tidak mungkin kata imâm dalam ayat tersebut ditafsirkan dengan lauhul mahfuzh karena kata imâm berbentuk tunggal, tidak dikhususkan pada penghuni masa tertentu selain mereka, sementara ayat dengan jelas menerangkan bahwa setiap manusia memiliki imam.

Dengan tertolaknya dua pendapat tersebut, maka yang dimaksud dengan kata imâm dalam ayat tersebut adalah seseorang yang mengajak manusia di setiap zaman menuju pada jalan kebenaran atau kebatilan. Yang dimaksud dengan imam ayat kelompok pertama adalah imam yang haq yang ditetapkan oleh Allah Swt untuk memberi petunjuk manusia dengan izin-Nya. Imam menjadi hujjah Allah atas mereka dan kelak ia akan menjadi saksi pada hari kiamat dan menjadi bukti Allah atas mereka. Baik imam tersebut adalah seorang nabi, seperti Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad—salawat dan salam untuk mereka dan keluarga mereka—atau selain nabi seperti para washi. Yang dimaksud dengan kata da`wah di dalam ayat tersebut adalah ‘dihadirkan’, yakni setiap manusia—di setiap zaman— dihadirkan dengan imam zaman mereka. Kemudian, diberikan catatan amal perbuatannya dari sebelah kanan bagi siapa yang mengikuti imam yang hak dan tampaklah kebutaan orang-orang yang buta dari pengenalan imam yang sesungguhnya di zamannya dan dipisahkan dari para pengikutnya. Inilah sesuatu yang dihasilkan dari perenungan pada kedua ayat yang menjadi pembahasan sebagaimana pendapat yang disampaikan Allamah Thabathaba’i mengenai penafsiran kedua ayat tersebut.3 Beliau memaparkan dalam pembahasannya seluruh pendapat para musafir (ahli tafsir) mengenai penafsiran kata imâm dalam ayat tersebut. Beliau menjelaskan tidak adanya kesinkronan dalam penggunaan dan lahiriah dari kedua ayat tersebut dan pendapat-pendapat para mufasir sangat jelas kesalahannya.

Mungkin di antara pendapat-pendapat tersebut yang perlu untuk diperhatikan adalah pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata imâm adalah seorang nabi secara umum bagi setiap umat sehingga disebut dengan sebutan umat Ibrahim, umat Musa, umat Isa, atau umat Muhammad saw. Pendapat ini pun tidak sesuai dengan lahiriah dari kedua ayat tersebut karena hal itu mengecualikan umat-umat yang tidak memiliki nabi di masanya dari hukum umum kedua ayat tersebut dan ini bertentangan dengan lahiriah keduanya. Hal itu juga tertolak dengan ayat-ayat yang lain yang insya Allah akan kita bahas.

Imam Penyelamat dari Kesesatan Dengan demikian, kedua ayat al-Quran tersebut menunjukkan akan kepastian adanya seorang imam yang hak yang memberi petunjuk di setiap masa dan menjadi hujjah Allah bagi setiap manusia di masanya di dunia dan akhirat. Pengenalan pada beliau dan mengikutinya di dunia ini menjadi sarana keselamatan di hari akhir. Adapun kebutaan dan tidak adanya pengenalan pada beliau serta tidak mengikuti beliau di dunia menyebabkan kebutaan dan kesesatan di hari akhir, hari yang setiap manusia akan dihadirkan dengan imam zaman mereka yang hak. Diserukan pada orang-orang yang sesat, “Inilah imam kalian yang nampak di antara kalian. Lalu mengapa kalian buta untuk mengenalnya?” Dengan demikian, sempurnalah hujjah Allah pada mereka dan nampak dengan jelas hikmah diserunya dan dihadirkannya imam mereka pada mereka di hari kiamat.

Sekarang, kita sampai pada pertanyaan pokok yang berhubungan dengan figur yang ditunjukkan pada kedua ayat tersebut, yaitu siapa imam yang hak yang menjadi hujjah Allah atas seluruh makhluk-Nya di masa kita sekarang karena seorang imam yang hak harus ada di setiap masa sebagaimana yang dijelaskan kedua ayat tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, melalui nas ayat-ayat al-Quran sendiri sebagai bukti bagi semua, hendaknya mengetahui sifat-sifat yang digambarkan ayat-ayat al-Quran mengenai imam yang hak. Selanjutnya, memasuki pembahasan diterapkan pada siapa di masa sekarang.

Karakter Al-Mahdi dalam Al-Quran
Kesimpulan yang diperoleh dari penafsiran kedua ayat al-Quran di atas adalah seorang imam hendaknya menyandang karakter-karakter tertentu sehingga dapat menjadi hujjah (bukti) atas kaumnya di hari kiamat kelak. Karakter-karakter itu seperti kemampuan dan kelayakan untuk memberi hidayah sehingga para pengikutnya mampu memperoleh petunjuk dan ketaatan pada beliau menjadi manifestasi ketaatan pada Allah Swt. Imam juga harus mampu mengetahui hakikat perbuatan manusia bukan hanya tampilan luar perbuatan itu saja. Hendaknya imam adalah pemberi jalan menuju Allah dan menjadi saksi atas perbuatan mereka. Karakter yang juga harus dimiliki oleh seorang imam berkenaan dengan hidayah Ilahiah adalah kemampuan memaparkan hidayah pada manusia dan juga mampu menjaganya. Beliau juga harus layak untuk mendapatkan keutamaan dari Allah Swt dengan memperoleh ilmul kitab (pengetahuan tentang al-Quran) dan pengetahuan mengenai sebab-sebab yang semestinya guna mengetahui hakikat perbuatan manusia sehingga beliau dapat menjadi hujjah Allah atas manusia dan saksi mereka kelak di hari kiamat. Adapun penjelasan lebih lanjut, insya allah dipaparkan pada paragraf berikut. Sebagaimana layaknya, seorang imam juga harus dihiasi dengan keutamaan dan derajat yang tinggi dalam keadilan dan ketakwaan agar tidak terjadi kekurangan dalam menyampaikan hidayah pada manusia dan tidak terjadi penyembunyian bukti saat beliau menjadi saksi kelak di hari kiamat. Beliau harus mencapai puncak tertinggi dalam kemaksuman (keterjagaan dari salah dan dosa). Hal ini dijelaskan dalam al-Quran. Allah berfirman,

Manakala Allah menguji Ibrahim dengan kalimatkalimat, kemudian dia menyempurnakannya, Allah berkata pada Ibrahim, ‘Aku menjadikanmu imam bagi manusia.’ Berkata Ibrahim, ‘Dan dari keturunanku?’ Allah berfirman, ‘Janji-Ku tidak termasuk pada orang-orang yang zalim.” (QS.al-Baqarah: 124).

Dengan demikian, imamah (kepemimpinan) merupakan ‘ahdun (janji) dari Allah Swt yang tidak dapat dicapai oleh seseorang yang sedikit saja ternodai dengan kezaliman.

Jelaslah, melakukan kemaksiatan merupakan tampilan dari kezaliman. Oleh karena itu, manusia yang layak menyandang tanggung jawab imamah adalah manusia yang maksum (terjaga dari dosa).

Pada saat Allah Swt menetapkan bagi kekasih-Nya Nabi Ibrahim as penetapan imamah pada keturunannya, Allah tidak mensyaratkan sesuatu apa pun kecuali bahwa imamah tidak mungkin dicapai selain orang-orang yang maksum.

Sekaligus menyatakan bahwa keturunan Nabi Ibrahim as adalah keturunan yang layak untuk mengemban imamah hingga hari kiamat. Hal ini pula yang ditegaskan oleh Allah Swt dalam ayat-Nya, 
Dan Kami menjadikannya sebagai kalimat yang tetap bagi setelahnya agar mereka kembali. (QS.az-Zukhruf: 28)4

Manakala imamah merupakan janji ilahi, maka imam adalah manusia yang dipilih oleh Allah Swt
(Dan Dia Maha Mengetahui ketika menjadikan risalah-Nya) hal ini dikuatkan ayat-ayat al-Quran yang menyatakan penisbatan imamah pada Allah secara langsung dan tidak disandarkan pada selain-Nya sebagaimana yang telah dijelaskan kedua ayat tersebut (Surah az-Zukhruf dan Surah al-Baqarah) dan ayat-ayat lainnya. Penetapan Ilahi pada seseorang yang mengemban imamah ini dilakukan melalui penetapan secara nas yang bersumber dari sumber-sumber wahyu Ilahi (al-Quran dan hadis) atau orang-orang yang telah ditetapkan imamahnya dan kemaksumannya atau menampakkan mukjizat-mukjizat yang di luar batas kebiasaan darinya sehingga terbukti kebenaran pengakuan imamah dirinya.

Jika demikian, imam zaman kita saat ini yang ditunjukkan oleh kedua ayat dalam Surah al-Isra` mengenai kepastian adanya beliau, hendaknya manusia yang menjadi petunjuk bagi kaumnya dan menjadi saksi bagi mereka atas seluruh perbuatan mereka serta menjadi bukti Allah kelak di hari kiamat bagi manusia di masa itu. Imam juga haruslah manusia yang maksum atau paling tidak manusia yang mencapai tingkat tertinggi dalam keadilan sehingga beliau layak untuk merealisasikan tugas-tugas penting beliau sebagai pemberi petunjuk dan saksi. Beliau juga harus dari keturunan Nabi Ibrahim as yang telah ditegaskan ketetapan tanggung jawab imamah pada mereka. Juga hendaknya ditetapkan melalui penetapan rasul atau yang ditetapkan imamahnya atau menunjukkan mukjizat-mukjizat dan mampu membuktikan hubungannya dengan langit sehingga dibenarkan pengakuan imamahnya.

Sosok Imam di Masa Sekarang
Di masa sekarang ini, siapa manusia yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut? Rasanya gamblang, bahwa tidak tampak seorang pun yang sesuai dengan kriteria-kriteria tersebut dan tidak pula ada manusia yang mengakui memiliki kriteria-kriteria tersebut. Apakah dengan tidak adanya seorang manusia yang memiliki kriteria-kriteria tersebut berarti bahwa dunia saat ini kosong dari seorang imam?

Jawaban pertanyaan tersebut jelas negatif karena bertentangan dengan kejelasan makna yang ditunjukkan dua ayat dalam Surah al-Isra` di atas. Dengan demikian, tidak ada pendapat lainnya selain menyatakan bahwa imam kita saat ini ada dalam masa kegaiban dan beliau sebatas yang diperlukan membangun bukti bagi manusia di masanya. Hal ini merupakan tanggung jawab imam meskipun dalam masa kegaiban. 

Inilah pendapat yang disampaikan dan menjadi pembeda ajaran Ahlulbait as mengenai al-Mahdi al-Muntazhar as. Ajaran Ahlulbait juga memaparkan dalil-dalil, baik dalil nakli (al-Quran dan hadis) ataupun dalil akli (rasional), yang membuktikan bahwa kriteria-kriteria dan sifat-sifat tersebut seluruhnya terkumpul pada beliau dari sisi kemaksuman ataupun penetapan beliau dari Rasulullah saw dan juga ayah serta kakek-kakek beliau (para imam) yang menetapkan imamah beliau.

Begitu pula ditampakkannya mukizat beliau pada masa kegaiban pendek. Bahkan, pada masa kegaiban panjang dan perbuatan-perbuatan beliau yang mungkin dilakukan sebagai tanggung jawab imamah beliau pada masa tersebut agar terwujud pembuktian bagi umat manusia di masanya sebagaimana hal-hal tersebut dijelaskan dan ditulis oleh ulama-ulama Ahlulbait as dalam kitab-kitab mereka.5

Dalam hal ini, cukup kami mengisyaratkan sebagian kitab-kitab yang ditulis jauh sebelum masa kelahiran Imam Mahdi yang memuat hadis-hadis yang menetapkan imamah beliau dan pemberitahuan masa kegaibannya serta lamanya masa kegaiban tersebut sebelum terjadinya hal itu. Hal ini menjadi bukti nyata atas kebenarannya sebagaimana para ulama berargumentasi dengan hadis-hadis tersebut saat masa kegaiban terjadi. Hal itu telah diberitakan sebelumnya dan ini juga menjadi bukti kebenaran bahwa dalil-dalil tersebut bersumber dari sumber-sumber wahyu.6

Di Setiap Masa Ada Seorang Imam Yang Menjadi Saksi bagi Umatnya Allah Swt berfirman,
Dan bagaimana jika Kami hadirkan pada setiap umat seorang saksi dan Kami hadirkan dirimu sebagai saksi bagi mereka semua. (QS. an-Nisa: 41)

Allah Swt berfirman,
Dan ingatlah mengenai hari Kami utus di setiap umat seorang saksi bagi mereka kemudian Kami tidak beri ijin bagi orang-orang kafir dan mereka tidak diperbolehkan meminta maaf. (QS. an-Nahl: 84)

Allah Swt berfirman, 
Dan ingatlah mengenai hari Kami utus bagi setiap umat seorang saksi bagi mereka dan dari jenis mereka sendiri dan Kami hadirkan dirimu sebagai saksi bagi mereka semua. (QS an-Nahl: 89)

Allah Swt berfirman,
Dan Kami tentukan bagi setiap umat seorang saksi maka Kami serukan, ‘Datangkan bukti-bukti kalian!’ dan mereka mengetahui bahwa sesungguhnya kebenaran hanya milik Allah dan Allah menyesatkan mereka atas apa yang mereka kerjakan. (QS al-Qashash: 75) 

Ayat-ayat tersebut berbicara mengenai pembuktian-pembuktian Ilahi atas manusia di hari kiamat, yaitu pembuktian melalui diri al-Mahdi as seperti yang telah kami jelaskan pada dua ayat di dalam Surah al-Isra`.

Ayat-ayat di atas menguatkan dan menegaskan kepastian adanya seorang imam yang benar di setiap masa. Allah berhujjah pada manusia di setiap masa (setiap umat dan setiap manusia) melalui keberadaannya mengenai segala sesuatu yang terkait dengan hidayah dan kesesatan serta kesesuaian pebuatan-perbuatan manusia dengan agama Ilahi yang benar.

Jelaslah, beliau sebagai hujjah Allah terhadap makhluk-Nya mampu memberi petunjuk pada umat manusia dan mampu menampilkannya pada mereka. Pada satu sisi, pastilah beliau yang paling mengetahui mengenai syariat Ilahi. Di sisi lainnya, beliau harus mengetahui seluruh perbuatan kaumnya sehingga dapat menjadi saksi bagi mereka, yakni beliau mampu memberi kesaksian pada hari kiamat atas sikap-sikap umat terhadap agama.

Penyebutan kata kesaksian dalam ayat-ayat ini disebutkan secara mutlak dan jelas. “Dan makna lahiriah dari keseluruhan atas kemutlakan kesaksian, yaitu kesaksian atas perbuatan-perbuatan semua umat dan juga tablig para rasul.”7 Zamakhsyari dalam kitab beliau al-Kasysyaf mengenai hal ini menjelaskan, “Karena para nabi setiap umat adalah saksi atas apa yang mereka lakukan.”8

Saksi adalah “Bersaksi bagi atau atas mereka mengenai keimanan, pembenaran, kekafiran, dan kebohongan.”9

Seorang saksi haruslah hidup dan semasa dengan mereka dan tidak meninggal seperti yang diisyaratkan ayat al-Quran dalam ucapan Nabi Isa as.
Allah berfirman,
Dan aku menjadi saksi atas mereka selama aku masih berada di tengah-tengah mereka. Manakala Engkau matikan aku, Engkau menjadi pengawas mereka dan Engkau adalah saksi atas segala sesuatu. (QS al-Maidah: 117)

Dari ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa kesaksian dilakukan pada hari kiamat. Akan tetapi, penguasaan pada objek kesaksian, yaitu perbuatan suatu kaum terjadi di dunia melalui interaksi langsung seorang saksi dengan kaumnya, seperti petikan ayat di atas,
“Dan aku menjadi saksi selama aku berada ditengah-tengah mereka. Manakala Engkau matikan aku …”

Dengan demikian, seorang saksi yang Allah berhujjah dengannya pada hari kiamat kelak haruslah sezaman dengan orang-orang yang diberi kesaksian. Oleh karena itu, tidak mungkin kita membatasi saksi hanya pada para nabi saja seperti yang disampaikan oleh Zamakhsyari dalam tafsirnya.10 Bahkan, semestinya kita mengatakan bahwa di setiap masa harus ada seorang saksi atas perbuatan-perbuatan yang terjadi di masa tersebut. Hal itu sebagaimana yang disampaikan oleh Fakhrur Razi dalam tafsirnya yang menyatakan,

Adapun firman Allah Swt,  
‘Dan Kami jadikan dari setiap umat seorang saksi.’ Yang dimaksud adalah Kami memisahkan seseorang sebagai saksi atas mereka. Kemudian, sebagian menyatakan mereka adalah para nabi karena umat menyaksikan bahwa mereka menyampaikan bukti-bukti pada umat dan menerangkannya agar umat menyadari bahwa kesalahan dan kekurangan karena mereka sendiri dan hal itu menambah kesulitan mereka. Sebagian lainnya berpendapat mereka adalah para saksi yang bersaksi pada manusia di setiap masa dan diantaranya termasuk para nabi. Pendapat ini lebih dekat dengan kebenaran karena Allah Swt menggeneralkan hal tesebut pada setiap umat, setiap kelompok, kemudian menjadikan di antara mereka seorang saksi. Dengan demikian, kondisi-kondisi yang tidak terliputi oleh para nabi tercakup di dalamnya seperti masa fatrah (masa di antara para nabi) dan masa-masa sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw dan mereka mengetahui bahwa kebenaran hanya milik Allah dan Rasul-Nya …”11

Oleh karena itu, harus ada seorang saksi bagi manusia dan hidup di masa sekarang ini sebagaimana yang terjadi di setiap masa. Hal yang demikian juga dikuatkan dengan dua ayat yaitu pada Surah al-Hajj dan Surah an-Nisa dengan menggunakan isim isyarah هَؤُلاَ (haulai) ketika membicarakan tentang kesaksian Rasulullah saw dalam firman-Nya, جَِئْنَا بِكَ شَهِيدً عَلَى هَؤُلَا ”Dan Kami hadirkan kamu sebagai saksi bagi mereka”, sebagai isyarat adanya kesamaan masa bagi mereka yang menjadi saksi-saksi lainya bagi generasi-generasi berikutnya.12 Lalu siapa saksi bagi kita di masa sekarang ini? Mari kita kembali pada ayat al-Quran agar kita dapat mengikuti gambaran yang dijelaskan sebagai petunjuk untuk mengetahui saksi sesungguhnya dan untuk menjawab berbagai persoalan yang muncul mengenai hal ini.

Kriteria-Kriteria Imam sebagai Saksi
Pada ayat ke-89 dari Surah al-Hajj dijelaskan bahwa al-Mahdi adalah seorang manusia, شَهِيْدً مِنْ نَْفُسِهِمْ “Sebagai saksi dari jenis kalian”. Hal ini juga dapat disimpulkan dari ayat-ayat lainnya yang menggunakan kata نم at-tab’idiyah (sebagian) seperti dalam ayat, مِنْ كُلِّ مَُّةٍ “Dari seluruh umat”. Seorang saksi adalah manusia seperti para nabi bukan dari malaikat, bukan dari bangsa jin dan bukan pula kitab langit atau lauh al-mahfuzh. Hal ini dikuatkan apa yang telah dijelaskan oleh hadis mengenai dua ayat dari Surah al-Isra` bahwa yang dimaksud dengan “imam” dalam dua ayat tersebut adalah seorang manusia, bukan kitab langit.

Karena, kedua ayat tersebut berbicara mengenai pembuktian Allah atas manusia melaluinya dan juga menjelaskan peran seorang saksi pada kedua ayat tersebut. Dengan demikian, yang dimaksud dalam dua kondisi tersebut adalah satu hal, yaitu sesungguhnya imam juga dari jenis mereka. Ayat-ayat yang menjelaskan mengenai imam menggunakan bentuk tunggal dalam menyifati seorang saksi, yakni hanya ada seorang saksi bagi kaumnya di suatu masa yang hidup bersama mereka. Penjelasan ini sesuai dengan ayat dalam Surah al-Isra` yang menggunakan bentuk tunggal ketika menjelaskan tentang seorang imam. Ayat tersebut adalah, نَدْعُو كُلَّ نَُ ا بِإِمَامِهِمْ Dan Kami seru (hadirkan) setiap umat bersama imam mereka. Hal yang juga menafikan penafsiran yang menyatakan bahwa imam adalah umat Islam secara keseluruhan atau segolongan dari kaum Mukmin yang memerintahkan pada kebaikan dan mencegah pada kemungkaran adalah kesaksian atas seluruh perbuatan kaumnya atau perbuatan-perbuatan umat-umat lainnya yang sezaman dengan mereka.

Permasalahan ini juga membenarkan penafian pendapat yang menyatakan bahwa objek dari ayat ini adalah abdal (para pengganti) yang tidak pernah kosong dari mereka di setiap zaman. Hal ini dijelaskan dalam beberapa hadis yang diriwayatkan oleh kedua belah pihak (Syi’ah dan Sunni).13

Bahkan sebaliknya, saksi dari seluruh perbuatan yang terjadi di zaman tersebut hanya satu orang, tidak lebih. Peran seorang saksi adalah memberi kesaksian atas seluruh perbuatan kaumnya, baik berupa kekufuran dan pembohongan maupun keimanan dan kejujuran sebagaimana yang dijelaskan oleh Zamakhsyari. Hal-hal tersebut adalah hal yang tidak kasat mata, yakni menyangkut hati manusia.

Sesungguhnya pancaindra yang alami yang ada pada diri kita dan kekuatan yang berkaitan dengan diri kita, jelas tidak bertanggung jawab kecuali pada bentuk lahir perbuatan-perbuatan saja. Tanggung jawab tersebut terjadi hanya pada sesuatu yang ada dan nampak oleh indra, bukan pada sesuatu yang tidak ada dan tidak tampak. Adapun hakikat perbuatan dan nilai-nilai kejiwaan berupa kekufuran, keimanan, kemenangan, kekalahan dan termasuk di antaranya adalah segala sesuatu yang tidak terindra dan menjadi bagian batin manusia serta sesuatu yang dihasilkan oleh hati. Perhitungan akan hal-hal tersebut dikembalikan pada Allah Pemilik jagad raya ini. Semua kelak diungkapkan oleh Allah Swt sebagaimana firman-Nya,
Namun yang diperhitungkan dari kalian adalah apa yang dihasilkan oleh hati-hati kalian. (QS al-Baqarah: 225).

Semua itu adalah hal yang di luar kemampuan manusia untuk memperhitungkan, menguasai, dan menentukannya pada setiap manusia. Terlebih-lebih pada hal-hal yang bersifat gaib, kecuali hal tersebut Allah limpahkan pada seorang manusia yang diberi wewenang untuk melakukan perintah-Nya dan menyingkap hal-hal tersebut melalui tangannya.14

Dengan demikian, seorang saksi pada umatnya hendaknya memiliki kemampuan keilmuan rabbani (bersumber dari Allah—penerj.) mengenai hakikat perbuatan-perbuatan umatnya karena nilai perbuatan dalam timbangan Allah Swt adalah hakikat batin perbuatan tersebut, motivasi, dan dorongan niatnya. Dari itu, tidak mungkin seorang saksi bagi umatnya adalah seorang manusia biasa tetapi harus seseorang yang diliputi oleh pancaran Ilahi secara langsung dan termasuk orang-orang yang diridhai oleh Allah serta mengetahui kegaiban karena salah satu objek kegaiban adalah hakikat batin perbuatan manusia.

Jelas, keutamaan seperti ini tidak mungkin dicapai oleh seluruh umat karena karamah (kemuliaan) seperti ini adalah kemuliaan khusus bagi kekasih-kekasih Allah yang suci. Adapun selain mereka, seperti orang-orang menengah dalam keadilan dan kebahagiaan dari golongan orang-orang Mukmin, tidaklah memiliki kemuliaan tersebut.

Paling tidak, sifat yang disandang para syuhada (para saksi atas segala perbuatan) adalah berada dalam naungan wilâyah Allah, manusia-manusia yang diberi nikmat, dan pemilik shirath al-mustaqim (jalan yang lurus).15

Seorang Saksi Memiliki Ilmu Kitab Kemampuan pengenalan pada sisi batin perbuatan manusia jelas merupakan pengenalan yang tidak dapat diperoleh melalui sebab-sebab alami yang umum. Akan tetapi, memerlukan sisi khusus dari ilmu yang merupakan karunia Allah dengan segala kebijaksanaan-Nya yang Dia berikan pada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.16 
Seorang hamba Allah yang demikian memiliki kemampuan pengetahuan mengenai sebab-sebab alami melebihi kemampuan manusia pada umumnya dan mampu memunculkan sesuatu yang mungkin dimunculkan dengan pengetahuan tersebut. Dengan demikian, hamba tersebut memiliki kedudukan wilayah takwiniyah (kekuasaan atas alam semesta) dan kemampuan melampaui sebab-sebab alami dengan izin Allah. Inilah sisi khusus dari pengetahuan yang diistilahkan dalam al-Quran dengan “ilmu kitab” (‘ilm al-kitâb).

Kita dapat menyaksikan hal tersebut pada kisah yang dijelaskan oleh al-Quran mengenai Ashif bin Barkhiya ketika dia memindahkan singgasana Ratu Balqis yang berada di Yaman ke Palestina dalam sekejap mata. Al-Quran menjelaskan sebab kemampuan transformasi materi (pemindahan materi) dalam waktu yang singkat yang tidak mungkin dilakukan sesuai dengan sebab-sebab yang umum dengan mengatakan bahwa dia memiliki sebagian dari ilmu kitab.

Perhatikan firman Allah Swt,
Berkatalah seseorang yang memiliki sebagian pengetahuan dari kitab, “Aku hadirkan (singgasana Balqis) padamu dalam sekejap mata.” Ketika terbuka mata, singgasana telah berada di hadapannya dan berkata (Nabi Sulaiman as), “Ini adalah karunia dari Tuhanku.” (QS. an-Naml: 40)

Ashif bin Barkhiya adalah seorang washi bagi Nabi Sulaiman as yang hendak menunjukkan pada manusia bahwa dirinya adalah bukti Allah setelah Nabi Sulaiman as dengan jalan menampakkan ilmunya yang dia peroleh dari Alkitab.17 Beliau hanya memiliki sebagian dari ilmu kitab, tidak keseluruhan, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Quran yang menggunakan kata م min at-tab’idiyah yang menunjukkan makna sebagian.

Dari keterangan di atas, jelaslah seseorang yang memiliki ilmu kitab seluruhnya memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari wilâyah takwiniyah (kekuasaan pada alam semesta) seperti ini atau sekedar memiliki kemampuan penguasaan pada seluruh sebab materi saja. Bahkan, dia juga memiliki kekuatan dan kemampuan pengetahuan pada sisi batin perbuatan manusia sehingga mampu menjadi saksi yang sempurna yang sesuai dengan kebenaran risalah Ilahi.

Dengan demikian, seorang saksi atas kaumnya hendaknya memiliki ilmu kitab baik sebagian ataupun seluruhnya. Mungkin dapat dikatakan bahwa paling tidak manusia yang memiliki kemampuan sisi khusus pengetahuan seperti ini, seperti yang dinukil dalam al-Quran pada akhir Surah ar-Ra’d.

Allah berfirman,
Dan orang-orang kafir berkata, “Kamu bukanlah seorang yang dijadikan rasul”. Katakanlah, “Cukuplah Allah menjadi saksiku antara aku dan kalian dan orang yang mempunyai ilmu Al-Kitab.” (QS ar-Ra’d: 43)

Jalur Ahlusunnah—sebagaimana yang dinukil oleh Hakim al-Haskani dalam kitabnya Syawâhid at-Tanzîl18—dan beberapa jalur yang lain dan juga dari jalur Ahlulbait19 menetapkan bahwa ayat al-Quran tersebut turun berkenaan dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dan sesungguhnya beliau memiliki ilmu kitab. Begitu pula para imam lain dari keturunan beliau. Tidak ada seorang pun selain mereka yang mengklaim bahwa dirinya memiliki ilmu kitab. Sejarah kehidupan mereka juga membenarkan hal tersebut dan banyak hadis dinukil dari mereka serta kalangan Ahlusunah dan Syi’ah menyaksikan kebenaran pengakuan mereka.

Dengan demikian, yang dapat disimpulkan dari ayat tersebut adalah:
1. Kepastian adanya seseorang yang dijadikan oleh Allah Swt sebagai saksi atas segala perbuatan hamba Allah di setiap masa dan Allah menjadikan orang tersebut sebagai hujjah (bukti) Allah pada kaum tersebut kelak di hari kiamat. Orang tersebut adalah imam zaman mereka yang menyeru mereka pada-Nya dan termasuk dari golongan mereka.
2. Seorang imam yang menjadi saksi terkadang adalahseorang nabi dan terkadang para washi pada masa-masa kekosongan atau tidak adanya seorang nabi pada saat tersebut seperti masa kita saat ini. Begitu pula masa-masa sebelum masa nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena ayat tersebut menyatakan secara mutlak yang mencakup pada setiap zaman seperti makna lahiriah dari ayat tersebut, maka harus ada seorang imam yang menjadi saksi pada masa kita sekarang ini.
3. Seorang imam yang menjadi saksi atas kita sekarang ini haruslah seseorang yang hidup pada masa sekarang ini, seperti yang telah dijelaskan ayat al-Quran melalui lisan Nabi Isa as.
4. Hendaknya imam yang menjadi saksi pada masanya memiliki inayah (bantuan dari Allah) berupa keutamaan atas wilâyah takwiniyah sehingga ia memiliki pengetahuan atas hakikat amal perbuatan manusia yang ia kelak bersaksi atas seluruhnya di hari kiamat. Manifestasi dari kekuatan dan keutamaan dari Allah ini adalah ia memiliki ilmu kitab seluruhnya atau sebagian dari ilmu kitab.
5. Manakala seorang manusia seperti ini tidak tampak, maka hendaknya kita menyatakan bahwa ia dalam
masa kegaiban dari hal-hal yang lahir. Beliau hanya menjalankan tanggung jawab yang dapat beliau laksanakan sehingga Allah Swt dapat berhujjah pada manusia kelaka di hari kiamat selama masa kegaiban beliau.
6. Seperti yang telah disepakati—dari jalur Ahlusunnah dan Syi’ah—bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan putra-putra beliau memiliki ilmu kitab sebagaimana yang telah dijelaskan pada ayat al-Quran tentang sebuah sifat yang tidak mungkin dapat diterapkan pada selain beliau.

Seorang ahli tafsir terkemuka Allamah Muhammad Husain Thabatabai dalam kitab tafsir beliau yaitu Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân menetapkan ketidakserasian pendapat-pendapat lainnya dengan mantuq (makna eksplisit) ayat terakhir Surah ar-Ra’d. Oleh karena itu, karakter atau sifat-sifat yang dijelaskan pada beberapa ayat al-Quran hanya sesuai dengan karakter dan sifat yang mereka miliki dan tidak ada seorang pun yang mengklaim masalah tersebut.

Dengan demikian, maka karakter-karakter tersebut terbatas hanya pada mereka. Adapun pendapat mereka mengenai imam ke-12 dari kalangan mereka—yaitu Muhammad bin Hasan Askari—dan pendapat mengenai kegaiban dan keharusan menegakkan tugas dan tanggung jawab kepemimpinan serta segala hal yang berkaitan dengan hal tersebut, seperti kesaksian atas perbuatan umat, selaras dan sempurna dengan makna-makna ayat sebelumnya yang tidak dapat diterapkan pada selain mereka. Hal itu telah dijelaskan melalui penelitian pada keyakinan-keyakinan mazhab-mazhab lainnnya.

Sesungguhnya kelompok ayat ini menegaskan tentang keharusan adanya al- Mahdi dari keluarga Nabi saw, menjelaskan tentang kegaibannya, dan penegakkan tanggung jawab kesaksian atas umat di hari kiamat. Inilah penekanan yang dijelaskan seperti yang kelak kita saksikan pada ayat-ayat berikutnya.

Zaman Tidak Pernah Kosong dari Hadi (Pemberi Petunjuk) pada Allah. Allah Swt berfirman,
Orang-orang yang kafir berkata, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu tanda kebesaran dari Tuhannya?” Sesungguhnya kamu (Muhammad) hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang pemberi petunjuk. (QS ar-Ra’d:7)

Ayat di atas memberi penjelasan secara mutlak bahwa لِكُلِّ قَوْ هَا “setiap kaum ada seorang pemberi petunjuk.” Berdasarkan pada kemutlakan ayat tersebut, dapatdisimpulkan adanya seorang pemberi petunjuk pada kebenaran di setiap masa.

Hakikat yang demikian senapas dengan makna yangdijelaskan ayat-ayat lainnya dan hadis-hadis yang sahih serta bukti-bukti akal bahwa pengaturan Allah Swt pada mahluk-Nya meniscayakan-Nya untuk menjadikan di setiap masa seorang hujjah (bukti) pada mahluk-Nya yang memberi petunjuk pada mereka menuju kebenaran sebagaimana sunnatullah yang berlaku pada seluruh mahluk-Nya dalam memberi petunjuk guna mencapai tujuan penciptaan mereka.

Hal ini dijelaskan dalam firman-Nya,
Yang Menciptakan kemudian meluruskan. Yang Menentukan kemudian memberi petunjuk. (QS al-A’la: 7)

Sunnatullah seperti ini juga berlaku pada manusia. Allah yang telah menciptakan manusia dan menetapkan petunjuk pada manusia untuk mencapai kesempurnaan yang ditentukan baginya serta menunjukkan pada manusia sesuatu yang memberikan maslahat bagi mereka dalam kehidupan dunia dan akhirat. Ayat tersebut juga memberi pengertian bahwa orang-orang kafir mengusulkan padamu (wahai nabi terakhir) sebuah ayat. Mereka memiliki al-Quran sebagai ayat yang paling utama. Anda tidak berwenang apa pun mengenai hal tersebut, sesungguhnya Anda hanyalah seorang hadi (pemberi petunjuk) yang menunjukkan pada mereka dengan jalan memberi peringatan pada mereka. Sunnatullah tetap berlaku pada hamba-hamba-Nya dengan mengutus pada setiap kaum seorang pemberi petunjuk yang menunjukkan mereka jalan kebenaran.

Makna Al-Hadi (Pemberi Petunjuk) dalam Al-Quran
Ayat di atas menunjukkan bahwa bumi tidak pernah kosong dari seorang pemberi petunjuk yang menuntun manusia pada jalan kebenaran atas perintah Allah, baik dia seorang nabi maupun selain nabi.20 
Kemutlakan yang ditunjukkan dalam ayat tersebut menafikan adanya pembatasan kata al-Hadi (pemberi petunjuk) hanya pada para nabi saja, seperti pendapat Zamakhsyari dalam kitabnya Al-Kasysyaf ketika menafsirkan ayat tersebut. Pembatasan yang demikian mengecualikan masa-masa yang tidak ada seorang nabi pun diutus pada masa tersebut. Hal ini bertentangan dengan pengertian lahiriah ayat yang menyatakan keberadaan seorang pemberi petunjuk di setiap masa dan bumi tidak pernah kosong dari pemberi petunjuk.

Lalu, siapakah al-Hadi (pemberi petunjuk) pada masa kita sekarang ini? Untuk mendapatkan jawaban pertanyaan ini, kita kembali pada al-Quran. Kita perhatikan bahwa ayat-ayat al-Quran membatasi masalah hidayah (memberi petunjuk) merupakan hak mutlak Allah Swt. Kemudian, menetapkan hal itu pada para pemberi petunjuk atas perintah-Nya.

Allah Swt berfirman,
Katakanlah, “Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki kepada kebenaran?”
Katakanlah, “Allahlah yang menunjuki kepada kebenaran.” Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu berbuat demikian? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS. Yunus: 35)

Ayat ini menjelaskan bagaimana pandangan dan pembuktian al-Quran mengenai masalah hidayah pada kebenaran yang sebelumnya dijelaskan ayat-ayat lainnya, yaitu pembatasan hidayah hanya pada Allah Swt secara mutlak, قُلِ للهَُّ يَهْدِ لِلْحِقِّ “Katakanlah, “Allah Yang Memberi petunjuk pada kebenaran.”

Kemudian, ayat tersebut juga menetapkan bahwa yang layak untuk diikuti dari seluruh mahluk bukan orang-orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali diberi petunjuk oleh selain mereka. Namun, yang berhak untuk diikuti adalah orang yang mampu memberi petunjuk dengan sendirinya tanpa bantuan orang lain. Pembicaraan dalam ayat ini sebagaimana yang dijelaskan Allamah Muhammad Husain Thabathaba’i dalam tafsir beliau, “Sungguh terjadi penegasan di dalamnya dengan firman-Nya, يَهْدِ لَِى لْحَقِّ “…memberi petunjuk pada kebenaran.” Dengan firman selanjutnya, مَّنْ لاَ يُهَدِّ “…apakah orang yang tidak mendapat petunjuk,” sementara hidayah pada kebenaran berlawanan dengan tidak adanya hidayah pada kebenaran. Ketiadaan hidayah pada kebenaran berlawanan dengan memiliki hidayah pada kebenaran. Maka, kelaziman yang dijelaskan pada keberlawanan tersebut adalah kelaziman antara pemberian petunjuk melalui orang lain dan ketiadaan hidayah pada kebenaran. Begitu pula adanya kelaziman hidayah pada kebenaran dan pemberian petunjuk dengan sendirinya. Dengan demikian, orang-orang yang memberi petunjuk pada kebenaran haruslah pemberi petunjuk dengan sendirinya bukan mendapatkan petunjuk dari orang lain. Yang mendapat petunjuk dari orang lain bukanlah orang yang memberi petunjuk pada jalan kebenaran selamanya.”


Inilah yang ditunjukkan sebatas makna eksternal dari ayat tersebut yang tidak perlu diragukan lagi. Hal ini adalah kesaksian yang adil bahwa pembicaraan mengenai topik ini merupakan hakikat yang sebenarnya dan tidak melampaui batas-batas dasar dengan mentoleransi dasar-dasar yang telah dibangun. Hal ini berlaku di antara kita, masyarakat umum, yang menisbatkan hidayah menuju jalan kebenaran pada setiap orang yang berbicara mengenai kebenaran dan mengajak padanya. Kendatipun dia tidak meyakininya atau meyakini, tetapi tidak mengamalkannya ataupun mengamalkannya, namun tidak mengetahui makna hakikat sebenarnya. Baik mendapatkan petunjuk dengan sendirinya maupun ditunjukkan oleh selain dirinya.

Sesungguhnya hidayah menuju kebenaran—yang menyangkut penjelasan kebenaran dan kondisi sebenarnya—hanyalah milik Allah atau orang-orang yang mendapat hidayah dengan sendirinya, yaitu orang-orang yang mendapat hidayah langsung dari Allah tanpa perantara yang memisahkan antara dirinya dengan kebenaran.

Mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk langsung dari Allah dan mereka memberi petunjuk manusia dengan izin Allah.

Dari penjelasan di atas mengenai makna ayat tersebut, jelaslah beberapa hal berikut:
Pertama, yang dimaksudkan dengan hidayah pada jalan kebenaran adalah menyampaikan dan menuntun pada tujuan, bukan bermakna hanya menjelaskan jalan menuju kebenaran karena sifat jalan kebenaran datang dari setiap orang, baik mendapatkan petunjuk menuju kebenaran melalui diri sendiri atau orang lain maupun tidak mendapat petunjuk.

Kedua, yang dimaksud dengan ayat, …“ مََّنْ لاَ يُهَدِّ لِاَّ يُهْدَ yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali bila diberi petunjuk,” adalah orang yang tidak mendapat petunjuk dengan sendirinya. Hal ini bersifat umum, baik orang-orang yang mendapat petunjuk melalui orang lain maupun orang-orang yang tidak mendapat petunjuk sama sekali, baik melaui dirinya sendiri maupun dari orang lain…

Ketiga, sesungguhnya hidayah menuju kebenaran—bermakna pada kebenaran—adalah urusan manusia yang mendapat petunjuk dengan sendirinya, yakni tidak ada pemisah antara dirinya dan Allah dalam masalah tersebut. Baik melalui perintah langsung maupun melalui bantuan khusus dari Allah Swt, seperti para nabi atau para washi dari para imam. Adapun hidayah bermakna menjelaskan jalan dan menggambarkan jalan kebenaran, maka hal itu tidak dikhususkan hanya pada Allah dan para pemimpin dari para nabi atau para washi sebagaimana yang Allah jelaskan dalam al-Quran mengenai seorang mukmin dari kerabat Firaun ketika dia mengatakan,
Orang yang beriman itu berkata, ”Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar.’” (QS. al-Mukmin: 38)

Adapun firman Allah Swt pada nabi-Nya, sementara beliau adalah pemimpin, yaitu,
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah yang memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya (QS. al-Qashash: 56)

Ayat-ayat lainnya merupakan pengecualian guna menjelaskan akar dan cabang dari hidayah seperti ayat-ayat at-tawafi yang menjelaskan tentang kematian, ilmu gaib, dan lain-lain sebagaimana penjelasan yang lalu. Sesungguhnya Dia adalah Pemilik Mutlak yang sesungguhnya untuk hal-hal tersebut. Adapun selain Allah, memiliki hal tersebut merupakan kepemilikan relatif dan hal tersebut terjadi karena izin Allah Swt.

Allah berfirman,
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin (aimmah) yang memberi petunjuk dengan perintah Kami.” (QS al-Anbiya:73)

Hadis-hadis suci juga mengisyaratkan hal tersebut bahwa hidayah menuju kebenaran merupakan tanggung jawab Nabi saw dan Ahlulbaitnya. Sebatas ini Allamah Thabathabai menyampaikan pendapatnya mengenai penafsiran ayat secara ringkas. Beliau juga menyampaikan pendapat-pendapat lainnya mengenai ayat tersebut dan menjelaskan ketidakselarasan pendapat-pendapat tersebut dengan makna eksplisit dari ayat tersebut.21

Kesimpulan dari penelitian terhadap ayat tersebut adalah bahwa pembatasan hidayah menuju kebenaran bermakna menuntun pada kebenaran yang merupakan hak mutlak Allah Swt dan orang-orang yang mendapatkan petunjuk langsung dari Allah, yang mencapai maqam (derajat) tertinggi dan memiliki kesiapan untuk mendapatkan perintah khusus dari Allah untuk memberi petunjuk baik melalui jalan wahyu, jika seorang nabi, maupun melalui ilham khusus dari Allah jika bukan seorang nabi. Demikian pula, untuk mencapai (urusan Allah) dalam melaksanakan kepentingan memberi petunjuk menuju pada-Nya, dan merujuk pada ayat-ayat yang membicarakan mengenai amrullah (urusan Allah), menuntun kita dengan jelas pada pengetahuan bahwa urusan Allah juga mencakup wilayah takwiniyah dan kekuasaan khusus karena tidak dijumpai satu ayat pun yang menyebutkan kata amrullah (urusan Allah) kecuali diikutkan dalam makna wilayah takwiniyah di dalamnya atau mencakup wilayah tasyri’iyah juga.

Oleh karena itu, seorang imam yang memberi petunjuk selalu dibarengi dengan malakuti yang menemaninya.
Dengan demikian, imamah menurut pandangan batin adalah wilayah kekuasaan pada manusia atas perbuatan mereka.22

Dengan wilayah takwiniyah ini, pemberi petunjuk menuju Allah mampu menguasai sebab-sebab tertentu, bahkan sampai pada hakikat dan batin dari perbuatan hamba. Dengan demikian, pemberi petunjuk memberi mereka hidayah yang sesuai dengan mereka. Penguasaan demikian ini yang membuka pemikiran dalam ayat-ayat yang menetapkan adanya seorang saksi di setiap masa bagi semua manusia yang hidup di masa tersebut.

Al-Hadi (Pemberi Petunjuk) Ditentukan oleh Allah
Merujuk kembali pada al-Quran, kita mendapatkan bahwa seseorang yang menjadi hadi (pemberi petunjuk) bagi manusia atas perintah Allah Swt adalah seseorang yang ditentukan oleh Allah sebagaimana ditegaskan dalam fiman-Nya,
Kami telah menjadikan mereka pemimpinpemimpin (para imam) yang memberi petunjuk dengan perintah Kami.” (QS al-Anbiya: 73)

Dalam penegasan ini, ayat-ayat mengenai imamah menunjukkan bahwa sesungguhnya masalah imamah merupakan janji Ilahi yang Allah menjadikannya pada hamba-hamba-Nya yang terpilih, seperti yang telah kami paparkan mengenai ayat-ayat dalam Surah al-Isra` dan ayat-ayat mengenai sifat-sifat seorang imam.

Kembali pada ayat yang menjadi pembahasan kita kali ini, yaitu ayat dari Surah ar-Ra’d yang menjelaskan bahwa لِكُلِّ قَوْ هَاٍ “di setiap kaum ada seorang pemberi petunjuk” secara mutlak. Adapun figur pemberi petunjuk yang dimaksud dalam ayat tersebut tidak mungkin sebuah kitab suci langit dikarenakan beberapa alasan yang telah kami jelaskan mengenai pengenalan terhadap imam dalam ayat di Surah al-Isra`. Begitu pula tidak mungkin membatasi figur imam hanya pada para nabi saja sebab pendapat seperti ini mengeluarkan atau mengecualikan masa-masa fatrah, yaitu suatu zaman yang tidak ada seorang nabi pun diutus pada masa tersebut dari hukum ayat tersebut. Hal ini bertentangan dengan makna lahir dari ayat yang menerangkan secara umum yang menyangkut seluruh masa.

Begitu pula tidak mungkin yang dimaksud pada ayat itu adalah Allah Swt sendiri karena hidayah-Nya meliputi seluruh masa dan tidak dikhususkan pada kaum tertentu saja serta hal ini juga bertentangan dengan makna lahir ayat. Terlebih-lebih bahwa kata hadi yang digunakan dalam ayat itu dalam bentuk nakirah (umum) yang menunjukkan sejumlah pemberi petunjuk. Selain itu, sesungguhnya “hidayah ilahiyah” bagi manusia terjadi melalui perantara para pemberi petunjuk dari jenis manusia yang memiliki hubungan dengan Allah Swt, mendapatkan hidayah dari-Nya, dan menyampaikan hidayah tersebut pada hamba-hamba-Nya. Merekalah sesungguhnya manusia-manusia yang mendapatkan petunjuk dengan sendirinya; mereka mendapatkan hidayah langsung dari Allah Swt tanpa melalui perantara sebagaimana penafsiran yang telah kami jelaskan mengenai ayat yang dimuat dalam Surah Yunus. Mereka adalah orang-orang yang memberi hidayah manusia atas perintah Allah. Mereka adalah aimmah (para pemimpin) yang ditentukan Allah untuk memberi hidayah manusia. Tidak ada dalam al-Quran penyebutan sifat hidayah atas perintah Allah kecuali hanya dalam dua hal dan keduanya selalu dibarengi dengan sifat dan karakter imamah serta kekuasaan mereka untuk melakukan hal tersebut dengan izin Allah. Dua hal tersebut ada pada ayat yang disebutkan dalam Surah al-Anbiya yang telah lalu dan ayat dalam Surah as-Sajadah.
Allah berfirman,
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin (aimmah) yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika mereka bersabar. (QS. as-Sajdah:24)

Kesimpulan yang dihasilkan dari memperhatikan ayat-ayat yang menjadi pembahasan adalah keniscayaan eksistensi seorang imam yang memberi petunjuk manusia atas perintah Allah Swt yang ditetapkan oleh-Nya di setiap masa. Bumi tidak boleh kosong dari manusia seperti itu, baik dia seorang nabi maupun bukan nabi.

Manakala seorang manusia yang memiliki kriteria tersebut tidak ada pada masa kita sekarang ini, yakni tidak ditemukan di antara umat Islam dari golongan atau mazhab manapun yang menyatakan adanya seorang imam yang hadir yang memberi petunjuk atas perintah Allah yang ditentukan oleh-Nya dan nas yang menegaskan serta mengatakan bahwa dirinya adalah hujjah Allah sebagaimana yang telah dipaparkan mengenai pembahasan tentang ayat dalam Surah al-Isra, maka tidak bertolak belakang untuk kita mengatakan bahwa terjadi kegaiban pada dirinya dan beliau terlindung dari pandangan mata kita. Beliau melaksanakan tanggung jawab dan tugas beliau sebagai seorang imam di balik tirai kegaibannya. Dengan demikian, fungsi keberadaan beliau bak fungsi matahari yang tidak nampak oleh pandangan mata karena tertutupi oleh awan hitam yang gelap sebagaimana hal ini juga dijelaskan dalam beberapa hadis yang mulia.23

Inilah pendapat dan pandangan Ahlulbait as mengenai Imam Mahdi dan kegaibannya.[]

Catatan Kaki:
1. Seperti Risalah-risalah Syekh Mufid mengenai kegaiban yaitu sebanyak lima risalah. Selain dari kitab al-Fushûl al-‘Asyrah fî al-Ghaybah Kitab, al-Mu’ni fî al-Ghaybah karya Sayid Murtadha, kitab al-Ghaybah karya Syekh Thusi, kitab Ikmaluddin karya Syekh Shaduq, kitab al-Ghaybah karya Syekh Nu’mani, dan kitab-kitab umum lainnya dalam masalah imamah seperti asy-Syafi’i dan ringkasannya serta kitab-kitab lainnya banyak memuat berbagai dalil mengenai topik ini.
2. Kata (( لجعل dalam ayat ini bermakna mereka terliputi oleh kesesatan sebelumnya dan orang-orang setelahnya mengikuti kesesatan mereka, bukan bermakna penetapan seperti pada para pemimpin jalan kebenaran (Al-Mîzân, jilid 16 hal.38).
3. Tafsir Al-Mizan, jilid 13, hal. 165-169. Apa yang kami sampaikan diperoleh dari pembahasan beliau mengenai penafsiran kedua ayat tersebut
4. Perhatikan juga firman Allah Swt dalam Surah al-Ankabut:27, Dan Kami berikan padanya Ishaq dan Ya’qub dan Kami jadikan kenabian dan al-Kitab pada keturunannya.”
5. Silahkan rujuk kitab-kitab berikut, seperti Muntakhâb al-Atsâr fî Imâm Tsani ‘Asyar karya Ayatullah Syekh Luthfullah Shafi. Beliau mengumpulkan banyak nas yang diriwayatkan dari jalur Ahlulbait dan Ahlusunnah. Kitab Itsbât al-Hudat bi an-Nushûshi wa al-Mu’jizat karya Hurrul Amili dan kitab Faraid as-Simthain karya Himwaini Syafi’i. Begitu pula kitab Yanabi’ al-Mawaddah karya al-Hafizh Qanduzi Hanafi dan masih banyak kitab lainnya.
6. Untuk pembuktian tersebut, silakan rujuk mukadimah kitab Kamaluddin, Syekh Shaduq, hal.12 dan subbab ke-10 dalam kitab Al-Ghaybah karya Syekh Mufid serta risalah ke-5 dari Rasâil al-Ghaybah. Begitu pula kitab al-Ghaybah, Syekh Thusi, hal.11 dan selanjutnya; I’lam al-Wara, Syekh Thabarsi, jilid 2, hal.257 dan seterusnya; Kasyful Mahjah, Sayyid Ibn Thawus, hal.104 dan kitab-kitab lainnya.
7. Tafsir al-Mîzân, jil.1, hal.32.
8. Tafsir al-Kasysyaf, jil.3, hal.429.
9. ibid., jil.2, hal.262.
10. Tafsir al-Kasysyaf, jil.3, hal.429.
11. Tafsir al-Kabir, jil.25, hal.12-13. Rujuk pula Majma’ al-Bayân mengenai ayat tersebut.
12. Tafsir al-Kabir, jil.25, hal.12-13 dan Tafsir al-Kasysyaf, jil.2, hal.628.
13. Rujuk Mu’jam آhâdits al-Imâm al-Mahdi, jil.1, hal.274 dinukil dari Musnad Ahmad dan lain-lain dari sejumlah riwayat-riwayat dari kalangan Ahlusunnah.
14. Tafsir al-Mîzân, jil.1, hal.320-321.
15. Ibid., hal.321.
16. Sebuah gambaran yang sesuai dengan firman Allah, Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. (QS. al-An’am: 124).
17. Qashâsh al-Anbiya karya Sayid al-Jazairi hal.428 dinukil dari tafsir Al-‘Ayasyi.
18. Syawâhid at-Tanzîl, jil.1, hal.400 dan setelahnya.
19. Tafsir al-Mîzân, jil.11, hal. 287-288.
20. ibid., jil.1, hal.305.
21. ibid., jil.1, hal.56-61.
22 ibid., jil.1, hal.272.
23. Rujuk hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah Anshari dari Rasulullah saw yang dinukil dalam kitab Kamaluddin.

(Teladan Abadi/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: