Oleh: Dina Sualeman.
Seringkali, orang tua merasa bahwa sikap jujur hanya kewajiban anak. Ketika anak menumpahkan susu coklat di karpet, karena takut, ia mungkin akan berkata, “Bukan saya, Mama!” Lalu, orangtua akan marah dan membentak, “Jangan bohong!” Tapi, tanpa sadar, orangtua pun sering membohongi anak. Bila kita lelah saat si Putri mengajak bermain ke taman, orangtua dengan enteng, “Besok, ya sayang!” Tapi, esok hari, apa yang terjadi? Seringkali orangtua melupakan janji itu begitu saja.
Bohong adalah salah satu akibat dari sikap pemarah orang tua. Namun, bisa jadi pula, anak suka berbohong karena menirukan orangtuanya yang juga sering tidak jujur terhadapnya. Karena itu, dalam artikel ini kami akan membahas mengenai dua sifat yang harus dipegang teguh oleh orang tua, yaitu jujur dan lembut.
Sikap Jujur
Abdul Hamid Jasim Al-Bilali dalm bukunya “Seni Mendidik Anak” menyebutkan, “Penyebab kenakalan anak (termasuk di antaranya berbohong) adalah karena contoh yang buruk. Menurut Al-Bilali, “Seorang anak tentu tidak mudah menerima anjuran kebaikan dari orangtuanya jika ternyata perbuatan orang tua mereka sendiri bertolak belakang dari apa yang diperintahkan. Anak disuruh berkata jujur, tetapi mereka sendiri sering berdusta dan jika berjanji tidak ditepati.”
Allah berfirman dalam surat Ash-Shaf, “Sungguh besar dosanya di sisi Allah bahwa kalian berbicara apa yang tidak kalian lakukan.”
Ada kalanya, orang tua memang tidak marah menghadapi “kenakalan” anaknya, tapi, malah menggunakan kebohongan. Hal ini sama-sama berdampak buruk. Sering kita dengar orangtua melarang anaknya ribut dengan berbohong, “Heh, jangan ribut, nanti ditangkap hantu lho!” Hal ini malah akan membuat anak menjadi penakut dan sekaligus mengajarinya berbohong. Bila anak ribut, sebaiknya Anda mengalihkan perhatiannya dengan mengajak menggambar atau membacakannya dongeng.
Sikap Lembut.
Sikap lembut terkadang amat sulit dipertahankan oleh orangtua. Anak kecil umumnya melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam pandangan orang dewasa adalah “nakal”. Namun, ada poin penting yang harus dipahami oleh orang tua, yaitu sesungguhnya, anak kecil tidak pernah bermaksud untuk berbuat nakal. Dia bahkan tidak memahami konsep nakal itu sendiri. Apapun yang dia lakukan adalah sesuai dengan kemampuan nalarnya pada saat itu. Bila ia menumpahkan susu di karpet, itu bukanlah kesengajaan karena ingin membuat Anda repot mencuci karpet, melainkan karena koordinasi tangannya yang belum stabil.
Bila ia merusakkan mainannya, itu lebih karena keinginatahuannya. Bila ia bermain-main dengan pot kesayangan Anda dan akhirnya pecah, itu bukanlah karena sengaja ingin membuat Anda marah. Bagi anak kecil bermain adalah proses belajar. Ia akan belajar memahami bahwa barang kaca akan pecah bila dibanting.
Rasulullah SAW bersabda; "Hobi, permainan dan kelincahan gerak seorang anak pada waktu kecil, akan mempertajam pemikirannya ketika dewasa." (HR At-Tirmidzi).
Imam Al-Ghazali menjelaskan dalam Ihya 'Ulumuddin juz V bab Mengobati Penyakit Hati, "Hendaknya anak kecil diberi kesempatan bermain. Melarangnya bermain dan menyibukkannya dengan belajar terus akan mematikan hatinya, mengurangi kecerdasannya, dan membuatnya jemu terhadap hidup, sehingga ia akan sering mencari alasan untuk membebaskan diri dari keadaan sumpek itu."
Menurut Ma’ruf Zurayk, guru besar pendidikan dan Psikologi Univ.Darul Mu’minin Damaskus, pendidikan anak yang dilakukan dengan bentuk yang keras dan kaku mengkaibatkan perasaan tertekan, hancurnya kepribadian, dan tidak adanya kesempatan untuk mengungkapkan kepribadian anak. Inilah hal-hal yang menyebabkan anak menggunakan kebohongan sebagai sarana, yang dengan jalan itu, ia memperoleh tempat yang dianggap baik dan dikagumi bagi kedua orangtuanya. Menurut Zurayk, terkadang anak juga berbohong karena takut hukuman yang dijatuhkan kepadanya atau hanya karena sekedar kesenangan yang timbul dari sikap menentang terhadap kekuasaan yang keras orang tuanya.
Matthew McKay PhD telah menghabiskan waktu dua tahun untuk meneliti perilaku marah orang tua dan efeknya terhadap anak-anak. Dia menemukan bahwa 2/3 orangtua (dari285 orang tua yang diteliti) mengungkapkan rasa marah kepada anak dengan berteriak dan membentak rata-rata 5 kali seminggu. Artinya, hampir setiap hari anak-anak menerima bentakan dari orangtuanya. Menurut McKay, “Bila Anda membentak anak hampir setiap hari, anak akan terluka hatinya. Bila hanya sekali seminggu atau sekali sebulan, anak tidak akan merasakan adanya serangan psikis terhadap dirinya.”
Daripada Anda menghabiskan energi untuk marah dan akan berdampak negatif pada psikologis Anak, lebih baik Anda melakukan perbuatan preventif, misalnya, jangan meletakkan barang pecah belah di tempat yang terjangkau oleh anak. Atau, selagi anak masih kecil, Anda tidak perlu memasang karpet atau permadani mahal di lantai yang memerlukan tenaga ekstra untuk membersihkannya.
Sebaiknya pula, orangtua menghindari kata-kata yang bersifat larangan. Pertama, karena akan membuat anak sulit menentukan alternatif tindakan. Misalnya, ketika ia berteriak-teriak, kita akan mmbentak, “Sst diam, jangan teriak!” Lalu, dia akan melakukan kegiatan lain, seperti memukul meja. Bila kembali kita larang, anak akan bingung, “Apa yang harus aku lakukan? Ini jangan, itu jangan.”
Kedua, larangan (apalagi yang disertai bentakan dan marah) akan membuat anak kehilangan kreativitasnya. Adalah naïf bila orang tua melarang anak merusak mainannya yang hanya berharga sepuluh ribu perak tapi menebusnya dengan kematian kreativitas yang merupakan bekal utama anak untuk hidup di masa depan.
Tulisan ini akan kami akhiri dengan hadis Rasulullah, “Masing-masing kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” Ayah dan ibu adalah pemimpin anak-anak mereka dan kelak Allah akan meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah mereka lakukan terhadap anak-anak mereka. Karena itu, bersikap jujur dan lembutlah kepada anak!
(Shabestan/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email