Arca Bhairawa dianggap sebagai perwujudan Adityawarman di Museum Nasional, Jakarta. (Foto: id.wikipedia.org)
TINGGINYA sekitar 4,41 m. Sosoknya menyeramkan. Ia berdiri di atas mayat seorang guru bertubuh kecil, dengan kaki terlipat di bawah badan, yang berbaring tanpa pakaian di atas sekumpulan tengkorak manusia.
Sosok itu memegang sebilah pisau dan mangkuk. Dua ekor ular melingkari kakinya. Ia seperti mengenakan sarung kotak-kotak dengan hiasan tengkorak di tengahnya. Ikat pinggangnya berhias kepala kala. Kedua pergelangan tangan dan lengannya memakai gelang ular.
Arca itu dikenal sebagai Bhairawa dari Padang Roco, Sumatra Barat. Ia disimpan di ruang pamer Museum Nasional, Jakarta, dengan nama Bhairawa Buddha.
“Semua ini (kesan menyeramkan, red) tidak mengherankan, sebab hal ini memang sesuai dengan sifat dan bentuk arca ini sebagai Bhairawa,” tulis Pitono Hardjowardojo dalam Adityawarman.
Menurut Pitono, banyak ahli menghubungkan arca Bhairawa itu dengan Adityawarman, bangsawan yang hidup pada abad ke-14. Dia memiliki hubungan darah dengan raja-raja Singhasari dan Majapahit. Adityawarman memimpin kerajaan yang kemungkinan berpusat di sekitar Pagaruyung, Sumatra Barat. Sebagai peninggalan sang raja, arca Bhairawa menunjukkan bukti adanya sekte Bhairawa yang berkembang di wilayah itu. Sekte ini merupakan salah satu aliran dari ajaran Budha Tantrayana.
Sekte Bhairawa muncul pada abad ke-6 di Benggala sebelah timur, menyebar ke utara melalui Tibet, Mongolia, lalu masuk ke Tiongkok dan Jepang. Persebaran ke timur masuk ke Asia Tenggara, termasuk ke Nusantara. Sekte ini tampak di Sumatra pada abad ke-11, kemudian menyebar ke timur sampai ke Jawa. Pada masa Singhasari sekte ini semakin berkembang dan kemudian muncul kembali di Sumatra pada masa Adityawarman.
Dalam menjalankan kepercayaannya, penganut sekte Bhairawa memilih cara pelepasan yang lebih cepat daripada cara biasa, yaitu menyatukan diri secara mistik dengan dewa tertinggi. “Untuk mencapai ini mereka melakukan upacara tertentu yang menurut penyelidikan para ahli sangat menyeramkan,” tulis Pitono.
Upacara sekte Bhairawa di antaranya minum darah manusia. Tak hanya itu, mereka akan menari dan tertawa diiringi bunyi-bunyian dari pukulan tulang manusia.
Ritual ini dijelaskan pula dalam Prasasti Suroaso yang berangka tahun 1297 saka. Prasasti ini menjelaskan dengan cukup rinci pentahbisan Raja Adityawarman sebagai Ksetrajnya, yang berarti dia menerima pentahbisan tertinggi, yaitu pembebasan bagi Bhairawa.
“Prasasti ini adalah bukti kuat yang tidak tertumbangkan bahwa ada pemujaan Bhairawa di Sumatra tiada berapa lama menjelang masuknya agama Islam di Nusantara,” tulis J.L. Moens dalam Buddhisme di Jawa dan Sumatera dalam Masa Kejayaannya Terakhir.
Moens menafsirkan Prasasti Suroaso bahwa di sebuah lapangan mayat Raja Adityawarman ditahbiskan sebagai Ksetrajnya dengan nama Wicesadharani, artinya seorang yang memiliki konsentrasi tinggi. Adityawarman ditahbiskan sambil bersemayam dengan sunyi senyap di sebuah tempat duduk berupa tumpukan mayat. Dia digambarkan sambil tertawa-tawa sebagai setan dan minum darah.
“Sementara, korban manusianya yang besar, bernyala-nyala menebarkan bau busuk yang tak tertahankan, tetapi bagi orang yang sudah ditahbiskan berkesan sebagai harumnya berpuluh-puluh ribu juta bunga,” papar Moens menjelaskan isi prasasti.
Pada keterangan lain, ritual semacam ini bukan hanya dilakukan Adityawarman. Raja Singhasari, Kertanegara, pun menganut ajaran serupa, yaitu Tantrayana aliran Kalacakra. Ini dapat disimpulkan melalui kenyataan dia ditahbiskan sebagai Jina di Kuburan Wurara. Hal ini tertera dalam Prasasti Wurare yang berangka tahun 1211 saka atau 1289 M. Arca pentahbisannya, di mana pada lapiknya tertera berita soal Wurara, merupakan wujud Aksobhya yang kini dikenal dengan nama Joko Dolog.
Ritual di kuburan selalu identik dengan laku Tantrayana. Soal ini, Moens menjelaskan, kuburan atau lapangan mayat menurut penganut ajaran ini dianggap sebagai tempat ikatan Samsara dilepaskan. Tempat di mana kehidupan duniawi berakhir.
“Lapangan mayat adalah tanah suci yang paling tepat untuk melakukan di atasnya tindakan upacara bernilai tinggi, khususnya upacara pembebasan,” lanjut Moens.
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email