Hak Suami.
Oleh: AF Machtum
Agar bahtera pernikahan
selamat berlayar ke pulau tujuan, nahkoda bahtera ini harus diberi hak
penuh. Boleh jadi hak pertama yang diberikan Allah SWT kepada suami
adalah hak kepemimpinan (qaimumah).
Allah SWT berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah
Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. (an-Nisa: 34)
Hak kepemimpinan diperoleh suami
karena keunggulan struktur dirinya daripada perempuan, juga karena dia
memikul tanggung jawab kehidupan sehari-hari yang berat. Tapi,
kepemimpinan suami tidak membolehkannya untuk otoriter (tasalluth) dan
keluar dari lingkaran tanggung jawab ke lingkaran penguasaan dan
interaksi yang bersifat pemaksaan pada istri, karena hal ini
bertentangan dengan hak istri untuk mendapatkan perlakuan yang baik yang
ditegaskan oleh al-Quran:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (an-Nisa: 19)
Tidak diragukan bahwa Islam telah menuntut istri untuk tunduk kepada
suami dalam segala hal yang dibolehkan oleh akal dan syariat. Jika
kondisi ini tidak terpenuhi, maka tidak ada kewajiban taat kepada
makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.
Islam tidak membolehkan
kepemimpinan ini digunakan sebagai media untuk merendahkan istri atau
mengurangi kehormatannya. Memang benar bahwa manusia yang haknya paling
besar atas seorang istri adalah suami, tapi hak ini tidak boleh
ditafsirkan atau diterapkan secara salah yang membawa pada perendahan
terhadap istri.
Istri adalah bunga yang lembut. Dia tidak
memiliki kekuatan, ketegasan, dan kehendak. Karena itu, dia membutuhkan
tenda yang melindunginya dari angin yang beracun agar bunga ini tidak
kehilangan kesegarannya ketika bunga ini sedang mekar-mekarnya. Tenda
itu adalah suami, karena suami memiliki kekuatan, kehendak, dan kesiapan
untuk berkorban.
Hak lain bagi suami adalah istri bersiap
sedia baginya setiap dia berkehendak kecuali pada kondisi pengecualian
alamiah yang dialami oleh kaum perempuan. Rasulullah saw bersabda:
إنَّ
مِن خَيرِ [ نِسَائِكُم ] الوَلود الوَدُود ، والسَّتِيرة [ العَفِيفَة ] ،
العَزِيزَة في أهْلِهَا ، الذَّليلَةُ مَع بَعْلِها ، الحصَانُ مَع
غَيرِهِ ، التي تَسْمَعُ لَهُ وتُطِيعُ أمْرَه ، إذَا خَلا بِهَا بَذلَتْ
مَا أرَادَ مِنْهَا
“Wanita yang terbaik di antara kamu
adalah yang banyak anak dan penyayang, penutup diri, penjaga kesucian
diri, yang agung di mata keluarganya, tunduk di hadapan suaminya,
terjaga dari orang selain suaminya, mendengar dan patuh kepada suaminya,
jika dia berdua-duaan dengan suaminya, dia memberikan apa saja yang
diminta kepadanya.”
Rasulullah saw bersabda:
خَيرُ نِسَائِكُم الَّتي إذَا دَخَلَتْ مَع زَوجِهَا خَلَعَتْ دِرْعَ الحَيَاءِ
“Wanita yang terbaik di antara kamu adalah yang jika suaminya masuk, maka dia menanggalkan baju rasa malunya.”
Banyak hadits lain yang melarang istri menjauh dari peraduan rumah
tangga. Dia akan dihukum di kehidupan dunia jika melakukannya dan
dikutuk oleh malaikat sampai dia kembali. Dia juga harus menghormati
suami dan berperan serta dalam menciptakan cinta kasih sayang bersama
sang suami. Rasulullah saw bersabda:
لو أمَرْتُ أحَداً أن يَسْجُدَ لأحَدٍ لأمَرْتُ المَرأةَ أنْ تَسجُدَ لِزَوجِهَا
“Sekiranya aku memerintah seseorang untuk bersujud kepada seseorang,
tentu aku akan memerintahkan istri bersujud kepada suaminya.”
Berdasarkan arahan Nabi saw ini istri harus berperilaku lembut pada
suami, berbicara dengan ungkapan-ungkapan yang memasukkan rasa bahagia
ke dalam hati suami, khususnya ketika suami pulang kerja dengan energi
yang terkuras, syaraf yang lelah. Dia harus menyambut suami dengan
kegembiraan yang meruah pada wajahnya, menawarkan khidmat kepada suami,
sehingga dia memperoleh ridha suami.
Rasulullah saw bersabda:
وَطُوبَى لامْرَأةٍ رَضِي عَنْهَا زَوجُهَا
“Sangat beruntung seorang istri yang suaminya ridha padanya.”
Tentang masalah ini, Imam al-Baqir mengatakan:
لا
شَفِيعَ للمرأة أنجَحُ عِندَ رَبِّها مِنْ رِضَاء زَوجِها ، وَلمَّا
مَاتَتْ فَاطِمَة ( عَلَيها السَّلامُ ) قَامَ عَلَيهَا أمَيرُ
المُؤمِنِينَ ( عَلَيهِ السَّلامُ ) وقَال : اللَّهُمَّ إنِّي رَاضٍ عَنِ
ابْنَةِ نَبِيِّكَ ، اللَّهُمَّ إنَّهَا قَدْ أوْحشَتْ ، فَانسهَا
“Tidak ada pemberi syafaat bagi seorang wanita pada sisi Tuhan yang
lebih ampuh daripada ridha suaminya. Ketika Fathimah wafat, Amirul
Mukminin berdiri di sisinya dan berkata, ‘Ya Allah, aku ridha pada putri
Nabi-Mu. Ya Allah, dia telah dibuat sedih, maka hiburlah dia.’”
Dari penjelasan ini jelaslah bahwa suami memiliki hak kepemimpinan, hak
dipenuhi keinginannya atau disenangkan. Lebih dari itu, ketika dia
diberikan tampuk kepemimpinan keluarga, maka dia memiliki hak dipatuhi
dalam batasan-batasan syariat. Salah satu isi hak ini adalah istri tidak
boleh keluar dari rumah kecuali atas izinnya. Di dalam hadits
disebutkan:
وَلا تَخرُجُ مِن بَيتِهِ إلاَّ بِإذنِهِ ،
فَإنْ فَعَلَتْ لَعنَتْها مَلائِكَةُ السَّمَاوَاتِ ومَلائِكَةُ الأرْضِ
ومَلائِكةُ الرِّضَاء ومَلائِكةُ الغَضَب
“Dia tidak
boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya. Jika dia
melakukan, maka malaikat di langit dan di bumi, serta malaikat ridha dan
benci melaknatnya.”
Istri adalah harta karun yang sangat
berharga dan wajib dijaga di tempat yang aman. Rumah adalah tempat aman
yang melindungi istri. Karena itu, al-Quran memerintahkan kaum
perempuan:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (al-Ahzab:
33)
Ada hak lain bagi suami, yaitu dijaga kehormatannya dan
hartanya ketika dia tidak ada, tidak diungkap kekurangannya, istri tidak
puasa sunnah kecuali dengan izinnya. Secara umum, agar kehidupan rumah
tangga langgeng, harus ada ridha dan penghormatan dan khidmat dari kedua
belah pihak, sebagaimana bunga butuh cahaya, udara, dan air untuk bisa
mekar.
Komitmen suami istri terhadap hak satu sama lain, selain
menggugurkan kewajiban, juga mendatangkan pahala yang besar. Sebaliknya
juga benar. Jika suami memberi minuman bagi istrinya, dia mendapat
pahala, dan Allah SWT akan memanjangkan umurnya dikarenakan kebaikannya
kepada istrinya.
Sebaliknya, istri yang berkhidmat kepada suami
selama 7 hari, Allah SWT akan menutup 7 pintu neraka baginya dan
membuka 8 pintu surga yang dapat dia masuki dari mana saja. Istri yang
mengangkat sesuatu di rumah suaminya dari satu tempat ke tempat lain
untuk terlihat lebih baik, maka Allah SWT akan memandangnya, dan siapa
saja yang dipandang Allah SWT, maka tidak akan Dia azab.
Jaminan keharusan memenuhi hak dalam syariat ilahiah lebih banyak
daripada di dalam hukum positif. Sebab, dalam hukum positif, orang dapat
menghindar dan tidak memenuhi kewajibannya dengan tipu muslihat, suap,
ancaman, paksaan, dsb. Sedangkan dalam hukum ilahi, selain menggunakan
media pemaksaan eksternal, seperti polisi dan pengadilan, ada juga
faktor-faktor pemaksaan internal, yaitu rasa takut terhadap siksa dan
murka Allah SWT di akhirat.
Seorang muslim akan berusaha meraih
ridha Allah SWT dengan cara menunaikan kewajibannya kepada orang lain.
Al-Quran memandang kezaliman seseorang kepada orang lain adalah
kezaliman pada dirinya sendiri. Allah SWT berfirman:
وَلاَ تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لَّتَعْتَدُواْ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
“Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka. barangsiapa berbuat demikian, Maka
sungguh ia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (al-Baqarah:
231)
Motif relijius adalah alat terbesar untuk membendung
dorongan setan yang mendorong orang mangkir dari kewajiban dan
komitmennya. Sedangkan orang yang hanya tunduk kepada hukum positif, dia
tidak memiliki alat pembendung internal tersebut, kecuali nurani dan
etika yang seringkali menyimpang dari jalan lurus karena berbagai sebab,
sehingga kriteria-kriteria yang dia miliki terbalik, kemungkaran
menjadi kebaikan dan kebaikan menjadi kemungkaran.
Lebih dari
itu, di dalam Islam, terdapat ikatan yang erat antara dimensi sosial dan
dimensi ibadah. Setiap celah di dimensi pertama, disebabkan tiadanya
komitmen terhadap hak orang lain, akan berefek negatif terhadap dimensi
ibadah. Inilah yang dijelaskan oleh hadits Nabi saw:
مَنْ
كَان له امرأة تُؤذِيه لَم يَقْبل اللهُ صَلاتَهَا ، وَلا حَسَنَة مِن
عَمَلِها ، حَتَّى تُعِينَه وتُرضِيه وإنْ صَامَتِ الدَّهْرَ ، وعَلَى
الرَّجُلِ مِثلُ ذَلكَ الوِزْر ، إذا كَانَ لَهَا مُؤذياً ظَالِماً
“Orang yang memiliki istri yang menyakitinya, Allah SWT tidak menerima
shalat atau kebaikan yang dilakukan istrinya itu, sampai istri itu
menolong dan membuatnya ridha meskipun si istri berpuasa dahr. Suami
juga akan mendapat dosa seperti itu jika dia menyakiti dan menzalimi
istrinya.”
Dengan demikian jelaslah bahwa suami istri memiliki
hak timbal balik yang jika ditelantarkan maka akan mengancam eksistensi
keluarga, dan komitmen padanya akan menciptakan kesatuan sosial yang
erat.
Hak Istri.
Oleh: AF Machtum
Al-Quran membantah
konsep-konsep batil yang dianut manusia pada zaman dahulu dan menegaskan
bahwa sifat dan asal penciptaan laki-laki sama dengan perempuan. Tidak
benar bahwa laki-laki diciptakan dari bahan yang mulia sedangkan
perempuan dari bahan yang hina. Allah SWT menciptakan keduanya dari
unsur yang sama, yaitu tanah, dan dari jiwa yang sama.
Allah SWT berfirman:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا
وَنِسَاء
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada
Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari
padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (an-Nisa: 1)
Jadi, al-Quran telah meningkatkan derajat perempuan dengan
menjadikannya persis seperti laki-laki dari segi tabiat penciptaan dan
dengan demikian memberikannya hak kemuliaan manusia sepenuhnya. Selain
itu, al-Quran menyatukan laki-laki dengan perempuan dalam hal memikul
tanggung jawab. Allah SWT berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik.” (An-Nahl: 97)
Tapi kesamaan
dalam asal penciptaan, kemuliaan, dan tanggung jawab, sedikit pun tidak
berarti pengingkaran perbedaan fitrah dan tabiat yang ada di antara
mereka yang mengakibatkan perbedaan hak dan kewajiban. Neraca keadilan
adalah menyamakan antara seseorang dengan kewajibannya dan bukan
menyamakan hak dan kewajiban antara dua jenis yang berbeda struktur dan
tabiatnya.
Dengan dasar ini pengutamaan laki-laki dalam warisan
bukanlah pencederaan terhadap keadilan, melainkan keadilan itu sendiri.
Laki-laki wajib memberikan mas kawin sejak awal relasi suami istri, dan
wajib memberi nafkah sampai akhir.
Dari sisi lain, al-Quran
tidak ingin membatasi kebebasan dan posisi perempuan dengan kewajiban
berjilbab (hijab), melainkan hendak melindunginya dengan jilbab dan
bukannya mengekang, disertai penetapan kehormatan perempuan pada dirinya
dan orang lain. Al-Quran ingin perempuan keluar ke masyarakat—jika dia
keluar—tanpa merangsang naluri yang terpendam di dalam diri laki-laki.
Dengan demikian, dia melindungi dirinya dan tidak membahayakan orang
lain.
Al-Quran menetapkan hak perempuan untuk berkeyakinan dan
bekerja berdasarkan aturan tertentu, dan memberikannya hak sipil secara
penuh. Perempuan memiliki hak memiliki, memberi, menggadai, menjual,
dsb.
Al-Quran memberi perempuan hak untuk belajar dan mencapai
derajat keilmuan yang tinggi, mendorong watak membebaskan dri dari
kezaliman dan tiranitas. Al-Quran memberi contoh dengan Asiyah istri
Firaun yang tetap menjaga akidah tauhid yang dia anut meskipun dalam
kondisi terjepit, sehingga dia menjadi teladan. Allah SWT berfirman:
وَضَرَبَ
اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ آمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ
رَبِّ ابْنِ لِي عِندَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِن فِرْعَوْنَ
وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang
beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah
rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah Aku dari Fir’aun dan
perbuatannya, dan selamatkanlah Aku dari kaum yang zhalim. (at-Tahrim:
11)
Demikianlah al-Quran mengungkap keteguhan yang dapat
dilakukan oleh seorang perempuan jika dia memiliki iman dan persepsi
yang benar. Tapi kebalikannya akan terjadi jika dia menyimpang dari
jalur hidayah seperti yang dilakukan oleh Istri Nuh. Dia menjadi tawanan
perasaan dan hawa nafsunya, menjadi seperti bulu ditiup angin.
Hak istri menurut Sunnah
Masalah perempuan dan hak-haknya sebagai istri atau ibu adalah objek perhatian Sunnah. Nabi saw bersabda:
مَا زَالَ جِبرائِيل يُوصِينِي بِالمَرْأةِ ، حَتَّى ظَنَنْتُ أنَّه لا يَنْبَغي طَلاقُهَا إلاَّ مِن فَاحِشَةٍ مُبِينَة
“Jibril terus menerus mewasiatkan istri kepadaku, sampai aku menyangka
tidak boleh mentalaknya kecuali karena kekejian yang nyata.”
Kemudian, beliau menetapkan tiga hak asasi seorang istri atas suaminya,
yaitu memenuhi kebutuhan pangan, memenuhi kebutuhan sandang yang pantas
baginya, dan pergaulan yang baik dengannya. Beliau bersabda:
حَقُّ المَرْأةِ عَلَى زَوجِهَا : أنْ يَسدَّ جُوعَهَا ، وأنْ يَستُرَ عَورَتَها ، وَلا يُقَبِّحُ لَهَا وَجْهاً
“Hak istri atas suami, diatasi rasa laparnya, ditutupi auratnya, dan tidak diberikan wajah yang masam.”
Hadits ini tidak membatasi hak istri pada masalah-masalah material yang
primer seperti makanan dan pakaian saja, tapi menyandingkan hal itu
dengan hak mental, yaitu tidak diberikan wajah yang masam, atau dengan
ungkapan lain diperlakukan dengan baik. Apalagi istri adalah mitra
hidup, partner kerja. Salah jika dia diperlakukan sebagai alat
kesenangan dan pembantu dan diperlakukan dengan cara diberikan perintah.
Selain itu ada hadits Nabi saw yang mendorong untuk memperlakukan istri
secara manusiawi bahkan meminta pendapatnya meskipun suami tidak
bermaksud menerima pendapat itu di dalam masalah tersebut, karena sikap
suami meminta pendapat pada istri berarti melakukan dialog secara terus
menerus dengannya. Inilah yang diperintahkan oleh akal dan syariat.
Jadi, istri memiliki hak mental yang menyempurnakan hak-hak
materialnya, yaitu hak untuk dihormati dan dihargai, dan dipilihkan
ungkapan-ungkapan yang pantas ketika berbicara yang melahirkan suasana
tenang, menyalakan pelita cinta. Rasulullah saw bersabda:
قَولُ الرَّجل للمرأة : إنِّي أُحِبُّكِ ، لا يَذْهَبُ مِن قَلْبِهَا أبَداً
“Kata-kata seorang suami kepada istrinya, ‘Aku mencintaimu’, tidak akan hilang dari hati istrinya selama-lamanya.”
Jadi, menghormati istri, menyayanginya, memaafkan kesalahannya yang
normal, adalah satu-satunya jaminan dan cara terbaik untuk kelanggengan
rumah tangga. Tanpa menjaga hal-hal ini, bangunan keluarga akan rapuh.
Survey membuktikan bahwa kebanyakan perceraian terjadi disebabkan oleh
penyebab yang sepele.
Seorang hakim yang selama 40 tahun
bertugas menangani kasus perselisihan suami istri, mengatakan, “Engkau
pasti akan selalu menemukan hal-hal yang sepele di dalam setiap
perselisihan suami istri. Jika mereka mau bersabar dan menutup mata atas
kesalahan yang terjadi tanpa disengaja, maka bahtera rumah tangga pasti
dapat diselamatkan dari kehancuran.”
Di dalam Risalah al-Huquq
Imam Zain al-Abidin menerangkan hak istri dan memberikan keterangan
tambahan terhadap hak mentalnya yang berupa kasih sayang dan keintiman.
Beliau berkata:
وَأمَّا حَقّ رَعيَّتك بِملك النِّكاحِ ،
فأنْ تَعلَمَ أنَّ اللهَ جعلَهَا سَكناً ومُستَراحاً وأُنساً وَوِاقِية ،
وكذلك كُلّ واحدٍ مِنكُما يَجِبُ أنْ يَحمدَ اللهَ عَلَى صَاحِبِه ،
ويَعلَمَ أنَّ ذَلِكَ نِعمةً مِنهُ عَلَيه . وَوَجَبَ أن يُحسِنَ صُحبَة
نِعمَةِ اللهِ ، ويُكرمَهَا ، ويرفقَ بِها ، وإنْ كانَ حَقُّك عَلَيها
أغْلَظَ ، وطَاعَتُك بِها ألزَمَ ، فِيمَا أحبَبْتَ وكرهْتَ ، ما لَم تَكن
مَعصِية فإنَّ لَهَا حَقَّ الرَّحمَةِ والمُؤَانَسةِ ولا قُوَّة إلاَّ
بالله
“Adapun hak istrimu yang engkau miliki dengan
nikah, engkau harus mengetahui bahwa Allah SWT telah menjadikannya
sebagai penenang, penenteram, pengintim, dan pelindung. Demikianlah
masing-masing orang dari kalian berdua harus memuji Allah SWT atas
pasangannya, dan mengetahui bahwa pasangannya adalah nikmat yang berikan
Allah SWT kepadanya. Dia wajib memperlakukan nikmat Allah SWT dengan
baik, menghormatinya, dan bersikap lembut kepadanya, meskipun hakmu
atasnya lebih besar, dia lebih wajib taat kepadamu, di dalam hal-hal
yang kamu sukai atau tidak kamu sukai selama bukan maksiat, maka dia
memiliki hak kasih sayang dan keintiman, dan tiada daya kecuali karena
Allah.”
Jika kita mencermati keterangan ini, jelas bagi kita
bahwa ikatan suami istri adalah nikmat terbesar yang harus disyukuri
secara verbal dengan cara mengucapkan puji kepada Allah, dan syukur
secara praktis yakni seseorang harus menghormati istrinya, lembut dan
memperlakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang, menjalin
pertemanan yang sejati sebagaimana dia menjalin ikatan persahabatan
dengan orang lain.
Jika dia bersikap kasar, menghitung setiap
kesalahan dan kealpaan, maka urat-urat cinta dan kasih sayang akan
putus. Sikap ini akan menjadi pisau yang sangat tajam untuk memutus
hubungan suami istri yang kudus.
Imam Shadiq menjelaskan cara
yang harus ditempuh seorang suami untuk menarik hati istrinya dan tidak
memutus tali cintanya. Beliau berkata:
لا غِنَى
بالزَّوجِ عَن ثلاثَةِ أشياءٍ فِيمَا بَينَه وبَين زَوجَتِه ، وهي :
الموافَقَة ، ليَجتلِبَ بِها مُوافقَتها ومَحبَّتها وهَواهَا ، وحُسن
خُلقِه مَعها واسْتِعمَاله استمَالَةَ قَلبِهَا بالهَيئة الحَسَنة في
عَينِها ، وتوسِعته عَلَيها
“Seorang suami tidak bisa
mengabaikan tiga hal dalam relasinya dengan istrinya. Keharmonisan, agar
dia memperoleh keharmonisan, cinta, dan gairah istrinya. Akhlak yang
baik terhadap istrinya dan mengupayakan menarik hati istrinya dengan
penampilan yang baik di mata istri. Dan, berlapang dada pada istri.”
Harus disebutkan di sini bahwa ungkapan-ungkapan tersebut bukanlah
sekadar kata-kata yang dilontarkan ke udara oleh para imam sebagai
sebuah nasihat, tapi mereka telah mempraktekkannya sampai detail dalam
kehidupan nyata. Di dalam perilaku para imam tidak terdapat problematika
adanya jurang antara kesadaran dan kenyataan. Salah satu buktinya
adalah, al-Hasan bin al-Jaham meriwayatkan: Aku melihat Abu al-Hasan
bercelak (ihtidhab). Maka, aku berkata, “Aku rela jadi tebusanmu, engkau
bercelak?” Beliau berkata:
( نَعَمْ ، إنَّ التهيِئَة
مِمَّا يُزيدُ في عِفَّة النِّسَاء ، ولقَد تَرَك النِّسَاءُ العفَّة
بِتَركِ أزواجهنَّ التهيئة ، أيَسُرّكَ أن تَراهَا عَلى مَا تَراكَ عَلَيه
إذا كُنتَ عَلى غَيرِ تَهْيئة ؟ ) ، قلت : لا ، فقال ( عليه السلام ) : (
فَهوَ ذَاكَ ) .
“Ya. Berdandannya suami adalah
tindakan yang menambah iffah seorang istri. Wanita menanggalkan iffah
karena suami mereka tidak berdandan. Apakah engkau senang melihatnya
seperti dia melihatmu ketika engkau tidak berdandan?” Aku berkata,
“Tidak.” Beliau berkata, “Itu sama.”
Imam mengetahui bahwa
menarik hati istri merupakan poin sentral dalam kehidupan rumah tangga.
Karena itu, beliau menjaga hak istri dan berusaha menarik hati istrinya
dengan cara berdandan. Sebab, tidak harmonis dalam masalah ini merupakan
salah satu penyebab utama kegagalan perkawinan.
Memang benar
bahwa pernikahan di dalam Islam bukanlah untuk pemuasan hasrat seksual.
Seks hanya media untuk mencapai tujuan pernikahan, yaitu mempersembahkan
generasi yang baik bagi umat manusia. Akan tetapi hal ini tidak
membenarkan tindakan mengabaikan hak istri dalam pemuasan seksual.
Karena itu, syariat tidak membolehkan meninggalkan istri lebih dari 4
bulan.
Post a Comment
mohon gunakan email