Pesan Rahbar

Home » » Ridha dan Tawakal

Ridha dan Tawakal

Written By Unknown on Sunday 11 December 2016 | 00:29:00


Oleh: Ayatullah Muhammad Taqi Mishbah Yazdi

Diriwayatkan dari Amirul Mukminin as.:

Sesungguhnya Nabi saw. bertanya kepada Allah swt. pada Malam Mikraj, “Wahai Tuhanku! Apa amalan yang paling utama?” Allah swt. berfirman, “Tidak ada satu pun amalan yang lebih utama di sisi-Ku dari tawakal kepada-Ku dan ridha dengan apa yang telah Aku bagikan.”[1]

Hadis Mikraj ini tergolong sebagai hadis Qudsi. Di dalamnya, Nabi saw. mengajukan beberapa pertanyaan kepada Allah swt. Dia swt. pun menjawab semua pertanyaan yang diajukan. Pertanyaan pertama Nabi saw. adalah: “Amalan apa yang paling utama di sisi-Mu?” Allah swt. menjawab dengan ungkapan, “Tidak ada satu pun amalan yang lebih utama di sisi-Ku dari tawakal atas-Ku dan ridha dengan apa yang telah Aku bagikan.”

Terdapat banyak riwayat yang menjelaskan keutamaan sebagian amalan yang dilakukan jawârih atau anggota tubuh manusia. Yaitu amalan-amalan yang memiliki sisi konkret dan praktis seperti: perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan mata, telinga atau tangan. Akan tetapi dua perkara yang diditekankan hadis Mikraj di atas adalah sisi-sisi amalan hati (jawânih) manusia. Sebab, dalam perkara dan amalan-amalan hati, jiwa manusia juga melakukan berbagai aktivitas. Walaupun perbuatan serta aktivitas tersebut murni bersifat qalbi dan berada dalam lubuk hati, akan tetapi itu terhitung sebagai aktivitas.


Hakikat Tawakal dalam Tinjuan Al-Quran

Kata tawakal berakar pada kata dasar “wikâlah”. Dalam kamus islami, kata ini berarti bahwa seseorang menjadikan Allah swt. sebagai tempat bersandar yang muthma’inn (yang menenangkan) hatinya, dan ia menyerahkan segala urusan kepada-Nya.[2]

Dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang menyinggung hal ihwal tawakal. Akan tetapi dalam menjelaskan makna dan hakikat tawakal, kami cukupkan dengan mengemukakan beberapa contoh ayat. Penjelasan lebih luas, akan dibahas pada kesempatan yang lain.

Allah swt. menjadikan tawakal sebagai kelaziman yang tidak bisa dipisahkan dengan keimanan. Dia swt. berfirman:

“…dan hanya kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.”[3]

Di kesempatan lain, Allah swt. berfirman:

“…dan Hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”[4]

Dalam ayat lain, tawakal dan menyerahkan segala urusan kepada Allah swt. digolongkan dalam salah satu sifat yang menonjol bagi kaum mukmin. Allah swt. berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Allahlah mereka bertawakal”[5]

Di ayat yang lain, bersandar dan menyerahkan urusan hanya kepada Allah swt. diterangkan dengan penjelasan yang lebih gamblang dan penuh penekanan:

“(Dia-lah) Allah masyrik dan maghrib, tiada Allah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Maka ambillah dia sebagai Pelindung”[6]

Kalimat “Allah swt. masyrik dan maghrib” mengisyaratkan tentang hakimiyyah (penguasaan) dan rububiyyah Allah swt. atas segenap alam wujud. Maksud ayat ini adalah bahwa segenap alam wujud berada di bawah kekuasaan dan kekuatan-Nya; hanya Dia yang pantas disembah.

Dengan demikian, manusia mau tidak mau akan bertawakal kepada-Nya, menjadikan Dia tempat bersandar, serta menyerahkan segala urusan kehidupan kepada-Nya. Suatu keniscayaan jika kita selalu mengingat Allah swt. dan hanya bersandar kepada-Nya, maka ruh dan jiwa kita akan memiliki kekuatan, taman hati kita akan wangi semerbak.

Dalam hati kita ada tulip dan gulshan

penuaan dan kerapuhan bukanlah jalan.

Jika manusia sedikit pun tidak berusaha untuk meraih keutamaan dan menempuh kedua alam, sebagaimana yang disampaikan oleh Hafizd:

Dalam jiwa kita tidak memuat selain dua kekasih

berikan kedua alam kepada musuh, cukup bagiku sang kekasih.

Dia juga berkata:

Tidak ada dalam lembaran hatiku selain seribu penolong

aku berdiri tidak mengingat ucapan yang lain.

Lazimnya, manusia selalu menjadikan seseorang menjadi wakil bagi dirinya dalam urusan-urusan dunia. Berbagai urusan ia serahkan kepada wakil tersebut, supaya ia bisa meraih hasil dan keuntungan seperti yang diharapkan. Maka sebagai seorang hamba Allah swt., sudah selayaknya semua sisi kehidupan kita juga disandarkan kepada-Nya, dan menjadikan Dia sebagai wakil serta pengelola urusan kita, sehingga semua harapan kita bisa diraih tanpa sedikit pun kebimbangan dan keraguan.

Dengan kata lain, seseorang yang berharap semua kebutuhannya terpenuhi dengan baik akan dihadapkan dengan tiga jalan: pertama, berpegangan pada kekuatannya sendiri, kedua, bersandar pada kekuatan orang yang lain, dan ketiga, menjadikan Allah swt. sebagai tempat bersandar dan berpaling dari selain-Nya.

Di antara jalan-jalan yang telah disebutkan, jalan paling buruk adalah yang kedua, dimana manusia menjadikan orang lain sebagai tempat bersandar yang muthma’in. Jalan ini, selain dicela dan ilegal dalam pandangan agama, juga merupakan pilihan yang tidak masuk akal dan tidak layak dari sudut pandang psikologis. Jika manusia menjadi beban dan parasit bagi masyarakat dan berlangsung terus-menerus, maka jiwa merdeka dan bebasnya pada orang lain secara perlahan-lahan akan hilang.

Sementara jalan pertama–yang dalam psikologi disebut dengan “percaya diri”–bisa ditinjau dari dua segi, yaitu segi positif dan segi negatif. Segi positifnya, manusia dari segala sisi bersandar pada diri sendiri. Kondisi ini, walaupun dari sudut pandang psikologis bisa dipercaya dan sangat ditekankan, akan tetapi dalam kamus teologi tidak dibenarkan dan tidak bisa diterima. Sebab, ketika manusia semakin dalam pengetahuan dan makrifatnya terhadap diri sendiri dan Allah swt., maka ia semakin sadar bahwa kebanyakan yang dahulu dianggapnya sebagai kekuatan, ternyata hanya kelemahan dan ketakberdayaan. Dengan kata lain, ia semakin menyadari semua kelemahan dan ketidakmampuannya.

Jelas bahwa setiap kekuatan dan energi yang dimiliki manusia adalah dari Allah swt. dan bersumber dari-Nya. Dengan demikian, bagaimana manusia bisa bersandarkan pada kekuatan dirinya yang rapuh dan lemah. Sementara ia mengetahui dengan yakin bahwa wujudnya serta apa yang ada dalam dirinya adalah milik Allah swt. Ia sama sekali bukan dan tidak akan pernah menjadi pemilik hakiki dari semua itu.

Tawakal dan kepasrahan manusia kepada Allah swt. bersumber dari makrifat dan pengetahuannya terhadap-Nya. Jika manusia meyakini bahwa Allah swt. merupakan pemilik dan pemegang ikhtiar serta segenap wujudnya ada di tangan-Nya, maka ia tidak lagi butuh kepada yang lain untuk mohon pertolongan darinya.


Segi Negatif

Sementara segi negatif dari “percaya diri” adalah sikap tidak percaya pada selain Allah swt. Hal ini, baik dari sudut pandang psikologis mau pun teologis, suatu yang dibenarkan, dan pelakunya layak dipuji. Terdapat banyak poin yang luar biasa berharga terkait dengan masalah ini, seperti yang telah disinggung oleh Al-Quran serta riwayat para imam maksum as. Bersandar pada asas bahwa hati yang terikat dan hanya bertumpu pada selain Allah swt. akan menjadi sebab bagi jiwa untuk pesimis dan putus asa, maka pada hakikatnya, ayat-ayat tersebut mengisyaratkan nilai-nilai “tauhid dan tawakal”, dan dalam tulisan ini akan disebutkan beberapa ayat sebagai contoh.

Dengan memiliki tempat bertumpu serta perlindungan yang muthma’in, seperti keyakinan bahwa Allah swt. selamanya hidup dan tidak akan pernah mati, manusia ia tidak lagi butuh pada yang lain sebagai tempat bertumpu.

“Dan bertawakallah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati…”[7]

Di ayat lain Allah swt. berfirman:

“Sebab itu bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya kamu berada di atas kebenaran yang nyata”[8]

Pada dasarnya, ketika Allah swt. selalu ada, apa alasan bagi manusia untuk berharap pada yang lain. Apakah karunia Dzat Yang Maha Esa tidak cukup baginya? Oleh karenanya, Allah swt. berfirman:

“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya…”[9]

“Katakanlah, apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi…”[10]

Jika manusia berhadapan dengan bencana, maka hanya Dia yang bisa menolongnya keluar darinya; Dia akan menggantikannya dengan berbagai kebaikan.

“Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, Maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu”[11]

Bagaimana pun, jika manusia hanya bersandar kepada Allah swt. dan menjadikan-Nya sebagai tempat berlindung, maka Dia pasti akan memberikan padanya kecukupan, sebagaimana dalam firman-Nya:

“…Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”[12]

Pada kesempatan lain, dengan menyeru pada Nabi saw., Allah swt. berfirman:

“…Katakanlah, “Cukuplah Allah bagiku”. kepada-Nyalah bertawakal orang-orang yang berserah diri”[13]


Tawakal dalam Riwayat Para Maksum

Imam Baqir as. berkata:

Barangsiapa bertawakal kepada Allah, ia tidak akan mengalami kekalahan, dan barangsiapa yang menjadikan-Nya tempat berlindung, dia tidak akan pernah mengalami kegagalan.[14]

Ketika manusia berharap sesuatu, hendaklah ia hanya berharap kepada Allah swt., karena segala sebab biasa yang mereka miliki tidak akan memiliki peran, selain kadar yang telah ditentukan Allah swt. atasnya. Sebab-sebab biasa tidak berdiri sendiri seperti apa yang mereka kira. Akan tetapi hakikat sesuatu dan perannya hanya milik Allah swt. Telah dinukil dari Imam Shadiq as.:

Jika salah seorang dari kalian berkehendak untuk dikabulkan keinginannya, hendaklah dia putus asa dari seluruh manusia dan tidak meminta kecuali hanya kepada Allah swt.[15]

Imam Shadiq as. juga berkata dalam Iddat Al-Dâ’î:

Allah telah mengkabarkan kepada sebagian para Nabi dalam wahyu-Nya; demi kemuliaan dan keagungan-Ku sungguh Aku akan memberi rasa putus asa kepada orang yang berharap kepada selain-Ku, Aku akan memberinya pakaian kehinaan di antara manusia dan Aku akan menjauhkannya dari keberhasilan dan kemuliaan. Apakah ketika dilanda kesusahan, hamba-Ku akan bertumpu kepada selain-Ku sementara segala kesusahan ada di tangan-Ku dan ia akan berharap kepada selain-Ku sementara Aku Mahakaya serta Maha Dermawan, di tangan-Ku segala kunci dari pintu-pintu dan semuanya tertutup sementara pintu-Ku terbuka bagi orang yang berdoa kepada-Ku.[16]

Kajian hadis di atas dilanjutkan oleh hadis dari Imam Shadiq as. Husein bin ‘Ulwan berkata:

Aku hadir di majelis untuk mencari ilmu dan pengetahuan sementara aku sudah tidak lagi memiliki uang untuk kembali. Salah satu temanku berkata kepadaku, “Kepada siapa anda bertumpu ketika tertimpa masalah seperti ini?”Aku berkata, “Kepada si fulan.” Dia berkata, “Demi Allah swt.! Masalahmu tidak akan bisa terselesaikan dan anda tidak akan bisa meraih apa yang diharapkan serta semua keinginan anda tidak akan terwujud.”

Husein bin Ulwan menjadi heran, karena ia menyatakan ucapannya diawali dengan sumpah kepada Allah swt. Karena itu, ia bertanya kepada temannya itu tentang hal tersebut, “Dari mana Anda tahu? Apakah Allah swt. yang mengajarimu?” Orang tersebut menjawab, “Aku mendengar hal ini dari Imam Shadiq as. Beliau berkata:

Aku telah membaca dalam salah satu kitab bahwa Allah swt. berfirman, “Aku bersumpah demi kemuliaan, keagungan, kebesaran, ketinggian serta kekuasaan yang Aku miliki di arsy! Barangsiapa yang berharap kepada selain-Ku maka Aku akan memberinya keputusasaan, dan Aku akan memberinya pakaian kehinaan ditengah manusia, serta Aku akan menjauhkannya dari-Ku dan Aku akan memutuskan hubungan dengannya.”

Kelanjutan dari riwayat tersebut mengungkapkan:

Allah swt. mengingatkan bahwa segala kesulitan dan kesusahan adalah sesuatu yang telah Aku tetapkan kepada hamba-hamba-Ku. Hanya Aku yang bisa menyelesaikannya. Jika demikian, mengapa manusia harus meminta pertolongan dan manautkan hati kepada selain-Ku. Sementara mereka semua tidak punya andil dalam menciptakan segala kesulitan. Tentu juga mereka tidak punya kemampuan dan kekuatan untuk bisa menyelesaikan semua itu.

Apakah seseorang akan berharap kepada yang lain ketika ditimpa musibah? Sementara segala musibah ada di tangan-Ku, maka kenapa ia memohon kepada selain-Ku dan berfikir untuk mengetuk pintu orang lain? Di tangan-Ku semua kunci dari pintu-pintu dan semua pintu tertutup, sementara pintu-Ku terbuka bagi orang yang berdoa kepada-Ku

Maka, adakah orang yang berharap kepada-Ku ketika ditimpa musibah dan Aku mengecewakannya?

Aku simpan harapan hamba-hamba-Ku di sisi-Ku, akan tetapi mereka tidak ridha ketika harapan mereka Aku simpan. Aku penuhi langit-Ku dengan orang-orang yang tidak pernah lelah untuk bertasbih kepada-Ku (mereka adalah para malaikat) dan Aku menyuruh mereka supaya tidak menutup pintu-pintu antara Aku dengan hamba-hamba-Ku akan tetapi mereka (hamba-hamba-Ku) tidak percaya kepada janji-Ku (ucapan-Ku).

Tidakkah mereka (orang-orang yang tidak berharap kepada-Ku) ketahui bahwa ketika terjadi satu peristiwa dari beberapa peristiwa terhadap mereka, tidak ada seorang pun selain-Ku yang mampu untuk menyelesaikannya kecuali dengan izin-Ku. Allah swt. berfirman:

“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, Maka tak ada yang dapat menolak karuniaNya…”[17]

Maka kenapa Aku harus melihat ia lalai terhadap-Ku, Aku memberikan kepadanya dengan kedermawanan-Ku apa yang mereka tidak minta dari-Ku kemudian Aku ambil kembali darinya maka ia tidak meminta-Ku untuk mengembalikan kembali hal itu malah meminta dari selain-Ku.

Walaupun tanpa diminta oleh manusia, Allah swt. selalu memberikan nikmat-Nya yang tak terhingga dengan cuma-Cuma. Seperti (Dia memberi) badan yang sehat, mata dan telinga yang sehat, ayah, ibu, teman, guru,…. Bahkan sebelum manusia lahir, Allah swt. telah memberikan kepadanya banyak kenikmatan, semisal Dia menyiapkan makanan di tubuh ibunya. Akan tetapi ketika Allah swt. hendak menguji mereka dengan mengambil sebagian dari nikmat-Nya, mereka malah lari kepada selian-Nya. Mereka tidak meminta kepada yang semula memberinya kenikmatan (Allah swt.).

Apakah mereka tahu bahwa Aku yang pertama memberi kenikmatan sebelum diminta kemudian mereka memohon dan Aku tidak menjawab permohonannya?

Apakah Aku ini bakhil sehingga hamba-Ku menganggap-Ku bakhil?

Bukankah segala wujud dan kemurahan adalah milik-Ku?

Bukankah ampunan dan rahmat ada di tangan-Ku?

Bukankah Aku ini tempat segala tumpuan harapan?

Maka siapa yang bisa memutuskan harapan selain-Ku?

Apakah mereka yang berharap kepada selain-Ku tidak takut kepada-Ku, jika seandainya seluruh penghuni langit dan penghuni bumi berharap dan meminta kepada-Ku lalu Aku kabulkan permintaan mereka dan memberikannya sesuai dengan permohonan mereka semua satu persatu, maka kekayaanku tidak akan pernah berkurang walau sebesar anggota tubuh semut, bagaimana kekayaanku bisa berkurang sementara Aku adalah pencipta-Nya?

Allah swt. berfirman, jika semua manusia meminta kepada-Ku sesuatu yang terbersit dalam pikiran mereka dan Aku berikan itu semua pada satu orang, maka tidak akan berkurang dari kekayaan-Ku walau seujung jarum. Tentunya semua pemberian ini tidak sulit bagi Allah swt. Dengan kehendak-Nya, Dia bisa melakukan itu semua:

“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka terjadilah ia”[18]

Celaka orang yang putus asa dari rahmat-Ku dan celaka orang yang bermaksiat kepada-Ku dan tidak mentaati-Ku.[19]

Allah swt. adalah pemilik kekayaan dan keagungan seperti ini. Bagaimana bisa hamba-hamba-Nya berani membangkang pada hukum-Nya. Riwayat ini (termasuk dalam bagian) yang menjelaskan tentang berharap dan bertumpu kepada selain Allah swt. adalah sebuah kekeliruan dan tidak sejalan dengan “ruh tauhid”.

Di sisi lain, pada zaman sekarang, sikap “percaya diri” menjadi perhatian berbagai pihak, dan dalam psikologi terhitung sebagai sebuah sifat yang positif. Disebabkan urgennya pembahasan ini, telah banyak buku ditulis berkaitan masalah tersebut, dan memotivasi yang lain untuk berusaha menciptakan sifat tersebut dalam dirinya. Karena terlalu bergantung kepada yang lain dianggap sebagai kerugian dan keburukan.

Walaupun–sikap percaya (bertumpu) pada kekuatan sendiri–dari segi logika sebagai sesuatu yang baik, namun secara teologis merupakan sesuatu yang tercela. Sebab, apa pun yang kita miliki adalah semu belaka. Pada hakikatnya, semua ini adalah milik Allah swt. Ketika sesuatu berasal dari yang lain dan di sisi kita hanya sebagai amanat, bagaimana bisa kita bertumpu kepadanya. Sementara kita tidak tahu apakah si pemilik masih mengizinkan sesuatu tersebut tetap di sisi kita ataukah tidak. Oleh sebab itu, hanya kepada Allahlah kita bertumpu.

“…dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya…”[20]

“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya…”[21]

Apakah (wujud) Allah swt. tidak cukup untuk hamba-Nya sehinga ia harus lari kepada selain-Nya? Karena itu, ketika kita meyakini “ketuhanan Ilahi” dan mengetahui bahwa Allah sebagai Tuhan–Pemilik ikhtiar dan Pemilik wujud semua makhluk–maka tidak layak bagi kita lari kepada selain-Nya.

Salah seorang dari guru kami menyampaikan sebuah cerita tentang masalah ini. Suatu hari duduk seorang anak kecil di samping rumahnya yang berdekatan dengan rumah kami. Ketika itu seorang peminta-minta datang menghampirinya dan berkata kepadanya, “Pergilah ke ibumu dan mintakan sepotong roti buatku”. Anak itu berkata, “Pergi sana ke ibumu dan minta roti darinya”. Sepertinya anak kecil tersebut mengetahui bahwa setiap orang yang masih mempunyai ibu, maka semua kebutuhannya harus minta kepada ibunya.

Sang guru bijak berkata, jika kadar pengetahuan kita tentang Allah swt. sama seperti pengetahuan anak kecil tersebut terhadap ibunya. Bahwa ketika seseorang butuh sesuatu, hendaklah ia minta kepada ibunya dan ibunyalah yang menanggung semua kebutuhan anaknya. Karena itu, kita tidak lari kepada yang selain-Nya, ketika Allah swt. lebih pengasih dan lebih berkuasa, kenapa harus meminta kepada selain-Nya.


Tawakal: Kelaziman dari Keimanan kepada Allah Swt

Inti dakwah para Nabi selalu memberikan penekanan pada keimanan kepada Allah swt. dan bertawakal kepada-Nya. Salah satu ciri dan tanda dari keimanan kepada Allah swt. adalah manusia bertawakal kepada-Nya. Jika manusia mengakui ketuhanan-Nya, meyakini segenap alam wujud di bawah penguasaan dan pengawasan-Nya, serta hanya Dia yang layak disembah, maka ia selamanya akan bertumpu pada kekuasaan Allah swt. Hanya kepada-Nya ia akan memohon pertolongan. Jika sakit, ia akan memohon kesehatan kepada-Nya. Jika terkena musibah, hanya kepada-Nya ia datang dan meminta pertolongan.

Al-Quran dalam banyak kesempatan menjelaskan bahwa tawakal kepada Allah swt. merupakan tanda-tanda dari orang yang beriman. Dia berfirman:

“…Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal”[22]

Orang-orang beriman, dengan bertawakal dan hanya bertumpu kepada Allah swt., mereka bergerak kearah penguatan hubungan antara ia dengan Allah swt. Pada akhirnya ia menuju pada kesempurnaan puncak. Sebab, kesempurnaan ruhani dan maknawi hanya akan bisa diraih di bawah naungan cinta dan kasih sayang serta bertawakal kepada Allah swt. Setitik harapan kepada Allah swt., serta kecintaan dan kasih sayang kepada-Nya, akan mengantarkan kepada matahari kesempurnaan. Begitu pula setetes kehinaan, karena bergabung dengan lautan yang tak terbatas, maka ia pun menjadi sesuatu yang tak terbatas pula.


Tawakal: Upaya dan Aktivitas

Tentu maksud dari tawakal bukanlah bahwa manusia harus terus beri’tikaf di mesjid. Hanya sibuk dengan beribadah dan berdoa kepada Allah swt. dan menghabiskan waktunya siang dan malam dengan perkara-perkara tersebut. Serta sama sekali tidak melakukan aktivitas dan mencari nafkah. Dengan harapan, Allah swt. sendiri langsung memberikan rezeki dari langit. Tidak ragu lagi, orang-orang seperti ini telah melakukan kekeliruan dan belum memahami maksud hakiki dari tawakal. Seperti apa yang telah diisyaratkan dalam sebuah riwayat:

Suatu hari, Rasulullah saw. melihat sekelompok orang hanya duduk dan tidak bercocok tanam, beliau bertanya, “Siapa kalian?” Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang bertawakal.” Rasulullah saw. bersabda, “Bukan, akan tetapi kalian adalah beban masyarakat.”[23]

Pada dasarnya, ketika seseorang benar-benar sudah mengenal Allah swt., ia akan mengetahui ketentuan dari hikmah Ilahi bahwa segala sesuatu terwujud melalui proses sebab akibat. Terkadang berupa sebab materi dan tabiat, terkadang berupa sebab maknawi, dan alangkah banyak dari sebab-sebab tersebut tidak bersifat materi, melainkan nonmateri. Bagaimanapun, hikmah Ilahi menuntut bahwa setiap fenomena akan terwujud melalui sebab-sebab yang telah ditentukan. Dari sini ilmu dan pengetahuan tentang Allah swt. dan hikmah-Nya akan menimbulkan pengetahuan tentang ketentuan-ketentuan hikmah-Nya, dimana dengan tegaknya hukum-hukum kausalitas, pada akhirnya kesempurnaan manusia tergantung kepada aturan tersebut. Melalui hal itu, manusia mangalami ujian dan penempaan. Jika tidak, manusia tidak akan mencapai kesempurnaannya, sebab kesempurnaan manusia tergantung kepada ketaatan mereka pada tugas-tugas kehambaan. Hal itu juga ada pada hubungan-hubungan kemanusiaan, dimana hubungan-hubungan tersebut berada di bawah hukum sebab akibat. Jika manusia memilih untuk hidup menyendiri dan menyibukkan diri hanya untuk beribadah, tanpa mempedulikan kehidupan keseharian, tidak melakukan aktivitas dan usaha, maka ia telah berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hikmah Ilahi. Jika demikian, maka akan sia-sia saja manakala manusia menunggu datangnya rezeki dari sisi Allah swt. Maulawi Rumi berkata:

Jika kau bertawakal, maka bekerjalah

Bercocok tanamlah maka berharaplah pada Sang Kuasa.

Hikmah Ilahi menuntut manusia untuk bergerak di jalan yang mengarahkan mereka kepada apa-apa yang dibutuhkan dan yang dikehendakinya, yaitu dengan sebab-sebab yang telah ditentukan. Seandainya dengan sebuah doa dan ucapan “ya Allah” semua keinginan manusia bisa terwujud, maka tidak ada orang yang pergi bekerja untuk mencari rezeki, dan manusia tidak akan pernah diuji. Masalah-masalah ini merupakan tempat ujian bagi manusia; dengannya manusia akan meraih kesempurnaan atau dia akan mengalami kegagalan dan jatuh.

Jika dalam setiap tahapan telah ditentukan tugas-tugas bagisetiap manusia, maka tujuannya adalah supaya manusia mencari sebab-sebab. Seperti halnya ketika lapar, mereka harus bekerja dan hasil dari pekerjaan akan memunculkan (pilihan) hubungan antara pekerja dan tuan, pelanggaran terhadap harta orang lain, kezaliman, yang zalim dan yang dizalimi, yang terisolir dan yang lemah, serta yang diktator dan yang sombong.

Seandainya (siapa saja) hanya dengan shalat dua rakaat, dan setelah shalat di depannya, langsung tersedia makanan dari surga, maka tidak akan ada lagi arti ujian. Semua manusia akan menjadi shaleh, dan tidak akan bisa dibedakan antara yang taat dan yang maksiat. Tidak bisa diketahui siapa saja yang, demi ketaatan kepada Allah swt., berani menanggung kesulitan, dan siapa saja yang hanya memanfaatkan usaha orang lain.

Alhasil, terkadang di balik hukum sebab akibat biasa, hikmah Ilahi menuntut munculnya sesuatu yang luar biasa, seperti apa yang terjadi pada Sayyidah Maryam as.:

“…setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya…”[24]

Perkara ini terjadi berdasarkan hikmah Ilahi, dimana Allah swt. hendak memperlihatkan karunia-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang pantas. Dan karunia yang diberikan kepadanya itu sesungguhnya juga menjadi ujian baginya agar orang lain dapat mengambil nasehat: apakah dengan mendapat karunia sebesar ini ia bersyukur ataukah tidak.

Terlepas dari perkara-perkara pengecualian dan yang jarang ini, hikmah Ilahi dalam banyak hal menuntut berjalannya sesuatu berdasarkan sebab-sebab yang lazim. Sekarang, seandainya seseorang berkata, “Aku tidak mau sampai kepada tujuan dengan melalui sebab-sebab,” kehendaknya ia tidak sejalan dengan kehendak Allah swt., juga ia harus bergerak bertentangan dengan kehendak-Nya. Ketika Allah swt. menentukan hukum ini (sebab-akibat), bagaimana bisa ia meminta haknya kepada Allah swt. Dengan berbuat tidak sesuai dengan hukum yang ditetapkan-Nya, ia berkhayal bahwa ilmunya di atas ilmu-Nya. Allah swt. menginginkan agar lewat si fulan kamu mendapatkan rezeki, akan tetapi kamu menolaknya dan menginginkan dari yang lain. Sementara ia sebelumnya memohon rezeki dari Allah swt. Ini tidak lain hanyalah kemalasan dan keinginan yang bertentangan dengan hikmah Ilahi.

Jika dikatakan bahwa kemestian mencari dan memanfaatkan sebab-sebab untuk bisa mencapai tujuan bukan berarti bahwa rezeki kita bisa didapat dengan usaha dan kerja. Akan tetapi semua ini dari Allah swt., dan semua aturan itu ada di tangan-Nya, termasuk rezeki. Semantara manusia hanya memiliki kewajiban untuk mencari sebab-sebab, sehingga tujuan-tujuan Ilahi bisa terwujud dalam kerangka aturan tersebut, dan seluruh tujuan tadi dicapai dalam rangka mengantarkan manusia pada kesempurnaan.

Maka, orang yang bertawakal hendaknya jangan sampai meninggalkan kerja dan usaha, seperti orang-orang yang tidak bertawakal. Hanya saja perbedaan antara kedua kelompok ini berhubungan dengan hati mereka. Orang-orang bertawakal dengan motivasi untuk taat kepada Allah swt. dan berusaha bertumpu dan berharap kepada-Nya, sementara manusia yang tidak bertauhid dan tidak bertawakal, mencari rezekinya dalam usaha yang dia lakukan atau dari pemberian orang lain. Mereka yang bertakwa tidak menaruh harapan kecuali kepada Allah swt. Walaupun ia tidak bisa meraih sebab-sebab, harapannya tidak berkurang sedikit pun. Kandungan sebagian riwayat menyatakan bahwa seorang mukmin lebih berharap pada apa-apa yang berada di sisi Allah swt. Sebab, mungkin saja harta yang ia miliki saat ini akan hilang, tetapi khazanah yang dimiliki Allah swt. tidak akan hilang atau berkurang.


Nabi Ibrahim as. Khalil dan Pasrah kepada Allah Swt.

Salah satu dari hamba shaleh Allah swt. yang tidak pernah lalai dalam berharap dan bertawakal kepada-Nya barang sedetik pun adalah Nabi Ibrahim Al-Khalil as. Dengan yakin bisa dikatakan bahwa beliau adalah sebaik-baiknya teladan bagi semua hamba. Ketika para penyembah berhala hendak membakar dan membunuhnya, beliau hanya berharap kepada Allah swt. dan hanya dari-Nya memohon pertolongan. Seperti apa yang diisyaratkan oleh Al-Quran:

“Mereka berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak”“[25]

Marhum Thabarsi menuliskan, masyarakat pada waktu itu ikut serta dalam mengumpulkan kayu bakar. Jika ada seorang yang sakit, ia mewasiatkan kepada yang sehat agar terus mencari kayu bakar. Ia juga menyuruh kepada yang lain agar mengumpulkan harta untuk membeli kayu bakar. Ini semua dilakukan untuk membakar Nabi Ibrahim as. Bahkan sebagian para wanita yang bekerja menyulam benang mengeluarkan gajinya untuk membeli kayu bakar. Ketika kayu bakar sudah tersedia, Nabi Ibrahim A.S. pun siap dibakar. Akan tetapi karena api begitu besar, mereka tidak bisa mendekati api. Akhirnya mereka menggunakan manjaniq (alat untuk melempar) untuk melempar Nabi Ibrahim as. ke tengah-tengah api.

Ketika Nabi Ibrahim as. sudah didudukkan di atas manjaniq dan mereka hendak melemparkannya ke dalam api, datang kepadanya Malaikat Jibrail as. dan berkata, “Salam sejahtera semoga tercurah kepadamu, wahai Ibrahim, begitu juga rahmat dan barakah-Nya. Apakah engkau menginginkan sesuatu?” Nabi Ibrahim as. menjawab, “Ya, tetapi tidak kepadamu.”[26] Jibril as. berkata, “Maka mohonlah kepada Tuhan-Mu!” Ibrahim as. berkata, “Cukup permintaanku ketika Dia mengetahui keadaanku”.[27]

Ketika Nabi Ibrahim as. sudah dilemparkan ke tengah api, ia berkata, “Ya Allah! Wahai Yang Maha Esa! Wahai Yang Maha Tunggal! Wahai Yang Maha Tak-Terbatas! Wahai yang tidak melahirkan, tidak dilahirkan, dan tidak ada satu pun yang bisa menjadi sekutu dengan-Nya!”[28]

Ketika beberapa saat dia berada di dalam api, semua terasa dingin dengan izin Allah swt., sedangkan api itu tidak bisa membakarnya.

Kami berfirman, “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”[29]

Karenanya, barangsiapa yang menjadikan Allah swt. sebagai tempat harapan, Dia akan mengeluarkannya dari segala kesulitan. Walaupun hal itu di luar perkiraan, Allah swt. akan memberinya kebaikan dan kebahagiaan.


Catatan Kaki:

[1] Dailami, Irsyâd Al-Qulûb, jld. 1, bab 54, hlm. 199. Majlisi, Bihâr Al-Anwâr, jld. 77, hlm. 21.

[2] Dalam sebuah hadis, Rasul Saw menanyakan kepada Jibrail tentang arti tawakal. Jibril menjawab, “Tawakal adalah ketika manusia yakin bahwa keuntungan dan kerugian serta pemberian dan larangan bukan di tangan manusia dan hendaklah berputus asa dari mereka. Ketika seorang hamba sampai kepada tahapan dari makrifat ini, bahwa selain untuk Allah Swt, dia tidak akan beramal dan tidak mengharap kecuali kepada-Nya, serta tidak takut kecuali kepada-Nya, tidak tamak kecuali kepada-Nya. Ini adalah tawakal kepada Allah.” Bihâr Al-Anwâr, jld. 68, hlm. 138, hadis no. 23.

[3] QS. Al Imran [3]: 122.

[4] QS. Al-Maidah [5]: 23.

[5] QS. Al-Anfal [8]: 2.

[6] QS. Al-Muzammil [73]: 9.

[7] QS. Al-Furqan [25]: 58.

[8] QS. Al-Naml [27]: 79.

[9] QS. Al-Zumar [39]: 36.

[10] QS. Al-An’am [6]: 14.

[11] QS. Al-An’am [6]: 17.

[12] QS. Al-Thalaq [65]: 3.

[13] QS. Al-Zumar [39]: 38.

[14] Mustanad Al-Wasâ’il: jld. 2, hlm. 288.

[15] Mishbâh Al-Syarî’ah, hlm. 134.

[16] Dinukil dari Tafsir Al-Mîzân; Surah Al-Baqarah: 186.

[17] QS. Yunus [10]: 107.

[18] QS. Yasin [36]: 82.

[19] Ushûl Al-Kâfî, jld. 3, hlm. 107, (bab menyerahkan diri kepada Allah dan tawakal kepada-Nya) hadis no. 7: Bihâr Al-Anwâr, jld. 71, hlm. 130.

[20] QS. Al-Thalaq [65]: 3.

[21] QS. Al-Zumar [39]: 36.

[22] QS. Al Imran [3]: 122.

[23] Mustadrak Al-Wasâ’il, jld. 11, hlm. 217.

[24] QS. Al Imran [3]: 37.

[25] QS. Al-Anbiya [21]: 68.

[26] Majma’ Al-Bayân, jld. 4, hlm. 55.

[27] Al-Mîzân fi Tafsîr Al-Qur’ân, jld. 14, hlm. 336.

[28] Majma’ Al-Bayân, jld 4, hlm. 56.

[29] QS. Al-Anbiya [21]: 69.

(Info-Hauzah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: