Pernyataan Sikap Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi (AMSIK)
Pilkada Jakarta dengan berbagai peristiwa politik primordial dan kegaduhannya adalah tragedi demokrasi. Peristiwa ini merupakan pembelajaran yang buruk bagi warga masyarakat tidak hanya DKI, tetapi juga Indonesia, dalam rangka pemahamannya terhadap filosofi Pancasila, ke-Bhinekaan dan ke-Indonesiaan. Tragedi ini menampakkan wajah bangsa yang berketuhanan, tetapi ternyata intoleran dan melupakan akar kebhinekaannya; dan mengingkari cita-cita pendiri bangsa.
Peristiwa ini akan berdampak terhadap kematangan demokrasi dan kemampuan warga masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya secara demokratis demi terciptanya pemerintahan DKI Jakarta yang bertatatakelola (bersih dan transparan), melayani, dan mensejahterakan. Untuk memastikannya, dibutuhkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, bersih, berkomitmen membangun masyarakat, dan bukan yang dipilih karena latar belakang primordial-nya. Menggunakan hak politik adalah memenuhi panggilan agung untuk memperjuangkan kebaikan bersama dengan penuh kesadaran dan pengabdian luhur kepada tanah air.
Kegaduhan politik sudah menghilangkan kesempatan rakyat Jakarta untuk merayakan pesta demokrasi dengan sukacita, penuh kesadaran dan bertanggungjawab, melangsungkan hidup tatapamong kota yang berkeadaban dan mengutamakan layanan publik; dan menunda kesempatan dan upaya untuk mengejar ketinggalan Jakarta dalam menyejahterakan warga. Hal terjadi justru adalah hilangnya rasa aman bagi banyak warga, terganggunya kemanan dan ketertiban, ritme kegiatan rutin warga, bahkan bertebarnya rasa ketakutan dan kecemasan dalam beberapa bulan terakhir ini. Khususnya karena dipicu oleh penyalahgunaan media, terutama media sosial, sebagai alat pribadi atau agitasi kelompok oligarki politik. Penyalahgunaan itu telah mengelabui masyarakat, dan merupakan pelanggaran terhadap etika jurnalistik, dan fungsi media sebagai sarana kontrol sosial yang utama dalam kehidupan demokrasi. Alih-alih mendidik masyarakat, media justru telah berperan serta membentuk prasangka, ketegangan sektarian, dan konflik horizontal. Kebebasan berpendapat yang dijamin oleh Konstitusi berubah secara liar menjadi kebablasan berpendapat yang membahayakan kesatuan bangsa.
Hal yang mencolok adalah telah terjadi politik identitas yang mempolitisasi perbedaan suku bangsa, ras, agama setiap kali ada proses pemilihan Presiden atau Kepala Daerah. Keanekaragaman suku bangsa, ras, etnisitas, agama dan kepercayaan, dan gender, adalah rahmat, keunikan, kebesaran bagi bangsa Indonesia dengan lebih 17 ribu pulau, 300 etnik dan 700-1000 bahasa dan dialek. Namun justru perbedaan-perbedaan itu dikonstruksi dan dipolitisasi dengan stereotipi, prasangka, bahkan kebencian terhadap kelompok etnik dan agama tertentu secara menyesatkan dan tidak bertanggungjawab. Telah terjadi pemaksaan nilai yang tunggal dan seragam terhadap masyarakat Indonesia yang faktanya adalah masyarakat plural bersendikan Pancasila dan Kebhinekaan.
Berdasarkan kenyataan di atas, kami memandang bahwa yang terjadi terhadap Gubernur DKI petahana, Basuki Tjahaya Purnama adalah politik identitas, yang dibangun dan disebarluaskan sebagai syiar kebencian; yang bahkan ditegaskan melalui pengerahan masa, dan kemudian menggunakan hukum dan ranah hukum untuk membenarkan tuntutan politik suatu kelompok kepentingan.
Untuk mengembalikan demokrasi pada jalannya yang benar, agar dapat dilangsungkan kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan yang sehat dan berkeadaban, serta memulihkan rasa aman dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi dalam masyarakat; maka kami memiliki pandangan dan desakan:
1. Kami memandang Basuki Tjahaja Purnama adalah korban kriminalisasi dengan tuduhan penodaan agama. Basuki Tjahaja Purnama korban dari upaya fitnah dan pemelintiran yang dilakukan oleh orang yang bermaksud jahat padanya dan korban penggunaan 156a yang termasuk “pasal karet” yang bisa ditarik-tarik buat menjerat sesuai kepentingan penguasa dan pihak yang mengaku mayoritas.
2. Para penegak hukum, khususnya para hakim yang mulia, penjaga gerbang keadilan atas nama Tuhan, agar menjalankan proses peradilan terhadap Basuki Tjahaja Purnama secara adil, jujur dan terbuka; berani menegakkan independensi, bebas dari intervensi dan tidak tunduk pada tekanan massa.
3. Negara, khususnya LPSK dan aparat kepolisian, agar memberi perlindungan kepada saksi-saksi yang dihadirkan di Pengadilan, agar terjamin keselamatan dan keamanannya
4. Segenap warga masyarakat agar menghentikan segala upaya penyebaran ujaran kebencian (hate speech) yang berlandaskan SARA, dan memberi kesempatan kepada hakim dan penegak hukum lain agar bekerja sebaik-baiknya dalam memproses kasus ini secara jujur, adil dan terbuka.
5. Khususnya kepada para guru dan pendidik, dan birokrasi pemerintah terkait pendidikan, agar meninjau kembali dengan tegas kurikulum, dan cara pengajaran di sekolah di berbagai jenjang pendidikan di seluruh tanah air, yang sebagian besarnya nampak dimasuki paham-paham konservatif, dan menempatkan perbedaan sebagai pernusuhan, karena telah jauh melenceng dari ajaran Pancasila dan Konstitusi, cita-cita kemerdekaan, dan membahayakan masa depan bangsa.
Jakarta, Hari Hak Asasi Manusia (HAM), 10 Desember 2016
1. Todung Mulya Lubis, Ahli Hukum dan Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM)
2. Hendardi, Ketua Umum Setara Institute
3. Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, Akademisi
4. Dr. Neng Dara Affiah, Tokoh Agama, Pengasuh Pesantren di Banten
5. Jim B. Aditya, Akademisi dan Aktifis
6. Henny Supolo, Pegiat Pendidikan untuk Keragaman
7. Andi Syafrani, Praktisi Hukum
8. Mohammad Monib, Aktifis Dialog antar Agama
9. Ruby Khalifah, AMAN Indonesia
10. Nia Syarifuddin, Aktifis Kebhinnekaan
11. Pdt. Penrad Siagiaan, Aktifis Kebebasan Beragama
12. Ilma Sovriyanti, Aktifis Perlindungan Anak
13. Thomas Nugraha, Forum Komunikasi Indonesia
Komentar Pers, Hendardi, Ketua Setara Institute.
(Jakarta-Asoy/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email