Pesan Rahbar

Home » » Ulama Ahlus Sunnah Prof Dr Muhibbin Bicara Bahwa Ada Hadis Palsu dan Lemah dalam Sahih Bukhari. Berikut Penjelasan Kami Dalam Menanggapi Ulama Ahlus Sunnah

Ulama Ahlus Sunnah Prof Dr Muhibbin Bicara Bahwa Ada Hadis Palsu dan Lemah dalam Sahih Bukhari. Berikut Penjelasan Kami Dalam Menanggapi Ulama Ahlus Sunnah

Written By Unknown on Sunday, 2 April 2017 | 18:53:00


''Telitilah kembali setiap hadis yang dinisbatkan pada Rasulullah SAW. Jangan asal riwayat Bukhari, lalu dikatakan sahih.''

Sebagian besar umat Islam di seluruh dunia, yakin dan percaya bahwa kitab hadis Jami' al-Shahih karya Imam Bukhari adalah sebuah kitab yang berisi kumpulan hadis-hadis paling sahih. Karena keyakinan itu pula, sebagian besar ulama pun turut meyakini dan menempatkannya pada urutan pertama kitab hadis sahih.

Benarkah demikian? ''Tidak semua hadis yang terdapat dalam kitab Jami' al-Shahih karya Imam Bukhari itu benar-benar sahih. Terdapat beberapa hadis yang termasuk kategori lemah dan palsu,'' kata Prof Dr H Muhibbin MAg, guru besar dan pembantu Rektor I IAIN Walisongo, Semarang.

Menurutnya, berdasarkan penelitian yang dilakukannya (hasilnya penelitian Muhibbin ini sudah dibukukan--Red), terdapat hadis yang bertentangan dengan Alquran maupun antarhadis di dalam kitab tersebut.

''Hadis palsunya bermacam-macam. Ada yang karena tidak sesuai atau bertentangan dengan Alquran, namun ada pula yang tidak sesuai dengan kondisi kekinian,'' terang mantan dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo ini.

Kepada Syahruddin El-Fikri, wartawan Republika, Muhibbin mengungkapkan berbagai kelemahan hadis yang terdapat dalam kitab Jami' al-Shahih tersebut. Berikut petikannya.

Benarkah hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Jami' al-Shahih karya Imam Bukhari itu semuanya masuk kategori hadis sahih?
Tidak. Tidak semua hadis yang terdapat dalam kitab itu masuk dalam kategori sahih. Terdapat beberapa hadis palsu dan lemah (dlaif). Saya sudah mengungkapkan hal ini dalam disertasi doktoral saya yang sekarang sudah dibukukan.
Perlu diketahui, sebelumnya pengungkapan hadis palsu dan lemah dalam karya Imam Bukhari itu juga sudah pernah diungkapkan para pemikir dan peneliti hadis lainnya. Misalnya, Fazlurrahman (1919-1988 M), Abu Hasan al-Daruquthni (306-385 H), al-Sarkhasi (w 493 H/1098 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridla (1865-1935 M), Ahmad Amin (w 1373 H/1945 M), dan Muhammad Ghazali (w 1416 H/1996 M).

Bisa dicontohkan, beberapa hadis palsu yang Anda temukan dalam kitab tersebut?
Misalnya, hadis palsu yang terdapat dalam kitab itu, setelah diteliti, ternyata ada yang tidak sesuai dengan fakta sejarah. Misalnya, tentang Isra Mi'raj. Di dalam kitab itu, disebutkan bahwa terjadinya Isra Mi'raj itu sebelum jadi Nabi. Faktanya, Isra Mi'raj itu setelah Rasulullah diutus menjadi Nabi.
Kemudian, ada pula hadis Nabi yang bertentangan dengan ayat Alquran. Contohnya, tentang seseorang yang meninggal dunia akan disiksa bila si mayit ditangisi oleh ahli warisnya. (Lihat Kitab Jenazah, bab ke-32, hadis ke 648/I--Red).
Ini kan bertentangan dengan ayat Alquran, bahwa seseorang itu tidak akan memikul dosa orang lain. (Lihat ayat Alquran surah al-Fathir ayat 18, Al-An'am ayat 164, Az-Zumar ayat 7, Al-Isra ayat 15, dan An-najm ayat 38--Red).
Dan, masih banyak lagi hadis yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ayat Alquran maupun hadis Nabi SAW.

Apa kriterianya sehingga ungkapan itu dikatakan benar-benar hadis Nabi, padahal menurut Anda, itu bukan hadis sahih?
Dalam penelitian yang kami lakukan, ada beberapa kriteria dalam menilai sebuah hadis itu dikatakan sahih atau tidak, mutawatir atau tidak, ahad, atau lainnya.
Dalam kitab Bukhari, beliau sendiri tidak memberikan keterangan perinci mengenai kriteria kesahihan hadis. Bukhari hanya mengatakan bahwa semua hadis yang ditulisnya dalam al-Jami' al-Shahih itu sebagai hadis, dari seleksi sekitar 300 ribu hadis. Dan, satu-satunya yang dapat ditemukan dari Al-Bukhari adalah kriteria keharusan adanya pertemuan (al-Liqa`) antara satu perawi dengan perawi terdekatnya.
Menurut beberapa ahli hadis, seperti al-Naysaburi (w 405 H/1014 M), al-Maqdisi (w 507 H), al-Hazimi (w 584 H), dan lainnya, kriteria hadis sahih yang dipakai Bukhari adalah kesahihah yang disepakati, diriwayatkan oleh orang yang masyhur sebagai perawi hadis dan minimal dua orang perawi di kalangan sahabat yang tsiqah (adil dan kuat hafalan), serta lainnya.
Padahal, para ulama hadis lainnya menyusun sejumlah kriteria dalam menilai hadis sebuah dapat dikatakan sahih dan tidak, mulai dari segi sanad (tersambungnya para perawi hadis), matan (isi hadis), serta kualitas dan kuantitas para perawi hadis. Bagaimana tingkat hafalannya, keadilannya, suka berbohong atau tidak, dan lain sebagainya.
Karena itu, kami menilai, kriteria yang dirumuskan oleh al-Bukhari mengandung beberapa kelemahan, terutama bila diverifikasi terhadap kitab al-Jami' al-Shahih itu sendiri.


Apa saja kelemahannya?

Kelemahan itu, antara lain, tentang minimal jumlah perawi hadis yang harus meriwayatkan hadis. Di dalam kitab tersebut, ditemukan cukup banyak hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi.
Begitu juga, dalam hal persambungan sanad hadis juga terdapat kelemahan. Di antaranya, seperti diakui sendiri oleh al-Bukhari, di dalamnya ada hadis yang muallaq, mursal, bahkan munqathi` (terputus).
Juga, ada perawi hadis yang tidak tsiqah, bahkan dituduh majhul (tidak diketahui identitasnya), dianggap kadzab (berbohong), dan lainnya.

Bisa disebutkan beberapa contoh perawi hadis yang diketahui tidak tsiqah atau lemah dalam Shahih Bukhari itu?
Misalnya, Asbath Abu al-Yasa` al-Bashri. Ia tidak diketahui identitasnya atau majhul, dan menyalahi riwayat orang-orang tsiqah.
Lalu, ada Ismal bin Mujalad, seorang perawi yang dlaif (lemah) dan tidak termasuk orang yang kuat hafalannya.
Kemudian, ada Hisyam bin Hajir, Ahmad bin Yazid bin Ibrahim Abu al-Hasan al-Harani, dan Salamah bin Raja' sebagai perawi dlaif. Begitu juga, dengan Ubay bin Abbas, dikenal sebagai perawi yang tidak kuat hafalannya dan munkir al-Hadits.

Selain kedua contoh hadis yang ditengarai palsu tadi, apalagi contoh hadis yang diduga palsu dalam kitab al-Jami' al-Shahih tersebut?
Selain ada hadis yang bertentangan dengan Alquran maupun hadis Nabi sendiri dan tidak sesuai dengan fakta sejarah, juga diragukan hadis yang banyak mengungkapkan tentang masa depan. Misalnya, tentang ungkapan, 'Alaikum Bi sunnati wa sunnati khulafa`ur rasyidin (Ikutlah kalian akan sunahku dan sunah khulafa`ur rasyidin). Bagaimana mungkin Rasulullah SAW mengucapkan hadis ini, padahal saat itu belum ada khulafa`ur rasyidin. Khalifah yang empat itu baru ada setelah Rasulullah SAW wafat.
Fathurrahman, seorang peneliti hadis mengungkapkan, dirinya tidak mau sama sekali menerima hadis-hadis Nabi Saw yang menyatakan tentang peristiwa masa depan. Istilahnya seperti ramalan.
Saya pribadi, masalah ini masa bisa diterima. Sebab, memang ada yang sesuai dan ada pula yang tidak.

Dalam penelitian Anda, ada berapa banyak hadis yang tidak sahih dalam jumlahnya?
Secara spesifik, saya tidak menyebutkan berapa jumlah hadis palsu atau lemah di dalam kitab tersebut. Namun, al-Daruquthni menyatakan, terdapat sekitar 110 hadis palsu di dalam kitab tersebut dari sejumlah 6.000-an hadis. Muhammad al-Ghazali menyebutkan lebih banyak lagi.
Beberapa di antara hadis yang kami nilai lemah dan palsu, yakni tentang hadis masalah poligami, tentang kehidupan dalam rumah tangga, tentang pernikahan. Misalnya, di dalam hadis riwayat Bukhari disebutkan, Rasulullah SAW menikahi Maimunah pada saat berihram.
Ini bertentangan dengan hadis Nabi sendiri yang melarang melakukan pernikahan selama masa haji atau berihram. Kemudian, pernyataan Rasulullah menikahi Maimunah pada waktu ihram itu juga bertentangan dengan hadis yang ditulis al-Bukhari di dalamnya kitabnya itu, yang menyatakan Rasulullah menikahi Maimunah ketika usai bertahalul.

Dari hasil penelitian Anda, bisa ditarik kesimpulan bahwa tidak semua hadis dalam Shahih Bukhari benar-benar sahih?
Ya. Tidak semuanya bisa dikatakan sahih. Sebab, Bukhari sendiri ada yang disebutkannya hadis mursal, hasan, dan lain sebagainya.
Ketidaklayakan disebut sebagai hadis sahih itu meliputi adanya pertentangan atau ketidaksesuaian dengan nas Alquran dan Sunnah Mutawatirah. Materi hadis bertentangan dengan keadaan dan Sirah Nabawiyah (sejarah hidup Nabi), bertentangan dengan fakta sejarah, adanya materi hadis yang mengandung prediksi atau ramalan dan bersifat politis, serta mengandung fanatisme kesukuan.

Lalu, bagaimana sikap umat untuk menggunakan hadis-hadis yang terdapat dalam Shahih Bukhari itu?
Saran saya, umat Islam hendaknya berhati-hati setiap akan menggunakan atau mengamalkan sebuah hadis Nabi. Sebab, sahih menurut perawi hadis A, belum tentu sahih menurut perawi hadis B. Demikian pula yang lainnya. Telitilah kembali sebelum menggunakan dan mengamalkannya.
Bagi para mubalig, kami menyarankan, hendaknya tidak asal mengutip hadis. Jangan selalu mengatakan bahwa itu hadis Nabi. Padahal, sesungguhnya bukan. Rasul menyatakan, barang siapa yang berbohong atas namaku maka tempatnya di neraka. Man Kadzdzaba alayya muta'ammidan fal yatabawwa' maq'adahu minan nar.
Telitilah kembali hadis-hadis yang ada sebelum diamalkan. Sudah benarkah itu hadis Nabi SAW. Jangan asal termuat dalam Shahih Bukhari, lalu diklaim sahih. Tanyakan pada yang lebih paham tentang hadis.
*****

Kami ABNS juga menambahkan Penjelasannya sebagai berikut:

Ibnu Mandah Seorang Ahli Hadis Sunni Mengatakan Bukhari Melakukan PENiPUAN !!!!!!!!!


Adz Dzahabi: Agar Mazhab Sunni Dapat Dipertahankan, Rahasiakan Kebenaran!!

Adz Dzahabi membongkar kejahatan ulama Sunni dalam sejarah di mana ia berkata dalam kitab Siyar A’lâm an Nubalâ’, 10/92;

قلت كلام الأقران إذا تبرهن لنا أنه بهوى وعصبية لا يلتفت إليه بل يطوى ولا يروى كما تقرر عن الكف عن كثير مما شجر بين الصحابة وقتالهم رضي الله عنهم أجمعين
وما زال يمر بنا ذلك في الدواوين والكتب والأجزاء ولكن أكثر ذلك منقطع وضعيف وبعضه كذب وهذا فيما بأيدينا وبين علمائنا فنبغي طيه وإخفاؤه بل إعدامه لتصفو القلوب وتتوفر على حب الصحابة والترضي عنهم وكتمان ذلك متعين عن العامة وآحاد العلماء وقد يرخص في مطالعة ذلك خلوة للعالم المنصف العري من الهوى بشرط أن يستغفر لهم كما علمنا الله تعالى “.

“Aku berkata, “Omongan sesama teman jika terbukti dilontarkan dengan dorongan hawa nafsu atau fanatisme maka ia tidak perlu dihiraukan. Ia harus ditutup dan tidak diriwayatkan, sebagaimana telah ditetapkan bahwa harus menutup-nutupi persengketaan yang tejadi antara para sahabat ra. Dan kita senantiasa melewati hal itu dalam kitab-kitan induk dan juz-juz akan tetapi kebanyakan darinya adalah terputus sanadnya dan dha’if dan sebagian lainnya palsu. Dan ia yang ada di tangan kita dan di tangan para ulama kita. Semua itu harus dilipat dan disembunyikan bahkan harus dimusnahkan!

Dan harus diramaikan kecintaan kepada para sahabat dan mendo’akan agar mereka diridhai (Allah), dan merahasiakan hal itu (bukti-bukti persengketaan mereka itu) dari kaum awam dan individu ulama adalah sebuah kewajiban. Dan mungkin diizinkan bagi sebagaian orang ulama yang obyektif dan jauh dari hawa nafsu untuk mempelajarinya secara rahasia dengan syarat ia memintakan ampunan bagi mereka (para sahabat) seperti diajarkan Allah.”

ustad husain ardilla Dan AHLUL BAIT NABI SAW sepakat berkata:

Jadi, sepertinya kelanggengan mazhab Sunni dalam “Doktrin Keadilan” para sahabat tanpa terkecuali, termasuk yang munafik dan yang memerangi Khalifah yang sah dan mereka yang saling berbunuh-bunuhan hanya dapat dipertahankan dengan merahasiakan kebenaran/haq dan bukti-bukti sejarah otentik akan kafasikan sebagian mereka. Dan jangan-jangan apa yang sampai kepada kita sekarang ini hanyalah sedikit dari yang tidak sempat dimusnahkan oleh adz Dzahabi dan para pendahulu dan pelanjutnya?

Lalu bagaimana bayangan kita jika data-data kejahatan, penyimpangan dan kefasikan sebagian sahabat itu sampai dengan apa adanya kepada kita? Mungkinkah doktrin keadilan sahabat yang merupakan pilar utama Mazhab Sunni dapat dipertahankan??


Akankah semua itu terjadi di dunia multi media dan keterbukaan seperti sekarang?

Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Di antara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir,Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.

Namun tidak semua hadits yang ia hafal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat di antaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat/pembawa) hadits itu tepercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’al-Shahil yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.

Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya seperti Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim.

Di antara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain Ali ibn Al Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in,Muhammad ibn Yusuf Al Faryabi, Maki ibn Ibrahim Al Bakhi, Muhammad ibn Yusuf al Baykandi dan ibn Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.

Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi. Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada Perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, “perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam diri dari hal itu” sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan “Haditsnya diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Dia berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan”.

Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau “Saya telah mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah masing-masing dua kali; ke Basrah empat kali, menetap di Hijaz selama enam tahun, dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits.”.

Di sela-sela kesibukannya sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir.



Kelemahan Shahih Bukhari

1.Kitab Shahih Bukhari memuat hadis Aisyah mengenai kasus tersihirnya Nabi yang dilakukan oleh Labib bin A’syam. Menerima hadis tentang tersihirnya Nabi jelas membahayakan prinsip kemaksuman Nabi. Selain itu, dengan menerima hadis tersebut berarti kita ikut memfitnah bahwa Nabi terkena pengaruh sihir, padahal tuduhan tersebut telah disanggah oleh akal.
2. Bercampur baur dengan hadis hadis palsu kaki tangan Dinasti Umayyah Abbasiyah.
3. Tidak melakukan kritik historis.
4.Tidak melakukan kritik matan.
5. Melakukan tadlis.
6.Adapun kekurangan yang lain dari kitab shahih bukhari yaitu bahwa kitab Shahih Bukhori tidak memuat semua hadis shahih sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Bukhori.


Dalam “Fatawa Syaikh Albani” oleh Ukasya bin Abdulmanan (h.524), tercatat ucapan Albani;

أما أنه سبق لي أن ضعفت [بعض] أحاديث البخاري فهذا حقيقة يجب الاعتراف بها ولا يجوز إنكارها

“Pernyataanku mengenai Dhaif-nya beberapa hadis Bukhari adalah fakta yang aku harus mengakuinya dan tidak dapat menyangkalnya”


Ibn Mandah Mengatakan Bukhari Melakukan Tadlis

Ibn Hajar Asqalani dalam “Tabaqat Al Mudalisin” No. 23 mencatat pandangan Ibn Mandah bahwa Bukhari;

ق س محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة البخاري الامام وصفه بذلك أبو عبد الله بن مندة في كلام له فقال فيه اخرج البخاري قال فلان وقال لنا فلان وهو تدليس ولم يوافق بن مندة على ذلك والذي يظهر أنه يقول فيما لم يسمع وفيما سمع لكن لا يكون على شرطه أو موقوفا قال لي أو قال لنا وقد عرفت ذلك بالاستقراء من صنيعه

Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah, Abu Abdullah bin Mandah mensifati Imam Bukhari, dia mengatakan tentang Bukhari : “Bukhari mengeluarkan,” si Fulan berkata, si fulan berkata kepada kami, perkataan seperti ini adalah (tadlis) penipuan, dan Ibnu Mandah tidak setuju dengan hal ini , dan tampaknya Bukhari mengatakan sesuatu yang tidak ia dengar dan yang telah ia dengar namun tak sesuai dengan syaratnya atau berhenti hanya pada si Fulan berkata kepadaku atau si fulan berkata kepada kami, aku mengetahui ini dari menginduksi karya-karyanya”.


Lalu Siapakah Ibn Mandah (Klik) ?




قال الذهبي: الإمام الحافظ الجوال، محدث الإسلام. كان أول سماعه في سنة ثمان عشرة وثلاثمائة، ولا أعلم أحدا كان أوسع رحلة منه ولا أكثر حديثا منه مع الحفظ والثقة، فبلغنا أن عدة شيوخه ألف وسبعمائة شيخ، ولم يعمر كثيرا بل عاش أربعا وثمانين سنة، قال الباطرقاني: حدثنا أبو عبد الله بن منده إمام الأئمة في الحديث، لقَّاه الله رضوانه.

وقال أبو علي الحافظ: بنو منده أعلام الحفاظ في الدنيا قديماً وحديثاً، ألا ترون إلى قريحة أبي عبد الله؟ وقيل: إن أبا نعيم الحافظ ذُكر له ابنُ منده، فقال: كان جبلا من الجبال.

قال الذهبي: فهذا يقوله أبو نعيم الأصبهاني مع الوَحشة الشديدة التي بينه وبينه. وقال أبو نعيم في “تاريخ أصبهان”: ابن منده حافظ من أولاد الحفاظ. قال الذهبي: ولأبي عبد الله كتاب كبير في الإيمان في مجلد، وكتاب في النفس والروح، وكتاب في الرد على اللفظية. وإذا روى الحديث وسكت أجاد، وإذا بوب أو تكلم من عنده انحرف وحرفش؛ بلي ذنبه وذنب أبي نعيم أنهما يرويان الأحاديث الساقطة والموضوعة ولا يهتكانها، فنسأل الله العفو.

Adz-Dzahabi berkata: Ibnu Mandah adalah seorang Imam dan penghafal yang sering berpergian, seorang ahli hadist islam, awal mula terdengar tentang dia yaitu pada tahun 318, aku tidak mengetahui sesorang yang sering berkelana melebihi dia dan yang memiliki hadist lebih banyak darinya dengan hafalan yang kuat dan ia adalah orang yang terpercaya. Telah sampai kepada kami bahwa ia memiliki guru sebanyak 700 guru, namun ia hanya berumur 84 tahun saja, al-Bathriqani berkata,“Abu Abdillah bin Mandah seorang penghulu para Imam ahli hadist, semoga Allah meridhainya.

Abu Ali al-Hafidz berkata,” Bani Mandah adalah para ahli penghapal di dunia baik masa lampau atau masa kini, apakah kaliat tidak melihat bakat yang dimiliki oleh Abu Abdillah ( Ibnu Mandah ): ketika Abu Nuaim al-Hafidz disebutkan nama Ibnu Mandah beliau mengatakan: ia adalah gunung yang tertinggi dari gunung-gunung yang ada.

Adz-Dzahabi berkata: Abu Nu’aim dalam Tarikh Isbahani mengatakan : Ibnu Mandah adalah seorang penghafal putra para penghafal, hal ini dikatakan oleh abu Nu’aim al-Isbahani karena penghormatan beliau kepada Abu Mandah. Adz-Dzahabi berkata bahwa Abu Abdillah memiliki beberapa karya besar seperti kitab iman, kitab Iman dan ruh, kitab arradd ‘alaa al-lafdziyyah. Salah satu dosanya dan dosa Abu Nu’aim pula bahwa ia meriwayatkan hadist2 saqitoh (gugur) dan maudhu’ (palsu). Kami memohon ampun kpd Allah.


Pandangan Ulama Tentang Tadlis

1. Abdul Rauf al-Manawi (al Yawaqit wa al Durrar, 1/128);

Syu’aba berkata : “Berzina adalah lebih baik daripada melakukan Tadlis.”

– bukan berarti zina itu baik, tp sebaliknya zina itu haram, semua juga udah ngerti yak.. (^_^) –

Dia juga mengatakan : “Tadlis adalah saudara dari bohong”.


2. Al Khatib al Baghdadi (Al Kifaya Fil Ilm Riwayah, h. 355-356);

Syu’aba berkata : “Melakukan Tadlis dalam Hadis lebih buruk dari zina” Abu Usama berkata : “Semoga Allah menghancurkan rumah-rumah dari orang-orang yang melakukan Tadlis, sesungguhnya mereka adalah pendusta” Ibn al-Mubarak berkata : “Jatuh dari langit lebih baik dari pada melakukan Tadlis dalam sebuah hadis”.


Sahabat Nabi Yang Menjual Khamr dan Tahrif Imam Bukhari?

Di antara para Sahabat Nabi SAW tidak diragukan lagi terdapat orang-orang yang mulia dan patut diteladani. Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh terhadap apa yang telah diajarkan oleh sang Baginda Rasulullah SAW. Walaupun begitu, para Sahabat Nabi SAW bukanlah orang yang selalu benar dan ada diantara mereka yang perilakunya tidak patut untuk diteladani. Salah satu contoh perilaku tersebut adalah Menjual Khamar.


Hadis Shahih Sahabat Nabi Menjual Khamr

Diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa terdapat sahabat Nabi SAW yang menjual Khamar. Hal ini dapat dilihat dalam kitab Musnad Ahmad 1/25 no 170;

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا سفيان عن عمرو عن طاوس عن بن عباس ذكر لعمر رضي الله عنه أن سمرة وقال مرة بلغ عمر أن سمرة باع خمرا قال قاتل الله سمرة إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لعن الله اليهود حرمت عليهم الشحوم فجملوها فباعوها

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Amru dari Thawus dari Ibnu Abbas “Disebutkan kepada Umar bahwa Samurah – suatu kali dikatakan- Umar menerima berita bahwa Samurah menjual Khamr. Umar berkata “Allah memerangi Samurah”. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda “Allah melaknat kaum Yahudi ketika diharamkan lemak kepada mereka, kemudian mereka mencairkannya menjadi minyak dan menjualnya”.

Syaikh Ahmad Syakir dalam Syarh Musnad Ahmad no 170 menyatakan bahwa hadis ini sanadnya shahih. Begitu pula yang ditegaskan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Musnad Ahmad Syarh beliau, ia berkata;

إسناده صحيح على شرط الشيخين

Sanadnya shahih sesuai dengan syarat Bukhari Muslim.


Samurah bin Jundub Sahabat Nabi

Samurah yang dimaksud dalam hadis di atas adalah Samurah bin Jundub. Dalam Tarikh Al Kabir jilid 4 no 2400, Imam Bukhari berkata;

سمرة بن جندب الفزاري له صحبة

Samurah bin Jundub Al Fazari seorang sahabat Nabi.

Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/395 menyatakan kalau Samurah adalah seorang sahabat Nabi. Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 2146 juga mengatakan kalau Samurah seorang sahabat Nabi.


Tahrif Imam Bukhari Dalam Shahihnya

Imam Bukhari juga meriwayatkan hadis tersebut dalam Kitab Shahih Bukhari 3/82 hadis no 2223;

حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ قَالَ أَخْبَرَنِي طَاوُسٌ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ بَلَغَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَنَّ فُلَانًا بَاعَ خَمْرًا فَقَالَ قَاتَلَ اللَّهُ فُلَانًا أَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ حُرِّمَتْ عَلَيْهِمْ الشُّحُومُ فَجَمَلُوهَا فَبَاعُوهَا

Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan yang berkata telah menceritakan kepada kami Amru bin Dinar yang berkata telah mengabarkan kepadaku Thawus yang mendengar dari Ibnu Abbas Radiallahuanhu, yang berkata “telah sampai berita kepada Umar bahwa Fulan menjual Khamr. Umar berkata “Allah memerangi Fulan”. Tidakkah ia mengetahui bahwa Rasulullah SAW bersabda “Allah memerangi kaum Yahudi ketika diharamkan lemak kepada mereka, kemudian mereka mencairkannya menjadi minyak dan menjualnya”.

Dalam Shahih Bukhari, Imam Bukhari telah melakukan sedikit perubahan pada hadis tersebut. Beliau meriwayatkan hadis tersebut dengan menyebutkanorang yang menjual Khamr sebagai “Fulan”, padahal orang yang dimaksud adalah Samurah bin Jundub. Imam Bukhari kembali menyebutkan hadis tersebut dalam kitabnya Shahih Bukhari 4/170 hadis no 3460 dan disini juga beliau menyebutkan dengan kata “Fulan”. Terdapat bukti-bukti bahwa Imam Bukhari melakukan perubahan terhadap hadis tersebut.

Hadis tersebut telah diriwayatkan oleh banyak ahli hadis lain dan mereka dengan jelas menyebutkan nama Samurah. Diantara para ahli hadis tersebut adalah:
1. Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim 3/1207 hadis no 1582 meriwayatkan hadis tersebut dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harbdan Ishaq bin Ibrahim dari Sufyan bin Uyainah.
2. Ibnu Majah dalam Shahih Sunan Ibnu Majah Syaikh Al Albani hadis no 2728 yang meriwayatkan dari Abu Bakar bin Abi Syaibah dari Sufyan.
3. An Nasa’I dalam Shahih Sunan Nasa’i Syaikh Al Albani hadis no 4257 yang meriwayatkan dari Ishaq bin Ibrahim dari Sufyan.
4. Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad 1/25 no 170 di atas dari Sufyan bin Uyainah. Hadis ini dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir dan Syaikh Syu’aib.
5. Al Humaidi dalam Musnad Al Humaidi 1/9 no 13 yang meriwayatkan dari Sufyan bin Uyainah. Syaikh Husain Salim Asad berkata “sanadnya shahih”.
6. Ad Darimi dalam Sunan Ad Darimi 2/156 hadis no 2104 meriwayatkan dari Muhammad bin Ahmad dari Sufyan. Syaikh Husain Salim Asad berkata “sanadnya shahih”.
7. Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban 14/146 no 6253 meriwayatkan dari Ahmad bin Ali dari Abu Khaitsamah dan Abu Said keduanya dari Sufyan. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari Muslim”.
8. Abu Ya’la dalam Musnad Abu Ya’la 1/178 no 200 meriwayatkan dari Abu Khaitsamah dan Abu Said dari Sufyan. Syaikh Husain Salim Asad berkata “sanadnya shahih”.
9. Al Baihaqi dalam Sunan Baihaqi 6/12 no 10827 meriwayatkan dari Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf Al Asbahani dari Abu Said Ahmad bin Muhammad bin Ziyad dari Hasan bin Muhammad bin Shabah dari Sufyan. Al Baihaqi berkata “diriwayatkan Bukhari dari Al Humaidi dalam Shahihnya dan Muslim dari Abu Bakar bin Abi Syaibah dan yang lainnya, semuanya dari Sufyan”.
10. Abdurrazaq dalam Mushannaf Abdurrazaq 6/75 hadis no 10046 dan Mushannaf 8/195 hadis no 14854 meriwayatkan dari Sufyan bin Uyainah.

Semua riwayat hadis ini yang disebutkan para huffaz benar-benar membuktikan bahwa Sufyan bin Uyainah memang menyebutkan nama Samurah dan Al Humaidi salah satu perawi yang meriwayatkan dari Sufyan juga jelas-jelas menyatakan nama Samurah. Anehnya Imam Bukhari yang menerima hadis tersebut dari gurunya Al Humaidi justru hanya menyebut nama “fulan”. Hadis dalam Musnad Al Humaidi merupakan bukti jelas bahwa Imam Bukhari memang sengaja melakukan sedikit perubahan yaitu beliau hanya menyebut fulan dan tidak mau menyebutkan nama Samurah. Berikut hadis tersebut dalam Musnad Al Humaidi 1/9 no 13:

حدثنا الحميدي ثنا سفيان ثنا عمرو بن دينار قال أخبرني طاوس سمع بن عباس يقول بلغ عمر بن الخطاب أن سمرة باع خمرا فقال قاتل الله سمرة ألم يعلم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لعن الله اليهود حرمت عليهم الشحوم فجملوها فباعوها

Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan yang berkata telah menceritakan kepada kami Amru bin Dinar yang berkata telah mengabarkan kepadaku Thawus yang mendengar dari Ibnu Abbas yang berkata “telah sampai kepada Umar berita bahwa Samurah menjual Khamar. Umar berkata “Allah memerangi Samurah”. Tidakkah dia mengetahui bahwa Rasulullah SAW bersabda “Allah melaknat kaum yahudi ketika diharamkan lemak kepada mereka, kemudian mereka mencairkannya menjadi minyak dan menjualnya”.

Perhatikanlah, hadis dalam Musnad Al Humaidi dan Shahih Bukhari keduanya diriwayatkan para perawi yang sama dengan lafal sighat yang sama pula. Hadis dalam Musnad Al Humaidi membuktikan bahwa Al Humaidi ketika menyebutkan atau meriwayatkan hadis tersebut, beliau dengan jelas menyebutkan nama Samurah kepada murid-muridnya termasuk Imam Bukhari. Sayangnya ketika menuliskan hadis tersebut dalam kitab Shahihnya, Imam Bukhari melakukan perubahan dengan mengganti nama Samurah dengan kata “fulan”.

Tentu saya pribadi tidak bisa memastikan apa alasannya. Apakah mungkin Imam Bukhari ingin menyembunyikan nama Sahabat yang menjual Khamr tersebut?. Yah mungkin saja dan tindakan seperti ini patut disayangkan muncul dari Ahli hadis sekaliber Imam Bukhari. Saya jadi teringat dengan beberapa orang yang mengatakan bahwa Imam Bukhari seorang mudallis, apakah riwayat ini adalah salah satu alasan yang membuat mereka menghukum Bukhari sebagai seorang mudallis? Wallahu’ alam.


Catatan : 

Tulisan ini melewati fase pengeditan tetapi anehnya tidak ada satupun yang diedit ah sombong nih
Bagi yang ingin mengoreksi atau memberi masukan, dipersilakan dengan segala hormat


Para Perawi Hadis Dan Pemalsuan Kebenaran

Terdapat banyak cara yang dilakukan oleh para penulis hadis untuk memalsukan dan menyelewengkan kebenaran. Keta’assuban tampak jelas terlihat di dalam kitab-kitab mereka. Tatkala terlihat oleh mereka hadis-hadis yang berbicara tentang keutamaan Ali, atau menyingkap kekurangan para khalifah dan sahabat, dengan segera tangan mereka merubah hakikatnya. Berikut ini beberapa contoh dari cara-cara tersebut, hingga peranan yang amat berbahaya yang dilakukan oleh para muhaddis di dalam memalsukan kebenaran.


1. Contoh Pertama:

Manakala Muawiyah hendak mengambil baiat untuk anaknya Yazid, Abdurrahman bin Abu Bakar termasuk salah seorang yang paling keras menentang pembaiatan Yazid. Marwan berpidato di mesjid Rasulullah saw, yang ketika itu dia berkedudukan sebagai gubernur Hijaz yang diangkat oleh Muawiyah. Marwan berkata, “Amirul Mukminin menginginkan keutamaan Anda semua. Dia telah menunjuk anaknya Yazid untuk menjadi khalifah sepeninggalnya.” Mendengar itu Abdurrahman bin Abu Bakar berdiri dan berkata, “Demi Allah, engkau telah berdusta, ya Marwan. Dan juga engkau telah berdusta, ya Muawiyah. Keutamaan apa yang engkau inginkan bagi umat Muhammad. Engkau tidak lain ingin menjadikannya menjadi kerajaan, di mana setiap seorang raja mati maka diganti dengan raja yang lain.” Marwan berkata, “Inilah orang yang Allah SWT telah turunkan padanya, dan orang yang telah berkata kepada kedua orang tuanya, ‘Cis, bagi kamu keduanya.’” Aisyah mendengar perkataan Marwan dari balik tabir. Dia berdiri dari balik tabir dan kemudian berkata, “Hai Marwan, hai Marwan.” Maka orang-orang pun diam, dan Marwan menghadapkan wajahnya. Lalu Aisyah berkata, “Engkau katakan kepada Abdurrahman bahwa ayat Al-Qur’an ini turun kepadanya. Engkau dusta. Demi Allah, ayat ini bukan turun padanya, melainkan pada Fulan bin Fulan, namun dia adalah kelompok orang yang dilaknat oleh Allah SWT.” Pada riawayat lain disebutkan bahwa Aisyah berkata, “Demi Allah, bukan dia yang dimaksud dalam ayat ini. Akan tetapi Rasulullah saw telah melaknat Bapak Marwan pada saat Marwan masih berada di dalam tulang sulbinya. Maka dengan begitu Marwan termasuk kelompok orang yang dilaknat oleh Allah Azza Wajalla.”


Sekarang, coba lihat, bagaimana Bukhari menyelewengkan sesuatu yang memburukkan Muawiyah dan Marwan:

“Marwan berkuasa atas Hijaz. Muawiayah menggunakanya. Marwan berpidato, dan menyebut Yazid bin Muawiyah supaya orang-orang berbaiat kepadanya sepeninggal ayahnya. Kemudian Abdurrahman bin Abu Bakar mengatakan sesuatu, lalu Marwan berkata, ‘Tangkap dia’, maka Abdurrahman bin Abu Bakar masuk ke rumah Aisyah, sehingga mereka tidak mampu menangkapnya. Marwan ber-kata, ‘Orang inilah yang Allah telah turunkan padanya ayat, ‘Dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya, ‘Cis, bagi kamu berdua.’ Apakah Anda menerima alasan saya?!’ Kemudian Aisyah berkata dari balik tabir, ‘Allah tidak menurunkan sesuatu dari Al-Qur’an padanya, kecuali Allah menurunkan alasan saya.’”

Bukhari membuang perkataan Abdurrahman dan menggantinya dengan mengatakan “Abdurrahman mengatakan sesuatu”, sebagaimana juga dia mengganti perkataan Aisyah. Semua ini dilakukan Bukhari untuk menjaga nama baik Muawiyah dan Marwan. Ibnu Hajar telah menceritakan peristiwa ini secara panjang lebar di dalam kitabnya Fath al-Bari. Perhatikanlah, sampai sejauh mana kelurusan Bukhari di dalam menukil kenyataan.


2. Contoh Kedua:

Bukhari membuang fatwa Umar tentang tidak salat. Muslim meriwayatkan dari Syu’bah yang berkata, “Al-Hakam berkata kepada saya, dari Sa’id bin Abdurrahman, dari ayahnya yang berkata, “Seorang laki-laki mendatangi Umar dan berkata, ‘Saya berjunub, namun saya tidak menemukan air.’ Umar menjawab, ‘Jangan kamu salat.’

Lalu Ammar berkata, ‘Apakah kamu ingat, wahai Amirul Mukminin, tatkala kamu dan saya berada di dalam pasukan. Pada saat itu kita berjunub, dan kita tidak menemukan air. Kamu pada saat itu tidak mengerjakan salat, sedangkan saya berguling-guling di atas tanah dan kemudian salat. Kemudian Rasulullah saw berkata, ‘Cukup kamu memukulkan kedua telapak tanganmu ke atas tanah, kemudian meniup keduanya, dan lalu mengusapkannya ke wajahmu dan kedua punggung tanganmu.’

Umar berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah, wahai Ammar.’ Ammar berkata, ‘Jika kamu tidak ingin, saya tidak akan ceritakan.”‘

Padahal hadis ini dengan jelas menunjukkan kebodohan Umar akan hukum agama yang paling sederhana dan penting, yang diketahui oleh seluruh kaum Muslimin (yaitu hukum tayammum), dan yang dengan jelas dikatakan oleh Al-Qur’an dan diajarkan oleh Rasulullah saw kepada mereka tentang tata caranya. Namun demikian, Umar memberikan fatwa untuk tidak salat. Yang pertama, ini tidak lain merupakan salah satu indikasi kebodohan Umar, dan menunjukkan bahwa Umar tidak begitu menaruh perhatian kepada salat, dan bahkan me-nunjukkan bahwa Umar tidak mengerjakan salat pada saat dia junub, sebagaimana yang dijelaskan oleh riwayat.

Saya ingat, salah seorang teman saya pernah berdiskusi dengan saya tentang ilmunya Umar. Dia berkata kepada saya, “Sesungguhnya Umar sejalan dengan Al-Qur’an sebelum Al-Qur’an turun.”

Saya katakan kepadanya, “Ini hanya cerita yang tidak ada hubungannya dengan kenyataan. Karena bagaimana mungkin Umar sejalan dengan Al-Qur’an sebelum Al-Qur’an diturunkan, padahal dia tidak sejalan dengan Al-Qur’an setelah Al-Qur’an turun tentang masalah tayammum dan penentuan mahar wanita. Hadis ini merupakan guncangan yang paling keras yang saya alami selama saya mengkaji tentang pribadi Umar. Karena hadis ini menyingkap secara sempurna sampai sejauh mana tingkat keilmuan dan keberagamaan Umar. Yang lebih mengherankan saya ialah sikap Umar yang tetap bersikeras dengan kebodohannya setelah diberitahukan oleh Ammar tentang hukum agama mengenai masalah itu.

Kemudian, lihatlah bagaimana Bukhari tidak sampai hati meriwayatkan fatwa Umar ini, yang tidak mungkin ada seorang pun yang memfatwakannya meski orang pasar sekali pun. Bukhari mengeluarkan di dalam kitab sahihnya dengan sanad dan redaksi yang sama, namun dengan membuang fatwanya,

“Seorang laki-laki datang kepada Umar bin Khattab dan berkata, ‘Saya berjunub namun saya tidak menemukan air.’ Lalu Ammar bin Yasir berkata kepada Umar bin Khattab, ‘Apakah kamu ingat, wahai Amirul Mukminin, tatkala kamu dan saya …”


3. Contoh Ketiga:

Ibnu Hajar mengeluarkan di dalam kitabnya Fath al-Barifi Syarh Shahih al-Bukhari, jilid 17, halaman 31, hadis yang berbunyi, “Seorang laki-laki bertanya kepada Umar tentang firman Allah SWT yang berbunyi, ‘Dan buah-buahan serta rumput-rumputan’, apakah rumput-rumputan itu?’

Umar menjawab, ‘Kita dilarang untuk mendalami dan memberatkan diri.’”

Ibnu Hajar berkata, “Di dalam riwayat lain yang berasal dari Tsabit, dari Anas yang berkata bahwa Umar membaca, ‘Dan buah-buahan serta abb (sejenis rerumputan).’ Lalu orang bertanya, ‘Apa abb itu?’ Umar menjawab, ‘Kita tidak diperintahkan untuk memberatkan diri’, atau ‘Kita tidak diperintahkan dengan yang demikian ini.’”

Kemudian, perhatikanlah bagaimana Bukhari mengerahkan segenap usahanya untuk membersihkan Umar dari segala sesuatu yang menempel padanya. Kenapa dia tidak meriwayatkan hadis yang membuktikan kebodohan Umar akan Al-Qur’an ini. Karena masalah yang ditanyakan adalah masalah yang sangat sederhana bagi orang yang mengenal Al-Qur’an dan gaya bahasanya. Argumentasi Umar tentang tidak adanya perintah memberatkan diri bukanlah pada tempatnya, karena masalah ini bukan merupakan sebuah tindakan pemberatan diri. Dan membuat-buat alasan dalam urusan ini adalah lebih buruk dari dosa. Ketika Imam Ali as ditanya dengan pertanyaan yang sama, Imam Ali as menjawab berkenaan dengan ayat yang sama, ‘Dan buah-buahan serta abb (sejenis rerumputan), untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu’, ‘Buah-buahan adalah kesenangan untuk kita sedangkan abb adalah kesenangan untuk binatang-binatang ternak. Abb adalah sejenis rerumputan.’”

Bukhari berkata di dalam kitab sahihnya, dari Tsabit, dari Anas yang mengatakan, “Kami berada di samping Umar, lalu dia berkata, ‘Kita dilarang untuk memberatkan diri.’”

Hadis ini dan hadis-hadis lainnya termasuk ke dalam kelompok hadis yang tidak sejalan dengan keyakinan Bukhari. Oleh karena itu, dengan sengaja dia pun menghilangkan sebagian, mengganti atau membuang hadis secara keseluruhan. Persis, sebagaimana yang telah dilakukannya terhadap hadis tsaqalain, “Kitab Allah dan ‘itrah Ahlul Baitku …”, yang mana Muslim dan al-Hakim telah mengeluarkannya sesuai dengan syarat Bukhari. Demikian juga dengan hadis-hadis sahih lainnya yang Bukhari tidak mampu menjelaskan dan menyimpangkannya, maka dia pun tidak memasukkannya ke dalam kitab sahihnya. Inilah yang menjadi sebab dasar kenapa kitab Sahih Bukhari dijadikan sebagai kitab yang paling sahih setelah Kitab Allah oleh para penguasa. Saya tidak tahu ada sebab lain selain sebab ini yang dijadikan dasar pertimbangan ini.


4. Contoh Keempat:

Berikut ini saya ketengahkan kepada Anda suatu peristiwa yang darinya Anda dapat mengetahui dengan jelas sampai sejauh mana Bukhari secara sengaja menyelewengkan fakta dan kebenaran. Para ulama Ahlus Sunnah beserta para huffazhnya, seperti Turmudzi di dalam Sahihnya, al-Hakim di dalam Mustadraknya, Ahmad bin Hanbal di dalam Mustadraknya, Nasa’i di dalam Khasha’ishnya, Thabari di dalam Tafsirnya, Jalaluddin as-Suyuthi di dalam tafsirnya ad-Durr al-Mantsur, Muttaqi al-Hindi di dalam kitabnya Kanz al-’Ummal, Ibnu Atsk di dalam kitab Tarikhnya, dan banyak lagi yang lainnya, mereka meriwayatkan,

“Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus Abu Bakar dan memerintahkannya untuk menyeru dengan kalimat ini, yaitu pengingkaran dari Allah dan Rasul-Nya. Kemudian Rasulullah saw memerintahkan Ali untuk menyusul Abu Bakar dan memerintahkannya untuk menyeru dengan kalimat yang sama. Maka Ali as berdiri pada hari-hari tasyrig dan berseru, ‘Sesungguhnya Allah SWT dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik. Maka berjalanlah selama empat bulan di muka bumi. Dan setelah tahun ini tidak boleh ada orang Musyrik yang berhaji, dan tidak boleh ada orang yang bertawaf dalam keadaan telanjang.’ Abu Bakar ra kembali dan berkata, ‘Apakah ada ayat yang turun berkenaan denganku?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Tidak. Jibril telah datang kepadaku dan berkata, ‘Tidak boleh ada yang menunaikan tugas ini selain kamu atau seorang laki-laki dari kamu.’”

Di sini, Bukhari menghadapi dilema. Riwayat ini bertentangan sama sekali dengan mazhab dan keyakinannya. Riwayat ini menetapkan keutamaan Ali as, dan itu pun keutamaan yang sangat besar, sementara pada saat yang sama riwayat ini merendahkan Abu Bakar, atau setidaknya tidak menetapkan sesuatu apa pun bagi Abu Bakar. Bagaimana caranya dia bisa menyelewengkan riwayat ini bagi kepen-tingan keyakinannya, sehingga dengan begitu dia bisa menetapkan keutamaan bagi Abu Bakar dan tidak sesuatu pun bagi Ali.

Marilah Anda perhatikan, bagaimana dengan kelihaiannya Bukhari dapat keluar dari keadaan yang sulit ini.

Bukhari mengeluarkan di dalam Sahihnya, kitab tafsir al-Qur’an, bab firman Allah SWT “Maka berjalanlah selama empat bulan di muka bumi”,

Bukhari berkata, “Humaid bin Abdurrahman telah memberitahukan saya bahwa Abu Hurairah ra telah berkata, ‘Abu Bakar mengutus saya pada ibadah haji itu ke dalam kelompok orang yang diutus olehnya pada harian menyembelih kurban di Mina untuk mengumumkan bahwa setelah tahun ini tidak boleh ada orang musyrik yang berhaji, dan tidak boleh ada orang yang bertawaf dalam keadaan telanjang.’ Humaid bin Abdurrahman menambahkan ‘Kemudian Rasulullah saw mengikutkan Ali bin Abi Thalib as dan memerintahkannya untuk mengumumkan bara’ah (pengingkaran terhadap orang musyrik). Lalu Abu Hurairah berkata, ‘Maka Ali bin Abi Thalib pun bersama-sama kami mengumumkan bara ‘ah kepada orang-orang yang sedang ada di Mina pada harian menyembelih kurban, dan bahwa setelah tahun ini tidak boleh ada orang musyrik yang berhaji serta tidak boleh ada orang yang bertawaf dalam keadaan telanjang.”‘

Saya berikan kesempatan kepada Anda, wahai para pembaca, untuk berkomentar, supaya Anda dapat melihat sendiri kepada penyimpangan dan pemutar-balikkan ini. Bagaimana Bukhari melenyapkan keutamaan yang dimiliki oleh Ali bin Abi Thalib as, dan sebagai gantinya dia menetapkan keutamaan bagi Abu Bakar, padahal Allah SWT telah memakzulkannya dengan wahyu yang diturunkan olehNya. Jibril Berkata kepada Rasulullah saw, “Tidak boleh ada yang menunaikan tugas ini kecuali kamu atau seorang laki-laki dari kamu.” Kemudian, coba lihat, bagaimana Bukhari menjadikan urusan ini berada di tangan Abu Bakar, sehingga dengan begitu Abu Bakar menjadi orang yang memerintah dan menetapkan urusan dengan kehadiran Rasulullah saw!

Masya Allah, bagaimana dia merubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain.


5. Contoh Kelima:

Muslim berserikat di dalam sahihnya dengan Ibnu Hisyam dan Thabari di dalam membuang bagian dari hadis yang mendiskreditkan kedudukan Abu Bakar dan Umar. Setelah Ibnu Hisyam menukil berita tentang peperangan Badar dan informasi yang sampai kepada Rasulullah saw dan para sahabatnya tentang kafilah dagang Quraisy, Ibnu Hisyam menyebutkan Rasulullah saw mengajak para sahabatnya untuk bermusyawarah. Ibnu Hisyam berkata, “Rasulullah saw mendapat berita tentang perjalanan kafilah dagang Quraisy, dan beliau bermaksud mencegat kafilah dagang tersebut. Maka Rasulullah saw mengajak orang-orang untuk bermusyawarah dan memberitahukan mereka tentang kafilah dagang Quraisy. Maka berdirilah Abu Bakar ash-Shiddiq mengatakan sesuatu, lalu Rasulullah saw berkata, ‘Bagus!’ Lalu berdiri Umar dan mengatakan sesuatu, kemudian Rasulullah saw berkata, ‘Bagus!’ Selanjutnya Miqdad bin ‘Amr berdiri dan berkata, ‘Ya Rasulullah, berjalanlah sesuai dengan apa yang telah Allah perlihatkan kepada Anda, niscaya kami bersama Anda. Demi Allah, kami tidak akan mengatakan kepada Anda sebagaimana yang telah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa manakala mereka mengatakan, ‘Pergilah kamu berdua denganmu Tuhanmu dan berperanglah, adapun kami biar duduk di sini saja menunggu; melainkan kami mengatakan, ‘Pergilah kamu berdua dengan Tuhanmu dan berperanglah, dan kami pun ikut berperang bersama Anda berdua.’ Demi Zat yang mengutus Anda dengan kebenaran, meski pun Anda membawa kami ke dalam lautan, kami akan tetap berperang bersama Anda sehingga Anda sampai kepadanya.’ Maka Rasulullah saw berkata kepadanya, ‘Bagus!’, dan beliau berdoa untuknya.”

Yang menjadi pertanyaan kita ialah, apa yang dikatakan oleh Abu Bakar dan Umar kepada Rasulullah saw.

Jika memang bagus, lalu kenapa Bukhari tidak menyebutkannya. Kenapa Bukhari menyebutkan apa yang dikatakan oleh Miqdad namun tidak menyebutkan apa yang dikatakan oleh keduanya?!

Selanjutnya, marilah kita kembali kepada Muslim, untuk melihat apakah dia juga melakukan hal yang sama sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ibnu Hisyam dan Thabari. Muslim meriwayatkan, “Rasulullah saw bermusyawarah dengan para sahabatnya manakala sampai berita kepadanya tentang kedatangan (kafilah) Abu Sufyan..” Muslim berkata, “Maka Abu Bakar berkata, namun Rasulullah saw berpaling darinya. Kemudian berkata Umar, namun Rasulullah saw berpaling darinya… kemudian Muslim menyebutkan kelanjutan hadis.”

Muslim juga tidak menyebutkan apa yang telah dikatakan oleh Abu Bakaar dan Umar, namun dia lebih jujur dari Ibnu Hisyam dan Thabari. Karena Muslim mengatakan , “Rasulullah saw berpaling darinya”, dan tidak mengatakan, “Bagus!” Meski pun apa yang telah dilakukannya tetap merupakan kejahatan terhadap hadis. Karena dia harus menyebutkan perkataan keduanya. Dan keputusannya untuk tidak menyebutkan perkataan keduanya, menunjukkan adanya kedengkian di dalam perkara ini. Kenapa Rasulullah saw berpaling dari perkataan keduanya, jika perkataan keduanya bagus?!

Dari kedua hadis di atas —setelah terbukti secara jelas pemalsuan yang telah mereka lakukan— menjadi jelas bagi kita bahwa di sana terdapat sesuatu yang tidak layak bagi kedua Syeikh (Abu Bakar dan Umar —penerj.) yang tidak mereka sebutkan. Namun, Allah SWT tetap menampakkan cahaya-Nya meski pun orang-orang kafir tidak suka. Kitab al-Maghazi, karya al-Waqidi, dan kitab Imta’ al-Asma, karya Muqrizi, menceritakan kisah ini. Setelah kedua kitab ini menyebutkan khabar di atas, kedua kitab ini menyebutkan, “Maka Umar berkata, ‘Ya Rasulullah, Demi Allah, sesungguhnya mereka itu bangsa Quraisy. Demi Allah, kemuliaan mereka belum melemah sejak mereka mulia. Demi Allah, mereka belum beriman sejak mereka kafir. Dan demi Allah, selamanya mereka tidak akan menyerahkan kemuliaannya. Mereka pasti akan memerangi Anda, maka oleh karena itu bersiap sedialah dengan perlengkapan untuk itu.”

Dari sini kita dapat mengetahui kenapa Rasulullah saw berpaling dari perkataan Umar. Karena perkataan yang dikatakan oleh Umar ini tidak pantas dikatakan oleh seorang sahabat Rasulullah saw. Bagaimana bisa Umar menyatakan orang musyrikin Quraisy mempunyai kemuliaan?

Apakah Rasulullah saw bermaksud hendak menghinakan mereka?

Sungguh amat disayangkan. Namun, inilah tingkat pengetahuan Umar terhadap Islam, dan begitu juga tingkat peradabannya.

Demikianlah, Bukhari dan Muslim senantiasa mencampurkan kebenaran dengan kebatilan, dan mengganti hadis-hadis yang mereka rasakan menjelekkan Abu Bakar dan Umar.


Naa Lho.. Hadis Palsu dan Lemah dalam Shahih Bukhari


”Telitilah kembali setiap hadis yang dinisbatkan pada Rasulullah SAW. Jangan asal riwayat Bukhari, lalu dikatakan sahih.”

Sebagian besar umat Islam di seluruh dunia, yakin dan percaya bahwa kitab hadis Jami’ al-Shahih karya Imam Bukhari adalah sebuah kitab yang berisi kumpulan hadis-hadis paling sahih. Karena keyakinan itu pula, sebagian besar ulama pun turut meyakini dan menempatkannya pada urutan pertama kitab hadis sahih.

Benarkah demikian? ”Tidak semua hadis yang terdapat dalam kitab Jami’ al-Shahih karya Imam Bukhari itu benar-benar sahih. Terdapat beberapa hadis yang termasuk kategori lemah dan palsu,” kata Prof Dr H Muhibbin MAg, guru besar dan pembantu Rektor I IAIN Walisongo, Semarang.

Menurutnya, berdasarkan penelitian yang dilakukannya (hasilnya penelitian Muhibbin ini sudah dibukukan–Red), terdapat hadis yang bertentangan dengan Alquran maupun antarhadis di dalam kitab tersebut.

”Hadis palsunya bermacam-macam. Ada yang karena tidak sesuai atau bertentangan dengan Alquran, namun ada pula yang tidak sesuai dengan kondisi kekinian,” terang mantan dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo ini.

Kepada Syahruddin El-Fikri, wartawan Republika, Muhibbin mengungkapkan berbagai kelemahan hadis yang terdapat dalam kitab Jami’ al-Shahih tersebut. Berikut petikannya:


Benarkah hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Jami’ al-Shahih karya Imam Bukhari itu semuanya masuk kategori hadis sahih?

Tidak. Tidak semua hadis yang terdapat dalam kitab itu masuk dalam kategori sahih. Terdapat beberapa hadis palsu dan lemah (dlaif). Saya sudah mengungkapkan hal ini dalam disertasi doktoral saya yang sekarang sudah dibukukan.

Perlu diketahui, sebelumnya pengungkapan hadis palsu dan lemah dalam karya Imam Bukhari itu juga sudah pernah diungkapkan para pemikir dan peneliti hadis lainnya. Misalnya, Fazlurrahman (1919-1988 M), Abu Hasan al-Daruquthni (306-385 H), al-Sarkhasi (w 493 H/1098 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridla (1865-1935 M), Ahmad Amin (w 1373 H/1945 M), dan Muhammad Ghazali (w 1416 H/1996 M).


Bisa dicontohkan, beberapa hadis palsu yang Anda temukan dalam kitab tersebut?

Misalnya, hadis palsu yang terdapat dalam kitab itu, setelah diteliti, ternyata ada yang tidak sesuai dengan fakta sejarah. Misalnya, tentang Isra Mi’raj. Di dalam kitab itu, disebutkan bahwa terjadinya Isra Mi’raj itu sebelum jadi Nabi. Faktanya, Isra Mi’raj itu setelah Rasulullah diutus menjadi Nabi.

Kemudian, ada pula hadis Nabi yang bertentangan dengan ayat Alquran. Contohnya, tentang seseorang yang meninggal dunia akan disiksa bila si mayit ditangisi oleh ahli warisnya. (Lihat Kitab Jenazah, bab ke-32, hadis ke 648/I–Red).

Ini kan bertentangan dengan ayat Alquran, bahwa seseorang itu tidak akan memikul dosa orang lain. (Lihat ayat Alquran surah al-Fathir ayat 18, Al-An’am ayat 164, Az-Zumar ayat 7, Al-Isra ayat 15, dan An-najm ayat 38–Red).

Dan, masih banyak lagi hadis yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ayat Alquran maupun hadis Nabi SAW.


Apa kriterianya sehingga ungkapan itu dikatakan benar-benar hadis Nabi, padahal menurut Anda, itu bukan hadis sahih?

Dalam penelitian yang kami lakukan, ada beberapa kriteria dalam menilai sebuah hadis itu dikatakan sahih atau tidak, mutawatir atau tidak, ahad, atau lainnya.

Dalam kitab Bukhari, beliau sendiri tidak memberikan keterangan perinci mengenai kriteria kesahihan hadis. Bukhari hanya mengatakan bahwa semua hadis yang ditulisnya dalam al-Jami’ al-Shahih itu sebagai hadis, dari seleksi sekitar 300 ribu hadis. Dan, satu-satunya yang dapat ditemukan dari Al-Bukhari adalah kriteria keharusan adanya pertemuan (al-Liqa`) antara satu perawi dengan perawi terdekatnya.

Menurut beberapa ahli hadis, seperti al-Naysaburi (w 405 H/1014 M), al-Maqdisi (w 507 H), al-Hazimi (w 584 H), dan lainnya, kriteria hadis sahih yang dipakai Bukhari adalah kesahihah yang disepakati, diriwayatkan oleh orang yang masyhur sebagai perawi hadis dan minimal dua orang perawi di kalangan sahabat yang tsiqah (adil dan kuat hafalan), serta lainnya.

Padahal, para ulama hadis lainnya menyusun sejumlah kriteria dalam menilai hadis sebuah dapat dikatakan sahih dan tidak, mulai dari segi sanad (tersambungnya para perawi hadis), matan (isi hadis), serta kualitas dan kuantitas para perawi hadis. Bagaimana tingkat hafalannya, keadilannya, suka berbohong atau tidak, dan lain sebagainya.

Karena itu, kami menilai, kriteria yang dirumuskan oleh al-Bukhari mengandung beberapa kelemahan, terutama bila diverifikasi terhadap kitab al-Jami’ al-Shahih itu sendiri.


Apa saja kelemahannya?

Kelemahan itu, antara lain, tentang minimal jumlah perawi hadis yang harus meriwayatkan hadis. Di dalam kitab tersebut, ditemukan cukup banyak hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi.

Begitu juga, dalam hal persambungan sanad hadis juga terdapat kelemahan. Di antaranya, seperti diakui sendiri oleh al-Bukhari, di dalamnya ada hadis yang muallaq, mursal, bahkan munqathi` (terputus).

Juga, ada perawi hadis yang tidak tsiqah, bahkan dituduh majhul (tidak diketahui identitasnya), dianggap kadzab (berbohong), dan lainnya.


Bisa disebutkan beberapa contoh perawi hadis yang diketahui tidak tsiqah atau lemah dalam Shahih Bukhari itu?

Misalnya, Asbath Abu al-Yasa` al-Bashri. Ia tidak diketahui identitasnya atau majhul, dan menyalahi riwayat orang-orang tsiqah.

Lalu, ada Ismal bin Mujalad, seorang perawi yang dlaif (lemah) dan tidak termasuk orang yang kuat hafalannya.

Kemudian, ada Hisyam bin Hajir, Ahmad bin Yazid bin Ibrahim Abu al-Hasan al-Harani, dan Salamah bin Raja’ sebagai perawi dlaif. Begitu juga, dengan Ubay bin Abbas, dikenal sebagai perawi yang tidak kuat hafalannya dan munkir al-Hadits.


Dalam penelitian Anda, ada berapa banyak hadis yang tidak sahih dalam jumlahnya?

Secara spesifik, saya tidak menyebutkan berapa jumlah hadis palsu atau lemah di dalam kitab tersebut. Namun, al-Daruquthni menyatakan, terdapat sekitar 110 hadis palsu di dalam kitab tersebut dari sejumlah 6.000-an hadis. Muhammad al-Ghazali menyebutkan lebih banyak lagi.

Beberapa di antara hadis yang kami nilai lemah dan palsu, yakni tentang hadis masalah poligami, tentang kehidupan dalam rumah tangga, tentang pernikahan. Misalnya, di dalam hadis riwayat Bukhari disebutkan, Rasulullah SAW menikahi Maimunah pada saat berihram.

Ini bertentangan dengan hadis Nabi sendiri yang melarang melakukan pernikahan selama masa haji atau berihram.

Kemudian, pernyataan Rasulullah menikahi Maimunah pada waktu ihram itu juga bertentangan dengan hadis yang ditulis al-Bukhari di dalamnya kitabnya itu, yang menyatakan Rasulullah menikahi Maimunah ketika usai bertahalul.


Dari hasil penelitian Anda, bisa ditarik kesimpulan bahwa tidak semua hadis dalam Shahih Bukhari benar-benar sahih?

Ya. Tidak semuanya bisa dikatakan sahih. Sebab, Bukhari sendiri ada yang disebutkannya hadis mursal, hasan, dan lain sebagainya.

Ketidaklayakan disebut sebagai hadis sahih itu meliputi adanya pertentangan atau ketidaksesuaian dengan nas Alquran dan Sunnah Mutawatirah. Materi hadis bertentangan dengan keadaan dan Sirah Nabawiyah (sejarah hidup Nabi), bertentangan dengan fakta sejarah, adanya materi hadis yang mengandung prediksi atau ramalan dan bersifat politis, serta mengandung fanatisme kesukuan.


Lalu, bagaimana sikap umat untuk menggunakan hadis-hadis yang terdapat dalam Shahih Bukhari itu?

Saran saya, umat Islam hendaknya berhati-hati setiap akan menggunakan atau mengamalkan sebuah hadis Nabi. Sebab, sahih menurut perawi hadis A, belum tentu sahih menurut perawi hadis B. Demikian pula yang lainnya. Telitilah kembali sebelum menggunakan dan mengamalkannya.

Bagi para mubalig, kami menyarankan, hendaknya tidak asal mengutip hadis. Jangan selalu mengatakan bahwa itu hadis Nabi. Padahal, sesungguhnya bukan. Rasul menyatakan, barang siapa yang berbohong atas namaku maka tempatnya di neraka. Man Kadzdzaba alayya muta’ammidan fal yatabawwa’ maq’adahu minan nar.

Telitilah kembali hadis-hadis yang ada sebelum diamalkan. Sudah benarkah itu hadis Nabi SAW. Jangan asal termuat dalam Shahih Bukhari, lalu diklaim sahih. Tanyakan pada yang lebih paham tentang hadis.

(Republika/Secondprince/Syiah-Ali/Tour-Mazhab/Syiah-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: