Dalam sebuah hadis dinukil sebuah riwayat yang menegaskan bahwa Muhammad Saw dan Ali As berasal dari cahaya yang satu. Cahaya Muhammad dan Ali merupakan turunan dari cahaya Tuhan. Mereka disimbolkan sebagai cahaya, dalam hadis tersebut, sebagaimana Tuhan yang menurut kitab suci adalah Cahaya langit dan bumi. Cahaya Tuhan, cahaya Muhammad dan Ali merupakan cahaya yang satu bergradasi. Titik konvergensi mereka adalah cahaya sebagaimana titik divergensinya. Dalam kamus Mulla Shadra, Tuhan dicitrakan sebagai Wujud. Wujud itu berderajat dan bergradasi. Dan Tuhan merupakan Wajibul Wujud, Wujud Segala wujud. Atau meminjam bahasa Syaikh Isyraq yang menyebut, Tuhan sebagai Cahaya segala cahaya, Nur al-Anwar. Cahaya Tuhan, yang juga bergradasi dan berderajat, kemudian setelah itu Cahaya Muhammadi (yang termasuk di dalam cahaya itu adalah Ali dan 11 keturunannya yang suci). Lantaran mereka adalah cahaya yang satu.
Hakikat cahaya adalah secara esensial bercahaya, benderang dan pada saat yang sama memberikan cahaya dan terang. Atau ibarat air di samping ia suci secara dzati ia juga mensucikan. Para Imam Ahlulbait memiliki karakteristik sedemikian. Mereka adalah cahaya, benderang dan memberikan terang. Suci dan mensucikan. Seluruh Imam Ahlulbait adalah tajalli cahaya Tuhan. Mereka Bukan saja tajalli cahaya Tuhan, bahkan mereka merupakan tajalli atam (terlengkap) dan akmal (terparipurna) cahaya Tuhan.
Dalam konteks Imam Husain As, yang hari ini kita peringati sebagai hari lahirnya 3 Sya’ban 1428 atau 17 Agustus 2007, ia juga merupakan manifestasi cahaya. Hadis nabawi ihwal Imam Husain menyebutkan bahwa Nabi Saw bersabda, Husain dariku dan Aku dari Husain, juga dapat digunakan untuk menegaskan entri poin di atas.
Dalam altar sejarah, manusia mengenal Imam Husain sejarah sebagai tokoh pembebasan. Dengan sifat dzati yang dicirikan kepadanya sebagai cahaya, ia benderang dan memberikan terang di zamannya. Ia adalah imam yang bangkit mengajak manusia kepada kebebasan hakiki. Ia bebas dan membebaskan. Ia merdeka dan memerdekakan. Seruan “merdeka” al-Husain adalah seruan universal. Seruan yang membahana dan membakar setiap insan yang cinta kemerdekaan. Ia mengajarkan kepada umat manusia bagaimana menjadi manusia merdeka. Ia menyerahkan kepalanya, dan keluarganya, namun tidak menyerahkan tangannya untuk baiat kepada manusia bengis, Yazid bin Muawiyah. Tragedi Asyura hanya berlangsung beberapa saat, namun tragedi ini kemudian dikenang sepanjang masa. Mahatma Gandhi pernah ditanya tentang Imam Husain, ia berkata: “Perjuanganku banyak terilhami dari perjuangan Imam Husain.” Iya, bagi setiap pejuang, al-Husain adalah teladan. Ia adalah insan yang merdeka sekaligus memerdekakan.
Demikianlah slogan yang patut kita tanamkan dalam konteks milad agung Imam Husain yang tahun ini bertepatan dengan hari kemerdekaan kita, 17 Agustus 2007. Dengan membuka lembaran sejarah Imam Husain, mari kita rayakan kemerdekaan RI ke 62. Stereotipikal perayaan HUT RI, seperti upacara bendera, pengibaran sang saka merah putih, pembacaan teks proklamasi, kita berikan nuansa baru dengan membaca potret kehidupan al-Husain, Sang Pembebas.
Nama : Al-Husain
Gelar : Sayyidusy Syuhada
Panggilan : Abu Abdillah
Nama Ayah : ‘Ali bin Abi Thalib
Nama Ibu : Fatimah binti Muhammad
Wiladah : Madinah, Kamis 3 Sya’ban 4 H.
Syahadah : Syahid di Karbala (Irak) pada usia 57 tahun, Jum’at, 10 Muharram 61 H
Haram : Karbala, Irak.
Di kediaman Nabi Saw, yang merupakan perwakilan citra kedua dunia -langit dan bumi– seorang anak yang dianugerahi kemanusiaan laksana seseorang yang memiliki citra Ilahi memancar di penjuru persada, lahir pada salah satu malam dari bulan Sya’ban. Ayahnya adalah Imam ‘Ali, seorang manusia teladan terhadap kawan dan prawira terhadap lawan-lawan Islam, dan bundanya adalah Hadrat Fatimah, putri satu-satunya baginda Rasulullah Saw, yang diakui oleh semesta, mewarisi sifat-sifat mulia ayahnya.
Imam Husain adalah Imam Ketiga dalam hierarki Imâmah. Ketika berita kelahirannya sampai kepada Rasulullah Saw, Nabi Saw segera bertolak menuju ke kediaman putrinya, mengambil bayi merah tersebut ke tangan ia, membacakan adzan dan iqamah masing-masing pada kedua telinganya, dan pada hari ketujuh kelahirannya, setelah melaksanakan ritual aqiqah, ia memberi nama kepada bayi mungil tersebut dengan nama Husain, sesuai dengan perintah Allah Swt.
‘Abdullah bin ‘Abbas meriwayatkan: “Pada hari Imam Husain lahir, Allah Swt memerintahkan Malaikat Jibril untuk menyampaikan selamat kepada Nabi Saw. Ketika melaksanakan tugas tersebut, Malaikat Jibril melintasi sebuah daerah, tempat Malaikat Futrus dibuang karena kelambatannya menunaikan tugas yang diemban. Sayap Malaikat Futrus dihilangkan dan dibuang di sebuah tempat yang dia huni selama tujuh tahun ibadah dan menyembah Allah Swt dan meminta ampunan-Nya.”
“Ketika Malaikat Futrus melihat Malaikat Jibril, “Kemana engkau akan pergi wahai Jibril? Katanya. Malaikat Jibril menjawab “Husain putra Rasulullah Saw telah lahir, dan atas alasan ini Allah telah memerintahkan aku untuk menyampaikan ucapan selamat kepada Rasul-Nya. Lalu, Malaikat Futrus berkata, “Dapatkah engkau membawaku besertamu?”Semoga Muhammad menjadi wasilah atas masalahku ini. Malaikat Jibril membawa Malaikat Futrus bersamanya untuk menyampaikan ucapan selamat kepada Rasulullah dan mengajukan masalah yang dihadapi oleh Malaikat Futrus kepada ia. Nabi Saw berkata kepada Jibril, “Katakan kepada Malaikat Futrus untuk menyentuh badan bayi ini dan kembali ke tempatnya di Surga. Dengan melakukan ini, Malaikat Futrus segera mendapatkan kembali kedua sayapnya dan berterima kasih kepada Nabi Saw dan kepada cucunya yang baru, dan terbang ke langit.”
Hasan dan Husain, kedua putra Imam ‘Ali As dan Hadrat Fatimah As, dihormati dan dipuja-puja sebagai “Pengulu pemuda di surga” sebagaimana disebutkan oleh Nabi Saw.
Nabi Muhammad Saw secara terbuka menubuwatkan bahwa Islam akan diselamatkan oleh cucunya Husain, ketika Yazid putra Mu’awiyah berupaya untuk menghancurkannya.
Yazid dikenal karena sifatnya yang bejat dan kejam. Dia dikenal sebagai orang paling bejat. Orang-orang yang telah mengetahui dan mengerti sifat keji Yazid ini, membentuk sebuah perjanjian sehingga Muawiyyah tidak akan memilih Yazid sebagai penggantinya. Pelaksanaan pemindahan kekuasaan ini kepada Imam Hasan yang darinya Mua’wiyah merebut kekuasaan. Mu’awiyah melanggar perjanjian ini dan mencalonkan Yazid sebagai penggantinya.
Segera setelah ia naik kursi kekuasaan, Yazid mulai menunjukkan karakter bejatnya ini. Ia mulai campur tangan dalam masalah-masalah fundamental Islam dan berbuat segala kejahatan dan kebejatan secara bebas dan tetap berkeyakinan bahwa ia adalah khalifah Rasulullah Saw, menuntut bai’at dari masyarakat untuk mengakuinya sebagai Amirul Mukminin. Memberikan bai’at kepada Yazid tidak lain mengakui kejahatan sebagai Tuhan. Jika seorang yang memiliki kepribadian takwa seperti Imam Husain menerima Yazid, sejatinya menganjurkan kebejatan kepada manusia sebagai ganti Tuhan. Yazid menuntut bai’at dari Imam Husain, yang tentu saja tidak akan pernah melakukan perbuatan tersebut apapun resikonya. Orang-orang takut celaka dan binasa di tangan seorang tiran seperti Yazid. Imam Husain berkata bahwa apa pun yang terjadi, dia tidak akan menempatkan kejahatan sebagai ganti Tuhan, dan melakukan kembali apa yang telah dibina oleh datuknya, Rasulullah Saw.
Penolakan Imam Husain untum memberikan bai’at kepada Yazid telah menandai bermulanya penindasan kepada Imam As. Sebagai hasilnya, Imam Husain mengungsi ke Madinah di mana ia menjalani uzlah. Bahkan di tempat ini, Imam Husain tidak diizinkan untuk hidup secara damai, dan terpaksa untuk mencari perlindungan di Mekkah – di sana juga ia mendapatkan perlakuan biadab, dan Yazid merencanakan untuk membunuhnya di hadapan Ka’bah.
Dengan maksud untuk menjaga bangunan suci ini, Imam Husain memutuskan untuk meninggalkan Makkah menuju Kufah sehari setelah menunaikan ibadah Haji. Ketika ditanya alasan kepergiannya dari Mekkah padahal hari haji tiba sehari lagi, Imam Husain berkata bahwa ia akan menunaikan ibadah haji tahun ini di Karbala, tidak mengorbankan domba-domba, akan tetapi mengorbankan kerabatnya, keluarganya, sahabatnya. Imam Husain menyebutkan nama-nama para kerabatnya yang mengorbankan hidupnya beserta Imam Husain di Karbala.
Orang-orang Kufah yang telah lelah dan muak dengan kekuasaan tiranik dan setanik Yazid, telah menulis surat-surat yang tak-terbilang banyaknya dan mengutus duta kepada Imam Husain untuk datang ke Kufah dan membimbing mereka jalan Islam. Meskipun Imam Husain tahu kesudahan dari undangan-undangan ini, karena ia adalah Imam yang terpilih, tidak dapat menolak permintaan orang-orang yang meminta petunjuk dan bimbingan darinya. Ketika Imam Husain beserta kafilahnya tiba di bumi Karbala, kudanya secara mengejutkan berhenti dan enggan untuk melangkah lagi. Atas keengganan kuda ini untuk melangkah, Imam Husain mengumumkan “Di sinilah tempatnya, bumi duka dan bala.” Ia turun dari kudanya, dan memerintahkan kepada para pengikutnya untuk mendirikan tenda. Imam Husain berkata: “Di sini kita akan disyahidkan dan anak-anak kita akan dibantai. Di sini tenda-tenda kita akan dibakar dan keluarga kita akan ditangkap. Di sini adalah tempat yang telah dinubuwatkan oleh datukku Rasulullah Saw, dan ramalan ia akan terpenuhi.”
Pada hari ke-7 Muharram persediaan air ke kemah Imam Husain dipotong dan mulailah derita lapar dan dahaga. Kemah Imam Husain yang didiami oleh wanita-wanita, anak-anak tak-berdosa termasuk bayi-bayi dan beberapa pria dari Ahlulbait Nabi Saw; bersama dengan sahabat-sahabat setia Imam Husain yang telah memilih syahid bersama Imam, berperang melawan kejahatan demi mencari keRidhaan Allah Swt.
‘Âsyurâ (Hari kesepuluh Muharam)
Tatkala fajar menyingsing, Imam Husain menengok ke arah lasykar Yazid dan menyaksikan ‘Umar bin Sa’ad yang memerintahkan pasukannya untuk bergerak menuju ke arah Imam Husain. Imam Husain mengumpulkan para pasukannya dan menyampaikan kepada mereka: “Hari ini Allah telah mengizinkan kita untuk terjun ke dalam sebuah Perang Suci dan Dia akan memberikan ganjaran yang tinggi atas kesyahidan kita. Oleh karena itu, persiapkan diri kalian untuk bertempur melawan musuh-musuh Islam dengan kesabaran dan perlawanan. Wahai putra-putra kemuliaan dan bermartabat, bersabarlah! Kematian bukanlah sesuatu melainkan sebuah jembatan yang harus kalian seberangi setelah menjalani ujian-ujian dan cobaan-cobaan untuk mencapai Firdaus dan kesenangan di dalamnya. Siapakah di antara kalian yang tidak ingin beranjak dari penjara dunia ini menuju istana-istana yang tinggi Firdaus?.
Setelah mendengar khutbah Imam Husain As, seluruh sahabat-sahabatnya berseru: “Wahai Maulana (Tuan kami)! Kami bersedia membelamu dan Ahlulbaitmu, dan siap mengorbankan jiwa dan raga kami demi membela Islam.”
Imam Husain mengutus seorang demi seorang dari tenda sahabat-sahabatnya untuk bertempur dan mengorbankan jiwa mereka di jalan Allah. Akhirnya, ketika seluruh para pengikutnya dan para anak-anak mempersembahkan hidupnya, Imam Husain menggendong ‘Ali Asghar, bayi ia yang berusia enam bulan dan meminta air untuk sang bayi, yang telah sekarat karena dahaga. Dahaga sang bayi tertebus dengan sebuah anak panah beracun yang dilancarkan oleh lasykar biadab yang mengoyak pipi si bayi malang hingga ke tangan ayahnya. Akhirnya, ketika jiwa sang bayi melayang, Imam Hasan berseru kepada Allah Swt: “Wahai Tuhan! HusainMu telah mempersembahkan di jalan-Mu apa saja yang Engkau berikan kepadanya. Berkati Husain-Mu Ya Allah! Dengan penerimaan atas pengorbanan ini. Segala yang dapat dilakukan oleh Husain hingga kini melalui pertolongan-Mu dan atas rahmat-Mu.” Akhirnya Imam Husain maju ke medan laga dan gugur, musuh-musuh yang tak mengenal belas-kasih. Lasykar Yazid setelah membunuh Imam Husain, memenggal kepala Imam Husain dari raganya dan mengangkatnya di atas tombak. Kepala Imam Husain mulai memuji Allah Swt dari atas tombak, Allahu Akbar. Segala kekuasan di tangan Allah.”
Setelah dengan susah-payah, tanpa belas-kasih dan dengan kebrutalan membantai Imam Husain beserta sahabat-sahabatnya, wanita-wanita dan anak-anak malang dengan putra Imam Husain As, Imam ‘Ali Zainal Abidin digiring sebagai tawanan.
Beberapa Hadis Nabi Saw ihwal Imam Husain As
1. Hasan dan Husain adalah penghulu pemuda di Surga
2. Husain dariku dan Aku dari Husain, Allah menjadikan teman orang yang menjadikan Husain sebagai temannya dan memusuhi orang yang menjadikan Husain sebagai musuhnya.
3. Barang siapa yang ingin melihat orang yang hidup di dunia namun kemuliaannya dihormati oleh para penghuni langit, lihatlah putraku Husain.
4. Wahai putraku! Dagingmu adalah dagingku dan darahmu adalah darahku; Engkau adalah seorang pemimpin, putra seorang pemimpin dan saudara seorang pemimpin; engkau adalah seorang penuntun ruhani; engkau adalah seorang Imam, putra seorang Imam, dan saudara seorang Imam; Engkau adalah bapak bagi sembilan Imam, dan yang kesembilan adalah Qaim.
5. Hukuman yang dikenakan kepada pembunuh Imam Husain di Jahannam kelak setimpal dengan setengah dari seluruh hukuman yang dikenakan kepada seluruh pendosa yang hidup di dunia.
6. Ketika Nabi Saw mengabarkan Hadrat Fatimah ihwal syahidnya putranya, Hadrat Fatimah As mengucurkan air mata dan bertanya: “Duhai Ayah! Bilamanakah putraku akan disyahidkan? “Dalam keadaan susah-payah, Jawab Nabi Saw, “Ketika Aku, engkau dan ‘Ali sudah tidak ada lagi.” Jawaban Nabi ini membuat kesedihan Hadrat Fatimah semakin tumpah dan bertanya lagi, “Duhai Ayahku! Lalu, siapakah yang akan memperingati syahdah Husainku? Nabi Saw berkata: “Pria dan wanita dari pengikutku, yang menjadi sahabat Ahlulbaitku, akan menangisi Husain dan memperingati syahadahnya di setiap tahun pada setiap kurun waktu.
Ibn Sa’d meriwayatkan dari asy-Sya’bi:
Imam ‘Ali, dalam perjalanannya menuju Siffin, melalui sahara Karbala, di sana ia berhenti dan menangis dengan pilu. Ketika ditanya mengapa dia menangis sedemikian pilu, ia bercerita bahwa suatu hari ia mengunjungi Rasulullah Saw dan mendapatkan ia menangis. Ketika ditanya mengapa ia menangis, ia menjawab: “Duhai ‘Ali! Jibril baru saja bersamaku dan mengabarkan bahwa putraku Husain akan disyahidkan di Karbala, sebuah tempat di tepi sungai Eufrat. Cerita Nabi ini yang membuatku menangis.
Anas bin Harits meriwayatkan:
Pada suatu hari Rasulullah Saw naik mimbar untuk menyampapaikan khutbah kepada sahabat-sahabatnya sementara Imam Husain dan Imam Hasan sedang duduk di hadapan mereka. ketika Nabi selesai menyampaikan khutbahnya, ia menggendong Imam Husain dengan tangan kiri ia dan mengangkat kepalanya ke arah langit sembari berkata: “Wahai Tuhanku! Aku adalah Muhammad, hamba dan rasulMu, dan kedua anak ini adalah anggota keluargaku yang akan membentengi urusanku setelahku. Tuhanku! Jibril telah mengabarkan bahwa putraku Husain akan dibunuh. Tuhanku! Berkati diriku agar dapat membalas syahidnya Husain, jadikanlah dia sebagai pemimpin para syuhada, Engkau sebagai penolongnya dan penjaganya dan jangan Engkau rahmati pembunuhnya.”
Sir Muhammad Iqbal berkata:
Imam Husain mencabut akar-akar despotisme selamanya hingga hari kiamat. Dia telah menyirami taman kebebasan yang kering dengan darahnya, dan sesungguhnya dia telah membangunkan umat yang sedang tidur.
Jika Imam Husain memiliki maksud untuk mendapatkan kekuasaan dunia, dia tidak akan mengadakan perjalanan (dari Madinah ke Karbala). Husain lebur dalam darah dan debu demi untuk menegakkan kebenaran. Dengan demikian, sesungguhnya dia telah menjadi landasan kokoh bagi keimanan kaum muslim; laa ilaha illa Allah (Tiada tuhan selain Allah).
Khawaja Mu’inuddin Chisti berkata:
Ia memberikan kepalanya, tapi tidak menyerahkan tangannya kepada Yazid. Sesungguhnya, Imam Husain adalah landasan kalimat tauhid, laa ilaha illa Allah. Husain adalah tuan dan tuan dari para tuan.
Husain sendiri adalah Islam dan pelindung Islam. Meskipun dia menyerahkan kepalanya (untuk Islam) namun dia tidak pernah rela memberikan bai’at kepada Yazid. Sesungguhnya Imam Husain merupakan penegak panji “Laa ilaha illa Allah”.
Brown dalam A Literary History of Persia menulis:
Sebagai sebuah pengenang, darah-ternoda di padang Karbala tempat cucu Rasulullah Saw jatuh tersungkur, didera oleh dahaga, dan dikelilingi oleh jasad-jasad keluarganya yang terbunuh, senantiasa memadai untuk dikenang kembali, bahkan yang paling hangat-suam dan acuh-tak-acuh sekalipun, emosi yang terdalam, nestapa yang getir, dan ruh yang terbang di hadapan luka, bahaya, dan kematian bersembunyi dari hal-hal remeh. Setiap tahun, pada hari kesepuluh Muharram (Asyura), tragedi getir ini diperagakan kembali di tanah Persia, India, Turki, Mesir, di mana saja komunitas Syiah hidup;…ketika aku menulisnya segalanya kembali; lagu sendu, sedu-sedan, pakaian putih bernoda darah dari luka-luka yang dibuat sendiri, mabuk nestapa dan simpati.
Allamah Thabathaba’i menulis:
Imam Husain As (Sayyidus Syuhada)), putra kedua ‘Ali dan Fatimah As lahir pada tahun ke-4 Hijriah, dan setelah syahadah saudaranya Imam Hasan Mujtaba. Imam Hasan menjadi Imam sesuai dengan perintah Allah Swt dan wasiat saudaranya. Imam Husain adalah Imam selama sepuluh tahun, akan tetapi pada enam bulang terakhir bertepatan dengan khalifah Mu’awiyah. Imam Husain hidup di bawah keadaan teror dan tertindas. Keadaan ini terjadi karena, pertama, hukum syar’i dan dustur agama telah kehilangan kredibilitas dan bobotnya, maklumat pemerintahan Mu’awiyah telah meraih kekuasaan dan wewenang. Kedua, Mu’awiyah dan antek-anteknya telah menggunakan berbagai macam cara untuk menyingkirkan dan menjauhkan Ahlulbait Nabi As dan Syiah, dan menjelek-jelekkan nama Imam ‘Ali dan keluarganya. Dan di atas segalanya, Mu’awiyah menghendaki semua ini untuk menguatkan landasan khilâfah putranya, Yazid, karena kurangnya prinsip-prinsip dan ketelitian ditentang oleh sebagian besar oleh kaum Muslimin. Dengan demikian, untuk memadamkan api perlawanan, Mu’awiyah telah mengambil langkah-langkah strategis dan licik. Dengan kekuataan dan kepastian Imam Husain harus menerima dan menjalani hari-harinya dengan agoni (luka) dan deraan mental-spritual dari Mu’awiyah dan antek-anteknya – sampai pada pertengahan 60 H, Mu’awiyah wafat dan putranya Yazid naik tahta menggantikannya.
Memberikan bai’at merupakan kebiasaan arab kuno yang dilaksanakan dalam urusan-urusan penting seperti dalam urusan kerajaan (kingship) dan pemerintahan (governorship). Mereka yang berkuasa dan khususnya yang terkenal di kalangan mereka, akan memberikan tangan mereka sebagai tanda bai’at, persetujuan dan ketaatan kepada raja atau pangeran mereka dan cara seperti ini menunjukkan dukungan mereka terhadap perbuatan orang yang dibai’at. Penolakan terhadap bai’at ini dianggap menghina dan merendahkan masyarakat dan, ibarat melanggar perjanjian setelah menandatanganinya secara resmi, dan hal ini dipandang sebagai sebuah kejahatan.
Mengambil contoh dari Nabi Saw, masyarakat meyakini bahwa bai’at, ketika diberikan dengan bebas dan tanpa melalui paksaan, pertanda bai’at ini memiliki keabsahan dan bobot.
Mu’wiyah telah meminta para pembesar di kalangan masyarakat untuk memberikan bai’atnya kepada Yazid, tapi tidak meminta kepada Imam Husain. Dia secara khusus berkata kepada Yazid dalam wasiat terakhirnya bahwa jika Husain menolak untuk memberikan bai’at maka ia harus berdiam diri dan tidak mengindahkan masalah ini, karena dia sangat mengerti akibat-akibat serius yang akan terjadi jika masalah ini ditekan. Akan tetapi karena rasa egois dan keras-kepala, Yazid mengabaikan nasihat ayahnya dan segera setelah kematian ayahnya memerintahkan kepada gubernur Madinah mengambil bai’at dari Imam Husain secara paksa atau mengirim kepalanya ke Damaskus.
Setelah gubernur Madinah memberikan kabar kepada Imam Husain tentang tuntutan Yazid ini, Imam meminta waktu untuk memikirkan masalah ini dan memulai perjalanan beserta keluarganya menuju Makkah. Imam Husain mencari suaka di bawah lindungan Tuhan yang dalam Islam merupakan perlindungan dan tempat aman yang resmi. Peristiwa ini berlangsung pada akhir bulan Rajab dan permulaan Sya’ban tahun 60 H.
Selama hampir empat bulan Imam Husain bermukim di Makkah sebagai orang yang mencari suaka. Kabar ini menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam. Di satu sisi, banyak orang-orang yang telah muak dengan pemerintahan zalim Mu’awiyah dan semakin kecewa ketika Yazid menjadi khalifah, berhubungan dengan Imam Husain dan menyampaikan rasa simpati mereka kepada Imam Husain. Di sisi lain, banjir surat yang berdatangan, khususnya dari Irak dan Kufah, mengundang Imam Husain untuk datang ke Irak dan menerima kepemimpinan masyarakat di sana dengan maksud untuk memulai pemberontakan melawan kezaliman dan ketidakadilan. Secara tabiat, keadaan seperti ini sangat berbahaya bagi Yazid.
Imam Husain bermukim di Makkah hingga musim haji ketika kaum Muslimin dari seantero dunia datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Imam mendapatkan beberapa antek-antek Yazid memasuki Makkah menyamar sebagai penziarah (haji) dengan misi untuk membunuh Imam selama ritual haji berlangsung dengan senjata yang mereka bawah di balik pakaian ihram mereka.
Imam mempersingkat masa ritual hajinya dan memutuskan untuk meninggalkan Mekkah. Di tengah lautan manusia yang berziarah, Imam Husain berdiri menyampaikan pidato singkat yang berisikan bahwa ia akan bertolak menuju Irak. Dalam pidato singkat ini, ia juga menyatakan bahwa ia akan disyahidkan dan meminta kaum Muslimin untuk menolong untuk mencapai tujuan yang telah ia canangkan dan mempersembahkan hidup mereka di jalan Allah. Pada hari berikutnya Imam Husain bertolak menuju Irak ditemani oleh keluarga dan para sahabatnya.
Tekad Imam Husain untuk tidak memberikan bai’at kepada Yazid sudah bulat dan mengerti akibat dari penolakan ini. Ia sadar bahwa kematian tidak dapat dihindari dalam berhadapan dengan lasykar raksasa Mu’awiyah, dengan didukung oleh keadaan yang telah rusak, kemerosotan ruhani dan kurangnya tekad dari orang-orang, khususnya di Irak.
Beberapa orang-orang terkemuka di Makkah berdiri menghadang jalan Imam Husain dan memperingatkan akan bahaya jalan yang ia pilih. Namun Imam Husain menjawab bahwa ia menolak untuk memberikan bai’at dan persetujuan kepada sebuah pemerintahan zalim dan tiranik. Imam Husain menambahkan bahwa di mana pun dan ke manapun ia berada atau pergi ia akan tetap dibunuh. Ia meninggalkan Mekkah demi menjaga kehormatan Ka’bah dan tidak rela bangunan kudus ini dihancurkan dengan menumpahkan darahnya di sekitar Ka’bah.
Dalam perjalanannya menuju Kufah dan beberapa hari perjalanannya menjauh dari kota Makkah, ia menerima kabar bahwa antek-antek Yazid telah membunuh duta Imam Husain di kota itu dan juga salah seorang pendukung setia Imam di Kufah. Kaki-kaki mereka dibelenggu dan mereka diseret di jalan-jalan kota. Kota dan daerah-daerah sekelilingnya berada di bawah pengawasan ekstra-ketat dan lasykar musuh yang tak-berbilang jumlahnya sedang menantikannya. Tidak ada jalan terbuka baginya untuk melangkah ke depan dan menghadapi sang maut. Di sini Imam menyampaikan tekadnya yang bulat untuk tetap maju ke depan dan siap menerima syahid; sehingga Imam Husain melanjutkan perjalanannya.
Kurang-lebih tujuh puluh kilometer dari Kufah di sebuah padang bernama Karbala, Imam dan kafilahnya dikepung oleh pasukan tempur Yazid. Selama delapan hari mereka mendirikan tenda di tempat ini sementara jumlah pasukan musuh semakin bertambah. Akhirnya, Imam bersama Ahlulbaitnya dan beberapa orang sahabat dikelilingi oleh tiga puluh ribu pasukan bersenjata lengkap. Selama masa-masa itu, Imam membentengi posisinya dan membuat sebuah pilihan terakhir kepada para sahabatnya. Pada malam harinya, Imam memanggil para sahabatnya dan memberikan sebuah pidato singkat yang berisikan peringatan bahwa tiada jalan lain di hadapan kita selain mati dan syahadah. Imam menambahkan bahwa karena musuh hanya menghendaki dirinya saja, Imam memberikan kebebasan kepada mereka untuk pergi dan kabur di tengah kegelapan malam dan menyelamatkan jiwa mereka. Lalu ia memerintahkan lentera-lentara untuk dinyalakan dan hampir seluruh sahabatnya, yang bergabung bersama Imam demi kepentingan mereka sendiri, kabur. Hanya beberapa orang yang mencintai kebenaran sekitar empat puluh pengikut setia Imam dan beberapa orang Bani Hasyim bertahan bersama Imam.
Sekali lagi Imam mengumpulkan mereka yang bertahan dan menguji mereka. Ia menyampaikan kepada para sahabatnya dan kerabatnya, bahwa musuh hanya menghendaki dirinya saja. Mereka masih punya kesempatan dengan memanfaatkan kegelapan malam untuk kabur menyelematkan diri mereka dari bahaya yang siap menerjang. Tapi kali ini, sahabat-sahabat setia Imam menjawab bahwa mereka tidak akan menyimpangkan jalan sedetik pun dari jalan kebenaran yang telah ditunjukkan oleh Imam mereka dan tidak akan membiarkan Imam tinggal sendiri. Mereka berkata akan membela Ahlulbait Imam hingga tetes darah penghabisan dan sepanjang mereka mampu mengayunkan pedang mereka.
Pada hari kesembilan Muharram tantangan terakhir untuk memilih antara “bai’at atau perang” yang dibuat oleh musuh kepada Imam. Imam meminta jeda untuk melakukan shalat pada malam itu dan supaya lebih tegar dan segar untuk memasuki medan tempur pada hari berikutnya.
Pada hari kesepuluh Muharram tahun 61 H (680) Imam berbaris di hadapan musuh dengan pengikutnya yang berjumlah kecil, kurang lebih sembilan puluh orang yang berisikan empat puluh sahabatnya, tiga puluh lasykar musuh yang bergabung dengannya siang dan malam peperangan, dan kerabatnya dari Bani Hasyim, anak-anak, saudara-saudaranya, kemenakannya dan saudara sepupunya. Hari itu mereka bertempur dengan gagah berani sejak pagi hingga nafas terakhir, Imam dan pemuda Bani Hasyim, serta para sahabat-sahabatnya telah melewati titian syahadah. Di antara yang terbunuh adalah dua putra Imam Hasan, yang berusia tiga belas dan sebelas tahun; seorang bocah berusia lima tahun dan bayi Imam Husain yang masih dalam susuan ibunya.
Lasykar tempur musuh, setelah mengakhiri perang, merampas kehormatan Imam dan membakar tenda-tenda. Mereka memenggal kepala jasad-jasad para syuhada, menelanjangi mereka dan melemparnya ke tanah tanpa dikubur. Lalu mereka menggiring Ahlulbait Imam Husain, yang terdiri dari wanita-wanita dan gadis-gadis, bersama dengan kepala para syuhada ke Kufah. Di antara para tawanan terdiri dari tiga pria Ahlulbait Imam; putra Imam yang berusia dua puluh dua tahun yang sakit dan tidak dapat bergerak, namanya, ‘Ali bin Husain, Imam Keempat; putra ‘Ali bin Husain, Imam kelima, Muhamamad bin ‘Ali dan akhirnya Hasan al-Mutsanna, putra Imam Hasan Mujtaba yang juga merupakan anak-mantu Imam Husain yang karena terluka, terbaring di antara jasad orang-orang yang gugur. Mereka menemukannya dalam keadaan sekarat dan melalui belas-kasih jendral perang lasykar kepalanya tidak dipenggal. Sebaliknya, mereka membawanya bersama dengan para tawanan ke Kufah dan dari Kufah menuju Damaskus untuk dihadapkan kepada Yazid.
Tragedi Karbala, wanita-wanita dan anak-anak Ahlulbait Nabi Saw menjadi tawanan perang, mereka diseret sebagai tawanan perang dari kota ke kota dan pidato yang disampaikan oleh Zainab binti ‘Ali, dan Imam ‘Ali Zainal Abidin yang telah membuat citra Bani Umayyah menjadi ambruk. Fitnah yang dipropagandakan oleh Mu’awiyyah yang menghantam Ahlulbait Nabi Saw terbongkar. Keadaan ini mencapai puncaknya Yazid dicela dan dicaci oleh massa akibat perbuatan biadab dan keji antek-anteknya. Tragedi Karbala merupakan faktor utama kejatuhan kekuasaan Bani Umayyah walaupun beberapa lama setelah tragedi ini. Tragedi ini juga yang telah memperkuat posisi Syiah. Di antara buah tragedi ini adalah pemberontakan dan pembangkangan berupa pertempuran berdarah yang berlanjut hingga dua belas tahun. Mereka yang menjadi alat untuk membunuh Imam Husain tidak satu pun yang selamat dari balas-dendam dan mendapatkan hukuman yang setimpal.
Setiap orang yang mengkaji sejarah hidup Imam Husain dan Yazid serta keadaan ketika itu, kemudian menganalisa bagian ini dalam sejarah Islam, tidak akan ragu bahwa dalam keadaan-keadaan seperti itu tidak memberikan pilihan lain kepada Imam Husain melainkan harus dibunuh. Menyampaikan bai’at kepada Yazid berarti penghinaan terang-terangan terhadap Islam, sesuatu yang mustahil dilakukan oleh Imam. Yazid tidak hanya tidak menaruh hormat terhadap Islam tetapi juga membuat demonstrasi yang menginjak-injak hukum-hukum dan fondasi Islam.
Orang-orang di depannya, bahkan jika mereka menentang ajaran-ajaran agama, selalu melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, dan sekurang-kurangya menaruh hormat terhadap Islam secara resmi.
Mereka menaruh rasa bangga sebagai sahabat-sahabat Nabi Saw dan agamawan yang diyakini oleh umat. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa klaim beberapa mufassir tentang peristiwa ini yang menyoroti tentang dua saudara, Hasan dan Husain, memiliki dua selera yang berbeda. Yang pertama cinta damai dan yang lainnya cinta jalan perang. Sehingga saudara yang pertama membuat perdamaian dengan Mu’awiyah meskipun dia memiliki lasykar yang berkekuatan empat puluh ribu anggota pasukan dan saudara yang kedua mengangkat senjata melawan Yazid dengan lasykar berjumlah empat puluh orang. Karena kita melihat bahwa Imam Husain ini, yang menolak untuk memberikan bai’at kepada Yazid selama sehari, hidup selama sepuluh tahun di bawah kekuasaan Mu’awiyah, adalah sama dengan saudaranya yang juga menjalani masa sepuluh tahun di bawah kekuasaan Mu’awiyah tanpa melakukan perlawanan.
Harus dikatakan dengan benar bahwa jika Imam Hasan atau Imam Husain harus bertempur melawan Mu’awiyah mereka akan dibunuh tanpa sedikitpun manfaat bagi Islam. Kematian mereka tidak akan memiliki pengaruh di hadapan kebijakan saleh lahiriyah Mu’awiyah, seorang politisi yang berkompeten yang menekankan persahabatannya dengan Nabi Saw, “kâtibul wahy” (penulis wahyu) dan “khali al-Mu’minin” (paman orang-orang beriman) dan menggunakan setiap strategi yang mungkin seperti penyamaran religious untuk mejaga kekuasaannya. Terlebih, dengan kemampuannya menata skenario untuk mencapai kehendaknya mereka dapat membunuh keduanya melalui orang-orang suruhannya dan kemudian mengumumkan duka nasional pada pagi harinya dan menuntut balas atas darah mereka, persis sebagaimana ia kesankan menuntut balas atas darah khalifah ketiga.
(Shi’te Islam/Eurekamal/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email