Foto: detik.com
Presiden Joko Widodo telah meresmikan pengoperasian Waduk Nipah di Kabupaten Sampang, Jawa Timur, Sabtu, (19 Maret 2016), lalu. Presiden berharap waduk yang telah dicanangkan sejak tahun 1973 itu, bisa menjadi solusi mengatasi masalah kekurangan air untuk pertanian di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Banyuates dan Kepatapang.
“Air dari waduk ini bisa mengairi 1.150 hektare sawah warga,” kata Jokowi.
Namun, ada cerita tragis di balik proyek waduk yang berada di Desa Tabanah, Kecamatan Banyuates itu. Ada ratap tangis rakyat lantaran salah satu keluarganya tewas ditembak aparat lantaran menolak pembebasan lahan. 23 tahun aksi pembunuhan rakyat atas nama proyek negara itu berlalu. Selama itu pula pintu keadilan belum pernah terbuka.
Alkisah, pada tahun 1997 masyarakat Sampang bergolak menentang hasil pemilihan umum karena dinilai tidak jujur dan tidak adil, penuh kecurangan dan rekayasa untuk memenangkan Golkar. Amuk massa itu mengakibatkan kabupaten bersemboyan “BAHARI” itu luluh lantah. Akhirnya, pencoblosan diulang di beberapa tempat pemungutan suara (TPS). Pencoblosan ulang ini merupakan peristiwa pertama kali terjadi di Indonesia. Peristiwa ini menggambarkan keberaniaan rakyat Sampang melawan kesewenang-wenangan rezim Orde Baru.
Menolak Otoriterianisme
Salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi saat pemerintah Orde Baru berkuasa adalah kasus tewasnya beberapa petani di Sampang, Madura. Kasus yang dikenal dengan peristiwa Waduk Nipah itu terjadi pada 25 September 1993.
Konflik bermula dari permasalahan tanah milik masyarakat Nipah yang akan dijadikan waduk. Tanah bagi masyarakat Nipah bukan hanya bermakna ekonomis melainkan juga bermakna kultural. Makna kultural tanah dipahami mereka sebagai sebuah “pusaka” peninggalan leluhur yang harus dijaga dan dipertahankan. Pemaknaan masyarakat Nipah mengenai tanah inilah yang tidak dipahami oleh pemerintah. Pemerintah hanya melihat bahwa masyarakat Nipah yang meliputi 8 desa membutuhkan sebuah waduk irigasi untuk meningkatkan penghasilan pertanian mereka menjadi dua kali lipat. Karena pemerintah melihat wilayah Nipah itu hanya sebagai hamparan lahan kering yang tidak produktif.
Masyarakat sama sekali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan alokasi sumber daya tanah milik mereka sendiri. Proses pembebasan tanah diawali dengan pengukuran tanah bukannya melalui musyawarah. Hal ini meresahkan petani, ketika keinginan mereka untuk memperoleh informasi yang transparan dan musyawarah dengan benar justru dianggap sebagai langkah melawan pemerintah dan dianggap anti-pembangunan.
Pemerintah kemudian melancarkan ancaman dan intimidasi lewat SK Bupati Sampang No. 89 tahun 1993 yang isinya akan melibatkan aparat keamanan dalam proses pembebasan tanah. Pada 26 Agustus 1993 para petani penolak, Hudhori, Ma’ruf, Masruki, dan Mar’i dipanggil ke Koramil Banyuates mereka diinterogasi dan setelah itu dibawa ke Kodim serta ditahan selama dua hari.
Penolakan warga terhadap pembanguan Waduk Nipah itu juga dimotori KH Alawy Muhammad, sosok Ulama karismatik, konsolidator PPP yang konsisten membela petani Sampang yang terdampak pembangunan Waduk Nipah.
Pada 24 September 1993 saat dilakukan pengukuran lagi oleh BPN yang melibatkan Koramil Banyuates, Kodim 0828 Sampang, Polsek Banyuates, dan Polres Sampang, masyarakat Nipah yang sudah diancam sebelumnya tetap melakukan penolakan dan protes terhadap pengukuran tersebut.
Keesokan harinya 25 September 1993 Tim dari BPN dibantu Kepala Desa Planggaran Barat serta aparat desa kembali melakukan pengukuran dengan membawa senjata tajam, tim ini juga didampingi oleh 20 0rang terdiri dari polisi dan tentara dengan senjata lengkap.
Kemudian masyarakat dari beberapa desa bergerak serempak untuk meminta pembatalan pengukuran. Secara tiba-tiba tanpa memberi peringatan terjadi penembakan oleh aparat keamanan kepada masyarakat yang melakukan penolakan. Banyak korban jiwa dalam peristiwa penembakan, korban penembakan tidak bisa langsung diambil oleh warga karena dijaga oleh aparat keamanan. Pada keesokan harinya, jenazah baru bisa diambil dan dikebumikan.
Kasus Waduk Nipah pada akhirnya tidak diusut sampai tuntas. Tidak ada peradilan yang digelar bagi pelaku penembakan dan pihak-pihak yang bertanggung jawab. Para pelaku hanya dikenai sanksi mutasi.
Semoga pembangunan Waduk Nepah bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat Sampang.
Wallahu a’lam
(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email