Pesan Rahbar

Home » , , » Hak Suami dan Hak Istri

Hak Suami dan Hak Istri

Written By Unknown on Saturday, 26 July 2014 | 12:07:00


Hak Suami.

Oleh: AF Machtum

Agar bahtera pernikahan selamat berlayar ke pulau tujuan, nahkoda bahtera ini harus diberi hak penuh. Boleh jadi hak pertama yang diberikan Allah SWT kepada suami adalah hak kepemimpinan (qaimumah).

Allah SWT berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (an-Nisa: 34)

Hak kepemimpinan diperoleh suami karena keunggulan struktur dirinya daripada perempuan, juga karena dia memikul tanggung jawab kehidupan sehari-hari yang berat. Tapi, kepemimpinan suami tidak membolehkannya untuk otoriter (tasalluth) dan keluar dari lingkaran tanggung jawab ke lingkaran penguasaan dan interaksi yang bersifat pemaksaan pada istri, karena hal ini bertentangan dengan hak istri untuk mendapatkan perlakuan yang baik yang ditegaskan oleh al-Quran:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (an-Nisa: 19)

Tidak diragukan bahwa Islam telah menuntut istri untuk tunduk kepada suami dalam segala hal yang dibolehkan oleh akal dan syariat. Jika kondisi ini tidak terpenuhi, maka tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.

Islam tidak membolehkan kepemimpinan ini digunakan sebagai media untuk merendahkan istri atau mengurangi kehormatannya. Memang benar bahwa manusia yang haknya paling besar atas seorang istri adalah suami, tapi hak ini tidak boleh ditafsirkan atau diterapkan secara salah yang membawa pada perendahan terhadap istri.

Istri adalah bunga yang lembut. Dia tidak memiliki kekuatan, ketegasan, dan kehendak. Karena itu, dia membutuhkan tenda yang melindunginya dari angin yang beracun agar bunga ini tidak kehilangan kesegarannya ketika bunga ini sedang mekar-mekarnya. Tenda itu adalah suami, karena suami memiliki kekuatan, kehendak, dan kesiapan untuk berkorban.

Hak lain bagi suami adalah istri bersiap sedia baginya setiap dia berkehendak kecuali pada kondisi pengecualian alamiah yang dialami oleh kaum perempuan. Rasulullah saw bersabda:

إنَّ مِن خَيرِ [ نِسَائِكُم ] الوَلود الوَدُود ، والسَّتِيرة [ العَفِيفَة ] ، العَزِيزَة في أهْلِهَا ، الذَّليلَةُ مَع بَعْلِها ، الحصَانُ مَع غَيرِهِ ، التي تَسْمَعُ لَهُ وتُطِيعُ أمْرَه ، إذَا خَلا بِهَا بَذلَتْ مَا أرَادَ مِنْهَا

“Wanita yang terbaik di antara kamu adalah yang banyak anak dan penyayang, penutup diri, penjaga kesucian diri, yang agung di mata keluarganya, tunduk di hadapan suaminya, terjaga dari orang selain suaminya, mendengar dan patuh kepada suaminya, jika dia berdua-duaan dengan suaminya, dia memberikan apa saja yang diminta kepadanya.”

Rasulullah saw bersabda:

خَيرُ نِسَائِكُم الَّتي إذَا دَخَلَتْ مَع زَوجِهَا خَلَعَتْ دِرْعَ الحَيَاءِ

“Wanita yang terbaik di antara kamu adalah yang jika suaminya masuk, maka dia menanggalkan baju rasa malunya.”

Banyak hadits lain yang melarang istri menjauh dari peraduan rumah tangga. Dia akan dihukum di kehidupan dunia jika melakukannya dan dikutuk oleh malaikat sampai dia kembali. Dia juga harus menghormati suami dan berperan serta dalam menciptakan cinta kasih sayang bersama sang suami. Rasulullah saw bersabda:

لو أمَرْتُ أحَداً أن يَسْجُدَ لأحَدٍ لأمَرْتُ المَرأةَ أنْ تَسجُدَ لِزَوجِهَا

“Sekiranya aku memerintah seseorang untuk bersujud kepada seseorang, tentu aku akan memerintahkan istri bersujud kepada suaminya.”

Berdasarkan arahan Nabi saw ini istri harus berperilaku lembut pada suami, berbicara dengan ungkapan-ungkapan yang memasukkan rasa bahagia ke dalam hati suami, khususnya ketika suami pulang kerja dengan energi yang terkuras, syaraf yang lelah. Dia harus menyambut suami dengan kegembiraan yang meruah pada wajahnya, menawarkan khidmat kepada suami, sehingga dia memperoleh ridha suami.

Rasulullah saw bersabda:

وَطُوبَى لامْرَأةٍ رَضِي عَنْهَا زَوجُهَا

“Sangat beruntung seorang istri yang suaminya ridha padanya.”

Tentang masalah ini, Imam al-Baqir mengatakan:

لا شَفِيعَ للمرأة أنجَحُ عِندَ رَبِّها مِنْ رِضَاء زَوجِها ، وَلمَّا مَاتَتْ فَاطِمَة ( عَلَيها السَّلامُ ) قَامَ عَلَيهَا أمَيرُ المُؤمِنِينَ ( عَلَيهِ السَّلامُ ) وقَال : اللَّهُمَّ إنِّي رَاضٍ عَنِ ابْنَةِ نَبِيِّكَ ، اللَّهُمَّ إنَّهَا قَدْ أوْحشَتْ ، فَانسهَا

“Tidak ada pemberi syafaat bagi seorang wanita pada sisi Tuhan yang lebih ampuh daripada ridha suaminya. Ketika Fathimah wafat, Amirul Mukminin berdiri di sisinya dan berkata, ‘Ya Allah, aku ridha pada putri Nabi-Mu. Ya Allah, dia telah dibuat sedih, maka hiburlah dia.’”

Dari penjelasan ini jelaslah bahwa suami memiliki hak kepemimpinan, hak dipenuhi keinginannya atau disenangkan. Lebih dari itu, ketika dia diberikan tampuk kepemimpinan keluarga, maka dia memiliki hak dipatuhi dalam batasan-batasan syariat. Salah satu isi hak ini adalah istri tidak boleh keluar dari rumah kecuali atas izinnya. Di dalam hadits disebutkan:

وَلا تَخرُجُ مِن بَيتِهِ إلاَّ بِإذنِهِ ، فَإنْ فَعَلَتْ لَعنَتْها مَلائِكَةُ السَّمَاوَاتِ ومَلائِكَةُ الأرْضِ ومَلائِكةُ الرِّضَاء ومَلائِكةُ الغَضَب

“Dia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya. Jika dia melakukan, maka malaikat di langit dan di bumi, serta malaikat ridha dan benci melaknatnya.”

Istri adalah harta karun yang sangat berharga dan wajib dijaga di tempat yang aman. Rumah adalah tempat aman yang melindungi istri. Karena itu, al-Quran memerintahkan kaum perempuan:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (al-Ahzab: 33)

Ada hak lain bagi suami, yaitu dijaga kehormatannya dan hartanya ketika dia tidak ada, tidak diungkap kekurangannya, istri tidak puasa sunnah kecuali dengan izinnya. Secara umum, agar kehidupan rumah tangga langgeng, harus ada ridha dan penghormatan dan khidmat dari kedua belah pihak, sebagaimana bunga butuh cahaya, udara, dan air untuk bisa mekar.

Komitmen suami istri terhadap hak satu sama lain, selain menggugurkan kewajiban, juga mendatangkan pahala yang besar. Sebaliknya juga benar. Jika suami memberi minuman bagi istrinya, dia mendapat pahala, dan Allah SWT akan memanjangkan umurnya dikarenakan kebaikannya kepada istrinya.

Sebaliknya, istri yang berkhidmat kepada suami selama 7 hari, Allah SWT akan menutup 7 pintu neraka baginya dan membuka 8 pintu surga yang dapat dia masuki dari mana saja. Istri yang mengangkat sesuatu di rumah suaminya dari satu tempat ke tempat lain untuk terlihat lebih baik, maka Allah SWT akan memandangnya, dan siapa saja yang dipandang Allah SWT, maka tidak akan Dia azab.

Jaminan keharusan memenuhi hak dalam syariat ilahiah lebih banyak daripada di dalam hukum positif. Sebab, dalam hukum positif, orang dapat menghindar dan tidak memenuhi kewajibannya dengan tipu muslihat, suap, ancaman, paksaan, dsb. Sedangkan dalam hukum ilahi, selain menggunakan media pemaksaan eksternal, seperti polisi dan pengadilan, ada juga faktor-faktor pemaksaan internal, yaitu rasa takut terhadap siksa dan murka Allah SWT di akhirat.

Seorang muslim akan berusaha meraih ridha Allah SWT dengan cara menunaikan kewajibannya kepada orang lain. Al-Quran memandang kezaliman seseorang kepada orang lain adalah kezaliman pada dirinya sendiri. Allah SWT berfirman:

وَلاَ تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لَّتَعْتَدُواْ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ

“Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (al-Baqarah: 231)

Motif relijius adalah alat terbesar untuk membendung dorongan setan yang mendorong orang mangkir dari kewajiban dan komitmennya. Sedangkan orang yang hanya tunduk kepada hukum positif, dia tidak memiliki alat pembendung internal tersebut, kecuali nurani dan etika yang seringkali menyimpang dari jalan lurus karena berbagai sebab, sehingga kriteria-kriteria yang dia miliki terbalik, kemungkaran menjadi kebaikan dan kebaikan menjadi kemungkaran.

Lebih dari itu, di dalam Islam, terdapat ikatan yang erat antara dimensi sosial dan dimensi ibadah. Setiap celah di dimensi pertama, disebabkan tiadanya komitmen terhadap hak orang lain, akan berefek negatif terhadap dimensi ibadah. Inilah yang dijelaskan oleh hadits Nabi saw:

مَنْ كَان له امرأة تُؤذِيه لَم يَقْبل اللهُ صَلاتَهَا ، وَلا حَسَنَة مِن عَمَلِها ، حَتَّى تُعِينَه وتُرضِيه وإنْ صَامَتِ الدَّهْرَ ، وعَلَى الرَّجُلِ مِثلُ ذَلكَ الوِزْر ، إذا كَانَ لَهَا مُؤذياً ظَالِماً

“Orang yang memiliki istri yang menyakitinya, Allah SWT tidak menerima shalat atau kebaikan yang dilakukan istrinya itu, sampai istri itu menolong dan membuatnya ridha meskipun si istri berpuasa dahr. Suami juga akan mendapat dosa seperti itu jika dia menyakiti dan menzalimi istrinya.”

Dengan demikian jelaslah bahwa suami istri memiliki hak timbal balik yang jika ditelantarkan maka akan mengancam eksistensi keluarga, dan komitmen padanya akan menciptakan kesatuan sosial yang erat.

 

Hak Istri.

Oleh: AF Machtum

Al-Quran membantah konsep-konsep batil yang dianut manusia pada zaman dahulu dan menegaskan bahwa sifat dan asal penciptaan laki-laki sama dengan perempuan. Tidak benar bahwa laki-laki diciptakan dari bahan yang mulia sedangkan perempuan dari bahan yang hina. Allah SWT menciptakan keduanya dari unsur yang sama, yaitu tanah, dan dari jiwa yang sama.

Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاء

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (an-Nisa: 1)

Jadi, al-Quran telah meningkatkan derajat perempuan dengan menjadikannya persis seperti laki-laki dari segi tabiat penciptaan dan dengan demikian memberikannya hak kemuliaan manusia sepenuhnya. Selain itu, al-Quran menyatukan laki-laki dengan perempuan dalam hal memikul tanggung jawab. Allah SWT berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An-Nahl: 97)

Tapi kesamaan dalam asal penciptaan, kemuliaan, dan tanggung jawab, sedikit pun tidak berarti pengingkaran perbedaan fitrah dan tabiat yang ada di antara mereka yang mengakibatkan perbedaan hak dan kewajiban. Neraca keadilan adalah menyamakan antara seseorang dengan kewajibannya dan bukan menyamakan hak dan kewajiban antara dua jenis yang berbeda struktur dan tabiatnya.

Dengan dasar ini pengutamaan laki-laki dalam warisan bukanlah pencederaan terhadap keadilan, melainkan keadilan itu sendiri. Laki-laki wajib memberikan mas kawin sejak awal relasi suami istri, dan wajib memberi nafkah sampai akhir.

Dari sisi lain, al-Quran tidak ingin membatasi kebebasan dan posisi perempuan dengan kewajiban berjilbab (hijab), melainkan hendak melindunginya dengan jilbab dan bukannya mengekang, disertai penetapan kehormatan perempuan pada dirinya dan orang lain. Al-Quran ingin perempuan keluar ke masyarakat—jika dia keluar—tanpa merangsang naluri yang terpendam di dalam diri laki-laki. Dengan demikian, dia melindungi dirinya dan tidak membahayakan orang lain.

Al-Quran menetapkan hak perempuan untuk berkeyakinan dan bekerja berdasarkan aturan tertentu, dan memberikannya hak sipil secara penuh. Perempuan memiliki hak memiliki, memberi, menggadai, menjual, dsb.

Al-Quran memberi perempuan hak untuk belajar dan mencapai derajat keilmuan yang tinggi, mendorong watak membebaskan dri dari kezaliman dan tiranitas. Al-Quran memberi contoh dengan Asiyah istri Firaun yang tetap menjaga akidah tauhid yang dia anut meskipun dalam kondisi terjepit, sehingga dia menjadi teladan. Allah SWT berfirman:

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ آمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِندَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِن فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah Aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah Aku dari kaum yang zhalim. (at-Tahrim: 11)

Demikianlah al-Quran mengungkap keteguhan yang dapat dilakukan oleh seorang perempuan jika dia memiliki iman dan persepsi yang benar. Tapi kebalikannya akan terjadi jika dia menyimpang dari jalur hidayah seperti yang dilakukan oleh Istri Nuh. Dia menjadi tawanan perasaan dan hawa nafsunya, menjadi seperti bulu ditiup angin.

Hak istri menurut Sunnah

Masalah perempuan dan hak-haknya sebagai istri atau ibu adalah objek perhatian Sunnah. Nabi saw bersabda:

مَا زَالَ جِبرائِيل يُوصِينِي بِالمَرْأةِ ، حَتَّى ظَنَنْتُ أنَّه لا يَنْبَغي طَلاقُهَا إلاَّ مِن فَاحِشَةٍ مُبِينَة

“Jibril terus menerus mewasiatkan istri kepadaku, sampai aku menyangka tidak boleh mentalaknya kecuali karena kekejian yang nyata.”

Kemudian, beliau menetapkan tiga hak asasi seorang istri atas suaminya, yaitu memenuhi kebutuhan pangan, memenuhi kebutuhan sandang yang pantas baginya, dan pergaulan yang baik dengannya. Beliau bersabda:

حَقُّ المَرْأةِ عَلَى زَوجِهَا : أنْ يَسدَّ جُوعَهَا ، وأنْ يَستُرَ عَورَتَها ، وَلا يُقَبِّحُ لَهَا وَجْهاً

“Hak istri atas suami, diatasi rasa laparnya, ditutupi auratnya, dan tidak diberikan wajah yang masam.”

Hadits ini tidak membatasi hak istri pada masalah-masalah material yang primer seperti makanan dan pakaian saja, tapi menyandingkan hal itu dengan hak mental, yaitu tidak diberikan wajah yang masam, atau dengan ungkapan lain diperlakukan dengan baik. Apalagi istri adalah mitra hidup, partner kerja. Salah jika dia diperlakukan sebagai alat kesenangan dan pembantu dan diperlakukan dengan cara diberikan perintah.

Selain itu ada hadits Nabi saw yang mendorong untuk memperlakukan istri secara manusiawi bahkan meminta pendapatnya meskipun suami tidak bermaksud menerima pendapat itu di dalam masalah tersebut, karena sikap suami meminta pendapat pada istri berarti melakukan dialog secara terus menerus dengannya. Inilah yang diperintahkan oleh akal dan syariat.

Jadi, istri memiliki hak mental yang menyempurnakan hak-hak materialnya, yaitu hak untuk dihormati dan dihargai, dan dipilihkan ungkapan-ungkapan yang pantas ketika berbicara yang melahirkan suasana tenang, menyalakan pelita cinta. Rasulullah saw bersabda:

قَولُ الرَّجل للمرأة : إنِّي أُحِبُّكِ ، لا يَذْهَبُ مِن قَلْبِهَا أبَداً

“Kata-kata seorang suami kepada istrinya, ‘Aku mencintaimu’, tidak akan hilang dari hati istrinya selama-lamanya.”

Jadi, menghormati istri, menyayanginya, memaafkan kesalahannya yang normal, adalah satu-satunya jaminan dan cara terbaik untuk kelanggengan rumah tangga. Tanpa menjaga hal-hal ini, bangunan keluarga akan rapuh. Survey membuktikan bahwa kebanyakan perceraian terjadi disebabkan oleh penyebab yang sepele.

Seorang hakim yang selama 40 tahun bertugas menangani kasus perselisihan suami istri, mengatakan, “Engkau pasti akan selalu menemukan hal-hal yang sepele di dalam setiap perselisihan suami istri. Jika mereka mau bersabar dan menutup mata atas kesalahan yang terjadi tanpa disengaja, maka bahtera rumah tangga pasti dapat diselamatkan dari kehancuran.”

Di dalam Risalah al-Huquq Imam Zain al-Abidin menerangkan hak istri dan memberikan keterangan tambahan terhadap hak mentalnya yang berupa kasih sayang dan keintiman. Beliau berkata:

وَأمَّا حَقّ رَعيَّتك بِملك النِّكاحِ ، فأنْ تَعلَمَ أنَّ اللهَ جعلَهَا سَكناً ومُستَراحاً وأُنساً وَوِاقِية ، وكذلك كُلّ واحدٍ مِنكُما يَجِبُ أنْ يَحمدَ اللهَ عَلَى صَاحِبِه ، ويَعلَمَ أنَّ ذَلِكَ نِعمةً مِنهُ عَلَيه . وَوَجَبَ أن يُحسِنَ صُحبَة نِعمَةِ اللهِ ، ويُكرمَهَا ، ويرفقَ بِها ، وإنْ كانَ حَقُّك عَلَيها أغْلَظَ ، وطَاعَتُك بِها ألزَمَ ، فِيمَا أحبَبْتَ وكرهْتَ ، ما لَم تَكن مَعصِية فإنَّ لَهَا حَقَّ الرَّحمَةِ والمُؤَانَسةِ ولا قُوَّة إلاَّ بالله

“Adapun hak istrimu yang engkau miliki dengan nikah, engkau harus mengetahui bahwa Allah SWT telah menjadikannya sebagai penenang, penenteram, pengintim, dan pelindung. Demikianlah masing-masing orang dari kalian berdua harus memuji Allah SWT atas pasangannya, dan mengetahui bahwa pasangannya adalah nikmat yang berikan Allah SWT kepadanya. Dia wajib memperlakukan nikmat Allah SWT dengan baik, menghormatinya, dan bersikap lembut kepadanya, meskipun hakmu atasnya lebih besar, dia lebih wajib taat kepadamu, di dalam hal-hal yang kamu sukai atau tidak kamu sukai selama bukan maksiat, maka dia memiliki hak kasih sayang dan keintiman, dan tiada daya kecuali karena Allah.”

Jika kita mencermati keterangan ini, jelas bagi kita bahwa ikatan suami istri adalah nikmat terbesar yang harus disyukuri secara verbal dengan cara mengucapkan puji kepada Allah, dan syukur secara praktis yakni seseorang harus menghormati istrinya, lembut dan memperlakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang, menjalin pertemanan yang sejati sebagaimana dia menjalin ikatan persahabatan dengan orang lain.

Jika dia bersikap kasar, menghitung setiap kesalahan dan kealpaan, maka urat-urat cinta dan kasih sayang akan putus. Sikap ini akan menjadi pisau yang sangat tajam untuk memutus hubungan suami istri yang kudus.

Imam Shadiq menjelaskan cara yang harus ditempuh seorang suami untuk menarik hati istrinya dan tidak memutus tali cintanya. Beliau berkata:

لا غِنَى بالزَّوجِ عَن ثلاثَةِ أشياءٍ فِيمَا بَينَه وبَين زَوجَتِه ، وهي : الموافَقَة ، ليَجتلِبَ بِها مُوافقَتها ومَحبَّتها وهَواهَا ، وحُسن خُلقِه مَعها واسْتِعمَاله استمَالَةَ قَلبِهَا بالهَيئة الحَسَنة في عَينِها ، وتوسِعته عَلَيها

“Seorang suami tidak bisa mengabaikan tiga hal dalam relasinya dengan istrinya. Keharmonisan, agar dia memperoleh keharmonisan, cinta, dan gairah istrinya. Akhlak yang baik terhadap istrinya dan mengupayakan menarik hati istrinya dengan penampilan yang baik di mata istri. Dan, berlapang dada pada istri.”

Harus disebutkan di sini bahwa ungkapan-ungkapan tersebut bukanlah sekadar kata-kata yang dilontarkan ke udara oleh para imam sebagai sebuah nasihat, tapi mereka telah mempraktekkannya sampai detail dalam kehidupan nyata. Di dalam perilaku para imam tidak terdapat problematika adanya jurang antara kesadaran dan kenyataan. Salah satu buktinya adalah, al-Hasan bin al-Jaham meriwayatkan: Aku melihat Abu al-Hasan bercelak (ihtidhab). Maka, aku berkata, “Aku rela jadi tebusanmu, engkau bercelak?” Beliau berkata:

( نَعَمْ ، إنَّ التهيِئَة مِمَّا يُزيدُ في عِفَّة النِّسَاء ، ولقَد تَرَك النِّسَاءُ العفَّة بِتَركِ أزواجهنَّ التهيئة ، أيَسُرّكَ أن تَراهَا عَلى مَا تَراكَ عَلَيه إذا كُنتَ عَلى غَيرِ تَهْيئة ؟ ) ، قلت : لا ، فقال ( عليه السلام ) : ( فَهوَ ذَاكَ ) .

“Ya. Berdandannya suami adalah tindakan yang menambah iffah seorang istri. Wanita menanggalkan iffah karena suami mereka tidak berdandan. Apakah engkau senang melihatnya seperti dia melihatmu ketika engkau tidak berdandan?” Aku berkata, “Tidak.” Beliau berkata, “Itu sama.”

Imam mengetahui bahwa menarik hati istri merupakan poin sentral dalam kehidupan rumah tangga. Karena itu, beliau menjaga hak istri dan berusaha menarik hati istrinya dengan cara berdandan. Sebab, tidak harmonis dalam masalah ini merupakan salah satu penyebab utama kegagalan perkawinan.

Memang benar bahwa pernikahan di dalam Islam bukanlah untuk pemuasan hasrat seksual. Seks hanya media untuk mencapai tujuan pernikahan, yaitu mempersembahkan generasi yang baik bagi umat manusia. Akan tetapi hal ini tidak membenarkan tindakan mengabaikan hak istri dalam pemuasan seksual. Karena itu, syariat tidak membolehkan meninggalkan istri lebih dari 4 bulan.

 

Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: