Masjid Al Aqsha
Para ekstremis Yahudi berkumpul di Al-Quds atau Yerusalem mengecam penembakan terhadap rabbi ekstremis, Yehuda Glick, dan kondisi keamanan kota yang memburuk. Mereka meneriakkan, “Masjid akan dihancurkan dan kuil akan kembali dibangun,” demikian disiarkan situs sahabat alaqsha (10/11)
Kantor berita Israel, Ynet News melaporkan, demonstran berkumpul di dekat Menachem Begin Heritage Center, Al-Quds, tempat Glick ditembak. Kemudian, demonstran berjalan beriringan masuk ke kompleks Masjidil Aqsha, tapi dilarang oleh polisi.
Selama protes, mereka memegang spanduk bertuliskan “Jalan Kami Menuju Yerusalem” sambil berteriak, “Masjid akan dibakar dan kuil (Sulaiman) akan dibangun!” Tentu masjid yang mereka maksud adalah kompleks Masjidil Aqsha. Karena, menurut keyakinan kaum Yahudi, di tempat yang sama pernah berdiri kuil mereka dan mereka yakin kuil tersebut akan dibangun lagi.
Omri Ganor, salah seorang pendemo menyalahkan warga Palestina atas terjadinya kekacauan di kota tersebut. “Orang Arab dan semua orang mencoba menakut-nakuti kami agar kami kaum Yahudi tidak berani berjalan-jalan di sekitar Al-Quds. Kami membuat pernyataan bahwa kami tidak akan takut dan akan berjalan sesuka kami di tanah ini,” kata Ganor sebagaimana dikutip Ynet.
“Kami akan berjalan dengan wajah menghadap ke depan menuju tempat suci kami, The Temple Mount, tempat yang akan kami bangun sebuah kuil dengan kuasa Tuhan,” tambahnya.
Ketegangan memanas di Al-Quds sejak pekan lalu, ketika otoritas zionis Israel menutup pintu masuk kompleks Masjidil Aqsha setelah insiden penembakan Glick. Kerusuhan meningkat setelah pasukan zionis menembak mati pemuda Palestina yang diduga menembak Glick dalam sebuah penyergapan di rumahnya, di Al-Quds.
Beberapa anggota dewan zionis Israel juga sempat masuk ke dalam kompleks Masjidil Aqsha beberapa hari lalu. Hal itu menyebabkan kemarahan jamaah yang sedang beribadah dan kecaman dari negara Arab dan negara Muslim lainnya. Sekelompok pemukim Yahudi juga menerobos masuk ke dalam kompleks Masjidil Aqsha dan memicu terjadinya kerusuhan antara jamaah dan pasukan zionis.
Seperti diketahui, bagi kaum Muslimin Al-Aqsha adalah tempat suci ke tiga. Sementara dalam keyakinan Yahudi, Temple Mount merupakan tempat suci mereka yang dahulu pernah dibangun dua kuil Yahudi. Zionis juga mengklaim Al-Quds sebagai ibukota Israel. Padahal, komunitas internasional tidak pernah mengakuinya.
Pada bulan September tahun 2000, kunjungan politisi kontroversial Ariel Sharon ke kompleks Masjidil Aqsha memicu sesuatu yang kemudian dikenal dengan “Intifada Kedua”. Yakni, pemberontakan rakyat menentang penjajahan panjang zionis Israel yang menyebabkan ribuan warga Palestina terbunuh
Penistaan Al-Aqsha, Israel Pancing Perang Agama
Kolumnis Info Palestina Abdul Wahhab Badr Khan menulis bahwa penistaan terhadap Masjidil Aqsha adalah cara Israel memancing perang agama. Barangkali penistaan terhadap kesucian Masjid Al-Aqsha adalah langkah terakhir ekstrimisme pemerintah Israel untuk memastikan yahudisme Negara. Ya, yahusasi Negara yang menjadi syarat perundingan serius dengan Otoritas Palestina untuk mencari penyelesaian dan bukan perdamaian yang harus bertekuk lutut kepada syarat penjajah.
Sudah sangat jelas, pemerintah Netenyahu menggunakan dasar dari kelompok “preman” warga Yahudi yang bekerja seperti cara mafia-mafia saat penjajahan Israel pertama kali menancap di Palestina. Sejumlah anggota Knesset dan rabbi yahudi ekstrim “preman” itu mendapatkan legalitasnya dalam mendorong pemerintah memberikan perlindungan kepada mereka.
Secara politis, Israel yang sudah dikendalikan para preman itu ingin memaksakan status quo baru terhadap masjid Al-Aqsha, baik dengan menetapkannya sebagai wewenang dan titik kedaulatan Israel di sana atau menetapkan status pembangian antara umat Islam dan Yahudi.
Sekenarionya sudah jelas. Berani menyentuh Al-Aqsha adalah batas merah. Jika berani melakukannya, Israel melakukan perjudian berbahaya. Sebab peristiwa terbesar di Agustus 1969 adalah pembakaran terhadap sisi timur “Jami Qibali” masjid Al-Aqsha sampai ke arah selatan Al-Aqsha. Pelaku pembakaran adalah warga Kristen Australia pembela Zionisme yang kemungkinan tindakan personal. Bahkan sengaja memutus saluran air ke masjid sehingga secara sengaja ‘Israel’ memperlambat pemadaman kebakaran. Banyak peninggalan bersejarah yang terbakar di masjid Al-Aqsha.
Jadi meski terjadi berbagai pelanggaran terhadap tempat suci di Al-Aqsha beberapa kali pada waktu sebelumnya, namun itu bukan tindakan sistematis dan terencana. Sebab Israel memiliki prioritas lainnya di kala itu yakni perdamaian Oslo. Perundingan Oslo inilah yang membuka mata Israel; ternyata semua tempat suci di Palestina sangat mungkin menjadi obyek tawar menawar dengan perunding Palestina; dari wilayah jajahan 1967 dan perbatasannya, pemukiman-pemukiman Yahudi yang seperti karet terus mengembang, air, ekonomi dan sepotong roti, hingga memecah-belah Negara Palestina yang dijanjikan hingga Al-Quds dan tempat sucinya serta eksistensi warga Arab Palestina di sana.
Ketika sampai pada perundingan Cam David 2000, masalah status Al-Quds ditentukan secara detail. Masing-masing pihak kemudian saling melakukan kompromi. Yaser Arafat tidak bisa melakukan kompromi maka perundingan digagalkan. Presiden Amerika Bill Clinton kala itu menuding Arafat bertanggungjawab atas kegagalan perundingan.
Namun ketika Ehud Barack menawarkan kompromi terhadap Al-Quds dalam perundingan itu, maka ia langsung diganjar dengan diberikan jabatan PM. Namun Ehud harus merelakan popularitasnya yang tergerus dari suara kelompok ekstrim dan popularitas partai Likud Ariel Sharon hingga Partai Avigdor Lieberman dan lainnya naik.
Sharon kemudian masuk menggerebek Al-Aqsha sembari mengatakan, “Di sinilah inti konflik.” Itulah yang menjadi bara api Intifadah Palestina Jilid II yang harus dihadapi Sharon setelah dilantik menjadi perdana menteri. Karena mendapatkan dukungan dari Amerika dan Eropa yang hanya diam sementara Arab hanya bisa mengecam, maka Sharon menggunakan represif dalam mendepak Intifada dengan segala macam sarana militer; pesawat tempur, tank, roket untuk menghadapi batu. Intifada pun meletus tak ada hentinya sampai perang terhadap Gaza berulang tiga kali.
Sekanario Intifada dipicu kekerasan terhadap Masjid Al-Aqsha bisa terulang. Apa yang dilakukan Moshe Viglin dari anggota Knesset dan rabbi Yehuda Glik hanya mengikuti langkah Sharon untuk memicu Intifada III. Namun Netenyahu kali ini akan menggunakan represifnya untuk menerapkan perubahan mendasar yang baru terhadap status Al-Quds.
Sejak pembantian terhadap warga Palestina di masjid Ibrahimi tahun 1994 dalam Intifada II hingga agresi Israel ke Gaza, pelanggaran terhadap tempat suci Islam berkali-kali terjadi. Ini seakan menjadi pemula dan pemancing dari perang.
Bagi mafia Yahudi yang menguasai Israel, mereka sengaja mempersiapkan situasi regional Arab yang saling berperang dan kejahatan ISIS sebagai situasi perang internasional terhadap terorisme adalah unsur-unsur menetapkan kedaulatan Yahudi atas Al-Aqsha dan menantang wasiat yang diembankan kepada Yordania.
Banyak pihak yang yang memperingatkan akan berubahnya konflik antara Arab – ‘Israel’ menjadi islam – Yahudi. Sebab mafia Netenyahu – Lieberman menilai konflik ‘Israel’ dengan Arab sudah berakhir sejak lama. Jika ada kekhawatiran konflik agama akan meletus maka inilah saatnya. Sebab saat ini yang menjadi target adalah terorisme Islam.
Jika ‘Israel’ menguasai Masjid Al-Aqsha maka ini akan menjadi pukulan pertama mematikan dan judul kemenangan barat dalam perang ini. Pertanyaannya; jika sekenarionya sudah jelas sejak lama kenapa Arab masih dingin-dingin saja? Apakah konflik Islam dan non Islam sudah sampai pada tingkat meremehkan tempat suci? Kesibukan negeri-negeri Arab dengan kondisi internalnya menjadi bagian dari jawaban pertanyaan itu. Namun itu tidak menjadi legitimasi kesalahan sejarah atau memarginalkan tempat suci Islam ketiga dan arabisme al-Quds.
Konspirasi Hapus Al-Aqsha
Kolomnis Info Palestina lainnya, Mazen Hammad menegaskan bahwa memang ada konspirasi untuk menghapuskan Masjid al-Aqsha. Di tengah ‘asap pekat’ di atas atmosfer Timur Tengah, proyek busuk pembangunan pemukiman Yahudi berlangsung massiv. Proyek sistematis membunuh hak-hak Islam bersejarah di halaman Masjid Al-Aqsha dan di kota Al-Quds.
Hak-hak itu kini menjadi target tindakan permusuhan dan kekerasan yang dilindungi oleh pasukan resmi pemerintah penjajah Zionis. Zionis yang mengklaim berhak membagi dan mengatur kewenangan area, waktu ritual agama dan entitas di Al-Aqsha, termasuk kewenangan politik. Ya, di tempat suci milik umat Islam. Padahal sesungguhnya bukan ritual beribadah yang diberikan kepada Yahudi namun tindakan penistaan terhadap tempat suci.
Lihatlah, bagaimana di saat parlemen Knesset Israel detik-detik ini bersiap mengesahkan UU menetapkan denda kepada warga Palestina yang melarang dan menghalangi warga Yahudi melakukan ritual agama di dalam Masjid Al-Aqsha. Denda 20 ribu dolar US bukanlah nilai kecil bagi warga yang hidup dalam penjajahan.
Tiba-tiba aleg Israel dari Partai Likud ekstrim Moshe Zalman Feiglin ikut menggerebek Masjid Al-Aqsha dengan alasan karena mengklaim Hamas dan ISIS menguasai Jabal Haikal (bukit yang diklaim tempat Solomon Temple yang itu merupakan lokasi utama Masjid Al-Aqsha). Feiglin menuding para penjaga Al-Aqsha itu dikendalikan oleh Hamas yang menghalangi warga Yahudi masuk ke masjid.
Dari sejumlah laporan media dan lembaga-lembaga Yahudi yang mengawasi gerak gerik Yahudi di Al-Quds dapat disimpulkan bahwa Al-Aqsha bukan saja menghadapi bahaya pembagian dan pemetaan wilayah dan waktu saja seperti yang terjadi terhadap masjid Ibrahim di Hebron, namun juga menghadapi bahaya pembangunan sinagog besar di area suci umat Islam itu. Ada sebanyak 27 lembaga dan yayasan berbasis pemukiman Yahudi bekerja sepanjang hari untuk menyiapkan pembangunan Kuil III yang mereka klaim resmi mendapatkan dukungan dari enam kementerian pemerintah Israel.
Gagasan pembangunan Kuil III dengan mengorbankan Al-Aqsha dan Kubah Shokhroh sudah sejak lama didengungkan oleh kelompok Zionis. Namun dalam pekan-pekan terakhir, poryek ini mengalami kemajuan pesat dan massiv karena memanfaatkan dunia internasional dan regional Arab dengan isu bahaya ISIS. Hal itu dibuktikan dengan usaha massiv dan intens penggerebekan yang dilakukan warga Yahudi ke Masjid Al-Aqsha.
(Info-Palestina/Al-Wathan-Qatar/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Ketegangan memuncak di Al-Quds setelah rabi Yahudi ekstrim Yehuda Glick dibunuh. Penghancuran massif Al-Aqsha terus berlanjut. Israel memancing perang agama.
Para ekstremis Yahudi berkumpul di Al-Quds atau Yerusalem mengecam penembakan terhadap rabbi ekstremis, Yehuda Glick, dan kondisi keamanan kota yang memburuk. Mereka meneriakkan, “Masjid akan dihancurkan dan kuil akan kembali dibangun,” demikian disiarkan situs sahabat alaqsha (10/11)
Kantor berita Israel, Ynet News melaporkan, demonstran berkumpul di dekat Menachem Begin Heritage Center, Al-Quds, tempat Glick ditembak. Kemudian, demonstran berjalan beriringan masuk ke kompleks Masjidil Aqsha, tapi dilarang oleh polisi.
Selama protes, mereka memegang spanduk bertuliskan “Jalan Kami Menuju Yerusalem” sambil berteriak, “Masjid akan dibakar dan kuil (Sulaiman) akan dibangun!” Tentu masjid yang mereka maksud adalah kompleks Masjidil Aqsha. Karena, menurut keyakinan kaum Yahudi, di tempat yang sama pernah berdiri kuil mereka dan mereka yakin kuil tersebut akan dibangun lagi.
Omri Ganor, salah seorang pendemo menyalahkan warga Palestina atas terjadinya kekacauan di kota tersebut. “Orang Arab dan semua orang mencoba menakut-nakuti kami agar kami kaum Yahudi tidak berani berjalan-jalan di sekitar Al-Quds. Kami membuat pernyataan bahwa kami tidak akan takut dan akan berjalan sesuka kami di tanah ini,” kata Ganor sebagaimana dikutip Ynet.
“Kami akan berjalan dengan wajah menghadap ke depan menuju tempat suci kami, The Temple Mount, tempat yang akan kami bangun sebuah kuil dengan kuasa Tuhan,” tambahnya.
Ketegangan memanas di Al-Quds sejak pekan lalu, ketika otoritas zionis Israel menutup pintu masuk kompleks Masjidil Aqsha setelah insiden penembakan Glick. Kerusuhan meningkat setelah pasukan zionis menembak mati pemuda Palestina yang diduga menembak Glick dalam sebuah penyergapan di rumahnya, di Al-Quds.
Beberapa anggota dewan zionis Israel juga sempat masuk ke dalam kompleks Masjidil Aqsha beberapa hari lalu. Hal itu menyebabkan kemarahan jamaah yang sedang beribadah dan kecaman dari negara Arab dan negara Muslim lainnya. Sekelompok pemukim Yahudi juga menerobos masuk ke dalam kompleks Masjidil Aqsha dan memicu terjadinya kerusuhan antara jamaah dan pasukan zionis.
Seperti diketahui, bagi kaum Muslimin Al-Aqsha adalah tempat suci ke tiga. Sementara dalam keyakinan Yahudi, Temple Mount merupakan tempat suci mereka yang dahulu pernah dibangun dua kuil Yahudi. Zionis juga mengklaim Al-Quds sebagai ibukota Israel. Padahal, komunitas internasional tidak pernah mengakuinya.
Pada bulan September tahun 2000, kunjungan politisi kontroversial Ariel Sharon ke kompleks Masjidil Aqsha memicu sesuatu yang kemudian dikenal dengan “Intifada Kedua”. Yakni, pemberontakan rakyat menentang penjajahan panjang zionis Israel yang menyebabkan ribuan warga Palestina terbunuh
Penistaan Al-Aqsha, Israel Pancing Perang Agama
Kolumnis Info Palestina Abdul Wahhab Badr Khan menulis bahwa penistaan terhadap Masjidil Aqsha adalah cara Israel memancing perang agama. Barangkali penistaan terhadap kesucian Masjid Al-Aqsha adalah langkah terakhir ekstrimisme pemerintah Israel untuk memastikan yahudisme Negara. Ya, yahusasi Negara yang menjadi syarat perundingan serius dengan Otoritas Palestina untuk mencari penyelesaian dan bukan perdamaian yang harus bertekuk lutut kepada syarat penjajah.
Sudah sangat jelas, pemerintah Netenyahu menggunakan dasar dari kelompok “preman” warga Yahudi yang bekerja seperti cara mafia-mafia saat penjajahan Israel pertama kali menancap di Palestina. Sejumlah anggota Knesset dan rabbi yahudi ekstrim “preman” itu mendapatkan legalitasnya dalam mendorong pemerintah memberikan perlindungan kepada mereka.
Secara politis, Israel yang sudah dikendalikan para preman itu ingin memaksakan status quo baru terhadap masjid Al-Aqsha, baik dengan menetapkannya sebagai wewenang dan titik kedaulatan Israel di sana atau menetapkan status pembangian antara umat Islam dan Yahudi.
Sekenarionya sudah jelas. Berani menyentuh Al-Aqsha adalah batas merah. Jika berani melakukannya, Israel melakukan perjudian berbahaya. Sebab peristiwa terbesar di Agustus 1969 adalah pembakaran terhadap sisi timur “Jami Qibali” masjid Al-Aqsha sampai ke arah selatan Al-Aqsha. Pelaku pembakaran adalah warga Kristen Australia pembela Zionisme yang kemungkinan tindakan personal. Bahkan sengaja memutus saluran air ke masjid sehingga secara sengaja ‘Israel’ memperlambat pemadaman kebakaran. Banyak peninggalan bersejarah yang terbakar di masjid Al-Aqsha.
Jadi meski terjadi berbagai pelanggaran terhadap tempat suci di Al-Aqsha beberapa kali pada waktu sebelumnya, namun itu bukan tindakan sistematis dan terencana. Sebab Israel memiliki prioritas lainnya di kala itu yakni perdamaian Oslo. Perundingan Oslo inilah yang membuka mata Israel; ternyata semua tempat suci di Palestina sangat mungkin menjadi obyek tawar menawar dengan perunding Palestina; dari wilayah jajahan 1967 dan perbatasannya, pemukiman-pemukiman Yahudi yang seperti karet terus mengembang, air, ekonomi dan sepotong roti, hingga memecah-belah Negara Palestina yang dijanjikan hingga Al-Quds dan tempat sucinya serta eksistensi warga Arab Palestina di sana.
Ketika sampai pada perundingan Cam David 2000, masalah status Al-Quds ditentukan secara detail. Masing-masing pihak kemudian saling melakukan kompromi. Yaser Arafat tidak bisa melakukan kompromi maka perundingan digagalkan. Presiden Amerika Bill Clinton kala itu menuding Arafat bertanggungjawab atas kegagalan perundingan.
Namun ketika Ehud Barack menawarkan kompromi terhadap Al-Quds dalam perundingan itu, maka ia langsung diganjar dengan diberikan jabatan PM. Namun Ehud harus merelakan popularitasnya yang tergerus dari suara kelompok ekstrim dan popularitas partai Likud Ariel Sharon hingga Partai Avigdor Lieberman dan lainnya naik.
Sharon kemudian masuk menggerebek Al-Aqsha sembari mengatakan, “Di sinilah inti konflik.” Itulah yang menjadi bara api Intifadah Palestina Jilid II yang harus dihadapi Sharon setelah dilantik menjadi perdana menteri. Karena mendapatkan dukungan dari Amerika dan Eropa yang hanya diam sementara Arab hanya bisa mengecam, maka Sharon menggunakan represif dalam mendepak Intifada dengan segala macam sarana militer; pesawat tempur, tank, roket untuk menghadapi batu. Intifada pun meletus tak ada hentinya sampai perang terhadap Gaza berulang tiga kali.
Sekanario Intifada dipicu kekerasan terhadap Masjid Al-Aqsha bisa terulang. Apa yang dilakukan Moshe Viglin dari anggota Knesset dan rabbi Yehuda Glik hanya mengikuti langkah Sharon untuk memicu Intifada III. Namun Netenyahu kali ini akan menggunakan represifnya untuk menerapkan perubahan mendasar yang baru terhadap status Al-Quds.
Sejak pembantian terhadap warga Palestina di masjid Ibrahimi tahun 1994 dalam Intifada II hingga agresi Israel ke Gaza, pelanggaran terhadap tempat suci Islam berkali-kali terjadi. Ini seakan menjadi pemula dan pemancing dari perang.
Bagi mafia Yahudi yang menguasai Israel, mereka sengaja mempersiapkan situasi regional Arab yang saling berperang dan kejahatan ISIS sebagai situasi perang internasional terhadap terorisme adalah unsur-unsur menetapkan kedaulatan Yahudi atas Al-Aqsha dan menantang wasiat yang diembankan kepada Yordania.
Banyak pihak yang yang memperingatkan akan berubahnya konflik antara Arab – ‘Israel’ menjadi islam – Yahudi. Sebab mafia Netenyahu – Lieberman menilai konflik ‘Israel’ dengan Arab sudah berakhir sejak lama. Jika ada kekhawatiran konflik agama akan meletus maka inilah saatnya. Sebab saat ini yang menjadi target adalah terorisme Islam.
Jika ‘Israel’ menguasai Masjid Al-Aqsha maka ini akan menjadi pukulan pertama mematikan dan judul kemenangan barat dalam perang ini. Pertanyaannya; jika sekenarionya sudah jelas sejak lama kenapa Arab masih dingin-dingin saja? Apakah konflik Islam dan non Islam sudah sampai pada tingkat meremehkan tempat suci? Kesibukan negeri-negeri Arab dengan kondisi internalnya menjadi bagian dari jawaban pertanyaan itu. Namun itu tidak menjadi legitimasi kesalahan sejarah atau memarginalkan tempat suci Islam ketiga dan arabisme al-Quds.
Konspirasi Hapus Al-Aqsha
Kolomnis Info Palestina lainnya, Mazen Hammad menegaskan bahwa memang ada konspirasi untuk menghapuskan Masjid al-Aqsha. Di tengah ‘asap pekat’ di atas atmosfer Timur Tengah, proyek busuk pembangunan pemukiman Yahudi berlangsung massiv. Proyek sistematis membunuh hak-hak Islam bersejarah di halaman Masjid Al-Aqsha dan di kota Al-Quds.
Hak-hak itu kini menjadi target tindakan permusuhan dan kekerasan yang dilindungi oleh pasukan resmi pemerintah penjajah Zionis. Zionis yang mengklaim berhak membagi dan mengatur kewenangan area, waktu ritual agama dan entitas di Al-Aqsha, termasuk kewenangan politik. Ya, di tempat suci milik umat Islam. Padahal sesungguhnya bukan ritual beribadah yang diberikan kepada Yahudi namun tindakan penistaan terhadap tempat suci.
Lihatlah, bagaimana di saat parlemen Knesset Israel detik-detik ini bersiap mengesahkan UU menetapkan denda kepada warga Palestina yang melarang dan menghalangi warga Yahudi melakukan ritual agama di dalam Masjid Al-Aqsha. Denda 20 ribu dolar US bukanlah nilai kecil bagi warga yang hidup dalam penjajahan.
Tiba-tiba aleg Israel dari Partai Likud ekstrim Moshe Zalman Feiglin ikut menggerebek Masjid Al-Aqsha dengan alasan karena mengklaim Hamas dan ISIS menguasai Jabal Haikal (bukit yang diklaim tempat Solomon Temple yang itu merupakan lokasi utama Masjid Al-Aqsha). Feiglin menuding para penjaga Al-Aqsha itu dikendalikan oleh Hamas yang menghalangi warga Yahudi masuk ke masjid.
Dari sejumlah laporan media dan lembaga-lembaga Yahudi yang mengawasi gerak gerik Yahudi di Al-Quds dapat disimpulkan bahwa Al-Aqsha bukan saja menghadapi bahaya pembagian dan pemetaan wilayah dan waktu saja seperti yang terjadi terhadap masjid Ibrahim di Hebron, namun juga menghadapi bahaya pembangunan sinagog besar di area suci umat Islam itu. Ada sebanyak 27 lembaga dan yayasan berbasis pemukiman Yahudi bekerja sepanjang hari untuk menyiapkan pembangunan Kuil III yang mereka klaim resmi mendapatkan dukungan dari enam kementerian pemerintah Israel.
Gagasan pembangunan Kuil III dengan mengorbankan Al-Aqsha dan Kubah Shokhroh sudah sejak lama didengungkan oleh kelompok Zionis. Namun dalam pekan-pekan terakhir, poryek ini mengalami kemajuan pesat dan massiv karena memanfaatkan dunia internasional dan regional Arab dengan isu bahaya ISIS. Hal itu dibuktikan dengan usaha massiv dan intens penggerebekan yang dilakukan warga Yahudi ke Masjid Al-Aqsha.
(Info-Palestina/Al-Wathan-Qatar/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email