Pesan Rahbar

Home » » Tafsir Syiah: Ulil Amri Berarti Penguasa Muslim?

Tafsir Syiah: Ulil Amri Berarti Penguasa Muslim?

Written By Unknown on Wednesday, 27 September 2017 | 13:24:00


“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu adalah yang terbaik untuk kalian dan paling bagus dampaknya.” (QS. an-Nisaa’: 59)

Ayat tersebut yang menjelaskan tentang Ulil Amri, banyak yang mengartikan baha ulil amri adalah sahabat, ulama dan yang paling populer adalah dimaknai sebagai pemerintah atau penguasa muslim. Dan mentaati pemerintah atau penguasa (dibatasi dalam hal ketaatan/perkara ma’ruf saja) merupakan kewajiban. Mari kita lihat penjelasan dari buku “Antologi Islam, Risalah Islam Tematis dari Keluarga Nabi “.


Apakah Ulil Amri Berarti Penguasa-Penguasa Muslim?

Kebanyakan saudara kita kaum Sunni cenderung menafsirkan “ulil amri minkum” sebagai penguasa-penguasa di antara kita sendiri yakni penguasa-penguasa Muslim. Penafsiran ini tidak berasaskan pada penalaran logika/Qurani manapun. Ia melulu didasarkan pada putaran sejarah. Mayoritas Muslimin telah menetapkannya sebagai pembantu raja dan penguasa dalam menafsirkan dan menafsirkan ulang Islam dan Quran guna memperkukuh kerajaan mereka sendiri.

Sejarah kaum Muslim (sebagaimana halnya bangsa-bangsa lain) disarati dengan nama-nama para penguasa yang kezaliman, kejahatan, dan tirani mereka telah menodai citra Islam. Penguasa-penguasa semacam itu ada dan akan senantiasa ada. Dan kita diberitahu bahwasanya mereka adalah ulil amri yang disebutkan dalam ayat ini!

Bila saja Allah SWT benar-benar memerintahkan para raja dan penguasa seperti itu, sebuah situasi mustahil akan diciptakan bagi segenap Muslimin.

Para pengikut yang jahat akan disalahkan hingga sampai pada ketidakridhaan Allah SWT, tak peduli apa yang mereka kerjakan. Jika mereka menaati para penguasa ini, mereka telah memaksiati perintah Allah SWT, Janganlah kamu ikuti orang yang berdosa (QS. al-Insan : 24). Dan apabila mereka mendurhakai penguasa-penguasa itu, sekali lagi mereka telah mendurhakai perintah Allah SWT, ‘taatilah penguasa-penguasa Muslim’ (jika artinya demikian). Oleh sebab itu, jika kita menerima penafsiran ini, kaum Muslim dikutuk sampai kepada kehinaan abadi entah mereka menaati ataukah mendurhakai para penguasa Muslim yang berdosa.

Demikian pula, ada pula penguasa-penguasa Muslim dari berbagai aliran dan mazhab. Mereka ini adalah Syafi’iyah, Hanbaliyah, Malikiyyah, Hanafiyyah, juga Syi’ah dan Ibadiyah. Sekarang, menurut penafsiran ini kaum Sunni berada di bawah seorang raja Ibadiyah (seperti di Yaman) yang harus menaati ajaran-ajaran Ibadiyah, dan mereka yang menetap di bawah seorang penguasa Syi’ah (seperti Iran) haruslah mengikuti keyakinan – keyakinan. Apakah orang-orang ini memiliki keyakinan keberanian untuk mengikuti tafsiran yang diakui mereka hingga akibat logisnya?

Ulama Sunni terkenal, Fakhrurrazi, menyimpulkan dalam Tafsir alf\abir bahwa ayat ini membuktikan ulil amri itu pastilah maksum adanya. Ia berargumentasi bahwa Allah SWT telah memerintahkan kepada manusia vmtuk menaati Ulil Amri tanpa syarat. Karena itu, mestilah Ulil Amri itu maksum. Seandainya ada kementakan (possibility) bagi mereka untuk melakukan dosa (dosa itu terlarang), itu berarti orang harus mematuhi nureka dan juga mendurhakai mereka dalam perbuatan tersebut. Dan ini, adalah hal yang mustahil. Akan tetapi, untuk merintangi para pembacanya dari Ahlulbait, Fakhrurrazi menemukan teori bahwa masyarakat Muslim secara keseluruhan adalah maksum!2

Tafsiran ini sesungguhnya terasa unik, dan tak seorang ulama Muslim Eum bersandar pada teori ini dan ia tidak berdasarkan pada hadis apapun. Sangat mengejutkan bahwa Fakhrurrazi mengakui setiap individu dari bangsa Muslim tidak maksum, namun mengklaim bahwa mereka semua adalah maksum. Bahkan seorang pelajar tingkat dasar pun mengetahui bahwa 200 ekor sapi ditambah 200 ekor sapi menjadi 400 ekor sapi dan hukan seekor kuda. Namun Fakhrurrazi mengatakan bahwa 70 juta orang lidak maksum ditambah 70 juta orang tidak maksum menjadi satu orang maksum! Apakah ia menghendaki kita untuk percaya bahwa apabila semua pasien dari rumah


Sakit jiwa bersatu padu, maka mereka menjadi setara dengan satu orang yang sehat jiwanya?

Nyatalah, dengan pengetahuan Qurannya yang mumpuni, ia mampu untuk menyimpulkan Ulil Amri haruslah maksum. Namun ia tidak urung untuk melihat bahwa ayat itu mengandung kata minkum (dari kalian) yang menunjukkan bahwa ulil amri haruslah menjadi bagian dari masyarakat Muslim, bukan seluruh bangsa Muslim. Selain itu, jika seluruh bangsa Muslim ditaati, lantas siapa subjek yang menaati mereka?

Selain itu, seluruh masyarakat belum pernah memiliki satu suara yang tunggal lantas, siapakah yang harus kita ikuti di antara mereka?

Demikian pula, opini mayoritas bukanlah suatu tolak ukur yang baik untuk membedakan kebatilan dari kebenaran. Tengoklah Quran, siapapun bisa melihat bahwa Quran secara tajam menyatakan mayoritas manusia dengan kerap menyebutkan bahwa ‘kebanyakan tidak memahami’, `kebanyakan tidak menggunakan logika mereka’, ‘kebanyakan mengikuti hawa nafsu mereka’, karena pandangan mayoritas manusia senantiasa terhalangi karena kecenderungan mereka. (Lihat misalnya Surah al-An’arn: 116, al-Maidah : 49; Yunus: 92; al-Rum : 8).


Makna Hakiki Ulil Amri

Sekarang kita kembali pada tafsiran yang benar dari ayat di atas, yakni penafsiran ayat itu oleh Ahlulbait. Imam Ja’far Shadiq mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ali, Hasan dan Husain salam atas mereka semua. Setelah mendengarkan penafsiran ini, seseorang bertanya kepada Imam, “Orang-orang bertanya, mengapa Allah tidak menyebutkan nama Ali dan keluarganya dalam kitab- Nya?”

Imam menjawab, “Katakan kepada mereka bahwa telah turun perintah salat, namun Allah tidak menyebutkan apakah tiga ataukah empat rakaat. Rasulullah-lah yang menjelaskan segala rinciannya. Dan (perintah membayar) zakat diturunkan, namun Allah tidak mengatakan bahwa ia merupakan dalam setiap empat puluh dirham adalah Rasulullah yang menjabarkannya, dan haji (berziarah ke Mekkah) diperintahkan namun Allah tidak mengatakan cara melakukan thazvaf (mengelilingi Ka’bah) tujuh kali adalah Rasulullah yang menguraikan. Demikian pula ayat yang diturunkan berikut, Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan orang-orang yang diberi otoritas di antara kalia dan itu diturunkan sekaitan dengan Ali, Hasan dan Husain (yang merupakan para imam yang sezaman dengan Nabi).”

Adalah sangat jelas bahwa sekiranya Allah SWT menyebutkan nama Imam Ali dalam Quran secara eksplisit, niscaya orang-orang yang memikul gunung kebencian terhadapnya berusaha untuk mengubah Quran. Jadi, ini merupkan kelembutan Allah SWT dimana Dia menaati semua cabang ilmu agama dalam Quran untuk dipahami hanya oleh prosesor-prosesor dari minda pemahaman. Dengan cara ini, Allah SWT memelihara Quran secara sempurna.

Tentang penafsiran ayat 59 Surah an-Nisa dimana Allah SWT wcmerintahkan kita untuk menaati Ulil Amri, Khazzaz dalam Kifayat al-Atsar-Nya, mencantumkan sebuah hadis berdasarkan otoritas sahabat Nabi SAW yang tersohor, Jabir bin Abdillah Anshari. Ketika ayat tersebut (an-Nisa : 59) diturunkan, Jabir bertanya kepada Nabi SAW, “Kami tahu Allah dan Nabi, namun siapakah mereka yang diberi otoritas yang ketaatannya nlah digabungkan dengan ketaatan kepada Allah dan dirimu sendiri?” Nabi SAW berkata, “Mereka para khalifahku dan imam bagi kaum Muslim sepeninggalku.

Yang pertama dari mereka adalah Ali, kemudian Hasan hin Ali, kemudian Husain bin Ali, kemudian Ali bin Husain, kemudian Muhammad bin Ali yang telah disebut al- Baqir dalam Taurat (Perjanjian Iama). Wahai Jabir! Engkau akan menemuinya. Apabila engkau menemuinya, sampaikanlah salamku kepadanya! Ia akan digantikan (kedudukannya) oleh putranya, Jafar Shadiq, kemudian Musa bin Jafar, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, Hasan bin Ali. Ia akan disusul oleh putranya, yang nama dan julukannya akan berada sama dengan julukanku.

Dialah Bukti Allah (hujjatullah) di muka bumi dan orang yang dibakakan oleh Allah (Baqiyatullah) untuk memelihara akar keimanan di antara manusia. Dia akan menaklukkan seluruh dunia dari timur hingga barat. Sedemikian lama ia akan menghilang dari pandangan para pengikut dan sahabatnya sehingga keyakinan akan kepemimpinannya hanya akan bersemayam di hati-hati orang-orang yang telah diuji keimanannya oleh Allah.”

Jabir bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah para pengikutnya akan mendapatkan faedah dari kegaibannya?” Nabi SAW menjawab, “Benar! Demi Dia yang mengutusku dengan keNabian! Mereka akan diberi petunjuk dengan cahayanya, dan mendapatkan manfaat dari kepemimpinannya wlama kegaibannya, sebagaimana manusia mendapatkan manfaat dari kepemimpinannya selama kagaibannya, sebagaimana manusia mendapatkan manfaat dari di balik awan. Wahai Jabir, inilali rahasia Allah yang tersembunyi dan khazanah pengetahuan Allah. Maka jagalah ia kecuali dari orang-orang yang berhak untuk menerimanya!”

Sekarang kita mafhum siapakah’orang-orang yang diberi otoritas’. Ia merupakan bukti bahwa persoalan menaati para penguasa yang tiran dan zalim tidak muncul sama sekali. Dengan ayat di atas (dalam tafsiran Imam Ja’far tadi) kaum Muslim tidak perlu menaati para penguasa yang zalim, tiranik, jahil, egois, dan tenggelam dalam hawa nafsu. Sesungguhnya, mereka (kaum Muslim) diperintahkan untuk menaati dua belas imam yang ditentukan, yang mereka semua itu maksum dan bebas dari pemikiran dan perbuatan buruk. Menaati mereka tidak punya resiko apapun. Bahkan, ketaatan kepada mereka menjaga dari semua resiko; karena mereka tidak akan pernah memberikan sebuah perintah yang berlawanan dengan titah Allah SWT dan akan memperlakukan semua manusia dengan cinta, keadilan, dan persamaan.


Referensi:

Buku Antologi Islam

(Syiah-Menjawab/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: