MAKAM SYEKH MUHAMMAD SHOLEH BIN ABDUROHMAN atau lebih dikenal dengan Penziarahan Gunung Santri terletak di atas puncak Gunung Santri Desa Bojonegara, Kecamatan Bojonegara Kabupaten Serang, terletak di sebelah barat laut daerah pantai utara, 25 kilometer dari Kota Serang atau sekitar 7 kilometer dari Kota Cilegon. (Wisata Ziarah Pilgrimage, Provinsi Banten, 2008).
Shalat Jum’at di Kaki Gunung Santri
Ini bukan kali pertama saya berkunjung ke Gunung Santri. Dulu, sewaktu saya kecil, orang tua bersama keluarga besar, sering mengajakserta saya untuk berziarah ke sini, juga ke tempat-tempat lain di Banten. Orang lebih sering menyebutnya ziarah keliling. Kegiatan ini semacam tradisi di kampung saya, dan hampir semua kampung-kampung di Banten. Bagi kami ziarah keliling ke makam-makam para wali di Banten bisa menambah keberkahan dan ketenangan hidup. Tidak terkecuali Gunung Santri.
Jum’at itu (22/03/2012), saya berangkat dari rumah sekitar jam 10.30 wib. Sebelum jam 11.30, saya sudah sampai di kaki gunung santri, jadi kurang dari satu jam dari tempat tinggal saya di Kelurahan Tegal Bunder, Kecamatan Purwakarta, Kota Cilegon. Dekat sekali, hanya terhalang beberapa bukit sebelah barat Gunung Santri. Saya memarkir sepeda motor merah kesayangan, lalu menyusuri rute jalan yang menuju ke puncak gunung.
Menjelang menit-menit pelaksanaan Shalat Jum’at, pengunjung makin ramai, penumpang dua bus pariwisata dari Tangerang memenuhi jalan sempit menuju puncak Gunung Santri. Pemandangan ini meyakinkan kepada saya bahwa tradisi ziarah ke Gunung Santri tidak hanya berkembang di kampung saya, namum di Banten bahkan di Pulau Jawa pada umumnya. Rombongan itu memaksakan diri puncak, saya pastikan bapak-bapak dalam rombongan itu akan tergesa-gesa turun untuk menunaian Shalat Jum’at nanti. Sebab, di atas tidak ada masjid.
Saya menahan diri untuk naik ke puncak agar tidak tergesa-gesa menjalankan Shalat Jum’at. Saya memilih mampir di sebuah masjid megah di kaki Gunung Santri ini, namanya Masjid At-Takwa. Kata seorang bapak yang rumahnya tepat di depan Masjid At-Takwa, masjid ini usianya baru dua tahun setelah di rehab total. Sambil beristirahat, saya menunggu waktu Shalat Jum’at di sini, untuk kemudian naik ke puncak Gunung Santri.
Gunung Santri, Tonggak Sejarahnya Banten
Lain dulu, lain sekarang. Kalau dulu saya diajak oleh orang tua, tanpa kesadaran apapun dalam benak saya selain jalan-jalan. Oleh karena itu, sesampainya di lokasi, saya bersama teman-teman sebaya sering tidak ikut tertekur dalam ritual ziarah, melainkan melihat pemandangan yang ada di tempat itu. Tidak ketinggalan belanja mainan.
Sekarang, tentu saya berangkat atas inisiatif sendiri. Tentu dengan tujuan sendiri pula. Antara lain ingin mengenal lebih dekat tokoh-tokoh wali yang dimuliakan itu. Bukan dari segi kewaliannya saja, tetapi mencoba untuk merekonstruksi kisah-kisah heroik yang berkembang dalam tradisi lisan masyarakat. Semacam menelisik ke masa lalu, kenapa mereka begitu dimuliakan dan dikeramatkan oleh masyarakat sekarang. Siapa tahu kita bisa mengambil hikmah yang lain, selain sekedar menziarahi makamnya. Misalnya, kita coba meneladani jihad mereka menyebarkan Islam, jihad mereka menghadapi penjajah dulu.
Khusus Gunung Santri, tokoh Muhammad Sholeh bin Adurrahman adalah tokoh penting dalam sejarah Kesultanan Banten. Dia adalah tangan kanan Sunan Gunung Djati. Dia datang dari Cirebon bersama Sunan Gunung Djati untuk mencari Hasanudin yang pergi demi sebuah misi. Setelah Sunan Gunung Djati menemukan anaknya itu, Muhammad Sholeh minta izin untuk tetap tinggal di Banten dan menetap di sini, sekaligus menjaga Hasanudin dari gangguan musuh.
Betul saja, Hasanudin harus berhadapan dengan penguasa Banten Kuno, Pucuk Umun. Pucuk Umun menantang Hasanudin untuk adu jago. Muhammad Soleh-lah yang kemudian diminta oleh Hasanudin untuk melawan jagonya Pucuk Umun. Dan, menang.
Dari peristiwa itulah, Hasanudin resmi menjadi penguasa Banten sekaligus menjadi Sultan pertama Kesultanan Islam Banten. Peristiwa ini menegaskan pentingnya peranan Muhammad Sholeh bin Abdurrahman, Gunung Santri, dalam sejarah Banten. Tentunya sampai sekarang, Provinsi Banten. Kalau Provinsi Banten mau jadi bangsa besar, jangan sia-siakan para pahlawannya (baca: Muhammad Sholeh bin Abdurahman, Gunung Santri). Itu saja!
Saya ngilu mendengar Masjid Beji direhab tanpa mempertahankan arsitektur aslinya. Masjid ini seharusnya penting bagi Banten, tidak boleh dibongkar begitu saja, ini peninggalan sejarah loh! Di sinilah sepak terjang tokoh Ki Wasyid berjuang. Masjid Beji, bagi saya adalah dapurnya gerakan Geger Cilegon. Dan, peristiwa Geger Cilegon kemudian menjadi tonggak sejarah Kota Cilegon sekarang.
Selain sisi gerakan perjuangan fisik itu, dari Kampung Beji inilah Ki Yasin, anak Ki Wasyid mendidik ratusan santrinya. Dan, seperti biasanya dalam tradisi pesantren, para santri ini disebar ke pelosok-pelosok untuk mengajarkan ilmunya. Biasanya dengan mendirikan pesantren lagi.
Konon pesantren yang ada di tetangga kampung saya, Pondok Pesantren Nurul Qomar Karangtengah, Kelurahan Pabean, Kecamatan Purwakarta, adalah pesantren yang didirikan oleh santrinya Ki Yasin, Kiai Qomarudin namanya. Seperti namanya “komar” yang artinya “bulan”, beliau seperti cahaya bulan di malam hari. Gelap bisa menjadi terang karenanya. Pengaruh langsung pesantren Nurul Qomar ini tidak hanya wilayah Cilegon bagian utara sekarang, tapi sampai ke Bojonegara, Pulau Panjang dan Lampung. Pengaruh tidak langsungnya lebih luas dari itu.
Itulah pentingnya Gunung Santri, tidak hanya berkaitan dengan Kesultanan Islam Banten dengan Muhammad Sholeh bin Abdurrohman-nya, tapi juga berkaitan dengan Geger Cilegon dan penyebaran Islam di Banten.
Anak Tangga, Kotak Amal dan Rempeyek
Sesuai rencana seusai Shalat Jum’at saya melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Santri. Sepanjang perjalanan saya menikmati sekali lika-liku menuju puncak. Dari mulai mengamati barang dagangan yang terjejer sepanjang jalan, kotak amal dan para pengemis. Bahkan terbesit untuk menghitung kotak-kotak amal itu. Tidak lupa pula dengan anak tangga, belokan dan pegangan besi yang disediakan untuk mempermudah peziarah mencapai puncak.
Menurut Ferdi, teman yang menyertai perjalanan saya, jumlah anak tangga di sini sekitar 700-an. Sementara saya menghitung jumlah kotak, kalau tidak salah ada 40 kotak amal. Setelah saya amati lebih cermat, kotak amal itu bervariasi peruntukannya. Ada yang buat masjid, anak yatim, dan sodakoh untuk pengurusan penziarahan. Tentu ini peluang bagi pengunjung untuk bersodakoh, menanam pohon surga. Toh, para peziarah datang jauh-jauh ke Gunung Santri atas dorongan agama. Dan, agama sangat menganjurkan sodakoh. Ditambah dengan keberadaan sekitar puluhan pengemis, menambah variasi peluang beramal di sini.
Capek juga kalau harus sampai puncak dalam satu tarikan nafas. Untung di kanan-kiri jalan berjejer warung-warung tadi. Bentuknya sudah disesuaikan untuk duduk-duduk mengendorkan otot. Saya pun memutuskan untuk istirahat. Saya melihat rempeyek, tidak hanya di warung tempat saya duduk, tapi di warung-warung yang saya lewati juga banyak. Tampaknya “rempeyek” adalah salah satu panganan khas yang ada di Gunung Santri. “rempeyek” adalah kue, lebih tepat kerupuk, yang terbuat dari tepung beras dihiasi biji kacang tanah. Cara memasaknya digoreng. Lebih nikmat dimakan sebagai pelengkap mie atau nasi. Saya sendiri tertarik untuk mencobanya. Sambil beristirahat di belokan dua terakhir ini, saya memesan mie instan. Dari warung ini saya bisa melihat pemandangan ke bawah arah selatan. Dari warung-warung yang berjejer di pinggir jalan kita bisa melihat Kota Cilegon dan sebagian lautan Bojonegara serta Pulau Panjang. Indah sekali.
Ada yang baru saya lihat, dibanding pengalaman saya berkunjung sebelumnya. Ya, satu tahun kemarin saya bersama istri dan anak ke sini tidak ada dagangan “air untuk ziarah.” Sekarang, kita tidak usah repot-repot membawa air itu dari rumah, di warung-warung sepanjang jalan menuju puncak disediakan. Harganya hanya 1000 rupiah, dikemas dalam botol bekas air mineral (segala merk). Rasanya tidak kalah dengan air mineral dalam kemasan. Saya sendiri mencoba membeli air ini untuk mengetahui keamanannya ketika diminum. Al-hamdulillah, segar rasanya dan aman!
Landscape dari puncak Gunung Santri
Sampai di puncak saya dan Ferdi tidak langsung berziarah. Kami mencoba menyelinap ke gang menuju belakang bangunan peziarahan. Ada apa di sana, selain hiruk-pikuk ritual ziarah ini, saya penasaran.
Saya masuk gang melingkar ke arah utara. Kosong, tidak ada bangunan di sana, yang ada bebatuan menyeringai dibalik sela-sela rerumput. Pemandangannya amboy indahnya…! Mata lepas jauh memandang. Begitu agresif angin membelai seluruh tubuh, sehingga saya lupa dengan pendakian tinggi menuju puncak ini. Dari sini saya bisa melihat bebas tiga penjuru angin: utara, timur dan barat. Di sini kita bisa berfoto-foto ria dengan landscape (pemandangan alam) pantai dan perbukitan sebagai background. Asyik, bukan?
Tapi, tiba-tiba keindahan itu menyurut, ketika saya melihat lebih dalam apa yang terjadi di pantai dan perbukitan Bojonegara ini. Di pantai, pabrik-pabrik melumat bibir-bibir laut, tak bersisa. Di perbukitan, mesin-mesin berat menyerbu hasil kerja bom, seperti semut menemukan gunungan gula lalu mengangsurnya ke liang rumah. Mereka melahap batu-batu yang menjadi tonggak daerah ini sampai dasar. Singkatnya, laut ditimbun, gunung dikeruk. Tak heran bila sekitar Gunung Santri penuh kepulan debu tak pernah absen karenanya.
Pukul 14.00, kemudian saya teringat belum melakukan ritual ziarah. Saya harus ziarah, nih! Saya mau membisikan kata terimakasih kepada Muhammad Sholeh bin Abdurrahman, karena keberadaan kuburnya di puncak Gunung Santri-lah, bukit ini luput dari nafsu serakah para investor itu. Subhanallah, kuburan seorang waliullah, bukan hanya bisa menghidupi penduduk sekitar (dengan berdagang), tapi juga bisa menjaga kelestarian alam sekitarnya.
Karangtengah, Cilegon, 23-26 Maret 2012
(Ayatulloh-Marsai/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email