Al-Qur’an dan Riwayat, Keduanya Membutuhkan Mufassir

Al-Qur’an dan Ahlul Bayt as adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, Ahlul Bayt tidak mendahului Al-Qur’an dan tidak juga membelakanginya.

Shabestan News Agency melaporkan dari Isfahan, periode keempat mengenai pembahasan “mengenal Imam” digelar di madrasah ilmiah Hadhrat Fathimah Muhadditsah.

Dalam pertemuan yang pertama, Hujjatul Islam Husain Asyhad menjelaskan tentang bagaimana metode dalam menilai suatu hadits, beliau mengatakan bahwa dengan bersandar pada sebuah riwayat yang mengatakan “sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian “dua hal yang berat” yaitu Al-Qur’an dan keluargaku….”.

maka dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an dan Itrah adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, dengan demikian jika Al-Qur’an membutuhkan mufassir maka riwayat juga membutuhkan mufassir, Itrah tidak mendahului Al-Qur’an dan juga tidak membelakangi Al-Qur’an, akan tetapi keduanya saling berhubungan.

Pada dasarnya, pelarangan riwayat dan hadits telah dimulai sejak zaman Rasulullah saww, sebagai dalam riwayat disebutkan tentang kisah pena dan kertas yang dipinta Rasulullah saww, yang saat itu Rasulullah saww berkata “bawakan kepadaku selembar kertas (untuk kutulis wasiat) agar kalian tidak tersesat sepeninggalku kelak”.

Beberapa orang menentang Rasulullah saww, mereka berkata “Al-Qur’an sudah cukup bagi kita”, selanjutnya setelah wafatnya Rasulullah saww, hanya empat orang yang diizinkan untuk menukil riwayat, seperti Aisyah, Ibnu Abbas, Ka’bul Ahbar Yahudi dan Tamim Dara’i, sementara Abdullah bin Mas’ud yang merupakan sahabat besar Rasulullah saww tidak diizinkan menukil riwayat dan ini terus berlanjut hingga masa Umar bin Abdul Aziz, pungkas Hujjatul Islam Husain Asyhad.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)