Dalam al-Quran suci, kita membaca ayat berikut, “Dialah Allah, tidak ada tuhan melainkan Dia mempunyai al-asma al-husna (Nama-nama Terbaik)” (QS 20:8); “Katakanlah: ‘Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang saja kamu seru, Dia mempunyai al-asma al-husna (Nama-nama Terbaik)...” (QS 17:110); “Hanya milik Allah al-asma al-husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut al-asma al-husna.” (QS 7:180)
Untuk mengenali diri kita dengan sifat-sifat Allah, kita harus merujuk pada al-Quran suci, hadis-hadis, atau bahkan akal sehat. Pada halaman 220 dari Book of Unity (of Allah)-nya Syaikh Muhammad bin ‘Ali bin Babawayh al-Qummi ash-Shaduq menukil ucapan Imam Ja’far ash-Shadiq dari ayah-ayahnya dari Rasulullah saw yang mengatakan, “Ada sembilan puluh sembilan sifat Allah, di luar kata Allah itu sendiri. Barangsiapa yang menghitungnya akan masuk surga.” Ia juga mengutip perkataan bahwa barangsiapa yang mempelajari sifat-sifat ini dengan hati dan memahami makna-maknanya (beramal berdasarkan itu semua) akan masuk surga. Siapapun semestinya mengetahui makna-makna dan implikasi-implikasi dari nama-nama ini, bukan sekadar hitungannya. Tak seorang pun secara memadai memahami sifat-sifat Allah sebagaimana Dia sendiri mengatakan dalam QS 73:20: “Dia mengetahui bahwa engkau tidak bisa (secara memadai) menghitung-Nya (Sifat-sifat-Nya).” Sebuah hadis menyebutkan, “Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah.” Allah telah berkehendak untuk menunjukkan kepada hamba-Nya sifat-sifat-Nya yang secara kolektif menjelaskan Diri-Nya tanpa memisahkan Nama-Nya sebagai bagian yang terpisah darinya, sekalipun Dia tidak identik dengan sifat-sifat tersebut. [4]
Dalam kitab al-Kâfi halaman 112 volume 1, ulama termasyhur al-Kulaini ar-Razi mengutip Hisyam bin Hakam yang mengatakan bahwa suatu ketika ia bertanya kepada Imam Ja’far ash-Shadiq as tentang sifat-sifat Allah dan derivasinya, juga derivasi dari kata “Allah”, Imam berkata kepadanya, “Wahai Hisyam, kata benda ‘Allah’ diturunkan dari ilâh; Pencipta meminta eksistensi penciptaan [untuk membenarkan wujud-Nya sebagai Penciptanya]. Ini merupakan kata benda, bukan suatu ajektif. Siapapun yang menyembah nama tanpa menyembah apa, di balik nama sesungguhnya melakukan kufr. Pada dasarnya, dia sama sekali tidak menyembah sesuatupun. Demikian pula barangsiapa yang menyembah nama dan makna ia melakukan kekufuran, karena ia menyembah dua hal. Hanya ia yang menyembah makna tanpa namalah yang sejajar dengan konsep tauhid (keesaan Allah). Sudahkah engkau memahami semua ini, wahai Hisyam?” Dia membenarkannya, lalu meminta Imam untuk menyediakan lebih banyak penjelasan, dimana Imam pada akhirnya berkata, “Ada sembilan puluh sifat Allah. Seandainya setiap sifat sama dengan penjelasannya, niscaya setiap sifat merupakan Tuhan itu sendiri. Tetapi, “Allah” merupakan pengertian yang orang simpulkan ketika ia mengetahui semua sifat ini. Semua sifat-sifat ini, wahai Hisyam, dalam makna umumnya, tidak sama dengan Dia sendiri. Roti adalah sesuatu yang engkau makan. Air adalah sesuatu yang engkau minum. Pakaian adalah sesuatu yang engkau kenakan. Dan api adalah sesuatu yang membakar. Apakah engkau memahami semua ini, wahai Hisyam, sehingga engkau akan mendukungnya dan memerangi musuh-musuh Allah karenanya?” Hisyam menjawabnya dengan cara afirmatif, kemudian Imam menambahkan, “Semoga Allah melimpahkan karunia-karunia sesudah itu dan semoga Dia mengukuhkan kakimu di atasnya, wahai Hisyam!”
Imam ash-Shadiq as telah berkata:
“Wahai putra Adam! Apabila seekor burung ingin memakan jantungmu, ia tidak merasa puas. Jika lubang jarum diletakkan di depan matamu, niscaya itu menutupinya. Betapa beraninya engkau, menggunakan dua hal ini, mengharapkan tahu melalui keduanya ranah langit dan bumi? Sekiranya engkau orang yang benar, niscaya engkau melihat mentari ini: ia merupakan satu objek di antara berbagai ciptaan Allah. Sekiranya matamu mampu melihat semua itu, maka, dan hanya maka, niscaya engkau betul-betul orang yang benar. Allah Mahamulia lagi Mahabesar berfirman, ‘dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu).’ (53:42). Sehingga, ketika pembicaraan sampai pada subjek tentang Allah, barulab engkau harus mengendalikan lidahmu...”
Penjelasan dan Derivasi Kata “Allah”
Banyak pandangan tentang hal ini. Sebagian mengatakan kata itu (Allah) diturnnkan dari seseorang yang melindungi (ilâh sebagai kata kerja) orang lain ketika yang terakhir ini meminta perlindungan kepadanya selama masa ketakutan ataupun musibah, dan ia akan memberinya perlindungan dan surga yang aman; dari sini, kata tersebut menjadi ilâh (sebagai kata benda) manusia, sebagaimana halnya orang bisa menjadi imam mereka ketika ia memimpin orang-orang dalam shalat berjamaah atau menjadi pemimpin mereka yang jelas, atau sebagaimana selembar jubah menjadi selendang ketika dikenakan, atau lihaf ketika digunakan sebagai penutup. Karena itu suatu ajektif untuk seseorang yang besar, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (QS 42:11), manusia ingin mengagungkan-Nya dengan menambahkan prefiks aI, sehingga menjadi Al-Ilah. Namun mereka mendapatkan huruf hamzah di awal dan juga di pertengahannya, dimana ia sangat ditekankan, terasa berat di lidah, sehingga mereka menghilangkannya dan sekarang menjadi sebagaimana yang diwahyukan dalam al-Quran suci, yakni “Allah.” Pendapat ini didukung oleh Harits bin Asad al-Muhasibi dan sekelompok ulama dan para penentangnya.
Turunan dari Kata “Allah”
Sebagian orang mengatakan, kata “Allah” diturunkan dari kata kerja walaha (kata kerja masa lalu), yawlahu (kata kerja sekarang) dari akar kala benda walah. Waw digantikan dengan hamzah, seperti halnya dalam wisad dan isad, wisya dan isya, wikaf dan ikaf. Walah adalah cinta yang ekstrem. Nabi Yahya as selalu dalam keadaan sedih di zaman ketika Nabi Isa as senantiasa berbahagia dan menyunggingkan senyum di bibirnya. Kedua-duanya meminta pengadilan dari Yang Mahakuasa dalam hal ini. Dalam hal ini, Allah mewahyukan kepada mereka, “Yang paling dekat dari kalian kepada- Ku adalah ia yang berpikir terbaik tentang-Ku.” Dan sesungguhnya Allah mengetahui siapa yang terbaik.
Yang Mahakuasa adalah abadi menyangkut zat, keabadian, kekekalan, sifat-sifat, kualitas-kualitas, dan rahmat-rahmat-Nya. Penciptaan-Nya, di sisi lain, dijelaskan sampai mencapai akhir kehidupan mereka, dibatasi dalam karakteristik, pemikiran, dan sfera mereka. Ia yang lemah tidak mampu mencapai Yang Mahaabadi. Tak ragu lagi, pikiran-pikiran tersebut selamanya diatasi oleh cahaya-cahaya kemandirian-Nya, dan alasan-alasan tersebut terlalu lemah untuk menyadari terangnya keagungah-Nya. Dia adalah sebagaimana Dia menjelaskan Diri-Nya sendiri ketika Dia mengatakan dalam sural al-An’am [6]:18 dan 61, “Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-Nya.” Pencipta adalah Zat yang Tunggal yang disembah, dan Dia amat terpuji. Sebab itu, Dia disebut Ilah. Dia telah menjelaskannya kepada kita bahwa Dia adalah Zat yang mencurahkan rahniat-Nya kepada mereka yang Dia ciptakan dengan berbagai cara. Cinta kasih merupakan bentuk sempurna dari pengagungan. Akal budi membenarkan bahwa tujuan akhir pengagungan hanya cocok pada Zat Yang Mahaesa, Sumber kasih sayang dan rahmat. Kepada fakta ini Yang Mahakuasa merujuk ketika Dia mengatakan, “Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu.” (QS 2:28).
Tak seorang pun mengetahui Allah sebagaimana seharusnya Dia diketahui selain oleh Allah sendiri. Dalam Nahj al-Balâghah khutbah 186 Imam ‘Ali mengatakan:
“Barangsiapa mengaitkan pada-Nya berbagai kondisi, ia tidak mempercayai keesaan-Nya. Demikian pula, barangsiapa menyerupakan Dia, tidak memahami hakikat-Nya. Barangsiapa yang menggambarkan-Nya, tidak menyembah-Nya. Barangsiapa menunjuk-Nya dan membayangkan-Nya, tidak mengetahui makna ketuhanan-Nya. Segala sesuatu yang diketahui dengan sendirinya adalah ciptaan, dan segala sesuatu yang ada karena sesuatu yang lain berarti dia akibat. Dia melakukan segala sesuatu tanpa bantuan alat-alat. Dia menetapkan ukuran tapi tidak dengan daya pikiran. Dia kaya tapi bukan dengan memperoleh. Waktu tidak bersama Dia, ataupun Dia tidak meminta pertolongan dari sarana apapun. Wujud-Nya mendahului waktu. Eksistensi-Nya mendahului ketiadaan, dan keabadian-Nya mendahului permulaan. Dengan menciptakan seluruh daya indra, adalah bukti bahwa Dia tidak berindra.
Fakta bahwa Dia mempertentangkan segala sesuatu adalah bukti bahwa Dia tidak punya pertentangan. Fakta bahwa Dia membuat kesamaan pada segala sesuatu merupakan bukti bahwa tidal( ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dialah yang melawankan cahaya dengan kegelapan, terang dengan samar, kering dengan cair, dan panas dengan sejuk. Dia menyelaraskan pelbagai pertentangan. Dia kumpulkan segala yang berbeda. Dia dekatkan semua yang jauh dan jauhkan semua yang dekat. Dia tidak dibatasi dengan batasan-batasan,: ataupun dihitung dengan jumlah. Materi-materi tertarik satu sama lain, dan bagian-bagian mengarah pada apa yang serupa dengannya. Kata “sejak” menolak keabadiannya, kemungkinan menolak keazaliannya, dan dan kata pasti menjauhkannya dari kesempurnaan.
Melalui mereka, Sang Pencipta menjelmakan Diri-Nya sendiri ke dalam akal, dan dengan mereka, Dia terpelihara dari pandangan mata. Diam dan bergerak tidak berlaku pada-Nya; bagaimana bisa sesuatu yang Dia sebabkan berpengaruh kepada-Nya, dan bagaimana bisa sesuatu yang telah Dia ciptakan muncul mempengaruhi-Nya? Atau bagaimana bisa sesuatu mempunyai pengaruh kepada-Nya sementara Dia sendiri yang mewujudkannya? Seandainya tidak deniikian, niscaya Dia menjadi subjek pembagian, Wujud-Nya niscaya bisa dipecah-pecah menjadi beberapa bagian, dan Realitas-Nya niscaya terhalang dari Wujud Abadi. Sekiranya Dia memiliki depan, niscaya Dia pun memiliki belakang! Dia membutuhkan penyempurnaan sekiranya ada kekurangan pada Diri-Nya. Dalam hal ini, ciri-ciri makhluk-Nya niscaya ada pada Diri-Nya dan Dia niscaya mempunyai suatu tanda (yang mengarah kepada objek-objek lain) alih-alih tanda itu mengarah kepada-Nya. Melalui kekuasaan keefektifan-Nya Dia jauh dari dipengaruhi dari segala sesuatu. Tidak ada perubahan at au kebinasaan mempengaruhi-Nya.
Dia tidak melahirkan anak seorang sehingga Dia bisa dikatakan Dia sendiri dilahirkan. Dia terlalu mulia untuk memiliki anak, terlalu suci untuk mengambil perempuan. Imajinasi tidak bisa mencapai-Nya untuk menegaskan kuantitas-Nya. Pengertian tidak mampu memikirkan-Nya dan mengkhayalkan satu bentuk bagi-Nya. lndra tidak menangkap-Nya untuk menyelidiki-Nya. Tangan-tangan tidak bisa menyentuh-Nya untuk merasakan-Nya. Dia tidak berubah menjadi kondisi apapun. Dia tidak melewati dari satu keadaan ke keadaan lain. Siang dan malam tidak menuakan-Nya. Terang dan gelap tidak mengubah-Nya. Tidak bisa dikatakan bahwa Dia mempunyai batas ataupun ujung, akhir ataupun kesudahan, tiada sesuatu pun yang mengendalikan-Nya sehingga meninggikan ataupun merendahkan-Nya, tiada sesuatu pun yang mendukung-Nya sehingga membungkukkan-Nya ataupun menegakkan-Nya.
Dia tidak berada di dalam ataupun di luar sesuatu. Dia menyampaikan berita, tapi tidak dengan lidak ataupun suara. Dia mendengar, tapi tidak dengan lubang telinga ataupun organ pendengaran. Dia berbicara tapi tidak menggunakan kata-kata. Dia mengingat tapi tidak menghapal. Dia menetapkan tapi tidak dengan menggerakkan pikiran-Nya. Dia mencintai dan menyetujui tanpa perasaan. Dia benci dan marah tapi tidak dengan menderita. Ketika Dia bemiat menciptakan sesuatu, Dia mengucapkan, “Jadilah” maka terjadilah ia, tapi tidak melalui suara yang mengenai telinga. Ucapan-Nya merupakan manifestasi dari apa yang Dia ciptakan. Yang sama dengan-Nya sama sekali tak pernah ada atau Dia tidak dianggap tua. Jika sebaliknya yang terjadi, niscaya Dia akan menjadi tuhan yang kedua.
Tidak bisa dikatakan bahwa Dia ada setelah sebelumnya Dia tiada, lantaran dalam masalah tersebut pengaruh-pengaruh penciptaan akan terpantul kepada-Nya, dan niscaya tidak ada perbedaan antara mereka dan Dia, dan Dia tidak punya keistimewaawatas mereka. Dengan demikian, Pencipta dan yang diciptakan berkedudukan sama. Pemula danyang dimulai berada pada tataran yang setara. Dia menciptakan makhluk tanpa menggunakan pola yang dibuat orang lain, dan Dia tidak perlu bantuan makhluk apapun yang diciptakan-Nya.
Dia menciptakan bumi dan mengendalikannya tanpa hams memegangnya, menjaganya tanpa harus menopangnya, membuatnya berdiri tanpa paras, meninggikannya tanpa perlu tiang, melindunginya dari keadaan mernbungkuk atau melengkung, mempertahankannya dari keambrukan dan terpecah-pecah menjadi beberapa keping. Dia memasak gunung-gunug di atasnya seperti tunggul-tunggul, memadatkan batu-batunya, mengalirkan arus-arusnya, dan memperluas ngarai-ngarainya. Apapun yang Dia buat tidak mengandung cacat, dan apapun yang Dia perkuat tidak punya kelemahan.
Dia menjelmakan Diri-Nya sendiri di atas bumi melalui otoritas dan keagungan-Nya. Dia mengetahui apa-apa yang di dalam bumi melalui pengetahuan dan pernahaman-Nya. Dia punya kuasa atas segala sesuatu di muka bumi karena kemuliaan dan martabat-Nya. Tiada sesuatu pun di muka bumi yang Dia minta, menolak-Nya, tidak pula ia menentang-nya hingga menguasai-Nya. Dia tidak butuh siapapun untuk memberi makan kepada-Nya. Segala sesuatu merunduk kepada-Nya dan hina di hadapan keagungan-Nya. Mereka tidak bisa melarikan diri dari kedaulatan-Nya kepada orang lain untuk meluputkan diri dari kebaikan atau bahaya-Nya. Tiada kesetaraan bagi-Nya yang bisa menyesuaikan-Nya, dan tidak sesuatu pun menyamai-Nya untuk setara dengan-Nya.
Dia akan melumatkan bumi setelah keberadaannya, hingga semua yang ada di atasnya menjadi binasa. Namun binasanya dunia setelah penciptaannya tidaklah lebih aneh dari pembentukan dan pengadaannya untuk yang pertama. Bagaimana mungkin itu terjadi? Meskipun semua wujud yang ada di bumi, baik itu burung-burung ataupun binatang buas, hewan ternak ataupun yang merumput di padang, dari pelbagai asal dan spesies, bangsa yang cerdas maupun tidak, semuanya itu bergabung berusaha untuk menciptakan seekor nyamuk, niscaya mereka tidak akan mampu menciptakannya ataupun memahami sarana-sarana untuk penciptaannya. Pikiran mereka bingung dan mengembara tanpa tujuan. Kekuatan mereka kian berkurang dan gagal, kembali dengan kekecewaan dan kepenatan, mengetahui bahwa mereka dikalahkan, mengakui ketakberdayaan mereka untuk menghasilkannya. Mereka pun akan menyadari bahwa mereka terlalu lemah (sekalipun) untuk menghancurkannya.
Sesungguhnya, setelah musnahnya dunia, Allah Yang Mahasuci akan tetap sendiri tanpa sesuatu pun di sisi-Nya. Ia ada, setelah musnahnya dunia, sebagaimana Dia ada sebelum dunia tercipta: tanpa waktu ataupun tempat, momen ataupun peridoe. Zaman dan waktu tidak akan ada lagi. Demikian pula tahun-tahun dan jam-jam akan lenyap. Tidak ada sesuatu pun selain Allah, Yang Mahatunggal Mahakuasa. Kepada-Nya kembali segala urusan. Penciptaan awal semua urusan tidak pernah ada pada kekuasaan yang kedua (makhluk) dan pencegahan dari kebinasaan mereka sendiri tidak pernah ada dalam pencapaian mereka. Sekiranya mereka punya kekuasaan untuk menghalangi kebinasaan semacam itu, niscaya mereka ada selamanya. Ketika Dia menciptakan sebagian dari dunia ini, penciptaan tersebut tidak menyulitkan-Nya, dan penciptaan sesuatu yang Dia ciptakan dan bentuk tidak memenatkan-Nya. Dia tidak menciptakannya untuk mempertinggi otoritas-Nya, ataupun Dia tidak melakukan hal itu karena takut kehilangan ataupun kerugian. Tidak pula meminta bantuan melawan musuh yang auat, ataupun untuk mengawal terhadap penentangnya yang membalas dendam, bukan pula untuk memperluas wilayah-Nya. Dia tidak mempertontonkan keluasan kuasa-Nya di hadapan seorang sekutu, atau karena perasaan kesepian- Nya dan keingin mencari persahabatan.
Kemudian setelah penciptaannya, Dia akan menghancurkan-Nya tetapi bukan karena kekhawatiran yang mengalahkan-Nya dalam memelihara dan mengaturnya, ataupun tidak karena kebahagiaan yang akan bertambah kepada-Nya, tidak pula karena suatu keberatan atas-Nya. Lamanya keberadaannya tidak melelahkan-Nya hingga mendorong-Nya pada kehancurannya segera. Akan tetapi, Allah Yang Mahasuci telah memeliharanya dengan kemurahan-Nya, menjaga tetap utuh dengan perintah-Nya, dan menyempumakannya dengan kekuasaan-Nya. Kemudian, setelah kehancurannya, Dia akan menciptakannya kembali tapi bukan karena kebutuhan dari Diri-Nya sendiri untuknya, tidak pula untuk meminta bantuan dari sesuatu yang ada di dalamnyanya, tidak pula untuk mengubah kondisi kesendirian menjadi keramaian [karena banyak sahabat], dari kejahilan kepada pengetahuan, dari keinginan dan kebutuhan kepada kemandirian dan kecukupan, dari kehinaan dan kerendahan pada kehormatan prestise.
Dalam khutbah lain, dimana di dalamnya Imam ‘Ali menjelaskan awal mula penciptaan langit dan bumi, ia berkata:
Segala puji bagi Allah yang tiada pembicara manapun mampu meliputi segala pujian bagi-Nya. Tiada penghitung manapun mampu mencakup bilangan nikmat karunia-Nya.
Tiada daya upaya bagaimanapun mampu memenuhi kewajiban pengabdian kepada-Nya. Tiada pikiran sejauh apapun mampu mencapai-Nya, dan tiada kearifan sedalam apapun mampu menyelairii hakikat-Nya.
Sifat-Nya tidak tc.rbatasi oleh lingkungan, tidak terperikan oleh ungkapan, tidak terikat waktu, dan tidak menemukan kesudahan.
Dicipta-Nya semua makhluk dengan kuasa-Nya. Ditebarkan-Nya angin dengan rahmat-Nya. Ditenangkan-Nya getar bumi dengan gunung-gunungnya.
Adapun pokok pangkal agama adalah makrifat tentang Allah. Namun takkan sempurna makrifat tentang-Nya kecuali dengan tashdiq (pembenaran) terhadap-Nya. Takkan sempurna tashdiq terhadap-Nya kecuali dengan tauhid dan keikhlasan kepada-Nya. Takkan sempurna keikhlasan kepada-Nya kecuali dengan penafian segala sifat dari-Nya. Karena setiap “sifat” adalah berlainan dengan “yang disifatkan” dan setiap “yang disifatkan” bukanlah persamaan dari “sifat yang menyertainya.”
Maka barangsiapa melekatkan suatu sifat kepada-Nya, sama saja dengan seseorang yang menyertakan sesuatu dengan-Nya. Dan barangsiapa menyertakan sesuatu dengan-Nya, maka ia telah menduakan-Nya. Barangsiapa yang menduakan-Nya, maka ia telah memilah-milahkan Zat-Nya. Barangsiapa memilah-milahkan-Nya, maka ia sesungguhnya tidak mengenal- Nya. Barangsiapa tidak mengenal-Nya, akan melakukan penunjukkan kepada (arah)-Nya:. Barangsiapa melakukan penunjukan kepada-Nya, maka ia telah membuat batasan tentang-Nya. Barangsiapa. membuat batasan tentang-Nya, sesungguhnya ia telah menganggap-Nya berbilang. Barangsiapa berkata: “Dimanakah Dia?”, maka sesungguhnya ia telah menganggap-Nya terkandung dalam sesuatu. Barangsiapa berkata: “Di atas apakah Dia?”, maka sesungguhnya ia telah mengosongkan sesuatu dari (kehadiran)-Nya.
Dia (Allah) maujud bukan karena suatu ciptaan. Bukan pula muncul dari ketiadaan. Dia “ada” bersama dengan segala sesuatu namun tidak dengan suatu kesertaan. Bukan pula Dia lain dari segala sesuatu disebabkan keterpisahan darinya.Dia adalah Pelaku, namun tanpa (menggunakan) gerak ataupun alat. Maha Melihat, meskipun sebelum adanya suatu makhluk apapun. Sendiri, disebabkan.tak adanya sesuatu yang denganya Ia merasa terikat, ataupun gelisah bila ia terpisah dari-Nya.
Sifat-sifat Allah
Mari kita diskusikan sifat-sifat-Nya secara lebih mendetail:
1. Allâh
Kata benda “Allah” hanya milik Tuhan Yang Mahakuasa, Yang Mahabenar. Sesuatu yang mendahuluinya dianggap sebagai kata ajektif yang menjelaskannya, sementara ia tetap indikatifkata benda dari Tuhan Yang Mahabenar. Kata tersebut menggabungkan semua dan sega1a sifat-Nya dan ia tidak butuh pengantar dari yang lainnya, dimana sifat- sifat lain mencapai pengakuan ketika ditambahkan kepadanya. “Allah” tidak dilekatkan kepada siapapun selain Dia, atau ia tidak pernah disandang; oleh siapapun selain Dia.
“Allah” adalah Wujud Abadi, Zat yang memunculkan keberadaan, menjaga semua eksistensi, menciptakan segala sesuatu yang ada. Apapun yang Dia ciptakan akan binasa. Dia takkan pernah: “Katakanlah, ‘Allah-lah’, (yang menurunkannya)”, kemudian (sesudah kamu menyampaikan al-Quran kepada mereka) biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (QS 6:91).
2. Al-Rahmân (Maha Pemurah)
Allah berfirman, “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah seiaku seorang hamba.” (QS 19:93).
Al-Rahmân al-Rahîm adalah dua sifat Allah yang mengingatkan manusia akan rahmat-Nya. Pada faktanya, perbuatan-Nya mempengaruhi kebaikan dan ganjaran diterima oleh siapa saja yang Dia kehendaki, sampai-sampai menjauhkan setan dari mereka. Al-Rahmân dan Ar-Rahîm adalah dua sifat ganda dari-Nya yang setiap sifat menyampaikan banyak pengertian dari rahmat lebih dari yang lain.
Al-Rahmân adalah kata sifat yang secara spesifik relevan dengan Allah. Tak satupun selain Dia yang bisa disebut demikian atau dirujuk seperti itu, sementara al-Rahîm bisa diterapkan kepada manusia: Siapapun bisa disifati dengan al-Rahîm, kasih sayang atau kebaikan, tapi seorang manusia tidak bisa menjadi al-Rahmân.
Dalam al-Quran suci, kita baca: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” (QS 1:1); “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas Arasy” (QS 20:5). Ini merupakan sifat yang memperlihatkan bahwa kasih sayang hanya bisa mungkin terjadi melalui-Nya. Ini berarti "Zat yang melimpahkan rahrnat yang menembus tempat yang tidak ada rahmat sama sekali dan sejenisnya yang sama sekali tiada.”
Sekalipun diturunkan dari rahrnat, al-Rahmân merupakan kata benda sekaligus kata sifat. Tidak ada pertentangan di antara keduanya.
Lazim diketahui bahwa kasih berarti: karsa atau kekuatan kehendak seseorang untuk membawa kebaikan kepada orang yang lebih rendah dari dia dalam hal kedudukan.
3. Al-Rahîm (Maba Penyayang)
Allah, Mahasuci dan Maha Terpuji Dia, telah berfirman, “Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Akulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 15:49).
Al-Rahîm diturunkan dari rahmah, kasih atau sayang. Rahmah mengimplikasikan keselamatan orang-orang yang menerimanya dari kerugian dan kehilangan, dan merahmati mereka dengan petunjuk, ampunan, dan pendirian kuat. Al-Rahîm, yakni Zat yang melimpahkan rahmah, superlatif. Ini merupakan bentuk derivatif paling tinggi dari rahmah. Allah berfirman, “Dialah yang memberi rahmat kepada-Mu dan malaikat-Nya (menwhonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada Cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS 33:43).
Al-Rahîm adalah Zat yang mengaruniakan rahmat tak terhitung. Sebagian orang mengatakan bahwa kata ini diturunkan dari Rahim, dan kita telah mengetahui bahwa akar kata untuknya adalah rahmah, yakni karunia dan rahmat dari Allah. Sesungguhnya rahmat-Nya tidak bisa dihitung, atau tidak pernah ada habis-habisnya.
Rasulullah saw telah bersabda, “Barangsiapa yang tidak punya kasih sayang terhadap sesama, maka ia tercabut dari rahmat Allah.” Beliau pun berkata, “Barangsiapa yang tidak menghonnati orang yang lebih tua di antara kita, ataupun tidak menunjukkan kasih sayang kepada yang lebih muda, atau melindungi hak-hak ulama di antara kita, sesungguhnya ia bukan dari (golongan) kami.” Rahmat di antara hamba Allah merupakan jalan niscaya untuk menerima rahmat (kasih sayang) Allah. Rasulullah saw telah bersabda, “Sayangilah para penghuni bumi agar penduduk langit menyayangi kalian.”
4. Al-Malik (Maharaja)
Allah berfirman, “Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenarnya.” (QS 23:116).
Al-Malik menyampaikan makna “Zat yang bebas, karena kebajikan dan karakteristik-Nya sendiri”, dari ketergantungan pada sesuatu dalam eksistensi, sedangkan segala sesuatu dalam eksistensinya tergantung kepada-Nya.” Tiada sesuatu pun yang terwujud tanpa-Nya, sedangkan segala sesuatu yang ada memunculkan keberadaannya dari Dia atau karena Dia. Segala segala adalah kepunyaan-Nya.
Al-Mâlik [vokal ‘a’ panjang] terdapat pada: “Penguasa di Hari Pembalasan.” (QS 1:4).
Metode pengucapan lain: Malik [vokal ‘a’ pendek], Raja di Hari Pembalasan. Al-Malik ada dalam ayat ini: “Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan yang berkuasa.” (QS 54:55).
Malikul-Mulk ada dalam: “Wahai Allah yang mempunyai kerajaan.” (QS 3:26).
Al-Malakût ada dalam: “Maka Mahasuci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu... (QS 36:83).
Yang Mahakuasa telah menjelaskan Diri-Nya sendiri sebagai “Malikul-Mulk”, Pemilik segala sesuatu, seluruh kerajaan, dengan mengatakan, “Katakanlah: Ya Allah, pemilik kerajaan!” (QS 3:26), dan “Pemilik Hari Pembalasan” (QS 1:4), yang merupakan salah satu ayat pertama dalam al-Quran suci. Seorang pemilik tanah adalah “malik”-nya”. Siapapun secara resmi terikat untuk menaati raja, “malik”, berkenaan dengan hukum-hukum-yang terkait dengan tanah dikeluarkan oleh pihak kedua, sementara sebaliknya adalah mustahil.
Di antara sifat-sifat Allah Yang Mahakuasa, kata “al-Malik” telah menempati secara mandiri, dimana kata “Malik” senantiasa ditambahkan kepada sesuatu yang lain, seperti Maliki yaum al-dîn, “Pemilik Rari Pembalasan”. Oleh sebab itu, sifat pertama harus menjadi lebih bernilai.
5. Al-Quddûs (Mahasuci)
Allah berfirman, “Apa-apa yang ada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah, Raja Yang Mahakudus.” (QS 62:1).
Al-Quddûs berarti: Zat yang karakteristik-Nya tidak bisa ditangkap oleh indra, ataupun Dia tidak bisa dijangkau oleh imajinasi, tidak bisa diketahui oleh pikiran, akal, ataupun dihukumi oleh intelek manapun. Secara linguistik, kata ini bersumber dari kata “quds”, kesucian atau kebersihan. “Al-bayt al-muqaddas” berarti “rumah yang disucikan”, rumah yang penghuninya menyucikan diri mereka sendiri dari kekotoran dosa-dosa. Surga juga disebut tempat quds lantaran ia bebas dari derita-derita kehidupan dunia ini.
Pemimpin para malaikat disebut dalam Islam sebagai al-rûh al-quds (ruh kudus) karena ia bebas dari setiap kesalahan dalam menyampaikan wahyu kepada para rasul Allah. Allah telah menjelaskan Diri-Nya sendiri sebagai “Raja, Yang Mahasuci...” (QS 59:23) dan Dia juga telah berfirman, “Apapun yang ada di langit dan di bumi semuanya bertasbih kepada Allah, Raja, Yang Mahasuci...”(QS 62:1).
Al-Quddûs adalah Zat yang bebas dari kebutuhan dan Sifat-sifat- Nya bebas dari kekurangan. Dialah Zat yang menyucikan jiwa-jiwa orang yang melawan dosa, yang mengambil orang-orang jahat dari ubun-ubun mereka, yang terbebas dari ruang dan waktu.
Rasulullah saw suatu saat mengutus salah seorang sahabatnya untuk mengajarkan Islam kepada sekelompok mukallaf dan memimpin mereka dalam shalat berjamaah. Sahabat tersebut tidak biasa membaca salah satu surat al-Quran suci (selain al-Fatihah, tentunya) selain surat al-Ikhlas, sehingga orang-orang mukmin datang kepada Nabi saw dan menceritakan hal tersebut kepada beliau. Nabi saw berkata kepada mereka, “Pulanglah dan tanyakan kepadanya mengapa ia berbuat demikian.” Mereka pun bertanya kepada sahabat tersebut tentang hal itu. Ia pun menjawab pertanyaan mereka dengan mengatakan, “...karena ia mengandung sifat al-Rahmân dan inilah mengapa aku gemar membacanya!” Mereka mengatakan kepada Nabi saw jawaban ini. Beliau berkata kepada mereka, “Pulanglah dan katakan kepadanya bahwa Allah Yang Maha Terpuji dan Mahasuci mencintainya juga.” [5]
Suatu saat Ibn Abbas menghabiskan satu malamdengan sepupunya Rasulullah. Ketika Rasulullah saw bangun dan berqiri di atas kasurnya, ia menengadahkan kepalanya ke arah langit dan membacatasbih berikut sebanyak tiga kali: “Subhanal Malik al-Quddus!.” (Mahasuci Raja, Yang Mahakudus!).[6]
Lantas beliau membaca ayat terakhir surat Ali Imran yang bermula dengan ayat: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi...”
6. Al-Salâm (Mahasejahtera)
Allah Yang Mahakuasa telah mengatakan bahwa Dia adalah “... Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera.” (QS 59:23).
Al-Salâm berarti Zat yang bebas dari kekurangan dan ketidaksempurnaan, yang sifat-sifat-Nya terbebas dari kelemahan, yang perbuatan-perbuatan-Nya jauh dari kejahatan dan keburukan. Karena Dia adalah sebagaimana adanya. Tiada kedamaian ataupun keamanan dalam eksistensi tanpa-Nya.
Salâm berarti damai, sejahtera. Allah Yang Mahakuasa berfirman, “...Dan Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga).” (QS 10:25), makna surga: siapapun yang tinggal di dalamnya niscaya selamat dari penderitaan pedih dan kebinasaan. Allah telah berfirman, “Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan, maka keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan.” (QS 56:90-91), yakni kedamaian pasti dimana mereka menikmati kedamaian dan kesejahteraan. Salâm adalah ucapan doa keselamatan; apabila seorang Muslim berkata kepada Muslim lain “assalâmu ‘alaikum!” dia niscaya telah memastikan kawannya pada keamanan dan keselamatan, memberinya kekebalan terhadap niat buruk ataupun jahatnya. Allah Yang Mahakuasa memuji Nabi Yahya dengan mengatakan, “Keselamatan atas dirinya pada hari ia dilahirkan, dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.” (QS 19:15).
Ada tiga situasi paling berbahaya yang mengancam manusia: saat kelahiran, saat kematian, dan saat berbangkit. Maka Allah menghormati Nabi Yahya as dalam tiga situasi di atas, memberinya keselamatan, keamanan, dan kedamaian dari bahaya-bahayanya.
Dia menyelamatkannya dari bahaya-bahaya yang ada pada tiga situasi di atas dan memberinya keamanan dari rasa takut.
Kaum Muslim berkali-kalidiperintahkan oleh al-Quran suci untuk menyebarkan kedamaian dan bersikap terbuka kepada orang-orang yang melakukannya:
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam (keselamatan) secara keseluruhan...” (QS 2:208)
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.” (QS 8:61)
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang (al-Rahman) itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata keselamatan.” (QS 25:63)
“Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah, “Salamun ‘alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang.” (QS 6:54)
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah, “Salam (selamat tinggal).” Kelak mereka akan mengetahui (nasib mereka yang buruk). (QS 43:89)
Salam Allah adalah ucapan-Nya. Demikian pula, Nabi Islam acap kali menganjurkan kepada orang-orang mukmin untuk menyebarkan kedamaian (salam) di antara mereka. Ada sejumlah hadis yang membenarkan fakta ini di antaranya:
“Assalâmu minal Islam”: Menyebarkan kedamaian merupakan bagian integral dari akidah Islam.
“Afshu al-salâma taslamu”: Sebarkanlah kedamaian di antara kalian agar kalian bisa mendapatkan kedamaian dan keamanan.
“Barangsiapa mendukung tiga perkara niscaya akan tergabung dalam dirinya makna keyakinan: 1) kejujuran pada dirinya sendiri; 2) menyebarkan kedamaian kepada setiap orang; 3) membelanjakan secara bijak apa yang telah ia simpan.”
“Afshu al-salâma baynakum: Sebarkanlah kedamaian di antara kalian.”
Dalam salah satu doanya, Rasulullah saw biasa mengujarkan, “Tuhan, jadikanlah kami sebagai tanda-tanda kedamaian bagi para wali-Mu!” Al-Quran mengatakan bahwa kepada kita bahwa (salah satu) nama surga adalah dar al-salâm, tempat kedamaian. Dia Azza wa Jalla berfirman, “Bagi mereka (disediakan) darussalam (surga) pada sisi Tuhan-Nya dan Dialah pelindung mereka disebabkan amal-amal saleh yang selalu mereka kerjakan.” (QS 6:127).
Allah akan menjadikan ucapan tersebut dari orang-orang mukmin, ketika mereka berjumpa dengan-Nya, “Salam!”. Dia berfirman, “Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah: “Salam.” (QS 33:44).
Merujuk kepada orang-orang beriman, Dia berfirman dalam surat ar-Ra’d berikut, “(yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya, dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan), ‘Salâmun ‘alaikum bi mâ shabartum.’ [Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu] Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.’” (QS 3:23-24).
Tsawban, pelayan Rasulullah saw, berkata, “Setiap kali Rasulullah menyelesaikan shalatnya, ia senantiasa memohon ampunan kepada Allah sebanyak tiga kali, seraya mengucapkan: “Ya Allah, Engkaulah keselamatan; darimu keselamatan; Mahasuci Engkau! Keagungan dan kemuliaan ada pada-Mu.”
7. Al-Mu’min (Maha Mengaruniakan keamanan)
Allah telah menjelaskan Diri-Nya sebagai al-Mu’min: “...Yang Mengaruniakan Keamanan, Maha Memelihara (segala sesuatu)...” (QS 59:23).
Al-Mu’min berarti: Zat yang menyediakan keamanan dan keamanan. Dia memberikan sarana-sarana pencapaiannya, menutup semua jalan ketakutan. Tidak ada keamanan dan kedamaian dalam kehidupan ini selain sebab-sebab penyakit dan kebinasaan, dan tidak pula keamanan dan kedamaian di kehidupan akhirat selain siksaan dan kemurkaan, kecuali bahwa Dia menyediakan sarana-sarana untuk memperolehnya.
Iman (îmân) secara linguistik merupakan suatu infinitif (beriman) yang diturunkan dari dua kata kerja: tashdîq, kesaksian akan kebenaran sesuatu atau seseorang, seperti dalam surat 12:17: “...dan engkau sekali-kali tidak akan percaya pada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar.”; amân, tempat perlindungan atau surga kedamaian sebagaimana dalam surat 106:4: “... dan melindungi mereka dari ketakutan (QS 106:4).
Sebagian ahli bahasa berpandangan bahwa derivasi iman dari kata kerja kedua ini.
Apabila kita mengatakan bahwa Allah Yang Mahakuasa memberi hamba-hamba-Nya keamanan terhadap sesuatu yang mereka takuti, kita pasti paham mengingat lingkungan kehidupan di dunia ini dan di akhirat kelak. Berkaitan dengan kehidupan di dunia ini, penghilangan sebabketakutan tidaklah mudah untuk diterima kecuali ketika situasi tidak menentu benar-benar telah terjadi. Ketakutan tidak bisa dihilangkan ketika kemungkinan hilangnya kehidupan ada dan tak seorang pun bisa menghilangkan kemungkinan semacam itu selain Allah SWT.
Tak seorang pun bisa mewujudkan kedamaian dan keamanan selain Dia. Seorang hula cemas akan kemusnahan disebabkan ketakmampuannya untuk melihat tempat darimana kematian akan merenggutnya.
Penglihatan jernih memberinya keamanan dari kemusnahan. Seseorang yang tangannya diamputasi khawatir akan situasi ketika ia tak mampu membela dirinya selain melalui penggunaan tangannya. Tangan sehatnya, kemudian, merupakan sebab dari perasaannya akan keamanan.
Hal sama bisa dikatakan mengenai semua indra dan anggota tubuh kita lainnya. Zat yang menciptakan semua anggota tubuh ini adalah Zat yang menghilangkan dari manusia sebab-sebab ketakutan dengan memberinya bagian-bagian tersebut.
Zat yang telah menciptakan pelbagai makanan lezat bagi manusia dan kesehatan yang baik serta mengajarinya bagaimana menggunakan perkakas yang berguna, kemudian mengeluarkannya dari banyak kesulitan sesungguhnya adalah Zat yang sama yang melimpahinya keamanan terhadap semua bahaya tersebut. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaknya membawa keamanan kepada tetangganya dari perbuatan jahatnya sendiri.” [7]
8. Al-Muhaimin (Maha Memelihara)
Dalam QS 59:23, kita membaca: “Dia-lah Allah, Tiada Tuhan Selain Dia; Raja, Yang Mahasuci, Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Maha Memelihara (segala sesuatu), Mahaperkasa, Mahakuasa, Maha Memiliki Segala Keagungan! Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
Ketika diterapkan kepada Yang Mahakuasa, al-Muhaimin berarti bahwa Dialah Zat yang mengawasi perbuatan-perbuatan, Zat yang memberi mereka rezeki, dan menentukan rentang kehidupan mereka. Dia berbuat demikian melalui pengetahuan, kendali, dan perlindungan- Nya. Siapapun yang mengawasi sesuatu adalah pelindungnya; dengan demikian ia memiliki kuasa penuh atasnya. Sifat-sifat ini tak akan pernah ada dalam makna hakikinya selain pada Allah.
Sifat ini menguraikan Zat yang membenarkan atas atau menentang terhadap hamba-Nya yang memasuki transaksi mutual dalam QS 10:61: “Kami adalah saksi atas kalian ketika kalian disibukkan di dalamnya.”
Allah adalah al-Muhaimin, Zat yang menyaksikan segala perbuatan hamba-Nya, baik ucapan ataupun perbuatan. Pengertian ayat ini mengintegrasikan pengertian kata muhaimin sebagai: Zat yang mengetahui segala sesuatu dan tidak ada sesuatu pun yang bisa luput dari-Nya, tidak juga seberat atom di langit dan bumi.
Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi mengatakan bahwa al-Mu’min berarti Zat yang mengawasi, Yang Melindungi. Adalah lazim dalam bahasa Arab untuk menyebut seseorang sebagai muhaimin apabila ia melindungi seseorang atau pelindungnya.
Al-Mibrad menjabarkannya sebagai: Zat Yang Mahabaik dan Mahakasih. Bangsa Arab melukiskan burung yang merentangkan sayapnya untuk melindungi anaknya sebagai muhaimin atas mereka.
Hasan al-Basri mengatakan itu artinya “Pelindung yang membenarkan kebenaran seseorang.” Diterapkan kepada Yang Mahakuasa, ia bisa membawa salah satu dari pengertian: Testimoni- Nya dengan kata, dengandemikian testimoni-Nya menginformasikan kepada kita perihal para rasul-Nya sebagai jujur, dan pelimpahan kekuasaan-Nya kepada para rasul tersebut untuk menghasilkan mukjizat, sehingga membenarkan kejujuran mereka.
Al-Muhaimin adalah Zat yang meliputi pengaturan urusan-urusan semua penciptaan-Nya dalam pengetahuan-Nya dari atom terkecil hingga planet terbesar dalam kosmos.
9. Al-‘Azîz (Maha Perkasa)
Yang Mahakuasa berfirman, “Ya Musa! Sesungguhnya, Aku adalah Allah Maha Perkasa, Mahabijaksana” (QS 27:9).
Akar kata dari sifat ini adalah ‘izz, kekuasaan, kekuatan, kejayaan, pengangkatan, tidak tunduk. Kata kerjanya bermakna: memperkuat ataumendukung, sebagaimana dalam ayat: “Kami utus kepada mereka dua orang (utusan Kami) mereka mendustakan keduanya, kemudian Kami kuatkan dengan utusan ketiga (yang berasal dari Kami) (QS 36:14) yakni mendukung mereka dan argumen mereka dengan utusan ketiga.
Secara linguistik, kata kerjanya berarti: mengatasi, mendapatkan kekuasaan yang lebih baik, menundukkan...
Al-‘Aziz adalah Satu-satunya Zat yang memiliki semua kemuliaan. Dia tidak pernah ditaklukkan atau Dia tidak pernah bersalah. Tiada khayalan ataupun akal yang mampu memahami-Nya. Dialah Zat yang tidak pernah bisa tunduk atau terganggu dalam cara apapun, Zat yang tidak memiliki bandingan atau kesamaan, Zat yang sangat dibutuhkan, Zat yang berjaya dan tidak pernah terkalahkan, Mahakuasa, Mahaperkasa, Yang tak pernah bisa dicapai.
Yang Mahakuasa telah menggambarkan Diri-Nya sebagai al- ‘Aziz, seraya menceritakan dalam kitab-Nya, al-Quran suci, suatu kisah tentang Nabi Isa as yang memohon kepada-Nya agar
“...jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana” (QS 5:118),
Dia juga berfirman, “Dan (hanya) bagi- Nya kebesaran di langit dan di bumi; dan Dia Mahaperkasa Mahabijaksana. (QS 45:37)
Dia telah membuktikan bahwa Dia mempunyai, pada Diri-Nya, semua sifat keagungan dengan mengatakan, “Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi rasul- Nya, dan bagi orang-orang mukmin.” (QS 63:8),
dan juga, “Mahasuci Tuhanmu, yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan.” (QS 37:180).
Ketika Dia berbicara dengan Iblis, Dia menukil perkataan Iblis yang mengatakan, “Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS 38:82).
Rasulullah saw acap berdoa: “Aku memohon perlindungan dengan kemuliaan-Mu, karena Engkaulah Zat yang Satu dan Satu-satunya Zat yang tidak pernah mati, sementara jin d manusia mati.”
10. Al-Jabbâr (Maha Memaksa)
Allah telah berkata, “Dia-lah Allah, Tiada Tuhan Selain Dia; Raja, Yang Mahasuci, Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Maha Memelihara (segala sesuatu), Mahaperkasa, Mahakuasa, Maha Memiliki Segala Keagungan! Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS 59:23).
Secara linguistik, al-Jabbâr diturunkan dari jabr, lawan dari memecah. Ia menawarkan pemulihan yang kuat atas sesuatu yang pecah, retak, jatuh, hancur..., dan lain-lain. Juga dikatakan bahwa kata ajektif jabbar berarti besar, agung, tak bisa diakses.
Para linguis menyatakan bahwa al-Jabbâr adalah Yang Mahakuasa. Ia merupakan ajektif superlatif yang diturunkan dari jabr. Dialah satu-satunya Zat yang tidak saja merekatkan apa yang retak melainkan juga memperkaya orang yang dilumpuhkan dengan kemiskinan dan keinginan. Pendeknya, Dialah Zat yang memulihkan segala sesuatu yang pecah atau rusak.
Abdullah bin ‘Abbas mengatakan bahwa al-Jabbâr adalah Raja yang Agung, sementara Ibn al-Anbari mengatakan bahwa al-Jabbâr adalah Zat yang berada di luar pencapaian manusia. Yang lain mengatakan bahwa al-Jabbar berarti Zat yang tidak bisa diusik oleh penindas kuasa manapun, dan tak seorang pun bisa berselisih dengan- Nya perihal sesuatu.
Dikatakan bahwa al-Jabbar menyampaikan pengertian yang sama yang disampaikan oleh sifat al-Mutakabbir, Yang Memiliki segala keagungan. Kesombongan dan supremasi adalah sifat-sifat mulia yang hanya berhak diterapkan kepada Allah.
Apabila diterapkan kepada orang lain, di sisi lain, mereka menjadi sifat-sifat buruk. Disebutkan pula bahwa pengertian al-Jabbar mengonotasikan: Zat yang memaksakan kehendak-Nya kepada yang lain. Tak satu pun yang bisa terjadi di kerajaan-Nya selain segala sesuatuyang dikehendaki-Nya, baik makhluk-Nya suka ataupun tidak. Atau ia bisa berarti Zat yang memperbaiki, membuktikan, atau mereformasi sebagai analogi dari orang yang memulihkan, katakanlah, anggota badan yang patah.
Salah satu derivasinya adalah jabarût, supremasi, atau keagungan. Menurut sebuah hadis, Rasulullah saw telah berdoa seperti ini: “Mahasuci Zat yang memiliki semua jabarut dan semua kerajaan.” Dalam salah satu pernyataannya, Imam ‘Ali bin Abi Thalib as telah bersabda, “Dialah Zat yang kehendak-Nya telah mengejawantahkan dirinya pada tabiat hati,” yakni Dia mengukuhkan hati menurut cara Dia menciptakan mereka dan menurut tingkat pengetahuan mereka tentang-Nya.
Mereka yang mengetahui-Nya adalah orang-orang yang berbahagia, sedangkan mereka yang tidak adalah orang-orang yang celaka.
Al-Jabbar mengandung arti kekuatan dan daya paksa. Kita bisa menemukan bahwa seluruh anggota tubuh telah diarahkan untuk melakukan fungsi-fungsi mereka tanpa ada kehendak sedikit pun dari mereka sendiri
Cobalah pandang matahari ketika ia bergerak dalam orbitnya tanpa menyimpangnya dari garis edarnya satu inci sekalipun, baik ia suka ataupun tidak. Manusia tidak punya kendali atas waktu ketika Allah memilih kehidupannya untuk memulai atau bagaimana ilia dilahirkan, atau kapan ia mati, atau keluarga yang melahirkannya.
Semua ini telahditetapkan baginya, dan ia sedikit pun tidak punya kontrol atas semua itu. Dernikian pula halnya dengan makhluk-makhluk lain di muka bumi. Mereka semua diciptakan dengan kemampuan untuk beradaptasi dengankehidupan bumi. Tak seorang pun memiliki pilihan dalam masalah ini: “Dan Dia telah membuat (menyiapkan) bumi untuk tempat tinggal makhluk (hidup-Nya). Di dalamnya. terdapat buah-buahan danpohon korma yang bertandan. (QS 55:10-11).
Semua ini diciptakan tanpa pilihan sedikit pun dari manusia.
11. Al-Mutakabbir (Maha Memiliki Segala Keagungan)
Allah telah berfirman, “Dia-lah Allah, Tiada Tuhan Selain Dia; Raja, Yang Mahasuci, Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Maha Memelihara (segala sesuatu), Mahaperkasa, Mahakuasa, Maha Memiliki Segala Keagungan! Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS 59:23)
Memahami al-Mutakabbir menuntut suatu penalaran dan wawasan yang baik. Akar katanya kibriya berarti keagungan dan kedaulatan, dan ia menggabungkan pengertian kesempurnaan dari diri dan eksistensinya. Tak seorang pun bisa dijelaskan seperti demikian selain Allah SWT. Keagungan, sejauh Allah Yang Mahakuasa diperhatikan, merupakan kemuliaan status: “Ia yang mengutus Jibril dengan membawa perintah-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, agar dia memperingatkan (manusia) tentang Hari Pertemuan.” (QS 40: 15).
Al-Mutakabbir adalah Zat yang memiliki semua keagungan, Yang di atasnya memiliki salah satu sifat makhluk-makhluk-Nya, Yang dirusak oleh para penindas di antara ciptaan-Nya, Yang kebesaran dan keagungan-Nya adalah yang paling utama.
Dia pun terlalu agung untuk kekurangan terhadap sesuatu atau membutuhkan seseorang atau sesuatu, Zat yang mempunyai semua kebesaran dan kebanggaan. Tak seorang pun selain Dia dibenarkan memandang dirinya sendiri besar atau berkuasa, atau berdaulat.
Dialah Zat yang terlalu kudus untuk dikenai oleh banyak musibah; maka tidak ada kebesaran yang dibenarkan bagi siapapun selain Dia; Dialah Zat yang memiliki semua kekuasaan dan kerajaan. Sifat ini berarti: Zat yang telah menggabungkan dalam Diri-Nya―dan secara pantas berhak mendapat―semua sifat keagungan, kesempurnaan, kebanggaan, dan kemuliaan pada saat yang bersamaan.
Dia terlalu hebat untuk tunduk kepada yang lain. Sebaliknya, ketundukan adalah semata-mata kepada-Nya, dan hanya kepada-Nya. Al-Quran suci menisbatkan sifat kebesaran kepada Yang Mahakuasa dalam QS 45:37,
“Dan (hanya) bagi-Nya kebesaran di langit dan di bumi; dan Dia Mahaperkasa Mahabijaksana.”
Kesombongan yang disebabkan kebesaran ada dua jenis:
Pertama, ketika perbuatan orang semacam itu benar-benar agung dan lebih baik ketimbang perbuatan siapapun lainnya. Dialah “... Yang Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Maha Memelihara segala sesuatu), Mahaperkasa, Mahakuasa, Maha Memiliki Segala Keagungan!” (QS 59:23).
Kedua, orang memandang dirinya sendiri secara artifisial sebagai demikian, dan ini berlaku kepada kebanyakan manusia:
Demikianlah Allah mengunci setiap hati-hati orang-orang yang sombong dan sewenang-wenang. (QS 40:35)
Sungguh buruklah tempat bagi orang-orang yang angkuh (sombong)! (QS 16:29)
Bukankah dalam neraka Jahanam itu tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri? (QS 39:60)
Menukil sabda Pemilik Kebesaran, Tuhan Yang Mahakuasa, Rasulullah saw telah bersabda, “Kesombongan adalah jubahku, Keagungan adalah busanaku; barangsiapa yang menantang kepada-Ku dengan keduanya, niscaya Aku lemparkan dia ke dalam api.”
Di sini Yang Mahakuasa mengabarkan dan menegur kita bahwa kebesaran, keagungan, dan kesombongan adalah hak prerogatif-Nya, yang tak seorangpun di antara hamba-hamba-Nya berhak mendakwa salah satu darinya (sifat-sifat tersebut) untuk dirinya sendiri.
Dalam salah satu doanya, Rasulullah saw berkata, “Aku berlindung kepada-Mu, Tuhan, dari buruknya kesombongan.” Beliau juga dikutip pernah mengatakan bahwa kesombongan merupakan satu indikasi dari ketakbersyukuran kepada Yang Mahabenar, Yang Mahakuasa. Nabi saw berkata, “Kesombongan adalah tidak bersyukur kepada Yang Mahabenar.” Imam ‘Ali as telah bersabda, “Sungguh keturunan Adam itu mengherankan! Sebuah luka bisa mengakhiri hidupnya, seekor kutu bisa menyebabkannya sakit, kecemasannya bisa membuatnya buruk, maka bagaimana bisa dia merasa bangga diri?”
Rasulullah saw telah mengingatkan kita akan kesombongan dan membanggakan diri sendiri, yang berkata, “Tak seorang akan masuk surga jika ia mempunyai benih kesombongan meskipun seberat biji sawi, dan tak seorang pun akan masuk neraka, jika ada keyakinan meskipun seberat biji sawi. Ketika orang-orang yang beruntung [8] masuk surga, hati-hati mereka akan disucikan dari setiap kesombongan dan kecemburuan: “Dan Kami akan menghilangkan dendam apapun di dalam dana-dana mereka.” (QS 15:47).
Sifat al-Mutakabbir hanya disebutkan sekali dalam leks al-Quran dalam sural 59:23. Allah mengetahui yang terbaik.
12. Al-Khâliq (Maha Pencipta)
Allah berfirman, “Dia-lah Allah, Maha Menciptakan...” (QS 59:24).
Al-Khaliq diturunkan dari kata khalq, menciptakan. Allah, al- Khaliq, Maha Menciptakan, adalah Zat yang menciptakan segala sesuatu setelah ketiadaan mereka, Yang menemukan dan menginovasi tanpa model sebelumnya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa al-Khaliq adalah Zat yang menciptakan segala sesuatu dari kekosongan lalu melimpahkan kepada mereka karakteristik-karakteristik dan sifat-sifat mereka lainnya. Sebagian lain menyatakan bahwa Dialah Zat yang menciptakan apapun yang bisa dipandang mata, Yang menyempumakan penciptaan mereka. Yang lainnya juga mengatakan bahwa Dialah Zat yang menentukan kadar segala sesuatu ketika mereka diselimuti dengan kekosongan, menyempumakan mereka dengan karunia dan kebaikan-Nya, menciptakan mereka menurut kehendak, keinginan, dan kebijaksanaan-Nya. Barangsiapa mengira bahwa ada seseorang selain Dia yang nienciptakan maka sesungguhnya ia melakukan kekufuran, murtad, keingkaran, dan kutukan. Allah Yang Mahakuasa telah berfirman:
“...Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia.” (QS 6:102)
“Jadi ketahuilah, kepunyaan-Nyalah menciptakan dan memerintah; Mahaberkah Allah, Penguasa alam semesta.” (QS 7:54)
“...maka MahasuciAllah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS 23:14)
“...Adakah sesuatu Pencipta selain Dia...?” (QS 35:3)
“Benar! Dia adalah Maha Pencipta (Yang Mahakuasa), Maha Mengetahui.” (QS 36:81)
Ibn ‘Abbas dilaporkan telah mengatakan bahwa setiap kali Rasulullah saw bercermin, ia berdoa, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan aku dan akhlakku, baik, Yang mengindahkan dalam diriku apa yang belum Dia lakukan kepada yang lain.” Menurut sebuah riwayat melalui Imam ‘Ali bin Abi Thalib, Rasulullah saw biasa mengucapkan doa berikut setiap kali beliau bercermin, “Segala puji bagi Allah! Tuhan, sebagaimana Engkau menjadikan bentukku baik, maka aku memohon kepada-Mu baikkan pula akhlakku.” [9] [10]
13. Al-Bâri’ (Maha Mengadakan)
Allah berfirman, “Dialah Allah, Maha Menciptakan, Yang Mengadakan, Maha Membentuk Rupa (atau warna) atas apa yang Dia ciptakan. Kepunyaan-Nya adalah semua nama yang paling baik.” (QS 59:24).
Ada banyak sudut pandang menyangkut penjelasan al-Bâri’. Pertama, ia mengacu pada Zat yang menciptakan sesuatu dari ketiadaan, Zat yang menciptakan sesuatu belum pernah ada sebelumnya. Dikatakan bahwa Allah adalah al-Bâri’ makhluk, Zat yang menciptakan segala sesuatu dari nirwujud (non-existence).
Makna lain adalah memotong atau memangkas sesuatu. Akar kata kerja ini artinya “memotong dan membentuk sesuatu seperti tongkat atau pensil”.
Seseorang bisa mengatakan bahwa penyakit telah meninggalkannya, atau bahwa ia bebas dari suatu klaim yang diajukan oleh yang lain. Ia pun bisa diterapkan pada secara metaforis seperti “orang yang memutuskan kemitraannya dengan yang lain” atau “seorang perempuan yangberpisah dari suarninya.”
Allah telah bara’a, menciptakan atau menginisiasi, makhluk tanpa suatu model. Bariyyah artinya mereka yang telah Dia ciptakan (makhluk).
Arti lain adalah menyembuhkan atau mengobati. Suatu ungkapan hikmah menyatakan bahwa barangsiapa disembuhkan, seharusnya mengungkapkan rasa syukur kepada Zat yang menyembuhkannya.
Ja’far bin Sulaiman dikutip pernah mengatakan bahwa suatu ketika ia melewati seorang perempuan tua-buta yang sedang menangis, maka ia bertanya kepadanya, “Apa gerangan yang terjadi padamu?”
Perempuan itu menjawab, “Berhentilah memijit hidungmu yang bukan milikmu. Aku telah mencapai tingkat kehidupan ini tanpa membutuhkanmu atau yang lainnya.”
Lantas perempuan itu mengimbuhkan, “Sudahkah engkau mendengar ungkapan yang dilontarkan oleh kekasih Allah yang berkata, ‘[Allah] Yang menciptakanku, dan Dia yang menuntunku. Dan yang memberiku makan dan menyediakanku minum. Dan ketika aku sakit maka Dia menyembuhkanku, (QS 26:78-80)?”
Oleh sebab itu, barangsia yang mengetahui pengertian hakiki dari al-Bâri’, adalah orang yang hatinya tidak dipengaruhi oleh peristiwa- peristiwa,iatau tidak bisa pula peristiwa-peristiwa penting melintasinya dengan kejutan.
Juga dikatakan bahwa siapa saja yang mengetahui siapakah al-Bâri’ yang sesungguhnya, akan menjauhkan dirinya klaim- klaim memiliki hubungan dengan dirinya sendiri, takut akan kekuasaan Pencipta-Nya, mengetahui bahwa ia tidak membuat kenyamanan dalam menyembah dan menaati-Nya.
Juga dikatakan bahwa Dialah Zat telah memisahkan Diri-Nya sendiri dari setiap orang lainnya, Zat Yang tidak ternah terkejut dengan peristiwa apapun yang terjadi. Juga, dikatakan bahwa siapa saja yang mengenali-Nya sebagai al-Bâri’ akan menjauhkan dirinya dari melakukan sesuatu yang terlarang, meminta perlindungan kepada Sang Maharaja, Yang Maha Mengampuni.
14. Al-Mushawwir (Maha Pembentuk)
Allah berfirman, “Dialah Allah, Maha Menciptakan, Yang Mengadakan, Maha Membentuk Rupa (atau warna) atas apa yang Dia ciptakan. Kepunyaan-Nya adalah semua nama yang paling baik.” (QS 59:24).
Al-Mushawwir adalah Zat Yang membentuk, Yang memberi sesuatu bentuk dan wujud khususnya. Bentuk umum manusia berbeda dari bentuk non-manusia. Allah berfirman,
“...dan Dia membentukmu, dan menjadikan bagus bentukmu,” (QS 40:64);
“Dalam bentuk apapun Dia kehendaki, Dia menyusun (tubuh)-mu.” (QS 82:8); dan
“Dialah yang membentukmu dalam rahim (ibumu) sebagaimana yang dikehendaki-Nya.” (QS 3:6).
Al-Mushawwir artinya: Zat Yang menciptakan bentuk dan rupa apapun yang Dia kehendaki; Yang memperindah mereka menurut kebijaksanaan-Nya, yang memberikan segaia sesuatu bentuk dan rupa khususnya.
Dia menciptakan manusia dalam berbagai bertuk dan rupa, menjadikan sebagian dari mereka berbeda dengan yang lain dalam ukuran, fisik, kulit, dan lain-lain. Ini mungkin pengertian dari ayat yang mengatakan:
Dialah yang membentukmu dalam rahim (ibumu) sebagaimana yang dikehendaki-Nya; Tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS 3:6)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia, dari suatu saripati tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani, dalam suatu tempat yang terlindung. Kemudian, Kami jadikan air mani itu segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging; kemudian Kami jadikan dia ke dalam bentuk yang lain; maka Mahasuci Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS 23:12-14).
“Dan di antara tanda-tanda-Nya adalah penciptaan langit dan bumi dan berbagai bahasa serta warna kulit; Sesungguhnya dalam hal ini terdapat tanda-tanda bagi orang-orang (yang) berpikir.” (QS 30:22).
Setiap kali Rasulullah saw bersujud, beliau biasa berdoa, “Ya Allah! Kepada-Mu aku bersujud, kepada-Mu aku beriman, dan kepada-Mu aku bertawakal! Wajahku sujud kepada Zat yang menciptakan dan membentuknya, Yang menciptakan pendengaran dan penglihatan untuknya. Mahasuci Allah, sebaik-baik pencipta.”
Di antara doa-doa sujud Rasulullah saw adalah ini: “Wajahku telah tunduk kepada Zat Yang menciptakan dan membentuknya dan menjadikan bentuknya baik.” Al-Quran suci telah banyak mewartakan kepada kita perihal Allah, al-Mushawwir. Terkait dengan sifat ini, mari kita simak beberapa ayat berikut:
“Dan sungguh Kami telah menciptakan kamu, lalu Kami membentukmu (QS 7:11).
“Dia menciptakan langit dan bumi dengan Kebenaran dan memberimu hiasan pakaian yang indah dan (hanya) kepada-Nya-lah tempat kembalimu.” (QS 64:3)
“Allahlah yang menjadikan bumi bagimu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentukmu, dan menjadikan bagus bentukmu, dan memberimu rezeki dengan yang baik; Demikianlah Ia, Maka pujilah Allah Tuhanmu, Tuhan Semesta Alam.” (QS 40:64)
“Dialah yang membentukmu dalam rahim (ibumu) sebagaimana yang dikehendaki-Nya; Tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS 3:6)
“Wahai engkau manusia! Apakah yang telah melengahkan kamu dari Tuhan kamu. Yang Maha Pemurah. (Dialah) yang menciptakan kamu lalu menyempumakan (memberi bentuk) kamu dan (memberikan kamu sebuah tubuh) yang betul-betul seimbang. Dalam bentuk apapun Dia kehendaki, Dia menyusun (tubuh)-mu.” (QS 82:6-8).
“Dialah Allah, Maha Menciptakan, Yang Mengadakan, Maha Membentuk Rupa, Kepunyaan-Nya adalah semua nama-nama yang paling baik; Bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi; dan Dia-lah Maha Perkasa, Mahabijaksana.” (QS 59:24).
“Dan sesungguhnya Dialah yang menciptakan pasangan, laki-laki dan perempuan. Dan sperma tatkala ia dipancarkan. Dan sesungguhnya atas-Nya (saja) kebangkitan yang kedua.” (QS 53:45-47).
15. Al-Ghaffâr (Maha Pengampun)
Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat dan beriman dan beramal saleh, kemudian ia tetap mengikuti jalan (petunjuk) yang benar.” (QS 20:82).
Al-Ghaffâr adalah salah satu sifat Allah yang diturunkan dari kata benda ghufr dan ghufran, yang artinya adalah: melapisi, menyembunyikan, menutupi. Maghfirah (ampunan) Allah berarti Allah menutupi dosa-dosanya dan dengan ampunan-Nya, Dia memberi manusia (pendosa) karunia dan ampunan-Nya.
Al-Ghaffâr adalah Zat yang telah mengejawantahkan sesuatu yang indah dan menutupi sesuatu yang buruk di kehidupan dunia ini dan Yang tidak menimpakan siksa-Nya kepadanya di kehidupan akhirat. Dialah Zat Yang mengampuni dosa-dosa, menutupi kekurangan-kekurangannya, mengikis habis dosa-dosa dengan menerima taubatnya. Dia menerima taubat hamba-hamba-Nya.
Dialah Zat Yang Mengampuni dosa-dosa dan memalingkan mereka kepada kebenaran dengan karunia agung-Nya. Dialah Zat Yang mengampuni dosa-dosa meskipun dosa-dosa itu besar dan Dia menutupi dosa-dosa sekalipun jumlahnya banyak.
Kata-kata tersebut diturunkan dari ampunan yang telah sering diasosiasikan dengan Allah. Salah satunya adalah al-Ghâfir sebagaimana yang tercantum dalam ayat ini: “Yang mengampuni (setiap) dosa.” (QS 40:3).
Yang keduanya adalah al-Ghafûr, Dia berfirman, “... setelah itu meminta pengampunan dari Allah, maka akan menjumpai Allah Yang Maha Pengampun Maha Penyayang.” (QS 4:110).
Yang ketiga adalah al-Ghaffâr sebagaimana dalam ayat: “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat dan beriman dan beramal saleh.” (QS 20:82).
“...carilah oleh kamu pengampunan dari Tuhanmu! Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Pengampun.” (QS 71:10); dan,
“... Ingatlah! Dia adalah Yang Maha Perkasa, Maha Pengampun.” (QS 39:5).
Terbukti, dengan merujuk pada ayat-ayat al-Quran suci, semua sifat ini, yang diturunkan dari ampunan, hanya diterapkan kepada Allah, Yang Mahamulia. Terkait dengan ini, setelah membunuh seorang Koptik, Musa as berdoa kepada Tuhannya, “Musa berdoa, ‘Ya Tuhanku! Sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, karena itu ampunilah aku.’ Maka Allah mengampuninya sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun Maha Penyayang.” (QS 28:16).
Pertama-tama ia mengakui dosanya, baru memohon ampunan-Nya. Allah juga memberikan ampunan atas kesalahan Daud as dengan mengatakan, “Maka Kami mengampuninya, (QS 38:25).
Allah berfirman kepada Nabi Muhammad saw, “Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang...” (QS 48:2).
Dalam contoh-contoh ini, tidakkah Dia mengungkapkan sebuah dosa lalu memaafkannya? Dalam salah satu doanya, Nabi Muhammad saw berkata, “Tuhan, aku memohon kepada-Mu untuk mengampuniku suatu ampunan yang jelas dan yang tersembunyi, dan untuk mengampuni dosa yang terbuka dan tersembunyi.”
Arti maghfirah, akar kata dari al-Ghaffâr, al-Ghâfir, dan al-Ghafûr adalah jelas dalam ayat berikut:
“Yang mengampuni (setiap) dosa, Yang Menerima Taubat, Yang Keras Hukuman-Nya, Yang mempunyai Karunia; Tidak ada Tuhan selain Dia, hanya kepada-Nyalah titik akhir perjalanan (hidup) (segala sesuatu).” (QS 40:3).
Al-Ghaffâr adalah Zat Yang sangat sering menutupi [dosa-dosa dan kekurangan-kekurangan para hamba-Nya], sehingga Dia tidak menyebarkan dosa-dosa mereka di kehidupan dunia ini ataupun dalam kehidupan akhirat nanti. Salah seorang sahabat Rasulullah saw suatu ketika ditanya,
“Apakah engkau mendengar Rasulullah berkata berkaitan dengan doa diam seseorang?”
Dia menjawab dengan mengatakan bahwa dia telah mendengar Rasulullah saw berkata, “Allah, Yang Mahamulia dan Mahaagung, akan menyentuh hamba-Nya yang beriman kepada-Nya dengan rahmat-Nya dengan menabiri dosanya dari muka umum di kehidupan dunia ini, dan di kehidupan akhirat kelak Dia akan bertanya kepadanya tentang setiap dan semua dosa dan aib yang telah ia lakukan.
Ketika si hamba mengakui semuanya dan menyadari bahwa ia akan binasa karena dosanya itu, Yang Mahakuasa akan mengatakan, “Telah Aku selubungi dosa-dosamu di kehidupan singkat dulu, dan di saat ini Aku akan mengampuni dosa-dosa tersebut.”
Kemudian ia akan menerima catatan amal baiknya.” Semua ini terjadi pada orang-orang yang mengimani-Nya; adapun berkenaan dengan orang yang tidak beriman dan orang-orang munafik, Dia akan memperlakukan mereka secara berbeda.
16. Al-Qahhâr (Maha Mengalahkan)
Allah SWT berfirman, “(Hanya) Allahlah pencipta segala sesuatu, dan Dia adalah Tuhan Yang Mahatunggal lagi Maha Mengalahkan.” (QS 13:16.)
Secara linguistik al-Qahhâr diturunkan dari qahr, menaklukkan, menundukkan, membinasakan, mendapatkan kemenangan. Ia berarti pengambilalihan sesuatu atau seseorang dengan niat untuk menghinakannya. Al-Qahhâr adalah supelatif dari al-Qahir, Yang Maha Menaklukkan atau Maha Menundukkan.
Sesungguhnya Allah adalah Zat yang―dengan kekuasaan-Nya―telah menundukkan segala sesuatu yang Dia ciptakan atas otoritas dan kekuasaan-Nya, menggunakan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya, baik mereka suka ataukah tidak. Al-Qahir adalah Zat yang memiliki kekuasaan atas semua makhluk; “...dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya.” (QS 12:21).
Al-Qahhâr adalah Zat yang dendam-Nya tak seorang pun bisa menahan. Dia menghinakan para penindas, memecahkan tulang punggung para raja dan kaisar. Dialah Zat yang punya kekuasaan. Selain Dia, makhluk-makhluk tidak punya kekuatan dan kekuasaan. Tanpa kekuasaan-Nya semua wujud tidak punya daya.
Apabila kita tunduk kepada-Nya, Dia akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita, namun jika sebaliknya, Dia akan menjadikan kita menderita ketika kita mencoba meraih tujuan-tujuan kita. Dialah Zat yang meremukkan punggung-punggung para tiran dan penindas dari kalangan musuh-musuh-Nya, menaklukkan mereka dengan mencabut kehidupan mereka, dan dengan menghinakan mereka, ketika tidak ada sesuatu pun dalam eksistensi yang bisa lari atau luput dari kekuatan dan kekuasaan-Nya: setiap orang dan segala sesuatu tak berdaya dalam genggaman-Nya.
Al-Qahhâr menjalankan kehendak-Nya berkaitan dengan makhluk-makhluk-Nya, entah mereka suka ataukah tidak, entah mereka bersedia ataukah tidak. Dia telah tundukkan jiwa-jiwa para ‘âbid dengan memasukkan ke dalam hati-hati mereka rasa takut akan pembalasan- Nya, dan hati-hati mereka yang dikaruniai dengan pengetahuan dengan kekuatan kedekatan kepada-Nya, dan jiwa-jiwa mereka yang mencintai-Nya dengan menyingkapkan kebenaran tentang-Nya kepada mereka.
Telah Dia taklukkan semua wujud dengan kematian, sehingga tak seotang pun aman dari-Nya, tidak juga malaikat yang menikmati kedudukan istimewa di sisi-Nya, atau seorang nabi, ataupun rasul. Bahkan Allah akan menjadikan malaikat pencabut nyawa, Izrail, merasakan kematian; sehingga ketika jiwanya dicabut, malaikat maut akan berkata, “Demi kemuliaan-Mu sungguh aku bersumpah bahwa sekiranya aku tahu iasanya kematian adalah seperti ini, aku takkan pernah mencaburnyawa siapaprin!”
Untuk arti semacam inilah, kata qahr, pencabutan nyawa semua wujud, diberikan sebagaimana terdapat dalam ayat berikut, “(Yaitu) Hari ketika mereka keluar (dari kubur), ketika tiada suatupun yang tersembunyi dari Allah. (lalu sebuah suara akan bertanya): “Kepunyaan siapakah kerajaan hari ini? (kerajaan ini) adalah kepunyaan Allah Yang Mahaesa, Maha Mengalahkan!” (QS 40:16).
Apabila seseorang beriman kepada Allah dan ingin mempersonifikasikan dirinya dengan makna-makna yang terkandung dalam sifat ini, maka ia harus menaklukkan dirinya sendiri, nafs-nya, dan mengendalikan hasrat-hasrat buruknya, dengan tidak merencanakan bekerja sama dengan setan, dan dengan kembali kepada Allah, tunduk pada kehendak-Nya dalam semua urusan. Jalur dimana manusia menurunkan cahaya dari sifat al-Qahhâr adalah bahwa ia harus memandang naf-nya, yang persis ada di dalam dirinya, sebagai seburuk- buruk makhluk, sehingga ia menundukkannya dan memeranginya, mengalahkan seapik mungkin lawan yang menyuruhnya berbuat ini- itu, sehingga tidak ada pilihan pada dirinya selain berserah diri pada perintah-perintah Ilahi.
Selanjutnya ia harus menundukkan musuh bebalnya, yakni setan, meneruskan perlawanannya terhadap dorongan- dorongan buruknya, yang menghalangi jalannya menuju Tujuan Puncak: Allah. Kemudian ia barns menaklukkan hasrat-hasrat dan dorongan-dorongan hewaninya dengan tidak mengikuti apa yang mereka hembuskan kepadanya.
17. Al-Wahhâb (Maha Pemberi)
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau palingkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk, dan karuniakanlah kepada kami rahmat-Mu, karena sesungguhnya Engkau dan (hanya) Engkaulah yang Maha Pemberi.” (QS 3:8).
Al-Wahhâb diturunkan dari kata benda hibah, yang kata kerjanya, yahib, adalah: menjadikan seseorang pemilik dari apa yang pemberi―sebagai pihak pertama (pelaku)―miliki secara sah tanpa permintaan pihak kedua untuk setiap kompensasi sebagai balasannya. Ia merupakan hadiah cuma-cuma dari setiap balasan atau perolehan dari si pemberi. Jika seseorang mengeluarkan hadiah-hadiah semacam itu begitu gering, ia akan memperoleh julukan jawad dan wahhâb, orang yang pemurah, dermawan. Allah Yang Mahakuasa dipaparkan sebagai Yang Maha Pemurah, Maha Pemberi, yakni al-Wahhâb, karena hanya Dia yang memberikan kepada setiap orang menurut sarana-sarananya.
Di antara sifat-sifat Allah adalah al-Wahhâb dan al-Wahib. Sifat yang kedua berarti: pemberi, sementara yang pertama adalah superlatif dari yang kedua. Orang yang wahab adalah orang yang banyak memberikan hadiah-hadiah. !
Al-Wahhâb adalah Zat yang memberi tanpa pamrih. Dia melimpahkan karunia-karunia-Nya kepada para hamba-Nya tanpa tujuan egois. Bahkan Dia memberi tanpa diminta. Dialah Zat yang mengawali pemberian, dan Dialah yang banyak memberi.
Sesungguhnya Allah adalah al-Wahhâb lantaran Dialah Yang Maha Pemurah, Maha Pemberi, Zat yang tak bosan-bosannya berusaha mendekati para hamba-Nya, Yang dengan murah hati melimpahkan karunia-karunia-Nya kepada mereka, Yang memberi mereka sebelum mereka memohon kepada-Nya, Yang memberi setiap orang apa yang ia butuhkan.
Al-Wahhâb melimpahkan rahmat kepada para hamba-Nya, dan ini menunjukkan keluasan cakupan pemberian-Nya kepada setiap orang ketika Dia terus menerus memberi. Dia tidak memberi―ataupun Dia mencari keuntungan, atau laba―untuk Diri Sendiri dengan melakukan demikian. Al-Wahhâb mencurahkan kepada kita karunia-karunia-Nya tanpa punya alasan atau dalih untuk berbuat demikian. Al-Wahhâb memberi tanpa meminta pamrih atas apa yang diberikan-Nya, dan Dia menyebabkan semua makhluk mati tanpa tujuan khusus yang Ia cari untuk Diri-Nya sendiri.
Terkait dengan hal ini, Allah berfirman, “Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak lelaki kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS 42:49)
Setiap kali Rasulullah saw bangun di mal am hari, beliau berdoa demikian: “Tuhan, tiada tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau. Aku memohon ampun atas dosa-dosaku, dan aku meminta kepada-Mu, denganrahmat-Mu.ya Allah, tambahkan ilmuku, jangan biarkan hatiku menyimpang setelah mendapatkan petunjuk dan karuniailah aku dari- Mu, rahmat karena sesungguhnya Engkau adalah al-Wahhâb...” [11]
18. Al-Razzâq (Maha Pemberi Rezeki)
Al-Razzâq diturunkan dari rizq, rezeki, atau sesuatu dari setiap yang berrnanfaat bagi manusia, hewan, tumbuhan, dan seterusnya, dimana yang belakangan diberi rezeki atau dibantu dalam pertumbuhannya. Hujan juga disebut rizq; ia membantu keberlangsungan setiap makhluk hidup di planet kita.
Dalam surat adz-Dzâriyât [51]:58, kita baca: “Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kukuh.” Ayat lain yang merujuk pada rezeki kita adalah ini: “Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezeki kalian dan apa-apa yang dijanjikan kepada kalian.” (QS 51:22).
“Dan di langit terdapat rezeki kalian” bisa menjadi suatu rujukan pada hujan yang turun dari surga, langit. [12]
Adapun frase “dan apa-apa yang dijanjikan kepada kalian”, ini bisa jadi sebuah tanda bahwa akhir kehidupan di muka bumi ini akan diakhiri dengan suatu benturan atau benda kosmik berukuran besar dengan bumi.
Tapi ini bukan tempatnya untuk mendiskusikan tafsiran atau spekulasi ini. Jika Allah menghendaki, saya ingin menulis sebuah tafsir utuh al-Quran suci yang akan memuat penafsiran dan spekulasi semacam itu yang belum pernah ditulis dalam bahasa Inggris sebelumnya. Jika pembaca berkeinginan melihat buku seperti itu diterbitkan, pembaca diminta untuk berdoa kepada Yang Mahakuasa agar hal itu bisa terealisasi. Allah mendengar setiap dan semua doa tak peduli siapa pendoanya sepanjang dia benar-benar seorang yang beriman kepada-Nya.
Kata rizq bisa digunakan dalam pengertian pendapatan, nafkah, uang, kekayaan..., atau perolehan sesuatu yang baik, entah itu selama masa hidup di dunia ini atau di dunia yang akan datang, atau ia pun bisa diterapkan pada keberuntungan, atau bahkan segala sesuatu yang bisa dimakan.
Al-Razzâq adalah superlatif dari al-Raziq, Zat yang memberikan rezeki. Al-Razzâq tidak diterapkan kepada selain Allah. Ada dua jenis rezeki: satu rezeki tubuh, semisal makanan dan minumana, sedangkan yang lainnya adalah rezeki jiwa, yakni pengetahuan atau inspirasi sejati.
Yang kedua ini merupakan jenis rezeki terbaik semata-mata disebabkan rezeki jiwa bersifat abadi, sedangkan rezeki tubuh memiliki waktu sesaat.
Al-Razzâq adalah Zat yang menciptakan semua jenis rezeki, Yang memperluas karunia-Nya atas rezeki yang bisa diperoleh makhluk-Nya, Yang memberikan sarana-sarana kepada mereka untuk mendapatkan rezeki mereka dengan mudah.
Dia memberi rezeki kepada semua makhluk-Nya dengan sarana apapun yang dibutuhkan agar mereka tetap hidup. Dia memberi rezeki pikiran-pikiran dengan pengetahuan, hati dengan pernahaman, jiwa dengan manifestasi, tubuh dengan makanan, dan seterusnya. Hanya Dia dan Dia yang bisa berbuat demikian.
Siapapun yang mengetahui fakta ini akan menginsafi fakta tersebut bahwa rezekinya sendiri, dan bahwa rezeki setiap orang dan sesuatu yang lain, dikendalikan oleh tiada sesuatupun selain Allah.
Rujukan kepada rizq telah tersebar di beberapa ayat suci al-Quran misalnya:
“Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang Ia kehendaki tanpa batas.” (QS 2:212)
“mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman; mereka memperoleh ampunan dan rizki yang mulia.” (QS 8:74)
“Tiada satu makhluk pun yang bergerak di muka bumi ini yang tidak dijamin rezekinya oleh Allah.” (QS 11:6)
“...karena rezeki (yang disediakan oleh) Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.” (QS 20:131)
“...sesungguhnya apa-apa yang kalian sembah selain Allah tidak bisa memberi rezeki kepadamu sedikitpun.” (QS 29:17)
“Sesungguhnya ini adalah benar-benar rezeki Kami yang tiada habis-habisnya.” (QS 38:54)
“Tuhan Mahalembut kepada hamba-hamba-Nya. Dia memberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dan Dia adalah Yang Mahakuat dan Mahabesar.” (QS 42:19)
“Katakanlah (hai Muhammad utusan Kami), ‘Apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan, dan Allah sebaik-baik pemberi rezeki.’” (QS 62:11)
“Barangsiapa takut pada (kemurkaan) bertakwa kepada Allah, maka Dia akan berikan kepadanya jalan (untuk menyelesaikan kesulitan-kesulitannya). Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak ia sangka-sangka Allah.” (QS 65:2-3)
Salah satu adab Islam yang diilhami oleh sifat al-Razzâq adalah bahwa seorang hamba Allah percaya bahwa tidak aaa sekutu di sisi Tuhannya dalam memberikan rezeki, sebagaimana halnya Dia tidak punya sekutu dalam menciptakan segala sesuatu. Itulah sebabnya, ia meminta kepada-Nya segala sesuatu baik yang besar maupun yang kecil. Dia juga merasa puas dengan apa yang telah al-Razzâq berikan kepadanya, sebagaimana Dia berfirman,
“Dan orang-orang yang jika membelanjakan hartanya, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak juga kikir, tetapi pembelanjaan itu ditetapkan di antara keduanya.” (QS 25:67)
Karunia Allah yang melimpah sesungguh tak berbatas. Dialah satu-satunya Zat yang berfirman dalam ayat berikut:
“Tiada satupun mahkluk yang melata (bergerak) di muka bumi ini yang tidak dijamin rezekinya oleh Allah. Dan Dia mengetahui tempat menetapnya dan tempat penyimpanannya. Segala (hal) sudah ditetapkan dalam Kitab yang nyata.” (QS 11 :6)
19. Al-Fattâh (Maha Memberi Keputusan)
Yang Mahakuasa telah berfirman, “Katakanlah (olehmu): ‘Tuhan kami akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia akan memberi keputusan (yaftahu) di antara kita dengan benar; dan Dia Maha Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui.’” (QS 34:26).
Dalam bahasa Arab, fataha, kata kerja, berarti “membuka”, dan miftah artinya kunci, sedangkan fath berarti kemenangan atau penaklukan. Fath juga berarti air yang mengalir, bunyi gemericik, atau sungai. Ia juga berarti: mendamaikan di antara dua pihak yang saling berlawanan. Istiftah berarti: meminta pertolongan atau mencapai kemenangan.
Baik al-Fatih dan al-Fattâh adalah sifat-sifat Allah. Keduanya terdapat dalam teks al-Quran suci. Al-Fattâh adalah superlatif dari al-fath. Mengatakan bahwa Allah adalah al-Fattâh berarti menyatakan bahwa Dia adalah Zat yang memutuskan di antara orang-orang yang Dia ciptakan, para hamba-Nya, yang taat maupun yang durhaka. Ia diturunkan dari fath yang artinya, dalam penggunaan semacam itu, arbitrasi atau pengambilan-keputusan. Ia ada dalam pengertian ini dalam ayat yang berbunyi, “Wahai Tuhan kami! Berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil), dan Engkaulilh adalah Yang Terbaik di antara para pemberi keputusan.” (QS 7:89).
Ia juga berarti: Zat yang memberi kemenangan sebagaimana terdapat dalam surat al-Anfal ayat 19, “Jika kalian menginginkan kemenangan (intastaftihu), maka sesungguhnya kemenangan (fath) telah datang kepada kalian.”
Al-Fattâh adalah Zat yang membuka masalah-masalah dan isu-isu (yang mengalami) jalan buntu, Yang menyingkapkan kebenaran, Yang menyederhanakan apapun yang tampaknya rumit, Yang mengendalikan perkara-perkara langit dan bumi: “Dan pada Dia-lah kunci-kunci (harta benda) yang gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui segala yang ada di daratan dan di lautan.” (QS 6:59).
Maka Dialah Zat yang membuka apa yang tertutup dan Yang mempunyai kunci atas segala sesuatu, Yang membuka lebar-lebar pintu-pintu rezeki dan mencurahkan hujan dimana Dia menghidupkan kembali tanah-tanah yang tandus, Yang memberi kejayaan dan pertolongan bagi para nabi-Nya yang Dia utus ke berbagai negeri sehinga cahaya kebenaran bisa bersinar di dalamnya, sehingga Dia bisa menyucikan jiwa-jiwa mereka dari niat-niat buruk. Dia membuka hati-hati yang tertutup dan memenuhinya dengan cahaya-Nya sehingga hati-hati tersebut menjadi damai, dan mereka menikmati perasaan sukses.
Sifat al-Fattâh mendorong perbuatan-perbuatan baik yang semestinya diikuti oleh siapapun yang secara benar memahami pengertian-pengertian tersebut berikut implikasinya, yang secara menjeluk (deeply) merenungkan pengertian-pengertian tersebut, yang secara tulus ingin diberkati olehnya (sifat al-Fattâh).
Di antara perbuatan-perbuatan mulia tersebut adalah seseorang harus memelihara sikap pandangan elokakan kemurahan Allah, secara terns menerus berharap menerima karunia-karunia-Nya, senantiasa mencari rahmat-Nya. Dia meninggalkan ketergesa-gesaan, perasaan puas dengan nasibnya, dan dengan apapun yang Tuhan telah perintahkan kepadanya. “Kebahagiaan adalah harta karun yang tidak pernah habis-habisnya,” demikian sebuah peribahasa Arab. Alangkah benarnya!
20. Al-‘Alîm (Maha Mengetahui)
Allah SWT berfirman, “... bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Ia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS 8:61).
Al-‘Alîm diturunkan dari ‘ilm, ilmu, hasil dari memahami kebenaran tentang sesuatu dan dari keyakinan pasti yang sesuai dengan realitas. Al-‘Alîm, ketika diterapkan kepada Yang Mahakuasa, adalah Zat Yang Maha Mengetahui. Sesungguhnya, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu dalam eksistensi bahkan sebelum segala sesuatu itu mulai ada. Tak sesuatu pun yang bisa luput dari pengetahuan-Nya. Dialah Zat yang ilmu-Nya serba-mencakup, baik yang gaib maupun yang nyata, kecil maupun besar. Dia mengetahui awal ataupun akhirnya, apa yang di atas ataupun yang di bawahnya, dan apa yang hasil darinya.
Demikian juga, Al-‘Alîm adalah Zat Yang mengetahui apa yang telah dan akan terjadi. Pengetahuan tentang yang gaib ada di sisi-Nya dan demikian pula pengetahuan akan Saat (Hari Kiamat). Dia tabu apa yang dikandung rahim, kapan turun hujan, apa yang diperoleh setiap jiwa, niat buruk apa yang orang sembunyikan, hasrat duniawi apa yang disembunyikan olehnya, kapan dan di mana seseorang akan mati. Al- ‘Alîm adalah Zat Yang mengetahui detail-detail segala sesuatu, kekhususan segala sesuatu, apa yang disembunyikan dalam kesadaran dan jiwa seseorang. Tak sesuatu pun, bahkan berat satu atom pun di muka bumi ataupun di langit, bisa luput dari ilmu-Nya. Dari kata ‘ilm telah banyak kata lain yang diturunkan.
Al-‘Alîm adalah satu. Ia terdapat dalam surat al-Ma’idah [5]:109, “...sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib.” Turunan lainnya adalah al-A’lam yang terdapat dalam surat al-An’am [6]:124, “Allah Maha Mengetahui dimana menempatkan tugas kerasulan-Nya.” Al-‘Alîm adalah superlatif dari al-‘Alim.
Al-Quran suci memuat ayat-ayat berikut yang menunjukkan pelbagai makna dan jenis pengetahuan:
“Ia mengetahui bahwa di dalam dirimu terdapat kelemahan.” (QS 8:66)
“Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan.” (QS 13:8)
“Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa danamu begitu sesak atas apa yang mereka katakan,” (QS 15:97)
“Dia telah mengetahui bahwa kemungkinan di antara kamu ada yang sakit.” (QS 73:20)
Al-‘Alîm, salah satu dari sembilan puluh sembilan nama (sifat) Allah, terdapat dalam banyak ayat al-Quran seperti:
“...tidak ada yang kami ketahui kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau (saja-) lah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana”. (QS 2:32)
“... sesungguhnya Allah Maha Mengetahui (segala rahasia) di dada (hati).” (QS 11:5)
“... Dan matahari berjalan ke tempat peristirahatan yang ditentukan. Yang demikian adalah ketetapan Yang Mahaperkasa Maha Mengetahui.” (QS 36:38)
“Turunnya Kitab ini adalah dari Alah Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui.” (QS 40:2)
Kata ini diciptakan sebagai superlatif yang diturunkan dari suatu kata kerja yang artinya adalah: “mengetahui atau menyadari.” Rasulullah saw diriwayatkan pernah mengatakan bahwa barangsiapa yang bermohon doa berikut sebanyak tiga kali di pagi hari: “Dengan nama Allah, yang dengan nama-Nya tak sesuatu pun, baik di muka bumi ataupun di langit, bisa merusak dan Dia Maha Mendengar Maha Mengetahui,” tidak akan diganggu oleh musibah tiba-tiba apapun sampai sore hari, danjika ia membacanya di sore hari, ia tidak diganggu oleh musibah apapun sampai fajar.
21. Al-Qâbidh (Maha Menyempitkan)
Allah berfirman dalam al-Quran suci: “...dan Allahlah yang menyempitkan (yaqbidhu) dan melapangkan (rezeki) dan kepada- Nyalah kalian akan kembali.”(QS 2:245).
Secara linguistik, qabdh, akar kata kerja dari al-Qâbidh, berarti: mengambil, memegang, menangkap, mencengkeram, menahan, mengendalikan, dan sejenisnya. Ia berarti pegangan sesuatu dengan tangan seperti gagang pedang, dan lain-lain. Ia dimaksudkan sebagai suatu cara untuk mengambil kendali secara tegas akan sesuatu atau seseorang. Allah Yang Mahakuasa telah berfirman dalam pengertian ini: “... dan Allahlah yang menyempitkan dan dan melapangkan (QS 2:245), artinya Dia menyempitkan, menahan, rezeki-Nya dari sebagian orang sedangkan bagi sebagian yang lain melapangkannya.
Al-Qâbidh artinya “Zat yang menahan jiwa-jiwa dengan menaklukkan mereka, ruh-ruh dengan menjalankan keadilan dalam perkara mereka, sarana-sarana rezeki dengan kebijaksanaan-Nya, dan kalbu-kalbu dengan menjadikan mereka takut akan kemuliaan-Nya.” Al-Qâbidh adalah Zat yang menyebabkan jiwa-jiwa dicabut dari tubuh-tubuh mereka, kediaman sementara mereka, di saat kematian. Malaikat yang mencabut jiwa-jiwa (yakni qabidh) dalam Islam disebut Izrail. Al-Qâbidh adalah Zat yang menguasai hati-hati, Yang mengendalikan mereka, Yang memisahkan mereka melalui kurangnya ilmu mereka, melalui pengawasan mereka sendiri. Dia menguasai kalbu-kalbu, sehingga Dia menyingkapkan kepada mereka kebesaran dan kemuliaan-Nya. Dia melapangkan hati-hati yang lain melalui sarana-sarana dimana Dia lebih mendekatkan kepada mereka lantaran kebaikan, kemurahan, dan keindahan-Nya. Al-Qâbidh adalah Zat yang menyingkapkan kemuliaan-Nya kepada kalian sehingga Diamelindungi kalian; Dialah Zat yang menjadikan kalian takut berpisah dari-Nya.
Al-Qâbidh adalah Zat yang mengendalikan seluruh kosmos. Dalam ayat berikut, Dia membuat suatu rujukan pada pengendalian-Nya atas bumi: “... bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya.” (QS 39:67).
Sudah pasti, Yang Mahakuasa tidak memiliki baik tangan kanan maupun tangan kiri. Dia tidak punya tangan sama sekali; ini hanya gambaran pembicarian yang bermakna kontrol sepenuh-Nya atas langit dan bumi dan segala sesuatu pada keduanya. Pengembangan luas bumi dilakukan oleh-Nya sepanjang kehidupan dunia ini. Firman-Nya, “Bukankah Kami telah menjadikan bumi sebuah permukaan yang Luas?” (QS 78:6) artinya membentang seperti permadani. Pada hari kiamat, bumi pun akan di sana, namun ia akan tampak sangat berbeda dari penampakannya yang sekarang...; segala sesuatu mengenai bagaimana ia akan tampak dan apa yang akan terjadi di atas dan di bawah bumi diperinci dalam kitab-kitab hadis, yang akan, insya Allâh, melihat cahaya untuk pertama kalinya dalam ba:hasa Inggris..., tapi jangan membiarkan kita menyimpang di sini dengan meminjam dari buku-buku lain saya yang segera rutulis, Insya Allâh!
Al-Qâbidh menerima pengetahuan dan memuji amal sedekah; menjadi liemurah berarti menjadi hamba-Nya yang sejati, seorang yang diberkati. Dia berfirman, “...Allah menerima taubat hamba-hambanya dan menerima zakat. (QS 9:104).
Dia menyempitkan hati-hati, yakni menempatkan beban-beban berat pada hati, beban kesedihan dan kecemasan, ketakutan atau aspirasi, dan Dia pun melapangkannya.
22. Al-Bâsith (Maha Melapangkan)
Secara linguistik, al-Bâsith berarti: seseorang yang merentangkan tangannya, baik itu sebagai isyarat kehendak baik (untuk bersalaman dengan orang lain), atau sebaliknya, (untuk membahayakan orang lain, baik dengan menimpakan kerusakan fisik kepadanya, atau dengan menyebabkan kerusakan kepada kekayaannya. atau dirinya sendiri). lni bisa diterapkan secara literal ataupun secara metaforis. Yang Mahakuasa, misalnya, telah menukil kata-kata Qabil putra Adam kepada saudaranya Habil: “Jika kamu menggerakkan [basathta] tanganmu kepadaku untuk membunuhku, ... (QS 5 :28).
Ia juga berarti membuat ridha. Menurut sebuah hadis, Rasulullah saw telah berkata, “Fathimah bagian dari diriku. Apapun yang membuatnya ridha, membuatku ridha, dan apapun yang menjadikannya tidak ridha, membuatku tidak ridha juga.” Secara literal, ia berarti menenangkan otot-otot muka untuk mengungkapkan kesenangan dan kebahagiaan, kegembiraan atau kesenangan; semua pengertian lain terbit dari ini. Inbisath, kata bendanya, berarti, di antara makna-makna lain, melepaskan kesederhanaan. Al-Bâsitha adalah trakta pembentangan tanah, dan basth artinya ekspansi atau penyebaran.
Al-Bâsith adalah Zat yang memuaskan jiwa-jiwa dengan menjadikan mereka bahagia dan puas. Dia adalah Zat menanamkan benih-benih kehidupan dalam tubuh-tubuh untuk menanqai awal kehidupan di dalamnya. Pada hari kebangkitan, Dia mengembalikan kehidupan mereka untuk menunjukkan kepada manusia, di hari akhirat, apa yang biasa mereka lakukan selama kehidupan sementara mereka di dunia ini.
Sifat al-Bâsith tidak ada dalam teks al-Quran, namun derivasinya pastilah ada. Berikut ini merupakan contoh-contoh dimana derivasi- derivasi semacam itu ada:
“Tidak demikian, kedua tangan-Nya terbuka lebar (mabsûthatâni); Dia menafkahkan sebagaimana yang Dia kehendaki.” (QS 5:64)
“Allah yang mengirimkan angin, lalu angin itu menaikkan awan, kemudian Dia membentangkannya (fayabsuthuhu) di langit sesuai dengan kehendak-Nya dan menjadikannya bergumpal-gumpal sehingga kalian melihat cahaya yang keluar dari dalamnya; dan tatkala Dia menurunkannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari hamba-Nya tiba-tiba mereka bergembira.” (QS 30:48)
“Dan sesungguhnya Allah telah menjadikan untukmu bumi sebagai hamparan.” (QS 71:19)
Al-Quran membicarakan penghiasan tubuh-tubuh dengan kekuatan, “...dan [Tuhan] telah melebihkan kepada kalian kekuatan tubuh...” (QS 7:69).
Juga ia membicarakan perihal pengetahuan dan kekuatan fisik yang dikaruniakan kepada manusia dalam ayat, “...dan Dia telah menambahkan kepadanya secara melimpah ilmu dan tubuh yang perkasa.” (QS 2:247).
Kita harus tunjukkan di sini bahwa kita semestinya menyebutkan sifat Allah lainnya yakni al-Qâbidh dan al-Bâsith untuk menyampaikan pengertian kekuasaan dan kebijaksanaan. Allah Yang Mahakuasa adalah al-Qâbidh sebagaimana Dia adalah al-Bâsith.
23. Al-Khâfidh (Maha Merendahkan)
Sebagian ulama berpendapat bahwa sifat al-Khâfidh dan al-Râfi’ semestinya digunakan secara serentak. Jika diterapkan kepada akidah Islam kita kedua sifat ini berkonotasi masing-masing salah petunjuk (misguidance) dan petunjuk. Jika diterapkan pada ilmu atau ketaatan kepada Allah, masing-masing mereka menunjukkan derajat-derajat tertinggi dan terendah. Dalam arti inilah mereka terdapat dalam ayat ini: “(Kejadian ini akan) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan lain).” (QS 56:3), artinya merendahkan orang- orang kafir yang ditempatkan pada derajat tertinggi neraka, dan meninggikan orang-orang beriman yang ditempatkan di derajat tertinggi surga.
Allah berfirman, “Dan rendahkanlah (wakhfidh) dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (QS 26:215). Khafdh adalah lawan dari raf : yang pertama menunjukkan menaklukkan, merendahkan status, menghinakan, mempermalukan. Kiamat kadang-kadang dipaparkan seperti dalam ayat, “(Kejadian ini akan) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan lain).” (QS 56:3), yang artinya merendahkan sebagian orang lantaran pelanggaran batas mereka, melemparkan mereka ke dasar neraka.
Dalam surat al-Hijr [15]:88, kita baca pengertian khafdh: “... dan rendahkanlah sayapmu (dengan sopan, yakni berendah hati berbuat baik) terhadap orang-orang beriman”, dan “Dan rendahkanlah dirimu kepada mereka berdua dengan penuh kelembutan.” (QS 17:24).
Al-Khâfidh adalah Zat yang merendahkan para penindas dan tiran, menurunkan kedudukan mereka, dan menghinakan mereka. Dia merendahkan semaunya. Al-Khâfidh adalah Zat yang merendahkan, melalui penghinaan, mereka semua yang memandang diri mereka sendiri sebagai besar, sombong, dan egois. Dia merendahkan seluruh bangsa. Dia merendahkan kepalsuan. Al-Khâfidh adalah Zat yang merendahkan derajat semua orang yang mendurhakainya, Yang menghina semua orang yang murka-Nya turun kepada mereka, Yang merendahkan derajat orang-orang yang patut diperlakukan demikian.
Dia menghinakan orang-orang kafir. Dia menghinakan orang-orang musyrik. Dia merendahkan orang-orang kafir dengan membukakan kepada mereka penderitaan, musuh-musuh-Nya dengan menjauhkan mereka dari-Nya, dan dengan menyingkapkan kepada mereka kehancuran.
Al-Khâfidh adalah Zat yang menurunkan kedudukan orang-orang yang tidak mengimani-Nya, orang-orang yang sombong, para pendusta, dan melenceng jauh dari Jalan-Nya, Jalan Islam, Kata kebenaran-Nya yang terakhir.
24. Al-Râfi’ (Maha Meninggikan)
Al-Quran suci menyatakan, “Allah akan meninggikan derajat (kamu) (kepada-Nya), orang-orang beriman di antara kamu, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan.” (QS 58:11).
Al-Râfi adalah salah satu sifat Allah yang akar katanya adalah raf’, mengangkat, memunculkan, memuliakan, menaikkan, dan sejenisnya. Ia bisa digunakan untuk objek-objek sebagaimana tercantum dalam surat al-Baqarah [2]:63: “...dan Kami angkat [gunung] Tur di atas kamu,” dan dalam ar-Ra’du [13]:2: “Allah, adalah Zat yang mendirikan langit tanpa tiang sehingga kalian bisa melihat (kekuasaan-Nya), lalu secara mantap Dia bersemayam di atas singgasana-Nya (kekuasaan yang penuh).” Ia pun digunakan dalam arti meninggikan struktur bangunan sebagaimana yang terdapat dalam ayat berikut: “Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Rumah itu bersama Ismail...” (QS 2:127).
Ia juga digunakan dalam arti memuliakan atau meninggikan kedudukan seseorang sebagaimana yang terdapat ayat ini: “... dan Kami tinggikan bagimu sebutan (namamu).” (QS 94:4).
Ia juga digunakan untuk meninggikan status atau derajat seseorang sehingga terhormat sebagaimana dalam ayat berikut, “... dan Kami telah meninggikan (rafa’na) sebagian mereka atas sebagian lain beberapa derajat beberapa di antara mereka,” (QS 43:32), dan juga, “Dan pada singgasana-singgasana yang mulia (marfu’ah)...” (QS 56:34), yakni singgasana-singgasana yang statusnya dimuliakan dengan kedekatan kepada-Nya.
Al-Râfi adalah Allah yang meninggikan status para kekasih-Nya, memberi mereka kemenangan atas musuh-musuh mereka dan musuh- musuh-Nya, juga musuh-musuh orang-orang saleh, ke derajat-derajat tertinggi. Dia meninggikan kebenaran. Dia mengangkat orang-orang beriman dengan memberi mereka kebahagiaan. Dia mengangkat para kekasih-Nya di antara orang-orang beriman dengan lebih mendekatkan diri-Nya kepada mereka. Dia menaikkan kedudukan para kekasih-Nya dengan memberi mereka kekuasaan, dan Dia meninggikan status orang-orang yang menolong-Nya dalam kebenaran dan persamaan. Al-Râfi mendirikan langit tanpa tiang, mengangkat awan dengan angin, dan menerbangkan burung di udara: “Apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan (sayap-sayap mereka), dan mengatupkan (sayapnya) di atas mereka? Tidak ada yang menahannya selain Yang Maha Pemurah (Allah); sesungguhnya Dia Maha melihat segala sesuatu.” (QS al-Mulk [67]:19).
Al-Râfi telah menaikkan status para kekasih-Nya di kehidupan dunia ini dengan menjadikan orang-orang beriman merendahkan diri mereka sendiri di hadapan mereka, dan menjadikan orang-orang memberi penghormatan dan menghargai mereka kendaripun mereka tidak menggunakan kekuatan apapun dan meskipun mereka tidak punya kekayaah sama sekali: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah, tiada ketakutan atas mereka, dan tiada pula bagi mereka kesedihan. Yaitu orang-orang yang beriman dan menjaga (diri mereka sendiri) dari kejahatan. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan di dunia ini dan di akhirat; dan tiada perubahan dalam kata-kata Allah; demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS Yunus [10]:62- 65).
Al-Râfi mengangkat reputasi orang-orang yang dianggap lembek di antara kaum mereka sendiri, membantu orang-orang yang disesatkan melawan mereka yang menyesatkan.
Dalam surat al-Baqarah [2] ayat 253, Allah Yang Mahakuasa berfirman, “Para rasul ini telah Kami muliakan sebagian dari mereka di atas yang lain. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang kepadanya Allah berbicara dan sebagian dari mereka Allah tinggikan beberapa derajat,” Juga, “Dan itulah hujjah Kami. Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya; Kami meninggikan siapa saja yang Kami kehendaki. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana, Maha Mengetahui. (QS al-An’âm [6]:83).
Dalam surat yang sama, Allah Yang Mahakuasa mengatakan kepada kita bahwa “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa-(Nya) di bumi ini dan meninggikan sebagian kamu alas sebagian yang lain dalam beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Mahacepat Siksa-Nya (terhadap kejahatan) (namun) Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS al-An’âm [6]:166).
Rujukan lain ada dalam ayat-ayat berikut:
Allah berfirman: “Wahai ‘Isa, Aku akan membawamu pergi dan mengangkatmu ke haribaan-Ku, serta menyucikan kamu dari orang- orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu berjaya di atas orang-orang kafir, sampai hari kebangkitan. Kemudian kepadaKu-lah tempat kembalimu dan Aku akan memutuskan di antara kalian tentang hal-hal yang kalian perselisihkan.” (QS Ali Imran [3] :55)
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) di dalam al-Kitab (al-Quran) (tentang) Idris. Sesungguhnya ia adalah seorang yang penuh kebenaran dan seorang nabi. Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat (kedudukan) yang tinggi.” (QS Maryam [19]:56-57)
“Dan Dia telah meninggikan langit dan Dia menempatkan neraca (keadilan)” (QS ar-Rahman [55]:7)
Sesiapa yang dikarunia rahmat melalui inspirasi sifat Allah ini adalah orang yang menaklukkan keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungannya yang buruk sekali. Orang semacam ini akan dinaikkan derajatnya oleh Allah ke status setinggi yang dinikmati oleh para malaikat di sisi-Nya atau malah lebih tinggi lagi...
25. Al-Mu’izz (Maha Memuliakan)
Allah telah berfirman, “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan (biarlah ia mencarinya dari Allah, karena) bagi Allah-lah semua kemuliaan; Kepada-Nyalah naik semua perkataan-perkataan yang baik. Dan mereka yang merencanakan kejahatan, bagi mereka azab yang keras dan rencana-rencana jahat mereka akan hancur.” (QS Fathir [35]: 10)
Juga, dalam surat Ali ‘Imran [3]:26, Allah berfirman:
“Katakanlah (wahai Muhammad!), ‘Ya Allah, yang memiliki Kerajaan, Engkau memberikan kerajaan kepada siapa saja yang Engkau kehendaki dan menariknya kembali dari siapapun yang Engkau kehendaki! Engkau memuliakan orang-orang yang Kaukehendaki dan menghinakan orang-orang yang Kaukehendaki. Di tanganMu-lah terletak segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Dalam ayat lain Allah juga berfirman, “Mereka yang (lebih suka) mengambil orang-orang kafir sebagai kawan (penolong) daripada orang-orang yang beriman; apakah mereka akan mencari kehonnatan dari mereka? Maka sesungguhnya kemuliaan (secara keseluruhan) hanyalah milik Allah.” (QS an-Nisa’ [4]:139).
Al-Mu’izz memberikan makna sebagai berikut: Zat yang memuliakan siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara para hamba- Nya. Secara linguistik, ma’azza, kata benda tersebut diturunkan dari kata kerja yu’izz, artinya kekuasaan, kekuatan, keperkasaan,. Sesungguhnya Allah adalah al-‘Aziz, Zat Yang Mahakuasa yang menundukkan dan tidak pernah ditundukkan, Yang memperkuat para wali-Nya dengan karunia-Nya, melindungi mereka dari dosa, memaafkan kesalahan-kesalahan mereka, mengizinkan mereka untuk menghuni surga. Kemudian Dia memuliakan mereka dengan mengizinkan mereka menyaksikan manifestasi-Nya dan melihat tanda- tanda-Nya. Dialah Zat yang memberdayakan para nabi-Nya dengan menjaga mereka dari kesalahan, memberi mereka kemenangan, melindungi mereka, meninggikan kedudukan mereka di antara manusia. Dia memuliakan orang-orang yang menaati-Nya sekalipun kemiskinan adalah kekayaannya, dan Dia meninggikan kedudukan seorang hamba-Nya yang saleh kendaripun ia seorang budak Negro Abesinia. Allah, Tuhan, Kebenaran, Yang Terpuji dan Mahasuci adalah nama-Nya, dirujukkan pada seperti dalam berbagai ayat dari kitab- Nya, al-Quran suci.
Di antaranya adalah:
“Dan janganlah perbincangan mereka menyedihkanmu. Sesungguhnya kekuasaan itu seluruhnya kepunyaan Allah. Dialah Maha Mendengar Maha Mengetahui.” (QS 10:65)
“Mahasuci Allah, Tuhan Yang Mahabesar, jauh dari apa yang mereka nisbahkan kepada-Nya.” (QS 37:180)
“Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, juga bagi Nabi-Nya dan orang-orang beriman, namun orang-orang munafik itu tidak mengetahui (hal tersebut).” (QS 63:8)
Imam ‘Ali bin Husain Zain al-‘Abidin as dikutip pernah mengatakan, “Apabila seseorang ingin dihormati sekalipun sukunya tidak terkenal, atau diangkat dalam kedudukan tinggi sekalipun ia tidak punya otoritas, atau menjadi seorang lelaki yang kekayaannya tidak berkurang, maka ia harus keluar dari hinanya kedurhakaan dan masuk ke dalam mulianya ketaatan kepada-Nya.”
Sejatinya, cara Tuhan dalam memuliakan hamba-hamba-Nya adalah dengan menjadikan mereka merasa puas, lega, karena kehinaan terletak pada mereka yang tamak. Seandainya bukan karena angan- angan palsu, takkan ada seorang manusia merdeka yang diperbudak oleh apapun yang tidak berarti.
Yang Mahakuasa menempatkan orang yang kukuh dalam memuji nama-Nya di jantung kemuliaan, memasukkan cinta dan penghargaan pada hati-hati manusia. Seorang hamba Allah yang mengaspirasikan untuk memperoleh bagian baik dalam mengejawantahkan Nama Suci ini haruslah memuliakan Rasulullah saw dan mereka yang berilmu di antara para sahabatnya sendiri, menunjukkan'penghormatan dan kerendahan hati kepada mereka.
26. Al-Mudzill (Maha Menghinakan)
Yang Mahakuasa telah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina.” (QS 58:20).
Al-Mudzill adalah salah satu sifat Allah diturunkan dari kata benda dzull, yakni apapun hasil dari penundukkan, kemenangan, penaklukkan, atas seseorang. Yang Mahakuasa berfirman, “...dan berjalanlah kamu dijalan Tuhanmu dengan pasrah.” (QS 16:69), yakni dengan bebas.
Dia juga berfirman, “Dan naungan (pohon-pohon surga itu) dekat di atas mereka, dan buahnya dimudahkan memetiknya semudah- mudahnya.” (QS 76: 14).
Al-Mudzill adalah Zat yang merendahkan atau menghinakan siapa saja yang Dia kehendaki, mencabut semua kedudukan istimewa dari mereka. Dialah Zat yang menghinakan musuh-musuh-Nya secara adil ketika mereka mendurhakai-Nya dan memberontak terhadap perintah-perintah-Nya. Dia menghina dan menolak mereka, menyebabkan mereka dilemparkan ke dalam siksa- Nya, kerak neraka. Al-Mudzill adalah Zat yang menghinakan musuh- musuh-Nya dengan mencabut pengenalan tentang-Nya dari mereka, memudahkan mereka untuk mendapatkan jalan mereka dan untuk menentang perintah-perintah-Nya.
Kemudian Dia akan memasukkan mereka ke dalam siksa-Nya, menghinakan mereka dengan menolak dan membalas mereka.
Al-Mudzill adalah Zat yang mempermalukan orang-orang kafir melalui kekuatan kebenaran, Yang menundukkan siapa saja yang Dia kehendaki. Allah tidak memuliakan hamba-Nya lebih dari yang Dia lakukan kepada orang yang menundukkan jiwa yang mengilhamkan- keburukannya sendiri, nafs-nya, dan Dia tidak mengabaikali hamba- Nya lebih dari siapapun yang asyik dengan berusaha memperoleh kekhususan, kebesaran, dan prestise bagi dirinya sendiri.
Dalam surat al-A’râf [7]: 152 kita baca, “Sesungguhnya mereka yang mengambil anak sapi itu (sebagai Tuhan), kelak mereka akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan dunia (ini).” Siapapun yang melihat orang-orang secara bakhil untuk menyaksikan bagaimana ia bisa mendapatkan keuntungan dari mereka, yang tidak pernah dipuaskan dengan apa yang telah dimilikinya, maka ia diseret dengan rencananya sendiri untuk menaikkan dirinya sendiri kepada keterkenalan sembari dirinya sendiri tenggelam dalam gelapnya kebodohan..., adalah ia yang kepadanya Allah sesungguhnya telah menghinakannya.
Orang semacam ini termasuk dalam ayat berikut: “Namun kalian melemparkan dirimu sendiri ke dalam dosa, dan kalian menunggu (kami diperdaya) dan kalian meragukan (peringatan Allah), dan keinginan sombong kalian menipu kalian hingga datanglah ketetapan Allah (terjadi) dan penipu (setan) (secara sengaja) menipu kalian tentang Allah. Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir.” (QS 57:14-15).
Inilah tingkatan terendah dari kehinaan.
Dzull, atau menimbulkannya, yakni, idzll, datang dalam berbagai jenis, bentuk, dan ukuran. Allah menghinakan seorang penindas dengan menjatuhkannya sebagai mangsa, atau nafsu berahinya pada perempuan, atau ketamaannya pada kekayaan, atau dengan menjadikannya sangat butuh pada orang lain. Mari kita berdoa demikian: “Ya Allah, keluarkanlah kami dari hinanya kedurhakaan menuju mulianya ketaatan kepada-Mu, dan jangan biarkan siapapun yang Engkau ciptakan untuk menghinakan kami dan mahkotai kami dengan mahkota kemuliaan-Mu.” Kemuliaan tidak membutuhkan siapapun. Tingkatan sempurna secara mutlak dari kemuliaan semacam itu, tentu saja, hanya milik Allah semata yang telah berfirman, “Sesungguhnya kemuliaan (secara keseluruhan) hanyalah milik Allah.” (QS 4:139).
Selanjutnya dalam tingkatan yang dimuliakan adalah orang yang paling dekat kepada Yang Mahakuasa: “...bagi Allah segala kemuliaan, juga bagi Nabi-Nya dan orang-orang beriman.” (QS 63:8).
27. Al-Sami’ (Maha Mendengar)
Allah telah berfirman, “Dan kepunyaan-Nya-lah segala yang ada pada malam dan siang hari; dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS 6: 13).
Al-Sami’ adalah Zat-dan satu-satunya Zat-yang mendengar segala sesuatu yang ada tanpa menggunakan daya pendengaran atau bantuan pendengaran. Allah mendengar setiap dan semua suara dan gema, sekalipun itu tersembunyi dari kita. Pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu: Dia mendengar perrnohonan-perrnohonan orang yang tertindas; Dia menjawab munajat-munajat orang yang punya hajat; Dia membantu mereka yang putus asa akan (datangnya) pertolongan; Dia mendengar pujian-pujian orang yang memuji-Nya, sehingga Dia mengganjari mereka karena itu, dan perrnohonan orang yang memohon kepada-Nya, sehingga Dia menjawab mereka. Dia mendengar suara semut hitam yang merayap di atas batu karang di gelapnya malam; dan Dia mendengar apa yang direnungkan oleh hati dan keberatan apa yang menembus kesadaran. Jawabannya atas perrnohonan seseorang tidak membingungkan-Nya dari menjawab yang lain; Dia mengetahui kemana penglihatan tertancapkan dan apa yang disembunyikan di dalam dada; Dia mendengar setiap perrnohonan diam-diam; Dia mendengar Anda dan saya. Tiada sesuatupun yang ada di bumi atau di langit yang bisa tersembunyi dari-Nya.
Al-Sami’ diturunkan dari sam’. Ia menyampaikan fakta bahwa Allah Yang Mahatinggi mengetahui kebenaran atas setiap dan segala suara kendatipun itu, menurut kemampuan kita yang terbatas, sangatlah tersembunyi. Dia Yang Mahasuci mengetahui dan mengenali suara- suara juga warna-warna sebagaimana Dia mengetahui dan mengenali segala sesuatu yang lainnya.
Sam’ bisa berarti: penerimaan dari dan jawaban positif untuk. Ia ada, misalnya, dalam sebuah hadis dimana Rasulullah saw berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari doa yang tidak didengar,” artinya doa yang tidak menerima jawaban positif-Nya. Ia juga sama dengan yang seorang Muslim ucapkan ketika mereka melakukan shalat harian (seusai rukuk): “Sami’a Allahu liman hamidah,” yakni Allah menjawab dengan baik permohonan orang-orang yang memuji-Nya.
Yang Mahakuasa berfirman:
“Sesungguhnya Aku bersama kalian; Aku benar-benar mendengar dan melihat.” (QS 20:46)
“Apakah mereka mengira bahwa Kami tidak mendengar apa yang mereka rahasiakan dan bisik-bisik mereka. Hai! (Kami sebenarnya mendengar segala sesuatu) dan para utusan Kami (malaikat) mencatat segalanya.” (QS 43:80)
“Sesungguhnya Allah telah mendengar pernyataan wanita yang memajukan gugatan cerai kepadamu tentang suaminya...” (QS 58:1)
“Dan jika mereka berazam (tekad bulat), maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS 2:227)
Siapapun yang mengetahui bahwa Allah mengetahui segala sesuatu akan menjaga lidahnya dari mengucapkan kebatilan. Dia akan selalu mengatakan kebenaran. Siapapun yang menyadari bahwa Allah mendengar hatta pemikiran kita, akan melakukan adab-adab perilaku dari orang yang mengawasi tindak tanduknya dan yang senantiasa memelihara dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas yang ia renungkan, katakan, atau lakukan.
Seorang hamba Allah semestinya mengetahui bahwa tidaklah Allah menciptakan daya pendengaran baginya melainkan agar ia selalu menyimak perkataan-perkataan Allah yang Dia wahyukan kepada Nabi-Nya untuk mendapatkan manfaat darinya dan dibimbing olehnya. Apabila seorang hamba Allah berusaha untuk mendekati Tuhannya dengan melakukan nafilah-nafilah (laku ibadah tambahan (sunnat)), ia akan dicintai oleh Allah yang kemudian akan menuangkan pada pendengarannya cahaya suci-Nya, sehingga menajamkan pandangannya, sedemikian sehingga seseorang akan mampu menyaksikan sesuatu di balik alam materi. Apabila seorang hamba Allah tetap istiqamah dalam ibadahnya kepada Allah, secara terus menerus berdoa kepada-Nya, niscaya Allah akan memberinya kebaikan dari-Nya dan dengan cahaya Ilahi.
28. Al-Bashîr (Maha Melihat)
Allah telah berfirman, “Dia bersama kalian di mana saja kalian berada; Allah melihat apa-apa yang kalian kerjakan.” (QS 57:4). Dalam bahasa, melihat diperoleh melalui daya penglihatan; ia merupakan pantulan cahaya atas objek yang dilihat dan kesannya pada mata. Melihat juga suatu insight, suatu kebijaksaan, suatu keyakinan yang paling dalam. Orang yang bashîr adalah ia yang melihat secara mendalam, yang berilmu, yakni seorang ahli. Juga, “melihat” berarti tidak terburu-buru, melainkan merenungkan (terlebih dulu), mengetahui perkara-perkara, dan teguh dalam menganut satu keyakinan.
Al-Bashîr melihat segala sesuatu, yang nyata maupun yang gaib, tanpa menggunakan daya penglihatan. Apabila diterapkan kepada Allah yang Mahakuasa, Mahasuci Ia, penglihatan menerima kesempurnaan dimana sifat-sifat segala sesuatu yang bisa dilihat direalisasikan. Al-Bashîr sepenuhnya mengetahui segala sesuatu yang terlihat dan untuk-Nya kebenaran mengenai mereka adalah nyata, jelas adanya. Dia mengetahui kemana pandangan tertancap dan apa yang disembunyikan di dalam dada. Dia melihat dan mengawasi. Tak sesuatupun yang ada di langit tinggi ataupun di dasar bumi, ataupun segala sesuatu yang ada di antara keduanya, ataupun yang ada di bawah tanah, bisa terselubung dari penglihatan-Nya, dan Dia Mahaada yang tidak pernah tiada.
Siapapun yang mengetahui bahwa Allah mempunyai sifat semacam ini akan terdisiplinkan dengan menjaga perilakunya secara konstan. Siapapun yang menjaga pendengaran dan penglihatannya terhadap datangnya angkara Yang Mahakuasa, tidak melakukan sesuatu pun yang tidak dianjurkan, niscaya dicintai oleh Allah, dan ia akan diberkati dengan pendengaran dan penglihatan sebagaimana diisyaratkan dalam hadis-hadis suci.
29. Al-Hakam (Maha Menetapkan Hukum)
Yang Mahakuasa telah berfirman, “Menetapkan hukum hanyalah hak Allah. (Dia) yang menyatakan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (QS 6:57)
Baik al-Hakam maupun al-Hakîm mengandung pengertian yang sama; asal-usul kata yang pertama berarti semakna dengan man’, larangan, yang darinya suatu kata seperti hakama, suatu bagian dari pengekang besi yang digunakan untuk mengendalikan kuda, diturunkaq.
Al-Hakam artinya Zat yang kata-kata-Nya adalah final dalam menentukan kebenaran dan kebatilan, dalam menjelaskan antara tindakan-tindakan kesalehan dan tindakan-tindakan dosa. Dia mengganjari setiap jiwa menurut apa yang diusahakannya, Yang memutuskan di antara hamba-hamba-Nya sebagaimana dikehendaki- Nya, Yang menerangkan antara kelompok yang binasa dan yang beruntung, menyiksa yang pertama dan mengganjar yang kedua. Al- Hakam adalah Maha Pemutus perkara yang terbaik, Hakim yang benar secara mutlak yang keputusan-Nya tidak seorang pun bisa membalikkannya, atau tak seorang pun yang bisa memupus titah-Nya.
Al-Hakam adalah Zat yang dalam janji-Nya tidak ada keraguan sama sekali, yang perbuatan-Nya tidak mengandung kegalatan (kekeliruan) sama sekali. Dia telah memerintahkan bahwa hati-hati harus puas dan ridha kepada-Nya, bahwa jiwa-jiwa harus tunduk dan taat kepada-Nya. Dia rnemisahkan kebenaran dari kebatilan. Dalam surat al-An’âm, kita baca: “Haruskah Aku mencari hakim selain Allah, padahal Dia yang menurunkan kepadamu Kitab (al-Quran) (yang secara terperinci) dijelaskan?” (QS 6:115).
Dalam ayat berikut kita juga baca: “Ikutilah olehmu apa-apa yang diturunkan kepadamu dan bersabarlah sampai Allah memberikan keputusan-Nya. Dan Allah adalah Yang Terbaik dari (semua) hakim.” (QS 10:109).
Rujukan ayat sejenisnya adalah:
“(Wahai manusia!) lalu apakah yang menyebabkan kalian mendustakan hari pembalasan setelah kehidupan ini (setelah adanya keterangan-keterangan ini)? Bukankah Allah sebaik-baiknya hakim dari para hakim?” (QS 95:7-8)
“Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah. Kepada- Nyalah aku bertawakal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri.” (QS 12:67)
Banyak turunan dari kata ini di berbagai tempat di sepanjang al- Quran suci. Di antara keputusan Allah sekaitan dengan para hamba- Nya adalah bahwa setiap orang akan menerima ganjaran sesuai dengan apa yang diusahakannya dan bahwa ikhtiarnya akan disaksikan, dicatat, direkam, dan dijaga. Mereka yang berbuat baik akan menerima rahmat abadi, sementara yang berbuat dosa dan maksiat akan menuai kutukan lestari. Dia menjadikan kesalehan sebagai jalan ke surga dan dosa sebagai jalan ke neraka.
Diriwayatkan, Syuraih bin Hani telah mengatakan bahwa ayahnya Hani bin Yazid mengatakan, “Suatu saat aku mengunjungi Rasulullah saw dan beliau mendengar orang-orang memanggilku ‘Abu al-Hakami.’ Beliau berkata kepada mereka, ‘Al-Hakam adalah Allah! Mengapa engkau dinamai seperti itu?’ Aku berkata kepadanya, ‘Setiap kali kaumku berselisih satu sama lain, aku memutuskan di antara mereka yang bisa memberi kepuasan pada pihak-pihak yang berselisih.’ Kemudian Nabi sawmenanyaiku apakah aku punya anak. ‘Ya, mereka adalah Syuraih, Abdullah, dan Muslim, putra-putra Hani [yakni aku].’ ‘Siapakah yang tertua dari mereka?’ tanya Rasulullah saw lagi. Aku mengatakan bahwa yang tertua adalah Syuraih. Lantas ia berkata, ‘Engkau adalah Abu Syuraih.’ Lantas beliau berdoa kepada Allah untuk merahmatiku dan anak-anakku.’” [13]
30. Al-‘Adl (Mahaadil)
Allah telah berfirman, “Sesungguhnya, Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan (kepada orang lain) dan memberi kepada kaum kerabat, dan melarang berbuat keji dan kemungkaran serta permusuhan. Dia mengajarimu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS 16:90)
‘Adl artinya pertengahan; al-‘adl jauh dari tindak penindasan atau berbuat zalim kepada siapapun dalam perintah-perintah dan perouatan- perbuatan-Nya. Sebaliknya, Dia memberi setiap orang sesuatu yang menjadi haknya; Dia menempatkan segala sesuatu di tempatnya yang benar; tak sesuatu pun yang keluar dari-Nya selain keadilan. Dia berbuat apapun yang Dia kehendaki, dan titah-Nya menyangkut hamba-hamba-Nya dijalankan.
Dalam surat al-An’âm, Yang Mahakuasa berfirman, “Dan telah sempurnalah kalimat Tuhanmu sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada seorang pun yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya, dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS 6:116).
Dia memerintahkan keadilan dan kejujuran dan berfirman dalam ayat berikut: “Dan ketika engkau menetapkan suatu keputusan bagi manusia, hendaknya engkau mengadili dengan adil. Sesungguhnya betapa mulianya apa yang telah Allah serukan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS 4:58).
Banyak hadis yang meriwayatkan perihal Rasulullah saw menekankan masalah ‘adl dan menyoroti kedudukan orang-orang yang bertindak berdasarkan keadilan. Salah satu darinya adalah ucapannya: “Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi Allah pada hari ketika tidak naungan selain naungan-Nya:
(i) seorang imam yang adil;
(ii) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam menyembah Allah;
(iii) seorang lelaki yang hatinya senantiasa terikat pada masjid;
(iv) dua manusia yang saling mencintai karena Allah: mereka bertemu dan berpisah hanya karena Allah;
(v) seorang lelaki yang diminta seorang perempuan terkenal dan cantik [untuk berzina] yang kepadanya lelaki itu berkata, ‘Aku takut kepada Allah’;
(vi) seseorang yang bersedekah dan menyembunyikan perbuatannya sedemikian rupa sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya; dan
(vii) seorang manusia yang menyebut nama Allah demi mengingat-Nya sementara air matanya berjatuhan.” Hadis ini dicatat oleh al-Bukhari dan Muslim dan juga termaktub juga dalam al-Targhîb wa al-Tarhîb, jilid 3, halaman 164-165 serta Qabasath min Hadi al-Nubûwwah, halaman 30.
31. Al-Lathîf (Mahalembut)
Allah berfinnan, “...Sesungguhnya Tuhanku Mahaiembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS 12:100).
Al-Lathîf merupakan salah satu sifat Allah yang diturunkan dari kutub kebaikan dan kasih sayang dalam suatu cara yang tidak ada satu fakultas manusiapun yang bisa memahaminya. Secara terus menerus al-Lathîf mencurahkan karunia-Nya kepada para hamba-Nya; Perbuatan-perbuatan-Nya baik dan indah.
Sifat ini juga berarti: Zat yang tidak bisa diindra oleh indra-indra manusia ataupun oleh indra-indra makhluk lain, Yang mengetahui perkara-perkara gaib dan amat kecil. Al-Lathîf telah menggabungkan dalam diri-Nya kasih sayang yang padat dan bijaksana juga pengetahuan yang mahakecil dan terperinci atas semua perkara dan terhadap sarana-sarana yang membuat mereka mencapai siapapun yang Dia kehendaki di antara makhluk-Nya.
Al-Lathîf membahagiakan hamba-hamba-Nya ketika Dia menghalau awan-awan murka-Nya dari mereka, Zat Yang pemurah terhadap hamba-hamba-Nya bahkan dalam masalah-masalah yang terkait dengan titah-Nya; Dia mengetahui segala sesuatu masalah- masalah gaib. DialahZat yang pengetahuannya meliputi segalasesuatu yang kecil menyangkut semua fakta. Kehendak-Nya dijalankan, kehendak dimana Dia melindungi makhluk-makhluk-Nya. Dia mengetahui detail-detail yang paling rumit yang relevan dengan kepentingan-kepentingan dan ketidakjelasannya. Dengan lembut Dia menjadikan mereka sampai padatujuan mereka. Dialah Yang Mahabaik dan Maha Penyayang kepada para hamba-Nya bahkan ketika mereka tidak mengetahuinya; Dia mengatur segala perkara mereka dan mengharapkan segala sesuatu yang baik bagi para hamba-Nya. Dia menghendaki kemudahan mereka dan menjadikan bagi mereka sarana-sarana kesalehan dan kebaikan bisa mudah diperoleh. Dia memudahkan segala sesuatu yang sulit, Yang menyatukan semua yang retak. Allah berfirman, “Apakah Dia Yang menciptakan (segala sesuatu dan setiap orang) itu tidak mengetahui? Dan Dia Mahalembut lagi Maha Mengetahui (akan segala sesuatu).” (QS 67:14).
Salah satu tanda dari kemurahan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya adalah bahwa Dia telah memberikan kepada mereka lebih dari cukup dan menuntut mereka mengerjakan kurang dari apa yang mereka bisa perbuat, sehingga menjadikan pencapaian kebahagiaan abadi yang bisa diraih dengan upaya yang mudah selama kurun waktu yang pendek, yakni rentang kehidupan seseorang, yang terlalu singkat dibandingkan dengan keabadian hari akhir.
Al-Lathîf memandang segala sesuatu dalam bingkai kerja dari antitesisnya sendiri. Allah, misalnya, menyembunyikan Nabi Yusuf as dari keunggulan otoritas dalam busana perbudakan sampai ia sendiri pada akhirnya berkata: “...Sesungguhnya Tuhanku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS 12:100).
Seorang lelaki yang dijebloskan ke dalam penjara sekalipun ia tak bersalah, acap mendengar Nabi Yusuf mengulang-ulang doa berikut: “...Sesungguhnya Tuhanku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS 12:100).
Seorang pemuda datang kepadanya pada suatu malam dan berkata kepadanya, “Berdirilah agar aku bisa mengeluarkanmu dari penjara.” Lelaki itu bertanya itu kepada pemuda tadi bagaimana ia bisa keluar padahal semua pintu terkunci, namun pemuda itu menyuruhnya berdiri untuk kedua kalinya. Ia berjalan bersama pemuda tadi sampai ia keluar kota, kemudian pemuda tadi berkata kepadanya, “Bacalah: ‘Sesungguhnya Tuhanku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.’” (QS 12:100).
32. Al-Khabîr (Maha Mengetahui)
Yang Mahamulia telah berfirman, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sementara Dia dapat menyaksikan (semua) penglihatan itu. Dia Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS 6:103).
Al-Khabîr merupakan satu dari sifat-sifat Allah, danini berarti: Zat Yang mengetahui segala sesuatu dan tidak ada sesuatu pun yang bisa luput dari pengetahuan-Nya. Dia mengetahui esensi segala sesuatu dan memahami kebenaran akan hal ini. Al-Khabîr mengetahui betul materi-materi yang paling rumit; Dia mengetahui penyakit sekaligus obatnya.
Al-Khabîr mengetahui rahasia segala sesuatu. Tak sesuatu pun yang terjadi dalam kekuasaan-Nya tanpa sepengetahuan-Nya. Tak sebutir atom pun yang bergerak atau tetap diam atau jiwa yang letih atau senang, selain bahwa Dia mengetahui tentangnya. Dialah Zat yang tak sesuatu pun di muka burni ataupun di langit tersembunyi dari-Nya. Tak sesuatu pun yang bergerak di langit ataupun di muka burni selain bahwa Dia mengetahui perihal tujuan ataupun matalamat finalnya.
Para ulama telah membedakan antara Al-Khabîr dan al-‘Alîm. Yang pertama mengkonotasikan pengetahuan, namun ketika pengetahuan diterapkan kepada perkara-perkara gaib, baru disebut khibra, dan Zat yang mengetahuinya disebut al-Khabîr.
Yang Mahakuasa berfirman, “Apakah kamu mengira (hai orang- orang yang beriman) bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), sementara Allah mengetahui orang-orang di antara kamu yang tidak berjihad dan tidak mengambil seseorang sebagai teman selia selain Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu lakukan.” (QS 9:16).
Barangsiapa yang mempunyai kebutuhan pasti yang tentangnya ia memohon kepada Allah akan sesuatu hendaknya membaca ayat berikut, “Apakah Dia Yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Mahalembut lagi Maha Mengetahui” (QS 67:14) berkali-kali sampai ia jatuh tertidur.
33. Al-Halîm (Yang Maha Penyantun)
Allah berfirman, “...sebenarnya Allah telah memaafkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyantun.” (QS 3:155).
Al-Halîm adalah salah satu sifat dari Yang Mahakuasa yang diturunkan dari akar kata hilm yang artinya: mengambil waktu untuk melakukan sesuatu. Ia juga berarti perhatian, hirauan, dan perasaan. Hilm-nya Allah adalah penundaan hukuman-Nya terhadap mereka yang pantas untuk dihukum, sehingga Dia menunda hukuman terhadap sebagian mereka yang pantas menerima hukumannya. Setelah itu, Dia bisa menghukum manusia atau memaafkan kesalahan-kesalahan mereka. Atau, bisa juga Dia dengan sigap menghukum sebagian dari mereka. Dia menyaksikan pelanggaran dari para pelanggar dan kedurhakaan dari mereka yang mendurhakai-Nya tanpa didorong oleh kemarahan ataupun diliputi oleh kemurkaan, dan Dia tidak buru-buru untuk menghukum sekalipun Dia punya kemampuan untuk itu. Allah berfirman, “Sekiranya Allah menghukum manusia karena kezaliman mereka, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di muka bumi satu makhluk melata pun.” (QS 16:61).
Al-Halîm tidak buru-buru melaksanakan aksi balas dendam. Sekiranya Dia bermaksud melakukan balas dendam setelah beberapa waktu kemudian, niscaya Dia disebut dengan penuh kebencian, balas dendam, dan sekiranya Dia tidak bermaksud untuk berusaha membalas dendam sama sekali, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Dia pun bisa disebut al-Halîm andaikan Dia tidak bemiat berusaha membalas dendam mengingat Dia tidak menyatakan niat-Nya. Apabila Dia tidak menyatakannya, maka ia Dia disebut Maha Pengampun.
Al-Halîm sangat sering mengabaikan dosa-dosa dan menutupi aib-aib. Dia memaafkan setelah menutupinya. Dia melindungi kecintaan- Nya pada hamba-hamba-Nya. Janji-Nya adalah benar. Dia menepati janji-Nya. Al-Halîm menjadi tameng dari mereka yang melakukan dosa dengan ampunan-Nya, Yang memaafkan mereka yang melanggar hukum-hukum-Nya, Yang tidak gentar dengan pemberontakan para pembangkang, dan tidak ada penindasan dari penindas manapunyang bisa memancing-Nya.
Al-Quran telah menggambarkan sebagian para utusan Allah sebagai halîm; misalnya, Ibrahim, khalîlullâh, digambarkan sebagai, “...Sesungguhnya Ibrahim adalah orang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS 9:114), dan dalam surat Hud, dia dipuji, “Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah.” (QS 11:75), Al-Quran menyatakan hal berikut dalam surat al-Shaffât perihal Ismail, “Lalu Kami berikan padanya kabar gembira tentang seorang anak laki-laki yang amat sabar.” (QS 37:101).
Hilm adalah sifat pemurah dan mulia sedemikian sehingga sebuah hadis yang dicatat dalam Al-Atsir mengutip perkataan Rasulullah saw, “Hilm adalah penghulu semua perbuatan baik.” Ia pun mencatat hadis lain yang mengatakan, “Barangsiapa yang (mencapai sifat) halîm berarti hampir berada pada jejak yang sama dengan para nabi Allah.” Hilm menikmati kedudukan dan posisi yang tinggi meskipun banyaknya dosa seseorang dan berulang-ulang taubat yang dilakukannya.
Allah berfirman, “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS 2:225).
Juga, “Bertasbih kepada-Nya langit yang tujuh dan bumi, dan segala yang ada di antara keduanya. Dan tiada suatu apapun melainkan bertasbih memuji-Nya, namun kalian tidak memizhami tasbih mereka. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS 17:44).
Dengan demikian, seorang yang penyantun dan pemurah adalah orang yang acap mengampuni dosa-dosa dan menyembunyikan kekurangan-kekurangan. Dia adalah orang yang mengampuni setelah menutupi dosa seseorang, yang melindungi dengan ampunannya, yang benar perkataannya, yang memaafkan orang-orang yang melabrak aturannya, yang tidak digoyahkan oleh pemberontakan para pelanggar, ataupun ia terpancing oleh penindasan. Pemurah-Nya Allah berkaitan dengan para pendosa amatlah besar: “... dan Dia adalah yang Mahatinggi dan Mahaagung.” (QS 2:255).
Diriwayatkan bahwa Nabi Ibrahim as melihat seorang manusia melakukan dosa, maka ia berdoa kepada Allah agar menjadikannya binasa, dan itu pun terjadi. Ia melihat orang kedua dan ketiga dan ia mengulang permohohannya dan mereka pun binasa. Lantas ia melihat orang keempat dan memohon kepada Allah hal yang sama untuk membinasakannya. Pada saat itu Allah mengilhamkan kepadanya, “Wahai Ibrahim! Berhentilah! Jika Kami membinasakan setiap orang dari hamba-hamba Kami yang melakukan suatu dosa, maka hanya sedikit orang yang akan bertahan; namun jika ia berdosa, Kami memberinya penangguhan; jika ia bertaubat, Kami menerima taubatnya, dan jika ia tetap melakukannya, Kami tunda hukumannya, ingatlah bahwa ia tidak bisa lari kekuasaan Kami.”
Diriwayatkan bahwa seorang pemuda terbiasa melakukan banyak dosa, dan ia selalu terus menerus dalam keadaan berdosa. Tidak demikian, bahkan ia senantiasa bertaubat dan segera kembali lagi melakukan dosa. Setelah melakukan demikian sebegitu gering, ia dibisiki setan, “Untuk berapa lama lagi engkau akan tetap mela:kukan dosa dan kemudian bertaubat lagi?” Setan ingin bahwasanya Allah akan menjadikannya putus asa akan rahmat-Nya dan akhirnya ia menjadi tertekan. Ketika malam tiba, orang itu berwudhu dan mendirikan shalat dua rakaat. Lalu ia mengarahkan matanya ke langit seraya berkata, “Wahai Yang melindungi orang-orang saleh dari dosa, Yang menjaga orang-orang yang dilindungi dari dosa, Yang menjadikan orang-orang saleh hakikat mereka adanya! Pabila Engkau menolakku, Engkau akan mendapatkan aku kehilangan hati. Ubun-ubunku berada dalam genggaman-Mu; dosa-dosaku ada di hadapan-Mu! Wahai Yang membolak-balikkan hati, aku memohon kepadamu untuk menetapkan hatiku dalam mengikuti perintah-Mu!” Latas Allah berkata kepada para malaikat-Nya, “Wahai para malaikat-Ku! Apakah kalian semua mendengar permohonannya? Maka saksikanlah bahwa Aku telah mengampuni semua dosanya di masa lalu dan melindunginya dari dosa-dosa untuk sisa hidupnya.”
34. Al-‘Azhîm (Yang Mahaagung)
Yang Mahakuasa berfirman, “Maka pujilah nama Tuhanmu Yang Mahaagung.” (QS 56:96).
Al-‘Azhîm adalah superlatif yang diturunkan dari kata benda ‘izham, keagungan, kebesaran, kemuliaan, kehormatan, kebanggaan... ‘Azhîm Mutlak adalah Zat Yang keagungannya tidak bisa dijangkau oleh penglihatan; ia melampaui semua batasan, sedemikian sehingga tak satu akal manusia pun yang sanggup mencerapnya. Allah Ta’ala berfirman, “Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung.” (QS 2:255).
Orang yang terkenal di sebuah kota dipanggil orang besar (‘azhîm). Inilah pengertian dari apa yang dikatakan orang-orang kafir sebagaimana al-Quran mengutip mereka: “...kepada seorang besar (‘azhîm) dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini’? (QS 43:31).
Allah berfirman, “...dan al-Quran yang agung.” (QS 15:87).
Ketika Rasulullah saw menulis sepucuk surat ke Heraklius (yang akan dibahas belakangan dalam buku ini, insya Allah), beliau menyebutnya sebagai “orang ‘azhîm dari Roma,” yakni, orang yang paling agung di Roma. Heraklius―yang memerintah dari 610-641 M, adalah seorang kaisar Byzantium, penguasa kekaisaran Romawi Timur―terlibat dalam banyak peperangan dengan kerajaan Persia dari 634-642 M. Dia tidak menerima Islam.
Pasukan-pasukannya pada akhirnya ditaklukkan oleh pasukan-pasukan Islam, sehingga ia kehilangan Suriah, Palestina, dan Mesopotamia (lrak bagian atas) juga Mesir, satu demi satu.
Apabila Anda memandang kebesaran al-‘Azhîm, Anda akan segera mengetahui bahwa siapa saja selain-Nya tidaklah berarti. Manusia, tak peduli bagaimana luasnya keilmuannya, sesungguhnya terbatas dalam hal ruang lingkup dan kandungan pengetahuannya.
Bagaimana Anda bisa membandingkan kuantitas pengetahuan yang terbatas semacam itu dengan pengetahuan Yang Mahakuasa? Suatu contoh dari kekuasaan-Nya terdapat pada surat Luqman [31]:28, “Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur itu, yakni penggabungan antara jiwa dan tubuh yang dicipta-ulang) itu hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja.’ Bagi Yang Mahakuasa, penciptaan seluruh alam semesta semudah penciptaan satu jiwa: “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu ketika Kami menghendakinya maka Kami hanya mengatakan kepadanya, ‘Jadilah’, maka jadilah ia.” (QS 16:40).
Allah telah meminta kita untuk memperhatikan tanda-tanda-Nya; Dia berfirman, “Demikianlah (seharusnya); Dan barangsiapa mengagung-agungkan ayat-ayat Allah, sesungguhnya itu (pantulan) dari ketakwaan hatinya.” (QS 22:32).
Siapapun yang sangat menghormati ayat-ayat Allah, menghargai ritus-ritus agama, berpegang sangat erat pada apapun yang terkait dengan Allah, maka sesungguhnya ia dalam kedudukan mulia yang dihormati oleh Allah dan hamba-hamba-Nya.
Rasulullah saw telah menyampaikan kabar gembira berikut, “Barangsiapa yang belajar kemudian menjadi memahami sepenuhnya, kemudian beramal sesuai dengan apa yang telah dipelajarinya, niscaya ia diagung-agungkan di kerajaan langit.”
Ibn ‘Abbas menukil perkataan Rasulullah saw, “Apabila seseorang memasuki sebuah ruangan untuk menengok orang sakit yang sedang sekarat dania membaca ucapan berikut sebanyak tujuh kali: ‘As-alullâh al-‘azhîma rabbal-‘arsy al-‘azhîma an yasyfiyaka.’ (Aku memohon kepada Allah, Yang Mahaagung, Pemilik ‘Arasy yang agung, agar menyembuhkanmu) niscaya orang sakit itu akan disembuhkan dengan kehendak Allah.”
35. Al-Ghafûr (Maha Pengampun)
Allah berfirman, “...sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa mereka semuanya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS 39:53).
Al-Ghafûr diturunkan dari akar kata ghafr, menabiri atau menutupi. Dia al-Ghafûr lantaran Dia sangat sering menabiri dosa-dosa dan mengampuni orang-orang yang melakukan perbuatan dosa itu. Dia tidak memperselisihkan tentang dosa-dosa dengan hamba-hamba-Nya. Maghfirah artinya tutupan dan ampunan dosa. Ampunan Allah berarti perlindungan-Nya atas seorang hamba-Nya terhadap siksa-Nya. Kata kerjanya berarti: mengampuni dosa-dosanya secara terang-terangan.
Al-Ghafûr adalah Tuan yang kekuasaannya demikian sempurna. Dia bisa mengampuni tanpa syarat karena karunia yang Dia limpahkan kepada para hamba-Nya dan karena kemurahan-Nya.
Al-Quran teramat banyak merujuk pada masalah ampunan. Dan, Allah telah memperluas ampunan tersebut sehingga hati-hati dari orang-orang yang mendurhakai-Nya tidak putus asa dari rahmat-Nya, dan agar orang-orang jahat tidak akan patah arang dari kasih sayang Allah. Dia menga.mpuni dosa-dosa dan menerima taubat. Dalam surat al-Ghafir (al-Mukmin), kita baca ayat berikut: “Yang mengampuni (setiap) dosa, Yang Menerima Taubat, Yang Keras Hukuman-Nya, Yang mempunyai Karunia.” (QS 40:3).
Ayat-ayat lain yang sejenisnya adalah:
“...maka ampunilah kami dan limpahkanlah belas kasih-Mu atas kami, dan Engkau adalah yang terbaik di antara para pemberi ampunan.” (QS 7:155)
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat dan beriman dan beramal saleh, kemudian ia tetap mengikuti jalan (petunjuk) yang benar.” (QS 20:82).
“Dia telah menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) benar. Dia menjadikan malam memasuki ,siang dan siang memasuki malam; dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah, Dia adalah Yang Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS 39:5).
Menyangkut ayat yang mengatakan, “Kabarkan olehmu (wahai rasul Kami, Muhammad) kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Aku adalah Yang Maha Pengampun Maha Penyayang.” (QS 15:49), sejumlah sahabat Nabi saw suatu saat larut dalam tawa dan canda ketika Rasulullah saw lewat. Beliau menyalami mereka lain berkata kepada mereka, “Apakah kalian tertawa ketika neraka di hadapan kalian?” Mereka menyesal dan merasa sangat tertekan. Beliau segera pulang kepada mereka dan berkata, “Jibril as baru saja datang kepadaku dan berkata bahwa Allah bertanya mengapa aku menjadikan sebagian hamba-Nya putus asa dari rahmat-Nya,” kemudian beliau membaca surat az-Zumar [39]:5 yang dinukil di atas.
Orang yang ingin mewujudkan sifat al-Ghafûr berarti ia barns terns menerus memohon ampunan-Nya; dia memaafkan hamba-hamba-Nya berkali-kali. Ini merupakan kunci guna meraih ampunan Allah sebagaimana diacudalam surat an-Nur [24]:22, “Dan jangan biarkan orang-orang yang punya keutamaan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan mereka sebaiknya memaajkan dan berlapang dana. Apakah kamu tidak suka Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
36. Al-Syakûr (Maha Bersyukur)
Allah berfinnan, “Agar Allah memberikan pahala mereka (dengan sempurna) dan menambah karunia-Nya kepada mereka. Sesungguhnya, Dia Maha Pengampun, lagi Maha Bersyukur.” (QS 35:30).
Secara linguistik, al-Syakûr diturunkan dari akar kata syukr yang artinya: suatu peningkatan. Bangsa Arab menggambarkan suatu tanab sebagai tetumbuhan yang berbuah. Mereka menggambarkan seekor hewan seperti ketika ia digemukkan. Tetumbuhan diberi rezeki dengan sedikit air disebut syakûr. Al-Syakûr sangat sering berterima kasih, Yang menghargai laku kesalehan, sedekah, dan kebaikan. Seorang hamba Allah yang syakûr adalah ia yang terus menerus berterima kasih kepada Tuhannya dengan menaati-Nya dan dengan menjalankan kewajiban-kewajiban yang telah Dia mandatkan kepadanya. Syukr adalah penghargaan dan penyebaran kebaikan.
Al-Syakûr, Allah, menghargai amal saleh sekalipun sedikit yang dilakukan hamba-hamba-Nya, dan melipatgandakan ganjaran-Nya atas perbuatan itu. Cara-Nya berterima kasih kepada para hamba-Nya adalah dengan memberi mereka karunia-karunia-Nya kendatipun Dia adalah Zat yang memudahkan mereka untuk melakukan kebajikan-kebajikan semacam itu di urutan pertama. Dia menanamkan dalam hati-hati mereka karsa (desire) untuk berbuat kebaikan, lalu Dia menyediakan bagi mereka semua sarana-sarana untuk menjalankannya. Dia memudahkan hamba-hamba-Nya untuk mensyukuri rahmat yang Dia limpahkan kepada mereka, sehingga Dia mengganjari mereka bahkan untuk tindak ketaatan remeh kepada-Nya dengan suatu penambahan atas karunia-karunia-Nya yang baik. Dia memberi rahmat kepadanya selama ikhtiar beberapa hari dengan upah yang tidak berakhir di akhirat.
Al-Syakûr menerima yang sedikit dan memberi yang banyak. Allah telah menyebut Diri-Nya sendiri untuk mengatakan kepada kita bahwa Dia mengganjar hamba-hamba-Nya karena mensyukuri-Nya. Dengan demikian, ganjaran untuk ungkapan terima kasih disebut syukr, sebagaimana halnya hukuman bagi perbuatan yang buruk disebut syukr. Dia berfirman, “Dan balasan atas suatu kejahatan adalah kejahatan yang sama.” (QS 42:40).
Salah satu tanda pengabulan ungkapan penghargaan adalah bahwa ia menerima suatu peningkatan rahmat Allah sesuai dengan ayat berikut: “Jika kamu bersyukur, Aku akan menambah (nikmat-nikmat- Ku) kepadamu; dan jika kamu mengingkari, sesungguhnya azab-Ku sangatlah pedih.” (QS 14:7)
Kebenaran tentang penghargaan tidak terkait dengan sifat-sifat Allah: penghargaan datang dari manusia; ia hanya perluasan dari rahmat yang dikaruniakan oleh Allah dengan cara mana Dia menciptakan mereka. Secara linguistik, penghargaan dipadukan dengan rahmat, kemuliaan, dan terima kasih. Tak seorang pun bisa memberi kepada Allah suatu karunia yang untuknya Dia harus berterima kasih kepadanya.
Oleh sebab itu, penghargaan-Nya harus dipahami secara metaforis menurut Tafsir al-Manâr. Syukur Allah artinya bahwa Dia mampu memberi ganjaran para pelaku kebaikan, bahwa Dia tidak membiarkan perbuatan-perbuatan dari para pelakunya sebagai sia-sia atau tidak diganjari.
Adalah dalam arti inilah bahwa mengganjar pelaku kebaikan dengan apa yang ia pantas terima disebut penghargaan, dan, dengan dernikian, Allah telah menyebut Diri-Nya sendiri apresiatif. Pun, Allah telah berjanji kepada orang-orang yang menghargai nikmat-nikmat-Nya untuk menambah nikmat-Nya kepada mereka. Maka, ungkapan terima kasih itu pun jatuh di bawah jenis penghargaan yang sama. Yang Maha Memberi Penghargaan telah berfirman, “... barangsiapa mengerjakan sesuatu kebaikan atas kemauannya sendiri, maka sesungguhnya Allah Maha Bersyukur lagi Maha Mengetahui.” (QS 2:158).
Dengan demikian, kita segera tahu bahwa Allah, Mahasuci Ia, mempunyai suatu perbuatan yang sesungguhnya perbuatan yang sangat sempurna ketika Dia menyebut Diri-Nya sendiri apresiatif atas dunia sekalipun kebaikan apapun yang mereka lakukan sama sekali tidak mendatangkan manfaat ataupun mudarat bagi-Nya; alih-alih, manfaatnya (perbuatan baik) sesungguhnya bagi kebaikan kita sendiri. Dalam faktanya, ia merupakan suatu tanda dari rahmat-Nya sendiri kepada kita bahwa Dia membimbing dan memudahkan kita untuk melakukannya. Maka, tidaklah pantas bagi orang yang berakal untuk mengolah karunia besar yang dilimpahkan kepadanya oleh Allah tanpa bersyukur kepada-Nya atas hal itu, atau tanpa menaati-Nya.
Allah juga berfirman, “Karena itu, ingatlah Aku, niscaya Aku akan mengingatmu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar.” (QS 2:152).
Dalam ayat ini, Allah mengajarkan kepada para hamba-Nya untuk apresiatif, memerintahkan mereka untuk mengingat nikmat-nikmat yang telah Dia berikan kepada mereka dengan hati, lidah, dan akal mereka. Ganjaran mereka untuk hal ini adalah bahwa Dia mengingat mereka berupa izin-Nya untuk melanjutkan menikmati karunia tersebut, dan untuk menambah nikmat tersebut, Dia memerintahkan mereka untuk memuji-Nya dengan sifat-sifat-Nya, membahas rahmat-Nya yang tak terhitung, menyucikan-Nya secara terang-terangan dan diam-diam, sehingga Dia bisa menyebut-nyebut mereka dalam persahabatan-Nya yang tinggi dan menyebutkan keridhaan-Nya atas mereka. Dalam sebuah hadis qudsi Rasulullah saw menukil perkataan Yang Mahakuasa, “Aku seperti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya. Jika ia mengingat-Ku diam-diam, Aku akan mengingatnya dalam keadaan yang sama. Jika ia mengingat nama-Ku diam-diam di depan orang ramai, Aku akan mengingatnya dalam kerumunan yang lebih baik. Jika ia mendekati-Ku sebanyak satu jengkal, Aku akan mendekati-Nya sebanyak satu depa. Jika ia mendekati sebanyak satu depa, Aku akan mendekatinya dua kali lebih banyak dari itu. Jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan mendekati-Nya dengan berlari.”
Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berterima kasih kepada-Nya dan tidak mengingkari nikmat-nikmat yang telah Dia limpahkan kepada mereka. Ini merupakan satu peringatan untuk bangsa ini bahwa bangsa-bangsa sebelumnya telah runtuh karena pengingkaran yang kedua atas nikmat-nikniat yang telah Yang Mahakuasa curahkan kepada mereka. Dia mengaruniakan kepada mereka kekuatan akal, emosi, keputusan, dan nikmat-nikmat lain.
Seorang hamba Allah semestinya tidak pernah lelah berterima kasih dan memuji-Nya, terus menerus dan tanpa ragu-ragu. Dalam sebuah doa Rasulullah saw, beliau berkata berikut: “Tuhan, aku tak niarnpu memuji-Mu dengan cukup. Engkau adalah sebagaimana Engkau telah memuji Diri-Mu sendiri.” Memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya sebagaimana sepantasnya Dia berhak mendapat pujiantidak dalam kapasitas manusia. Oleh sebab itu, seorang hamba Allah harus meninggalkannya kepada Zat yang mampu berbuat demikian: Allah, segala puji bagi-Nya dan HANYA bagi-Nya. Bagaimana bisa manusia memperoleh kesernpurnaan dalam wilayah semacam itu ketika ia merenungkan sejumlah nikmat yang dilimpahkan kepadanya oleh Allah dan berkata kepada dirinya sendiri: “Aku murni ketiadaan dan Allah yang menjadikanku demikian, lalu Dia memberi bentuk lahiriah yang indah, dan kekuatan akal budi yang merupakan kualitas batinku yang terbaik, lalu Dia memberiku pendengaran dan penglihatan serta membirnbingku untuk memakrifati-Nya, lalu Dia menjadikan pahala besar-Nya bisa diperoleh dan bahkan memujiku dalam Kitab Agung-Nya”? Jika Anda menggerakkan lidah dan mengucapkan: Alhamdulillâh (segala puji bagi-Nya), menganggap bahwa hanya berkata demikian adalah cukup untuk menyatakan terima kasih atas semua karunia besar yang telah Dia limpahkan kepada Anda, maka sesungguhnya Anda telah meninggalkan akal sehat Anda, karena sesungguhnya Anda sama sekali tidak akan mensyukuri-Nya.” Peribahasa mengatakan, “Berbicara itu murah,” sementara “perbuatan-perbuatan lebih bergema ketimbang kata-kata.” Ungkapkan terirna kasih Anda terhadap Pencipta Anda dengan perbuatan-perbuatan, bukan sekadar dengan kata-kata. Sebuah ungkapan terirna kasih hakiki dari seorang hamba adalah pengakuannya sendiri bahwa ia tidak mampu mengungkapkan syukurnya secara memadai kepada Penciptanya, Maha Pemberi rezeki, dan Maha Pemurah.
Jabir bin Abdullah al-Anshari telah menyitir sabda Rasulullah berikut, “Jika seseorang diberi sesuatu ketika mampu menemukan cara untuk memberikan hal yang sama, biarlah ia berbuat demikian. Namun jika tidak, maka hendaklah ia memuji sang pemberi, karena orang yang tetap diam dan tidak mengucapkan apapun, berarti melakukan kekufuran (kufr). Dan sekiranya orang dikenakan pakaian yang tidak ia berikan, maka ia seperti orang yang mengenakan dua pakaian palsu.”[14]
37. Al-’Aliyy (Yang Mahatinggi)
Allah berfirman, “...apa saja yang mereka seru selain Dia, itulah yang batil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS 22:61).
Al-‘Aliyy adalah salah satu sifat Allah yang diturunkan dari ‘uluww, tinggi, keagungan, atau ketinggian lawan kerendahan. Tinggi di sini merujuk pada kedudukan. Al-‘Aliyy adalah Yang Mahatinggi, sehingga Yang Mahatinggi tidak pernah bisa dibayangkan atau digambarkan. Akal pikiran kebingungan berkenaan dengan kebesaran-Nya, intelek tidak sanggup melukiskan kesempurnaan-Nya. Menurut al-Mufradat, orang yang ‘aliyy adalah orang yang terkemuka, seorang yang memiliki keutamaan. Ketika diterapkan kepada Yang Mahakuasa, sebagaimana dikutip dalam surat al-Hajj [22]:61 di atas, pengertian yang muncul adalah bahwa Dia di atas penggambaran siapapun atau yang sesungguhnya diketahui oleh siapapun, dan Dia di atas apa yang dikatakan siapapun tentang-Nya.
Dialah Zat yang kedudukan-Nya tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya. Segala sesuatu di alam eksistensi di bawah pengendalian-Nya.
Allah telah berfirman,
“Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung.” (QS 2:255),
“...Maka (semua) putusan (sekarang ini) adalah ada pada Allah, Yang Mahatinggi dan Mahabesar.” (QS 40:12); dan, “... Yang Mahabesar lagi Mahatinggi.” (QS 13:9).
“Tinggi” dan “rendah” bisa diterapkan pada benda-benda yang nyata dan tidak nyata. Mengenai benda-benda nyata, ‘Arsy (Singgasana) dikatakan lebih tinggi ketimbang Kursi (Kursi Otoritas), dan surga lebih tinggi ketimbang bumi. Kata-kata semacam itu hanya diterapkan kepada benda-benda nyata, benda-benda yang memiliki matra (dimensi). Karena Yang Mahakuasa jauh dari memiliki matra, maka sifat al-‘Aliyy pun jauh dari hal demikian.
Zat yang al-‘Aliyy jauh untuk dibayangkan oleh akal manapun, dan sifat-sifat-Nya terlalu besar untuk diuraikan. Dialah Zat yang keagungan-Nya membingungkan pikiran, dan dalam mencoba mengetahui esensi-Nya pikiran-pikiran gagal menggapainya.
Di antara adab mulia seorang mukmin adalah kerendahhatian dan ketundukan di hadapan Allah Yang Mahakuasa. Baru kemudian Dia mengangkat kedudukannya. Al-Qusyairi (seorang tokoh sufi penulis Risalah al-Qusyairi) telah melaporkan perkataan bahwa Allah mewahyukan kepada Musa as untuk naik ke sebuah gunung sehingga Dia akan bekahyu kepadanya. Di sana setiap gunung berkompetisi dengan yang lainnya dengan harapan menjadi gunung yang dekat dimana wahyu Ilahi akan terjadi. Gunung Sinai memandang dengan rendah hati dengan mengatakan, “Sejak kapan aku pantas mendapatkan kehormatan menjadi situs mulia bagi status Musa ketika diajak bicara oleh Tuhannya?” Karena alasan ini, Allah mewahyukan kepada Musa untuk mendekati Gunung Sinai karena kerendahhatian Gunung Sinai.
Menurut al-Asma’ wa al-Shifat, dimana sebuah hadis qudsi dikutip, ketika malam Isra’ (perjalanan malam ke Yerusalem) Rasulullah mendengar gema suara tasbih di langit tinggi yang berbunyi: subhan al-‘aliyy al-a’la, subhanahu wa ta’âla (Mahasuci Yang Mahatinggi, Mahasuci Di,a dan Mahatinggi). Iyas bin Salmah telah menukil perkataan ayahnya bahwa ia telah mendengar Rasulullah saw memulai setiap doanya dengan mengatakan, “Subhana al-A’la al-Wahhab” (Mahasuci Yang Mahatinggi, Yang Maha Pemberi).
38. Al-Kabîr (Yang Mahabesar)
Kita baca dalam ayat berikut dalam al-Quran suci, “‘Apakah yang telah difirmankan Tuhanmu?’ Mereka (para malaikat) berkata: ‘(Perkataan) yang benar, dan Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar!’” (QS 34:23).
Secara linguistik, orang yang kabîr adalah pribadi besar, seorang ternama, pribadi terpandang. Allah SWT, Mahaagung dan Mahamulia nama-Nya, lebih besar daripada segala sesuatu dan setiap orang, dan Dialah Zat Mahaagung Mutlak, Zat yang besar lantaran kebaikan-Nya sendiri, dalam sifat-sifat dan esensi-esensi-Nya, jauh dari keserupaan dengan makhluk-makhluk-Nya; (al-Quran mengatakan) “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya”, Zat yang lebih utama ketimbang pujian dari setiap orang yang memuji, menyucikan, atau berusaha menggambarkan-Nya. Dia adalah Yang Mahasempurna dari sesuatu pun di alam eksistensi, Zat yang memiliki semua kesempurnaan, kebesaran, kehormatan, dan keagungan. Dia di atas gambaran dari makhluk-makhluk yang diciptakan-Nya. Dia terlalu besar untuk dilukiskan ataupun perbuatan-Nya dipahami.
Yang Mahakuasa telah berfirman:
“Agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.” (QS 17:111)
“...Yang Mahatinggi dan Mahabesar.” (QS 40:12)
“Dan (hanya) bagi-Nya kebesaran di langit dan di bumi.” (QS 45:37)
“dan Tuhanmu agungkanlah.” (QS 74:3).
Yang Mahakuasa telah dipuji dengan karakteristik-karakteristik bentuk ini:
Pertama, al-Kabîr. Kedua, al-Mutakabbir, penjelasan tentangnya telah dibahas. Ketiga, al-Akbar seperti tercantum dalam at-Taubah [9]:72, “...Keridhaan Allah adalah yang lebih besar,” dan dalam surat al-Ankabut [29]:45, “...dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar.” Namun ini belum digunakan dalam al-Quran suci sebagai suatu rujukan kepada Yang Mahakuasa, meski ia muncul sebagai suatu sifat-Nya dalam sunnah seperti ucapan kita: Allahu Akbar! Keempat, al-Kibriya’. Allah berfirman, “Dan (hanya) bagi-Nya kebesaran di langit dan di bumi.” (QS 45:37). Untuk itu, mari kita dedah sifat-sifat ini:
Menyangkut al-Akbar, ada dua cara untuk memandangnya: Pertama, Dia lebih besar dari segala sesuatu lainnya yang ada. Adalah mungkin untuk melihat ungkapan Allâhu Akbar yang diucapkan kaum Muslim secara nyaring ketika melakukan shalat dalam sorotan yang sama, yakni bahwasanya Allah lebih besar ketimbang siapapun ataupun apapun lainnya. Maka dari itu, minda (pikiran) seseorang tidak akan ditempati oleh siapapun atau apapun selain-Nya, atau bahwa hatinya tidak terpaut dengan siapapun ataupun apapun selain-Nya.
Allâhu Akbar adalah suatu ungkapan yang diturunkan dari al-Kabîr yang diucapkan untuk mengawali shalat-shalat wajib (dan tentunya shalat-shalat nafilah), ketika waktu rukuk, sujud, atau berdiri (qiyam) selama mendirikan shalat. Ucapan ini disebut takbîr, pengagungan al- Kabîr, Yang Mahaagung, Yang Mahabesar. Takbîr diperlukan dalam beberapa kesempatan seperti azan, iqamah, shalat, hari raya, shalat jenazah, ketika melihat Ka’bah, melempar jumrah [ketika beribadah haji], dan ketika berjihad (perang fisik). Rasulullah konon mengawali segala sesuatu yang penting dengan ucapan Allâhu Akbar.
Ibn ‘Abbas meriwayatkan bahwasanya Rasulullah saw senantiasa mengajar pafa sahabatnya sebuah doa dimana mereka bisa menghindari semua jenis penyakit dan demam dengan melafalkan: “Dengan nama Allah, al-Kabîr. Kami berlindung kepada Allah al-‘Azhîm dari keburukan nadi yang terkena demam dan dari panasnya api neraka.”
Sifat al-Kabîr diulang sebanyak lima kali di sepanjang kitab suci al-Quran.
39. Al-Hafîzh (Maha Memelihara)
Yang Mahakuasa berfirman, “Dan tidak ada kekuasaan baginya (iblis) atas mereka, melainkan hanyalah agar Kami bisa mengetahui (membedakan) siapa yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat dari siapa yang ragu tentang itu. Dan Tuhanmu Maha Memelihara atas segala sesuatu.” (QS 34:21).
Al-Hafîzh diturunkan dari akar kata if, melindungi seseorang atau sesuatu. Lawannya adalah sahu, kelalaian, kesembronoan; kealpaan. Kaum perempuan yang melindungi kekayaan suami-suami mereka ketika yang terakhir sedang tiada dijelaskan dalam al-Quransuci sebagai hafizhatin lil ghayb. Suatu buku disebut afî karena kandungannya melindungi catatan-catatan perbuatan dan perkataan dari kehilangannya (dari ingatan manusia dan lain-lain).
Al-Hafîzh sangat memelihara eksistensi segala sesuatu yang ada, Yang melindungi unsur-unsur yang berlawanan yang saling mencakup satu sama lain seperti apa yang panas dan apa yang dingin, apa yang lembab dan apa yang kering, kualitas-kualitas yang telah Allah ciptakan, menjadikan mereka melekat dalam penciptaan kita juga dalam penciptaan semua hewan dan tumbuhan. Dengan begitu, seandainya Dia tidak memelihara mereka, dengan meningkatkan jumlah apa yang berkurang dari yang lain, niscaya mereka tidak akan hidup berdamai satu sama lain, perpaduan mereka niscaya sia-sia, komposisi mereka pasti terputus, dan kemampuan mereka untuk dipadukan atau dikumpulkan menjadi sirna. Al-Hafîzh mempunyai pengertian yang lebih kuat ketimbang pengertian al-Hafizh. (Perhatikan perbedaan penulisannya―peny.)
Al-Hafîzh punya dua pengertian: satu, lawan dari kesalahan atau kelalaian, dan pengertiannya diturunkan dari mengetahui. Ketika kita mengatakan bahwa Yang Mahakuasa memelihara segala sesuatu, yang kita maksud adalah bahwa Dia mengetahui semuanya dalam semua jumlah dan kompleksitasnya, dan bahwa pengetahuan semacam itu tidak diubah oleh penyusutan, kesalahan, atau kelalaian. Yang lain adalah bahwa al-Hafîzh memelihara segala sesuatu dari kehilangan: Dia melindungi mereka, dan semua karakteristik dan kesempurnaan- Nya di atas kepunahan.
Dia juga berfirman,
“Peliharalah semua shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (QS 2:238), dan,
“...dan pemeliharaan keduanya tidak melelahkan Allah.” (QS 2:255).
Dia menjaga firman suci-Nya, yakni al-Quran, sehingga ayat,
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan adz-dzikr (al-Quran) dan sesungguhnya Kami sendiri akan menjadi penjaganya.” (QS 15:9),
berarti pelindung dari perubahan, penyimpangan, atau penambahan apapun pada teks sucinya, diterapkan di sini khususnya kepada teks al-Quran.
Meskipun kedudukannya agung, Ibrahim Khalîlullâh as berdoa demikian,
“Ya Tuhan kami, berikanlah padaku kebijaksanaan dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (QS 26:83), dan,
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang berserah diri (muslimaini) kepada-Mu.” (QS 2: 128).
Musa, yang berbicara kepada Yang Mahakuasa, juga berdoa demikian,
“Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku.” (QS 20:25).
Yang Mahakuasa telah berfirman kepada Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad saw,
“Dan sekiranya Kami tidak memperkuat hatimu...” (QS 17:74), dan,
“...Allah akan melindungi (memelihara) kamu dari (gangguan) manusia.” (QS 5:67).
Dia mengingatkan kepada orang beriman agar berdoa dengan mengatakan,
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau palingkan hati kami setelah Engkau beri kami petunjuk.” (QS 3:8).
Siapapun yang merenungkan makna al-Hafîzh dan merindukan- Nya dengan sepenuh hatinya adalah ia yang hatinya memuat cinta kepada Tuhannya, Tuhan yang melindungi hamba-Nya meski ketika yang terakhir ini mendurhakai-Nya, kurang dalam beribadah kepada- Nya, tertinggal dalam menyembah-Nya. Dia menyadarkan kembali hatinya dari ketakhirauan. Baru setelah itu Allah menjadikan hatinya seperti harta karun rahasia yang dijaga, sehingga ia berani berdiri, melindungi indra-indranya dari melakukan dosa, melindungi hatinya dari dorongan-dorongan yang membahayakan secara spiritual.
40. Al-Muqît (Yang Maha Pemelihara)
Dalam al-Quran, kita baca: “Barangsiapa memberikan syafaat dengan syafaat yang baik, niscaya ia akan mendapatkan bagian (pahala) daripadanya, dan barangsiapa memberikan syafaat dengan syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) daripadanya.” nanggung beban daripadanya. Dan Allah Mahakuasa alas segala sesuatu.” (QS 4:85).
Al-Muqît diturunkan dari akar kata benda qût (makanan), makanan yang memenuhi kebutuhan tubuh manusia. Ibn ‘Abbas telah meriwayatkan bahwa al-Muqît adalah al-Muqtadir, Yang Maha Berkuasa. Al-Muqît menciptakan semua makhluk berikut sarana-sarana bagi rezeki mereka. Dia menyediakan jalan-jalan bagi mereka untuk mendapatkan akses ke sarana-sarana rezeki tersebut. Dia telah menjadikan jalan-jalan bagi mereka mudah diakses apa yang perlu dan apa yang berlebihan. Dia memberi rezeki pada tubuh dan jiwa. Dia telah bersumpah pada Diri-Nya sendiri untuk memberi rezeki pada ciptaan-Nya. Al-Muqît mendengar doa-doa diarn dan menjawabnya serta mengetahui penderitaan (yang dialami) dan menghilangkannya. Al-Muqît mempunyai pengertian yang sama sebagaimana pengertian al-Hafîzh, Maha Pemelihara; jadi, Dia memelihara dan memberi makan semua makhluk hidup.
Rujukan pada qût ada di sepanjang al-Quran. Misalnya, Allah telah berfirman dalam ayat berikut,
“Dan yang telah menciptakan di bumi gunung-gunung tinggi di atas permukaannya; dan Dia memberkahinya, dan menentukan padanya makanan-makanannya, dalam empat hari (periode); bagi orang-orang yang mencari.” (QS 41: 10).
Dia memberi rezeki kepada hati dengan ilmu, sehingga Dia adalah al-Razzaq namun dalam cara yang lebih khusus, lantaran rezeki itu mencakup makanan dan bukan-makanan. Qût adalah makanan yang cukup menghidupkan tubuh seseorang. Ia mungkin juga berarti Zat yang mengambil alih kendali sepenuhnya sesuatu atau seseorang, Yang mampu mengurus urusannya. Hanya Al-Muqît yang mampu dan mengetahui segala sesuatu. Salah-satu adab mulia yang diilhami oleh sifat ini adalah bahwa ketika makanan dibawakan kepada Anda, Anda mesti mengetahui al-Muqît Yang rezeki-Nya sangat besar dan serba-mencakup, yang melalui kemuliaan-Nya Anda disediakan makanan. Pengetahuan semacam ini akan menjadi sebab cahaya sifat ini mengangkat Anda secara spiritual. Kemudian Tuhan menjadikan Anda rumah penyimpan kekayaan bagi hamba-hamba-Nya, memudahkan Anda untuk memberi rezeki kepada yang lainnya, mengajari mereka ilmu, dan membimbing mereka kepada Yang Mahamandiri., Maha Pemberi rezeki.
Jangan mencari pengabulan atas semua keinginan dan hasrat Anda selain dari Allah, karena sesungguhnya Dia menyimpan kunci-kunci kekayaan rezeki-Nya. Menurut sebuah hadis qudsi, Allah berkata kepada Musa as, “Wahai Musa, mintalah kepada-Mu menyangkut segala sesuatu, termasuk tali sepatumu dan garam untuk periukmu.”
41. Al-Hasîb (Yang Maha Membuat Perhitungan)
Allah telah berfirman dalam al-Quran suci, “...Orang-orang yang menyampaikan pesan-pesan Allah dan takut kepada-Nya; dan janganldh takut kepada siapapun kecuali Allah; dan cukuplah Allah yang mengadakan perhitungan (atas segala sesuatu).” (QS 33:39).
Al-Hasîb adalah salah satu sifat-sifat Allah. Sifat ini sering diuraikan sebagai Zat yang mengganjar. Maknanya bisa juga dipahami sebagai Zat yang menyediakan secara memadai, Yang mengabulkan apa saja kebutuhan-kebutuhan dari hamba-Nya. Dialah Penguasa yang kepada-Nya segala sesuatu bersandar. Tidak ada hasîb lain selain-Nya, dan semua makhluk-Nya membutuhkan pertolongan dan dukungan-Nya. Juga dikatakan bahwa al-Hasîb adalah Zat yang kepada-Nya segala sesuatu yang mulia dirujukkan, dan di sisi-Nya setiap kejayaan berakhir. Dia menyeru hamba-hamba-Nya untuk menghitung dan mempertimbang perbuatan-perbuatan mereka, Yang menguji orang- orang yang mematuhi-Nya dan mengganjar mereka atas ketaatan semacam itu, Yang menyeru orang-orang yang mendurhakai-Nya untuk menghitung dan menghukum atas kedurhakaan mereka. Dia, dan hanya Dia, yang menguji semua orang.
Segala sesuatu terkait satu sama lain dan di akhirnya mereka semua terpaut dengan Allah yang telah berfirman, “Hai Muhammad cukuplah bagimu Allah dan orang-orang yang beriman yang bersamamu.” (QS 8:64).
Apabila kita memandang kosmos besar ini, yang stabil dan tidak dipengaruhi oleh efek-efek ekstemal sejak jutaan yang lampau, kita akan menyimpulkan bahwa ada sistem penghitungan yang amat kompleks atasnya yang begitu alamiah. Ia menjadikan kriteria kosmis tetap untuk melindungi kelangsungan kehidupan manusiadi muka bumi dengan cara sebaik-baiknya sehingga manusia marnpu melakukan fungsi yang untuknya Allah menciptakannya, yakni menyembahnya. Jumlah perhitungan yang diperlukan untuk menjalankan kosmos besar seperti itu tidak pernah bisa dijangkau oleh minda manusia manapun; maka, bagaimana bisa seseorang membayangkan perubahan seketika pada sebagian sementara sisanya tetap sama?!
Adalah Al-Hasîb, Zat Yang Maha Penghitung, yang mahacepat dari semua; yang menghitung. Sebenarnya ia merupakan suatu sifat yang berhak mendapatkan pandangan yang dekat. Apabila seorang manusia yang berpikir tetap memikirkan semua kehidupan, ia takkan pernah mampu menghitung selain amat sangat sedikit.
Bagaimanapun saya suka, melalui ungkapan-ungkapan sederhana ini, memberi pembaca sebuah ide yang bisa memberinya selayang pandang kebesaran sifat agung ini:
Kata kerja hasaba artinya menghitung, mengkalkulasi, mendeduksi suatu totalitas dan lain-lain. Hisab artinya menghitung dan itu diradukan (dirampungkan) dengan menambah, mengurangi, dan langkah-langkah terkait lainnya. Ilmu hisab adalah aritmetika yang darinya ilmu-ilmu yang lebih maju seperti aljabar, matematika, dan kalkulus, diperhitungkan.
Al-Quran suci mengandung banyak rujukan pada al-Hasîb dan derivasi akar katanya dalam ayat-ayat berikut:
“Mereka akan mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan, sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungannya.” (QS 2:202)
“Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, pemimpin, penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, bahwa segala hukum (pada hari itu) milik-Nyalah. Dan Dia Mahacepat dalam membuat perhitungan.” (QS 6:62)
“...tidak ada yang dapat menolak perintah-Nya dan Dia Mahacepat dalam memberi perhitungan.” (QS 13:41)
“...bahkan jika ada amalan yang hanya seb.erat biji sawipun, akan Kami datangkan padanya (perhitungan); Dan cukuplah Kami (sebagai) pembuat perhitungan.” (QS 21:47)
“...mendapatkan ketetapan Allah di sisinya, lalu dia memberikan kepada-Nya perhitungannya. Dan Allah sangat cepat perhitungan- Nya.” (QS 24:39)
Untuk memahami rahasia kekuasaan Allah sebagaimana ditambahkan pada sifat-Nya, al-Hasîb, ketika ia menjelmakan diri-Nya sendiri pada makhluk-Nya, mari kita lihat keseimbangan kimiawi, fisiologis, dan astronomis yang ada di alam semesta. Kita akan melihat bahwa adanya sebuah kekuatan besar dalam menghitung yang terlalu agung untuk dibayangkan, kekuatan yang mampu melakukan penghitungan semacam itu dan dikendalikan oleh Zat yang sepenuhnya mengetahui kosmos pada keseluruhannya, dari atom yang terkecil hingga planet yang terbesar. Sekiranya tidak demikian, niscaya penghitungan kosmisnya tidaklah baku.
Untuk me1nbentuk sebuah gagasan tentang kompleksitas perhitungan semacam itu, kami harus menyediakan sebuah contoh:
Sekiranya kita merenung sesaat perihal angka perhitungan yang terjadi di dalam tubuh kita, sesungguhnya kita tidak akan mampu menghitungnya. Lantas, bagaimana bisa manusia membayangkan angka perhitungan di seluruh alam semesta dari atom terkecil hingga planet terbesar dalam berbagai jenis, orbit, dan lingkungan mereka? Pikiran, tak peduli betapa besarnya, tak pernah bisa melakukan demikian, dan secara pasti akan mengakui Allah dan kekuatan absolut- Nya, dan bahwa Dia satu-satunya al-Hasîb yang mampu melakukan perhitungan semacam itu. Untuk itu, mari kita renungkan sifat ini sehingga kita bisa menghormati dan mensyukuri-Nya. Allah telah memperlihatkan dalam teks al-Quran suci perhitungan tersebut menurut mana alam semesta ini disusun sesuai dengan tempat-tempat yang terhitung dengan sangat baik dalam lokasi-lokasi, orbit-orbit, dan kecepatan-kecepatan mereka:
“Sesungguhnya segala sesuatu telah Kami ciptakan dengan kadar yang ditentukan. Dan perintah Kami hanya satu saja (kata ‘Jadilah’! maka jadilah) bagaikan kejapan mata.” (QS 54:49-50).
Dia juga berfinnan,
“Tapi tidak! Aku bersumpah demi kedudukan bintang-bintang, atau kedudukan al-Quran. Dan sesungguhnya ini adalah sumpah yang besar bila kamu benar-benar mengetahuinya.” (QS 56:75-76)
“Matahari dan bulan beredar berdasar waktu yang ditentukan.” (QS 55:5)
“Dan mengenai bulan, Kami telah menetapkan manzilah-manzilah, hingga ia kembali kembali sebagai bentuk tandan yang tua.” (QS 36:39)
“... menetapkannya kepada manzilah-manzilah agar kalian mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu); agar kalian mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).” (QS 10:5)
“Dialah Yang menyingsingkan pagi dan menjadikan malam (bagimu) untuk beristirahat, dan matahari dan bulan untuk perhitungan (waktu).” (QS 6:96)
Sejatinya, nyaris tidak ada ayat yang tidak memuat satu isyarat atau lebih tentang sistem yang terkomputasi dari alam semesta atau tubuh manusia, namun al-Quran menyoroti signifikansi khusus bagi suatu jenis perhitungan yang berbeda: perhitungan rezeki dari hamba- hamba Allah menurut kebijaksanaan-Nya, sebagian darinya sesuai suatu ukuran dan sebagian berasal dari sumber yang tidak diketahui oleh hamba Allah, “... dan sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang Ia kehendaki tanpa batas.” (QS 2:212)
Demikian ini biasanya rezeki orang-orang saleh yang kepada mereka Allah memberi rezeki dari arab yang mereka tidak ketahui dan tidak terduga, “...dan barangsiapa takut pada (kemurkaan) Allah, maka Dia akan berikan kepadanya jalan (untuk menyelesaikan kesulitan-kesulitannya). Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak ia sangka-sangka.” (QS 65:2-3).
Demikian pula, pemberian Allah amatlah besar sehingga nilai hakikinya tidak pernah bisa dibayangkan ataupun dihitung. Ada pula perhitungan yang lebih besar: perhitungan perbuatan dan niat-niat di balik perbuatan itu, (yakni) catatan dan ganjaran perbuatan mereka di kehidupan dunia ini ataupun alam yang akan datang, atau malah keduanya, karena, dalam hal ini, Allah Yang Mahakuasa berfirman sebagai berikut:
“... karena sesungguhnya engkau hanya (berkewajiban) menyampaikan pesan saja dan Kami menghisab mereka.” (QS 13:40)
“Agar Allah membalas setiap jiwa (seperti) apa yang telah diusahakan; Sesungguhnya Allah Mahacepat dalam menghisab.” (QS 14:51)
“... maka sungguh Kami hisab mereka dengan hisab yang berat dan Kami siksa mereka dengan siksa yang pedih.” (QS 65:8)
“Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka. Kemudian sesungguhnya, kewajiban Kamilah menghisab mereka.” (QS 88:25-6)
“... sesungguhnya Allah Maha Memperhitungkan segala sesuatu.” (QS 4:86)
“Barangsiapa datang membawa amal baik (perbuatan baik),” firman Allah Yang Mahakuasa dalam al-Quran suci ketika Dia merujuk pada hari keputusan, “maka baginya sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa datang dengan membawa amal yang buruk (perbuatan jahat) ia tidak akan dibalas melainkan seimbang dengan kejahatannya, dan mereka tidak akan sedikit pun diperlakukan dengan aniaya.” (QS 6:160).
Pada hari kiamat, manusia akan diadili secara serentak sebagaimana halnya mereka diadili di dunia ini. Rezeki mereka akan dikirim kepada mereka sekaligus, dan Allah tidak pernah dialihkan dengan sesuatu pun dari yang lainnya, “Agar Allah membalas setiap jiwa (seperti) apa yang telah diusahakan; Sesungguhnya Allah Mahacepat dalam menghisab.” (QS 14:51)
Mereka yang diberkati dengan pengetahuan dan pernahaman mengetahui ketepatan perhitungan dari urusan mereka sendiri, karena Dia telah berfirman, “... dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS 2:284).
Pengaturan Allah terhadap semua urusan berjalan selamanya. Pemimpin kita Muhammad saw telah berfirman, “Hisablah dirimu sendiri sebelum engkau sendiri dihisab.”
42. Al-Jalîl (Mahaluhur)
Allah berfirman,
“Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuiiaan.” (QS 55:27),
dan juga,
“Mahaagung nama Tuhanmu, Tuhan yang memiiiki keagungan dan kemuiiaan.” (QS 55:78)
Secara linguistik, kata kerja yujill berarti: membesarkan atau mengagungkan seseorang atau menganggapnya besar. Sifat al-Jalîl diturunkan dari kemuliaan, martabat, dan kebesaran. Dia terlalu agung untuk berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan kemuliaan-Nya, Yang menyucikan hati dengan memanifestasikan sifat keagungan-Nya kepadanya, Yang menyingkapkan apay ang tersembunyi oleh sifat-sifat kecantikan-Nya dan apa yang ada di dunia―yang semuanya itu berupa keagungan, kesempurnaan, kebaikan, dan kemegahan―oleh cahaya-cahaya Zat-Nya dan pengaruh-pengaruh sifat-Nya. Al-Jalîl yang lebih berhak memerintah dan melarang; selain-Nya, setiap tokoh besar sama sekali tidaklah besar, dan setiap wujud raksasa adalah kecil. Dia memberikan kejayaan kepada mereka yang mendekati-Nya dan berendah hati kepada orang-orang yang Dia bebaskan dari kehadiran-Nya.
Al-Jalîl Mutlak adalah Allah. Sifat al-Kabîr melukiskan kesempurpaan dari Diri, sementara Al-Jalîl menggambarkan kesempur'paan dari sifat-sifat-Nya. Al-‘Azhîm merujuk pada kesempurnaan Diri. Semua sifat kepunyaan-Nya disebutkan sesuai dengan tingkatan orang yang bisa membayangkannya; sehingga, Dia menggunakan pikiran tersebut dan tidak keletihan; Dia tidak pernah bisa dilihat oleh siapapun, namun Dia menyaksikan segalanya. Ketika kualitas-kualitas keagungan disandarkan pada nalar yang berpikir yang mampu membayangkan mereka, mereka disebut indah, dan yang mereka gambarkan disebut keindahan.
Pada mulanya, sifat al-Jamîl secara linguistik diterapkan pada sebuah gambar yang bisa dilihat oleh mata tak peduli apa yang ia lambangkan, gambar yang sesuai dan cocok dengan penglihatan. Selanjutnya, hat itu diterapkan kepada gambar batin yang bisa dibayangkan oleh minda seperti seseorang yang mungkin membicarakan “perilaku indah”, karena ia bisa dibayangkan oleh pikiran ketimbang penglihatan mata.
Kemudian, gambar-gambar batin sekiranya harmonis dan menggabungkan sifat-sifat kesempurnaan yang sesuai dengan mereka―sebagaimana seharusnya mereka demikian― memberi suatu keindahan batin sebagaimana mereka menyampaikan kepada siapa saja yang memperhatikan dan memandang mereka sebagai kesenangan visual. Tentunya, keindahan batin lebih kuat ketimbang keindahan lahiriahnya.
Bagian seorang hamba Allah yang mungkin turun dari inspirasi sifat ini adalah bahwa ia menghiasi dirinya sendiri dengan keindahan dan mencamkan dalam pikiran bahwa Dialah yang telah mengaruniakan kepadanya rahmat keindahan, menjadikan keindahan dari suatu citra yang terlihat atau dari diri batin. Keindahan batin dari jiwa sesungguhnya lebih tinggi dan agung ketimbang keindahan tubuh. Rasulullah saw biasa mengucapkan doa berikut setiap selesai shalatnya: Allâhumma anta as-salam wa minka as-salam; tabarakta wa ta’alayta yâ dzal-jalâli wal-ikrâm (Ya Allah, Engkaulah (Sumber) keselamatan, dan dari-Mu keselamatan. Mahasuci Engkau dan Mahatinggi Engkau, Wahai Yang memiliki keagungan dan kemuliaan).
Rasulullah saw juga telah bersabda, “Tempatkanlah Allah dalam kedudukan yang tinggi supaya Dia mengampunimu.” Yakni, agungkanlah Dia dengan menaati-Nya dan jauhkanlah dirimu sendiri dari melakukan kedurhakaan kepada-Nya dan carilah kedekatan kepada-Nya, agungkanlah Dia dengan mengerjakan apa yang telah diperintahkan-Nya kepadamu.
43. Al-Karîm (Maha Dermawan)
Allah berfirman, “...barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk kebaikan dirinya sendiri, dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia.” (QS 27:40).
Para ulama mengatakan bahwa segala sesuatu yang dipandang baik, berharga, punya arti besar adalah karîm. Secara linguistik, seseorang yang gemar bersedekah juga disebut karîm, dermawan. Segala sesuatu yang terdapat dalam kategorinya sendiri dalam kedudukan tinggi disebut karîm. Allah disebut al-Karîm, suatu sifat yang menjabarkan kasih sayang dan kemurahan-Nya. Allah senantiasa pemurah dan Dia akan selalu demikian. Dia jauh dari segala kerendahan. Dia memberi (sesuatu) secara melimpah ruah dan Dia memberinya sesuatu secara menawan.
Al-Karîm memaafkan kendati Dia mampu menurunkan azab yang paling pedih; Dia memenuhi janji-janji-Nya; Dia memberi lebih daripada apa yang orang mohonkan kepada-Nya; Dia tidak memikir berapa banyak yang Dia berikan dan kepada siapa; Dia tidak mengizinkan siapapun yang mencari perlindungan kepada-Nya mengalami kebinasaan; Dia tidak membutuhkan sarana-sarana untuk menjelmakan apa yang Dia perbuat. Barangsiapa yang mampu menggabungkan semua sifat ini kepada-Nya adalah al-Karîm mutlak; tak ada siapapun selain Allah yang punya sifat demikian.
Allah SWT berfirman,
“Wahai manusia! Apakah yang telah melengahkan kamu dari Tuhan kamu Yang Maha Pemurah.” (QS 82:6) dan
“Bacalah (Engkau wahai rasul Kami Muhammad} dan Tuhanmu adalah Mahamulia.” (QS 96:3)
Bangsa Arab biasa menyebut sesuatu sebagai karim jika ia memiliki kebaikan atau sifat yang patut dipuji. Muhammad saw bersabda, “Yusuf adalah yang paling dermawan di antara manusia,” yang bermakna dalam garis silsilah dan keturunan. Mereka bisa menjelaskan sesuatu kehadiran yang bisa ditengarai dengan salah satu dari indra-indra fisik sebagai karîm. Misalnya, para perempuan Mesir ketika melihat Nabi Yusuf as berkata, “... ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia (malakun karîm).” (QS 12:31).
Mengggambarkan surga, Allah mengatakan bahwa surga merupakan “...tempat yang indah-indah.” (QS 44:26).
Kata ini bisa diterapkan kepada sesuatu yang mulia; Yang Mahakuasa berfirman, “...Sesungguhnya yang paling mulia di antaramu (akramakum) di sisi Allah adalah orang yang paling hati-hati (menjalankan tugasnya terhadap Allah).” (QS 49:13)
Bangsa Arab juga menerapkannya pada sesuatu yang memiliki banyak manfaat atau faedah, seperti yang tercantum dalam ayat berikut yang melukiskan kisah Nabi Sulaiman as: “...sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah sural yang mulia (kitabun karîm).” (QS 27:29).
Menurut tafsir, karîm dalam ayat ini berarti sangat penting dan berbobot, yang mengandung ungkapan-ungkapan yang sangat elok.
Salah satu dari tanda kebesaran dan kemurahan-Nya adalah bahwa Dia memberikan karunia-karunia-Nya bahkan kepada orang-orang yang tidak berhak mendapatkannya. Dia mendermakan kemurahan-Nya meski tanpa diminta. Jika seorang pemohon meminta-Nya akan ampunan, salah satu tanda kebesaran-Nya adalah bahwa Dia akan menghapus dosa-dosa si pemohon seandainya ia benar-benar bertaubat dan Dia mencatat perbuatan baik baginya pada tempatnya. Allah berfirman, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menajkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada setiap butir : seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS 2:261)
Di antara keagungan-Nya adalah bahwa dalam kehidupan dunia ini Dia menutupi dosa-dosa para pendosa dan menyembunyikan ruh-ruh mereka.
Dalam satu peristiwa, Rasulullah saw telah meriwayatkan sebuah kisah tentang ampunan Yang Mahakuasa yang merangsang pikiran (thought-provoking). Beliau berkata, “Aku tahu orang terakhir yang akan masuk surga dan orang terakhir yang keluar dari neraka. Dia adalah orang yang akan didekati dan akan dikatakan kepadanya, ‘Tunjukkan kepadanya dosa-dosa kecilnya dan tangguhkan dosa-dosa besarnya,’ kemudian kepadanya akan diperlihatkan dosa-dosa kecilnya. Kemudian dia akan ditanya apakah pada hari anu dia berbuat anu, dan ia pun akan mengiakannya, seraya mencemaskan akan dosa-dosa besamya. Dikatakan kepadanya, ‘Sebagai pengganti setiap perbuatan dosamu, engkau akan diganjar parbuatan baik’, kemudian dia akan berkata, ‘Tuhan, tetapi...aku telah melakukan dosa-dosa lain yang aku tidak melihatnya di sini di antara dosa-dosa itu!’” Perawi itu berkata bahwa ia melihat Rasulullah saw tersenyum sampai-sampai gigi depannya menjadi terlihat.
Allah adalah al-Karîm mutaghafil, yakni Zat Mahaagung yang secara sengaja dan sangat sering memaafkan. Satu dari tanda-tanda keagungan-Nya adalah bahwa Dia mengampuni setiap kali Dia diminta untuk mengampuni. Allah berfirman, “Carilah oleh kamu ampunan dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun.” (QS 71:10)
Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah bahwa Dia mengampuni tanpa mengingatkan orang-orang yang kepada mereka Allah ampuni jenis-jenis dosa dan hal-hal buruk yang telah mereka lakukan.
Demikian pula di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah bahwa jika mereka datang kepada-Nya setelah menaati-Nya meski sedikit, Dia akan mengganjar mereka dan akan memuliakan mereka dengan memuji mereka secara menawan. Termasuk juga di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah bahwa Dia memasukkan mereka ke dalam perjanjian-Nya. Dia berfirman, “...penuhilah perjanjianmu dengan- Ku, niscaya Aku akan penuhi perjanjian-Ku denganmu.” (QS 2:40).
Bahkan Dia menjadikan mereka pantas untuk mendapatkan cinta-Nya: “...yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya (QS 5:54).
Juga, Dia telah menjadikan dunia sebagai kekayaan yang dipinjamkan kepada para hamba-Nya dengan mengatakan, “Dialah yang telah menciptakan untukmu segala apa yang ada di dalam bumi.” (QS 2:29), dan demikian pula ayat, “...dan kepada suatu surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS 3:133)
Termasuk tanda-tanda kebesaran dan kemurahan-Nya adalah bahwa Dia menjadikan segala sesuatu di langit dan di burni tunduk kepada manusia, “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari- Nya.” (QS 45:13).
Salah satu tanda-tanda akhlak mulia seorang mukmin sejauh sifat al-Karîm diperhatikan adalah bahwa ia mengarahkan dirinya sendiri sepenuh hati kepada Tuhannya. Dia menjadikannya kebiasaannya untuk memberi makan dan pakaian kepada anak yatim dan berbuat baik kepada kaum kerabat. Untuk menarik perhatian kaum Muslim pada masalah besar ini, Nabi Muhammad saw, “Apabila seseorang yang diangkat ke posisi tinggi oleh kaumnya mendatangi, maka muliakanlah ia.” Beliau juga berkata, “Tuhanmu, kemurahan dan kesucian adalah milik-Nya, Mahahidup, Maha Pemurah, terlalu malu untuk mengecewakan salah seorang hamba-Nya yang bermohon kepada-Nya.”
Merupakan suatu tanda budi pekerti mulia untuk membiasakan diri memaatkan para pelaku kejahatan, termasuk para pelanggar yang mengulang-ulang pelanggarannya, dan menutupi kesalahan-kesalahan saudara-saudaramu dalam semua keadaan. Kemurahan semacam itu sesungguhnya sangat berharga ketimbang kemurahan materialistik, karena yang kedua memelihara tubuh sementara yang pertama menjaga jiwa.
Rasulullah saw telah bersabda, “Kalian tidak akan mampu membahagiakan orang dengan semua kekayaanmu, maka bahagiakanlah mereka dengan buill muliamu.” Beliau juga bersabda, “Allah, Mahamulia nama-Nya, adalah Maha Pemurah dan Dia mencintai akhlak mulia serta membenci perilaku hina.” Rasulullah saw juga bersabda, “Orang yang pemurah dekat kepada Allah, dekat kepada [hati-hati] manusia, dekat kepada surga, jauh dari api neraka. Orang yang bakhil jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga, dekat pada neraka.”
Adapun al-Akrâm, yakni Yang Maha Pemurah, sesungguhnya Allah adalah Yang Paling pemurah dari semua yang pemurah. Sifat ini juga mengandung arti yang sama yang ditambahkan dalam makna al-Karîm.
44. Al-Raqîb (Maha Mengawasi)
Allah berfirman, “...bertakwalah kepada (berhati-hati atas tugas dari) Tuhanmu yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan kekerabatan (silaturahim). Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS 4:1).
Al-Raqîb adalah sifat Allah. Dialah Saksi yang tidak pernah jauh dari peristiwa. Dalam bahasa, seorang raqîb adalah seorang yang terjaga, seorang pengawas yang berdiri untuk melindungi dan mengawal. Dalam militer, raqîb adalah orang yang berada di barisan depan. Al-Raqîb adalah Allah yang melindungi setiap orang dan segala sesuatu, Zat yang tak sesuatu pun bisa luput dari ilmu-Nya. Menurut sebuah hadis qudsi, Rasulullah saw telah bersabda, “Lindungilah Muhammad dalam keluarganya,” artinya lindungilah namanya dan muliakanlah.
Raqîb juga berarti keturunan. Malaikat yang menulis segala sesuatu yang kita lakukan dan ucapkan juga disebut raqîb: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS 50:18).
Al-Raqîb, yakni, Zat yang benar-benar mengawasi kita, tentu saja adalah Allah. Orang yang raqîb tentang Allah adalah orang yang mengakui bahwa Dia mengawasi segala sesuatu yang kita lakukan dan ucapkan, maka ia melakukan tugas-tugasnya terhadap- Nya.
Allah, al-Raqîb, mengetahui keadaan kita dan menghitung napas kita. Al-Raqîb tidak pernah lalai atau lupa, Yang selalu hadir dan tidak pernah absen, Yang mengetahui segala sesuatu dan tak sesuatupun- menyangkut kondisi-kondisi makhluk-Nya-tidak pernah luput dari pengetahuan-Nya. Dia mengatur semua urusan hamba-hamba-Nya, Yang mengetahui apa yang mereka katakan, Yang mengawasi hamba- hamba-Nya, Yang mencermati apa yang mereka lakukan, Yang mengenal pemikiran-pemikiran mereka yang paling dalam.
Mengisahkan kisah Isa bin Maryam, Yang Mahakuasa menukil perkataan Isa, “... Maka setelah Engkau wafatkan (angkatkan) aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS 5:117), Dia telah bersabda, “... dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.” (QS 33:52).
Ada dua sudut pandang yang menjelaskan pengertian al-Raqîb:
Pertama: secara linguistik, Dia melindungi segala sesuatu, Yang mengawasi, setiap orang, Yang menjaga setiap orang, Yang bebas dari kelalaian atau pengabaian. Dia memelihara dan menjaga segala sesuatu. Yang Mahakuasa berkata, “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS 50:18), artinya seorang malaikat yang mencatat perbuatan-perbuatannya dan menuliskan segala sesuatu yang ia pikirkan, katakan, atau lakukan, sementara Allah adalah al-Raqîb Yang menjaga hamba-hamba-Nya, mengetahui keadaan-keadaan mereka dan segala sesuatu yang mereka katakan.
Berkenaan dengan pengawasan, Allah berfirman, “...sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.” (QS 20:46).
Menyangkut pengetahuan, Allah berfirman, “Allah mengetahui apa yang dikandung setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah.” (QS 13:8).
Termasuk juga ayat-ayat berikut:
“... dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan.” (QS 6:59)
“Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya.” (QS 57:4)
Sudut pandang kedua mengatakan bahwa kata ini diturunkan dari kata irtiqab (menunggu). Allah berfirman, “Maka tunggulah; sesungguhnya mereka itu menunggu (pula).” (QS 44:59).
Pandangan ini mustahil diterima; oleh sebab itu, ia tertolak dengan alasan bahwa orang yang menunggu sesuatu perlu mencapai asal-usulnya, berkeinginan untuk menemukan hasilnya. Pengertian benar dari ayat belakangan ini adalah bahwasanya Allah menghendaki hamba-hamba- Nya sampai kepada-Nya, menjadikan Dia sebagai tujuan penyembahan, ketundukan, dan kerendahan hati mereka.
Maka itu al-Raqîb, adalah Saksi yang tidak pernah absen. Kebajikan orang yang mengawasi dirinya sendiri tercantum dalam sebuah hadis yang di dalamnya Rasulullah Muhammad saw mengatakan, “Ihsan (kebaikan) adalah bahwa engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, karena seandainya engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Diriwayatkan, suatu ketika seorang lelaki melewati seorang budak belia tengah menggembalakan kambing. Lelaki itu menunjuk seekor kambing betina dan berkata, “Juallah kepadaku kambing muda ini, wahai budak!” Budak itu berkata kepadanya bahwa kambing itu bukan miliknya; karenanya dia tidak bisa menjualnya. Orang itu berkata lagi, “Mana akalmu? Tidak bisakah kau katakan kepada pemiliknya bahwa seekor serigala memangsa seekor kambingnya?” Budak itu menjawab, “Lantas, dimanakah Allah?” Orang itu sangat terkesan akan jawaban budak itu, maka ia membeli budak itu dan membebaskannya. Ia pun membeli kambing betina itu dan memberikannya kepada budak itu sebagai hadiah. Sejak itu, orang itu terus mengucapkan ‘Lantas, dimanakah Allah?’ demikian sering. Oleh sebab itu, salah satu akhlak mulia seorang mukmin terhadap Allah, al-Raqîb, adalah mencamkan dalam pikiran bahwasanya Allah selalu mengawasinya dan menyaksikan apapun yang ia lakukan. Dia tabu bahwa dirinya (nafs) adalah musuhnya, dan bahwa setan terkutuk pun adalah musuhnya yang lain. Keduanya mencari setiap kesempatan untuk menjadikannya lalai dan durhaka kepada Tuhannya. Karena itu, ia harus selalu berada dalam bimbingan-Nya. Dia mesti menutup semua jeratan yang ia bisa jatuh ke dalamnya dan memblokir semuajalan yang darinya setan bisa mendekati dan menggodanya. Termasuk salah satu tanda akhlak mulia seorag mukmin dalam hal ini adalah mengawasi dirinya sendiri dan indra-indranya terus waspada, dan menjadikan apapun yang ia lakukan semata-mata untuk mencapai keridhaan Tuhannya dalam suatu niat ikhlas, menjalankan segala kewajibannya terhadap sesama saudara Muslimnya dan tidak menyebarkan kekurangan saudaranya kepada orang lain.
45. Al-Mujîb (Maha Mengabulkan)
Allah berfirman, “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya. Karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi mengabulkan (doa hamba-Nya).” (QS 11:61)
Membahas secara linguistik, baik kata benda ijaba maupun istijaba artinya sama pada dasarnya, sedangkan al-Mujîb punya dua pengertian: pertama, Zat yang menjawab semua permohonan; kedua, Zat yang memberikan apa yang Dia diminta untuk mengabulkannya.
Al-Mujîb, Allah, mengabulkan permohonan mereka yang memohon kepada-Nya dan membantu mereka. Dialah yang menjawab munajat orang-orang yang bermunajat kepada-Nya, Yang memenuhikebutuhan orang-orang yang membutuhkan dan memberi mereka secara memadai. Bahkan Dia memberi sebelum diminta dan menerima sebelum dimohon. Dia tahu kebutuhan-kebutuhan orang-orang yang membutuhkan sebelum mereka sendiri berdoa kepada-Nya, dan sejak keabadian Dia mengetahui semua keperluan mereka, sehingga Dia telah menyiapkan bagi mereka sarana-sarana guna memenuhi semua kebutuhan mereka: Dia menciptakan pelbagai jenis makanan dan rezeki bagi mereka; Dia menciptakan alat-alat dan sarana-sarana untuk memperoleh alat-alat tersebut ke tangan-tangan mereka yang membutuhkannya. Al-Mujîb menjawab permohonan orang yang memohon kepada-Nya. Sejak masa pra-keabadian, Dia tahu selanjutnya apa yang dibutuhkan mereka. Dia mengabulkan permintaan orang-orang yang dalam kesulitan dan membutuhkan pertolongan, dan Dia tidak mengecewakan siapapun yang memohon kepada-Nya.
Tema ini sering ditemukan di sepanjang al-Quran.
Berikut contohnya:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah kepada mereka) bahwasanya Aku dekat; Aku mengabulkan pennohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku.” (QS 2:186)
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan sebagian yang lain.’” (QS 3:195)
“...kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu Ia menjawabmu (Ia berkata): ‘Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berbondong-bondong.’” (QS 8:9)
“Hai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) ketika rasul menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu; dan ketahuilah bahwa Allah senantiasa berada di antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya hanya kepada-Nyalah kamu semua akan dikumpulkan.” (QS 8:24)
“Bagi orang-orang yang memenuhi (panggilan) Tuhannya, (disediakan) pembalasan yang baik; dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan Tuhannya, seandainya mereka memiliki segala hal yang ada di bumi (kekayaan) dan ditambah yang seperti itu, niscaya mereka menebus dirinya dengan kekayaan itu. Dan bagi mereka balasan yang mengerikan dan neraka adalah tempat mereka kembali. Itulah seburuk-buruk tempat kediaman.” (QS 13:18)
“Dan (ingatlah kisah) Ayyub ketika ia menyeru Tuhannya: ‘(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.’ Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami pun lenyapkan penyakit itu yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya dan Kami lipat gandakan bilangan mereka sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” (QS 21:83-84)
“Atau siapakah yang menjawab (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepadanya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah Allah di muka bumi? Apakah di sdtnping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingat-Nya.” (QS 27:62)
“Dan sesungguhnya Nuh telah menyeru Kami: maka sesungguhnya sebaik-baik yang memperkenankan (adalah Kami).” (QS 37:75)
“Dan Tuhanmu berfirman: ‘Berdoalah kepadaku, niscaya Aku akan menjawab doamu.’ Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku (berdoa), akan masuk neraka jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS 40:60)
Allah mampu menjawab dengan berbagai jalan. Ketika sebagian sahabat-Nya butuh sesuatu, Dia memenuhi kebutuhan mereka dan bahkan mungkin Dia menciptakan keadaan-keadaan sulit dengan sengaja bagi mereka hanya untuk menguji mereka dan menaikkan derajat mereka karena tekad mereka dan untuk terima kasih mereka kepada-Nya ketika masa mudah dan masa sulit. Maka ketika mereka hampir putus asa, Dia mengabulkan permintaan mereka dengan ganjaran yang indah dan dengan isyarat keridhaan-Nya atas mereka. Allah menjamin kepada hamba-hamba-Nya bahwa Dia akan menjawab doanya dengan baik dimana Dia mengetahui kepentingan terbaiknya dan di saat Dia memilih, ketika waktu itu dipilih oleh hamba-Nya. Karena itu, janganlah kehilangan harapan karena penangguhan-Nya dalam menjawab doamu. Sebab, penangguhan semacam itu bisa membuktikan sebagai yang lebih baik bagimu. Bahkan Allah mungkin memilih untuk memberimu sesuatu yang lebih baik dari apa yang engkau minta kepada-Nya. Maka, mintalah kepada-Nya sebagai orang yang yakin akan pengabulan-Nya yang menyenangkan.
Rasulullah saw biasa berkata, “Berdoalah kepada Allah, percayalah akan jawaban-Nya atas doamu, dan hati-hatilah Allah tidak menjawab permohoaan orang-orang yang lalai dan acuh.” Hadis ini telah direkam oleh at-Tirmidzi. Beliau juga bersabda, “Tak seorang Muslim pun yang mengajukan permohonan kepada Allah yang di dalamnya tidak ada keinginan untuk nlelakukan dosa atau menyambungkan tali kasih kasih sayang (silaturahim) melainkan Allah akan memberinya satu dari tiga ganjaran: Dia akan mengabulkan doa tersebut secara langsung, atau Dia menyimpan ganjaran baginya di akhirat, atau Dia menjauhkan darinya keburukan.” Para sahabat berkata, “Sesungguhnya kami akan banyak berdoa kepada-Nya.” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah Mahabesar!”
Juga, Rasulullah saw telah bersabda, “Ketika engkau memiliki sebuah permintaan, maka mintalah kepada Allah, dan setiap kali engkau perlu bantuan, mintalah bantuan dari Allah.” Dalam hadis lain, ia berkata, “Allah terlalu malu untuk mengecewakan salah seorang hamba- Nya yang berdoa kepada-Nya untuk sesuatu yang baik.”
46. Al-Wâsi’ (Yang Mahaluas)
Yang Mahamulia dan Mahasuci berfirman, “...maka kemana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Meliputi lagi Maha Mengetahui.” (QS 2: 115).
Al-Wâsi’ adalah salah satu dari sifat Allah yang akar katanya diturunkan dari si’a, keluasan, kelapangan, daya tampung, kelimpahan, dan seterusnya. Orang boleh jadi memiliki suatu keluasan pengetahuan apabila ia memahami banyak pengetahuan, atau ia mungkin mempunyai kekayaan yang melimpah. Dalam buku Al-Nihayah, Ibn al-Atsir, yang mendiskusikan sifat-sifat Allah, mengatakan bahwa al-Wâsi’ bisa memperkaya setiap orang yang riskin, Yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu. Otoritas-Nya tidak pernah berakhir. Rahmat-Nya tidak terbatas. Kerajaan-Nya abadi. Dia tidak pernah menghentikan pemberian. Dia tak pernah kebingungan karena mengetahui sesuatu dari mengetahui yang lain. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu; kekuasaan-Nya mencukupi segala sesuatu. Rahmat-Nya amatlah luas; Dia mandiri; Otoritas-Nya melampaui segala sesuatu; Pengetahuan, kekuasaan, dan rahmat-Nya adalah paling besar. Dialah Zat yang sifat-sifat-Nya tidak terbatas, Pengetahuan-Nya luas, dan demikian juga rahmat serta ampunan-Nya; wilayah-Nya begitu besar.
Al-Wâsi’ Mutlak adalah Allah SWT. Tidak ada batas pantai bagi samudra ilmu-Nya yang luas. Seandainya lautan menjadi tinta, niscaya lautan habis sebelum kata-kata-Nya sendiri mengering.
Al-Quran suci telah mengisyaratkan bahwa ilmu Allah itu luas dan abadi. Dalam ayat berikut, Allah berkata, “Dan ketika kaumnya membantahnya, ia (Ibrahim as) berkata: “Apakah kamu hendak membantah tentang Allah? Padahal sesungguhnya Dia telah memberiku petunjuk. Aku tidak takut terhadap (apapun) yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki. Tuhanku meliputi segala sesuatu dalam pengetahuan-Nya, lalu apakah kamu tidak berpikir?” (QS 6:80). Al-Quran telah menguraikan rahmat Allah begitu luas. Dalam ayat berikutnya, dinyatakan bahwa, “Dan Engkau menetapkan bagi kami kebaikan di dalam dunia ini dan di hari kemudian; (untuk itulah) Sesungguhnya kami kembali kepada Engkau; “Berfirmanlah Dia: “Siksaan-Ku akan Aku timpakan dengannya, siapapun yang Aku kehendaki dan Belas kasih-Ku meliputi segala sesuatu, oleh karena itu segera akan Aku menetapkannya (terutama) bagi mereka yang berjaga (menghadapi setan) dan membayar bagian-orang miskin, dan mereka yang beriman kepada tanda-tanda Kami.” (QS 7:156). Dalam surat Thaha, ilmu-Nya dijabarkan sebagai luas: “Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah; Tidak ada Tulan selain Dia; yang pengetahuannya meliputi segala sesuatu!”. (QS 20:98).
Rujukan ayat al-Quran yang membahas keluasan pengetahuan-Nya, yang mengacu pada rahmat dan kekuasaan-Nya adalah sebagai berikut:
“Tuhan kami mengerti segala sesuatu dalam pengetahuannya; pada Allah (semata) kami menyerahkan segalanya; Wahai Tuhan kami! Berilah keputusan antara kami dengan kaum kami dengan kebenaran, dan Engkau adalah yang Terbaik di antara para pemberi keputusan.” (QS 7:89)
“Mereka yang memikul ‘Arasy’ dan mereka yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhan mereka dan mereka beriman kepada-Nya dan memohonkan ampunan bagi orang-orang yang beriman (dengan berkata): ‘Ya Tuhan kami! Karunia dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan dari-Mu orang-orang yang kembali (kepada-Mu) dan mengikuti jalan-Mu, dan peliharalah mereka dari siksa api neraka.” (QS 40:7)
“Dan Kami menegakkan langit dengan kekuatan (Kami) dan sesungguhnya Kamilah yang meluaskan(nya) segala keperluan.” (QS 51:47)
Kita seyogianya merenungkan pengetahuan Allah yang luas, karena Dialah al-Wâsi’ Mutlak yang kemuliaan-Nya meliputi segala sesuatu yang ada, bahkan sebelum keberadaan mereka, dan bahkan sebelum eksistensi waktu itu sendiri, karena Dia senantiasa ada bagi segenap keabadian. IImu-Nya meliputi segala sesuatu. Tak sesuatupun yang Dia ketahui mengalihkan-Nya dari mengetahui sesuatu yang lain. Kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu; tiada masalah yang mengalihkan-Nya dari yang lain. Pendengaran-Nya mencakup segala sesuatu; tak satu pun permohonan seseorang bisa mengalihkan-Nya dari mendengar permohonan orang lain. Kasih-Nya melingkupi semua ciptaan-Nya; Pertolongan-Nya terhadap orang miskin tertentu tidak mencegahnya dari membantu orang lain.
Salah satu cara untuk mengetahui kode etik yang diturunkan dari sifat ini, al-Wâsi’, adalah bahwa Anda barns merangkum semua hamba Allah dengan perlakuan baik dan kebaikan Anda di sepanjang waktu; murah hatilah kepada setiap orang. Bantulah mereka ketika mereka meminta bantuanmu, dan perlakukan mereka semua dengan sebaik-baik perlakuan. Seorang hamba Allah semestinya mengingat dan mencari kearifan dari perangai Rasulullah yang suatu saat berdoa dalam shalatnya ketika ia mendengar seorang Badui berdoa kepada Tuhannya, “Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepadaku dan Muhammad dan janganlah berkasih sayang kepada siapapun selain kami.” Nabi saw berkata kepadanya, “Engkau telah berdoa kepada-Nya untuk membatasi sesuatu yang tidak terbatas,” yakni rahmat Allah. Rasulullah saw pun telah berkata, “Apabila Allah melimpahkan kepadamu suatu penambahan [rahmat-Nya], maka berilah dirimu sendiri suatu penambahan.”
47. Al-Hakîm (Mahabijaksana)
Allah berfirman, “...dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS 5:118).
Hakîm merupakan bentuk superlatif, suatu bentuk untuk pengagungan atas Zat Yang. memiliki semua kearifan; karena itu, al-Hakîm adalah Yang Mahabesar dalam kebijaksanaan-Nya. Allah sangat bijaksana dalam menciptakan segala sesuatu dan dalam menyempumakan penciptaan seperti itu. Kebijaksanaan-Nya berarti pengetahuan-Nya akan segala sesuatu mendahului dan penciptaan-Nya akan segala sesuatu dilakukan secara sangat bijaksana dan amat sempurna.
Kearifan (wisdom) artinya cara terbaik mengetahui sesuatu dengan menggunakan sarana terbaik. al-Hakîm memiliki pengertian yang sama dengan yang dimiliki al-‘Alîm. Tak seorang pun mengetahui Allah kecuali Allah (sendiri); oleh sebab itu, al-Hakîm tidak bisa tidak adalah Allah: Dia mengetahui sumber segala sesuatu melalui pengetahuan- Nya yang abadi dan lestari yang tak seorang pun bisa membayangkannya sebagai wujud yang dikenai kebinasaan.
Al-Hakîm bisa juga berarti Wujud Suci-Nya terlalu suci untuk melakukan segala sesuatu yang tidak sesuai dengan-Nya. Dalam surat al-Mu’minûn, Allah berfirman, “Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu dengan sia-sia dan kamu tidak akan dikembaiikan (kepada Kami)?” (QS 23:115).
Sebagian ulama berpandangan bahwa al-Hakîm adil dalam penilaian-Nya, pemurah dalam pengaturan urusan-urusan-Nya, Zat Yang telah menetapkan ukuran segala sesuatu, Zat Yang kearifan-Nya memiliki tujuan yang sangat ultimat, Zat Yang menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang benar. Tak seorang pun bisa sepenuhnya mengapresiasi kearifan Allah selain Allah Sendiri.
Al-Hakîm bebas dari pencarian kepentingan pribadi. Ia diibadari dengan kearifan, dan kearifan adalah mengetahui yang terbaik dari segala sesuatu melalui sarana-sarana terbaik. Yang terbaik dari segala sesuatu adalah Allah; maka, Dialah al-Hakîm Mutlak; Dia mengetahui segala sesuatu dengan sarana-sarana terbaik berupa pengetahuan yang abadi dan lestari, pengetahuan yang tak seorang pun bisa melukiskannya, atau adanya keraguan tentangnya, dan tak seorang pun yang bisa menjelaskan semacam itu selain Allah.
Sebagian ulama mengatakan bahwa kearifan artinya mengetahui kebenaran demi dirinya sendiri dan mengetahui kebenaran untuk bertindak berdasarkan pengetahuan itu. Seorang hamba Allah, sekalipun kadar pengetahuan dan potensinya sedikit, kekurangan tersebut terbukti pada dirinya ketika dibandingkan dengan pengetahuan dan kekuasaan Allah dan kemampuan malaikat. Bagaimanapun, berapapun kadar hikmah manusia yang ia peroleh adalah sangat berarti dengan tanda yang Allah sendiri telah menganggapnya besar ketika Dia berfirman, “... dan barangsiapa yang dianugrahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. (QS 2:269).
Ibrahim as berdoa kepada Tuhannya meminta hikmah dengan mengatakan, “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah.” (QS 26:83).
Allah berkata kepada Nabi Daud, “...Kami karuniakan kepadanya kebijaksanaan dan (kekuatan) dalam menghakimi persoalan.” (QS 38:20).
Para ulama telah mengatakan bahwa kearifan (hikmah/wisdom) artinya pengetahuan.
Pengetahuan bisa berarti mengetahui sesuatu yang bisa ada tanpa pilihan atau perbuatan kita, yakni pengetahuan teoretis, atau ia bisa berarti pengetahuan atas sesuatu yang bisa terjadi melalui pilihan dan perbuatan kita, yakni pengetahuan praktis. Pengetahuan teoretis bisa berarti sarana-sarana menuju suatu tujuan, atau bisa jadi sebuah tujuan itu sendiri. Sarana-sarana tersebut, misalnya, berupa ilmu logika, deduksi yang darinya ditentukan oleh konsep-konsep dan pernyataan manusia yang bisa membayangkan dalam suatu cara yang tidak mengizinkan kecuali tingkat kesalahan yang sangat jarang.
Mengenai apa yang dianggap sebagai tujuan ultimat, diberi tahu bahwa segala sesuatu bisa digolongkan ke dalam tiga kategori: segala sesuatu mungkin terdiri atas sebuah bentuk, atau mereka sesungguhnya tidak dianggap ada dalam bentuk tertentu, atau malah dapat diterapkan kepada mereka. Apa yang diduga berada dalam sebuah bentuk harus berada dalam sebuah bentuk tertentu. Sains yang mempelajari apa yang ada disebut sains alam atau fisika. Apa yang semestinya tidak ada dalam bentuk tertentu dan semestinya ada dalam bentuk lain, ilmu yang mempelajarinya disebut ilmu matematika. Mengenai kategori lain yang tidak dianggap dalam bentuk tertentu sama sekali, ilmu yang mempelajarinya disebut teologi.
Jenis ketiga adalah kategori yang mungkin berada dalam bentuk tertentu atau mungkin juga tidak, ilmu yang menyelidikinya disebut ilmu terbuka (inclusive science), dan ia seperti pengetahuan mengenai unit, multiplisitas, sebab-akibat, deduksi, kesempurnaan atau kekurangan. Semuanya ini termasuk kategori pengetahuan teroretis.
Pengetahuan praktis bisa berupa penelitian kondisi-kondisi manusia menyangkut tubuhnya sendiri, yang disebut ilmu fisiologi, atau kondisi-kondisinya bersama anggota keluarganya, yang disebut ilmu pengaturan domestik (rumah tangga), atau kondisi-kondisinya (ikatan, hubungan...) dengan belahan dunia lain, yang disebut ilmu politik.
Orang yang mempersonifikasikan kearifan dalam perilaku kesebanannya di antara manusia adalah Rasulullah saw sebagaimana tergambar dalam surat Ali ‘Imrân berikut: “Sesungguhnya Allah melimpahkan karunia-Nya kepada orang-orang yang beriman ketika Dia mengutus di antara mereka seorang Rasul (Muhammad) dari kalangan mereka sendiri, untuk membacakan kepada mereka ayat- ayat-Nya, dan untuk menyucikan mereka, dan untuk mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Quran) dan al-Hikmah. Sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS 3:164).
Kearifan sejauh hamba Allah perhatikan adalah berkata dan berbuat sesuatu yang benar sebanyak mungkin secara manusiawi. Allah berfirman dalam ayat berikut, “Dia (Allah) menganugrahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang al-Quran dan as-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS 2:269).
Seorang yang arif di antara manusia adalah ia yang memperhitungkan secara tepat hal-hal rumit; ia menguasai mereka dan secara prigel (skillfully) menjalankan mereka. Kearifan adalah pengetahuan tertinggi, dan ketinggiannya tergantung pada ketinggian dari yang diketahui, dan sesungguhnya tidak sesuatu pun yang lebih besar ketimbang Allah. Siapapun yang memakrifati Allah adalah bijak kendaripun ia sangat sederhana dalam mengetahui semua cabang duniawi lainnya. Perbandingan kearifan seorang hamba Allah dengan kearifan Allah laksana perbandingan pengetahuan hamba tersebut dengan pengetahuan Allah, dan alangkah besamya perbedaan itu! Betapa besar rentang jarak antara kedua norma pengetahuan itu! Namun meski terhadap kesenjangan luas antara dua masalah itu, kearifan dipandang sebagai yang paling berharga dari semua corak pengetahuan dan paling berbuah, dan barangsiapa yang diberkati dengan kearifan, sesungguhnya diberi anugrah yang banyak.
Menurunkan perilaku mulia dari sifat ai-Hakim menuntut seorang hamba Allah menjadi arif bijaksana, yakni melakukan sebaik-baiknya pekerjaan yang ia lakukan, dan bahwa kondisinya membahagiakan orang lain, yakni didasarkan pada ketaatan terhadap perintah-perintah Allah dan menjauhkan dirinya dari segala sesuatu yang telah dilarang- Nya. Ia sangat memperhatikan kewajiban-kewajiban agamanya, menjauhkan dirinya dari mengikuti dorongan-dorongan dan hasrat- hasratnya sendiri, menghindar dari setiap masalah yang meragukan.
Rasulullah saw bersabda, “Puncaknya kearifan adalah takut kepada Allah.” Seorang yang arif adalah orang yang menuduh dirinya sendiri dan yang mempelajari tentang apa yang akan datang setelah kematian. Seorang yang lemah adalah ia yang menuruti hawa nafsunya sendiri dan bahkan tetap menginginkan yang lebih dari Allah. Rasulullah saw telah membuat banyak pemyataan bijaksana dalam hal ini. Suatu ketika seorang badui datang kepada Rasulullah saw dan meminta beliau untuk mengajarinya sesuatu yang baik untuk dikatakan. Beliau berkata kepadanya agar mengatakan, “Tiada tuhan selain Allah, Yang Mahatunggal dan tiada sekutu bagi-Nya; Allah Mahabesar, lebih besar dari segala sesuatu; segala puji bagi Allah dengan sebanyak-banyak pujian; Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam; tiada daya dan upaya melainkan pada Allah, Yang Mahaperkasa dan Mahabijaksana.” Orang badui itu berkata, “Semua ini untuk Tuhanku; lantas, manakah sesuatu yang untuk diriku sendiri?” Rasulullah saw mengajarinya untuk mengucapkan, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mengampuniku; memberi rahmat kepadaku, memberiku petunjuk, melimpahiku kesehatan yang baik, dan menganugrahkan kepadaku rezeki yang luas.” [15]
Adapun mengenai anggapan sejumlah orang memiliki “kearifan”, siapapun yang mengetahui “segala sesuatu” tanpa memakrifati Allah tidaklah layak disebut orang arif karena dia telah kehilangan pengetahuan terbaik dan yang paling signifikan dari segala sesuatu. Orang yang memakrifati Allah, adalah orang arif sekalipun di cabang pengetahuan lainnya ia sangat dangkal, atau sangat gagap atau tidak mampu menyerap pengetahuan-pengetahuan tersebut. Orang yang memakrifati Allah adalah ia yang pembicaraannya akan sangat berbeda dari pembicaraan siapapun, yang jarang menceburkan diri dalam masalah-masalah sembrono. Sebaliknya, pembicaraannya terbuka dan ia tidak mencari-cari perhatian yang lekas menghilang.
48. Al-Wadûd (Maha Pencinta)
Yang Mahasuci dan Mahatinggi berkata, “Dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pencinta.” (QS 85:14).
Al-Wadûd adalah suatu sifat yang diturunkan dari kata Arab wudd yang artinya cinta dan persahabatan dan ia berlaku bagi semua kebaikan. Allah adalah al-Wadûd karena Dia mencintai hamba-hamba- Nya dan mereka mencintai-Nya; Dia berfirman dalam surat al-Maidah: “Hai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lembut dihadapan oang-orang yang beriman, bersikap keras terhadap orang-orang kafir,...” (QS 5:54).
Kondisi cinta hakiki adalah bahwa ia tidak bertambah karena kesetiaan; ataupun menurun karena kebencian. Al-Wadûd berusaha menunjukkan cinta-Nya kepada para wali-Nya dengan menjelmakan pengetahuan-Nya kepada mereka. Pribadi wadan adalah ia yang lebih memilih Anda ketimbang orang lain, yang memupus dari hatimu setiap keinginan untuk memperhatikan atau mencintai orang lain selain dia. Al-Wadûd sangat mencintai hamba-hamba-Nya, Yang berupaya dicintai oleh para pendosa melalui ampunan-Nya, dan oleh semua makhluk-Nya dengam memberi rezeki kepada mereka secara cukup. Hamba-hamba Allah yang saleh mencintai-Nya karena pengetahuan mereka akan kesempurnaan-Nya dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya! dan karena kemudahan-Nya untuk mengampuni.
Karena semua alasan ini, al-Wadûd adalah Zat Yang Maha Pencinta dan Maha Dicintai. Pabila seorang hamba Allah menceburkan diri secara menjeluk pada kedalaman pengetahuan kesempurnaan Allah, kesempurnaan yang menyebabkan seorang hamba Allah untuk lebih mencintai Tuhannya, maka pengetahuannya akan mengkristal, dan dia akan mendapatkan banyak kebahagiaan ketika menyembah-Nya dengan benar. Pengetahuannya tentang Dia akan membuahkan hasil yang baik, dan ia, hamba Allah, akan berubah menjadi orang yang mencintai-Nya. Dia juga bisa dipahami sebagai Zat yang mencintai hamba-hamba-Nya. Cinta kepada-Nya menghasilkan buah yang baik sesuai dengan tingkatan cinta di dalam hati setiap orang yang mencintai-Nya. Andaikan seseorang melihat melalui. hatinya Tuhannya sebagai Mahakaya, Mahamulia, Mahaagung, Mahakuasa, maka setiap orang membutuhkan-Nya padahal Dia tidak membutuhkan siapapun atau apapun. Dia mencintai hamba-hamba-Nya dan menginginkan yang terbaik bagi mereka dan berusaha lebih mendekati mereka dengan memberi mereka karunia-karunia-Nya..., sesungguhnya orang semacam itu akan diberkati dengan penglihatan batin yang hakiki dan pandangan yang jernih.
Ia yang mencoba membina perilakunya menurut inspirasi sifat ini semestinya mengetahui bahwa ia harus mencintai semua orang yang dicintai Allah seperti para nabi, para penerusnya (imam), dan ulama. Dia harus mencintai segala sesuatu yang Allah cintai dan yang dengannya Dia ridha seperti tindakan kebajikan, kesalehan, perbuatan baik, dan perilaku teladan pada yang lain.
Orang tersebut harns mengasihi sesama: Dia suka melihat orang durhaka kembali kepada Tuhan mereka dengan patuh, orang saleh tetap teguh dengan kesalehan mereka. Dia menyayangi semua hamba Allah, mengampuni orang-orang menghina mereka, bersikap baik kepada semua orang khususnya keluarga dan kerabatnya. Disebutkan bahwasanya Nabi suci saw telah berkata kepada Imam ‘Ali, “Sekiranya engkau ingin melebihi orang-orang yang dekat kepada Allah, maka hubungkanlah ikatan (persaudaraan)mu dengan orang-orang yang telah memutuskannya darimu, berilah orang-orang yang menolakmu, dan maafkanlah orang-orang yang berbuat salah kepadamu.” Sifat al-Wadûd pantas menerima dari hamba-hamba Allah yang mereka menginginkan satu sama lain apa yang mereka inginkan bagi diri mereka sendiri dan bahkan lebih! Mereka akan lebih mendahulukan orang lain ketimbang diri mereka sendiri. Seorang saleh suatu ketika berkata, “Aku ingin menjadi sebuah jembatan di atas api agar orang-orang yang menyeberang [ke surga] tidak terganggu.”
Kesempurnaan dari hal di atas adalah bahwa kemarahan, kecemburuan, atau bahaya yang diterima tidak menghentikan seseorang yang meniru sifat ini dalam perilakunya dari mendahulukan orang lain ketimbang dirinya sendiri dan dari bersikap baik kepada mereka; hal deniikian terjadi adalah berkat ajaran pemimpin kita Rasulullah saw kepada kita. Suatu saat empat: giginya patah, dan wajah beliau berdarah, namun perlakuan sembrono yang dilakukan orang kafir terha'ctapnya tidak menghentikannya dari mendoakan mereka atau mengharapkan kebaikan bagi mereka. Ibn ‘Abbas dikutip pernah mengatakan bahwa dirinya mendengar Rasulullah saw, yang baru menyudahi shalatnya, berdoa seperti ini: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu rahmat dari-Mu dimana Engkau membimbing hatiku, mengatur urusan-urusanku, menyatukan kerabatku, dan membawa perbaikan pada orang-orang yang jauh di antara kerabatku. Aku memohon kepada- keamanan pada Hari yang Dijanjikan, surga pada Hari Keabadian, dalam persahabatan dengan para saksi yang dekat dengan-Mu, mereka yang rukuk dan sujud, yang memenuhi janji mereka..., karena sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
Mengenai penjelasan ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya orang- orang yang beriman dan beramal saleh kelak (Allah) Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa cinta kasih.” (QS 19:96), “cinta kasih” yang disebutkan di sini artinya bahwa Allah akan menjadikan makhluk-Nya mencintai mereka, yakni Dia akan menjadikan hamba-hamba-Nya merasakan cinta kasih dan kehangatan pada atas usaha mereka sendiri. Mendukung penjelasan ini adalah sebuah hadis Rasulullah saw yang mengatakan, “|Apabila Allah mencintai salah seorang dari hamba-hamba-Nya, Dia menyuruh Jibril untuk mengatakan demikian kepada si hamba itu, kemudian Jibril mencintai hamba itu, maka ia meniinta para penghuni langit seraya berkata, ‘Allah mencintai si fulan; oleh sebab itu, kalian pun harns mencintainya,’ sesudah itu para penghuni langit mengiakannya. Dengan deniikian, cinta kepadanya (si hamba) akan tersebar di antara para penduduk bumi.”
49. Al-Majîd (Mahamulia)
Allah berfirman, “(Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya dicurahkan atas kamu, hai Ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Mahamulia.” (QS 11:73).
Dalam bahasa, majd artinya mulia; ketika dipadukan dengan perbuatan-perbuatan baik, citra seseorang akan meningkat, maka ia akan disebut agung. Ia juga memberi pengertian kejantanan, kemurahhatian, keterbukaan, dan perilaku agung.
Al-Majîd berkonotasi keagungan umum atau melimpahnya kekayaan. Seorang manusia yang majîd adalah sangat pemurah. Al-Majîd adalah Mahamulia sampai ke tingkat pengagungan yang ultimat lantaran kebaikan. sifat dan perbuatan.Nya sendiri. Dia juga agung dalam sifat-sifat-Nya. elok dalam kekuatan dan otoritasnya. Al-Majîd mempunyai tingkat keagungan yang ultimat; kasih sayang-Nya begitu luas. Al-Majîd adalah Zat Yang Mahaagung. Zat yang kedudukan-Nya begitu sublim. Zat Yang Mahakasih. Kedudukan-Nya besar, kasih sayang-Nya luas. Dia Maha Terhormat. Yang perbuatan-perbuatan- Nya indah. Yang pemurah dalam memberi. Al-Majîd memberikan karunia-karunia-Nya kepada semua yang lain. Yang mulia lantaran perbuatan-perbuatan-Nya. Yang dipuji oleh makhluk-Nya karena kebesaran-Nya. Hanya Dia yang memiliki keagungan yang sempurna, kerajaan luas sejak masa pra-keabadian, Zat yang tidak mengecewakan siapapun, Yang kehendak-Nya selalu dijalankan. Yang keagungan- Nya tidak pernah diusahakan, Yang perbuatan-Nya tidak pernah dibenci. Yang kasih sayang-Nya adalah indah, Yang memberikan segala sesuatu dengan murah hati...
Seluruh pengertian kemuliaan yang terbuka dan inklusif tersebut selalu dikembalikan kepada Allah. Seluruh gabungan dari itu semua tidak lain merupakan setetes air di samudra keagungan-Nya. Kemuliaan pun dimiliki oleh nabi-nabi-Nya. para pengganti nabi (imam), dan kepada para pejuang (mujahid).
Allah menggambarkan al-Quran sebagai majîd ketika mengatakan, “Qâf. Demi al-Quran yang sangat mulia (al-Majîd).” (QS 50:1). Al-Quran adalah majîd karena mengandung pengetahuan. Etika, dan tujuan-tujuan luhur yang sangat melimpah serta karena manfaat-manfaat yang terkandung di dalamnya; dengan demikian, al-Quran bermanfaat bagi manusia baik di kehidupan dunia ini maupun kehidupan akhirat kelak.
Orang yang mewujudkan intisari sifat ini dalam perilakunya, semestinya menjadi berperilaku mulia dan paling beradab dalam semua keadaan.
50. Al-Bâ’its (Maha Membangkitkan)
Allah berfirman, “Dan sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.” (QS 22:7).
Secara linguistik al-Bâ’its merupakan sebuah sifat yang diturunkan dari bâ’its yang artinya: menarik atau menstimulasi tindakan, sesuatu yang mendorong seseorang untuk bertindak, mengutus seseorang ke suatu tempat, pergi mencari perlindungan, atau hanya membangunkan seseorang. Ia juga berarti mengutus tentara untuk berperang: bâ’its artinya tentara. Termasuk juga pengertiannya adaIah menghidupkan orang yang sudah mati.
Kata al-Bâ’its mempunyai arti lebih dari satu:
(1) Yang Mahakuasa akan menghidupkan kembali ciptaan-Nya pada hari kiamat sebagaimma dinyatakan dalam surat al-Hajj yang dikutip diatas;
(2) Dia mengutus para rasul kepada hamba-hamba-Nya: Dalam surat an- Nahl [16]:36, Dia berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada setiap umat,”;
(3) Dia memerintah kepada hamba-hamba-Nya untuk melakukan tugas-tugas khusus dengan menciptakan dorongan-dorongan dan motivasi-motivasi dalam diri mereka;
(4) Dia mengirimkan bantuan kepada hamba-hamba-Nya yang membutuhkannya dan menolong para pendosa dengan menerima pertaubatan mereka.
Al-Bâ’its membangkitkan kembali orang-orang yang di dalam kubur, menggerakkan segala sesuatu, menimbulkan tekad, menjelmakan pengetahuan dari yang tidak diketahui. menghidupkan kembali hamba-hamba-Nya, membangkitkan makhluk-Nya pada hari kiamat. Yang mencatat apa yang tersembunyi di dalam dada. Bâ’its adalah kehidupan akhirat. Siapapun yang mengetahui pengertian hakiki dari kebangkitan, berarti mengetahui pengetahuan hakiki sifat ini. Sebagian besar manusia banyak memiliki miskonsepsi umum dan asumsi ambigu tentangnya. Mereka membayangkan bahwa kematian adalah akhir dari segala sesuatu, dan bahwa kebangkitan (adalah) memulai penciptaan barn dari ketiadaan, sebagaimana penciptaan pertama dimulai. Kepercayaan mereka bahwa kematian adalah akhir segala sesuatu sesungguhnya (kepercayaan) keliru, karena kita telah belajar dari kajian Sunnah bahwa kuburan bisa merupakan sebuah lubang neraka ataupun bisa merupakan suatu bagian dari surga. Orang yang mati bisa bahagia bisa juga sengsara. Golongan yang bahagia seperti para syahid, tidaklah mati; sebaliknya, Allah telah mengatakan tentang mereka dalam surat Ali ‘Imrân [3]:169-170, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Golongan sengsara juga hidup, (yakni) menuju kehidupan yang menyengsarakan. Karena alasan ini, suatu saat Rasulullah saw menyalami golongan kedua (yang mati) sebagai akibat dari Perang Badar dengan mengatakan, “Aku telah mendapatkan apa yang Tuhanku telah janjikan kepadaku sebagai hal yang benar; nah, sudahkah engkau mendapatkan apa yang Tuhanmu telah janjikan kepadamu sebagai benar?” Beliau ditanya, “Bagaimana Anda bisa menyalami orang-orang telah berubah menjadi bangkai berbau busuk?” Beliau menjawab, “Kalian tidak mendengarku lebih baik dari mereka, kecuali bahwa mereka tidak bisa menjawabku kembali.”
Al-Bâ’its pun adalah Zat yang mengilhamkan tekad dalam hati manusia untuk menjalankan banyak tujuan di medan perang jihad dan untuk menyucikan hati mereka sendiri. Al-Bâ’its menyemaikan kehendak tersebut untuk membangkitkan banyak ikhtiar, Yang memupus dari hati kalian bisikan-bisikan jahat, Yang menyalakan kesadaran batin dari keberatan dan menyucikan perbuatan-perbuatan dari kecabulan. Dia mengutus para rasul-Nya guna menyampaikan perintah-perintah-Nya: “Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.” (QS 2:213).
Dia menghidupkan kembali orang yang mati, “Setelah itu Kami bangkitkan kalian sesudah kalian mati...” (QS 2:56).
Dia membangunkan orang yang tidur dengan menggerakkan kembali tubuh-tubuh mereka, “Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu di siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dulu kamu kerjakan.” (QS 6:60).
Maka, Mahasuci Dia karena membangkitkan orang yang mati dan mencatat apa yang disembunyikan di dalam dada (hati).
Tema bâ’its disebut di banyak tempat dalam al-Quran suci. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada setiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut (setan).” Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (QS 16:36)
Dan pada sebagian malam hari bershalat tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat terpuji. (QS 17:79)
Kemudian Kami bangunkan mereka agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (tertidur dalam gua itu). (QS al-Kahfi [18]:12)
Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali- kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: “Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian kamu akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS 64:7)
Bagian inspirasi seorang hamba Allah mungkin bisa turun dari sifat al-Bâ’its adalah pengetahuannya bahwa sebuah jiwa pertama-tama tidak punya pengetahuan akan sesuatu, sebagaimana tubuh. Allah berfirman dalam surat al-An’âm [6]:122, “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya nan terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah- tengah masyarakat manusia sama dengan orang yang keadaannya berada dalam keadaan gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.”
Juga dalam surat an-Nahl [16]:2, Dia berfirman, “Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya yaitu: ‘Peringatkan olehmu sekalian bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.’”
Sekiranya seorang hamba Allah berjuang keras untuk belajar, maka ia seolah-olah telah memasukkan kehidupan baru dalamjiwanya setelah kematiannya. Sekiranya ia berusaha keras mengajari orang yang bodoh, maka ia seolah-olah menghidupkan jiwa mereka setelah kematian mereka.
51. Al-Syahîd (Maha Menyaksikan)
Allah berfirman, “Tidakkah Tuhanmu cukup bagimu bahwa sesungguhnya Ia menyaksikan segala sesuatu?” (QS 41:53).
Menurut Mu’jam Maqayîs al-Lughah oleh Ibn Faris, topik kata kerja syahida―yang artinya melihat, menyaksikan, atau membenarkan―secara linguistik menunjukkan kehadiran, pengetahuan, dan penyebaran pengetahuan tersebut. Sifat al-Syahîd diturunkan dari kata syuhûd, saksi [mata], dan itu membutuhkan pengetahuan melalui observasi: Allah adalah al-Syahîd karena Dia hadir dan melihat segala sesuatu yang telah Dia ciptakan dan yang akan Dia ciptakan sekaligus dan di satu tempat, dan Dia sepenuhnya mengetahui makhluk-makhluk tersebut; “... dan Dia bersamamu dimanapun kamu berada.”
Al-Syahîd adalah superlatif dari al-Syahid, Saksi. Dalam karyanya Taj al-Arûs, al-Zubaidi telah mengindikasikan bahwa al-Syahîd adalah salah satu sifat Allah yang artinya: “Zat Yang jujur dalam kesaksian- Nya dan tak sesuatupun yang luput dari ilmu-Nya.” Ilmu-Nya adalah sangat sempurna berkenaan dengan semua benda yang tampak. Al- Quran menyatakan dalam surat Ali ‘Imran [3]:18, “Allah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia.”
Al-Syahid mengetahui dan mewujudkan pengetahuan dari apa yang Dia ketahui atas kelompok terpilih di antara hamba-hamba-Nya yang paling tulus dan setia. Allah telah membuktikan keesaan wujud-Nya melalui semua ciptaan-Nya. Al-Syahîd adalah Mahahadir; tak sesuatu yang bist keluar dari kerajaan-Nya; segala sesuatu berada dalam kerajaan-Nya.
Dalam surat an-Nisâ’ [4]:79, Allah berfirman kepada Rasulullah saw: “...Kami telah mengutusmu (wahai Muhamad) pada manusia sebagai (rasul Kami); dan cukuplah Allah sebagai saksi.” Yakni, Allah mencukupkan Diri-Nya sebagai Saksi atas semua umat manusia menyangkut kebenaran pesan (dakwah)mu: Dia membenarkan bahwasanya engkau adalah rasul-Nya yang tidak punya kendali atas hamba-hamba-Nya. Dalam surat al-An’âm [6]:19, Dia berfirman, “Katakanlah (Hai Muhammad!): ‘Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?’ Katakanlah olehmu: ‘Allah adalah saksi antara aku dan kamu,’” yaitu, apabila kita mengutip kembali, “Tanyakanlah kepada mereka: Siapakah saksi yang terbesar? Katakanlah: Allah membenarkan dalam hal engkau dan aku.” Allah memerintahkan rasul-Nya untuk bertanya kepada orang-orang kafir, “Kesaksian manakah yang terbesar dan terakurat?” Kemudian Dia memerintahkan kepadanya. untuk mengatakan kepada orang-orang kafir bahwa kesaksian terbesar adalah testimoni dari Zat yang pernyataan-Nya tidak membolehkan adanya ruang apapun dusta ataupun kesalahan. Testimoni, yakni syahadah, dari Yang Mahakuasa terdiri dari tiga macam:
(1) Perintah-Nya sendiri kepada manusia dalam kitab-Nya dimana Dia telah mengutus Nabi sebagai utusan-Nya;
(2) Dukungan-Nya sendiri pada rasul-Nya dalam berbagai jalan dimana yang terbesar darinya adalah al-Quran, yakni mukjizat abadi secara ilmiah dan rasional. Secara praktis ia telah dibuktikan bahwa semua manusia yang dikumpulkan tidak mampu menghasilkan suatu surat atau ayat yang menyerupai al-Quran;
(3) kesaksian dari kitab-kitab suci sebelumnya dan fakta bahwa rasul-rasul sebelumnya telah membawa kabar gembira tentang kenabiannya (Muhammad saw).
Dalam surat Yûnus, al-Quran mengatakan, “Oleh karena itu, Allah adalah saksi yang cukup di antara kami dan kalian, (bahwa) kami tidak tahu menahu tentang penyembahan kalian kepada kami.” (QS 10:29). Ayat bisa dinyatakan kembali sebagai berikut: Allah cukup sebagai saksi, wahai kaum musyrik, dan sebagai hakim di antara kami dan kalian, karena Dia mengetahui sepenuhnya akan kondisi kami dan kalian, dan kami tidak berbahagia dengan pengadaan kalian berupa sekutu terhadap-Nya. Dalam surat at-Taubah [9]:94, Yang Mahakuasa berfirman, “...Allah dan Rasul-Nya akan melihat pekerjaan-pekerjaanmu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia akan memberitakan kepadamu apa yang telah kamu lakukan.” Yakni, Dia mengetahui apa yang kausembunyikan atau kaunyatakan, apa yang kaututupi atau kautunjukkan.
Yang Mahakuasa telah menyatakan kembali frase ‘Âlim al-ghayb wasy-syahadah (Zat Yang mengetahui yang gaib dan yang nyata) sekitar sepuluh kali. Di antaranya sebagai berikut:
...Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: ‘jadilah, lalu terjadilah’, dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang gaib dan yang nyata; Dia Mahabijaksana dan Maha Mengetahui. (QS 6:73)
Yang mengetahui hal-hal yang tersembunyi dan yang nyata, Yang Mahabesar dan Mahatinggi (adalah Dia). (QS 13:9)
(Dialah) Yang Maha Mengetahui semua yang gaib dan yang nyata, maka Maha Tinggilah Dia, dari apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya). (QS 23:92)
Hal demikian itu adalah Yang Mengetahui sesuatu yang tersembunyi dan yang nyata, Mahakuasa lagi Maha Penyayang. (QS 32:6)
Katakanlah olehmu (Muhammad!): “Wahai Allah! Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata! Engkaulah yang memutuskan di antara hamba- hambamu tentang masalah yang selalu mereka perselisihkan. (QS 39:46)
Dialah Allah, tiada tuhan selain Dia; Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nampak; Dia Maha Pemurah, Maha Penyayang. (QS 59:22)
Katakanlah (wahai Muhammad utusan Kami): “Sesungguhnya kematian yang engkau hindari, benar-benar akan menemuimu, kemudian engkau akan kembali pada Yang Mengetahui yang gaib dan yang tampak, lantas Dia memberi tahu kamu apapun yang pernah engkau lakukan. (QS 62:8)
Kaum yang beriman, kaum yang percaya pada Muhammad sebagai Rasulullah saw, senantiasa ingat bahwa Tuhannya, Allah, adalah Saksi atas segala sesuatu, dan ia pun adalah kaum penyaksi di setiap bidang. Tentang ini, Tuhannya telah berfirman: “Dan demikianlah telah Kami jadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan [yakni adil dan pilihan], agar kamu bisa menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS 2:143).
52. Al-Haqq (Mahabenar)
Allah berfirman, “Yang demikian itu karenasesungguhnya Allah, Dialah yang hak, dan karena sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS 22:6)
Salah satu sifat Allah adalah al-Haqq, Mahabenar. Eksistensi-Nya terbukti benar dan demikian pula ketuhanan-Nya. Dia menjadikan kebenaran menjelma melalui kekuatan firman-Nya, Yang mendukung mereka yang dicintai-Nya melalui tanda-tanda-Nya. Allah adalah al- Haqq, yang pantas untuk diibadahi, Yang senantiasa ada dan tak pernah lenyap hilang, Yang kehadiran-Nya terbukti senantiasa ada, sejak masa azali dan abadi selamanya―bahkan sebelum waktu (ada) dan di atas (melampaui) waktu. Kehadiran-Nya merupakan suatu realitas yang tegak di atas kebaikannya sendiri, dan tidak ada eksistensi kecuali melalui-Nya, dan oleh-Nya. Dia tak pernah bergerak dan di atas gerakan (itu sendiri) ataupun sesuatu yang fisikal atau material. Dia membiarkan kebenaran untuk menjelma dengan sendirinya. Dia menciptakan segala sesuatu sebagaimana kearifan-Nya menitahkan. Dia ada dengan sedemikian cara yang tidak mengizinkan adanya suatu celah bagi-Nya untuk tidak ada, tidak sama, atau punah. Segala sesuatu yang ada berasal dari-Nya, dan kepada-Nya tujuan berakhir.
Al-Haqq adalah antitesis dari kebatilan. Menurut sebuah hadis, Rasulullah saw telah berkata, “Labbayka Haqqan Haqqa!” yakni, “Di sinilah aku, Wahai Yang Mahabenar, wahai Zat Yang Mahabenar, di sini aku, dalam ketaatan kepada-Mu! Di sini aku, wahai lawan dari kebatilan!” Sesungguhnya Dialah kebenaran yang menernbus setiap keraguan.
Allah berfirman, “Kemudian mereka dikembalikan kepada Allah, pemimpin dan penguasa mereka Yang Mahabenar.” (QS 6:62).
Dan juga, “Demikianlah karena sesungguhnya Allah Dialah hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah adalah batil.” (QS 31:30)
Juga, “Dan Allah akan membuktikan kebenaran sebagai kebenaran dengan kata-kata-Nya.” (QS 10:82)
Janji-Nya sangat benar. Dalam hal ini Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya janji Allah itu benar.” (QS 31:33)
Setiap kali Nabi saw rnelakukan shalat tahajjud, beliau selalu berdoa seperti ini:
“Ya Allah, segala puji untuk-Mu! Engkaulah Tuhan langit dan burni dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya! S,egala puji untuk-Mu! Engkaulah Zat yang memberi rezeki langit dan burni dan segala sesuatu yang ada pada keduanya! Engkaulah Yang Mahabenar; Firman-Mu benar; Janji-Mu benar; perjumpaan dengan-Mu adalah benar; surga adalah benar; neraka adalah benar; Hari kiarnat adalah benar! Ya Allah, kepada aku berserah diri; kepada-Mu aku berirnan; kepada-Mu aku bertawakal; kepada-Mu aku kernbali; karena-Mu aku berselisih dengan yang lain, berdasarkan kebenaran-Mu aku bertahkim; maka, aku memohon kepada-Mu untuk mengampuni kesalahan-kesalahanku di masa lalu dan di masa depan, apa yang kusernbunyikan dan apa yang kunyatakan! Engkaulah Tuhanku. Tiada tuhan selain Engkau.” [16]
53. Al-Wakîl (Maha Memelihara Penyerahan)
Allah berfirman, “... bertawakallah kepada Allah dan cukuplah Allah sebagai pelindung.” (QS 4:81; 33:3).
Al-Wakîl adalah satu dari sekian banyak sifat Allah. Sifat-sifat (Allah) ini menghubungkan siapapun, yang membacanya secara berkali-kali sekaligus memahami makna-maknanya, dengan taman- taman Allah, Yang Mahabenar, Yang memiliki segenap keindahan, kesempurnaan, dan keagungan. Al-Wakîl adalah Pemberi rezeki, Zat yang mewujudkan Diri-Nya sendiri guna menyediakan rezeki bagi hamba-hamba-Nya. Dia, dan hanya Dia, mengurus semua urusan orang-orang yang ada dalam pengayoman-Nya, di bawah perlindungan-Nya. Menurut para ahli bahasa, al-Wakîl adalah Dia yang dipercayai untuk mengatur semua urusan, Yang menyediakan hamba-hamba-Nya segala sesuatu yang mereka butuhkan. Dengan kata lain, Dia mengurus segala sesuatu. Al-Wakîl menjaga hamba-hamba-Nya yang saleh dengan murah hati. Kepada-Nya semua urusan dikembalikan. Dialah yang mewujudkan kebenaran; maka barangsiapa yang bertawakal kepada-Nya, akan merasa cukup dan barangsiapa yang meminta kecukupan dari-Nya akan merdeka dan ridha.
Hamba-hamba Allah telah mempercayakan semua urusan mereka kepada-Nya dan bersandar .pada kasih sayang-Nya lantaran ketakmampuan mereka untuk meraih apa yang mereka inginkan melawan kekuasaan-Nya untuk berbuat demikian: Dia mengurus kondisi hamba-hamba-Nya, Yang mengatur mereka sebagaimana Dia menghendaki. Orang-orang yang mengakui-Nya akan mempercayakan kepada-Nya untuk menjalankan masalah-masalah mereka sendiri. Sesungguhnya Dialah satu-satunya Zat yang benar-benar mengurus segenap hamba-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya. Pabila salah seorang hamba-Nya mempercayai-Nya guna menjalankan semua urusannya sendiri, secara elok Dia akan menyelamatkannya dari kesulitan dan akan memberi si hamba lebih dari yang lainnya; Dia memberi kecukupan kepada orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. Dia mengurus semua hamba-Nya. Dia memulai pemberian kepada manusia tanpa diminta oleh yang kedua dan Dia memberi manusia segala sesuatu yang ia butuhkan. Setiap kali insan memohon kepada- Nya, Dia mengarahkan perhatian-Nya kepada insan tersebut dan secara menawan menjaga dan melindunginya. Jika ia tetap teguh di jalan nan lurus, Dia akan memarka (menandai) semua perbuatan si hamba dengan keindahan bimbingan dan kawalan-Nya.
Secara linguistik, seorang wakîl adalah orang yang kepadanya seseorang percaya dan bersandar. ltulah mengapa dikatakan bahwasanya orang yang bersandar (bertawakal) kepada Allah akan mengetahui bahwa Allah mencukupi sejauh rezekinya dan sejauh masalahnya diperhatikan, maka ia bersandar kepada-Nya dan hanya kepada-Nya, dan tidak bergantung kepada selain-Nya. Wakîl dari seseorang artinya seseorang yang secara efisien mewakili orang lain atau berbuat atas nama orang lain itu atas apa yang tidak mampu dilakukannya.
Dalam surat Had [11]: 12, Allah berfirman kepada Nabi Muhammad saw, “Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah pemelihara segala sesuatu.” Yakni, “Tanggung jawabmu sebatas menyampaikan wahyu, untuk mengingatkan akibat-akibat menyedihkan dari menolak wahyu, mengajak manusia untuk menerimanya, sedangkan Allah mengatur semua urusan hamba-Nya dan mengawasi mereka, sesuatu yang engkau tidak punya keharusan melakukannya, lantaran ia merupakan tanggung jawab Pencipta terhadap seluruh makhluk-Nya dan ia bukan suatu masalah untuk diajarkan atau disampaikan.”
Mengisahkan cerita Nabi Ya’qub as dan putranya, Yang Mahakuasa berfirman dalam surat Yusuf [12]:66, “Dan ketika mereka memberikan janji mereka, Ya’qub berkata, ‘Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan ini.’” Dalam surat al-Muzzammil [73]:9, Yang Mahakuasa berfirman kepada Nabi Muhammad saw, “(Dialah) Tuhan timur dan barat, tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung.” Ucapan di sini diulang sebanyak dua kali kepada Rasulullah saw; karenanya, beliau acap kali mengingat Tuhannya, al-Wakîl al-Hafizh, mengingatkan para sahabat dan pengikutnya agar jangan pernah mengabaikan penyebutan sifat agung ini selama masa-masa sulit, bencana, dan musibah. Suatu ketika Rasulullah berkata, “Bagaimana bisa aku merasa bahagia mengetahui bahwa malaikat yang dipercayai meniup terompet (yakni malaikat Israfil) telah mengeluarkan terompet itu dan membungkukkan dahinya mendengarkan perintah untuk meniup terompet?” Para sahabatnya berkata kepadanya, “Lantas apa yang dianjurkan untuk kami baca, wahoo Rasulullah?” Beliau menjawab, “Katakanlah: ‘Hasbunallâh wa ni’mal-wakîl (Cukuplah Allah bagi kita, sebaik-baik tempat bersandar)!’”
Rasulullah saw selalu berdoa kepada Tuhannya, al-Wakîl, di setiap kesempatan, dengan doa berikut, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu janganlah Engkau membiarkan diriku bersandar pada diriku sendiri barang sekejap matapun yang niscaya menyebabkan aku binasa.”[17] Menurut sebuah hadis qudsi, Yang Mahakuasa berfirman kepada Rasul-Nya, “Engkaulah hamba-Ku dan utusan-Ku dan aku telah menamaimu al-Mutawakkil [orang yang percaya dan bertawakal kepada Tuhannya];” oleh sebab itu, Rasulullah saw telah diperintahkan oleh Tuhannya untuk berbuat demikian, yakni selalu bertawakal kepada Tuhannya. Dalam surat Ali ‘Imrân, Dia berfirman, “...kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah, karena Allah mencintai orang-orang yang bertawakal (kepada-Nya).” (QS 3:159), yakni, “Setelah engkau bermusyawarah dengan para sahabatmu mengenai suatu masalah, engkau seyogianya bertawakal kepada Allah dalam menjalankannya dan mempercayai bantuan dan pertolongan-Nya, karena Dia adalah al-Wakîl, dan Dia adalah pelindung-Mu.” Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang berpaling dan bertawakal kepada-Nya karena mereka melakukan ikhtiar dan menggunakan sarana-sarana yang tersedia untuk mereka.”
Allah telah menjadikan Rasul-Nya sebagai model peran untuk mencontoh dalam ketawakalannya kepada Tuhannya, lantaran Allah telah memerintahkan liamba-hamba-Nya yang beriman untuk menjadi orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. Dalam surat Yûsuf, Dia berfirman, “Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nyalah aku bertawakal dan hendaklah kepada-Nya saja orang- orang yang bertawakal berserah diri.” (QS 12:67).
Di tempat lain, Dia berfirman, “Mengapa kami tidak akan bertawakal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah orang-orang yang bertawakal itu berserah diri.” (QS 14:12). Juga dalam surat az-Zumar [39]:38 kita baca, “Katakanlah (olehmu): “Cukuplah Allah bagiku!” Kepada-Nyalah bertawakal orang-orang yang berserah diri.”
Siapa saja yang memilih Allah sebagai pelindungnya adalah ia yang juga harus melindungi kepentingan Allah dalam dirinya sendiri dengan menunaikan hak-hak dan perintah-perintah-Nya dan apa saja yang telah Dia minta kepadanya, maka ia harus menjadi musuh bagi nafsunya sendiri yang menggelincirkannya siang dan malam, tanpa kehilangan sedetik pun, atau binasa bahkan sekejap matapun.
54. Al-Qawî (Mahakuat) dan 55. Al-Matîn (Mahakukuh)
Yang Mahakuasa berfirman, “Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (QS 51:58).
Al-Qawî dan al-Matîn ialah dua sifat Allah dan disebutkan dalam suatu urutan seperti itu. Keduanya mempunyai pengertian dasar yang sama.
Secara linguistik, al-Qawî diturunkan dari quwwa, kekuatan, kekuasaan, kemampuan, kesanggupan dan seterusnya. Dalam kamus- kamus ia merupakan petunjuk kekuatan lawan kelemahan. Kekuatan dalam makna ini menerangkan suatu kekuasaan yang sempurna dan utuh. Karena Dia Mahakuat, Allah mempunyai kekuasaan yang sangat sempurna dan kekuatan serta kesempurnaan yang mutlak; Dia berfirman, “...Sesungguhnya Tuhanmu Dialah Yang Mahakuat lagi Mahaperikasa.” (QS 11 :66).
Al-Qawî artinya: Zat yang kekuatan-Nya tidak terpatas dan di hadapan-Nya kekuatan musuh-musuh-Nya menciut, dan demikian pula kebesaran seseorang yang dipandang besar.
Allah telah mengaruniakan para malaikat suatu kekuatan yang sangat dimana satu malaikat, misalnya, mampu membalikkan sebuah gunung atau menenggelamkan kota-kota. Bagaimanapun malaikat seperti itu, atau sejenisnya―takut kepada Allah dan kekuasaan-Nya―terguncang dalam kekaguman karena takut akan kebesaran-Nya. Al-Qawî adalah Zat yang kekuasaan dan kebesaran-Nya adalah sempurna: Dia menundukkan dan tidak dikalahkan; Dia membantu dan tidak dibantu; Kekuasaan-Nya lebih tinggi ketimbang kekuasaan siapapun. Disebutkanjuga bahwa Dia tidak pernah mengalami kelemahan apapun dalam Diri-Nya sendiri, dalam sifat-sifat-Nya, atau dalam perbuatan-perbuatan-Nya, dan kekuasaan-Nya merupakan isyarat dari kekuasaan-Nya yang sempurna.
Banyak ayat al-Quran yang menjelaskan bahwa Allah adalah Mahakuat, di antaranya sebagai berikut:
Dan seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat) bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (QS 2:165)
Dan mengapa ketika kamu memasuki kebunmu, kamu tidak mengucapkan: ‘(Ini adalah) kekuasaan Allah, tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah’?” (QS 18:39)
Adapun kaum ‘Ad[18] mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa kebenaran, dan mereka berkata: ‘Siapakah yang lebih besar kekuatannya daripada kami?’ Tidakkah mereka melihat bahwa Allah menciptakan mereka yang kekuatannya lebih daripada mereka? Dan mereka mengingkari tanda-tanda Kami.” (QS 41:15)
Apabila kita mempertimbangkan ayat-ayat suci yang dikutip sebelumnya, kita akan menemukan sifat al-Qawî ada pada surat al- Anfâl [8]:52 dan al-Mu’min [40]:22 sebagai Zat Yang amat keras siksaan-Nya. Sifat al-Qawî telah tujuh kali dipadukan dengan sifat al- ‘Azîz; kekuatannya tidak cocok kecuali bagi mereka yang mulia. Kekuatan diiringi dengan kepedihan.
Akar kata, matana, mengandung arti kepadatan dengan pengembangan dan perluasan. Ia bisa diterapkan pada batu yang keras, atau garis melintang yang lurus. Al-Matîn adalah al-Qawî, Yang Mahakuat, Yang bisa berbuat apapun sebagaiman Dia kehendaki, Yang tidak membutuhkan suatu tentara untuk memperkuat otoritas-Nya. Dia tidak membutuhkan bantuan, pendukung ataupun pembantu. Jangan kau sandarkan harapan kepada selain-Nya. Al-Matîn adalah Zat yang kekuasaan-Nya sempurna; tak sesuatu pun di langit ataupun di bumi bisa tegak di jalan-Nya. Dialah Allah yang menjalankan kehendak-Nya, Yang merniliki kekuasaan abadi; Dia menjalankan segala sesuatu meski tak sesuatu bisa mempengaruhi-Nya.
56. Al-Walî (Maha Melindungi)
Allah berfirman, “Allah adalah pelindung (wali) bagi orang-orang yang beriman.” (QS 2:257).
Al-Walî artinya kedekatan, siapapun yang menjadi mitra, tetangga, pelindung, kerabat dst. Ia juga berarti pendukung, yang dikasihi.
Allah berfirman, “Allah adalah pelindung (wali) bagi orang-orang yang beriman.” (QS 2:257).
Mengutip Nabi Yusuf as, Dia berfirman, “Engkaulah Pelindungku di dunia dan akhirat.” (QS 12:101).
Menukil orang beriman, Dia telah berfirman, “Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS.2:286).
Dan, “Kemudian mereka dikembalikan kepada Allah, pemimpin dan penguasa mereka, Yang Mahabenar.” (QS 6:62).
Juga, “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung bagi orang-orang yang beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir tidak punya pelindung.” (QS 47:11).
Allah adalah Pelindung hamba-hamba-Nya. Seorang hamba Allah yang baik juga seorang teman-Nya. Yang Mahamulia berfirman, “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah, tiada ketakutan atas mereka, dan tiada pula bagi mereka kesedihan.” (QS 1Q:62).
Kata walî secara serentak memberi makna sebagai seorang tuan dan majikan, penolong, tetangga, sepupu, sekutu, pelindung... Persamaan umum dari semua arti tersebut adalah kedekatan. Seorang walî adalah ia yang dekat dengan seseorang baik secara fisik maupun secara kiasan. Yang Mahakuasa berfirman, “Awla laka fa awla” (QS 75:34): Celakalah kalian (yakni kehancuran) dan kecelakaan bagimu, suatu peringatan jelas yang berarti: “Ia (kehancuran) telah kian mendekatimu, dan yang telah kuperingatkan kepadamu semakin mendekatimu; karena itu hati-hatilah!”
Hal ini membuktikan bahwa akar kata sifat ini diturunkan dari kedekatan. Arti ini ditemukan dalam kasus seorang hudak, penolong, sepupu, sekutu, atau pelindung. Dalam semua kasus ini, ada situasi- situasi yang mensyaratkan kedekatan dan komunikasi. Jika ini terbukti, keberadaan-Nya sebagai al-Walî bagi hamba-hamba-Nya merupakan petunjukkeberadaan-Nya yang dekat dengan mereka. Yang Mahakuasa berfirman dalam ayat-ayat berikut:
“...dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada.” (QS 57:4)
“...dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat nadi mereka (sendiri).” (QS 50:16)
“Tiadalah pembicaraan rahasia antara tiga (orang) melainkan Dia-lah yang keempat.” (QS 58:7)
Sesiapa yang mengulang-ulang membaca sifat ini, mengetahui pengertian agungnya, pastilah seorang teman (wali) Allah. Setiap teman Allah juga teman manusia, hamba-hamba Allah. Dia memelihara mereka, mengatur semua urusan mereka, dan seterusnya. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.” (QS 9:71).
Barangsiapa yang ingin dekat dengan Yang Mahakuasa akan mendapatkan-Nya bersedia menjadi temannya juga, dan barangsiapa yang berpaling dari Allah, Allah akan berpaling darinya, dan setan akan menyambutnya dengan tangan terbuka.
57. Al-Hamîd (Maha Terpuji)
Yang Mahakuasa berfirman, “Hai manusia! kamulah yang perlu kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (QS 35:15).
Akar kata al-Hamîd adalah hamd, yaitu pujian, sesuatu yang lebih umum ketimbang berterima kasih. Al-Hamîd juga al-Mahmûd, Yang Terpuji. Allah adalah al-Hamîd karena memuji Diri-Nya sendiri sejak masa azali danjuga karena hamba-hamba-Nya memuji-Nya. Sifat-sifat- Nya, seperti Mahaagung dan Maha Terpuji, adalah fakta bahwa mereka yang menyebutkan sifat-Nya mengagungkan dan memuliakannya. Hamd dalam konteks ini berarti menyebut satu persatu atau usaha menyebut satu demi satu sifat-sifat kesempurnaan yang dibayangkan oleh orang-orang yang memuji-Nya. Al-Hamîd memberimu keberhasilan dan memujiinu karenanya; Dia menghapus dosa-dosamu dan tidak menyulitkanmu dengan menyebarkan dosa-dosa tersebut. Dia terpuji karena kebaikan-kebaikan-Nya.
Barangsiapa yang kepercayaan, perilaku, pembicaraan, dan perbuatannya terpuji maka ia disebut hamîd. Pelukisan semacam itu hanya tepat bagi Rasulullah saw dan orang-orang yang derajatnya dekat dengannya di kalangan para nabi Allah juga orang lain seperti para wali Allah dan para ulama. Setiap orang darinya adalah hamîd berkenaan dengan kepercayaan, perilaku, perbuatan dan pemyataan- pernyataannya.
58. Al-Muhshî (Maha Mencatat)
Allah berfirman, “Agar Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya mereka (para rasul) telah menyampaikan risalah-risalah Tuhan mereka, sedang (sebenarnya) Dia meliputi (dengan pengetahuan-Nya) segala sesuatu yang ada pada mereka dan Dia mencatat segala sesuatunya satu demi satu.” (QS 72:28).
Akar kata Al-Muhshî adalah ihsha’ yang artinya: menghitung atau menjumlah. Secara linguistik, ia juga berarti menoleransi atau mampu untuk mengendalikan. Ia pun digunakan untuk melukiskan sebuah luas tanah dimana terdapat banyak kerikil atau batu-batuan.
Allah adalah Al-Muhshî Yang menghitung dan mencatat apa yang kita lakukan dan membacakannya pada hari ketika kita menemui-Nya, yakni hari pengadilan, hari hisab, perhitungan atau pembalasan, hari pahala atau siksa. Al-Muhshî mengetahui semua masalah seakurat mungkin, fahasia apa yang diperintahkan; Dia menyaksikan apa yang tampak dan mengerti sepenuhnya apa yang tersembunyi. Dia menghitung perbuatan-perbuatan ketaatan kepada-Nya, mengetahui segala sesuatu, menghitung semua napas kita, dan mengetahui singgungan dan sindiran kita. Dia mengetahui semua makhluk yang ada, ketika mereka bergerak atau ketika mereka diam, dan juga semua urusan serta perbuatan mereka.
Pengertian sifat ini berikut turunannya ada di sejumlah ayat. Di sini adalah contoh-contohnya:
Dan sesungguhnya Dia telah menjumlahkan (dari semuanya), dan menghitung mereka (dengan) hitungan yang teliti. (QS 19:94)
Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang yang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan (bahkan) bekas-bekas yang mereka tinggalkan; Dan segala sesuatu telah Kami kumpulkan pada seorang kitab induk (imam) yang jelas. (QS 36:12)
Dan segala sesuatu telah kami catatkan dalam sebuah Kitab. (QS 78:29)
59. Al-Mubdi’ (MahaMemulai)
Allah SWT berfirman, “...Kami telah jadikan penciptaan pada kali pertama, yang demikianlah Kami akan mengulanginya, (ini) adalah janji yang pasti Kami tepati, sesungguhnya Kamilah yang melaksanakannya.” (QS 21:104)
Baik al-Mubdi’ maupun dan al-Mu’îd tennasuk dari sifat-sifat Allah, dan sebagian besar orang telah membahas keduanya secara serentak.
Dalam surat al-A’râf [7]:29, kita membaca ayat berikut: “Katakanlah (olehmu): ‘Tuhanku telah memerintahkan berbuat adil’. Dan (katakanlah): ‘Luruskanlah diri (wajah) kalian di setiap shalat, dan sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya dalam beragama; sebagaimana Dia telah menciptakanmu (pada awalnya) maka kepada Dialah kalian akan kembali.’”
Juga, dalam surat an-Naml [27]:64, kita membaca: “Atau siapakah yang menciptakan manusia dari awalnya kemudian mengulanginya lagi, dan siapa juga yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan yang lain? Katakanlah: ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar.’” (QS 27:64).
Juga dalam surat al-‘Ankabût [29]:20, kita baca: “Katakanlah (olehmu wahai Rasul Kami Muhammad!): ‘Berjalanlah kalian di permukaan bumi dan lihatlah bagaimana Dia memulai penciptaan kemudian Allah menjadikannya lagi (pada hari kebangkitan); sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.’”
Adapun dalam surat ar-Rûm, sifat-sifat ini ditemukan di dua tempat, yakni ayat 11 dan ayat 27 yang dicantumkan di bawah secara berturut-turut:
Allah (Dialah) yang memulai penciptaan (manusia), kemudian menghidupkannya kembali; kemudian kepada-Nya kamu dikembalikan.
Dan Dia yang memulaipenclptaan (manusia), kemudian mengembalikannya dan bagi-Nya (menghidupkan kembali) sangat mudah,. dan bagi-Nya sifat yang sangat luhur di langit dan di bumi; dan Dia Mahaperkasa dan Mahabijaksana.
Dalam surat al-Burûj [85]: 13, kita baca: “Sesungguhnya Dia-lah yang menciptakan (segala sesuatu) dari permulaan dan menghidupkannya kembali.”
Secara linguistik, akar kata sifat ini mengandung arti mengawali, memulai, dan sejenis. Allah memulai, mengawali, menginisiasi, penciptaan semua makhluk dan Yang mewujudkan mereka. Dalam surat as-Saba’ [34]:39, kita baca: “...dan yang batil tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi.” Ayat ini diutarakan kembali dengan ungkapan berikut: ‘Apakah bisa kebatilan memulai dan apakah bisa ia kembali ?”
Al-Mubdi’ telah mewujudkan kosmos tanpa model sebelumnya, Yang menciptakan seluruh alam dengan cara yang sempurna, Yang memulai pemberian kepada dan bantuan terhadap hamba-hamba-Nya, membuktikan Diri-Nya sebagai sebaik-baik sandaran.
Barangsiapa mengingat sifat al-Mubdi’ seyogianya meminta ampunan-Nya setiap kali ia mengingatnya dan senantiasa penuh khidmat ketika berdoa kepada-Nya.
60. Al-Mu’îd (Maha Mengulangi)
Allah berfirman, “Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya kembali. Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pencinta.” (QS 85:13-14).
Secara linguistik, akar kata sifat ini adalah: kembali, pulang. Kita berdoa demikian, “Ya Allah, kami memohon kepada-Mu agar memberi kami keputangan ke rumah-Mu”, yakni pulang ke Ka’bah setelah selesai menziarahlnya atau setelah berada di sana. Seorang manusia yang mu’îd adalah orang yang mampu memahami isu-isu atau masalah-masalah tertentu dan lain-lain. Al-Ma’ad artinya hari kiamat. Menurut sebuah hadis, Rasulullah saw telah berdoa demikian, “...dan baikkanlah tempat tinggalku di akhirat kelak, karena kesanalah aku akan kembali.” Diriwayatkan bahwa Jibril as suatu ketika bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Muhammad, apakah engkau mempunyai perasaan nostalgia terhadap tempat kelahiranmu, tanah airmu?” Beliau mengiakannya. Kemudian Jibril as membacakan ayat al-Quran berikut, “Sesungguh yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) al-Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.” (QS 28:85).
Al-Mu’îd menghidupkan kembali yang mati. Ia mengumpulkan semua makhluk pada hari kiamat, mengangkat hijab-hijab dari mereka, dan memberi ganjaran atau menghukum mereka, sesuai dengan apa yang telah mereka lakukan. Dia menguji manusia tentang dengan cara bagaimanakah manusia berbuat dengan karunia-karunia yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Allah akan menyebabkan semua benda (baik makhluk hidup maupun benda mati) kembali pada ketiadaan, kemudian Dia akan menghidupkan mereka kembali: “Katakanlah olehmu (hai Muhammad!): “Akan dihidupkan oleh-Nya Yang menciptakan mereka pada pertama kalinya, dan Dialah, Maha Mengetahui tentang segala mahluk.” (QS 36:79).
Kita semestinya kembali kepada Allah berkenaan dengan segala sesuatu. Kita harus mencamkan dalam pikiran bahwa Allah menciptakan ketika tidak ada sama sekali. Dialah yang menetapkan takdir kita.
61. Al-Muhyî (Maha Menghidupkan)
Allah berfirman, “Dan Allah-lah yang memberikan kehidupan dan mematikan, dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS 3:156).
Sesungguhnya Allah menghembuskan kehidupan pada tubuh- tubuh ketika Dia menggabungkan kembali jiwa-jiwa mereka kepada (tubuh-tubuh) mereka. Al-Muhyî menciptakan kehidupan dan memberinya kepada siapapun yang Dia kehendaki. Dia menciptakan manusia dari ketiadaan, kemudian Dia menghidupkan mereka kembali ketika hari kiamat mendekat setelah kematian mereka. Dia memasukkan kehidupan ke dalam kalbu mereka yang mengetahui melalui cahaya ilmu-Nya: “Apakah orang yang sudah mati, kemudian Kami bangkitkan kembali dan Kami berikan cahaya yang terang yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya?” (QS 6: 122). Allah memberi kehidupan pada sperma dan pada gumpalan seperti lintah. Ia menyebabkan hujan tercurah dari awan-gemawan untuk menghidupkan tanah yang tandus.
Banyak rujukan ayat di sepanjang al-Quran yang mengabarkan perihal Allah menghidupkan kembali sesuatu yang mati. Sebagian di antaranya adalah:
“[Lalu] Kami berfirman: ‘Pukullah ia (mayat itu) dengan sebagian [dari sapi itu].’ Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang yang telah mati dan memperlihatkan kepada kamu tanda-tanda-Nya agar kamu mengerti.” (QS 2:73)
“Tidakkah kamu mengetahui bahwa kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi? Dan tiadalah bagimu, selain Allah, seorang pelindung maupun penolong.” (QS 2: 107)
“Katakanlah (wahai Muhammad!): ‘Wahai kalian manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua, dari Dia yang memiliki kerajaan langit dan bumi, tidak ada tuhan selain Dia. Dia memberikan kehidupan dan menyebabkan kematian, maka berimanlah kalian pada Allah dan Rasul-Nya , Nabi, yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya, maka kalian ikutilah dia agar kalian dapat dituntun dengan benar.’” (QS 7:158)
“Dia memberikan kehidupan dan menjadikan mati, dan hanya kepada-Nya kalian (semua) akan kembali.” (QS 10:56)
“Dia mengeluarkan kehidupan dari kematian dan kematian dari kehidupan, dan menghidupkan bumi setelah kematiannya dan demikianlah kalian (juga) dikeluarkan (setelah) kalian mati.” (QS 30: 19) ,
“Dan di antara tanda-tanda-Nya adalah Dia memperlihatkan kilat yang menyebabkan rasa takut dan harapan, dan menurunkan air dari langit dan menghidupkan bumi dengannya setelah kematiannya. Sesungguhnya dalam hat ini terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang memahami.” (QS 30:24).
“Dialah Yang menghidupkan dan mematikan, dan apabila Dia menetapkan suatu urusan, Dia hanya berkata kepadanya ‘jadilah’ maka jadilah ia.” (QS 40:68)
“Atau sudahkah mereka telah mengdmbil tuhan selain Dia sebagai pelindung? Tetapi ,Tuhan, Dia adalah sang pelindung, yang memberikan kehidupan kepada yang mati, dan Dia Yang Mahakuasa di atas segalanya.” (QS 42:9)
“Tidak ada Tuhan selain Dia; Dia memberikan kehidupan dan menyebabkan kematian; Tuhanmu dan Tuhan bapak- bapakmu yang terdahulu.” (QS 44:8)
Seorang mukmin semestinya menghiasi perangainya dengan mengingat sifat ini sesering mungkin agar Allah memasukkan cahaya ke dalam hatinya melalui pengetahuan. Kemudian jiwanya akan berkilauan dengan rahasia penciptaan. Ia harus mengingat-Nya pertama-tama seperti di kedalaman malam.
62. Al-Mumît (Maha Memalikan)
Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Dia yang menjadikan (manusia) tertawa dan menjadikan (mereka) menangis. Dan sesungguhnya Diaiah yang mematikan dan menghidupkan.” (QS 53:43-44).
Kematian adalah lawan dari kehidupan. Angin disebut mati pabila ia tenang. Manusia mati ketika ia tidur; tidur disebut kematian dengan jalan analogi berikut: ia menyebabkan daya akal dan hampir semua gerakan anggota tubuh lainnya berhenti. Al-mawt adalah tanah yang tidak pernah dibajak. Orang yang hatinya mati adalah dungu, bodoh, idiotik, kehangatan akalnya mendingin dan mati.
Al-Mumît, Yang Mahakuasa, menurunkan kematian kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Tak seorang pun yang menyebabkan kematian selain Dia. Dia telah menaklukkan hamba-hamba-Nya dengan kematian, menyebabkan mereka kembali ke bumi yang darinya Dia telah menciptakan mereka dan ditutupi dengan debu...
Al-Mumît telah menyebabkan hati-hati para pendosa mati lantaran menentang kehendak-Nya. Dialah Pencipta kematian. Dia telah menyebabkan para tiran mati keluar dari rahmat-Nya untuk hidup. Dia menyebabkan para penindas mati karena kedurhakaan mereka kepada- Nya. Dia menyebabkan tanah menjadi tandus, gersang, kosong dari tetumbuhan, kemudian Dia menghidupkannya kembali ketika ia menghasilkan. Dia menghidupkan sunnah-Nya dengan menyebabkan para nabi-Nya mewarisinya dari leluhur mereka. Dialah yang menyebabkan kematian bid’ah-bid’ah melalui hidupnya pengetahuan.
Suatu saat Rasulullah saw melakukan ibadah haji, lalu berdiri di atas shafah (pelana kuda), memandang baitullah, Ka’bah. Kemudian beliau bertakbir sebanyak tiga kali, “Lâ ilâha illallâh wahdahu lâ syarika lahu. Falahul-muik, walahul-hamd, yuhyî wa yumît, biyadihil- khayr, wahuwa ‘ala kulli syai-in qadîr (Tiada tuhan selain Allah, Yang Mahatunggal, tiada sekutu bagi-Nya. Kepunyaan-Nyalah kerajaan; bagi-Nya segala pujian. Dialah yang menghidupkan dan (Dialah) yang mematikan. Di tangan-Nyalah semua kebaikan dan Dialah Mahakuasa atas segaIa sesuatu).”
Abu Dzarr al-Ghifari, semoga Allah meridhainya, dikutip pernap mengatakan bahwa setiap kali Rasulullah saw bersiap-siap untuk tidur, beliau selalu berdoa berikut: “Dengan nama-Mu, ya Allah, aku hidup dan aku mati”, dan setiap kali bangun, beliau selaIu berdoa berikut: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematilCan kami dan kepada-Nyalah kami kembali.”
63. Al-Hayy (Mahahidup)
Yang Mahakuasa berfirman, “... sesungguhnya tempat tinggal di akhirat itulah benar-benar kehidupan seandainya mereka mengetahui.” (QS 29:64). Dia juga berfirman, “Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) yang tidak mati.” (QS 25:58).
Hidup adalah antitesis dari mati. Allah menghidupkan kembali tanah yang “mati”: Dia menumbuhkan tetumbuhan di atasnya; Dia menghidupkannya melalui air hujan. Ketika kita membahasnya sebuah sifat dari Yang Mahakuasa, itu artinya Dia Mahahidup, Yang Maha Mencukupi Dirinya sendiri sejak masa praazali dan akan terus berlangsung selamanya. Setiap makhluk hidup selain-Nya tidak hidup karena dirinya sendiri; ia tidak memberi rezeki kehidupannya dengan dirinya sendiri; alih-alih, kehidupannya diberi rezekioleh al-Hayy. Al- Hayy tidak pernah mati. Al-Quran menyatakan, “Sesungguhnya kamu akan mati (suatu saat) , dan mereka (juga) akan mati (suatu saat).” (QS 39:30).
Al-Hayy adalah Pelaku, Yang Mahatahu; suatu perbuatan tanpa sumber atau kesadaran adalah mati. Tingkat terendah dari kesadaran adalah kesadaran pada dirinya sendiri. Sesuatu yang tidak menyadari dirinya sendiri adaiah objek mati. Allah adalah Zat Mahahidup mutlak dan setiap orang dan segala sesuatu yang hidup selain Dia adalah hidup menurut tingkat kesadarannya.
Anas bin Malik berkata, “Suatu saat aku sedang duduk dengan Rasulullah saw dalam suatu lingkaran ketika seorang lelaki tengah menyelesaikan shalatnya. Setelah rukuk, sujud, dan tasyahhud, ia berdoa kepada Tuhannya sebagai berikut: “Ya, Allah, aku memohon kepada-Mu dengan sebenar-benarnya bahwa bagi-Mu segala pujian.
Tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah Zat yang memberi tanpa inengingatkan yang mengambil, Yang menciptakan langit dan bumi; wahai Engkau yang memiliki semua kemuliaan dan semua kesucian! Wahai Yang Mahahidup, Yang Maha Memberi rezeki, aku memohon kepada-Mu...’ Nabi saw kemudian berkata, “Sesungguhnya ia telah memohon kepada Allah sifat suci-Nya yang teragung. Dia menjawab dengan baik ketika Dia diminta, dan Dia memberi ketika dimohon.’”
Al-Mumît menyebabkan hatimu mati engkau lalai dari mengingat- Nya danjiwamu mati ketika engkau secara terns menerns menyimpang dari jalan-Nya yang lurns, dan mindamu mati ketika membiarkan hasratmu mengendalikanmu. Al-Muhyi menghidupkan kalbu-kalbu orang yang mengetahui dan berserah diri kepada-Nya secara sukarela, sementara al-Mumît menyebabkan kematian [spiritual] mereka yang melawan kehendak-Nya.
64. Al-Qayyûm (Maha Berdiri sendiri/Maha mandiri)
Allah berfirman, “Alif Lâm, Mîm. Allah, tiada Tuhan selain Dia, yang Hidup Kekal serta Berdiri Sendiri (Tempat bergantung segala sesuatu). (QS 3: 1-2).
Orang yang qayyim adalah seorang penguasa dan pengatur urusan-urusan. Akidah qayyim adalah keimanan (mazhab) Hanafi. Hari qiyamah adalah hari ketika setiap orang akan berdiri di hadapan Allah, Tuhan semesta alam, untuk diadili. Al-Qayyûm tidak pernah diciptakan, Yang mengatur semua urusan.
Al-Qayyûm ada secara mutlak pada diri-Nya sendiri, tidak melalui yang lainnya, sedangkan setiap wujud lain ada melalui Dia dan karena Dia. Tak sesuatu pun, tidak ada kehidupan apapun, yang bisa diberi rezeki tanpa Dia. Al-Qayyûm adalah Yang Abadi, Mahakekal yang tidak pernah mengalami kematian. Dia menjalankan keadilan dan persamaan, Yang Berdiri sendiri, Yang tak pernah tidur.
Menurut Abdullah bin ‘Abbas, setiap kali Rasulullah bangun mendirikan shalat malam, beliau senantiasa berikut: “Ya Allah, segala puji untuk-Mu, Engkaulah Tuhan langit dan bumi. Segala puji untuk- Mu. Engkaulah al-Qayyûm dari langit dan bumi dan segala sesuatu di antara keduanya. Segal a puji untukmu, Engkaulah Cahaya langit dan bumi. Segala puji untuk-Mu, Engkaulah Raja langit dan bumi. Segala puji untuk-Mu. Engkaulah al-Haqq, janji-Mu benar, perjumpaan dengan-Mu benar, firman-Mu benar, surga adalah benar, neraka adalah benar, para nabi adalah benar, Muhammad adalah benar, dan Kiarnat itu benar. Ya Allah, kepada-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku bertawakal, kepada-Mu aku kembali; keputusan-Mu aku cari, maka aku memohon ampunan kepada-Mu ampunilah dosa-dosaku, dosa-dosa yang telah kulakukan dan dosa- dosa yang mungkin aku lakukan di masa depan, apa-apa yang aku nyatakan dan apa-apa yang aku sembunyikan, karena Engkaulah Zat yang memajukan dan menunda. Tidak ada tuhan selain Engkau dan tidak ada daya ataupun kekuatan melainkan pada Allah.”
Menurut hadis lain, beliau telah bertnohon kepada Penciptanya dengan mengatakan, “Ya Hayy Ya Qayyûm, kami memohon pertolongan-Mu dengan rahmat-Mu! Ya Allah, aku memohon kepada- Mu untuk memperbaiki urusan-urusanku, semuanya, dan jangan membiarkan aku untuk menyerahkan diriku sendiri bahkan untuk sekejap matapun, atau untuk waktu sesaat, ataupun pada siapapun dari makhluk-Mu.” [19]
Imam ‘ Ali as berkata, “Selama Perang Badr, aku turut serta dalam perang tersebut selama beberapa waktu, kemudian aku datang kepada Rasulullah saw untuk melihat apa yang tengah beliau lakukan. Aku mendapatkan beliau tengah bersujud seraya membaca, ‘Ya Hayyu, ya Qayyûm!’ Maka aku kembali ke medan perang, lalu aku kembali ke beliau dan aku melihat beliau masih membaca doa yang sama. Aku kembali ke medan perang, lalu kembali menemui beliau dan beliau masih melakukan hal yang sama sampai Allah memberi kami kemenangan.”
Abdullah bin ‘Abbas dikutip sebagai mengatakan bahwa sifat Allah yang paling agung adalah al-Hayy at-Qayyûm. Barangsiapa yang benar- benar menyadari bahwa Dia, Mahasuci Ia, adalah Qa’im, Qayyim, Qiyam dan Qayyûm, tidak akan pernah memisahkan hatinya dari kecintaan kepada Sang Pencipta.
Al-Qayyûm menunjukkan kemandirian-Nya dan ketergantungan yang lain kepada-Nya, yang Dia tidak membutuhkan siapapun ketika setiap orang membutuhkan-Nya.
Allah, Mahasuci Ia, adalah satu-satunya al-Hayy al-Qayyûm: Dia ada karena Diri-Nya sendiri, sedangkan segala sesuatu yang ada tergantung kepada-Nya untuk terns ada. Jadi, berserah dirilah pada al-Qayyûm yang kepada selain-Nya engkau tidak membutuhkan pendukung lain, ataupun orang lain selain Dia yang bisa memberi rezeki kepadamu, ataupun orang lain yang bisa mengajarimu apapun yang perlu engkau ketahui.
65. Al-Wâjid (Maha kaya)
Allah berfirman, “Dan barangsiapa melakukan kejahatan, atau menganiaya dirinya sendiri dan setelah itu meminta pengampunan dari Allah, niscaya ia akan menjumpai Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 4:110).
Akar kata al-Wâjid adalah jidda, kelimpahan dan kernandirian. Al-Wâjid adalah Yang Maha Mengetahui: “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” (QS 93:7); “...dan ia mendapatkan (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup.” (QS 24:39).
Frase “ia mendapatkan (ketetapan) Allah di sisinya” artinya “ia menemukan bahwa Allah...” Al-Wâjid memiliki segala sesuatu; Dia tidak kekurangan sesuatupun; Dia tak pernah tidak mampu rnelakukan apapun yang dikehendaki-Nya. Al-Wâjid adalah Zat yang tak sesuatu pun yang luput dari pengetahuan-Nya; Dia sama sekali tidak mengabaikan sesuatupun. Dia lawan dari pihak yang telah kehilangan segala sesuatu.
Al-Wâjid tidak membutuhkan hal-hal ataupun keperluan apapun terkait dengan ketuhanan dan kesempurnaannya; Dia tiada lain adalah Allah, Zat Yang Mahamulia. Dalam pengertian semacam ini, Dia dan, hanya Dia, adalah al-Wâjid Mutlak. Siapapun selain Dia yang mungkin memiliki sebagian sifat kesempurnaan ketika masih kekurangan beberapa hal sama sekali tidak bisa disebut wâjid.
Al-Wâjid memiliki segala sesuatu yang Dia inginkan dan maui di sisi-Nya. Dia bisa melaksanakan perintah-Nya. Dia mengetahui segala sesuatu dan Dia menetapkan segala sesuatu. Dia marnpu melakukan segala sesuatu. Tak sesuatupun di luar jangkauan atau kekuasaan-Nya. Kedudukan-Nya begitu agung. Dialah Yang Mahamulia. Kekuasaan-Nya paling sempurna. Dia memberi secara melimpah dan murah hati.
Akar kata sifat ini memiliki banyak pengertian seperti: menemukan sesuatu melalui kekuatan indra, pencapaian sebuah tujuan atau matalamat (a goal), eksistensi sesuatu, kesadaran mental (the mental realization).
66. Al-Mâjid (Maha mulia)
Yang Mahakuasa berfirman, “...begitulah perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu.” (QS 27:88).
Akar kata sifat ini adalah majda, kata benda yang artinya kemuliaan dan kehormatan. Seorang manusia bisa disebut sebagai mâjid apabila ia telah menurunkan dari orang tua yang dikenal telah mempunyai reputasi terpandang berupa kemuliaan dan kehormatan. Seorang yang mâjid adalah orang yang sangat istimewa. Ia sangat sering memberi orang lain dengan karunia-karunianya.
Sifat al-Mâjid artinya kesempurnaan mutlak dan keagungan mempesonakan. Dia Mahaindah dalam sifat dan perbuatan-Nya, Yang memperlakukan hamba-hamba-Nya dengan penuh kelembutan dan kemurahan, menjelmakan kebesaran-Nya kepada mereka cahaya kasih sayang-Nya untuk mereka. Di antara doa kita adalah berikut ini:
“Ya Allah! Engkaulah al-Mâjid al-Mâjid, Pelaku apapun Engkau kehendak! Kami memohon kepada-Mu untuk memberi kami keamanan di hari yang dijanjikan. Mahasuci Zat yang telah pemurah kepada hamba-hamba-Nya melalui keagungan dan kemuliaan-Nya dan terhormat dengan cara demikian! Mahasuci Zat yang agung, kemuliaan-Nya besar, kemurahan-Nya luas!”
Sifat al-Mâjid mempertegas pengertian sifat al-Wâjid, sehingga menekankan pengertian umum kemandirian mereka. Abu Dzarr al- Ghifari ra telah menukil perkataan Rasulullah dari Tuhannya yang mengatakan, “Wahai hamba-hamba-Ku! Kalian semua pendosa kecuali mereka yang telah Aku sembuhkan dari dosa. Karena itu, carilah ampunan-Ku sehingga Aku bisa mengampuni-Nya dengan kekuasaan-Ku. Siapa saja di antara kalian yang kemudian mengetahui Aku mampu mengampuni, dan ia mencari ampunan-Ku, niscaya Aku ampuni dosa-dosanya dan memaafkannya. Kalian semua akan binasa kecuali mereka yang Aku beri petunjuk; karena itu, mintalah bimbingan-Ku sehingga Aku bisa membimbingmu. Kalian semua miskin kecuali mereka yang Aku kayakan; karena itu, mintalah kepada-Ku sehingga aku bisa memberimu rezeki. Wahai hamba-hamba-Ku! Jika yang pertama dan terakhir dari kalian, apa saja yang basah dan kering di sisi kalian, yang hidup dan yang mati di antara kalian, secara bulat akan menjadi sesaleh orang yang paling saleh dari hamba-hamba-Ku, hal itu tidak akan menambah luasnya kerajaan-Ku sebanyak sayap seekor nyamuk sekalipun. Dan jika mereka semua menjadi seburuk orang yang paling buruk dari hamba-hamba-Ku, hal itu akan mengurangi luasanya kerajaan-Ku sebanyak sayap seekor nyamuk sekalipun. Jika yang pertama dan terakhir dari kalian, yang basah dan yang kering dari kalian, yang hidup dan yang mati, memohon kepada-Ku, hal itu tidak akan mengurangi apa yang ada di sisi-Ku sama sekali sebagaimana salah satu dari kalian mungkin melalui pantai laut dan membenamkan sebuah jarum ke dalamnya dan mengeluarkannya. Ini disebabkan Akulah al-Mâjid; Aku lakukan apapun yang Aku kehendaki; Pemberian-Ku hanyalah satu kata: Setiap kali Aku menginginkan sesuatu, Aku katakan ‘Jadilah!’, maka terjadilah.”
Sifat ini memasukkan keinginan yang tulus dalam hati orang-orang mukmin untuk memperlakukan orang lain dengan ampunan, kebaikan, dan kesabaran. Siapapun harus berbicara baik kepada mereka, tersenyum ramah kepada mereka, dan menghilangkan perselisihan di antara mereka. Dia harus menafkahkan kekayaannya untuk kebutuhan orang miskin dan mesti rendah hati dan ramah kepada orang lemah di antara mereka. Dia sepatutnya memperlakukan semua orang seakan-akan mereka adalah anggota keluarganya dan saudaranya sendiri.
67. Al-Wâhid (Maha Esa)
Allah berfirman, “Tuhanmu adalah Tuhan Yang Mahaesa. Tidak ada tuhan selain Dia. (QS 2:163). Dia juga berfirman, “Katakanlah: ‘Dialah Allah Yang Mahatunggal.’” (QS 112:1).
Secara linguistik, al-Wâhid artinya: Zat yang tidak bersosialisasi dengan manusia atau bergabung dengan mereka (menyendiri). Mengimani tauhid berarti mengimani bahwa tidak ada sekutu sama sekali di sisi Allah dalam otoritas-Nya dan bahwa Yang Mahaesa adalah sebuah sifat-Nya yang tak seorang pun berbagi dengan-Nya.
Tauhid artinya pengakuan keesaan Zat Yang Satu yang mengatur semua urusan para hamba-Nya. Tak sesuatupun yang menciptakan, memberi rezeki, memberi karunia, menahan, menghidupkan, mematikan, ataupun mengatur semua urusan dari wilayah lahiriah dan batiniah, kecuali Allah. Apapun yang Dia kehendaki akan terjadi, dan apapun yang tidak Dia kehendaki, tidak akan pernah terjadi. Bahkan tidak sebutir atom pun yang bergerak tanpa sepengetahuan-Nya. Tidak ada sesuatupun yang terjadi tanpa kehendak-Nya. Tidak selembar daun pun yang jatuh tanpa diketahui-Nya. Tak sesuatupun yang luput dari pengetahuan-Nya, bahkan tak sebutir atom pun di langit dan di bumi, atau yang lebih kecil atau lebih besar dari itu (yang luput dari ilmu- Nya). Sesungguhnya, pengetahuan-Nya mencakup segala sesuatu. Kekuasaan-Nya menaklukkan segala sesuatu. Kehendak-Nya berlaku pada segala sesuatu. Kebijaksanaan-Nya mendominasi segala sesuatu.
Akhirnya, tauhid berarti apapun yang masuk ke pikiranmu tentang bagaimana Dia atau sesuatu yang engkau kira tepat bagi-Nya..., Dia berlawanan dengan dan jauh di atas perkiraan tersebut, Mahasuci Dia.
Subjek tauhid di luar deskripsi siapapun, karena jika Anda mendiskusikan Yang Mahakuasa, ada banyak pandangan tentang-Nya untuk dibahas, dan terlalu banyak cara untuk mendiskusikan-Nya melalui-Nya [yakni melalui firman-firman-Nya]. Akal mengenali-Nya, kendati lidah tak pernah bisa menjabarkan-Nya.
Pengertian tauhid menggoyah citra apapun dan membingungkan semua cabang ilmu, ketika Allah tetap sebagaimana Dia senantiasa demikian dan akan senantiasa demikian. Mahasuci Zat yang tidak membuat sarana-sarana bagi makhluk-makhluk-Nya untuk mengenali- Nya selain dengan membuktikan pada mereka bahwa mereka tak pernah bisa mengetahui-Nya. Barangsiapa yang masuk ke dalam lautan tauhid, maka (ia) akan merasa lebih haus dan haus lagi hari demi hari. Tauhid merupakan suatu prerogatif, hak istimewa, dari Kebenaran (Yang Mahakuasa), namun makhluk-makhluk-Nya hanya penasaran. Di antara manusia ada orang-orang yang perbuatan-perbuatannya menggambarkan keyakinan mereka akan tauhid; mereka melihat segala sesuatu yang terjadi melalui Diri-Nya. Dan, ada pula orang-orang yang, ketika kebenaran tidak disingkapkan di hadapan mata mereka, merasa kurang dan kurang memperhatikan seseorang selain-Nya; mereka melihat setiap orang sebagai satu rahasia pada yang lain...
Muhammad, Rasulullah saw, bersabda, “Allah itu Satu, dan Dia mencintai kesatuan.” Hadis ini menunjukkan bahwa Dia mencintai hati yang hanya didedikasikan kepada-Nya. Kesucian dan kemuliaan adalah milik-Nya.
Al-Wâhid, Yang Mahaesa dan satu-satunya Tuhan, melindungi Anda, individu dimana Anda adalah, terhadap kelompok, sekumpulan orang-orang, sedangkan yang kedua tidak bisa melindungi Anda dari- Nya. Al-Wâhid tidak bisa dihitung. Hanya Dia yang menjadi sumber pengetahuan. Satu-satunya Zat yang menyingkapkan apa yang tersembunyi. Eksistensi-Nya tidak punya durasi ataupun batasan atau tak seorangpun bisa menjalankan satu keputusan menentang-Nya atau Zat-Nya tidak pernah bisa mengalami penambahan ataupun pengurangan apapun.
68. Al-Shamad (Maha Dibutuhkan)
Allah, kesucian dan kemuliaan-Nya adalah milik-Nya, telah berfirman, “Katakanlah: ‘Dialah Allah, Yang Mahaesa. Allah tempat bergantung segala sesuatu.” (QS 112:1-2).
Al-Shamad adalah sifat Allah yang pengertian linguistiknya meliputi: tujuan ultimat, Tuan yang ditaati yang tanpa perintah-Nya tak sesuatupun bisa terjadi. Penolong orang yang membutuhkan untuk ditolong. Zat yang kepada-Nya semua urusan dirujuk. Zat yang kepada-Nya semua masalah dikembalikan dan yang tentangnya tak seorang pun bisa memutuskan, Zat yang kepada-Nya semua permohonan diarahkan. Al-Shamad didekati untuk mengabulkan permohonan dan diminta untuk menjadikan keinginan menjadi kenyataan. Dialah Pemilik yang diminta selama masa kebutuhan. Bangsa Arab menjelaskan sebuah keluarga sebagai Shamad apabila orang-orang pergi ke sana dengan harapan terpenuhinya kebutuhan- kebutuhan duniawi mereka. Tuhan adalah tujuan final, tujuan ultimat. Zat yang kepada siapa Allah memudahkan. untuk diminta guna memuaskan kebutuhan manusia, khususnya kebutuhan yang relevan dengan keyakinan mereka juga kebutuhan kehidupan mereka sehari- hari; orang yang melayani kebutuhan-kebutuhan manusia dengan kata-kata dan sarana-sarana sesungguhnya adalah orang yang kepadanya Allah telah limpahkan banyak kebaikan. Adalah kebaikan yang diilhami oleh sifat ini.
Siapapun yang memakrifati Allah sebagai Yang Mahahidup tidak pernah akan berpaling pada perhiasan-perhiasan dunia yang sementara ini dan niscaya tidak punya keinginan akan benda-benda materialnya... Salah satu akhlak mulia dari seorang mukmin yang diilhami oleh sifat ini adalah bahwa ia tidak meminta bantuan dari siapapun selain Allah untuk membantunya memenuhi kebutuhan-kebutuhan duniawinya, atau ia tidak bersandar pada siapapun selain pada Dia. Dia membangun perilakunya menurut (citra)-Nya dan menjadi orang yang diminta oleh sesama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Menurut sebuah hadis, Rasulullah saw telah mengatakan, “Orang yang paling dicintai di antara manusia adalah ia yang memberi manfaat banyak kepada orang lain.”
69. Al-Qâdir (Mahakuasa)
Dalam al-Quran, kita baca, “Katakanlah (olehmu): ‘Dia memiliki kuasa untuk mengirimkan azab kepadamu dari atas atau dari bawah kakimu atau Ia memasukkan kamu ke daiam golongan-golongan yang bertentangan dan menjadikan di antara sebagianmu merasakan kekerasan orang lain.’ Perhatikanlah, bagaimana Kami mendatangkan tanda-tanda Kami silih berganti, agar mereka paham.’” (QS 6:65).
Baik al-Qadîr maupun al-Qâdir termasuk dari sifat-sifat Allah. Keduanya mungkin diturunkan dari taqdîr, estimasi atau perkiraan, atau dari qudrah, kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan. Al-Qadîr melakukan apapun yang Dia kehendaki menurut kebutuhan kearifan, tidak lebih tidak kurang. Al-Qadîr tidak termasuk dari sembilan puluh sembilan sifat Allah sekalipun ia diulang-ulang lebih dari 30 kali sepanjang teks al-Quran suci.
Akar kata al-Qadîr adalah dari kata benda qudrah, kekuatan, kekuasaan, keperkasaan, kesanggupan. Lailat al-Qadr, malam kekuasaan atau takdir sesungguhnya merupakan malam kehonnatan yang agung. Dalam al-Quran, kita membaca ayat berikut, “Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan semestinya.” (QS 6:91), yakni mereka tidak menghormati-Nya sebagaimana seharusnya Dia dihonnati. Kata qadr artinya bahwa Allah mampu melakukan sesuatu tanpa mengendalikannya atau menggunakan sarana apapun, dan lain-lain; karena itu, ia tidak mendesak atau melelahkan-Nya untuk melakukan apapun yang Dia kehendaki. Ia berarti otoritas dan kekuasaan, yakni pengendalian utuh seluruh alam semesta, kosmos, tanpa ditentang oleh seorang penentang. Siapakah yang dapat menentang-Nya atau luput dari genggaman-Nya? Perintah- Nya adalah bahwa setiap kali Dia menitahkan sesuatu, Dia berkata kepadanya: “Jadilah” maka terjadilah ia. Ia berarti Zat yang memiliki kekuatan sempurna, Yang tidak dikecewakan oleh sesuatu apapun. Dia tidak membutuhkan sarana-sarana untuk berbuat sesuatu. Dia menakar perintah-Nya, Yang mengatur alam semesta dengan kekuasaan dan kearifan, “Lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kamilah sebaik-baiknya yang menentukan.” (QS 77:23) dan juga, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS 54:49). Qadar adalah apa yang Allah Azza wa Jalla titahkan dan tetapkan.
Seorang hamba Allah mempunyai ukuran kekuasaan untuk melakukan sejumlah hal, namun tidak cukup, karena kemampuannya terbatas. Di sisi lain, Allah menjadikan hamba-hamba-Nya mampu melakukan apa yang mereka kerjakan melalui kekuasaan-Nya, namun ia tidak bisa melakukan semuanya. Dia tidak menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan. Hanya Allah yang bisa berbuat demikian.
70. Al-Muqtadir (Maha Menentukan)
Adapun tentang sifat al-Muqtadir, Allah Yang Mahakuasa berfirman, “Mereka mendustakan mukjizat-mukjizat Kami kesemuanya, lalu Kami azab mereka sebagai azab dari Yang Mahaperkasa lagi Maha Menentukan.” (QS 54:42).
Al-Muqtadir adalah superlatif dari al-Qadîr yang mempertinggi martabat dan pesona yang diilhami oleh yang belakangan. Al-Muqtadir mengendalikan segala sesuatu melalui kekuasaan-Nya yang meliputi semua penciptaan-Nya. Kekuasaan-Nya abadi, Yang mengatur semua urusan, Yang mengejawantahkan kekuasaan-Nya kepada jiwa-jiwa. melalui cahaya sifat-Nya, al-Muqtadir dan dengan demikian memberi mereka kedamaian dan keselamatan. Mereka mengenal dan mengakui kekuasaan-Nya di akhir malam (waktu shalat tahajjud) dan di kedua tepi siang [yakni pagi hari (waktu shalat subuh dan setelahnya) dan sore hari (waktu shalat maghrib dan setelahnya)]. Pengertiannya adalah: “Zat yang kekuasaan-Nya besar, Yang―melalui kekuasaan-Nya yang serba meliputi―mengendalikan semua makhluk-Nya; Dia menaklukkan setiap orang dan segala sesuatu berada dalam kekuasaan-Nya. Dia memerintahkan, sehingga eksistensi muncul sebagai manifestasi dari kekuasaan-Nya: “... dan Allah Mahakuasa alas segala sesuatu.” (QS 18:45).
Salap satu tanda dari akhlak mulia dari seorang mukmin sejauh al- Muqtadir dihiraukan adalah bahwa sifat ini akan selalu mengisi hatinya dan ia selalu mengingatnya, sedemikian sehingga selintascahaya akan menyinarinya dan akan selalu mengitarinya. Hadis berikut diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah as-Salami:
Rasulullah saw biasa menempa para sahabatnya untuk mengikuti istikharah dalam semua perkara sebagaimana beliau selalu mengajari mereka al-Quran. Nabi saw selalu mengulang-ulang perkataan berikut: “Apabila salah seorang dari kalian memutuskan untuk melakukan sesuatu, hendaknya ia bersujud dua kali selain apa yang diwajibkan kepadanya (yakni melakukan shalat sunnah istikharah dua rakaat―peny.) kemudian (setelah shalat) berdoa seperti berkut: ‘Ya Allah, aku memohon istikharah-Mu dan bantuan-Mu untuk memudahkanku mencapai apa yang ingin aku capai. Aku memohon kepada-Mu agar memberiku karunia-karunia-Mu, karena Engakau bisa sementara aku tidak bisa, dan Engkau mengetahui sedangkan aku tidak tahu, dan Engkau mengetahui yang gaib. Ya Allah, sekiranya Engkau mengetahui bahwa masalah ini (dan di sini kalian menyebutkan masalahnya) adalah baik bagiku cepat atau lambat, atau baik untuk keyakinan atau rezekiku, atau untuk pada akhirnya akibat baik dari urusanku, maka tetapkanlah itu untukku dan mudahkanlah bagiku, kemudian rahmatilah itu untukku. Ya Allah, sekiranya Engkau mengetahui bahwa itu buruk bagiku untuk keyakinanku atau akibat yang buruk dari urusanku, maka jauhkanlah aku darinya dan mudahkan aku untuk mendapatkan kebaikan dimanapun ia berada, kemudian jadikanlah aku ridha dengannya.'" [20]
Sifat al-Muqtadir, Maha Terpuji dan Mahasuci Ia, disebutkan secara harfiah dalam dua ayat dalam al-Quran surat al-Qamar ayat 42 dan 55, serta sekali dalam surat al-Kahf ayat 45.
71. Al-Muqaddim (Maha Mendahulukan)
Allah berfinnan, “...supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempumakan nikmat-Nya atasmu dan membimbingmu kepada jalan yang lurus.” (QS 48:2).
Secara linguistik, taqdîm, akar kata dari sifat ini, berarti memajukan, mengangkat, atau mendahulukan; al-Muqaddim artinya: Zat yang menghadirkan benda-benda dan menempatkanmereka di tempat mereka yang benar. Barangsiapa yang berhak untuk dimajukan, didahulukan, atau dikaruniai atas yang lain, Yang Mahakuasa, al- Muqaddim, menaikkan peringkat atau kedudukannya. Dan Dia memajukan tarat kehidupan manusia, masing-masing menurut keikhlasan dalam beribadah kepada-Nya, melindungi mereka dari kejatuhan pada kedurhakaan kepada-Nya. Al-Muqaddim, sejak awal waktu, mengangkat orang-orang yang Dia cintai dan menjadikan mereka bahagia melalui pengetahuan yang akurat dan keputusan yang logis. Dia lebih menyukai orang-orang yang tahu ketimbang yang tidak. Dia membuka pintu-pintu iman bagi setiap orang. Dia mengutamakan manusia-manusia (tertentu) ketimbang yang lain, (dengan) menjadikan mereka sebagai para imam. Dan Dia mendahulukan, lebih mengutamakan, memberi karunia para ulama atas orang-orang bodoh, menjadikan kelompok pertama seperti bintang-gemintang yang menghidayahi orang lain kepada kebajikan. Dia telah mendahulukan Rasulullah saw dari sejak awal dan akan mendahulukannya pada akhirnya di akhirat. Dia mengambil perjanjian dari semua orang (nabi) yang Dia utus ke dunia ini bahwa: “...kemudian datang seorang rasul kepadamu yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.” (QS 3:81). Dia pun mengangkatnya pada laylat al-isrâ’, perjalanan malam. Kemudian, Muhammad sawmemimpin para nabi as dalam shalat berjamaah.
AI-Quran menyatakan hal berikut: “Janganlah kalian bertengkar di hadapan-Ku, sungguh telah Aku sampaikan kepada kalian ancaman sebelumnya.” (QS 50:28). Nabi Muhammad saw, yang paling mulia dari semua nabi, sebagaimana kaum Muslim memuliakannya, meraihkan suatu kedudukan tertinggi dari nabi ulul ‘azhmi―salam atas mereka semua.[21] Setelah mereka adalah para wali Allah (awliya’) yang kedudukannya tidak kurang dari para nabi as.
Dengan demikian, al-Muqaddim mengutamakan siapa saja yang Dia kehendaki berdasarkan kesalehan seseorang dan kekerapannya bertaubat kepada-Nya, kepada jalan-Nya, menjadikan mereka benar. Dia menanggapi permohonan-permohonan mereka dengan baik. Al- Muqaddim menaikkan derajat manusia yang menyembah-Nya (dalam kehidupan ini juga dalam kehidupan yang akan datang), melindungi mereka dari kedurhakaan atau azab-Nya.
72. Al-Mu’akhkhir (Maha Mengakhirkan)
Allah berfirman, “Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya.” (QS 75:13).
Al-Mu’akhkhir menyebabkan orang-orang musyrik tertinggal ketika menaikkan derajat orang-orang mukmin. Dia menangguhkan orang-orang yang durhaka dan memberikan petunjuk-Nya kepada mereka yang menaati-Nya. Dia menangguhkan azab bagi penindas karena Dia Maha Pengasih lagi Penyayang. Setiap kali hatimu diterpa cahaya sekilas dari sifat-Nya al-Mu’akhkhir, engkau akan menangani semua urusanmu dengan amat baik, menangguhkan apa yang telah diputuskan oleh Pengundang-undang (Legislator) dan menengok pada apa yang telah Tuhan Yang Mahabijak tengok. Dalam surat Ibrahim, kita membaca ayat berikut, “Dan janganlah berpikir bahwa Allah lalai dari apa-apa yang dikerjakan kaum yang zalim. Dia hanya menangguhkan mereka sampai pada hari ketika mata-mata akan terbelalak.” (QS 14:42). Dia telah memperingatkan sebelumnya kepada manusia perihal hari ketika azab-Nya akan mendekati mereka, sehingga orang-orang yang telah menyesatkan jiwa-jiwa mereka sendiri akan berucap, “Wahai Tuhan kami, Tangguhkanlah bagi kami sampai masa yang dekat, agar kami bisa menanggapi seruan-Mu dan mengikuti para rasul” (QS 14:44), namun mereka akan dibantah dengan firman berikut, “Bukankah kamu telah bersumpah pada waktu sebelumnya (di dunia) bahwa tidak akan ada bagi kamu kebinasaan?” (QS 14:44).
Rasulullah saw biasa mendawamkan doa berikut, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar mengampuni dosa-dosaku, kejahilanku, kesia-siaanku, dan agar memberiku hal yang Engkau ketahui lebih baik bagiku. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mengampuni dosa-dosaku (yang tidak sengaja), dosa-dosaku yang sengaja, kejahilanku, ketika aku sungguh-sungguh dan ketika tidak, dan aku merasa bersalah atas semua hal itu. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mengampuni apa yang telah aku dahulukan dan aku akhirkan, apa yang kunyatakan dan apa yang kusembunyikan, karena Engkaulah al-Muqaddim, dan Engkaulah al-Mu’akhkhir. Sesungguhnya Engkau bisa berbuat apapun yang Engkau kehendaki.”
Baik al-Muqaddim dan al-Mu’akhkhir tidak disebutkan dalam teks al-Quran. Pembahasan pemajuan sesuatti dan penangguhan sesuatu yang lain telah disitir dalam al-Quran dengan merujuk pada manusia dalam ayat-ayat berikut:
Dan Kami tidak mengundurkannya, melainkan sampai waktu yang tertentu. (QS 11:104)
Dan sesungguhnya Kami mengetahui orang-orang yang terdahulu di antara kamu dan Kami benar-benar mengetahui orang-orang terkemudian. (QS 15:24)
Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilakukannya. (QS 75:13)
Salah satu tanda akhlak mulia seorang mukmin menyangkut kedua sifat ini bahwa ia harus mengambil jalan tengah antara kecemasan dan harapan berlebihan, senantiasa bersikap waspada.
3. Al-Awwal (Maha awal)
Allah berfirman, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Terang dan Yang Tersembunyi dan Dia mengetahui akan segala sesuatu.” (QS 57:3)
Sifat al-Awwal artinya: Zat yang kepada-Nya segala sesuatu bersandar, Zat yang mendahului semua yang lain. Diterapkan kepada Yang Mahakuasa, ia berarti Dia tidak pernah didahului oleh siapapun dalam keberadaan; Dia sama sekali tidak membutuhkan siapapun. Dia terlepas dari segala sesuatu dan setiap orang.
Suatu kali seorang Badui bertanya kepada Rasulullah saw, “Di manakah Allah sebelum penciptaan?” Beliau menjawabnya dengan mengatakan, “Allah ada dan tidak ada seskutu pun di sisi-Nya.” Orang Badui kembali lagi bertanya, “Bagaimana sekarang?” Nabi saw menjawab, “Dia kini sebagaimana Dia ada senantiasa (sebelumnya).” Sifat al-Awwal tercantum dalam Surat al-Hadid: “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Terang dan Yang Tersembunyi dan Dia mengetahui akan segala sesuatu.” (QS 57:3). Dan Dia disebutkan dalam ayat ini, “Kamilah yang telah menentukan kematian di antara kalian dan Kami tidak akan pernah dapat dikalahkan.” (QS 56:60)
Al-Awwal adalah yang pertama dari sesuatu yang berbeda dari- Nya. Dia mempunyai kekuasaan atas musuh-musuh-Nya, suatu keutamaan bukan karena waktu ataupun tempat atau sesuatu yang lainnya yang bisa dibayangkan oleh pikiran ataupun bisa dicapai oleh pengetahuan. Al-Awwal berarti Yang Abadi, dawam (perpetual), Zat yang tidak mempunyai awal maupun akhir. Dialah Yang Awal tanpa suatu permulaan. Dia ada karena diri-Nya sendiri bahkan sebelum makhluk-makhluk-Nya ada.
Dialah Zat yang abadi yang senantiasa ada dan yang tidak pernah didahului oleh siapapun. Allah berfirman, “Kamilah yang telah menentukan kematian di antara kalian dan Kami tidak akan pernah dapat dikalahkan.” (QS 56:60) Ayat ini memperlihatkan bahwa Dia, dan hanya Dia, memiliki kekuasaan semacam itu untuk memberlakukan kematian pada hamba-hamba-Nya, dan Dialah yang pertama untuk berbuat demikian tanpa siapapun mendahului-Nya.
74. Al-Âkhir (Maha akhir)
Allah berfirman, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Terang dan Yang Tersembunyi dan Dia mengetahui akan segala sesuatu.” (QS 57:3)
Al-Âkhir adalah yang terakhir tanpa rnemiliki suatu perrnulaan, yang terakhir dalam sifat-Nya berupa keabadian dan kedawaman (perpetuity); Dia menangguhkan sesuatu yang datang belakangan. Dialah Yang Terakhir tanpa siapapun telah menunda-Nya dan menjadikan-Nya demikian. Dialah Yang Terakhir karena pemberian rezeki-Nya kepada kita. Dialah Yang Terakhir menurut aturan keniscayaan: Dialah Yang Pertama yang memberi petunjuk dan Dialah Yang Terakhir yang melindungi siapa saja yang Dia bimbing.
Allah membiarkan ganjaran mencapai orang-orang yang berusaha meraihnya dan hukuman bagi mereka yang pantas menerimanya; jadi, sebagaimana Dia Yang Pertama sejak masa azali, ketika tidak ada sesuatu pun di sisi-Nya sama sekali, maka Dia akan tetap Yang Terakhir dan tak akan ada sesuatu pun di sisi-Nya.
Di antara perilaku baik seorang mukmin menyangkut sifat ini adalah bahwa ia terus mengingatnya (zikir) sesering mungkin sehingga cahayanya menjelma ke dalam kalbunya dan sehingga ia akan lari dari tempat tinggal yang sementara ini (dunia) dan mencari tempat tinggal yang abadi; ia hijrah dari dirinya sendiri mencari Allah, Tuhan langit dan bumi.
75. Al-Zhâhir (Maha nyata)
Allah berfirman, “(Dia adalah Tuhan) Yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkannya kepada seorang pun tentang yang gaib itu.” (QS 72:26) .
Secara linguistik, al-Zhâhir diturunkan dari zhuhûr, manifestasi, penampakan, pengamatan, dan seterusnya. Ia berarti sesuatu yang tersembunyi yang kemudian menampakkan diri. Ia pun memiliki pengertian “kemenangan.” Makna ini terdapat dalam ayat ini, “...maka mereka jadi berjaya.” (QS 61:14), yakni dalam kedudukan dan derajat yang tinggi. Zhahr juga berarti punggung, lawan dari bathn, perut; dengan demikian, sesuatu yang zhahir adalah lawan dari sesuatu yang bathin. Ia juga bermakna: binatang-binatang yang biasa digunakan untuk mengangkut manusia dan barang-barang di atas punggung mereka, yakni binatang beban, entah digunakan sebagai suatu kiasan atau secara harfiah. Sesuatu zhahîr sangatlah kuat. Menurut hadis, “Tiada satu ayat pun dalam al-Quran suci melainkan ia memiliki pengertian lahirnya dan pengertian batinnya.” Sesuatu yang nampak adalah perkataan dan sesuatu yang tersembunyi adalah pengertiannya. Atau, ia bisa berarti bacaan atau ungkapan lawan dari pernahaman dan pengetahuan.
Sifat Allah al-Zhâhr mempunyai lebih dari satu tafsiran:
(1) Dia menundukkan ciptaan-Nya;
(2) Dia mengetahui segala sesuatu yang tampak, sebagaimana sifat al-Bâthin artinya Dia mengetahui segala sesuatu yang gaib;
(3) Dialah al-Zhâhir karena banyaknya bukti yang memesonakan dan keterangan-keterangan yang mencerahkan yang membenarkan keagungan-Nya.
Anggaplah seseorang berkata bahwa sekiranya Dia al-Zhâhir, Zat yang tentang-Nya tidak ada keraguan, kebanyakan orang tampaknya meragukan eksistensi-Nya bagaimanapun; lantas, bagaimana Dia bisa tetap Yang Mahanyata?
Allah adalah al-Bâthin (Yang Maha Tersembunyi), jika dicari melalui indra-indra (lahir) dan imajinasi. Dia al-Zhâhir, jika dicari melalui khazanah akal dengan cara deduksi. Wujud-Nya yang samar bagi banyak pikiran, kendari Wujud-Nya sedemikian Nyata, karena kekuatan bukti seperti itu. Wujud-Nya yang Jelas adalah alasan mengapa Dia Tersembunyi, dan Cahaya-Nya pun sama (terangnya) sehingga menghalangi kilau-Nya: apa saja yang melampaui batasnya berubah menjadi lawannya. Dia Tersembunyi, jika orang mencari tahu akan Dia dengan menggunakan indra-indra fisiknya. Indra-indra tadi terkait dengan apa yang tampak, seperti warna kulit, (bentuk) fisiknya, dan lain-lain... Sesungguhnya, seseorang disebut manusia bukan saja karena warna kulitnya, karena sekalipun warna kulit atau separuh bagian tubuhnya diubah, ia tetap satu dan sama. Sebenarnya, bagian- bagian tubuh seseorang di saat ia menua tidaklah sama ketika ia muda. Organ-organ tubuh itu niscaya mengalami banyak perubahan sejalan dengan berlalunya waktu dan diganti dengan cara serupa pada organ- organ tersebut melalui asupan makanan. Jati dirinya, bagaimanapun, tidaklah berubah. Jati diri seperti itu tersembunyi dari indra, narnun sangat terang bagi pikiran melalui deduksi.
76. Al-Bâthin (Maha Tersembunyi)
Allah berfirman, “Dia adalah Yang Awal dan yang Akhir, Yang Terang dan Yang Tersembunyi; dan Dia mengetahui akan segala sesuatu.” (QS 57:3)
Al-Bâthin artinya Zat Yang tersembunyi dari pandangan mata makhluk-makhluk-Nya karena kekuatan penampakan-Nya, Yang Tersembunyi karena Zat-Nya yang menentang akal dan pikiran.
Rasulullah saw telah berdoa seperti ini:
“Ya Allah! Wahai Tuhan langit dan ‘Arasy yang agung! Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu! Zat Yang membelah biji-bijian! Zat Yang telah menurunkan Taurat, Injil, dan al-Quran! Aku berlindung kepada-Mu atas keburukan setiap makhluk yang ubun-ubunnya berada dalam genggamanmu! Ya Allah, Engkaulah Yang Awal, tidak ada sesuatupun sebelum Engkau! Engkau Yang Terakhir, tidak ada sesuatu pun setelah Engkau. Engkaulah Yang Nyata, tidak ada sesuatu pun di balik-Mu, dan Engkaulah Yang Tersembunyi, tidak ada sesuatu pun yang bisa mencapai-Mu! Aku memohon kepada-Mu untuk membayar utang-utang kami atas nama kami, dan menyelamatkan kami dari [rendahnya] keinginan.”
Dialah al-Zhâhir yang dikenal melalui kecukupan, al-Bâthin melalui objektivitas, al-Zhâhir karena karunia-karunia-Nya, al-Bâthin melalui rahmat-Nya. Dialah Zat Yang Nyata yang menaklukkan segala sesuatu, Yang Tersembunyi yang mengetahui kebenaran ihwal segala sesuatu, Zat Yang Nyata bagi segala sesuatu melalui bukti-bukti yang meyakinkan, Zat Yang Tersembunyi dan penampakan fisik apapun. Maka Mahasuci Zat yang telah menyembunyikan Diri-Nya sendiri dari semua ciptaan melalui cahaya-Nya, Yang Tersembunyi dari mereka lantaran intensitas penampakan-Nya.
Yang Mahakuasa berfirman, “...dan menyempurnakan karunia- Nya kepada kalian, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi?” (QS 31:20). (Karunia) Yang nampak adalah segala sesuatu yang bisa kita lihat, saksikan, pandang, perhatikan, amati, sedangkan yang tersemtlunyi adalah segala sesuatu yang dengannya kita tidak mengetahuinya. Dia juga menunjukkan fakta bahwa “Jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah, kalian tidak akan menghitungnya; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Maha Penyayang (QS 16:18 dan 14:34). Semuanya jelas bagi indra, namun tertolak dari akal kita.
Manusia merupakan pengejawantahan dari sifat al-Zhâhir dan, di saat yang sama, juga pengejawantahan dari sifat lain, al-Bâthin. Secara ragawi, manusia adalah pengejawantahan dari Cahaya Nyata,dan secara ruhani pengejawantahan dari Cahaya Tersembunyi, al-Bâthin. Setiap kali seorang hamba Allah mengulang-ulang sifat al-Bâthin, sukmanya akan merasakan ketundukan kepada Penciptanya. Pada gilirannya, ia akan menyadari bahwa ia―atas usahanya sendiri―sesungguhnya sama sekali tidak mampu melakukan apapun; maka, barulah Yang Mahabenar yakni Yang Maha Pengasih datang kepadanya dan akan mengaruniakannya kesucian jiwa dan raga.
77. Al-Wâlî (Maha Memerintah)
Allah SWT berfirman, “Baginya terdapat (malaikat-malaikat) yang saling mengikuti di depan dan di belakangnya yang menjaganya karena perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan bila Allah berkehendak memberi hukuman pada suatu kaum, maka tak ada yang mampu menolaknya dari mereka. Tak ada seorang pun selain-Nya yang dapat melindungi mereka.” (QS 13:11).
Al-Wâlî adalah Pemilik Segala sesuatu; Dia mengurus segala sesuatu sebagaimana Dia kehendaki. Mawla juga berarti pendukung atau penolong.
Al-Wâlî mengatur urusan-urusan semua makhluk. Dia memerintahkan apa saja yang menumbuhkembangkan keadaan makhluk-makhluk-Nya. Dengan kata lain, Dialah Penguasa Mutlak dan tak terbantahkan. Al-Wâlî ialah satu-satunya Zat yang mengatur semua urusan, Yang melakukan segala sesuatu, dan tidaklah ada kesinambungan ataupun keberadaan tanpa izin-Nya; segala sesuatu terjadi menurut keputusan-Nya dan atas perintah-Nya. Al-Wâlî memberi segala sesuatu secara murah hati dengan menghentikan timbulnya kecelakaan dan musibah.
Di antara ciri-ciri al-Wâlî adalah bahwa Dia mengatur, punya kemampuan, dan pelaku apapun yang Dia kehendaki. Jika semua sifat ini tidak ditemukan pada diri seseorang, ia tidak bisa disebut wali, dan tidak ada wali bagi urusan-urusan kita kecuali Allah. Dia, dan hanya Dia, secara sendirian mengatur semuanya pertama-tama dan terutama serta melindungi kelangsungan dan eksistensi mereka. Adalah mungkin untuk menyandarkan wali pada pengertian: Zat Yang memberi secara melimpah, Yang menghindarkan keburukan.
78. Al-Muta’âlî (Mahatinggi)
Allah SWT berfirman, “Yang mengetahui hal-hal yang tersembunyi dan yang nyata, Yang Mahabesar dan Mahatinggi.” (QS 13:9)
Akar kata al-Muta’âlî adalah ‘uluww, ketinggian, kesubliman, keagungan. Kata kerjanya juga berarti ia yang rnerasa bangga, atau bahkan sornbong, berkenaan dengan orang lain, dan penggunaan ini bagi manusia. Kita telah membahas sifat al-‘Alî, yang juga diturunkan dari akar kata yang sama. Al-Muta’âlî adalah Mahamulia dalam kebesaran dan keagungan-Nya, suatu keagungan yang tak seorang pun yang mampu mencapainya selain Dia sendiri. Keagungan-Nya jauh dari apa yang bisa dibayangkan atau dipahami oleh makhluk-Nya, jauh pula dari penggambaran, pengukuran, penghitungan, atau pendefinisian yang dibuat oleh makhluk-Nya.
Al-Muta’âlî adalah Mahalembut dan di atas segala sesuatu karena kekuasaan atau kesempurnaan-Nya. Dia, Mahasuci Ia, adalah Mahatinggi lantaran kebesaran-Nya. Ia juga berarti Dia amat jauh dari kekurangan ataupun cacat; jauh pula dari imajinasi seseorang. Dia amat sangat tinggi di atas semua makhluk-Nya. Dia tidak membutuhkan sesuatu pun dari apa yang diciptakan-Nya atau sesuatu yang tidak Ia ciptakan; Dia menciptakan semuanya dari kemurahan-Nya. Sifat Penyayang-Nya sesungguhnya memanifestasikan dirinya sendiri secara agung pada semua yang telah Dia ciptakan. Dia tidak memerlukan ibadah orang-orang yang menyembah-Nya; Dia menjadikan kebaikan-Nya tersedia bagi semua orang yang berjuang keras untuk menggapamya.
Al-Muta’âlî jauh dari kebatilan si congkak. Derajat-Nya adalah Mahatinggi; Dia mempunyai otoritas alas semuanya. Dia Mahasombong dan Mahabesar. Kesucian-Nya terlalu tinggi untuk dipahami atau dibayangkan oleh makhluk-Nya.
Siapapun yang terus mengingat sifat al-Muta’âlî semestinya menunjukkan perangainya sesuai dengan sifat tersebut melalui tekadnya tidak menyembah sesuatu pun selain Allah. Siapapun yang menghiasi perilakunya seperti itu, niscaya akan ingat mereka yang tertindas dan lemah dan berusaha sebaik-baiknya menolong mereka; sehingga keadaan mereka akan berkembang ke arah kemajuan, Menurut sebuah hadis, “Orang tertindas sesungguhnya adalah seorang hamba Allah yang mengkhayalkan dirinya sendiri dan menjadi congkak, sehingga melupakan Zat Yang Mahatinggi, al-Muta’âlî.”
Imam kedua kita, Hasan bin ‘Ali, berkata bahwa kakeknya, Rasulullah saw, mengajarinya sejumlah doa yang dibaca dalam qunut shalat witir seperti berikut ini:
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk membimbingku (sebagaimana) di antara mereka yang telah Engkau bimbing, berilah aku kesehatan yang baik (sebagaimana) orang-orang yang telah Engkau beri kesehatan yang baik, lindungilah aku (sebagaimana) orang-orang yang telah Engkau lindungi! Aku memohon kepada-Mu agar memberkati apa yang telah Engkau berikan kepadaku, hindarkan aku keburukan dari apa yang telah Engkau tetapkan untukku, karena Engkaulah yang menetapkan sementara tak seorang pun yang bisa memaksakan ketetapannya kepada-Mu! Sesungguhnya tak seorang pun bisa meremehkan orang-orang yang telah Engkau lindungi; Mahasuci Engkau, Tuhan, dan Mahamulia.” [22]
79. Al-Barr (Maha Berkebajikan)
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Dia Mahabaik dan Maha Penyayang.” (QS ath-Thûr 52:28).
Al-Barr adalah sifat Allah yang diturunkan dari barr, pelaku kebaikan; al-birr artinya perbuatan-perbuatan baik. Al-Barr merupakan suatu kata inklusif yang mengandung semua sifat kebaikan, kasih sayang, dan kemurahan. Orang yang al-barr kepada orang tuanya adalah sangat memuliakan dan mengasihi mereka. Mereka yang al-barr adalah orang-orang yang perbuatan-perbuatan baiknya diharapkan. Al-Birr juga mengandung arti ikatan, jalinan, atau hubungan. Seorang yang al-barr menyangkut kerabatnya berarti ia memelihara hubungan-hubungan baik dengan mereka. Al-Quran menyebutkan ayat ini, “Sesungguhnya Allah tiada meiarang kamu untuk berbuat baik dan beriaku adii terhadap orang-orang yang tiada memerangi karena agama(mu) dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS 60:8).
Dan dalam surat Ali ‘Imrân [3]:92, kita baca, “Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebenaran sampai engkau memberikan (di jalan Allah) sebagian dari apa-apa yang engkau cintai. Dan apa saja yang engkau berikan itu, sungguh, Allah mengetahuinya.” Seorang haji yang diberkati dan bebas dari perbuatan-perbuatan haram disebut haji mabrûr yang ganjarannya tidak kurang dari surga itu sendiri menurut hadis. Al-Birr juga bermakna kesalehan, yang pada gilirannya perbuatan apa saja yang lebih mendekatkan seseorang kepada Allah, suatu kata yang memadupadankan sifat-sifat yang sangat terpuji dan mulia.
Al-Birr adalah apa yang terbaik di kehidupan dunia sekarang dan di akhirat kelak. Yang terbaik dalam kehidupan ini adalah apa saja yang Allah sediakan kepada hamba-hamba-Nya seperti petunjuk, karunia-karunia, dan benda-benda yang dinikmati. Yang terbaik dalam kehidupan akhirat adalah rahmat abadi yakni kediaman di surga; semoga Allah memudahkan kita untuk menikmati kedua rahmat tersebut dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, Allâhumma amîn. Rasulullah saw bersabda, “Tetaplah mengatakan kebenaran, karena ia akan mengantarkanmu kepada al-birr.”
Al-Birr artinya kebaikan, suatu kata yang menyatukan semua sifat baik. Ia mengimplikasikan pada segala perbuatan baik yang lebih mendekatkan seseorang kepada Allah, Yang Mahaberkah lagi Mahatinggi. Sumur Zamzam disebut barra lantaran manfaatnya yang melimpah.
Al-Barr tidak berbuat sesuatupun secara buruk atau tercela. Dia Mahamulia kepada mereka yang mencari ridha-Nya dengan menunjukkan kepada mereka how-to-nya dan kepada para penyembah dengan karunia-karunia-Nya sertajaminan kesuksesan kepada mereka. Al-Barr berbuat baik kepada orang-orang yang mencari kasih-sayang dan pemberian-Nya, kepada para penyembah dengan mengganjar mereka dengan indah. Tak pernah Dia menghentikan pemberian karena kedurhakaan manusia kepada-Nya.
Seorang hamba Allah bisa digambarkan sebagai al-barr. Seorang hamba Allah adalah al-barr menurut tingkat kebaikannya. Kebaikan pertama dan utamanya adalah memenuhi hak-hak orang tuanya, gurunya, dan pembimbingnya.
Salah satu cara yang di dalamnya seorang hamba Allah bisa menunjukkan perilakuknya setelah mengikuti cahaya sifat ini adalah melindungi dan mencintai orang-orang mukmin yang ikhlas dalam keimanan mereka, yang memahami rahasia-rahasia iman. Ketika seseorang menyebut sifat ini sesering mungkin, perilakunya akan mengejawantahkan sifat tersebut, dan cinta kepada semua hamba Allah niscaya akan tertanam di hatinya dan semua orang akan mencintainya dengan tulus.
Allah telah menghimpun semua aspek al-birr dalam suatu ayat dari surat al-Baqarah ketika Dia berfirman:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapisesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, maiaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak- anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang melindungi (diri mereka sendiri dari kejahatan/bertakwa).” (QS 2:177).
Siapapun yang kepadanya Allah adalah al-barr akan dijaga dari melakukan sesuatu yang tidak disenangi-Nya. Dan Dia, pada gilirannya, akan meridhainya dengan hal-hal yang sang at indah; dalam kehidupan yang ditempuhnya akan Dia penuhi dengan keberhasilan; Dia akan menjadikan tujuan-tujuannya senantiasa baik. Dia akan menjadikannya mandiri melalui nikmat-nikmat dari-Nya. Dia pun akan melindunginya dari melakukan sesuatu yang ditetapkan-Nya sebagai haram.
80. Al-Tawwâb (Maha Penerima Taubat)
Allah SWT berfirman, “Kecuali mereka yang bertaubat dan memperbaiki [diri mereka] dan menerangkan [Kebenaran], maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS 2:160)
Al-Tawwâb adalah kata sifat yang akar karanya adalah tawbah, penyesalan, yakni kembali kepada Allah. Artinya, Dia menerima penyesalan hamba-Nya, yaitu Dia melimpahkan karunia-Nya kepada mereka, memudahkan mereka untuk bertaubat, memudahkan bagi mereka untuk melakukannya. Maka, Al-Tawwâb, menerima penyesalan. Berfirman Dia dalam al-Quran, “...Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubat (kepada-Nya). Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang.” (QS 9:118).
Dengan demikin, dimaklumi bahwa sekiranya Allah tidak menerima penyesalan dari salah seorang hamba-Nya, yang terakhir ini tidak dipandang orang yang bertaubat, karena asal-muasal penyesalan dalam realitasnya berasal dari Allah yang menutupnya dengan penerimaan-Nya atas taubat itu sendiri.
Al-Tawwâb memudahkan taubat bagi hamba-hamba-Nya berkali- kali dengan tanda-tanda yang Dia jelmakan pada mereka, dan peringatan yang dengan itu Dia mengingatkan mereka; sehingga, ketika mereka mengetahui hukuman atas dosa-dosa mereka, mereka menjadi ketakutan, dan mereka kembali bertaubat, dan karunia-karunia Allah kembali kepada mereka saat Dia menerima pertaubatan mereka.
Al-Tawwâb menerima pertaubatan hamba-hamba-Nya dan mengampuni dosa-dosa mereka. Dia menerima taubat dari orang yang mendurhakai-Nya kemudian kembali menaati-Nya. Dan jika ia melakukan suatu dosa kemudian kembali kepada-Nya, niscaya Dia menyambutnya. Dia memaafkan orang yang menyimpang dari jalan lurus lalu meminta maaf kepada-Nya, sehingga Dia mengampuni dosa- dosanya. Selama hamba Allah meminta tawbah, Tuhan tetaplah Maha Mengampuni.
Cahaya yang diilhamkan oleh sifat ini adalah bahwa orang yang menerima permintaan maaf para penjahat juga sahabat dan kerabat mencerminkan perilakunya dari sifat ini. Agar kita bisa meneladani perilaku kita setelahnya, kita semestinya bertaubat dan meminta penerimaan-Nya akan taubat kita; kita harus menuju kepada-Nya dalam setiap keadaan. Juga, pengulangan taubat menyiapkan seorang hamba Allah akan cinta Allah terhadapnya, yang merupakan kemuliaan dan kedudukan terbesar. Pasalnya, taubat merupakan pengakuan akan kekurangan dan cacat seseorang. Dalam hal ini, berdiri di pintu Yang Mahatahu haruslah takzim dan khidmat. Karena alasan ini, Rasulullah saw biasa bertaubat demikian sering untuk memperlihatkan kepada kitajalan kebahagiaan. Ia pun merupakan akhlak mulia seorang mukmin yang mengulang-ulang sifat ini demikian sering guna memaafkan yang mereka yang berbuat salah kepadanya, berkasih sayang kepada orang-orang yang menyakitinya, dan menerima permintaan maaf orang lain.
Rasulullah saw sangat menginginkan orang-orang yang mengimaninya akan senantiasa meminta ampunan-Nya. Masyhur dalam sebuah hadis, beliau berkata demikian, “Demi Allah, aku memohon ampun (beristighfar) kepada Allah, dan aku bertaubat kepada-Nya, setiap hari lebih dari tujuh puluh kali.” Allah telah mengampuni semua kesalahan dari pemimpin kita, Muhammad saw, namun beliau meminta ampunan-Nya dan bertaubat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali sehari, tidak, bahkan lebihdari seratus kali sehari! Lantas, bisakah kita mengatakan tentang bagaimana seringnya kaum Muslim harus bertaubat kepada-Nya dan meminta ampunan-Nya?
Anas bin Malik mengatakan bahwa dirinya mendengar Rasulullah saw menukil firman Tuhannya, “Wahai anak Adam! Selama engkau berdoa kepadaku dan menempatkan semua harapanmu kepada-Ku, Aku akan mengampunimu, dan Aku tak memikirkan. Wahai anak Adam! Kendati dosa-dosamu berampuk dan mencapai langit, kemudian engkau meminta ampunan-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu. Wahai anak Adam! Jika engkau datang kepada-Ku setelah berbuat banyak dosa sebariyak yang menutupi bumi, mengimani-Ku, tidak menyekutukan-Ku, niscaya akan Aku karuniakan kepadamu ampunan yang setara (dengan banyaknya dosa).”
81. Al-Muntaqim (Maha Penyiksa)
Allah SWT telah berfirman, “Karena itu, janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada rasul-rasul-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi mempunyai pembalasan.” (QS 14:47)
Al-Muntaqim, Yang Maha Membalas dendam, membelah punggung-punggung mereka yang menyimpang dari jalan-Nya., yang menambah hukuman pada orang-orang yang menindas di negerinya, setelah menyadarkan mereka dan berulang-ulang mengingatkan mereka, serta setelah memudahkan mereka untuk membetulkan, memberi mereka kelonggaran. Hal ini mengimplikasikan hukuman yang lebih pedih ketimbang hanya hukuman yang langsung.
Kata al-Muntaqim diturunkan dari kata benda intiqam, membalas dendam atau berusaha balas dendam terhadap seseorang. Sebuah hukuman tidak disebut demikian kecuali jika syarat-syarat berikut terpenuhi:
1. Kasih sayang mencapai batas kekejaman yang ekstrem. Allah telah berfirman, “Pada hari itu Kami akan menghantam (mereka) dengan hantaman yang keras. Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan (kepada mereka). (QS 44:16).
2. Suatu hukuman dijalankan setelah satu periode kelonggaran. Allah Tabaraka wa Ta’ala telah berkata, “...dan barangsiapa yang kembali (kepadanya); maka Allah akan menimpakan siksa kepadanya, dan Allah Mahabesar, Tuhan yang Maha Memberi Balasan.” (QS 5:95).
3. Hukuman semacam itu mestinya memerlukan sebentuk perasaan benci ketika melihat seseorang terluka, sesuatu yang tidak pem,ah terjadi dalam kasus Sang Pencipta, namun itu benar-benar terjadi dalam manusia yang ganas dan pembenci. I, balas dendam, dari seorang hamba Allah dilakukan hanya jika ia ditimpakan pada musuh-musuh-Nya (orang-orang yang mengingkari atau tidak mengimani-Nya). Balas dendam semacam ini patut dipuji. Seburuk-buruknya musuh manusia adalah diri-diri mereka sendiri yang halus, nafs, yakni dalam setiap dan semua orang dari kita. Tak syak lagi, ia harus berusaha membalas melawan nafs semacam itu.
Sifat al-Muntaqim mengejawantahkan dirinya sendiri dalam tubuh: dalam sarana-sarana untuk sistem pertahanan alamiahnya ketika kuman mengganggu kemurnian tubuh. Sarana-sarana ini kemudian akan membunuh kuman tersebut sebagai suatu hukuman atas perusakan semacam itu, kemudian mereka akan membersihkan tubuh itu darinya. Selanjutnya, al-Muntaqim memudahkan pemusnahan sesuatu yang buruk, berbahaya, dan merusak.
Pembahasan “balas dendam” terdapat dalam al-Quran suci, yakni dalam surat al-Maidah [5]:95, yang berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram; dan barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan seugaja maka dendanya adalah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu, sebagai kurban yang dibawa sampai ke Ka’bah atau kaffaratnya adalah memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan, supaya ia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaajkan apa yang telah berlalu. Dan barangsiapa yang kembali (kepadanya), maka Allah akan menimpakan siksa kepadanya, dan Allah Mahabesar, Tuhan Yang Maha Memberi Balasan.
Kata “Kami” dalam frase “Allah akan menimpakan siksa” tentu saja, berarti suatu rujukan kepada Allah Yang Mahakuasa. Ia pun ada di beberapa tempat lain sepanjang teks al-Quran suci seperti:
Maka Kami telah memberikan hukuman balasan kepada mereka, dan menenggelamkan mereka di laut... (QS 7:136)
Kami melakukan ngadakan balas dendam atas mereka dan sesungguhnya mereka keduanya terletak pada jalan (yang tinggi), (tetap) terbuka. (QS 15:79)
...maka Kami membalas orang-orang yang berdosa; dan Kami layak menolong orang-orang beriman. (QS 30:47)
Maka Kami binasakan mereka dan perhatikanlah bagaimana akhir dari orang-orang yang mendustakan (para nabi Kami) (QS 43:25)
Dan ketika mereka membuat Kami menjadi marah, Kami menghukum mereka, jadi Kami memusnahkan mereka semua. (QS 43:55)
Dia telah menurunkan kepada engkau Kitab dengan sebenar-benarnya, yang membenarkan apa yang telah diturunkan sebelumnya; Dan Dia telah menurunkan Taurat dan Injil sebelumnya, petunjuk bagi manusia dan menurunkan Pembeda (Furqan) [yakni al-Quran]; Sesungguhnya orang- orang yang ingkar terhadap tanda-tanda Allah, bagi mereka siksaan yang berat. Dan Allah Mahaperkasa dan Maha Pembalas. (QS 3:3-4)
...dan Allah Mahabesar, Tuhan Yang Maha Memberi Balasan. (QS 5:95)
Dan janganlah kamu berpikir bahwa Allah akan melalaikan janji-Nya kepada para rasul-Nya. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa Pemilik pembalasan (QS 14:47)
Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah; maka tidak seorang pun yang dapat menyesatkannya; Bukankah Allah Mahaperkasa memberi azab? (QS 39:37)
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diingatkan tanda-tanda Tuhannya kemudian berpaling darinya (tanda-tanda Tuhannya)? Sesungguhnya Kami akanmeminta ganti rugi (yang layak) kepada orang-orang yang zalim. (QS 32:22)
Meskipun jika Kami mematikan kamu, maka sesungguhnya Kami akan menyiksa mereka (di akhirat) (QS 43:41)
Pada hari itu Kami akan mehghantam (mereka) dengan hantaman yang keras. Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan (kepada mereka) (QS 44:16)
Al-Muntaqim memperkuat hukuman-Nya terhadap para penindas, menyebabkan para pelaku kejahatan ditundukkan pada pembalasan- Nya. Dia mengutus para rasul-Nya, yang didukung oleh tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat-Nya, untuk mengingatkan orang-orang. Karena itu, jika peringatan tidak memberi dampak positif kepada seseorang, maka sesungguhnya Dia akan menimpakan azab-Nya dan balas dendam terhadapnya.
Ketika seseorang menyadari bahwa tak ada sesuatu yang besar ataupun kecil selain bahwa ada hukuman untuk setara dengan ukuran dan jenis (perbuatan), niscaya ia akan takut pada Tuhannya dan menyadarkan keinginan dan hasratnya karena takut pada dalam pelanggaran batas.
82. Al-‘Afuww (Maha Pemaaf)
Allah berfirman, “Maka mungkin Allah akan mengampuni mereka, dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS 4:99).
Al-‘Afuww diturunkan dari akar kata ‘afuw dan membuka beberapa pengertian: Ketika digunakan sebagai kata kerja, ia berarti “pergi ke sesuatu untuk menerima sesuatu, memberi tanpa dirninta, menambah, menyapu sesuatu.” Sebagai kata benda, ia berarti penghapusan dosa-dosa dalam keseluruhannya. Siapapun bisa berdoa dan berkata, “Tuhan, aku memohon kepada-Mu untuk memberiku ‘afuw dan ‘afiya,” yakni, jangan menghukumku karena dosa-dosaku dan menjadikanku aman dan terlindung dari siksa-Mu." Sebagai ajektif, ia berarti sesuatu yang halal.
Al-‘Afuww telah membuang, dengan rahmat-Nya, kegelapan dari jiwa-jiwa! yang lari darijalan yang lurus dan dari kesunyian kealpaan dari hati-hati melalui keagungan-Nya. Juga dikatakan bahwa Dia menghapus dosa-dosa dari catatan-catatan dan mengganti kesunyian dengan hal-hal yang baik dari-Nya.
Al-‘Afuww mengikis habis jejak-jejak dosa, menghilangkan mereka dengan hembusan angin ampunan-Nya. Ia mengikis habis dosa-dosa dari catatan-catatan yang dipelihara oleh para malaikat penjaga-Nya. Bahkan Dia memupus habis dari para malaikat ingatan-ingatan dan ingatan dari melakukan dosa-dosa. Ia menyerahkan hukuman kepada para pendosa, Yang tidak mengingatkanmu akan kekuranganmu. Dia Maha Pemurah ketika Dia memaafkan. Dia melindungi hati dari pelaku kejahatan terhadap kesunyian, menyelamatkannya dari perasaan malu, dan Dia tidak mengingatkannya akan kejahatan dari apa yang ia telah lakukan.
Kita perhatikan bahwa dalam teks al-Quran suci, sifat [sesungguhnya salah satu al-asma’ al-husna] al-‘Afuww muncul berdampingan dengan sifat lain yakni al-Ghafûr sebanyak empat kali dan suatu ketika berdampingan dengan sifat al-Qadîr seperti ditunjukkan dalam ayat-ayat berikut:
...sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun (QS 4:43)
Maka mungkin Allah akan mengampuni mereka, dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS 4:99)
Jika engkau melakukan kebaikan baik secara terbuka atau tersembunyi, atau memaajkan suatu kejahatan, maka Allah Maha Pengampun dan Mahakuasa. (QS 4: 149)
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS 22:60; 58:2)
Rasulullah saw senantiasa memerintahkan kepada kita untuk menghapus perbuatan buruk kita dengan perbuatan baik dengan mengatakan, “Takutlah kepada Allah dimanapun engkau berada dan ikutilah perbuatan burukmu dengan perbuatan baik untuk menghapus yang pertama, dan perlakukanlah manusia dengan sebaik-baiknya penlaku.” Beliau berkata kepada salah seorang pamannya, “Wahai ‘Abbas, paman Rasulullah! Mintalah kepada Allah ‘afuw dan ‘afiya di kehidupan dunia ini dan di kehidupan dunia yang akan datang.”
Amirul Mukminin Imam ‘Ali ibn Abi Thalib meminta kepada salah seorang pelayannya namun ia tidak mendengar. Ia mengulangi panggilannya, dan kembali si pelayan tak indahkan panggilannya. Kemudian ia mengulangi panggilan untuk yang ketiga kalinya, dan kembali tidak ada jawaban atasnya. Akhirnya, Imam berdiri dan mencarinya. Imam as mendapatkannya tengah berbaring. Beliau bertanya kepadanya, “Apakah engkau mendengar panggilanku?” Ia menjawab, “Ya, aku mendengar.” Imam bertanya kepadanya, “Lalu, apa yaug mencegahmu dari menjawab panggilanku?” Ia menjawab, “Keyakinanku pada kemurahanmu dan kepercayaanku pada ampunanmu.” Imam as berkata, “Aku membebaskanmu demi keridhaan Allah.” Imam as berbuat demikian karena keyakinan kuat di pihak pelayan itu.
Barangsiapa ingin menerima sekilas cahaya yang diilhami oleh sifat ini, pertama-tama harus memaafkan orang-orang yang telah berbuat jahat kepadanya atau memperlakukannya secara zalim. Barangsiapa ingat sifat ini semestinya menghalau perasaan buruk apapun terhadap seseorang dari hatinya yang telah berbuat jahat kepadanya dan memperlakukannya dengan baik orang.:orang yang berlaku salah kepadanya.
83. Al-Ra’ûf (Maha Pengasih)
Allah, Mahasuci dan Mahamulia Ia, telah berfirman, “...sehingga Dia biasa mengeluarkan kalian dari kegelapan (kekafiran) ke dalam cahaya (keimanan); dan sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada kalian.” (QS 57:9)
Secara linguistik, sifat ini diturunkan dari ra’fa, rahmat atau kasih sayang yang kuat, yakni batas rahmat yang ultimat. Ketika diterapkan kepada Yang Mahakuasa, ia berarti penghindaran-Nya dari segalajenis kejahatan.
Sifat al-Ra’ûf merujuk pada Zat yang tidak henti-hentinya berbuat baik dan kasih kepada para pendosa dengan menerima taubat mereka serta kepada para kekasih-Nya dengan melindungi mereka dari melakukan dosa. Pengertian sifat ini memiliki kesamaan pengertian dengan sifat al-Rahîm dengan suatu intensifikasi dari pengertian yang ditambahkan dalam sifat yang kedua. Di antara manifestasi rahmat- Nya kepada para hamba-Nya adalah bahwa Dia melindungi mereka dari melakukan perbuatan yang menyebabkan hukuman-Nya. Perlindungan dari ketergelinciran dari jalan lurus semacam itu memberi makna yang lebih kuat dari rahmat ketimbang ampunan-Nya terhadap dosa-dosa yang telah dilakukan. Dia mungkin Maha Pengasih kepada salah seorang hamba-Nya dengan secara lahiriah menimpakan kepadanya kesulitan, namun secara batiniah ada banyak rahmat dan kasih sayang tersembunyi baginya dalam kesulitan semacam itu, sementara ia tidak mengetahuinya. Betapa sering seorang hamba Allah yang telah dikasihani oleh orang-orang atas bahaya yang ia alami, bahaya kemiskinan, keinginan, dan kesengsaraan, sementara kenyataannya ia tengah menikmati suatu rahmat yang untuknya para malaikat cemburu kepadanya?
Allah Yang Mahamulia telah mendahulukan sifat al-Ra’ûf ketimbang al-Rahîm, mendahulukan ra’fah ketimbang rahmah dan memberikan proritas pada yang pertama ketimbang yang belakangan dalam ayat-ayat mulia berikut:
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih [lagi] Maha Penyayang kepada manusia. (QS 2: 143)
...Kami penuhi hati orang-orang yang mengikutinya kebaikan dan rasa kasih (QS 57:27)
...Ia amat belas kasihan dan penyayang terhadap orang- orang mukmin (QS 9:128)
Sifat ini diturunkan dari “pengasih” dan “penyayang”. Hal ini menuntut kita untuk membedakan antara kedua kata ini. Juga, setiap kali Yang Mahakuasa menggunakan kedua kata ini, Dia menyebutkan sifat al-Ra’ûf sebelum al-Rahîm. Dengan demikian, kita harus menjelaskan perbedaan antara istilah tersebut dan alasan untuk prioritas semacam itu.
Suatu ketika Rasulullah saw tengah mengadakan perjalanan ketika ia kebetulan melewati seorang perempuan yang tengah memanggang roti. Putranya sedang bersamanya. Dia diberitahu bahwa Rasulullah saw tengah melewati jalannya, maka ia datang kepada Nabi saw dan berkata, “Wahai Rasulullah! Telah sampai kepada pengetahuanku bahwa Anda telah berkata, ‘Allah lebih penyayang kepada para hamba-Nya ketimbang seorang ibu kepada anaknya.’ Apakah benar ini merupakan pernyataan yang telah Anda sampaikan?” Beliau mengiakannya. Kemudian perempuan itu berkata, ‘Seorang ibu tidak melemparkan putranya ke dalam oven seperti anak ini.’ Setelah mendengar perkataan perempuan itu, Rasulullah saw menangis lalu ia berkata, ‘Allah tidak menghukum siapapun dengan api neraka selain orang yang terlalu arogan untuk memberi kesaksian bahwa tiada tuhan selain Dia.’”
Jika seorang hamba Allah ingin memola perilakunya menurut inspirasi sifat ini, pertama-tama ia harus ingat dan melapalkannya sedemikian sering, sehingga cahaya al-Ra’ûf akan mengejawantahkan dirinya sendiri ke dalam hatinya, untuk selanjutnya ia akan menjadi sangat belas kasih kepada semua manusia―baik orang-orang kebanyakan maupun lapisan khusus―dengan selalu mengingat ucapan Rasulullah, “Sayangilah penduduk bumi agar penduduk langit menyayangimu.”
84. Malikul-Mulk (Maha Menguasai Kerajaan)
Allah berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad!), “Ya Allah, yang memiliki Kerajaan, Engkau memberikan kerajaan kepada barangsiapa yang Engkau kehendaki dan mencabutnya kembali dari siapapun yang Engkau kehendaki! Engkau memuliakan orang-orang yang Kau kehendaki dan menghinakan orang-orang yang Kau kehendaki; Di tangan-Mulah terletak segala kebajikan; sesungguhnya Engkau Mahakuasa alas segala sesuatu. (QS 3:26)
Malikul-Mulk mempengaruhi kehendak-Nya dalam kerajaan-Nya bagaimanapun Dia berkehendak, membiarkan sebagian hidup dan yang lainnya binasa. Mulk dalam konteks ini berarti kerajaan, dan Malik adalah Yang Mahakuasa, Yang Paling Berkuasa. Segala sesuatu yang ada termasuk dalam kerajaan-Nya, maka kepunyaan-Nya adalah satu kerajaan lantaran segala sesuatu yang di dalamnya terkait satu sama lain. Kendaripun mereka bisa dipandang banyak, mereka merupakan satu entitas, satu kerajaan.
Malikul-Mulk menjalankan kerajaan-Nya sebagaimana Dia kehendaki, dan tak seorang pun bisa menolak ketetapan-Nya atau tak seorang pun bisa menarik atau memupusnya. Segala sesuatu yang hidup, dalam semua tingkatan dan level mereka, merupakan satu kerajaan yang dimiliki oleh Yang Mahatunggal: Allah, Yang Maha berkah.
Malikul-Mulk adalah Raja yang sesungguhnya yang mengurus kerajaan-Nya sebagaimana Dia kehendaki, menciptakan segala sesuatu di dalam segala sesuatu atau mengakhiri keberadaan sebagian dari makhluk, menghukum sebagian dan menerima tau bat yang lain, tanpa siapapun berbagi kekuasaan dengan-Nya atau melarang-Nya dari melakukan perbuatan apapun yang Dia kehendaki.
Malikul-Mulk terdapat dalam ayat berikut, “Katakanlah (wahai Muhammad!): ‘Ya Allah! yang memiliki Kerajaan.’ (QS 3:26)
Derivasi lain adalah al-malakût yang ada dalam “Mahasuci Dia yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu, dan kepada-Nyalah kamu sekalian dikembalikan.” (QS 36:83).
“... dan hari itu akan sangat sulit bagi orang-orang yang kafir.” (QS 25:26)
“Kepunyaan siapakah kerajaan hari ini? (Kerajaan ini) adalah kepunyaan Allah Yang Mahaesa, Maha Mengalahkan.!” (QS 40:16)
“Kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allahlah tempat kembali yang terakhir.” (QS an-Nûr [24] :42).
Diriwayatkan, Rasulullah saw mengatakan bahwa nama teragung Allah, salah satu nama yang menyebabkan Dia akan menjawab jika dirninta, terdapat dalam ayat berikut, “Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Ya Allah, yang memiliki Kerajaan,” (QS 3:26).
Suatu saat Amirul Mukminin Imam ‘Ali bin Abu Thalib ditanya oleh Ababah bin Rab’i al-Asdi tentang “kemampuan”. Amirul Mukminin balik bertanya kepada Ababah, “Apakah engkau melakukannya tanpa Allah atau dengan-Nya?” Ababah tidak bisa menjawab, maka beliau menyuruhnya untuk mengatakan sesuatu. “Apa yang harns kukatakan, wahai Amirul Mukminin?” tanya Ababah. Beliau menjawab, “Engkau harns mengatakan bahwa engkau melakukannya dengan izin Allah yang mempunyai kontrol sepenuhnya tanpa pertolonganmu. Apabila Dia memilih untuk memberikannyakepadamu, maka itu merupakan rahmat yang Dia berikan kepadamu. Dan apabila Dia menghambatnya, itu mernpakan satu ujian dari-Nya. Dialah pemilik sejati dari harta milikmu dan Zat yang memiliki apa yang Dia mudahkan bagimu untuk memilikinya. Tidakkah engkau mendengar tentang (orang yang) memohon pertolongan dan kekuatan-Nya dengan mengatakan, ‘Lâ hawla wa lâ quwwata illa billâh (Tiada daya dan upaya melainkan dari Allah)?’” Orang itu bertanya kepada beliau, “Apakah makna ucapan itu, wahai Amirul Mukminin?” Beliau menjawab, “Itu artinya: Kita tidak menjauh dari melakukan tindak-tanduk kedurhakaan kepada Allah melainkan Dia melindungi kita dari mendurhakai-Nya dan kita tidak punya kekuatan untuk menaati-Nya kecuali jika Dia memberi kita pertolongan-Nya.” Segera setelah mendengar ungkapan itu, lelaki itu melonjak dan mencium tangan dan kaki Imam as.
Kerajaan setiap dan semua hamba Allah adalah tubuhnya sendiri. Jika tubuhnya menjalankan kehendaknya berdasarkan hati dan akalnya, maka ia akan menjadi pemilik kerajaan sesuai dengan tingkatan pengendalian atas tubuhnya.
85. Dzû al-Jalâli wa al-Ikrâm (Maha Memiliki Kebesaran dan Kemuliaan)
Allah berfirman, “Mahaagung nama Tuhanmu, Tuhan yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.” (QS 55:78).
Dzû al-Jalâli wa al-Ikrâm merupakan sebuah sifat agung yang memadukan keagungan dan keindahan, karena ada suatu pesona keagungan dan keindahan dari Yang Mahakuasa; tidak seorang hamba Allah pun bisa mencapai pengetahuan kecuali jika ia memahami pengertian (sifat) Dzû al-Jalâli wa al-Ikrâm. Sesungguhnya sifat ini menggabungkan di dalamnya antisipasi, daya pesona, harapan, dan kecemasan.
Yang Mahakuasa memonopoli sifat-sifat jall, keagungan, dan ikram, kemuliaan. Semua kebesaran dan keagung"an adalah milik-Nya serta (semua) kemuliaan dari-Nya; Mahasuci Dia; tidak ada keagungan melainkan bahwa Dialah mata airnya, sedangkan kemuliaan senantiasa milik-Nya. Keagungan bersumber dari-Nya dan meliputi seluruh makhluk-Nya, dan norma-norma kemuliaan-Nya dari penciptaan-Nya tidaklah terhitung, tidak terukur. Oleh sebab itu, Dia, dan hanya Dia, yang pantas untuk disucikan oleh makhluk-makhluk-Nya. Mereka harus mengutarakan penghormatan mereka kepada kebesaran-Nya, memperlihatkan perhargaan akan karunia-karunia dan kelembutan- kelembutan-Nya, dan mengenali tanda-tanda dan anugrah-anugrah-Nya.
Dzû al-Jalâli wa al-Ikrâm berarti: Zat yang memiliki semua kebesaran. Tidak ada kekhususan, keagungan, kebesaran, kecuali jika Allah mengizinkannya; Sesungguhnya semua realitas adalah milik-Nya, dari-Nya, dan karena-Nya. Keagungan dan kemuliaan adalah kepunyaan-Nya, Zat yang merupakan sumber dan muara dari segenap keagungan, kesempurnaan, kehormatan, martabat, dan kebesaran. Tidak ada kebesaran, karunia, rahmat, atau kebaikan melainkan bahwa semua itu bersumber dari lautan-Nya.
Mu’adz bin Jabal diriwayatkan mengatakan bahwa suatu saat Rasullullah saw berpapasan dengan seorang lelaki yang mengulang- ulang ucapan “Wahai Zat yang memiliki keagungan dan kehormatan!” maka beliau berkata kepadanya, “Permintaanmu akan dihargai; maka teruskanlah dan ungkapkanlah.”
Rasulullah saw bersabda, “Tegakkanlah Dzu al-Jalali wa al-Ikram,” yakni: “Ikutilah jalan-Nya dan bersabarlah dalam melakukan demikian dan ucapkanlah berulang-ulang sifat ini dalam doa-doamu.” Jika seorang hamba Allah terus mengulang-ulang sifat ini dan cahayanya pada akhirnya akan bersinar dalam batinnya, maka ia akan menjadi sangat terhormat di kalangan kaumnya. Barangsiapa menyadari kebesaran Allah, akan menjadi sangat rendah hati di hadapan-Nya.
Salah satu tanda perbuatan baik dari seorang hamba Allah adalah bahwa ia meminta kedekatan kepada-Nya dengan menyandarkan dirinya sendiri kepada-Nya, dengan menjadi sangat rendah hati, dengan menampilkan kerendahhatiannya di hadapan Allah. Dia harus menyadari bahwa segenap kebesaran dan kesempurnaan adalah milik-Nya dan bahwa Dia memuliakan hamba-hamba-Nya dengan memberi mereka karunia-karunia-Nya.
86. Al-Muqsith (Maha Mengadili)
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Allah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia, dan (begitu pula) para malaikat serta orang-orang yang berilmu, yang menegakkan keadilan; Tiada Tuhan selain Dia Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS 3:18).
Pengertian variasi akar kata sifat ini, yakni qisth (keadilan atau kejujuran) adalah sebagai berikut: aqsatha artinya keadilan yang terwujudkan; qasatha artinya menjadi tidak jujur atau tidak adil; qasith merupakan orang yang zalim atau tidak jujur, seorang penindas; muqsith adalah orang yang adil dalam keputusan atau ketetapannya, dan qisth artinya bagian, kesatuan, atau porsi sesuatu. Qâsithûn, kata benda pluralnya, adalah orang-orang yang menyimpang dari keadilan. Tentang mereka Allah berfirman, “Dan adalah bagi mereka yang menyimpang, mereka akan menjadi bahan bakar neraka.” (QS 72:15).
Qisth artinya penerapan keadilan dengan mengambil sesuatu yang telah diperoleh seseorang secara tak sah dan mengembalikannya kepada pemiliknya yang sah. Iqsath artinya bahwa seseorang diberi bagiannya sendiri yang halal dimana orang lain telah mengambilnya secara tak sah [secara paksa atau lainnya]; ia pun disebut inshaf, menjalankan persamaan. Qasatha artinya seseorang menjadi zalim, sedangkan aqsatha artinya bahwa ia menjadi jujur dan adil. Al-Muqsith adalah Yang Mahakuasa, yakni Zat yang jujur dan adil dalam semua keputusan dan ketetapannya, Yang mengurus setiap makhluk menurut sebuah sistem. Al-Muqsith muncul untuk menyelamatkan orang-orang tertindas dan menegakkan keadilan. Kesempurnaan dalam melakukan hal demikian merupakan fakta bahwa Dia mengabulkan permohonan orang-orang tertindas juga, yang merupakan tujuan akhir persamaan, sesuatu yang tak seorang pun bisa berbuat apapun selain Allah, Mahasuci Ia, yang berfirman, “...dan jika engkau memutuskan di antara mereka, maka putuskanlah mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.” (QS 5:42).
Menurut sebuah hadis qudsi, ketika Nabi saw tengah duduk, beliau tersenyum sampai-sampai geraham giginya terlihat. Salah seorang sahabatnya berkata kepadanya, “Semoga orang tuaku menjadi tebusan bagimu, wahai Rasulullah, apa gerangan yang telah membuat Anda tersenyum seperti itu?” Beliau menjawab, “Dua orang dari umatku dibawa ke hadapan Tuhan. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk menegakkan keadilan atas namaku pada orang ini.’ Allah Azza wa lalla berkata, ‘Jujurlah kepada saudaramu dan berikanlah kepadanya apa yang menjadi miliknya.’ Orang itu berkata, ‘Ya Allah, tak satupun dari perbuatan baikku tertinggal untuk melakukan hal itu.’ Allah berfirman kepada orang yang pertama, ‘Apa yang akan engkau lakukan kepada saudaramu itu karena ia tidak mempunyai perbuatan baik yang tertinggal padanya?’ Orang itu menjawab, ‘Ya Allah, biarkanlah ia memikul sebagian dari tanggunganku (dosaku).’ Setelah itu mata Rasulullah saw penuh dengan air mata. Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya itulah hari ketika manusia akan membutuhkan orang lain untuk menanggung tanggungan mereka sendiri.” Setelah beberapa saat, Rasulullah saw berkata lagi, “Allah Azza wa Jalla berkata kepada orang yang salah (orang pertama), ‘Bukalah matamu dan lihatlah taman-taman rahmat.’ Orang itu berkata, ‘Ya Allah, aku melihat seluruh kota terbuat dari perak dan rumah-rumah besar dari emas dihiasi dengan mutiara-mutiara; untuk golongan shiddîqin atau syuhadakah keduanya itu?’ Allah menjawab, ‘Keduanya untuk orang-orang yang memperhatikan harga.’ Orang itu berkata, ‘Tuhan, siapakah yang bisa mendapatkan harga mereka?’ Dia menjawab, ‘Engkau.’ ‘Untuk apakah, Tuhan?’ tanyanya kepada Allah. ‘Untuk memaafkan saudaramu,’ jawab Tuhan. Orang itu menjawab, ‘Ya Allah, aku sungguh-sungguh memaafkannya.’ Allah kemudian berkata, ‘Bawalah saudaramu dan bimbinglah ia menuju jalan ke surga.’” Kemudian Rasulullah saw berkata, ‘Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah, dan perbaikilah hubunganmu, karena Allah akan menegakkan keadilan pada hari pengadilan di antara orang-orang beriman.”
87. Al-Jâmi’ (Maha Mengumpulkan)
Allah berfirman, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan umat manusia pada hari (penghisaban) (untuk menerima pembalasan) yang tiada keraguan atasnya. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.” (QS 3:9).
Al-Jâmi’ adalah sebuah sifat Allah diturunkan dari jami’, akar katanyai yang berarti: mengumpulkan, menyatukan, atau menggabungkan. Hari perkumpulan adalah hari pengadilan, Ia disebut demikian karena Allah akan mengumpulkan seluruh makhluk-Nya dari generasi pertama hingga generasi terakhir, dari golongan jin dan manusia, semua penduduk langit dan bumi, dan setiap hamba Allah dan perbuatannya, setiap penindas dan yang ditindas, dan setiap nabi dan kaumnya. Dia juga akan menggabungkan antara ganjaran bagi mereka yang menaati-Nya dan hukuman bagi mereka yang mendurhakai-Nya.
Subjek jâmi’, mengumpulkan atau menghimpun, disebutkan dalam beberapa ayat al-Quran berikut ini:
Allah tidak ada Tuhan selain Dia. Dia pasti akan mengumpulkan kamu semua di hari kebangkitan; tidak ada keraguan tentangnya; siapakah yang lebih benar perkataannya selain Allah? (QS 4:87).
Dia telah menetapkan pada diri-Nya kasih sayang. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu pada hari kebangkitan, tidak ada keraguan tentangnya. (QS 6:12)
Dan Kami akan membiarkan sebagian dari mereka, di hari itu, untuk bercampur aduk (seperti ombak) satu dengan lainnya dan terompet itu akan ditiupkan, lalu Kami akan mengumpulkan mereka semuanya bersama-sama. (QS 18:99)
Katakanlah (olehmu): “Tuhan kami akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia akan memberi keputusan di antara kita dengan benar; dan Dia Maha Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui.” (QS 34:26).
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan makhluk-makhluk yang melata yang Dia sebarkan pada keduanya. Dan Dia Mahakuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendaki- Nya. (QS 42:29).
Katakan (olehmu wahai Rasul Kami Muhammad!): “Allah yang menghidupkan kalian kemudian mematikan kalian kemudian Dia akan mengumpulkan kalian kepada hari kiamat, tidak ada keraguan di dalamnya.” (QS 45:26).
Hari itu Dia akan mengumpulkan kalian pada hari pengumpulan, itu adalah hari kerugian bersama-sama. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan beramai saleh, Dia akan menghapuskan semua dosa dan mengizinkannya memasuki taman yang di bawahnya sungai mengalir, untuk tinggal di sana selamanya. Itu adalah keberhasilan yang mengagumkan. (QS 64:9).
Siapapun yang pengetahuannya sempurna dan akhlaknya baik berhak untuk disebut jâmi’. Atas alasan ini, seorang yang sempurna adalah orang yang tidak memadamkan cahaya kesalehan dengan cahaya pengetahuan. Dengan demikian, artinya ia menghimpun penglihatan (batin) yang sempurna dengan nubuat (foresight).
88. Al-Ghaniyy (Maha kaya)
Allah berfirman, “Hai manusia, kalianlah yang perlu kepada Allah dan Allah Dialah Yang Mahakaya dan Maha Terpuji.”(QS 35:15).
Baik al-Ghanî maupun al-Mughnî termasuk dari sifat-sifat Allah.
Secara linguistik, ghina, akar kata al-Ghanî, artinya kemandirian yakni mempunyai mampu mencukupi. Lawannya adalah faqr, miskin, berkeinginan, perlu, membutuhkan, dan sejenisnya. Kemandirian atau self-sufficiency memiliki banyak corak: pertama, yang tidak memiliki kebutuhan dan tak seorang pun yang bebas dari kebutuhan terhadap seseorang atau sesuatu selain Allah. Pengertian ini tercantum dalam ayat: “Kepunyaannya adalah segala sesuatu yang ada di langit dan segala sesuatu yang ada di bumi. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakaya dan Maha Terpuji.” (QS 22:64).
Corak kedua adalah jumlah kebutuhan seseorang itu sedikit atau terbatas yang diisyaratkan dalam ayat ini:
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan lalu Dia memberikan kecukupan.” (QS 93:8)
Yang ketiga adalah apa yang disuarakan oleh segelintir orang yang jahil di antara orang-orang beriman yang mengklaim bahwa Allah itu miskin sementara mereka kaya. Kemudian Zat Yang Maha Memiliki semua kekayaan dan kemuliaan menjawab tuduhan mereka dengan mengatakan bahwa, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan, ‘Sebenarnya Allah itu miskin dan kami kaya.’ Pastilah Kami akqn mencatat perkataan mereka itu dan mereka membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar dan Kami akan mengatakan, ‘Rasakanlah bagi kalian azab yang membakar.’” (QS 3:181).
Mereka berkata demikian ketika mendengar ayat yang berbunyi, “Siapakah yang akan memberikan pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik...?” Yang Mahakuasa menjawab perkataan mereka dengan ayat berikut, “Hai manusia, kamulah yang perlu kepada Allah dan Allah Dialah yang Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (QS 35:15)
Yang Mahakuasa menekankan fakta yang sama dalam ayat lain, “...barangsiapa yang menyangkalnya, sungguh Allah itu Mahakaya.” (QS 3:97).
Al-Ghanî tidak punya kebutuhan, pada Diri-Nya sendiri atau dalam sifat-sifat atau perbuatan-perbuatan-Nya, pada siapapun atau pada apapun. Dia tidak membutuhkan siapapun sementara segala sesuatu membutuhkan-Nya. Al-Ghanî adalah Zat Mahasempurna karena apa yang Ia miliki dan apa yang ada di sisi-Nya. Tuhan kita, Yang Maha Terpuji, disebut 'seperti itu karena kebutuhan merupakan suatu kekurangan, dan orang yang butuh tidak mampu meraih apa yang ia inginkan dan dambakan. Sesuatu yang dibutuhkan memiliki suatu kelebihan, lantaran apa yang ia miliki, dari ia yang membutuhkannya. Kekurangan tidak berlaku bagi al-Ghanî Mutlak dan ketidakmampuan tidak bisa dinisbatkan kepada-Nya, segala puji bagi-Nya, atau tak seorang pun yang bisa memberi-Nya karunia, karena segala sesuatu adalah ciptaan dan makhluk-Nya; Dia membentuk dan menciptakannya, dan secara total ia tergantung kepada-Nya dalam segala sesuatu. Segala sesuatu adalah apa yang diinginkan-Nya secara persis.
Segala sesuatu selain Allah membutuhkan (faqr), sementara Dia, al-Ghanî, tidak membutuhkan siapapun. Nabi saw diriwayatkan telah berkata, “Kekayaan bukanlah berlimpahannya segala sesuatu; sebaliknya, kekayaan terdapat pada jiwa seseorang.” Tingkat tertinggi dari kekayaan adalah kebahagiaan, kepuasan, dengan apa yang tersedia di sisimu. Karenanya, sesungguhnya tidak ada kekayaan seperti perasaan bahagia. Seseorang boleh jadi amat miskin, namun ia mencoba tampil sebaik-baiknya di hadapan manusia. Perhatikanlah firman Yang Mahakuasa berikut ini, “...orang-orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta.” (QS 2:273).
Yang Mahakuasa ada karena keniscayaan eksistensi-Nya, berdasarkan kebaikan-Nya sendiri. Oleh sebab itu, Dia tidak membutuhkan siapapun selain Diri-Nya sendiri. Segala sesuatu dan setiap orang selain-Nya bisa eksis, namun eksistensinya terjadi ketika Dia menciptakannya. Maka Dia, dan hanya Dia―segala puji bagi-Nya―adalah al-Ghanî.
89. Al-Mughnî (Maha Pemberi Kekayaan)
Allah, al-Mughnî, telah berkata, “...dan jika kamu takut akan menjadi miskin, maka Allah akan memberikan kekayaan kepadamu melalui karunia-Nya jika Ia kehendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.” (QS 9:28)
Al-Mughnî telah melimpahkan karunia-karunia-Nya kepada para hamba-Nya secara melimpah dan memfasilitasi mereka dalam pencapaian tujuan dan maksud mereka serta pemenuhan kebutuhan mereka sehari-hari. Tidak ada kemandirian selain bahwa Dia menjadikannya maujud. Dia memperkaya para sahabat-Nya (wali) dengan kekayaan cahaya-Nya, memudahkan bagi mereka yang berdiam di alam semesta mengakses sarana-sarana penghidupan dan rezeki mereka melalui titah-Nya. Dia memperkaya setiap kebenaran yang Dia sediakan dalam suatu ukuran karena Dia, dan hanya Dia, mengetahui rahasia-rahasianya, apa yang gaib maupun yang nyata darinya.
Allah adalah Maha Pemberi Kekayaan, meskipun seorang hamba- Nya yang kepadanya Dia telah memberi kekayaan tidak bisa berpikir sama sekali sebagai wujud mandiri secara mutlak. Yang terkecil dari urusannya membuktikan bahwa ia membutuhkan al-Mughnî. Karena itu, dia tidak pernah mandiri. Agaknya, ia bisa mandiri dari siapapun selain Allah yang memberinya dengan apa yang dibutuhkannya ketika tidak membahayakan sebab-sebab akan kebutuhannya. Orang yang mandiri sejati adalah orang yang tidak membutuhkan siapapun. Siapapun yang membutuhkan dan mendapatkan apa yang ia butuhkan hanyalah mandiri melalui analogi, yakni sebagian besar bisa dikatakan tentang siapapun selain Allah. Menyangkut kurangnya kebutuhan, ini keluar dari pertanyaan bagi siapapun selain-Nya. Namun seandainya orang tidak membutuhkan siapapun selain Allah, makaia bisa disebut ghanî. Seandainya ia tidak butuh sama sekali, maka ayat yang mengatakan “...dan Allah Mahakaya dan kalian fakir (kepada-Nya),” (QS 47:38), niscaya tidaklah tepat. Sekiranya ada kemungkinan bahwa Allah bisa dipandang membutuhkan apapun, niscaya tidak perlu bagi Yang Mahakuasa untuk disebut al-Mughnî, Maha Pemberi Kekayaan.
Al-Mughnî menjadikan siapapun dari kalangan. hamba-Nya dapat mencukupi dirinya sendiri. Dia melimpahkan kemandirian dan keswadayaan kepada hamba-hamba-Nya. Dia bisa dianggap sebagai memberi mereka kesanggupan untuk berdiri sendiri. Dan Allah pun menjadikan sebagian hamba-Nya tidak tergantung pada yang lain, lantaran semua kebutuhan sesungguhnya telah dipenuhi oleh-Nya: makhluk-makhluk-Nya tidak bisa berbuat apa-apa bagi diri mereka sendiri tanpa pertolongan-Nya; lantas bagaimana bisa mereka dinilai mampu;membantu yang lain ketika mereka sendiri perlu ditolong? Dia melimpahkan kemandirian dan keswadayaan kepada siapa saja yang Dia kehendaki di kalangan hamba-Nya menurut kearifan dan kehendak- Nya; Dia berfirman dalam ayat berikut, “...Tuhan kami adalah yang telah memberikan kepada setiap sesuatu bentuk-bentuknya (yang sesuai) dan kemudian (juga) memberinya petunjuk (yang benar).” (QS 20:50).
Tentang Diri-Nya sendiri, al-Mughnî telah bersabda:
...Jika mereka miskin, Allah akan membuat mereka bebas dengan keinginan dengan karunia-Nya. (QS 24:32).
Dan sesungguhnya Dia yang memberi kekayaan dan kecukupan. (QS 53:48)
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan lalu Dia memberikan kecukupan. (QS 93:8).
Salah satu cara untuk mengeluarkan satu kode etik dari al-Ghanî dan al-Mughnî adalah bahwa ia menyadari bahwasanya ia membutuhkan-Nya secara dawam (terus menerus), dan bahwa ia lebih percaya pada apa Allah miliki ketimbang percaya apa yang ia sendiri miliki, serta bersikap baik dalam memberikan kemurahan dan kasih sayang terhadap hamba-hamba Allah. Salah satu norma perilaku seorang mukmin menyangkut sifat al-Mughnî adalah ketika ia menyadari-Nya sebagai Zat satu-satunya yang bebas dari kebutuhan apapun, Zat yang memenuhi semua kebutuhan hamba-hamba-Nya, ia akan bersandar dan bertawakal kepada-Nya dalam segala sesuatu dan merujuk kepada-Nya dalam setiap masalah.
90. Al-Mâni’ (Maha Membela)
Allah, keagungan dan pujian karena-Nya dan hanya untuk-Nya, berfirman, “Atau apakah mereka mempunyai tuhan-tuhan yang dapat meiindungi mereka dari Kami?” (QS 21:43).
Al-Mâni’ adalah satu dari sekian sifat Allah yang diturunkan dari man’, lawan dari memberikan atau melimpahi. Ia juga berarti melindungi, menghentikan sesuatu dari gangguan dari yang lain atau satu kelompok manusia dari gangguan manusia lainnya. Kata ini digunakan untuk menjelaskan pertahanan sebuah rumah, benteng yang diperkuat dan lain-lain dari serangan musuh. Ia berarti melindungi dan menolong. Yakni, Dia memiliki kekuasaan untuk menghentikan sebab- sebab kebinasaan atau kekurangan dalam keyakinan dan tubuh. Dia mencegah keburukan dengan cara melindungi dan menjaga. Dia menghentikan pemberian kepada siapa saja yang Ia kehendaki untuk menguji atau untuk melindungi mereka. Dia memberi anugrah kehidupan kepada siapa saja yang Dia. suka atau tidak, namun Dia tidak memberikan rahmat akhirat (rahîm) selain kepada orang-orang yang Dia sukai.
Al-Mâni’ melindungi dan menolong orang-orang yang menaati- Nya dan Dia menghentikan sebagian hamba-Nya dari melakukan sesuatu yang Dia tidak ingin mereka melakukannya ketika memberi apa yang mereka inginkan. Dia mencegah sebab-sebab kehancuran dan penyusutan dalam masalah-masalah yang terkait dengan keyakinan- keyakinan dan umat karena apa yang Dia ciptakan berupa sebab-sebab bagi pemeliharaan mereka. Halangan dari sebab-sebab kebinasaan dan pemeliharaan dari apa yang dibimbing melawan kepunahan merupakan matalamat (objective) mân dan merupakan tujuan ultimat. Seandainya mân’ (pelarangan) dibutuhkan untuk tujuan pemeliharaan dan yang kedua tidak dibutuhkan demi yang pertama, maka setiap pelindung membela dan melindungi. Tidak setiap orang yang melarang melindungi selain bahwa ia melarang sebab-sebab kebinasaan dan penyusutan.
Al-Mâni’ melarang kesulitan dari mencapai para wali-Nya, atau abstensi utuh dari memberikan sesuatu kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Apabila Dia melarang penderitaan dari mencapai para sahabat-Nya, ini karena kemurahan indah-Nya, dan jika Dia melarang pemberian kepada mereka, itu pun masih merupakan karunia besar dari-Nya.
Allah memberikan kesenangan-kesenangan kehidupan di dunia ini kepada orang-orang yang Dia cintai dan kepada orang-orang yang tidak Dia cintai, namun Dia tidak melindungi hati seorang hamba-Nya kecuali jika yang kedua termasuk dari salah satu wali-Nya.
Al-Mâni’ menghindarkan sebab-sebab kebinasaan dan penyusutan keyakinan dan tubuh dengan menciptakan sarana-sarana yang melindunginya dari kebinasaan dan penyusutan. Maka, Dia menciptakan beberapa sebab dan melarang yang lain; Dia memberikan segala sesuatu yang menghasilkan manfaatnya dan melarang yang menimbulkan kerusakannya. Dia menjadikan sebagian orang kaya dengan memberi mereka kekayaan, dan Dia menghentikan pemberian kepada siapa saja yang Dia kehendaki untuk menguji mereka dengan penderitaan. Dia memperkaya dan memiskinkan; Dia menjadikan sebagian bahagia dan sebagian nestapa; Dia memberi kepada sebagian dan menahan kepada sebagian lain; Dialah al-Mu’ti, Maha Pemberi, sekaligus Al-Mâni’, Maha Menahan. Dia menunda pemberian kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan penundaan-Nya bisa mengandung pemberian terselubung. Dia mampu menahan pemberian kekayaan melimpah kepada salah seorang hamba-Nya dan sebagai gantinya memberinya kesempurnaan dan kecantikan. Dia bisa mencabut dari seorang hamba-Nya kenikmatan kesehatan yang baik dan menjadikannya ridha akan keputusan-Nya. Al-Mâni’ adalah sekaligus juga al-Mu’ti: karena dalam penahanan ada pemberian, dan dalam pemberian ada penahanan.
Rasulullah saw biasa berdoa dengan doa berikut setiap usai shalat fardhu: “Tiada tuhan selain Allah, Mahaesa dan Tuhan satu-satunya, kepunyaan-Nya adalah kerajaan, bagi-Nya segala pujian dan Dia bisa melakukan segala sesuatu. Ya Allah, tak seorang pun yang bisa menghalangi-Mu sesuatu yang Kauberikan atau tak seorang pun yang bisa memberi sesuatu yang Kautahan, dan tak seorang pun yang mampu menghentikan terlaksananya kehendak-Mu.”
91. Al-Dhârr (Maha Pemberi Bahaya)
Allah berfirman, “Katakan (olehmu wahai rasul Kami!): “Aku tidak berkuasa alas diriku sendiri untuk mendatangkan manfaat ataupun mudharat melainkan apa yang Allah kehendaki.” (QS 10:49).
Baik al-Dhârr maupun al-Nâfî’ termasuk dari sifat-sifat Allah.
Sebagian besar referensi yang di dalamnya sifat-sifat ini dibahas telah menggabungkan kedua sifat ini secara bersamaan. Menggabungkan kedua sifat ini adalah lebih baik: ia menyampaikan makna yang lebih kuat dari kekuasaan Yang Mahakuasa untuk melakukan apa saja yang Dia kehendaki. Tak sesuatu pun yang dapat memberikan manfaat ataupun mudharat kepada yang lain selain-Nya.
Bahasa mengatakan bahwa dharr, bahaya, adalah lawan dari nâfî’, manfaat. Allah adalah al-Dhârr, yakni Zat yang bisa memberikan bahaya kepada siapapun yang Dia kehendaki. Dia menjadikan miskin sebagian dari hamba-hamba-Nya atau menyebabkan mereka jatuh sakit menurut kebijaksanaan-Nya; dengan begitu, Dia menentukan segala sesuatu, dan hanya Dia yang memfasilitasi sarana-sarana bahaya sebagai suatu ujian dari-Nya yang dengannya Dia membersihkan para pendosa atau menundukkan salah seorang hamba-Nya kepada suatu ujian untuk meningkatkan kedudukannya. Dia menetapkan bahaya kepada sebagian hamba-Nya dan mewujudkan perintah-Nya melalui sarana-sarana tertentu. Dialah Yang Mahabijak dalam setiap perbuatan-Nya, Yang Maha Penyayang dalam keputusan-Nya. Sekiranya Dia menitahkan bahaya, itu semata-mata demi kebaikan bersama dan apabila Dia menentukan suatu penyakit atau musibah, tiada lain itu merupakan pengobatan yang berguna dalam kehidupan di dunia ini dan akhirat yang akan datang.
Allah berfirman, “Dan jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia...” (QS6:17)
Suatu ketika Nabi Musa as mengadukan sakit gigi kepada Tuhannya, maka Yang Mahakuasa menyuruhnya untuk menempelkan jenis tumbuhan herbal tertentu pada daerah yang sakit, yang kemudian dilakukan olehnya. Sakit giginya pun sembuh. Beberapa hari kemudian, sakit gigi yang sama kembali menyerangnya, maka ia pergi dan mengambil tanaman herbal yang sama dan menempelkannya, namun kali ini rasa sakit begitu kuat. Ia mengadukan kepada Tuhannya, “Ya Tuhan, apakah engkau tidak menempelkan jenis tanaman herbal ini dan memberitahuku dimana aku bisa mendapatkannya?” Yang Mahakuasa mengilhamkan kepadanya, “Wahai Musa! Akulah Zat yang menyembuhkan dan yang mengaruniakan kesehatan yang baik. Engkau datang kepada-Ku pada kali pertama, maka Aku pupus penyebab penyakitmu, sedangkan sekarang engkau mendatangi tumbuhan ini dan bukannya datang kepada-Ku.”
Rasulullah saw berkata, “Barangsiapa yang mengklaim bahwa Allah menganjurkan perbuatan salah dan dosa, maka ia berdusta tentang Allah. Dan barangsiapa yang mengklaim bahwa kebaikan dan keburukan adalah mungkin tanpa kehendak Allah, berarti mencabut Allah dari kekuasaan-Nya. Dan barangsiapa yang mengklaim bahwa dosa-dosa dilakukan tanpa kekuasaan Allah, berarti berkata dusta tentang Allah, dan barangsiapa berkata dusta tentang Allah, Dia akan melemparkannya ke dalam neraka.” Dalam hadis ini, kebaikan dan keburukan yang ia maksudkan masing-masing adalah kesehatan dan penyakit mengingat ayat ini: “...Kami mengujimu dengan keburukan dan (dengan) kebaikan (melalui) sebuah ujian.” (QS 21:35).
Imam al-Baqir as diriwayatkan pernah mengatakan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih pengasih kepada makhluk-makhluk-Nya ketimbang memaksa mereka berbuat dosa kemudian menghukum mereka karena melakukan demikian dan Allah lebih berkuasa ketimbang berkeinginan untuk melakukan sesuatu dan itu tidak terjadi.” Suatu ketika beliau ditanya apakah ada jarak antara paksaan dan nasib, maka Imam as wenjawab, “Ya, ada. Jaraknya lebih luas ketimbang antara langit dan bumi!” Beliau juga berkata, “Tidak ada paksaan ataupun kebebasan yang tidak terbatas. Jalan terbaik adalah jalan yang ada di tengah-tengah.” Ketika ia ditanya tentang jalan tengah itu, ia menjawab, “Izinkan saya memberi satu contoh kepada Anda:
Katakanlah Anda mungkin melihat seseorang melakukan dosa. Anda berusaha niencegahnya namun ia menolak menghentikannya. Setelah itu Anda meninggalkannya untuk melakukan dosa tersebut. Ketika ia tidak mendengarkanmu dan malahan bersikukuh berbuat dosa, itu tidak berarti bahwa Anda sendiri telah mendorongnya untuk melakukan dosa itu.”
92. Al-Nâfi’ (Maha Pemberi Manfaat)
Adapun tentang sifat al-Nâfî’, Allah Subhanahu Wa Ta’Âla berfirman, “Apapun kebaikan yang datang kepadamu (wahai manusia) itu adalah dari Allah dan apapun kemalangan yang menimpamu, itu dari dirimu sendiri.” (QS 4:79).
Al-Nâfî’ adalah sumber faedah dan kebaikan bagi kehidupan di dunia ini dan bagi keyakinan. Hanya Dia yang menganugrahkan kesehatan yang baik, kekayaan, kebahagiaan, otoritas, petunjuk, dan kesalehan. Dia mempermudah semua makhluk-Nya manfaat dari yang Dia ciptakan untukmereka. Dia telah memfasilitasi jalan menuju kepada- Nya bagi orang-orang yang ingin menempuhnya, Yang menolong jiwa-jiwa melalui para nabi-Nya, Yang memberi nutrisi tubuh melalui makanan, Yang menjauhkan penyakit melalui obat, Yang menjauhkan musibah melalui karunia dan kebaikan, dan Yang melimpahkan manfaat kepada setiap orang, baik ia seorang malaikat, manusia, ataupun jin.
Ibn ‘Abbas berkata, “Suatu ketika saya tengah duduk di belakang Rasulullah saw yang kemudian beliau berkata kepadaku, ‘Hai anak muda, aku ingin mengajari beberapa petuah [kebijaksanaan]: apabila engkau melindungi hak-hakmu pada Allah, niscaya Dia akan melindungimu; apabila engkau tetap memperhatikan hak-hak Allah terhadapmu, engkau akan menjumpai-Nya (sebagai Zat) yang memeliharamu; apabila engkau mempunyai suatu permintaan, maka mintalah kepada-Nya jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan itu dari-Nya; dan camkanlah dalam pikiran bahwa seandainya semua orang berkumpul untuk mendapatkan manfaat darimu akan sesuatu, mereka tidak akan mampu berbuat demikian, selain pada apa yang telah Dia alokasikan untukmu, dan jika mereka semua berkumpul bersama untuk membahayakanmu, mereka tidak akan pernah mampu berbuat demikian kecuali jika Dia telah menitahkannya kepadamu; tinta-tinta telah mengering, dan lauh-lauh telah dipindahkan.’”
Al-Dhârr al-Nâfi’ adalah Zat yang dari-Nya segala sesuatu yang baik ataupun buruk terpancar; semuanya disandarkan kepada Allah dan dijalankan melalui para malaikat, manusia, benda-benda tak bernyawa, atau melalui sarana-sarana lain; maka, janganlah mengira bahwa racun, misalnya, membunuh dengan sendirinya, atau bahwa makanan dengan sendirinya memuaskan rasa lapar. Para malaikat, manusia, setan, atau segala sesuatu yang ada seperti planet-planet, atau benda-benda lainnya, di bawah kendali-Nya; mereka tak mampu berbuat apa-apa selain apa yang telah Allah perintah kepada mereka. Mereka semua, di samping kekuatan abadi, laksana sebuah pella yang yang ada di tangan penulis ketika dilihat oleh seorang yang buta huruf. Apabila seorang penguasa menandatangani perintah untuk menghukum atau mengganjar seseorang, pena yang ia pakai untuk menandatangani perintah seperti itu tidak bisa menyampaikan perbedaan antara perintah yang satu dan perintah yang lainnya, atau antara apa yang menimbulkan bahaya dan yang membawa manfaat, atau bahkan perbedaan antara penggtinanya dan yang lainnya, lni merupakan masalah dengan semua sarana dan sebab.
Baik Al-Dhârr al-Nâfi’ disebut di pelbagai tempat di dalam al-Quran mulia. Di antaranya:
Katakanlah: “Tidaklah aku memiliki untuk diriku sendiri suatu manfaat tidak pula mudharat selain apa yang Allah kehendaki; dan sekiranya aku mengetahu apa yang tidak terlihat sungguh aku pasti akan melakukan banyak kebajikan dan kejelekan tidak akan menyentuhku sedikitpun, dan aku bukanlah apa-apa selain seorang pemberi peringatan dan pembawa berita baik untuk suatu kaum yang percaya.” (QS 7:188)
Katakan (olehmu wahai rasul Kami!): ‘Aku tidak berkuasa atas diriku sendiri untuk mendatangkan manfaat ataupun mudharat selain apa yang Allah kehendaki.’ Untuk setiap kaum ada ajal yang ditentukan; ketika datang ajal mereka maka mereka tidak akan memundurkannya (bahkan) sesaat pun ataupun mendahulukannya. (QS 10:49)
Kemudian ketika Dia menghilangkan kemudharatan itu dari kamu, tiba-tiba sebagian dari kamu menyekutukan sesuatu yang lain dengan Tuhan mereka.” (QS 16:54)
Dan ketika Kami merasakan rahmat kepada manusia, mereka merasa senang karenanya, dan apabila keburukan menimpa mereka karena apa-apa yang tangan-tangan mereka (sendiri) lakukan, tiba-tiba mereka merasa putus asa.” (QS 30:36)
Andil seorang hamba Allah bisa memperoleh inspirasi sifat-sifat ini adalah bahwa ia menjadi “berbahaya” bagi musuh-musuh Allah sambil mendatangkan manfaat bagi para kekasih Allah. Dalam surat al-Ma’idah, Yang Mahakuasa menggambarkan orang beriman sebagai “...yang bersikap lembut di hadapan oang-orang yang beriman, bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” (QS 5:54).
Mukmin seperti ini tidak memohon kepada siapapun, tidak juga takut pada siapapun selain Tuhannya; ia sepenuhnya bertawakal kepada Allah. Barangsiapa yang benar-benar menyadari bahwa Tuhannya, Zat Yang Mahamulia, adalah Zat satu-satunya yang menciptakan dan mengadakan segala sesuatu, Yang menciptakan benda-benda baru, maka ia akan tunduk kepada-Nya dan bertawakal kepada-Nya dalam semua urusannya; dia akan hidup menikmati pikiran yang damai; ia akan aman dari manusia, dan ia akan memberikan bimbingan kepada setiap orang. Hatinya tidak menyisakan ruang sedikitpun untuk tipu daya atau pengkhianatan.
Kiranya baik menghimpun sifat al-Dhârr al-Nâfi’, lantaran pada keduaya dikatakan bahwa semua sifat berakhir; Dia, Mahasuci Dia, mengendalikan sarana-sarana untuk kemanfaatan dan kemudharatan manusia, dan tak seorang pun bisa mendatangkan bahaya kepada siapa saja ataupun memberi manfaat kepada siapapun selain Diri-Nya: “...tetapi cukuplah Tuhanmu sebagai pemberi petunjuk danPenolong (bagikamu).” (QS 25:31).
Barangsiapamengingatkedua sifat ini akan tunduk sepenuhnya Allah dan akan senantiasa merasa bahwa segala sesuatu berasal dari-Nya dan kembali kepada-Nya.
93. Al-Nûr (Maha Bercahaya)
Yang Mahakuasa berfirman, “Allah adalah cahaya langit dan bumi. perumpamaan cahaya-Nya laksana sebuah tempat yang di dalamnya terdapat lampu, lampu itu berada dalam kaca; kaca itu seperti bintang yang bercahaya, cahaya yang berasal dari pohon zaitun yang diberkahi, tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah baratnya, yang minyaknya hampir memancarkan cahaya (dari dirinya, (meskipun) tidak disentuh api; Cahaya di atas cahaya; Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapapun yang Dia kehendaki; dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS 24:35) .
Dalam bahasa, nûr artinya cahaya, segala sesuatu yang kemilau, cahaya, atau pantulan yang terjadi. Cahaya membantu penglihatan. Ada dua jenis cahaya: cahaya yang terkait dengan kehidupan dunia ini, dan cahaya yang terkait dengan kehidupan akhirat. Pertama, sebut saja duniawi, juga ada dua jenis: cahaya yang bisa dilihat oleh akal, intelek; ia adalah cahaya Ilahi, cahaya akal, dari al-Quran suci. Jenis lainnya terkait dengan cahaya fisik, yakni cahaya dari benda-benda yang memancarkan atau memantulkan cahaya seperti matahari dan rembulan. Sebuah contoh cahaya Ilahi tercantum dalam ayat berikut: “...telah datang kepadamu dari Tuhanmu cahaya dat kitab yang jelas (al-Quran).” (QS 5:15)
Rujukan pada cahaya fisik terdapat dalam ayat beriktit, “Dialah yang menjadikan matahari memancar dan bulan bercahaya.” (QS 10:5).
Di sini, matahari disebutkan sebelum bulan karena cahayanya biasanya lebih diasosiasikan dengan apa yang bisa dilihat ketimbang bulan.
Al-Nûr adalah Zat Yang Mahajelas yang telah memanifestasikan Diri-Nya sepenuhnya. Zat yang jelas pada diri-Nya sendiri dan Yang menjadikan segala sesuatu jelas dan terlihat disebut al-Nûr yang mengeluarkan segala sesuatu dari ketiadaan dan kemudian menciptakan mereka. Al-Nûr, Mahasuci Dia, telah memenuhi dunia kita dengan cahaya dan menjelmakannya, Yang menetapkannya sejak masa pra-keabadian (immemorial), Yang telah mengiluminasi eksistensi nyata melaluimatahari dan bintang-gemintang, Yang menerangi alam ruh melalui Rasulullah, pemimpin generasi pertama dan terakhir, dan Dia telah menerangi hati-hati melalui cahaya kitab suci-Nya. Dia menerangi orang-orang, yang dilimpahi dengan pengetahuan, dengan cahaya manifestasi-Nya. Al-Nûr telah menerangi hati-hati orang mukmin melalui keesaan-Nya dan kesadaran akan orang-orang yang mencintai- Nya dengan bantuan-Nya kepada mereka. Dia memperindah penampakan dan menghidupkan jiwa-jiwa orang-orang saleh melalui ibadah mereka. Dia memandu hati-hati untuk lebih suka dan memilih apa yang benar, Yang membimbing kesadaran terdalam secara diam- diam mengarah kepada-Nya.
Nûr (cahaya) memiliki banyak makna. Salah satu darinya adalah cahaya pengetahuan dan keilmuan, yakni fajar kebenaran sebagaimana terlihat oleh mukmin yang berilmu. Sifat al-Nûr telah disebutkan dalam teks al-Quran dan disandarkan kepada Allah di banyak tempat. Yang paling terkenal darinya ayat 24:35 yang dikutipkan di atas.
Ibn ‘Abbas mengatakan bahwa arti ayat ini adalah bahwasanya Allah adalah Pembimbing para penduduk langit dan bumi; perumpamaan bimbingan-Nya dalam hati seorang mukmin laksana minyak murni yang bersinar bahkan sebelum api menyentuhnya; oleh sebab itu, ketika api benar-benar menyentuhnya, ia mengintensifkan cahaya, maka ia mengintensifkan dan menambah cahaya kepada cahayanya. Sifat al-Nûr adalah isyarat akan fakta bahwa Allah merupakan cahaya langit dan bumi.
Banyak ayat lain yang merujuk pada cahaya Allah di dalamnya. Di antaranya sebagai berikut:
Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut dan ucapan mereka, dan Allah tidak menghendaki selalu menyempumakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir itu berusaha memadamkannya. (QS 9:32).
Maka, apakah orang-orang yang dananya (hati) telah dibukakan Allah untuk menerima agama Islam lalu ia mengikuti cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang-orang yang membatu hatinya)? Tidak! Celakalah bagi mereka yang hatinya membatu untuk mengingat Allah; mereka itu berada dalam kesesatan yang nyata. (QS 39:22).
Dan terang berderanglah dengan cahaya dari Tuhannya, dan buku perbuatan diberikan, dan para nabi dan para saksi akan didatangkan, dan (akan) diberi keputusan di antara mereka, dan mereka tidak akan diperlakukan tidak adil. (QS 39:69).
Terdapat lebih dari empat puluh rujukan pada cahaya dalam teks al-Quran. Sebagian ulama berpendapat bahwa sifat al-Nûr termasuk nama teragung Allah. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak bisa melihat sesuatu pun yang maujud tanpa melihat pengertian sifat ini (al-Nûr) yang tennanifestasi di dalamnya.
Rasulullah saw biasa memohon kepada Tuhannya di pagi hari dengan doa berikut, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk menjadikan cahaya dalam hatiku, cahaya di seluruh tubuhku, cahaya pada pendengaranku, cahaya pada penglihatanku, cahaya pada rambutku, cahaya pada kulitku, cahaya pada dagingku, cahaya pada darahku, cahaya pada tulangku, cahaya di depanku, cahaya di belakangku, cahaya pada sisi kananku, cahaya pada sisi kiriku, cahaya di atasku, cahaya di bawahku! Ya Allah, aku memohon kepadamu untuk menambah cahayaku, memberiku cahaya, dan menjadikan cahaya bagiku.” [23]
94. Al-Hâdi (Maha Pemberi Petunjuk)
Yang Mahasuci dan Mahatinggi berfirman, “...tetapi cukuplah Tuhanmu sebagai pemberi-petunjuk dan penolong (bagi kamu).” (QS 25:31).
Al-Hâdi adalah sebuah sifat yang diturunkan, secara linguistik, dari hidayah, petunjuk, yang artinya: menarik seseorang kepada sesuatu, seperti menarik hati seorang mukmin kepada al-Hâdi, kepada Zat-yang memberikan petunjuk tersebut. Bimbingan atau petunjuk artinya membawa hati lebih dekat kepada Yang Mahakuasa.
Petunjuk adalah keikutan pada nalar wajar dan akal sehat serta jalan yang anggun yang membawa seseorang kepada tujuan yang diharapkan. Dia memandu golongan khusus di kalangan hamba-hamba-Nya yang telah dipilih-Nya agar mengenal Zat-Nya, sedemikian sehingga mereka menyaksikan segala sesuatu melalui-Nya. Dia membimbing golongan awam di kalangan mereka untuk menyaksikan makhluk-makhluk-Nya, sedemikian sehingga mereka telah menyaksikan makhluk-makhluk tersebut sebagai tanda-tanda keberadaan-Nya, Pencipta dan Pemberi rezeki mereka. Dia telah memandu segala sesuatu yang Dia ciptakan kepada sarana-sarana apapun dimana itu bisa memuaskan kebutuhan-kebuuhannya. Dia telah membimbing bayi untuk mengisap payudara ibunya, anak-anak burung untuk mematuk benih-benihnya, dan lebah-lebah untuk membangun sarang-madu mereka dalam bentuk heksagonal yang merupakan sarang terbaik yang sesuai dengan tubuh-tubuh mereka. Contoh-contoh semacam ini sangat luas untuk dipaparkan.
Al-Hâdi memberi petunjuk kepada ia yang bersalah untuk bertaubat, dan mereka yang diberkati dengan pengetahuan kepada fakta-fakta berkaitan dengan kedekatan kepada-Nya. Al-Hâdi menempati hati-hati dengan kejujuran dan keadilan, tubuh-tubuh dengan kehidupan dan kematian. Al-Hâdi telah memberikan segala sesuatu bentuk-bentuk dan ciri-cirinya, dan Dia membimbing siapa yang Dia ciptakan kepada tujuan-tujuan di balik penciptaan mereka, kepada isu-isu yang terkait dengan kehidupan mereka di dunia ini dan kepada isu-isu yang terkait dengan keyakinan mereka, di samping segala sesuatu lainnya yang terkait dengan mereka. Dia membimbing hati-hati untuk memakrifati-Nya dan jiwa-jiwa untuk mematuhi-Nya; Dia membimbing orang yang bersalah kepadajalan taubat, orang-orang yang ikhlas kepada kedekatan dengan-Nya setelah mereka jauh dari-Nya. Dia terus mengisi hati-hati dengan cinta akan keadilan dan kebenaran; Dia memudahkan mereka untuk memperlakukan manusia secara adil. Al-Hâdi dalam realitas sesungguhnya adalah Allah (itu sendiri). Al-Hâdi telah membimbing orang-orang khusus di antara hamba-hamba-Nya kepada kearifan dan pengetahuan.
Setiap kali Rasulullah saw bangun mal am untuk shalat, ia selalu berdoa kepada Tuhannya sebagai berikut, “Ya Allah, Tuhan Jibril, Mikail, dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui yang gaib dan Saksi, Engkau mengadili di antara hamba-hamba-Mu berkaitan dengan apa yang di dalamnya mereka berbantahan!
Aku memohon kepada-Mu untuk membimbingku kepada apa yang di dalamnya mereka berselisih, dengan kehendak-Mu, karena Engkau membimbing siapa saja yang Kaukehendaki kepada jalan yang lurus.”
95. Al-Badî’ (Maha Pencipta yang barn/Tiada Bandingannya)
Allah, Subhanahu wa Ta’ala, berfirman, “Pencipta iangit dan bumi [dari bukan apa-apa adalah Dia] dan apabila Dia memutuskan sebuah urusan, Dia hanya berkata kepadanya “Jadilah”, maka jadilah ia.” (QS 2:117).
Dalam bahasa, menciptakan artinya mewujudkan sesuatu tanpa meniru suatu contoh atau model (sebelumnya). Al-Badî’ adalah Zat Yang Mahaunik. Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya dalam hal Zat-Nya, sifat-Nya, atau perbuatan-Nya; Dia telah memanifestasikan keajaiban-keajaiban yang telah Dia ciptakan sebagai isyarat yang paling indah akan kearifan-Nya. Dia telah menciptakan seluruh dunia kosmik tanpa (meniru) pola sebelumnya. Dia, Mahatinggi nama-Nya, telah berfmnan, “(Dialah) Pencipta langit dan bumi; bagaimana ia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri; Dia-lah yang menciptakan segaia sesuatu, Dia mengetahui segala sesuatu.” (QS 6:101).
Badî’ artinya pencipta, ia yang melakukan hal-hal baru, mewujudkan keberadaannya. Bid’ah artinya sesuatu yang baru, suatu inovasi, hanya karena tak seorang pun sebelumnya telah menciptakan atau mendukungnya. Allah adalah Pencipta semua benda tanpa meniru pola sebelumnya. Dia tidak mempelajari penciptaan mereka dari siapapun; alih-alih, Dialah yang memulai penciptaan semua makhluk, sehingga Dialah Pencipta mereka, Zat Yang memulai eksistensi mereka. Yang Mahakuasa, al-Badî’ telah menciptakan segala sesuatu tanpa menggunakan suatu alat atau material apapun, tanpa dibatasi ruang atau waktu agar bisa melakukannya.
Al-Badî’ telah mewujudkan benda-benda menakjubkan dari apa yang dilakukan-Nya dan bukti-bukti luar biasa dari kearifan-Nya. Dialah Zat Yang Mutlak yang tidak punya bandingan yang menyamai-Nya dalam sifat-sifat-Nya, kearifan-Nya, atau apapun yang terkait dengan-Nya; Dia, dan hanya Dia, adalah al-Badî’ Yang telah menciptakan segala sesuatu tanpa meniru suatu pola sebelumnya.
Karena tak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya dalam zat-Nya, sifat-Nya, ataupun perbuatan-Nya, atau apapun yang terkait dengan- Nya, yang menjadikan-Nya sebagai Pencipta Mutlak. Apabila hal semacarn itu dikenali biasa, ia sama sekali tidak bisa disebut badî’; maka sifat ini tidak cocok dengan siapapun selain Allah. Tak ada sesuatu pun yang seperti-Nya atau tak akan pernah ada; oleh sebab itu, contoh-Nya tidak pernah ada sama sekali dan tak akan pernah ada, dan apapun yang ada selain-Nya ada kareila-Nya; Dia, dan hanya Dia, adalah Pencipta sejak masa prakeabadian dan selamanya.
Anas bin Malik diriwayatkan mengatakan bahwa suatu saat Rasulullah saw mendengar seseorang berdoa seperti ini, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu karena fakta bahwa kepada-Mu segala pujian tertuju; tiada tuhan selaln Engkau; Engkaulah Zat yang tak pernah berhenti memberi, Yang menciptakan langit dan bumi, Zat yang memiliki semua kesucian dan kemuliaan! Aku memohon kepada-Mu untuk memberiku tempat di dalam surga-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka,” lalu Nabi saw berkata, “Sesungguhnya dia telah memohon kepada Allah dengan sifat-Nya, yang seandainya orang memohon kepada-Nya dengan sifat itu, niscaya Dia mengabulkan permohonan tersebut dan memberi apa yang dimintanya.”
Apabila seorang mukmin mengulang-ulang sifat mulia ini sedemikian sering, niscaya Allah akan memunculkan mala air kearifan yang mengalir dari lisannya; dia akan bijaksana dalam niatan-niatannya, karena Dial adalah dasar perbuatan. Seorang hamba Allah yang mengingat dan mengulang-ulang sifat ini sedemikian sering, memahami sepenuhnya akan makna-maknanya, akan disingkapan keindahan cahayanya. Allah, al-Haqq, Tabaraka wa Ta’âla, akan membolehkannya untuk memasuki lingkaran penemuan; Dia akan menjadikannya seorang luau yang ditaati oleh yang lain. Salah satu norma perilaku dari siapapun yang sering membaca sifat ini adalah penghindaran bid’ah-bid’ah dalam keyakinan dan kesetiaan penuh pada Sunnah.
96. Al-Bâqî (Maha kekal)
Allah SWT berfirman, “...Allah adalah yang paling baik dan paling kekal.” (QS 20:73).
Al-Bâqî adalah salah satu sifat-sifat Allah yang akar katanya adalah baqa’: lawan dari kebinasaan. Ia juga berarti: ketaatan kepada Allah dan mengharap ganjaran-ganjaran-Nya, atau kedudukan kebaikan yang tak hilang-hilang.
Hakikat al-Bâqî, Mahasuci Ia, terletak pada eksistensi-Nya yang abadi; keabadian merupakan salah satu ciri-ciri-Nya. Al-Bâqî, Mahasuci Dia, selalu ada dan eksistensi-Nya diniscaya karena kebaikan-kebaikan-Nya sendiri. Dia Mahaada, Yang tetap ada selamanya, dari permulaan setiap permulaan dan untuk keabadian. Al-Bâqî Mutlak adalah Zat yang durasi-Nya tak pernah berakhir, dan durasi seperti itu dijelaskan sebagai abadi, terus menerus, lestari, tak berakhir. Al-Qadîm Mutlak adalah Zat yang masa permulaan-Nya, jika waktu semacam itu ada, kembali pada “kesangatmulaan” waktu, dan durasi seperti itu disebut azali, langgeng. Ketika Anda mengatakan bahwa eksistensi-Nya tergantung pada kebaikan-kebaikan-Nya sendiri, sifat ini akan mencakup kedua pengertian tersebut (abadi dan azali).
Sesuatu yang mempengaruhi penentuan “masa kini” dan “masa lalu” adalah variabel-variabel tertentu; kedua kata tersebut menjelaskan waktu, dan tak sesuatu pun yang menakar waktu selain perubahan. Sesuatu yang mengalami perubahan karena gerakan dipengaruhi oleh waktui oleh sebab itu, baik “masa lalu” ataupun “masa depan” tidak berlaku bagi-Nya. Al-Haqq, Mahatinggi Ia, mendahului waktu, karena Dia sendiri menciptakan waktu dan tak sesuatu pun dalam Diri-Nya berubah. Dia mendahului waktu dan Dia tetap setelah penciptaan-Nya atas waktu sebagaimana Dia senantiasa ada dan akan senantiasa ada. Mereka yang mengklaim bahwa durasi merupakan suatu ciri yang ditambahkan pada zat al-Bâqî adalah jauh dari kebenaran dan tetap lebih jauh dari kebenaran ketimbang mereka yang mengklaim bahwa waktu merupakan kualitas tambahan pada Zat Yang Mahaabadi sejauh diperhatikan. Pembaca tidak perIn bersusah payah dengan detail-detail menyangkut eksistensi, durasi, dan sifat-sifat mana yang abadi.
Eksistensi Allah tergantung pada kebaikannya sendiri. Ia tidak terkena kebinasaan apapun. Durasi dari sesuatu yang mencukupi-dirinya sendiri selama di masa lain dan akan tetap demikian di masa depan dan itu juga terjadi di masa lain disebut lama, dan durasinya di masa depan disebut eksistensi.
Subjek dari ketahanan dan durasi yang disandarkan kepada Allah telah disebut dalam teks al-Quran suci lebih darisatu tempat. Berikut beberapa contohnya:
...amal-amal saleh yang kekal itu paling baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan paling baik tempat kembalinya (penghabisan). (QS 19:76).
...karena ketentuan Allah lebih baik dan lebih kekal. (QS 20:131).
...dan apa yang ada pada Tuhan adalah lebih baik dan lebih abadi bagi orang-orang yang percaya dan pada Tuhan mereka berserah diri. (QS 42:36).
Dan wajah Allah Yang Mahaperkasa dan Mahamulia akan kekal selama-lamanya. (QS 55:27).
Nasib baik yang bisa dicapai seorang hamba Allah apabila ia sering mengingat sifat ini adalah bahwa Yang Mahakuasa akan menyingkapkan kepadanya fakta-fakta abadi dan akan menjadikannya melihat jalan-jalan kebinasaan, maka ia akan lari segera ke al-Bâqî dan menghiasi perilakunya dengan makna sifat-sifat dan petunjuk moralnya.
97. Al-Wârits (Maha Mewarisi)
Allah berfirman, “...Dan (hanya) kepunyaanAllah-lah langit dan bumi, dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.” (QS 3:180).
Al-Wârits, Mahasuci Ia, tetap ada setelah binasanya semua makhluk. Dia mewarisi (mempunyai) segala sesuatu setelah kehancuran setiap orang dan segala sesuatu. Dialah Maha Pewaris: “(Yaitu) Hari ketika mereka keluar (dari kubur), ketika tiada suatupun yang tersembunyi dari Allah. (lalu sebuah suara akan bertanya): “Kepunyaan siapakah kerajaan hari ini? (kerajaan ini) adalah kepunyaan Allah Yang Mahaesa, Maha Mengalahkan!” (QS 40:16).
Akar kata sifat al-Wârits adalah waratsa, mewarisi: Dia akan mewarisi semua makhluk setelah kehancuran mereka. Dialah satu- satunya Zat yang tetap ada setelah mereka yang dulunya berpikir bahwa mereka memiliki barang-barang dan benda-benda―segala sesuatu telah Dia berikan kepada mereka―akan musnah; eksistensi mereka juga apa-apa yang telah Dia berikan kepada mereka, bergantung kepada-Nya, dan bukan pada sesuatu yang lain. Dia berfirman, “Dan sesungguhnya hanyalah Kami (dan tak seorang pun yang lain) yang menghidupkan dan mematikan dan Kami adalah satu-satunya yang mewarisi.” (QS. 15:23).
Apa yang hamba Allah miliki akan kembali kepada-Nya; tidak ada sekutu bagi-Nya. Al-Wârits adalah Zat yang kepada-Nya semua kepemilikan akan kembali setelah kematian “para pemiliknya”. Dialah Zat yang akan menyeru pada hari itu, Hari Keputusan, sebagaimana tertera dalam surat al-Mukmin [40]:16, “Kepunyaan siapakah kerajaan hari ini?” dan Dialah yang akan menjawab dengan mengatakan, “(kerajaan ini) adalah kepunyaan Allah Yang Mahaesa, Maha Mengalahkan!” Kebanyakan orang secara keliru menduga bahwa mereka memiliki kepemilikan yang menjadi milik mereka sendiri, namun hakikat materi akan disingkapkan di depan mata mereka pada Hari itu. Seruan ini melukiskan satu fakta yang kemudian akan disingkapkan kepada setiap orang.
Rujukan pada subjek warisan ketika diterapkan kepada Yang Mahakuasa terdapat dalam beberapa ayat berikut:
Dan sesungguhnya hanyalah Kami (dan tak seorang pun : yang lain) yang menghidupkan dan mematikan dan Kami adalah satu-satunya yang mewarisi.” (QS 15:23).
Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang yang di atasnya, dan hanya kepada Kamilah mereka dikembalikan. (QS 19:40)
“Ya Tuhanku! Janganlah Engkau tinggalkan aku seorang diri (tanpa seorang anak) dan Engkaulah adalah Waris Yang Paling Baik!” (QS 21:89)
Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan orang-orang yang mewarisi bumi.” (QS 28:5)
Rasulullah saw biasa berdoa seperti ini, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar memberiku kepuasan atas pendengaran dan penglihatanku dan menjadikan mereka pewarisku.”
98. Al-Rasyîd (Maha Pandai)
Allah Subhanahu wa Ta’âla berfirman, “Dan apabila hamba- hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah kepada mereka) bahwasanya Aku dekat; Aku mengabulkan permohonan orang yang menyerahkan diri apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka menyeru kepada-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu diberi petunjuk ke jalan yang benar.” (QS 2:186).
Sifat al-Rasyîd diturunkan dari Rusyd, akar katanya, yang artinya: petunjuk, kesalehan, dan kejujuran. Lawannya adalah penyimpangan dan kelicikan. Derivasinya mempunyai dua kemungkinan: satu adalah al-Rasyîd, yang artinya sama dengan al-Rasyîd, Mahabijak, sehingga Mahabijak adalah Dia yang tidak satupun dari perbuatan-perbuatan-Nya bisa dipandang sebagai keliru atau sia-sia. Yang lainnya adalah bahwa itu bisa berarti sama seperti al-Badî’, dan irsyad Allah―yakni arahan-Nya pada hamba-hamba-Nya ke jalan yang benar―adalah karena hidayah-Nya, petunjuk-Nya. Al-Rasyîd adalah Zat Yang pengaturannya atas semua masalah mencapai sasarannya tanpa siapapun selain-Nya yang mengarahkan atau membantunya, tiada siapapun selain Allah, Mahasuci Ia. Al-Rasyîd menghendaki siapapun yang Dia kehendaki dengan menyediakan baginya petunjuk-Nya, menjadikan siapapun yang Dia kehendaki sengsara dengan menjauhkannya dari petunjuk-Nya. Dialah Zat yang dalam pengaturannya tidak salah, dan dalam penilaiannya tidak keliru.
Al-Rasyîd dicirikan oleh kesempurnaan yang utuh, kearifan yang besar, petunjuk yang ultimat. Dialah Zat yang pengaturannya atas semua masalah mencapai tujuan ultimatnya dan kesuksesan. Dia membimbing makhluk-makhluk-Nya dan mengarahkan mereka pada sesuatu yang terbaik bagi mereka. Dia membimbing mereka melalui kebijaksanaan-Nya terhadap pencapaian kesejahteraan mereka dalam kehidupan dunia ini dan kehidupan mendatang. Al-Rasyîd telah menjadikan ornag-orang yang dengannya Dia kehendaki bahagia, Yang membimbing para wali-Nya kepada-Nya; tidak ada kealpaan dalam pengaturan-Nya dalam urusan-urusan ataupun dalam penilaiannya. Dan, Dia diketahui karena keadilan dan karunia-karunia-Nya.
Al-Rasyîd adalah al-Mursyid, Zat Yang mengilhamkan petunjuk nan lurus bagi mereka yang menaati-Nya. Dia telah mengarahkan semua makhluk pada petunjuk-Nya. Zat yang tali-Nya demikian kuat, Yang perintah-Nya adalah bijaksana. Dalam surat al-Kahfi, kita baca ayat berikut, “Wahai Tuhan Kami! Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami jalan yang benar dalam urusan kami.” (QS 18:10), dan, “...dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan pernah mendapatkan seorang pemimpin untuk menunjuki (kamu)jalan yang lurus.” (QS 18:17).
Jika seorang hamba Allah ingin berada di atas jalan yang benar, petunjuknya akan sebanding dengan pengaturan singkatnya dalam pencapaian tujuan-tujuan duniawi dan agamanya. Siapapun harus berhubungan dengan Tuhannya, al-Rasyîd, dalam suatu cara dimana sepatutnya ia bersandar kepada Tuhannya untuk membimbingnya. Kemudian Tuhannya akan memimpinnya untuk memperbaharui dirinya sendiri pertama kali, untuk mengembalikan semua urusannya kepada-Nya, dan mencari perlindungan kepada-Nya setiap kali keburukan mengusiknya dan memohon pertolongan-Nya setiap ia terkena musibah, sebagaimana Allah berfirman kepada Musa as untuk berbuat demikian, ketika ia (Musa) memalingkan wajahnya ke arah Madyan dan berkata, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberi petunjuk kepadaku yang lebih dekat dari pada ini ke (jalan) yang benar.” (QS 18:24).
Dengan demikian, semestinya seorang hamba Allah berperilaku: ketika ia bangun, seyogianya ia bersandar kepada Tuhannya, dan setiap kali persoalan apapun menghadangnya, ia harus memohon pertolongan Allah dalam hat ini kemudian menunggu sinyal hatinya yang akan menjawabnya. Setelah itu Dia akan memba.ntunya dengan memenuhi kebutuhan apapun yang dimintanya dan akan mencukupi semua kebutuhannya. Jika ia berbuat sesuatu yang bertolak belakang dengan apa yang dibimbingkan Allah kepadanya, maka Dia akan menegurnya sehingga ia akan mengetahui bahwa Tuhannya mendapatkannya sebagai pemurka, sehingga ia menanggalkan rasa percaya-dirinya dan setelah itu mengabaikan pikiran dan tipu dayanya sendiri. Seorang hamba Allah semestinya sering mengingat sifat al-Rasyîd dan berpegang teguh pada pengertiannya sehingga ia bisa diarahkan pada perilaku yang dianjurkan. Dengan itu, Allah memberinya kearifan dan melimpahkan rahmat-Nya kepadanya.
99. Al-Shabûr (Maha Sabar)
Yang Maha Terpuji dan Mahasuci berfinnan, “...Dan mereka tidak berputus asa karena apa yang menimpa mereka di jalan Allah, mereka juga tidak menjadi lemah, tidak pula mereka menghinakan diri (di hadapan musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS 3:146)
Al-Shabûr adalah suatu sifat Allah .yang secara linguistik diturunkan dari kata benda shabr yang artinya: menahan diri dari mengungkapkan kesedihan yang melingkupinya. Al-Shabûr adalah Mahasabar, Yang kesabaran-Nya lebih besar dari siapapun. Bulan Ramadhan disebut bulan kesabaran dan ketabahan lantaran ketika siang harinya, kaum mukmin menahan dirinya dari mengikuti pada keinginan-keinginan.
Al-Shabûr, Mahasuci Ia, adalah Maha Pemurah yang tidak terkejut atas orang-orang yang mendurhakai-Nya dengan secara tiba-tiba menimpakan azab-Nya pada mereka; sebaliknya, Dia mengampuni dan menunda pelaksanaan hukuman-Nya. Al-Shabûr tidak tergesa-gesa berbuat sesuatu secepat mungkin; sebaliknya, Dia mengurus urusan-urusan menurut suatu ukuran; Dia memperlakukan mereka menurut sebuah rencana-Nya yang tertata baik; Dia tidak menghalangi mereka dari mencapai arahan-arahan mereka yang ditetapkan karena kemalasan atau kelalaian, ataupun Dia memajukan pelaksanaannya. Sebaliknya, Dia melakukan segala sesuatu persis pada waktunya, dengan cara sebaik-baiknya, sebagaimana seharusnya. Semua ini Dia lakukan tanpa mengalami kesulitan yang bisa mengecewakan kehendak-Nya. Al-Shabûr memberi Anda dan sesungguhnya kepada Anda bahkan ketika Anda berbuat kasar kepada-Nya. Dia datang kepada Anda dengan pengampunan bahkan ketika Anda menghindari-Nya dan. membangkang terhadap-Nya.
Al-Shabûr tidak terburu-buru untuk mengazab para pendurhaka atau menghukum para pelaku maksiat. Dia tidak berbuat sesuatu pun selain ketika itu merupakan kesempatan yang paling tepat lantaran kearifan, kemuliaan, dan kelembutan-Nya. Dia tidak terganggu oleh orang-orang yang berbuat dosa. Dia mengambil orang-orang yang berbuat salah menurut waktu ditetapkan sebelumnya. Al-Shabûr memerintahkan dan memberhentikan orang-orang yang kepada mereka Dia turunkan perintah-Nya. Dia berbuat dan tidak tergesa-gesa, tidaklah Dia berbuat sesuatu secara prematur. Dia memerintahkan dan perintah-Nya menurut kadar tertentu. Dia menangguhkan hukuman meskipun waktunya telah tiba. Al-Shabûr mengilhamkan kesabaran dan ketabahan kepada semua makhluk-Nya. Makna sifat al-Shabûr sangat dekat dengan pengertian sifat lain, yakni al-Alîm. Perbedaan antara yang pertama dan kedua adalah bahwa di sisi al-Shabûr, tak seorang pun bisa merasa aman dari azab-Nya, sebagaimana dalam kasus al-Alîm.
Dalam surat Ali ‘Imrân, Yang Mahakuasa berfirman, “Hai orang- orang beriman! bersabarlah kamu dan kuatkan kesabaranmu dan bersiap siagalah. Dan takutlah akan (murka) Allah supaya kamu beruntung.” (QS 3:200), yakni bersabar ketika menaati Allah, menjadikan hati-hati Anda terbiasa menahan musibah karena Allah, dan mendidik kesadaran terdalam Anda menjadi lebih merindu kepada Allah. Ia juga berarti: bersabar demi Allah; berkanjang (bersikukuh) ketika memohon ridha Allah; teguh dalam kemah Allah. Kesabaran berkaitan dengan apa yang Allah titahkan merupakan suatu ujian, dan kesabaran demi Allah merupakan suatu kesulitan, sedangkan kesabaran bersama Allah adalah kesetiaan [kepada-Nya]. Rasulullah saw bersabda, “Tak seorang pun yang lebih sabar menyangkut penderitaan dari apa yang ia dengar ketimbang Allah: mereka menisbatkan anak kepada-Nya bahkan ketika Dia (tetap) memberi mereka kesehatan yang baik dan rezeki (padahal mereka menisbatkan anak kepada Allah.” [24]
Salah satu manifestasi akhlak mulia seorang mukmin dalam menurunkan petunjuk moraldari inspirasi sifat al-Shabûr adalah bahwa ia menanamkan dalam pikirannya makna-makna eloknya, sehingga ia bersabar dalam semua keadaan. Siapapun yang mengevaluasi bagaimana Allah memperlakukan hamba-hamba-Nya, bagaimana Dia bersabar dalam menghadapi kekasaran dan kedurhakaan manusia, ketika Dia terus memberi mereka istirahat satu demi satu, akan mempelajari bagaimana memperlakukan orang lain menurut pola-pola Ilahi dengan cara terbaik menurut kemampuannya. Setiap kali kesabaran dilakukan berulang-ulang oleh seorang hamba Allah, ia menjadi kebiasaan, dan kemudian ia akan mengikuti cahaya pembimbingnya. Hal ini merupakan suatu kedudukan dari orang-orang yang berkanjang dalam pandangan Allah Tabaraka wa Ta’âla sebagaimana diuraikan dalam teks al-Quran suci.
Kita diberi tahu bahwa golongan manusia yang sabar akan didahulukan sebelum yang lainnya sebagaimana terdapat dalam ayat berikut,
“Orang-orang, yang sabar, dan yang terpercaya, dan yang taat, serta orang-orang yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan orang-orang yang memohon ampunan sebelum fajar.” (QS 3:17).
Dengan demikian, golongan manusia ini (sabar) niscaya memiliki status yang lebih tinggi ketimbang golongan manusia lain di antara hamba-hamba-Nya. Yang Maha Terpuji berfirman, “Jika terdapat dua puluh orang-orang sabar di antara kamu, mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh, dan jika terdapat seratus orang yang sabar di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu orang-orang kafir, karena mereka adalah kaum yang tidak mengerti.” (QS 8:65).
Inilah kemenangan menyangkut keberanian dan jumlah yang dikaruniakan Allah dimana Dia merahmati orang-orang di kalangan hamba-Nya yang istiqamah.
“Ya Tuhan kami, tambahkanlah kepada kami (berkah-Mu) kesabaran danjadikanlah kaki kami kukuh dan tolonglah kami melawan orang-orang yang tidak beriman.” (QS 2:250).
“Wahai Tuhan kami, limpahkanlah kepada kami kesabaran dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu, dalam kata lain sebagai Muslim).” (QS 7:126).
Referensi:
4. Maksudnya, Allah SWT tidak identik dengan Sifat-sifat-Nya. Sifat tertentu Allah, misalnya ar-Razzaq, hanyalah mencerminkan salah satu aspek dari Zat-Nya. Lebih jauh, penjelasan detail ada dibagian bawah oleh penulis.
5. Dalam salah satu riwayat, sahabat yang dimaksud adalah Imam ‘Ali bin Abi Thalib as―peny.
6. Dalam riwayat lain: Subbûhun Quddûs (un), Rabbul-malâ’ikati war-ruh (i). Allâhumma laka sajadtu wa bika âmantu, walaka aslamtu, wa ‘alaika tawakkaltu, wa anta rabbi, sajada wajhî, lilladzi khalaqahu wa syaqqa sam ‘ahû wa basharahû. Alhamdulillâhi rabbil-‘âlamîn. Tabârakallâhu ahsanul-khâliqîn (Ya Allah, Yang Mahasempurna dan Mahasuci, Tuhan seluruh malaikat dan ruh. Ya Allah, kini aku bersujud kepada-Mu, dan kepada-Mu pula aku beriman, dan kepada-Mu aku pasrahkan diri. Serta kepada-Mu jua aku bertawakkal, Engkaulah Tuhanku, kini wajahku bersujud. Pada Penciptanya, dan yang membukakan telinga dan matanya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Mahasuci Allah, sebaik- baik pencipta)―penerj.
7. Hadis ini dicatat dalam “Kitab al-Adâb” jilid 8, h.12 dari Shahîh Bukhari.
8. Kata “keberuntungan” digunakan di sini hanya karena al-Quran suci menyatakannya dalam QS 41:35 bahwa para penduduk surga akan menjadi orang yang sangat beruntung. Penggunaan kata ini oleh Yang Mahakuasa sangat berbeda dari apa yang digunakan oleh manusia. Yang kita tolak adalah penggunaan kata ini yang dilakukan oleh manusia.
9. Dalam riwayat lain, dan beliau adalah sebagai berikut: Allâhumma kamâ hasantakhalqî fahassin khulqî wa rizqî (Ya Allah, sebagaimana Engkau memberi aku keindahan bentukku, indahkan pula budi pekertiku dan rezekiku.)―penerj.
10. Muslim, Shahîh, h.260, “Kitab Adzkâr”.
11. Abu Dawud, Al-Adzkâr, h. 81.
12. Perhatikan bahwa kata “surga” (heavens) digunakan di sepanjang buku ini sebagai kata tunggal karena acuannya pada satu, yakni langit. Jika ia digunakan dalam bentuk jamak, ini berarti mengacu pada tujuh lapis atau sfera langit. Adapun kata “surga” (heaven) sering digunakan oleh non-Muslim merujuk pada surga (paradise). Konsep non-Muslim.tentang surga (paradise) tentu saja jauh berbeda dari konsepnya kaum Muslim.
13. Abu Dawud, Jami’ al-Fawa’idh, jilid 2, h. 410.
14. al-Tirmidzi, Sunan, jilid 4, h. 379.
15. Muslim, Shahih, jilid 4, hadis 33 dan 35.
16. Dalam riwayat lain doa senada―dengan redaksi yang lebih panjang―diriwayatkan dari Ibn Abbas oleh Bukhari―adalah sebagai berikut: Allâhummalakal-hamdu anta qayyimus-samâwâti wal-ardhi wa man fihinna walakal-hamdu laka mulkus-samâwâti wal-ardhi wa manflhinna wa lakal-hamdu anta nûrus-samâwâti wal-ardhi wa man fihinna wa lakal-hamdu antal haqquwawa’dukal-haqqu wa liqâuka haqqun wa qauluka haqqun wal-jannatu haqqun wan-nâru haqqun wan-nabiyyuna haqqun wa Muhammadun shallallâhu ‘alayhi (wa âlihi) was salam haqqun wa sâ’atu haqqun. Allâhumma laka aslamtuwabika âmantu wa ‘alaika tawakkaltu wa ilaika anabtu wa bika khâsamtuwa ilaika hakamtu faghfirlî mâ qaddamtu wa ma akhkhartu wa mâ asrartu wa mâ a’lantu wa mâ anta a’lamu bihi minnî antal-muqaddimu wa antal-mu’akhkhiru lâ ilâha illâ anta wa lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh(i). (Ya Allah, bagi-Mu segala pujian, Engkaulah yang menegakkan langit dan bumi dan apa saja yang berada di dalamnya; bagi-Mu segala pujian dan kepunyaan-Mu kekuasaan langit dan bumi dan apa-apa yang ada di dalamnya; bagi-Mu segala pujian, Engkaulah cahaya langit dan bumi dan apa-apa yang ada di dalamnya; bagi-Mu segala puji, Engkaulah al-Haq; janji-Mu benar, pertemuan dengan-Mu benar, firman-Mu benar, surga itu benar, neraka itu benar, para nabi itu benar, Muhammad saw benar dan hari kiamat itu benar. Ya Allah, kepada- Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku beriman, dan kepada-Mu aku bersandar. Ya Allah kepada-Mu aku berserah diri dan kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu kepada-Mu aku bertawakal, kepada-Mu aku kembali dan karena-Mu aku berjuang dan kepada- Mu juga aku berhakim. Maka ampunilah dosa-dosaku yang terdahulu dan dosa- dosaku yang kemudian; apa yang aku sembunyikan dan apa yang aku tampakkan dan apa-apa yang Engkau lebih tabu dari diriku. Engkaulah yang menyegerakan dan Engkau juga yang mengakhirkan; tidak ada tuhan selain Engkau, tidak ada daya dan kekuatan, kecuali karena Allah.).―penerj.
17. Dalam riwayat lain doa yang dimaksudkan―berdasarkan riwayat Fathimah azZahra as―adalah sebagai berikut: Bismillâhirrahmânirrahîm. Yâ Hayyu yâ Qayyûm. Birahmâtika astaghîts fa-aghitsnî wa lâtakilnî ilâ nafsî tharfata ‘aynî abadâ(n) wa ashlihlî sya’nî kullahu. (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Wahai Yang Mahahidup, wahai Yang Maha Penegak (selain-Nya). Dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan. Tolonglah aku dan janganlah Engkau serahkan aku pada diriku sendiri sekejap matapun untuk selama-lamanya. Perbaikilah urusanku seluruhnya.)―penerj.
18. Kaum ‘Ad adalah bangsa Arab yang tinggal di Hijaz bagian atas dekat tempat kaum Tsamud―suatu suku bangsa Arab juga―dulu bermukim. Nabi Hud diutus kepada mereka; mereka tidak mengindahkan peringatannya, maka mereka pun dibinasakan. Adapun kaum Tsamud dulunya tinggal di Wadi al-Qura pada abad ke-8 SM.
19. Dalam riwayat lain: Bismillâhirrahmânirrahîm. Ya Hayyu Ya Qayyûm, birah matika astaghîts fa-aghitsnî wa lâ takilnî ila nafsî tharfata ‘aini(n) abadâ(n) waashlihlî sya’nî kullah(u). (Dengan Nama Allah Maha Pengasih Maha Penyayang. Wahai Yang Mahahidup Yang Maha Berdiri sendiri. Dengan rahmat- Mu aku memohon pertolongan. Tolonglah aku dan janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri sekejap mata pun untuk selama-lamanya. Perbaikilah urusanku seluruhnya.” (Riwayat Fathimah az-Zahra)―penerj.
20. Dalam riwayat lain doa itu berbunyi: Allâhumma innî astakhîruka bi-‘ilmika wa astaqdiruka bi-qudratika wa as-aluka minfadhlika al-‘azhîm(i) fa-innaka taqdiru wa lâ aqdiru wa ta’lamu wa lâ a’lamu wa anta ‘allamul-ghuyûb(i). Allâhumma in kunta ta’lamu anna hadzal-amra khayrun lî fî dînî wa ma’âsyî wa âqibati amrî faqdurhu li wa yassirhu lî tsumma bârik lî fîhi. Allâhumma in kunta ta’ lamu anna hadzal-amra syarrun lî fî dînî wa ma’âsyî wa âqibati amrî fashrifhu ‘annî washrifnî ‘anhu waqdurhu liyal-khayra haytsu kâna tsumma radhdhinî bîhî... (kemudian menyebutkan hajat/kebutuhannya). (Ya Allah, aku memohon pilihan terbaik dari-Mu yang sesuai dengan pengetahuan-Mu. Ya Allah aku memohon kekuasaan dari-Mu dengan kekuasaan-Mu. Ya Allah aku memohon karunia-Mu yang besar. Ya Allah sesungguhnya Engkau Mahakuasa dan aku tak kuasa, Engkau Mahatahu dan aku tak tahu. Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib (samar). Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa urusanku ini adalah kebaikan untuk agamaku, kehidupan duniaku, dan akhir kesudahanku, maka takdirkanlah ia untukku, mudahkanlah ia bagiku, serta berkatilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau tabu bahwa urusanku ini adalah kejelekan untuk agamaku, kehidupan duniaku, dan akhir kesudahanurusanku, maka palingkanlah din dariku, serta takdirkan bagiku yang lebih baik bagiku, bagaimanapun in, dan buatlah aku rela dalam menerimanya.” (Tatacara Istikharah, Misykat, hal.16-17)―penerj.
21. Nabi-nabi ulul ‘azhmi itu adalah Nuh as, Ibrahim as, Musa as, ‘Isa as, dan Muhammad saw.
22. Dalam riwayat yang disampaikan oleh Syaikh Shaduq, doa qunut shalat witir yang sering dibaca oleh Nabi saw adalah: Allâhummahdinî fî man hadayt(a), wa ‘âfinî fî man ‘âfayt(a), wa tawallânî fî man tawallayt(a), wa bârik lî fî mâ a’thayt(a), wa qinî syarra mâ qadhayt(a), fainnaka taqdhî wa lâ yuqdhâ ‘alayk(a), subhânaka rabbal-bayt(i), astaghfiruka wa atûbu ilayk(a), wa ‘ûminu bika waatawakkalu ‘alayk(a), wa lâ hawla wa lâ quwwata illâ bika yâ rahîm(u). (Ya Allah, tunjuki aku pada orang Engkau tunjuki, kuatkan aku pada orang yang Engkau kuatkan, cintai aku pada orang yang Engkau cintai, berkati aku pada apa-apa yang Engkau berikan, jaga aku dari kejahatan yang telah Engkau tetapkan. Karena sesungguhnya Engkau yang menetapkan, dan tidak ditetapkan atas-Mu. Mahasuci Engkau wahai pemilik rumah, aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu. Aku beriman kepada-Mu dan bertawakal kepada-Mu. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan (kekuatan)-Mu. Wahai Yang Maha Penyayang)―penerj.
23. Doa senada dengan redaksi yang lebih pendek diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas oleh Bukhari: Allâhumaj’al fî qalbî nûran, wa fî bashari nûran, wa fî sam’i nûran, wa ‘an yamînî nûran, wa ‘an yasârî nûran, wa fauqî nûran, wa tahtî nûran, wa amâmî nûran, wa khalfî nûran, waj’allî nûrâa(n). (Ya Allah, jadikanlah dalam hatiku cahaya, dalam pandanganku cahaya, pada sebelah tangan kananku cahaya, dan pada sebelah tangan kiriku cahaya, di atasku cahaya, di bawahku cahaya, di depanku cahaya, dan di belakangku cahaya, dan jadikanlah bagiku cahaya ― penerj.
24. Al-Bukhari, Shahih, jilid 9, h. 206.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email