Pesan Rahbar

Home » , , » Ringkasan Akidah Syi'ah

Ringkasan Akidah Syi'ah

Written By Unknown on Saturday, 26 July 2014 | 20:08:00


Oleh: Ayatullah Fadhil Lankarani


1
Ringkasan Akidah Syi'ah

DAFTAR ISI
Mukadimah

Tauhid

Keadilan Ilahi

Kenabian

Imamah (Kepemimpinan)

Ma'ad (Hari Akhir)

Penutup



2
Ringkasan Akidah Syi'ah

Mukadimah

Mengapa Kita Membutuhkan Agama?
Dalam al-Quran yang mulia Allah berfirman:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا

"Tegakkanlah wajahmu kepada agama ini secara lurus; yaitu fitrah Allah yang Ia menciptakan manusia atas dasar fitrah tersebut."[1]

Secara terminologis, agama adalah sekumpulan ajaran, undang-undang dan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah melalui Rasulullah saw. Ajaran ini meliputi tiga dimensi: (1) Akidah, (2) Akhlak (etika) dan (3) fiqih (sebagai tuntunan amaliah sehari-hari).

Pada kesempatan ini, obyek pembahasan kita adalah akidah, dan sebelum menjelaskan ringkasan akidah ini, kami akan menjelaskan terlebih dahulu urgensi agama dan faedah-faedahnya.


Urgensi Agama
Manusia tidak diciptakan di dunia ini dengan sia-sia dan tanpa tujuan, dan Allah pun Maha Suci dari setiap pekerjaan yang sia-sia. Dari beberapa ayat dan hadis dapat dipahami bahwa tujuan penciptaan manusia adalah menggapai kesempurnaan dan keutamaan spiritual, serta mencapai tingkat dan kedudukan (spiritual) yang tinggi. Menggapai tujuan ideal itu adalah sesuatu yang mustahil kecuali dengan adanya sebuah program yang detail dan ditetapkannya hukum dan ketentuan-ketentuan yang sempurna dan universal. Oleh karena itu, untuk menggapai tujuan itu diperlukan sebuah hukum dan undang-udang yang memperhatikan hak-hak individual dan sosial setiap individu, menjamin kebebasan dan kebahagiaannya, serta menunjukkan jalan kesempurnaan dan cara menggapainya. Dan dapat dipahami bahwa program semacam itu tidak dapat direalisasikan melalui akal manusia yang serba terbatas dan tidak sempurna ini. Karena, manusia tidak mengenal segala bentuk kebutuhannya, seperti mengenal Penciptanya, tidak mengetahui jalan yang dapat (dilalui untuk) sampai kepada semua tujuannya, dan tidak mengenal segala yang menyebabkan kebahagiaan dunia dan akhiratnya. Bahkan, mayoritas mereka menganggap dirinya bahagia ketika telah berhasil memenuhi semua kebutuhan materialnya dengan melupakan kebutuhan-kebutuhan spiritual dan ukhrawinya. Malahan tidak sedikit dari umat manusia yang lebih mementingkan kepentingan diri dan keluarganya atas kepentingan orang lain dan mereka tidak enggan untuk melakukan segala cara.

Kesimpulannya, karena kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat sangat tergantung kepada keyakinan yang bersih dan pengaktualisasian seluruh program dan hukum Islam dalam kehidupannya sehari-hari, baik secara individual maupun sosial, dengan demikian urgensi agama dalam sebuah masyarakat tidak dapat diinkari.


Faedah Agama
Agama memiliki dua macam faedah: (1) faedah yang kembali kepada manusia sebagai individu dan (2) faedah yang akan didapatkan olehnya sebagai makhluk sosial.

Faedah agama bagi manusia dari sisi individu sangat banyak sekali. Dan faedah pokok yang dapat diraba dengan jelas dapat disimpulkan dalam tiga ungkapan: ketenangan hati, ketegaran jiwa dan keterjagaan diri.


a. Ketenangan Hati
Dalam al-Quran yang mulia Allah berfirman:

اَلَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ تَطْمَئِنَّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ

"(Mereka adalah) orang-orang yang beriman dan tenang hatinya dengan mengingat Allah. Ingatlah bahwa hanya dengan mengingat Allah hati dapat tenang."[2]

Ya! Salah satu manfaat agama untuk setiap individu adalah, bahwa agama itu dapat menjadikannya sebagai orang yang mengenal dan meyakini Allah, hakikat permanen dan tak berubah, asal-usul semua makhluk dan pemberi segala kenikmatan ini. Ia adalah Tuhan yang segala kebaikan, kemuliaan, umur dan kehidupan berada di tangan-Nya. Dengan perantara keyakinan ini ia dapat mencapai ketenangan hati, berbahagia, selalu ridha, menerima dan bersabar. Ya! Orang yang memiliki Allah, ia memiliki segalanya. Orang yang menemukan Allah, ia tidak akan pernah takut mati dan khawatir serta risau terhadap segala peristiwa.

Berbahagialah mereka yang Allah penolongnya, puji dan qul huwall?h selalu di bibirnya.

Berbahagialah mereka yang dalam shalat selalu, surga abadi tempat kembalinya.


b. Ketegaran Jiwa
Agama dapat menjadikan seseorang berjiwa tegar, pemaaf dan menguasai seluruh keinginan hawa nafsunya. Berkenaan dengan keluarga Amirul Mukminin Ali as Allah berfirman:

يُوْفُوْنَ بِالنَّذْرِ وَ يَخَافُوْنَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيْرًا * وَ يُطْعِمُوْنَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِيْنًا وَ يَتِيْمًا وَ أَسِيْرًا * إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللهِ لاَ نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلاَ شُكُوْرَا

"Mereka menepati nazar dan takut akan hari yang kesulitannya meliputi segala sesuatu. Mereka memberikan makanan kepada seorang miskin, anak yatim dan seorang tawanan padahal mereka masih menyukainya. Kami memberi kalian makan hanya karena Allah dan kami tidak mengharapkan balasan dan ucapan terima kasih."[3]

Ya! Karakteristik di atas hanya dapat ditemukan di dalam sebuah jiwa yang kuat, tegar dan meyakini kekuasaan Ilahi yang tak terbatas. Jiwa yang lemah mustahil memiliki karakter-karakter mulia seperti itu. Hanya jiwa yang tegar dan bergantung kepada Allah-lah yang mampu berkata: "Seandainya kalian meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan pernah mencampakkan tujuanku yang mulia ini."


c. Keterjagaan Diri
Faedah ketiga agama adalah keterjagaan dan terkontrolnya manusia dari memiliki karakter-karakter merusak. Agama akan menjaga seseorang yang beriman dan meyakini konsep Mabda` (permulaan penciptaan manusia dari Allah) dan Ma'?d (hari akhir) dari segala bentuk perusakan, kelaliman dan melanggar hak-hak orang lain.

Amirul Mukminin Ali as pernah berkata: "Demi Allah! Aku bermalam di atas pelepah pohon berduri dalam keadaan terjaga atau tanganku dirantai dalam keadaan diseret adalah lebih kucintai daripada aku harus berjumpa dengan Allah SWT dan Rasul-Nya pada hari Kiamat sedangkan aku aku telah berbuat zalim terhadap sebagian hamba dan merampas sebagian harta dunia ... Demi Allah! Seandainya aku diberi tujuh negeri dengan segala yang terdapat di bawah langitnya dengan syarat aku harus menzalimi seekor semut dengan merampas sebutir gandum makanannya, aku tidak akan melakukan hal itu."[4]

Oleh karena itu, agama dapat memfokuskan perhatian seseorang kepada Allah, dan sebagai hasilnya, hatinya akan tenang, jiwanya tegar dan ia akan terjaga dari segala perbuatan yang tidak pantas.

Ya! Jika seseorang dapat memahami agama yang benar dan memanfaatkannya sebagaimana mestinya, ia akan dapat menggapai kebahagiaan yang didamba-dambakannya berkat agama tersebut. Hal itu dikarenakan agama-di samping memiliki faedah spiritual-juga memiliki faedah material. Agama akan menganugrahkan kepercayaan diri, ketegaran jiwa, ketenangan dan kebahagiaan hati kepadanya serta mencegahnya dari segala bentuk kejelekan. Dan sebagai hasilnya, badannya akan selamat, hartanya akan terjaga, kehidupannya tentram, namanya baik dan akibat kelakuannya penuh berkah.

Allah SWT berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَ لَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

"Barangsiapa beramal salih, baik laki-laki maupun wanita sedangkan ia beriman, maka Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, dan (orang-orang semacam ini) Kami akan membalas mereka lebih baik baik dari amalan yang pernah mereka lakukan."[5]


Faedah Sosial Agama
Sekelompok orang yang hidup berdampingan dan selalu merasakan kebersamaan dalam keuntungan dan kerugian, kemuliaan dan kehinaan, dan kehidupan dan kematian, serta memiliki cara berpikir dan semangat mental yang serupa disebut sebagai sebuah masyarakat.

Masyarakat tak ubahnya seperti seorang individu dan memiliki kententuan-ketentuan yang dimiliki oleh seorang individu. Dalam sebuah masyarakat harus terdapat tiga pondasi pokok sehingga ia menjadi sebuah masyarakat yang sehat, tegar, aktif, mampu bertahan dan memanfaatkan kehidupan ini sebagaimana mestinya:

1. Keserasian, kesatuan dan kesehatian di antara anggota-anggotanya.

2. Keengganan para anggotanya untuk melakukan tindak kejahatan dan mengganggu sesamanya.

3. Tolong-menolong dan gotong-royong dalam berbuat kebajikan dan kebenaran.

Agama dan keyakinan kepada adanya konsep Mabda` dan Ma'?d dapat mengaktualisasikan ketiga pondasi pokok tersebut sebaik mungkin.

Faedah pertama agama untuk masyarakat adalah mewujudkan kesatuan spiritual dan persaudaraan di antara anggota-anggotanya. Begitu juga, agama adalah sarana yang paling berpengaruh dalam mewujudkan kedekatan hati dengan sesamanya.

Dalam al-Quran yang mulia Allah berfirman:

وَ اعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا وَ اذْكُرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

"Berpegang teguhlah kalian semua kepada tali Allah dan janganlah berpecah-belah, dan ingatlah nikmat Allah ketika kalian saling bermusuhan, lalu Ia menyatukan hati kalian dan dengan nikmat-Nya kalian menjadi saudara."[6]

Mukminin berbilang tapi iman satu, badan mereka berjumlah tapi jiwa satu.

Jiwa serigala dan anjing terpisah, karena Allah jiwa singa satu.

Faedah kedua agama adalah ia mencegah-atau menimal mengurangi-segala bentuk tindak kejahatan dan rasa ingin mengganggu orang lain dari seluruh anggota masyarakat. Agama dapat membasmi segala bentuk niat jahat yang dapat mendatangkan kesengsaraan bagi individu dan masyarakat. Agama dapat mencegah semua bentuk niat jahat manusia yang selalu bersemayam dalam dirinya dan siap untuk menimbulkan fitnah dan kerusakan. Agama dapat mencegah segala bentuk kezaliman dan pemaksaan terhadap orang lain. Agama dapat mempererat hubungan antar keluarga dan memerintahkan untuk itu.

Dalam al-Quran yang mulia Allah berfirman:

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَ الْإِحْسَانِ وَ إِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَ يَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَ الْمُنْكَرِ وَ الْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

"Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil, kebajikan dan menyayangi kerabat dan mencegah perbuatan tercela, kemunkaran dan kezaliman. Ia menasehati kalian supaya kalian ingat."[7]

Faedah ketiga agama bagi kehidupan sosial adalah ia mengajak semua lapisan masyarakat untuk saling tolong-menolong dalam melakukan kebaikan dan mencegah mereka untuk saling bantu-membantu dalam mengerjakan dosa dan kejelekan. Ia melarang para pengikutnya untuk saling bermusuhan dan menciptakan kondisi kehidupan seperti neraka yang memanas, serta memperingatkan mereka akan adanya siksaan yang amat pedih.

Dalam al-Quran Allah berfirman:

وَ تَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَ التَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى الْإِثْمِ وَ الْعُدْوَانِ وَ اتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

"Saling bantu-membantulah dalam kebajikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan, serta bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Dahsyat siksa-Nya."[8]

Kesimpulannya, dengan aturan dan undang-undang yang layak untuk membentuk manusia ideal itu agama dapat membentuk sebuah masyarakat yang didominasi oleh kebajikan mutlak. Dan dengan program ideal dan yang mumpuni itu, seluruh anggota masyarakat layak untuk menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Insya-Allah.

Setelah definisi agama dan faedah-faedahnya jelas bagi kita, mari kita kembali ke pokok pembahasan kita. Telah disebutkan sebelum ini bahwa agama memiliki tiga dimensi dan pokok pembahasan kita adalah dimensi akidah. Sebelum memasuki pembahasan, mari kita renungkan pembahasan berikut ini.


Ushuluddin Bukan Masalah Taklid
Telah disebutkan di permulaan pembahasan setiap risalah amaliah bahwa seorang Muslim harus meyakini Ushuluddin (melalui pengetahuannya sendiri). Artinya, ia harus memiliki pengetahuan yang kokoh berkenaan dengan hal itu dan tidak dapat mencukupkan diri dengan ucapan orang lain.

Kesimpulannya, berdasarkan hukum akal dan panduan ayat dan hadis, diwajibkan bagi setiap Muslim untuk mendapatkan keyakinan dan keimanan berkenaan dengan Ushuluddin, dan keteledoran dalam hal ini dapat menyebabkannya masuk ke dalam azab Ilahi yang abadi. Yang perlu kita camkan di sini, yang wajib adalah terwujudnya keyakinan dan keimanan tersebut, (bukan keyakinan yang harus diwujudkan melalui jalan dan cara tertentu). Dengan demikian, jika keyakinan tersebut terwujudkan dari jalan dan cara bagaimana pun, hal itu sudah sukup. Oleh karena itu, masyarakat kita dapat meyakini Ushuluddin mereka dari ucapan dan ajaran para ulama, mubaligh, guru dan bahkan, dari ucapan kedua orang tua mereka. Hal itu dikarenakan mereka mempercayai orang-orang tersebut dan sedikit pun tidak menyangka mereka akan berbohong. Hal ini sudah cukup meskipun mereka tidak dapat membuktikannya dengan argumentasi (yang kuat) dan tidak dapat menjawab kritikan-kritikan yang datang kepada mereka.


Mengapa Ushuluddin Bukan Masalah Taklid?
Alasan mengapa para ulama dan marja' taklid berasumsi bahwa taklid hanya diperbolehkan dalam hukum-hukum amaliah dan di dalam masalah Ushuluddin taklid tidak disahkan[9], dan bahkan sebagian dari mereka mengklaim ijma' atas hal itu adalah secara definitif, taklid adalah mengamalkan perintah seorang mujtahid, (menurut sebagian definisi, menerima ucapan orang lain secara ta'abbud, tanpa mengetahui dalinya) meskipun kita tidak mengetahui kenyataan sebenarnya. Padahal, ayat dan hadis-hadis[10] memiliki indikasi, dalam Ushuluddin harus terwujud sebuah keyakinan dan keimanan. Arti iman adalah kemantapan dan keyakinan hati. Dan arti iman ini kontradiksi dengan definisi taklid di atas.

Dengan kata lain, sesuatu yang dapat mendatangkan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat dan menyelematkannya dari cengkeraman siksa dan kesengsaraan adalah keyakinan hati dan keimanan yang kokoh. Sesuatu yang dapat membuatnya bisa mengambil manfaat dari keberadaan agama hanyalah keyakinan hati dan keimanan yang mendalam. Dan kondisi ini sangat berbeda dengan masalah taklid dan tidak dapat diwujudkan hanya dengan ucapan orang lain. Atas dasar ini, taklid-sesuai dengan definisi di atas, mengamalkan ketentuan seorang mujtahid atau menerima ucapan orang lain tanpa dalil dan secara ta'abbudi-tidak berlaku di sini.

Bahkan, layak kita camkan bahwa memperoleh sebuah keyakinan tentang Ushuluddin adalah sebuah keutamaan jiwa. Mengetahui dan meyakini (keberadaan) Allah dan sifat-sifat kesempurnaan-Nya, mengenal para hujjah Ilahi, perantara faidh dan pemimpin yang hak, mencari ilmu dan keyakinan tentang Ma'ad serta kembali kepada Allah adalah salah satu kesempurnaan jiwa manusia dan penyebab ia akan terselamatkan dari jurang kebodohan. Dan berdasarkan hukum akal, mendapatkan semua itu amatlah diharapkan, terpuji dan lazim.


Keyakinan Terhadap Allah Yang Maha Esa
أَفِي اللهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضِ

"Apakah dalam (keberadaan) Allah, Pencipta seluruh langit dan bumi terdapat keraguan?"[11]

Pengetahun dan pengakuan terhadap keberadaan Allah Ta'ala adalah sesuatu yang gamblang, dan orang-orang kafir sekalipun mengakui hal itu. Allah berfirman:

وَ لَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضَ وَ سَخَّرَ الشَّمْسَ وَ الْقَمَرَ لَيَقُوْلُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُوْنَ

"Dan jika engkau bertanya kepada mereka: 'Siapakah yang menciptakan seluruh langit dan bumi serta menundukkan matahari dan bulan?', niscaya mereka akan berkata: 'Allah.' Lalu, betapakah mereka dapat dipalingkan (dari kebenaran)!"[12]

Oleh karena itu, ketika Rasulullah saw diangkat menjadi nabi, beliau mengajak mereka kepada tauhid (pengesaan Allah), bukan kepada pengakuan terhadap keberadaan Allah.

Sumber pengakuan dan naluri ini adalah fitrah dan kemampuan batiniah yang telah diletakkan oleh Allah di dalam diri setiap manusia. "Fitrah Allah yang Ia telah menciptakan manusia sesuai dengannya."[13]

Ya! Allah telah meletakkan hakikat ini di dalam diri setiap manusia. Oleh karena itu, di dalam diri dan jiwanya ia merasakan tidak dibiarkan sendirian. Bahkan, ia (merasakan) memiliki hubungan langsung dengan sebuah Mabda` (Sumber Utama) yang selalu memeliharanya, membantunya dan mengawasi segala pemikiran dan kelakuannya, Sumber Utama yang menguasai seluruh dunia dan seluruh makhluk dapat tegak kerana-Nya.

Setiap orang yang mau merenungkan akan meyakini bahwa seluruh alam semesta ini mengikuti irama sebuah keteraturan dan
undang-undang. Dan karena keteraturan dan undang-undang inilah ia dapat memanfaatkan seluruh isi alam semesta ini; ia dapat bernafas, minum air, memakan tetumbuhan (yang dapat dimakan), dan menikmati sinar matahari.

Begitu juga ia memahami bahwa seluruh alam semesta ini bersumber dari satu kekuatan dan sumber utama dan dijalankan oleh satu kehendak. Sesuai dengan fitrah dan pemahaman ini, ia akan meminta pertolongan-Nya ketika ia memerlukan sebuah hajat, ia akan berlindung kepada-Nya ketika ditimpa sebuah kesulitan, dan ia menjalani kehidupan dengan penuh harapan ketika ia mendapatkan nikmat.

Dan kita maklumi bersama bahwa perasaan dan pemahaman semacam ini tidak bersumber dari kebodohan dan kelemahannya. Karena ketika seseorang-dari golongan apa pun ia berasal-melucutkan dirinya dari segala jenis teori ilmiah, keyakinan, dan adat-istiadat, dan mengasumsikan dirinya sebagai sebuah makhluk yang baru lahir pada saat ini sehingga ia belum pernah melihat siapa pun dan belum juga mendengarkan suara apa pun, apakah yang akan ia lihat ketika ia memperhatikan kepada diri dan alam sekitarnya? Ia akan mendapatkan dirinya sebagai makhluk yang memiliki mata, telinga, pemahaman dan kecerdasan yang hidup di sebuah pojok dunia ini.
Ketika ia memandang ke setiap penjuru, ia melihat dunia ini tidak berakhir. Ia melihat dunia ini begitu besar dan dirinya sangat kecil. Di bawah kakinya terhampar bumi yang penuh dengan segala keajaiban dan di atas kepalanya terbentang langit yang penuh dengan keanehan. Ia menyaksikan segala aktifitas dan gerakan di dunia ini. Ia melihat matahari dan bulan terbit dan terbenam, malam dan siang datang silih berganti dengan teratur, dan bulan dan musim-musim datang silih berganti dengan teratur dan perhitungan yang jitu. Ketika malam tiba, langit dipenuhi dengan bintang-gumintang yang berkelap-kelip indah. Ia melihat pepohonan yang biji asalnya sangat kecil dan dapat digenggam oleh tangannya. Akan tetapi, setelah beberapa waktu berlalu, biji kecil itu akan berubah menjadi sebuah pohon yang sangat tegar dengan ranting-rantingnya yang panjang, dedaunan dan kuncup bunganya yang berwarna-warni dan buah-buahannya yang beraneka ragam yang memiliki rasa dan bau yang dapat membangkitkan semangat dan selera. Ia melihat hewan yang memiliki bentuk, ukuran dan naluri yang beraneka-ragam. Ia melihat beberapa makhluk lahir ke dunia dan musnah kembali, hidup dan mati kembali. Ia menyaksikan aktifitas kehidupan dari pepohonan hingga manusia. Ia melihat keagungan dan seluruh perincian ciptaan dirinya. Ia menyaksikan sekujur tubuhnya, tulang-belulang dan segala jenis urat badan, keajaiban susunan tulang kepala, mata, telinga, wajah, alat pencernaan, sirkulasi darah, detak jantung, penciptaan tangan, jari-jemari, penyusunan anggota badan, pemasokan makanan dan bahan-bahan penting ke badan, alat reproduksi keuturnan, peran akal, syahwat, kekuatan khayal dan seluruh kekuatan yang tak terlihat di dalam dirinya. Secara tidak sadar ia akan berkata:

Wahai Dzat dari-Mu-lah segala sesuatu terwujud ** tanah yang lemah menjadi kuat karena-Mu.

Segala wujud di bawah naungan ilmu-Mu ** kami tegak karena-Mu dan Engkau tegak karena Dzat-Mu.

Dengan penuh pasrah ia akan berkata:

Wahai Dzat dari wujud-Mu wujud segala sesuatu ** serpihan dari wujud-Mu wujud segala sesuatu.

Tiadakan dan adakan, ada dan tiada ** selain diri dan ciptaan-Mu tiada.

Ya! Dalam kondisi seperti ini, seseorang dapat melihat satu kehendak, satu kehidupan, satu kekuatan, satu ilmu dan satu wujud hakiki yang memiliki semua sifat tersebut dan berperan sebagai ruh alam semesta ini dengan sepenuh hatinya. Ia melihat-Nya menguasai segala sesuatu, mengetahuinya, kuasa atasnya dan mengaturnya. Ia pun melihat dirinya sangat bergantung kepada-Nya meskipun ia tidak dapat memahami substansin-Nya dan tidak mengetahui rahasia penciptaan alam semesta dan dirinya. Akan tetapi, sebatas ini ia dapat memahami bahwa alam semesta ini memiliki seorang pencipta yang bernama Allah, dan ia juga memahami bahwa pemahaman semacam ini juga terdapat di dalam fitrah setiap maujud dan segala sesuatu dengan segala wujudnya sangat bergantung kepadanya, serta segala sesuatu dengan segala wujudnya mengakui keberadaannya. Dan secara naluri, mereka akan tunduk di hadapan keagungan-Nya dan menyembah-Nya.

وَ ِللهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضِ

"Dan hanya kepada Allah-lah segala yang berada di langit dan bumi sujud."[14]

إِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ اخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

"Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal."[15]

Ya! Orang yang memiliki pemahaman dan akal, dengan sedikit perhatian, akan memahami bahwa seluruh alam semesta ini dipenuhi oleh kehidupan, perasaan, penglihatan dan pendengaran, dan seluruh makhluk bermunajat kepada Penciptanya melalui bahasa batin mereka, mengakui keberadaan-Nya, bertasbih dan menyucikan-Nya.

يُسَبِّحُ ِللهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَ مَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ الْعَزِيْزِ الْحَكِيْمِ

"Segala yang terdapat di langit dan bumi bertasbih kepada Allah, Raja Diraja Yang Maha Qudus, Perkasa dan Bijaksana."[16]

Di sinilah secara naluri seseorang memahami Pencipta dirinya dan selalu mencari-Nya. Dan tidak mungkin ia tidak mencari-Nya. Di sinilah ia akan bangkit untuk menghamba dan menaaati-Nya. Di sinilah meskipun ia adalah orang yang celaka dan zalim, ia pasti merintih di haribaan Allah-nya. Di sinilah kita harus memandang batin seseorang dan tidak hanya menghukumi lahiriahnya saja. Mungkin kita sangat zalim, tapi

Siang hari Musa di haribaan Maha Hak merintih ** malam hari Fir'aun pun menangis.

Di sinilah ia akan mencari seorang utusan-Nya dan ingin mempelajari cara menghamba dan menyembah-Nya darinya demi mendekatkan diri kepada-Nya, melaksanakan kewajiban-kewajibannya terhadap-Nya dan mencegah diri untuk menentang-Nya.

Imam Shadiq as berkata:

وَجَدْتُ عِلْمَ النَّاسِ كُلِّهِمْ فِيْ أَرْبَعٍ: أَوَّلُهَا أَنْ تَعْرِفَ رَبَّكَ، وَ الثَّانِيْ أَنْ تَعْرِفَ مَا صَنَعَ بِكَ، وَ الثَّالِثُ أَنْ تَعْرِفَ مَا أَرَادَ مِنْكَ، وَ الرَّابِعُ أَنْ تَعْرِفَ مَا يُخْرِجُكَ مِنْ دِيْنِكَ

"Aku menemukan ilmu seluruh manusia dalam empat hal: pertama, hendaknya engkau mengenal Tuhanmu, kedua, hendaknya engkau mengenal apa yang telah Ia perbuat denganmu, ketiga, hendaknya engkau mengetahui apa yang Ia inginkan darimu, dan keempat, hendaknya engkau mengetahui apa yang dapat mengeluarkanmu dari agamamu."[17]

Amirul Mukminin Alias berkata: "Allah mengutus para rasul-Nya supaya mereka mengingatkan manusia akan tuntutan fitrahnya, mengingatkan nikmat Ilahi kepadanya, menyampaikan hujjah Ilahi kepadanya, membangkitkan rahasia-rahasia Ilahi yang tersembunyi di dalam dirinya, dan menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Ilahi yang terdapat di bumi dan langit."[18]


Catatan Kaki:
[1]Surah ar-Rum: 30.

[2]Surah ar-Ra'd: 28.

[3]Surah ad-Dahr: 7-9.

[4]Nahjul Bal?ghah, Shubhi Salih, Khotbah 224.

[5]Surah an-Nahl: 97.

[6]Surah Ali Imran: 103.

[7]Surah an-Nahl: 90.

[8]Surah al-Maidah: 2.

[9]Al-'Urwah al-Wutsq?, masalah ke-67.

[10] Allah berfirman: "Barangsiapa mengingkari Allah setalah keimanannya, (maka hal itu akan mendatangkan siksa) kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya masih memiliki keimanan (yang kokoh)." (QS. An-Nahl: 106) Dalam ayat yang lain Ia berfirman: "Orang-orang Arab Badui itu berkata: 'Kami telah beriman.' Katakanlah: 'Kalian belum beriman. Akan tetapi, katakanlah: 'Kami telah masuk Islam (pasrah diri), dan iman belum masuk ke dalam relung hati kalian'." (QS. Al-Hujurat: 14) Diriwayatkan dari Rasulullah saw sebaagi hadis yang mutawatir dari kedua mazhab: "Barangsiapa meninggal dunia sedangkan ia tidak mengenal imam pada zamanya, maka ia meninggal dunia seperti kematian Jahiliah." (Bih?r al-Anw?r, jilid 23, hal. 76-95)

[11]Surah Ibrahim: 10.

[12]Surah al-'Ankabut: 61.

[13]Surah ar-Rum: 30.

[14]Surah ar-Ra'd: 16.

[15]Surah Ali 'Imran: 188.

[16]Surah al-Jumu'ah: 1.

[17]Syeikh Shaduq, al-Khish?l, bab 4, hadis ke-87.

[18]Nahjul Bal?ghah, khotbah 1.



3
Ringkasan Akidah Syi'ah

TAUHID
Tauhid termasuk rukun pertama dari Ushuluddin. Tauhid adalah meyakini bahwa Tuhan semesta alam adalah Esa. Ia tidak tersusun dari bagian dan sifat-sifat(-Nya).

Kami akan menyebutkan sebagian argumentasi mengenai hal ini.

Ketika kita memperhatikan seluruh makhluk yang berada di alam semesta ini, kita akan memahami bahwa di dalamnya terdapat sebuah keteraturan khusus yang mendominasinya. Meskipun di antara spisies makhluk tersebut terdapat perbedaan dan kontradiksi yang nyata, serta memiliki perbedaan dalam segi kualitas dan kuantitas, akan tetapi mereka semua saling memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, layaknya anggota badan, dan diatur oleh satu sistem dan undang-undang.

Jelas bahwa kesatuan sistem dan susunan yang khas ini tidak akan terealisasikan kecuali dengan keesaan pencipta. Di dalam al-Quran Allah berfirman:

وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَ لَعَلاَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ

"Dan tidak terdapat tuhan lain bersama-Nya. Jika demikian, niscaya setiap tuhan akan pergi membawa ciptaannya (ke suatu tempat tersendiri dan ia akan mengaturnya) dan sebagian dari mereka akan lebih tinggi dari lainnya."[1]

Dengan kata lain, meskipun seluruh makhluk alam semesta ini memiliki bentuk yang beraneka-ragam dan hakikat yang berbeda, akan tetapi mereka mengikuti satu aturan, dan setiap dari mereka sesuai dengan kemampuan wujudnya menempuh jalannya masing-masing. Atas dasar ini, mereka terjaga dari kehancuran dan kerusakan. Hal ini tidak mungkin terjadi kecuali dengan adanya keesaan pencipta mereka.

Di dalam al-Quran Allah telah mengisyaratkan kepada argumentasi ini seraya berfirman:

لَوْ كَانَ فِيْهِمَا آلِهَةٌ إِلاَّ اللهَ لَفَسَدَتَا

"Seandainya di dalam langit dan bumi itu terdapat tuhan-tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan hancur berantakan."[2]

Ya! Dengan merenungkan diri sendiri, seluruh binatang yang bernyawa, pegunungan, padang sahara, hutan, lautan, bumi, langit, matahari, bintang-gumintang, siang dan malam, pergantian musim dalam setahun ... dan keteraturan yang mendominsainya, kita akan yakin bahwa seluruh alam semesta ini dengan sistemnya yang teratur dan menakjubkan itu adalah ciptaan seorang Pencipta
Yang Maha Esa dan tak bersekutu. Ia telah bersaksi atas keesaan diri-Nya dalam firman-Nya:

شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ

"Allah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Ia."[3]

Ia juga telah menyifati diri-Nya dengan keesaan dan ketidakbersekutuan seraya berfirman:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ * قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ * اَللهُ الصَّمَدُ * لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ * وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang * Katakanlah: 'Ia adalah Allah Maha Esa * Allah yang tidak membutuhkan kepada selain-Nya dan selain-Nya membutuhkan kepada-Nya * Ia tidak beranak dan tidak diperanakkan * Dan tiada seorang pun yang serupa dengan-Nya."

Amirul Mukminin Ali as pernah berpesan kepada putra beliau, Imam Hasan as:

وَ اعْلَمْ يَا بُنَيَّ أَنَّهُ لَوْ كَانَ لِرَبِّكَ شَرِيْكٌ لَأَتَتْكَ رُسُلُهُ وَ لَرَأَيْتَ آثَارَ مُلْكِهِ وَ سُلْطَانِهِ وَ لَعَرَفْتَ أَفْعَالَهُ وَ صِفَاتِهِ، وَ لَكِنَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ

"Wahai putraku! Ketahuilah jika Tuhanmu memiliki sekutu, para utusannya juga pasti datang kepadamu, engkau akan melihat tanda-tanda kerajaan dan kekuasaannya dan mengenal pekerjaan dan sifat-sifatnya. Akan tetapi, Ia adalah Tuhan Yang Maha Esa seperti Ia telah menyifati diri-Nya."[4]

Ya! Alam semesta ini memiliki Pencipta Yang Maha Esa, Maha Bijkasana dan Maha Kuasa. Seluruh wujud, kekekalan dan perputaran alam semesta ini berasal dari-Nya. Tidak satu pun makhluk yang dapat keluar dari kekuasaan-Nya, dan Ia adalah Maha
Pengasih dan Maha Penyayang. Ia tidak pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Ia tidak terbentuk dari materi. Ia adalah Maha Tunggal dan Maha Tak Terbatas. Ia mengetahui segala sesuatu. Ia menguasi seluruh alam semesta. Ia ada dan akan selalu ada.


Catatan Kaki:
[1] Surah al-Mu`minun: 91.

[2] Surah al-Anbiya`: 22.

[3] Surah Ali 'Imran: 18.

[4] Nahjul Balâghah, Shubhi Salih, surat ke-31.


4
Ringkasan Akidah Syi'ah

KEADILAN ILAHI
Salah satu pokok mazhab Syi'ah adalah keadilan Ilahi. Karena keadilan adalah salah satu sifat kesempurnaan dan Allah memiliki seluruh sifat kesempurnaan serta terbebaskan dari segala bentuk kekurangan. Oleh karena itu, kezaliman dan kejelekan tidak akan ditemukan di dalam diri Allah. Karena kezaliman dan kejelekan adalah salah satu kelakuan tak layak yang bersumber dari kebodohan, ketidakmampuan dan rasa membutuhkan. Sedangkan Allah mengetahui segala sesuatu, mampu atas segala sesuatu dan tidak membutuhkan kepada suatu apa pun. Atas dasar ini, seorang Muslim harus meyakini bahwa Allah adalah Maha Adil dan telah mengaktualisasikan keadilan dalam setiap pekerjaan-Nya.

Dalam al-Quran yang mulia disebutkan:

شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَ الْمَلاَئِكَةُ وَ أُولُوا الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ

"Allah bersaksi sedangkan Ia selalu melakukan keadilan bahwa tiada Tuhan selain Ia. Begitu juga para malaikat dan orang-orang yang berilmu."[1]

Kesimpulannya, berdasarkan hukum akal, ayat dan hadis dapat dibuktikan bahwa Allah adalah Maha Adil. Segala yang diciptakannya, Ia telah menciptakannya dengan keteraturan, ukuran dan kalkulasi tertentu. Seluruh alam semesta ini didominasi oleh keseimbangan dan keserasian. Rasulullah saw bersabda: "Langit dan bumi tegak dengan keadilan."

Dunia bak garis, tahi lalat, mata dan alis mata ** segala sesuatu di tempatnya masing-masing jitu.
Kita mengakui bahwa kita tidak memiliki pengetahuan sempurna tentang alam semesta ini dan belum meneliti seluruh makhluk yang berada di dalamnya, dan kita tidak akan pernah mampu untuk itu. Akan tetapi, setiap kali kita mengetahui satu sisi dari alam semesta ini, kita hanya menyaksikan keteraturan, kalkulasi (yang jitu) dan keadilan di situ. Dari sini kita dapat meyakini keadilan Pencipta alam semesta ini.

Atas dasar ini, Allah adalah Maha Adil, baik dalam penciptaan maupun di dalam perhitungan pada hari Kiamat. Ia menciptakan setiap kejadian, pahala dan siksa di tempatnya masing-masing berdasarkan kemaslahatan dan keberhakan (setiap makhluk). Hak setiap makhluk belum pernah dizalimi dan tidak akan pernah dizalimi. Segala bentuk kekurangan, keburukan, bahaya, kejelekan dan lain-lain (yang kita saksikan di dunia ini) adalah hasil perbandingan titik lawannya, seperti kebaikan, kemakmuran dan manfaat.

Jika tidak, segala sesuatu di tempatnya masing-masing dan setiap kondisi dalam kondisinya masing-masing dan dibandingkan dengan keseluruhan sistem alam semesta ini adalah tepat dan kebaikan belaka.

Tak ada kejelekan mutlak di dunia ini ** kejelekan adalah perbandingan ketahuilah ini.

Allah telah menciptakan setiap orang sebagai makhluk yang dapat memilih dan memberikan kepadanya akal supaya ia dapat membedakan antara yang baik dan jelek. Ia juga telah mengutus para nabi supaya membantunya dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, mengajaknya untuk menempuh jalan kebahagiaan dan kebaikan dan mencegah mereka dari melakuan setiap kejelekan dan segala yang mendatangkan kesengsaraan. Semua itu adalah sangat tepat, kemaslahatan dan kebaikan.

Dengan demikian, ketika ia memilih kebaikan, ia berhak mendapatkan pahala dan jika ia memilih jalan keburukan, ia berhak menerima balasan. Dan berdasarkan keadilan, Allah akan memberikan pahala kepada orang yang berbuat kebaikan dan memberikan balasan kepada orang yang berbuat kejahatan sesuai dengan kejahatannya. Dan hal ini adalah keadilan murni dan tidak dapat dianggap sebagai sebuah kezaliman.

Dalam al-Quran Ia berfirman:

وَ نَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلاَ تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا

"Dan pada hari Kiamat Kami akan mendirikan timbangan-timbangan yang adil. Dengan demikian, tak seorang pun dapat terzalimi."[2]

Dalam ucapan sebagian ulama disebutkan bahwa Allah berfirman: "Aku zalim jika tidak membalas orang yang zalim."


Catatan Kaki:
[1]Surah Ali 'Imran: 18.

[2]Surah al-Anbiya`: 47.


5
Ringkasan Akidah Syi'ah

KENABIAN
Dari pembahasan yang lalu telah jelas bahwa manusia menurut fitrah dan batinnya adalah makhluk yang selalu ingin mencari Allah dan ingin bertaqarrub kepada-Nya. Oleh karena itu, ia merasa memerlukan seorang penunjuk jalan (untuk itu). Dari satu sisi, Allah telah meletakkan di dalam diri manusia naluri dan keinginan yang beraneka-ragam, dan bahkan kontradiktif.

Jika semua naluri dan keinginan itu tidak diluruskan oleh seorang penunjuk jalan dan ia dibiarkan bebas, sudah pasti ia akan menjerumuskan diri dan masyarkatnya ke dalam jurang kehancuran. Atas dasar ini, luthf (belas-kasih) Ilahi menuntut supaya Ia menentukan para penunjuk jalan demi memberikan petunjuk kepadanya, dan sangat tidak layak jika Allah Yang Maha Bijaksana dan Pengasih yang mengetahui segala kebutuhan material dan spiritual umat manusia dan jalan kebahagiaan dan keselamatannya meninggalkannya sendirian.

Atas dasar ini, Ia telah mengutus para penunjuk jalan dari bangsa manusia sendiri yang memiliki kelayakan untuk menyampaikan missi Ilahi supaya ia berperan sebagai perantara antara Allah dan masyarakat, dan menerima pesan dari-Nya untuk kemudian menyampaikannya kepada mereka.

Demi tujuan di atas, Ia telah mengutus sebanyak seratus dua empat ribu nabi. Di antara jumlah itu, terdapat lima nabi yang dikenal para nabi Ulul 'Azam dan memiliki syari'at baru. Mereka adalah Nabi Nuh as, Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, Nabi Isa as dan Nabi Muhammad saw. Kita menerima mereka sebagai nabi dan menghormati mereka, serta menyatakan mereka bebas dari segala doa dan kesalahan (ma'shum).

Akan tetapi, mengingat Muhammad bin Abdillah saw adalah pamungkas para nabi dan penyempurna agama-agama sebelumnya yang dengan demikian, inti sari semua agama terdapat di dalam ajaran beliau, dan hukum serta hidayah beliau adalah hukum terbaik dan tersempurna, kita berkewajiban untuk mempelajari tugas keagamaan kita dari beliau dengan meyakininya dan beramal sesuai dengannya.


Biografi Ringkas Rasulullah saw
Nabi Muhammad saw berasal dari kabilah Quraisy, tepatnya keturunan Hasyim. Ayah beliau adalah Abdullah bin Abdul Muthalib, cucu Hasyim. Ibunda beliau adalah Aminah binti Wahb yang berasal dari keturunan Bani Zuhrah, salah satu kabilah Quraisy.

Setelah menikah, Abdullah melakukan pepergian ke Syam. Ketika pulang dari pepergian itu, ia wafat di Madinah dan dikuburkan di kota itu juga.

Setelah beberapa bulan dari wafatnya sang ayah berlalu, Nabi pamungkas para nabi lahir di bulan Rabi'ul Awal, tahun 571 Masehi di Makkah, dan dengan kelahirannya itu, dunia menjadi terang-benderang. Sesuai dengan kebiasaan para bangsawan Makkah, ibundanya menyerahkan Muhammad kecil kepada Halimah Sa'diyah dari kabilah Bani Sa'd untuk disusui. Beliau tinggal di rumah
Halimah selama empat tahun. Setelah itu, sang ibu mengambilnya kembali.

Dengan tujuan untuk berkunjung ke kerabat ayahnya di Madinah, sang ibunda membawanya pergi ke Madinah. Dalam perjalanan pulang ke Makkah, ibundanya wafat dan dikebumikan di Abwa`, sebuah daerah yang terletak antara Makkah dan Madinah. Setelah ibunda beliau wafat, secara bergantian, kakek dan paman beliau, Abdul Muthalib dan Abu Thalib memelihara beliau. Pada usia dua puluh lima tahun, beliau menikah dengan Khadijah yang waktu itu sudah berusia empat puluh tahun. Beliau menjalani hidup bersamanya selama dua puluh lima tahun hingga ia wafat pada usia enam puluh lima tahun.

Pada usia empat puluh tahun, beliau diutus menjadi nabi oleh Allah. Ia mewahyukan kepada beliau al-Quran yang seluruh manusia dan jin tidak mampu untuk menandinginya. Ia menamakan beliau sebagai pamungkas para nabi dan memujinya karena kemuliaan akhlaknya.

Beliau hidup di dunia ini selama enam puluh tiga tahun. Kita dapat mengklasifikasikan usia beliau yang penuh berkah ini dalam tiga klasifikasi besar:

a. Empat puluh tahun pertama hingga pengangkatan menjadi nabi.

b. Tiga puluh tahun masa kenabian hingga beliau hijrah ke Madinah.

c. Sepuluh tahun pasca hijrah hingga beliau wafat.

Menurut pendapat masyhur, beliau wafat pada hari Senin bulan Shafar 11 Hijriah di Madinah.


Bukti Kenabian Rasulullah saw
Secara global, kenabian seorang nabi dapat diketahui melalui tiga jalan:

a. Pengakuan sebagai nabi.

b. Kelayakan menjadi nabi.

c. Mukjizat.


Pengakuan Sebagai Nabi
Telah diketahui oleh setiap orang bahwa Rasulullah saw telah mengaku sebagai nabi di Makkah pada tahun 611 M., masa di mana syirik, penyembahan berhala dan api telah menguasai seluruh dunia. Hingga akhir usia, beliau selalu mengajak umat manusia untuk memeluk agama Islam, dan sangat banyak sekali di antara mereka yang mengikuti ajakan beliau itu.


Kelayakan Menjadi Nabi
Maksud asumsi di atas adalah seorang yang mengaku menjadi nabi harus memiliki akhlak dan seluruh etika yang terpuji, dari sisi kesempurnaan jiwa harus orang yang paling utama, tinggi dan sempurna, dan terbebaskan dari segala karakterisitik yang tidak terpuji. Semua itu telah dimiliki oleh Rasulullah saw. Musuh dan teman memuji beliau karena akhlaknya, memberitakan sifat-sifat sempurna dan kelakuan terpujinya dan membebaskannya dari setiap karakterisitik yang buruk.

Kesimpulannya, akhlak beliau yang mulia, tata krama beliau yang terpuji, perubahan dan revolusi yang beliau cetuskan di seanterao dunia, khususnya di Hijaz dan jazirah Arab, dan sabda-sabda beliau yang mulia berkenaan dengan tauhid, sifat-sifat Allah, hukum halal dan haram, serta nasihat-nasihat beliau telah membuktikan kelayakan beliau untuk menduduki kursi kenabian, dan setiap orang yang insaf tidak akan meragukan semua itu.


Mukjizat
Mukjizat dapat disimpulkan dalam lima hal:

a. Mukjizat akhlak.

b. Mukjizat ilmiah.

c. Mukjizat amaliah.

d. Mukjizat maknawiyah.

e. Mukjizat keturunan.


Mukjizat Akhlak
Sejak masa muda, Nabi Muhammad saw telah dikenal dengan kejujuran, amanat, kesabaran, ketegaran, dan kedermawanan.
Dalam kesabaran dan kerendahan diri beliau tidak memiliki sekutu dan dalam kemanisan etika beliau tak tertandingi.
"Sesungguhnya engkau berada di puncak akhlak yang agung." Dalam memaafkan, beliau tak ada taranya. Ketika mendapatkan gangguan dan cemoohan masyarakatnya, beliau hanya berkata:

"Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui."

Beliau selalu mengharapkan kebaikan seluruh umat manusia, penyayang dan belas-kasih terhadap mereka. "Ia belas-kasih dan pengasih terhadap Mukminin."

Beliau tidak pernah menyembunyikan keceriaan wajah terhadap para sahabat dan selalu mencari berita tentang kondisi mereka.
Beliau selalu memberikan tempat khusus kepada orang-orang baik di sisi beliau. Orang yang paling utama di sisi beliau adalah orang yang dikenal dengan kebajikanya terhadap Muslimin dan orang yang termulia adalah orang yang lebih bertindak toleran dan tolong-menolong terhadap umat Islam. Beliau tida pernah duduk dan bangun (dari duduk) kecuali dengan menyebut nama Allah dan mayoritasnya, beliau duduk menghadap ke arah Kiblat. Beliau tidak pernah menentukan tempat duduk khusus bagi dirinya.

Beliau memperlakukan masyarakat sedemikian rupa sehingga mereka merasa dirinya adalah orang termulia di sisi beliau. Beliau tidak banyak berbiacara dan tidak pernah memotong pembicaraan seseorang kecuali ia berbicara kebatilan. Beliau tidak pernah mencela dan mencerca seseorang. Beliau tidak pernah mencari-cari kesalahan orang lain. Budi pelerti beliau yang menyeluruh telah meliputi seluruh umat manusia.

Beliau selalu sabar menghadapi perangai buruk bangsa Arab dan orang-orang yang asing bagi beliau. Beliau selalu duduk di atas tanah dan duduk bersama orang-orang miskin serta makan bersama mereka. Dalam makan dan berpakaian, beliau tidak pernah melebihi rakyat biasa. Setiap berjumpa dengan seseorang, beliau selalu memulai mengucapkan salam dan berjabat tangan dengannya. Beliau tidak pernah mengizinkan siapa pun berdiri (untuk menghormati)nya.

Beliau selalu menghormati orang-orang berilmu dan berakhlak mulia. Dibandingkan dengan yang lain, beliau lebih bijaksana, sabar, adil, berani dan pengasih. Beliau selalu menghormati orang-orang tua, menyayangi anak-anak kecil dan membantu orang-orang yang terlantar. Sebisa mungkin, beliau tidak pernah makan sendirian. Ketika beliau meninggal dunia, beliau tidak meninggalkan sekeping Dinar dan Dirham pun.

Keberanian beliau sangat terkenal sehingga Imam Ali as pernah berkata: "Ketika perang mulai memanas, kami berlindung kepada beliau."

Rasa memaafkan beliau sangat besar. Ketika berhasil membebaskan Makkah, beliau memegang pintu Ka'bah seraya bersabda (kepada musyrikin Makkah): "Apa yang kalian katakan dan sangka sekarang?" Mereka menjawab: "Kami mengatakan dan menyangka kebaikan (terhadapmu). Engkau adalah seorang pemurah dan putra seorang pemurah. Engkau telah berhasil berkuasa terhadap kami. Engkau pasti mampu melakukan apa yang kau inginkan." Mendengar pengakuan mereka ini, hati beliau tersentuh dan menangis. Ketika penduduk Makkah melihat kejadian itu, mereka pun turut menangis. Setelah itu beliau bersabda: "Aku mengatakan seperti apa yang pernah dikatakan oleh saudaraku Yusuf bahwa 'Tiada cercaan bagi kalian pada hari ini. Allah akan mengampuni kalian, dan Ia adalah Lebih Pengasih dari para pengasih'." (QS. Yusuf: 92) Beliau memaafkan seluruh kriminalitas dan kejahatan yang pernah mereka lakukan seraya mengucapkan sabda beliau yang spektakuler: "Pergilah! Kalian bebas."


Mukjizat Ilmiah
Dengan merujuk kepada buku-buku yang memuat sabda, pidato dan nasihat-nasihat beliau secara panjang lebar, mukjizat ilmiah beliau ini dapat dipahami dengan jelas.


Mukjizat Amaliah
Dapat diakui bahwa seluruh perilaku beliau dari sejak lahir hingga wafat adalah sebuah mukjizat. Dengan sedikit merenungkan kondisi dan karakteristik masyarakat Hijaz, khususnya masyarakat kala itu, kemukjizatan seluruh perilaku beliau akan jelas bagi kita. Beliau bak sebuah bunga yang tumbuh di ladang duri. Beliau tidak hanya tidak terpengaruh oleh karakteristik duri-duri itu, bahkan beliau berhasil merubahnya. Beliau tidak hanya terpengaruh oleh kondisi kehidupan masyarakat kala itu, bahkan beliau berhasil mempengaruhi gaya hidup mereka.

Dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun, beliau telah berhasil melakukan empat pekerjaan besar dan fundamental meskipun banyak aral melintang dan problema yang melilit. Masing-masing pekerjaan itu dalam kondisi normal semestinya memerlukan usaha bertahun-tahun untuk dapat tegak berdiri sepanjang masa. Keempat pekerjaan besar itu adalah sebagai berikut:

Pertama, berbeda dengan agama-agama yang sedang berlaku pada masa beliau, beliau mendirikan sebuah agama baru yang bersifat Ilahi. Beliau telah berhasil menciptakan banyak orang beriman kepada agama tersebut sehingga sampai sekarang pun pengaruh spiritual beliau masih kuat tertanam di dalam lubuk hati ratusan juta pengikutnya. Menjadikan seseorang taat adalah sebuah pekerjaan yang mudah. Akan tetapi, menundukkan hati masyarakat, itu pun sebuah masyarakat fanatis dan bodoh tanpa syarat dan menjadikan mereka taat dari lubuk hati bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah.

Kedua, dari kabilah-kabilah berpecah-belah yang selalu saling bermusuhan dan memiliki hobi berperang, beliau berhasil sebuah umat yang satu dan menjalin persaudaraan, persamaan, kebebasan dan kesatun kalimat dalam arti yang sebenarnya di antara mereka. Setelah beberapa tahun berlalu, beliau berhasil membentuk sebuah umat yang bernama umat Muhammad saw. Hingga sekarang umat ini masih eksis dan terus bertambah.

Ketiga, di tengah-tengah kabilah yang berpecah-belah, masing-masing memiliki seorang pemimpin, biasa melakukan pekerjaan secara tersendiri dan tidak pernah memiliki sebuah pemerintahan yang terpusat itu, beliau berhasil membentuk sebuah pemerintahan yang berlandaskan kepada kebebasan dan kemerdekaan yang sempurna. Dari sisi kekuatan dan kemampuan, pemerintahan ini pernah menjadi satu-satunya pemerintahan mutlak di dunia setelah satu abad berlalu.

Beliau pernah menulis enam surat dalam satu hari kepada para raja penguasa masa itu dan mengajak mereka untuk memeluk Islam, raja-raja yang menganggap diri mereka berada di puncak kekuatan dan meremehkan kaum Arab.

Ketika surat beliau sampai ke tangan raja Iran dan melihat nama beliau disebutkan di atas namanya, ia marah seraya memerintahkan para suruhannya untuk pergi ke Madinah dan membawa Muhammad ke hadapannya.

Ya! Para raja itu berpikir bahwa bangsa Arab adalah sebuah bangsa yang tidak akan menunjukkan reaksi apa pun di hadapan pasukan kecil seperti bala tentara Habasyah. Bahkan, mereka akan lari tunggang-langgang meninggalkan Makkah dan kehidupan mereka, serta berlindung ke gunung-gunung. Mereka tidak dapat memahami bahwa bangsa Arab telah memiliki seorang pemimpin Ilahi dan mereka bukanlah bangsa Arab yang dulu lagi.

Keempat, dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun, beliau telah menetapkan dan menunjukkan sederetan undang-undang yang mencakup seluruh kebutuhan umat manusia. Undang-undang ini akan tetap kekal hingga hari Kiamat, dan mempraktikkannya dapat mendatangkan kebahagiaan umat manusia. Undang-undang ini tidak akan pernah layu. "Kehalalan Muhammad adalah halal selamanya hingga hari Kiamat dan keharamannya adalah haram selamanya hingga hari Kiamat."[1] Undang-undang ini akan selamanya hidup kekal. Di hauzah-hauzah ilmiah selalu dibahas dan didiskusikan oleh para fuqaha besar dalam sebuah obyek pembahasan fiqih, Furu'uddin dan kewajiban amaliah.


Mukjizat Ma'nawiyah
Mukjizat abadi beliau adalah al-Quran yang telah turun kepada beliau dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun, dan dari sejak saat itu hingga sekarang selalu mendapatkan perhatian dan penelaahan dari berbagai segi oleh seluruh masyarakat dunia. Kitab ini berhasil membangkitkan rasa heran para ilmuan dan sepanjang masa masih memiliki kekokohan dan kedudukannya yang mulia.
Kitab ini terselamatkan dari segala bentuk tahrif, pengurangan dan penambahan. Ratusan tafsir dan buku tentang hakikat arti dan kosa katanya telah ditulis. Allah telah menjamin keterjagaannya dalam firman-Nya:

"Kami-lah yang telah menurunkan al-Quran ini dan Kami pulalah yang akan menjaganya."[2]


Mukjizat Keturunan
Salah satu mukjizat beliau yang lain adalah keturunan suci beliau yang terjaga dari dosa. Hanya kedudukan tinggi kenabianlah yang mampu menghaturkan putri-putri dan para imam ma'shum seperti ini kepada masyarakat. Seseorang yang sadar dengan memperhatikan ilmu, kehidupan, ucapan dan perilaku Ahlubait as akan mengakui bahwa setiap dari mereka, sebagaimana al-Quran, adalah dalil tersendiri atas kenabian Rasulullah saw. Seandainya tidak ada dalil lain untuk membuktikan kenabian Rasulullah saw kecuali keberadaan keturunan semacam itu, hal itu sudah mencukupi dan hujjah sudah sempurna. Pembahasan panjang-lebar tentang masalah ini tidak relevan untuk kesempatan pendek ini.


Catatan Kaki:
[1] Ush?l al-K?f?, jilid 1, hal. 58, hadis ke-19

[2] Surah al-Hijr: 9.



6
Ringkasan Akidah Syi'ah

IMAMAH (KEPEMIMPINAN)
Salah satu Ushuluddin yang diyakini oleh para pengikut Ahlulbait as secara khusus adalah imamah.
Dari pembahasan kenabian di atas telah dipahami bahwa keberadaan seorang imam untuk agama dan masyarakat adalah seperti keberadaan seorang nabi. Sebagaimana penentuan seorang nabi harus dilakukan oleh Allah, penentuan seorang imam dan khalifah pun sebagai penjaga dan penjelas agama harus dilakukan oleh Allah. Masyarakat tidak mampu dan tidak memiliki kelayakan untuk menentukan seorang pengganti bagi seorang nabi. Bukan tugas masyarakat dalam rangka menjelaskan hukum Ilahi dan syariat seorang nabi untuk menentukan seorang penggantinya. Argumentasi atas hal ini sangatlah banyak. Pada kesempatan ini, kami akan menyebutkan sebagiannya saja.


Argumentasi Pertama
Seperti telah disebutkan di atas, kedudukan imamah tidak berbeda dengan kedudukan kenabian dan berperan sebagai pengganti kedudukan kenabian. Atas dasar ini, setiap dalil dan argumentasi yang telah kami paparkan berkenaan dengan kenabian, juga memiliki indikasi atas kelaziman imamah. Kesimpulannya, imamah juga dapat dibuktikan dengan dalil dan argumentasi tersebut.


Argumentasi Kedua
Telah kita ketahui bersama bahwa keberadaan seorang imam sangat bermanfaat dan tidak mengandung keburukan (mafsadah) bagi keberadaan agama dan al-Quran. Dengan demikian, sesuai dengan kaidah keadilan dan luthf Allah Yang Maha Bijaksana, penentuan seorang imam adalah suatu kelaziman. Karena, tidak adanya penentuan itu, di samping kemaslahatan yang akan hilang dari tangan agama dan umat manusia, keburukan akan terwujud, segala usaha Rasulullah saw, agama, syariat dan al-Quran akan sirna dan semua itu akan dilupakan. Semua itu adalah sama dengan pemberangusan tujuan (pengutusan seorang nabi), dan hal itu adalah mustahil bagi-Nya.


Argumentasi Ketiga
Dalam argumentasi dan dalil imamah telah disebutkan bahwa seorang imam harus ma'shum (terjaga dari dosa), memiliki seluruh karakteristik utama manusia, tersucikan dari segala kebejatan mental, mengetahui segala yang dibutuhkan oleh umat manusia, dan mampu mendepak segala kritik (yang berkembang di tengah-tengah masyarakat). Kesimpulannya, ia harus sempurna dari segala segi.

Mengingat mayoritas karaktersitik tersebut termasuk karakteristik-karakteristik batiniah dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib, dengan demikian penentuan seseorang yang memiliki karakteristik-karakteristik tersebut berada di luar kemampuan umat manusia. "Allah lebih mengetahui di mana Ia meletakkan risalah-Nya"[1] dan umat manusia tidak akan pernah mampu untuk menentukannya serta tidak memiliki hak untuk ikut campur. Allah SWT berfirman:

"Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dikehendakinya dan memilih. Mereka tidak memiliki pilihan (dalam hal ini)."[2]

Atas dasar ini, penentuan seorang imam dan khalifah adalah tugas Allah dan berada di luar tugas umat manusia.

Dengan demikian, kami para pengikut Syi'ah meyakini bahwa atas dasar perintah Allah dan Rasul-Nya dua belas orang ma'shum telah ditentukan untuk mengemban tugas kepemimpinan dan imamah. Beliau telah memperkenalkan mereka kepada khalayak ramai dengan menyebutkan nama dan karakteristik mereka masing-masing.


Imam Pertama
Di permulaan dakwah, Rasulullah saw telah memperkenalkan imam dan pengganti beliau.

Hingga tahun ketiga Bi'tsah, Rasulullah saw melakukan dakwah secara rahasia. Ketika ayat yang berbunyi: "Dan berikanlah peringatan kepada keluarga dekatmu" (QS. Asy-Syu'ara`: 214) turun, beliau mengajak keluarga dekatnya untuk memeluk agama Islam. Mereka berjumlah empat puluh orang. Setelah menyantap hidangan yang telah disediakan, beliau bersabda: "Wahai putra-putra Abdul Muthalib! Demi Allah, aku tidak pernah mengenal seorang pemuda Arab yang membawa suatu ajaran yang lebih baik dari yang kubawa ini. Aku membawa suatu ajaran untuk kebaikan dunia dan akhirat kalian.

Allah telah memerintahkan kepadaku untuk mengajak kalian memeluk ajaran ini. Siapakah di antara kalian yang siap membantuku sehingga ia menjadi saudara, wash? dan penggantiku?" Orang-orang yang hadir di situ bungkam seribu bahasa kecuali Ali as yang pada waktu itu lebih kecil dari mereka. Ia bangkit dari duduknya seraya berkata: "Wahai Rasulullah! Di jalan ini aku akan menjadi penolong dan sahabatmu." Setelah itu, Rasulullah saw meletakkan tangannya di atas pundak Ali seraya bersabda:

"Sesungguhnya ini adalah saudara, wash? dan khalifahku di tengah-tengah kalian. Maka, dengarkanlah ia dan taatlah kepadanya."

Seluruh hadirin bangkit dari tempat duduk mereka sambil tertawa mengejek dan berkata kepada Abu Thalib: "Ia telah memerintahkan kepadamu untuk mendengarkan ucapan anakmu dan menaatinya."

Tidak sedikit dari ulama Ahlussunnah, seperti Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaeh, Abu Na'im, al-Baihaqi, Ats-Tsa'labi, ath-Thabari, Ibnu Atsir, Abul Fida` dan lain-lain yang telah menukil hadis tersebut. Silakan Anda merujuk kepada buku al-Mur?ja'?t dan Ihq?q al-Haq jilid 4.

Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa dakwah kepada kenabian dan imamah berjalan secara bersama-sama dan saling berdampingan. Dan dapat dipahami juga bahwa sebagaimana Rasulullah saw memiliki perhatian khusus terhadap kenabian, beliau juga memiliki perhatian yang sama terhadap masalah imamah. Serta dapat dipahami juga bahwa menerima kenabian tanpa menerima konsep imamah bukanlah tujuan dan permintaan Islam dan tidak sesuai dengan keinginan beliau.

Setelah peristiwa itu, Rasulullah saw selalu menyampaikan keimamahan Imam Ali as dalam berbagai kesempatan dengan penjelasan yang berbeda-beda. Banyak ayat al-Quran yang turun berkenaan dengan hal ini hingga beliau berangkat ke Makkah untuk melaksanakan haji. Peristiwa itu terjadi bersamaan dengan akhir-akhir usia beliau. Oleh karena itu, haji tersebut di beri nama
Haji Wada'. Umat Islam yang ikut serta bersama beliau pada itu diperkirakan mencapai 120.000 orang.


Ringkasan Peristiwa Ghadir Khum
Setelah usai melaksanakan haji, Rasulullah saw pulang kembali ke Madinah. Ketika telah mendekati sebuah daerah yang bernama Ghadir Khum, malaikat Jibril turun dan memerintahkan beliau untuk berhenti. Beliau pun memerintahkan rombongan untuk berhenti. Melihat perintah untuk berhenti di sebuah daerah yang sangat panas dan tak berpohon itu, mereka merasa heran.

Mereka berkata kepada diri mereka sendiri: "Pasti telah turun sebuah perintah penting dari Allah." Pada waktu itu, turunlah ayat yang berbunyi:

"Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan oleh Tuhanmu kepadamu. Jika Engkau tidak melakukan hal itu, maka engkau belum menyampaikan risalah-Nya. Allah akan menjagamu dari orang-orang (yang ingin mengganggumu). Sesungguhnya
Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada kaum yang kafir."[3]

Muadzin memanggil para jamaah untuk mengerjakan shalat Zhuhur. Setelah usai mengerjakan shalat Zhuhur, Rasulullah saw mengajak mereka untuk mendengarkan perintah Ilahi. Sebuah mimbar telah dibuat dari pelana-pelana onta dan beliau naik di atasnya. Setelah memuji Allah, beliau bersabda kepada para jamaah: "Tidak lama lagi aku akan pergi dari tengah-tengah kalian.
Aku akan dimintai pertanggungjawaban dan kalian juga akan dimintai pertanggungjawaban ... Sekarang lihatlah bagaimana kalian akan memperlakukan dua peninggalan yang telah kutinggalkan di tengah-tengah kalian ini."

Salah seorang jamaah bangkit seraya bertanya: "Apakah dua peninggalan tersebut, wahai Rasulullah?"

Beliau bersabda: "Pusaka peninggalan yang besar adalah Kitab Allah yang satu sisinya berada di tangan Allah dan sisi yang lain berada di tangan kalian. Janganlah kalian mencampakkannya supaya kalian tidak tersesat. Adapun pusaka peninggalanku yang lain adalah Ahlulbaitku. Allah Yang Maha Lembut dan Mengetahui memberitahukanku bahwa kedua pusaka peninggalan itu tidak akan pernah berpisah sehingga bergabung denganku di surga. Janganlah kalian mendahuli keduanya, karena kalian pasti celaka dan janganlah kalian ketinggalan dari mereka, karena kalian pasti celakan juga."

Tiba-tiba para jamaah melihat Rasulullah saw memandang ke sekeliling beliau. Ketika pandangan beliau tertuju ke Ali as, beliau merunduk untuk memegang tangannya dan mengangkatnya sehingga bagian bawah ketiak mereka berdua terlihat dan semua yang hadir di situ menlihat dan mengenalnya. Ketika itu, beliau bersabda dengan suara yang keras dan jelas: "Siapakah yang lebih layak di antara kalian terhadap Muslimin?"

"Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu", jawab mereka.

Raslullah saw bersabda: "Allah adalah junjungan dan pemimpinku dan aku adalah pemimpin Mukminin. Barangsiapa aku adalah pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya." Beliau mengulangi ucapan tersebut sebanyak tiga atau empat kali. Setelah itu, beliau bersabda: "Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya, cintailah orang yang mencintainya dan bencilah orang yang membencinya, tolonglah orang yang menolongnya dan campakkanlah orang yang mencampakkannya, dan sertakanlah kebenaran bersamanya di mana pun ia berada."

Khotbah Rasulullah saw seperti yang telah kami ringkas di atas selesai sampai di sini. Dan pada waktu itu juga turunlah ayat yang berbunyi:

"Pada hari ini, telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian, telah Kulengkapkan nikmat-Ku atas kalian dan telah Kuridhai Islam sebagai agama kalian."[4]

Setelah itu, para jamaah yang hadir diliputi oleh kebahagiaan tersendiri dan mengucapkan selamat kepada Amirul Mukminin as.
Abu Bakar dan Umar pun tidak iktu ketinggalan. Mereka berdua berkata kepada Ali as di hadapan khalayak ramai: "Selamat atasmu wahai Ali! Engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin setiap Mukmin laki-lai dan wanita."

Di akhir khotbah Rasulullah saw, setelah memohon izin kepada beliau, Hassan bin Tsabit melantunkan syair-syairnya yang di antara isinya adalah:

Ia berkata: "Berdirilah wahai Ali, sesungguhnya aku ** meridhaimu sebagai imam dan hadi setelahku."

Ini adalah ringkasan dari peristiwa Ghadir Khum. Di samping ulama Syi'ah, para ulama Ahlussunnah pun telah menukinya di dalam buku-buku mereka. Sebagai contoh, mereka adalah al-Hafizh Abu Sa'id as-Sijistani, Abu Na'im al-Ishfahani, Abul Hasan al-Wahidi an-Nisyaburi, Ibnu Asakir asy-Syafi'i, Fakhurrazi, al-Humawaini, Ibnu Shabbagh al-Maliki, Jalaluddin as-Suyuthi, al-Alusi, al-Qunduzi, Badruddin al-Hanafi, Syeikh Muhammad Abduh dan lain-lain. Silakan Anda merujuk ke buku al-Ghadir karya Allamah Amini.

Perlu diperhatikan, para ulama tersebut meskipun telah menukil hadis Ghadir Khum di atas, akan tetapi mereka menakwil hadis itu atau tidak menganggapnya terlalu penting. Hal itu mungkin dkarenakan rasa takut, kondisi dan kedudukan diri mereka atau fanatisme mazhab.

Bagaimana pun juga, meskipun mereka berhasil menakwil hadis Ghadir dan tidak memperdulikannya, akan tetapi, hadis Rasulullah saw pada periode pertama dakwah secara terang-terangan, hadis Tsaqalain dan hadis-hadis lain tentang imamah Amirul Mukminin as dan para imam yang lain yang telah dinukil oleh mereka sendiri adalah hujjah bagi mereka. Karena hadis ini sangat banyak dan diriwayatkan secara mutawatir, hadis-hadis itu tidak dapat ditakwil dan dilalui begitu saja.

Nama-nama para imam yang lain-tanpa menyebutkan sejarah kehidupan mereka karena tujuan tulisan ini adalah ringkasan akidah-adalah sebagai berikut:

2. Imam Hasan al-Mujtaba as.

3. Imam Husain asy-Syahid as.

4. Imam Ali bin Husain as-Sajjad as.

5. Imam Muhammad bin Ali al-Baqir as.

6. Imam Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq as.

7. Imam Musa bin Ja'far al-Kazhim as.

8. Imam Ali bin Musa ar-Ridha as.

9. Imam Muhammad bin Ali al-Jawad as.

10. Imam Ali bin Muhammad al-Hadi as.

11. Imam Hasan bin Ali al-'Askari as.

12. Imam Muhammad bin Hasan al-Mahdi as. Imam kedua belas ini masih hidup hingga sekarang dan beliau berada di alam ghaib. Dengan perintah Allah beliau akan muncul kembali untuk mendirikan sebuah pemerintahan adil dan memenuhi dunia ini dengan keadilan.

Layak untuk diketahui bahwa kami para pengikut Syi'ah meyakini bahwa Sayidah Fathimah putri Rasulullah adalah istri agung Imam Ali as, ibunda para imam dan tolok ukur imamah dan wil?yah, serta penghulu para wanita di dunia dan akhirat. Beliau adalah teladan seluruh umat manusia untuk setiap masa. Karena beliau terjaga dari dosa, maka seluruh ucapan, perilaku dan penetapannya adalah hujjah bagi kita. Keridhaan beliau adalah keridhaan Allah dan Rasulullah saw dan kemurkaan beliau adalah kemurkaan Allah dan Rasulullah saw.

Nama-nama yang telah kami sebutkan di atas adalah Ahlubait dan 'Itrah Rasulullah yang memiliki karateristik sama seperti beliau.
Beliau selalu mewasiatkan mereka dan menyatakan mereka sebagai sekutu al-Quran. Beliau besabda:

"Sesungguhnya kutinggalkan di tengah-tengah kalian dua pusaka yang sangat berat (baca: berharga): Kitab Allah dan 'Itrahku, Ahlubaitku. Kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepada keduanya."[5]

Allah SWT telah meletakkan dua tanggung jawab berat di atas pundak mereka: pertama, kepemimpinan spiritual umat manusia dan mengenalkan mereka kepada pengetahuan, akhlak dan hukum-hukum agama dan dunia melalui ayat-ayat al-Quran, sunnah Rasulullah saw dan ilham-ilham yang mereka terima dari-Nya, dan kedua, kepemimpinan politik dan manajemen kehidupan sosial, serta merealisasikan seluruh hukum pemerintahan Islam dalam semua seginya.


Hadis-hadis Tentang Imam Mahdi as
Pada kesempatan ini, sangat tepat jika kami sajikan indeks hadis-hadis yang diriwayatkan melalui jalur Syi'ah dan Ahlussunnah berkenaan dengan Imam Mahdi as.

1. Kelompok hadis yang menekankan bahwa para imam berjumlah dua belas orang. Yang pertama adalah Ali dan yang terakhir adalah Mahdi. (91 hadis)

2. Kelompok hadis yang menegaskan bahwa Mahdi berasal dari keluarga Rasulullah saw. (389 hadis)

3. Kelompok hadis yang menegaskan bahwa Mahdi berasal dari anak cucu Ali as. (214 hadis)

4. Kelompok hadis yang mengatakan bahwa beliau berasal dari putra-putra Fathimah az-Zahra` as. (192 hadis)

5. Kelompok hadis yang menegaskan bahwa beliau adalah putra kesembilan Imam Husain as. (148 hadis)

6. Kelompok hadis yang menegaskan bahwa beliau adalah anak cucu Imam as-Sajjad as. (185 hadis)

7. Kelompok hadis yang mengatakan bahwa beliau adalah putra Imam al-'Askari as. (148 hadis)

8. Kelompok hadis yang menegaskan bahwa beliau adalah imam kedua belas dan terakhir. (136 hadis)

9. Kelompok hadis yang membicarakan tentang kelahiran beliau. (214 hadis)

10. Kelompok hadis yang menyatakan kepanjangan umur beliau. (318 hadis)

11. Kelompok hadis yang menyatakan bahwa beliau memiliki sebuah masa ghaibah yang sangat panjang. (91 hadis)

12. Kelompok hadis yang memberikan berita gembira tentang kemunculan beliau. (657 hadis)

13. Kelompok hadis yang menegaskan bahwa beliau akan memenuhi dunia ini dengan keadilan. (123 hadis)

14. Kelompok hadis yang menegaskan bahwa Islam akan mendunia di tangan beliau. (47 hadis)

Jumlah keseluruhan hadis-hadis tersebut adalah 2.953 hadis.[6]


Catatan Kaki:
[1] Surah al-An'am: 124.

[2] Surah al-Qashash: 68.

[3] Surah al-Maidah: 67.

[4] Surah al-Maidah: 3)

[5] Bih?r al-Anw?r, jilid 5, hal. 68, hadis ke-1.

[6] Mahdi-ye Mau'?d, hal.5.



7
Ringkasan Akidah Syi'ah

MA'AD (HARI AKHIR)
Salah satu Ushuluddin yang diterima oleh seluruh agama Ilahi dan kitab-kitab samawi adalah kembalinya ruh ke badan dan pulang kembali ke alam akhirat. Dengan artian, kehidupan manusia ini tidak diakhiri dengan sebuah kematian. Bahkan, setelah dunia ini terdapat dunia lain. Di dunia itu setiap manusia akan mendapatkan ganjaran atas setiap perilaku yang pernah dikerjakannya.
Allah SWT berfirman:

"Pada hari itu umat manusia akan keluar (dari liang kubur mereka) secara berpencaran untuk diperlihatkan amalan mereka *
Barangsiapa mengerjakan kebaikan sebesar biji atom, ia akan melihatnya * Dan barangsiapa mengerjakan keburukan sebesar biji atom pun, ia akan melihatnya."[1]

Ya! Satu-satunya keyakinan yang dapat mencegah hawa nafsu manusia untuk melakukan tindak kejahatan dan berbuat lalim terhadap orang adalah keyakinan terhadap Ma'ad (hari akhir). Satu-satunya hal yang dapat mencegah seseorang untuk mengumbar syahwat, melakukan keburukan dan segala tindak kejahatan dan kemungkaran adalah menerima adanya perhitungan amal dan pembalasan. Satu-satunya polisi rahasia yang selalu mengawasi segala perilaku manusia secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi adalah keyakinan terhadap hari pembalasan. Di dalam al-Quran, setiap kali membicarakan tentang iman dan sifat-sifat orang-orang Mukmin, ia menegaskan bahwa pondasi iman adalah dua hal: keyakinan terhadap Mabda` dan Ma'ad. Setelah itu, baru ia mengingatkan akan konsekuensi iman tersebut, yaitu takwa dan amal salih.

Bahkan lebih dari itu. Keyakinan terhadap adanya hari akhir adalah konsekuensi dari keyakinan terhadap konsep Mabda`.
Barangsiapa meyakini konsep Mabda`, mau tidak mau ia harus meyakini konsep Ma'ad. Atas dasar ini, seluruh agama Ilahi dan semua orang yang mengikuti ajaran seorang nabi pasti meyakini konsep Ma'ad.

Pendek kata, argumentasi-argumentasi rasional dan tekstual (ayat dan hadis-hadis yang mutawatir), serta keniscayaan seluruh agama telah membuktikan adanya Ma'ad. Barangsiapa meyakini keberadaan Allah, ia pasti menerima konsep Ma'ad. Yaitu, adanya hari kebangkitan, perhitungan amal, pahala, siksa, surga dan neraka. Seperti telah disebutkan, ayat-ayat dan hadis-hadis mengasumsikan bahwa keimanan kepada Allah memiliki konsekuensi keimanan kepada konsep Ma'ad, keyakinan terhadap konsep Mabda` dan Ma'ad adalah masing-masing sekutu yang lain dan tegak di atas satu pondasi.

Atas dasar ini, dalil dan argumenasi-argumentasi yang telah "memaksa" kita untuk menerima empat Ushuluddin tersebut, secara pasti juga "memaksa" kita untuk menerima adanya Ma'ad. Atas dasar dalil dan argumentasi-argumentasi tersebut, kita meyakini adanya Ma'ad, dan hal itu adalah kebijaksaan dan keadilan Ilahi itu sendiri.


Catatan Kaki:
[1]Surah az-Zilzal: 5-8.



8
Ringkasan Akidah Syi'ah

PENUTUP
Semua pembahasan yang telah kita simak di atas adalah ringkasan akidah kita sebagai seorang Muslim. Pembahasan yang lebih mendetail dan luas dapat Anda telaah di dalam buku-buku yang lebih detail dan bersifat argumentatif. Ketahuilah bahwa Amirul Mukminin as pernah berkata:

"Permulaan sebuah agama adalah mengenal-Nya, kesempurnaan pengenalan terhadap-Nya adalah membenarkan-Nya, kesempurnaan pembenaran terhadap-Nya adalah mengesakan-Nya, dan kesempurnaan pengesaan terhadap-Nya adalah ikhlas demi untuk-Nya."[1]

"Ya Allah, kenalkanlah diri-Mu padaku, karena jika Engkau tidak mengenalkan diri-Mu padaku, aku tidak akan mengenal Rasul-Mu.
Ya Allah, kenalkanlah Rasul-Mu padaku, karena jika Engkau tidak mengenalkan Rasul-Mu padaku, aku tidak mengenal hujjah-Mu. Ya Allah, kenalkanlah hujjah-Mu padaku, karena jika Engkau tidak mengenalkan hujjah-Mu padaku, aku akan sesat dari agamaku."
Ya Allah, jadikanlah akibat urusan kami kebaikan demi hak Muhammad dan keluarganya yang suci, curahkanlah shalawat atas mereka dan laknatlah para musuh mereka.

Kantor Ayatullah al-'Uzhma Fadhil al-Lankarani

Seksi Istifta dan Penanganan Pertanyaan-pertanyaan Umum

Ali Athai


Catatan Kaki:
[1] Nahjul Bal?ghah, khotbah ke-1.


9
Ringkasan Akidah Syi'ah

Telaah Kritis Perbedaan Wahyu dan Pengalaman Keagamaan
Pengalaman keagamaan (religious experience) adalah sebuah komprehensi yang muncul di dunia Barat pada abad kedua puluh, dan pada zaman kemunculannya itu juga ia menghadapi dilema serius dalam pendefinisian yang tepat; sebab perbedaan dalam definisi dan tafsir yang tidak dapat dihindari dalam dua kosa kata, pengalaman dan agama. Sebagian memandang pengalaman keagamaan itu sebagai suatu kejadian dimana pribadi yang mengalaminya dinisbahkan terhadap kejadian tersebut mempunyai pengetahuan tentangnya. Pribadi pelaku, memandang pengalaman ini bergantung pada suatu maujud atau suatu kehadiran yang metafisis, seperti Tuhan atau manifestasi-Nya dalam suatu perbuatan atau ia menyangka suatu maujud dengan suatu bentuk yang berhubungan dengan Tuhan, seperti tajalli Tuhan atau seorang pribadi semisal Maryam 'Udzara As.

Pengalaman, memiliki pengertian yang luas dan dimutlakkan atas fenomena yang sangat beragam; sedemikian hingga, dari pengalaman panca indera biasa sampai mimpi, imajinasi, dan kondisi-kondisi luar biasa (supranatural) -yang tanpa ikhtiar (kemauan sendiri) atau dengan ikhtiar dan hasil pengaturan sempurna- semuanya terhitung sebagai pengalaman. Akan tetapi, kemestian pengalaman keagamaan itu sendiri harus disifatkan dengan suatu sifat dari sudut tinjauan pelakunya; yakni suatu pengalaman dimana pelaku memandang dan memahaminya sebagai suatu agama atau dengan kata lain, pelaku memandang atas kandungan dari pengalaman tersebut berada dalam koridor agama.

Pengalaman keagamaan berbeda dengan bashirah (insight) keagamaan; sebab pengalaman keagamaan (sesuai dengan aplikasi kita dalam tulisan ini) memestikan berhadapan dengan Tuhan atau hakikat paling akhir (hakikat paling tinggi, the ultimate reality), sedangkan bashirah keagamaan tidak mengharuskan seperti itu. Namun, pengalaman keagamaan dapat saja menjadi pangkal bashirah keagamaan; sebab syarat pengalaman keagamaan tidak lain adalah Tuhan dan hakikat paling akhir, yang menjadi subyek dari pengalaman tersebut.

Adapun ragam dan macam pengalaman keagamaan antara lain:

1. Pengalaman ketuhanan dengan perantara sesuatu yang terasakan (terinderai) dan muta'araf (ordinary); seperti menyaksikan seorang pribadi muqaddas (kudus);

2. Pengalaman ketuhanan dengan perantara sesuatu yang terasakan dan tidak muta'âraf; seperti menyaksikan-Nya dengan perantara pohon yang menyala dan tidak terbakar;

3. Pengalaman ketuhanan dalam domain bahasa indera muta'âraf; seperti menyaksikan-Nya dalam mimpi atau mukasyafah;

4. Pengalaman ketuhanan dalam domain bahasa tidak muta'âraf dan tidak menerima pensifatan;

5. Pengalaman ketuhanan dengan tanpa perantara setiap bentuk penginderaan atau perasaan, dimana dalam kondisi ini pribadi (pelaku) mendapatkan informasi kehadiran Tuhan dalam bentuk syuhudi.


Pandangan Tentang Pengalaman Keagamaan
Pertama: Pengalaman keagamaan adalah suatu pengalaman yang tidak bersifat akal dan makrifat, tetapi semacam perasaan (sensibility) yang tidak bisa dituangkan dalam batas perbedaan komprehensi dan pemahaman, dan juga semacam penjelasan metafisis; kendatipun kelaziman darinya kita memandang bahwa perenungan filosofis dan teologis (dalil dan argumen serta konklusinya) merupakan natijah dan perkara kedua dari pengalaman keagamaan.

Kedua: Pengalaman keagamaan adalah suatu pengalaman yang berlandaskan atas persepsi perasaan dan merupakan ciptaan persepsi perasaan; yakni bukan merupakan hasil dari istidlal akal dan tidak memiliki perenungan filosofis dan teologis serta berada di luar kerangka dalil dan silogisme. Oleh karena itu, dia adalah suatu pengalaman imani (belief).

Kebanyakan filosof peneliti agama di Barat, menegaskan dan menguatkan pandangan pertama dan menyatakan bahwa pengalaman keagamaan mengandung pemahaman, kaidah dan aturan bahasa, dan metodelogi argumentasi.


Kesatuan Esensi Pengalaman Keagamaan
Sebagian berkeyakinan bahwa pengalaman-pengalaman keagamaan seluruhnya memiliki unsur-unsur yang sama, masalah ini, khususnya dalam pengalaman irfani dan sufistik nampak lebih jelas; yakni dalam pengalaman keagamaan yang mengandung makrifat dari realitas paling akhir (paling tinggi), arif sampai pada derajat kesatuan denga realitas paling akhir; baik dari dimensi makrifat (gnostikal) maupun dari dimensi eksistensial. Ini adalah suatu esensi dan hakikat yang melampaui dinding-dinding dan batas-batas agama, firkah, mazhab, dan kebudayaan yang beragam.

Dalam berhadapan dengan pandangan di atas, suatu kelompok lain yang berkeyakinan bahwa tidak satupun pengalaman tanpa perantara komprehensi-komprehensi dan keyakinan-keyakinan; bahkan ilmu terhadap nafs yang dihasilkan dari deduksi yang merupakan paling baiknya contoh pengalaman syuhudi. Oleh karena itu, kepercayaan, budaya, dan agama membatasi pengalaman keagamaan dan setiap tradisi serta agama mempuyai pengalaman khusus bagi dirinya. Jadi, keyakinan-keyakinan yang ada memberi bentuk kepada pengalaman-pengalaman keagamaan.[1]

Berasaskan hal ini, sebagian cendekiawan kontemporer memasukkan wahyu dalam koridor pengalaman keagamaan dan memandangnya sebagai pilar kepribadian dan kenabian para nabi. Dalam pengalaman ini, nabi melihat seakan-akan seseorang datang padanya dan membacakan di telinga dan kalbunya pesan-pesan dan perintah-perintah serta memberi tanggung jawab padanya untuk menyampaikan pesan-pesan itu kepada orang-orang, dan sebagai efek dari hasil pengalaman ini ia merasakan adanya tugas dan tanggung jawab baru. Ghazali juga dalam kitab "al-munqidzu min ad-dhalâl" menyinggung poin ini -pengalaman keagamaan- dengan ungkapannya: Dengarkanlah ucapan-ucapan para nabi, sungguh mereka telah mengalami dan menyaksikan Hak pada seluruh apa yang datang padanya dari syariat dan berjalanlah pada jalan mereka niscaya kamu akan mengalami penyaksian sebagian dari itu.[2]


Beberapa Ambigu Dalam Pengalaman Keagamaan
Masalah pengalaman keagamaan dari sudut pandangan cendekiawan Barat dan lainnya, telah menjadi bahan pertanyaan dan diskursus serius dan tidak menampakkan secara jelas dan terang wajahnya serta tidak kosong dari konplik dan pertentangan; misalnya dapat ditujukan beberapa pertanyaan berikut ini:

1. Dengan parameter apa dapat diketahui dan dibedakan pengalaman keagamaan dari pengalaman akhlak, pengetahuan seni, perasaan gembira, perasaan bersalah, dan perasaan takjub? Pengalaman, dalam contoh biasa, seperti seseorang melihat sesuatu sebagai beruang atau macan dan merasa takut, tetapi lainnya berkata tidak ada beruang atau macan; tetapi yang ada adalah batang pohon.

2. Apakah suatu pengalaman dapat diberi nama pengalaman keagamaan; padahal kita tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun tentangnya? Apakah mendapatkan kandungan keagamaan dari jalan pengalaman tidak mengindikasikan "kedahuluan sesuatu atas dirinya" (taqaddum syai 'ala nafsihi)?

3. Mengapa harus agama Budha, Hindu, Kristen, dan agama lainnya dipandang sebagai tradisi keagamaan, tetapi Marxisme tidak dipandang sebagai tradisi keagamaan atau terdapat keraguan terhadap maktab (school of thought) Humanisme?

4. Apakah jika seseorang memandang suatu pengalaman sebagai pengalaman keagamaan, yang melihat dan yang mendengar juga harus memandang pengalamannya sebagai pengalaman keagamaan?

5. Apakah dapat diadakan tolok ukur dan parameter kebenaran pengalaman keagamaan dan tercipta kesepakatan pandangan, sebagaimana segolongan dari urafa berkeyakinan atas ini? [3]


Kedudukan Logikal Pengalaman
Pengalaman -sebagaimana yang dibahas dalam ilmu Logika- adalah suatu peristiwa yang dihukumi manusia dikarenakan penyaksiannya yang berulang kali. Ketika seseorang menyaksikan suatu peristiwa secara berkali-kali dan mengujinya, maka jiwanya menjadi yakin dengannya serta menghukuminya secara pasti; seperti hukum pasti bahwa setiap api niscaya membakar; ini dikarenakan dia menyaksikan peritiwa itu berulang-ulang kali dan melakukan pengujian terhadapnya dan seperti hukum terhadap hubungan derajat panas tertentu dengan memuainya besi serta hukum terhadap kemendidihan air dalam 100 derajat Celcius. Kebanyakan masalah-masalah ilmu Fisika, Kimia, Biologi, Kedokteran, dan ilmu Eksprimen diperoleh dari jalan pengujian dan pengalaman ini.

Konklusi yang dihasilkan ini dalam analisa dan pengujian yang kurang sempurna, pada dasarnya bertumpu atas landasan penemuan sebab, dan penemuan-penemuan sebab ini dikarenakan keberadaan dua qiyâs (silogisme) tersembunyi dalam kedalaman jiwa manusia: yaitu qiyâs istitsnâî (suatu bentuk silogisme dimana konklusi itu sendiri atau kontranya secara aktual disebutkan dalam mukadimah-mukadimah) dan qiyâs iqtirânî (suatu bentuk silogisme dimana natijah itu sendiri atau kontranya tidak disebutkan secara aktual dalam mukadimah-mukadimah); dan jika tidak ada demikian maka tidak seorangpun akan mengklaim bahwa semua air akan mendidih dalam 100 derajat Celcius atau semua besi akan memuai dalam derajat panas tertentu dan klaim-klaim lain seperti ini dalam ilmu Fisika, Kimia, Biologi, dan ilmu Alam lainnya.

Qiyâs istitsnâî yang disebutkan di atas dalam masalah mendidihnya air adalah: Sekiranya hasil efek ini (mendidihnya air pada 100 derajat Celcius) kebetulan dan terjadi tanpa sebab, maka tidak harus terjadi selamanya, tetapi kita menyaksikannya demikian dalam seluruh zaman. Maka dari itu, hasil efek ini bukanlah kebetulan; akan tetapi terdapat suatu penyebab yang menyebabkannya sehingga demikian.

Qiyâs iqtirânî juga dalam masalah ini berbentuk seperti ini: natijah silogisme sebelumnya dijadikan sebagai premis minor dan kita mengatakan: hasil efek ini adalah akibat dari suatu sebab, dan dalam premis mayor qiyâs kita mengatakan: dan tidak satupun akibat melanggar (menyalahi) sebabnya. Oleh karena itu, efek ini (mendidihnya air pada 100 derajat Celcius) selamanya tidak terpisahkan dari sebabnya (yakni dari 100 derajat Celcius). Jadi, selamanya sebab ini menyertai akibatnya. Ketika kita menemukan sebab maka kita menghukuminya secara pasti, yakni dalam kasus ini setiap air akan mendidih dalam panas 100 derajat Celcius.

Dengan keadaan ini, tidak seorang pun yang nekat dan gegabah mengklaim bahwa setiap eksperimen dan pengalaman niscaya pasti sesuai dengan kenyataan; sebab sangat banyak dari pengalaman dan eksperimen mengalami kesalahan dikarenakan si pelaku tidak menemukan "sebab"nya secara akurat atau ia menempatkan "sebab nâqish" (kurang, tidak sempurna) pada kedudukan "sebab sempurna" atau ia menyangka sesuatu yang aksiden sebagai yang esensial; misalnya jika seseorang lahir dalam area orang-orang yang berkulit putih dan menyaksikan bahwa setiap anak yang lahir adalah berkulit putih, jika ia berkata: seluruh manusia adalah berkulit putih, maka penghukuman dia dalam masalah ini tentulah salah; yakni ia telah menempatkan sifat aksiden pada sifat esensial.[4]

Berdasarkan ini, mungkin saja seseorang memandang suatu pengalaman sebagai pengalaman keagamaan dan dia merasakan dari internal dirinya itu adalah dîny (keagamaan), tetapi pada hakikatnya pengalaman ini sendiri berhadapan dengan suatu keraguan besar; sebab pengalaman ini merupakan pengalaman dan penyaksian batin pribadi sipelaku sendiri dan pengalaman seperti ini tidak terlepas dari keberadaan faktor-faktor dan penyebab-penyebab yang beragam yang bukan keagamaan; yakni pengalaman ini, bukanlah suatu jenis pengalaman dan eksperiman yang berada dalam kerangka ilmu dan sains lainnya yang dapat disaksikan dan diuji di laboratorium -seperti Pharmacology, Fisika, Kimia, Kedokteran, Biologi, dan lainnya- serta pengalaman ini tidak didukung oleh kebadihian dan sense universal dan tidak disertai dengan silogisme tersembunyi (seperti yang kita sebutkan dalam masalah mendidihnya air dalam 100 derajat Celcius).

Oleh karena itu, dari sudut tinjauan logikal, pengalaman keagamaan pribadi bermasalah (isykal).


Definisi Agama
Mungkin saja terdapat definisi yang beragam untuk agama, tapi di sini kami cukup menyebutkan dua definisi saja, yang satu khusus dan lainnya umum.

1. Agama, adalah sekumpulan dari akidah, akhlak, hukum dan fiqih Ilahi yang membentuk proses teoritis dan praktis orang yang beragama. Dalam bentuk ini, apabila seseorang mempersepsi suatu realitas dengan penyaksian batin, maka ia akan menganggapnya sebagai pengalaman keagamaan; tentu saja penyaksian dia terkadang berhubungan dengan "harus" dan "tidak boleh" dan terkadang berhubungan dengan "ada" dan "tidak ada" dan juga secara minimal berhubungan dengan "ada" dan "manifestasi". Pengalaman-pengalaman ini, semuanya tidak dalam satu tingkatan; sebab para pelakunya tidak dalam satu tingkatan; sebab sebagian adalah ahli sair suluk (tarekat) dan sebagian lainnya tidak menapakkan kakinya dalam jalan ini, dan terkadang mereka mengalami suatu pengalaman batin secara kebetulan dan mungkin saja mereka ini tidak memilih agama yang benar.

2. Agama, adalah sekumpulan ajaran yang lebih luas dari akidah, akhlak, hukum, fiqih Ilahi dan non-Ilahi. Dalam bentuk ini, maka Marxisme dan Humanisme juga termasuk sebagai agama dan suatu maktab; sebagaimana al-Qur'an juga menggunakan kata agama dengan makna umum dan mutlak, misalnya al-Qur'an menukil perkataan Fir'aun: "Sesungguhnya aku khawatir dia (Musa As) mengganti agama kamu atau melakukan kerusakan di bumi".[5] Agama para Fir'aun adalah penyembahan berhala; bukan agama tauhid yang menerima wahyu, ma'âd, kenabian, dan mukjizat. Mereka dalam istilah adalah orang yang beragama; yakni sekumpulan dari undang-undang yang dengan berbagai kecenderungan dan faktor, tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat, diterima dan disebut oleh mereka sebagai agama. Dari sisi ini, Fir'aun berkata: Saya khawatir Musa As akan menimpakan bahaya dengan menukar sekumpulan dari keyakinan-keyakinan dan tradisi-tradisi yamg kamu terima dan sebut sebagai agama.

Oleh karena itu, jika kita memandang agama adalah suatu hakikat yang diafirmasikan dengan media para nabi As dan rasul Ilahi serta musyahadah mereka, sebagaimana al-Qur'an menyebutkan: "Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam…"[6] maka yang lain yang tidak dari jalan ini tidak bisa disebut sebagai agama; apakah sesuatu itu didapatkan dari alam mitsâl muttashil, seperti adhghaâtsu ahlâmin (mimpi yang bercampur aduk) atau mimpi shâdiq (benar), dan ataukah dari alam mitsâl munfashil, sebagaimana yang terkadang diklaim oleh kaum yoga Hindu dan kaum pertapa Budha, ataukah sesuatu yang Marxisme, Humanisme dan penyembah berhala utarakan dan slogankan tentangnya.

Fir'aun adalah penyembah berhala. Dari sisi ini, pembesar-pembesar kaumnya dalam mengkritisi dia berkata: Apakah engkau akan membiarkan Musa dan kaumnya untuk berbuat kerusakan di negeri ini (Mesir) lalu meninggalkanmu dan tuhan-tuhanmu?[7] Fir'aun, kendatipun dia adalah penyembah berhala, namun dia memandang dirinya sebagai pengelola, pengatur, dan penguasa tanah Mesir dan berkata: selain saya tidak seorang pun yang berkuasa atas kalian, pandangan saya yang berkuasa dan harus undang-undang yang diberlakukan berdasarkan kehendak saya, Fir'aun berkata: "Akulah Tuhanmu yang paling tinggi"[8]; "…tidak aku ketahui Tuhan bagimu selainku…"[9]; tapi tentu saja Fir'aun tidak akan berkata: saya adalah wajib al-wujud dan aku yang menciptakan alam serta kamu.

Oleh karena itu, penamaan dan penyebutan agama adalah berhubungan dengan istilah. Jika agama kita pandang sebagai suatu perkara Ilahi yang berasaskan musyahadah-musyahadah gaib dan alam mitsâl munfashil serta akal munfashil -dimana hak adalah ini- maka sangat banyak apa yang disebut agama dan masyhur sebagai agama, bukanlah agama; adapun jika kita tidak mensyaratkan syuhud ghaibi atau perkara Ilahi dalam penamaan suatu agama atau maktab -sebagaimana al-Qur'an juga terkadang memutlakkan penamaan agama terhadap maktab batil- maka makna agama dalam hal ini adalah sangat luas.

Perlu kita ingat bahwa sesuatu yang diperoleh lewat pengalaman keagamaan, tidak mesti sebelumnya diafirmasikan keagamaannya; akan tetapi cukup jika ia itu adalah tipe makna-makna keagamaan dan tidak menyalahi prinsip-prinsip akidah, akhlak, hukum, dan fiqih.

Mungkin bisa dikatakan bahwa semua masyarakat memiliki semacam penyembahan kepada Tuhan, bahkan para penyembah berhala; sebab mereka yang menyembah berhala itu, berasaskan persangkaan dan keyakinan mereka bahwa dalam berhala terdapat uluhiyyat (divinity). Jadi, mereka ini menyembah sesuatu yang menurut konsepsi mereka, dia itu adalah Tuhan yang Hak atas seluruh alam; tetapi dikarenakan dalam maqam penegasan (tashdiq) mereka itu menyangka sesuatu sebagai Tuhan yang realitasnya bukan Tuhan dan itu juga yang mereka hukumi benar maka mereka itu dikategorikan kafir (yakni kafir secara tashdiq atas Tuhan Hak). Oleh karena itu, mereka pada dasarnya sampai kepada konsepsi terhadap realitas, tetapi mereka dalam maqam tashdiq adalah keliru dan salah. Berasaskan tinjauan ini, mereka dari dimensi ini tidak berbeda dengan kebanyakan orang-orang muslim.[10]


Musyahadah Wahyu
Terkadang manusia dalam proses musyahadah batin, ia menyaksikan matlab dan kandungan makrifat yang sangat dalam untuk pertama kalinya dan ia tidak mempunyai sedikit pun perasaan ragu tentangnya, sebagaimana ia meyakini secara jelas dan terang bahwa 2 + 2 = 4. Penyaksiannya ini tidak butuh pengulangan, tidak butuh dukungan burhan akal, dan tidak juga butuh pada sandaran muktabar nakli. Kendatipun boleh jadi bahwa bentuk kejelasan dan kepastian ini merupakan tipologi dari keyakinan psikologis, bukan keyakinan logikal. Dan selama ia tidak diobservasi dengan suatu mizan akal dan parameter burhan akal maka untuk menentukan keyakinan logikal dari keyakinan psikologis adalah tidak mudah; meskipun pribadi yang mempunyai keyakinan mendapatkan dirinya tidak butuh terhadap parameter argumentasi akal.

Musyahadah internal (batin) para nabi dan wahyu Tuhan -sebagai suatu tasybih (pendekatan dengan penyerupaan) yang rasional dengan yang terinderai (tasybih ma'qûl dengan mahsûs)- adalah seperti kejernihan dan kejelasan hissi (sense) yang gamblang (badihi) bagi manusia. Musyahadah hissi manusia terdiri dari dua bentuk: musyahadah tanpa keraguan dan dengan keraguan. Ketika kita membuka mata dan kita menyaksikan cahaya matahari serta melihat udara terang, kita tidak mempunyai keraguan terhadap "terang" ini dan manusia yang menyaksikan untuk pertama kalinya udara terang, akan memahami kandungan ini -yakni terangnya dia-; kendatipun ia tidak dapat menyebutkan namanya atau hal itu sama sekali tidak mempunyai nama.

Demikian pula seseorang yang membawa tangannya di atas api, tidak diragukan bahwa ia akan merasakan tangannya pedih terbakar, dan seseorang yang dalam kondisi lapar niscaya ia tidak mempunyai keraguan dalam kelaparan dirinya; sebab semua ini merupakan perkara hissi yang tidak menerima keraguan. Sebaliknya, jika seseorang berkehendak mengobservasi dan melakukan eksperiman terhadap khasiat suatu tumbuhan obatan, hanya dengan syarat tertentu dan pengulangan yang berkali-kali ia akan berkesimpulan tentang khasiatnya; sebab dalam pengalaman dan eksperimen ini ia berhadapan dengan berbagai keraguan.

Apa yang para nabi konsepsi dengan nama wahyu, niscaya tidak butuh pada pengulangan, topangan burhan akal, atau sanad standar naqli; mereka menyaksikan dengan terang, jernih, dan jelas paling dalam dan paling beratnya masalah-masalah metafisika dan paling sulit serta rumitnya masalah-masalah fisika (alam materi), dan jika orang menyebut dan menamakan itu pengalaman keagamaan maka tidak ada komentar dalam masalah penamaan, dan bentuk penamaan ini bukanlah hal yang tauqîfy (terbatasi, tidak bisa dinalar).

Di sini ada beberapa poin yang urgen disebutkan:

1. Eksistensi mempunyai dua dimensi; dimensi gaib dan dimensi syahadah;

2. Dimensi gaib dan metafisik adalah hak, benar, murni, dan sempurna, sementara dimensi syahadah adalah bercampur hak dan batil, benar dan bohong, murni dan tidak murni, serta sempurna dan kurang;

3. Dalam inti dan pusat hak tidak ada jalan bagi kebatilan, dan para nabi menjumpai dan sampai pada istana ini, sementara yang lain -meskipun mereka telah dekat dengan istana mani' (tercegah dilewati) itu- akan tetapi mereka tidak terjaga dan terpelihara dari sistem kerja khiyâl (khayalan) dan wahm (fantasi);

4. Oleh karena itu, garis demarkasi antara wahyu para nabi dengan setiap bentuk musyahadah irfani dan pengalaman keagamaan tetaplah terjaga.


Di samping poin-poin di atas, juga kami membawakan suatu hadits dari Imam Shadiq As yang perlu ditelaah; Zurarah bertanya pada Imam Shadiq As: Bagaimana Rasulullah Saw ketika suatu pesan datang padanya dari sisi Tuhan, ia tidak khawatir bahwa jangan-jangan pesan ini datang dari Iblis dan ini adalah setan yang melakukan campur tangan pada kalbunya? Imam Shadiq berkata: Tuhan, ketika Dia mengangkat seorang hamba sebagai rasul-Nya, maka Dia menurunkan padanya sukûnat (occupancy) dan waqâr (serenity), dan sebagai natijahnya, pembawa pesan Tuhan datang padanya dan Rasulullah melihatnya dengan mata; seperti dia melihat orang-orang lain dengan mata.[11]

Para nabi dan rasul Tuhan, dikarenakan tajarrud nafs, kejernihan ruh, dan kesucian batin yang mereka miliki, mereka sampai pada tahap eksistensial tertentu dimana tidak terdapat padanya kabatilan, kebohongan, ketaksesuaian dengan kenyataan, dan skeptis serta keraguan. Mereka, dikarenakan sampai pada suatu maqam dimana di situ tidak ada sama sekali kebatilan, mereka layak mendapatkan dan menyaksikan hak definite (nyata) secara jelas, jernih, dan terang; sebab dalam istana Haq Ta'alâ tidak ada selain Hak dan di situ tidak ada tempat parade bagi kebatilan, kebohongan, dan kekhilafan, serta was-was setan tidak mempunyai jalan pada maqam tersebut. Oleh karena itu, wahm dan tipuan setan tidak berfungsi pada maqam itu; sebab plafon dan batas ketinggian tajarrud (keabstarakan, kenonmaterian) setan dan tempat paradenya hanya sampai pada tajarrud wahmi dan dia (setan) tidak dapat sampai pada maqam hak dan ikhlas -dimana maqam ini adalah tajarrud murni, dan bersih dari setiap bentuk percampuran-, karena itu, hak dari sisi ini jauh dari jaring-jaring jeratan setan.

Apa yang insan kamil dan mukhlashîn dapatkan dalam maqam tajarrud sempurna, sama sekali tidak mungkin tercampuri, terkotori, dan tersamarkan, sehingga setan tidak dapat membuat gantinya dan menyiapkan yang serupa dengannya serta melakukan tipu daya atasnya. Oleh karena itu, nabi dalam mitsâl mutthashil -seperti sebagian dari mimpi-mimpi- dan dalam mitsâl munfashil -seperti melihat malaikat wahyu dalam kondisi tidak tidur- hanya menyaksikan dan mendengarkan hak, dan syuhud (penyaksian) serta kasyfnya (penyingkapan) semuanya adalah hak murni.

Jalan pengamalan ini, telah menyebabkan Amirul Mukminin Ali As berkata: Sejak zaman diperlihatkan padaku hak dan aku mendapatkannya, sejak itu aku tidak punya syak dan keraguan[12] (saya selalu kukuh dalam kebenaran dan selamanya kebatilan tidak pernah mendapatkan jalan padaku), dan pada kesempatan lain dia berkata: Tidak pernah sama sekali aku berkata dusta dan tidak pernah aku didustai (aku tidak pernah dengar dusta dari nabi; sebab nabi dan imam adalah bersih dan suci dari dusta) dan aku tidak pernah sesat dan tak seorang pun sesat karena aku.[13]

Kendatipun Imam Ali As bukan seorang nabi, rasul, dan penyampai wahyu tasyri'î, tetapi dia mendengar thanîn (dering, bunyi) wahyu dan melihat malaikat wahyu; sebagaimana sabda nabi Saw kepadanya: Sesungguhnya engkau mendengar apa yang aku dengar dan engkau melihat apa yang aku lihat kecuali bahwa engkau bukanlah seorang nabi.[14] Setan dalam atmosfir seperti ini tidak punya jalan untuk masuk dan di sini bukanlah wilayah sayap wahm untuk terbentangkan; yakni juga suluk syuhud mereka adalah hak dan juga masyhud mereka, dan tidak butuh sama sekali pada pengulangan pengalaman, dukungan burhan dan silogisme akal, atau sanad muktabar nakli; bahkan dia sendiri adalah penopang argumen akal dan dalil muktabar nakli itu sendiri.

Amirul Mukminin Ali As, pesâlik (peniti) jalan ini dan ârif billah, mengungkapkan realitas itu dalam bentuk ini: arif pada hak, pada hakikatnya adalah orang yang menghidupkan akalnya (dengan ketaqwaan dan ketaatan pada Allah dan rasul-Nya) dan mematikan nafsnya (dengan riyâdah dan penghambaan di jalan Tuhan); sedemikian hingga sampai lebarnya (badannya) kurus dan ucapannya (hatinya) menjadi lembut dan baginya pancaran terang penuh cahaya (dia mendapatkan jalan pada makrifat tinggi ketuhanan). Lantas cahaya benderang itu menunjuki dia jalan hidayah dan kebahagiaan dan dengan cahaya itu juga dia melewati jalan hak, dan pintu-pintu kesalehan, ketakwaan, dan ibadah mengangkat dia sampai pintu keselamatan dan mengantar dia pada rumah (tempat) kediaman dan kaki-kakinya dengan ketenangan badannya tegak pada tempat yang aman dan sentosa; dikarenakan itu maka hatinya menjadi bekerja (merenung, berpikir) dan dia membuat Tuhan-Nya ridha dan senang.[15]


Pengalaman Manusia Non Maksum
Pengalaman orang-orang yang bukan nabi dan pemimpin (imam) maksum, apakah itu kasyf dan syuhud, mimpi, atau merasakan perkara mutthashil dan munfashil dari nafs dan badan (tidak seperti kondisi tidur dan kondisi manâmiyyah), semuanya itu butuh dipresentasikan dengan mizan sehingga jelas kesahihan dan ketaksahihan mereka dan menjadi terang nilai dan validitas mereka; sebagaimana riwayat-riwayat harus dipresentasikan dengan al-Qur'an, sunnah qat'î, dan khabar mutawatir.

Yakni sebagaimana al-Qur'an dan sunnah qat'î serta khabar mutawatir adalah mizan khabar-khabar dan hadits-hadits masykuk (diragukan) dan dengan mereka dipisahkan hadits buatan dan palsu dari hadits sahih dan muwatssaq, demikian juga hasil kasyf dan syuhud serta pengalaman keagamaan harus memiliki mizan dan parameter yang menjadi tolok ukurnya, sehingga syuhud orang yang musyahadah dan pengalaman para ârif dipresentasikan dengannya.

Kesimpulannya, secara umum apa saja yang dapat menerima kesalahan maka mesti dihadapkan pada mizan yang tidak menerima kesalahan; sebab secara pasti pengalaman-pengalaman yang lainnya tidak seperti pengalaman para nabi yang maksum dan dalam landasan konsepsi dan tasdiknya, dapat dimasuki dan menerima cacat, kekurangan, dan kesalahan, maka niscaya mereka itu membutuhkan mizan.

Pengalaman-pengalaman natural dan material, eksperimen kedokteran, pengalaman politik, sistem pemerintahan, budaya, sistem ekonomi, dan lainnya, semua mereka itu keluar dari bahasan ini; sebab dalam alam tabiat dan natural, obyek-obyek persepsi yang menjadi bahan analisa dan penelitian adalah obyek-obyek yang mesti terjadi perlawanan dan pertentangan di antara mereka. Sebagai asumsi, mungkin saja pengaruh pengobatan suatu tumbuhan tertentu hanya terkhususkan pada suatu wilayah tertentu dan pada wilayah lainnya tidak memberikan natijah pengobatan. Atau mungkin saja tejadi kesalahan dalam menentukan kedzatian (keesensilan) atau keaksidenan, dimana yang menempati kedudukan dzati adalah aksiden atau kesalahan dalam menentukan sebab, karena sebab sempurnanya tidak diketahui. Demikian pula, sistem persepsi juga terkadang mesti salah; seperti ahwal (orang yang matanya juling) melihat satu benda adalah dua benda. Atau seorang yang melakukan eksperimen mendapatkan suatu pengalaman yang menyalahi pengalaman pelaku eksperimen lainnya dalam satu obyek yang sama, dan terkadang keduanya (yang mempersepsi dan obyek dipersepsi) ditimpa penyakit atau cacat sehingga kesalahan tidak bisa terhindari.

Akan tetapi, dalam pengalaman supra natural dan metafisis, hanya para nabi maksum As dan mereka yang berada pada mahram rahasia wahyu serta mereka yang menyaksikan apa yang para nabi saksikan, yang terjaga dan terpelihara dari setiap bentuk kekeliruan dan kesalahan. Nabi Saw, tidak akan berkata-kata selain dari jalan wahyu dan pembicaraannya senantiasa terjaga dari hawa nafsu dan kesalahan-kesalahan psikologis, serta indera, khayal, wahm, syuhud, dan akalnya, semuanya selalu terpelihara dari kesalahan dan kekeliruan. Dia, pertama menyaksikan matlab-matlab transendental ('âly) dengan syuhud kalbu dan kemudian menganalisanya dengan rasionalisasi argumentasi, dan yang terakhir baru kemudian mengungkapkannya dengan penalaran rasional dan logikal.

Pembicaraan dia adalah irfani dan sufistik atau hikmah dan filosofis atau teologis atau akhlak dan hukum (fiqih), dan tidak satupun dari tahapan-tahapan persepsinya -indera, khayal, wahm, akal, dan syuhud- dapat dimasuki kesalahan, fallacy, dan tadlîs: "Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya".[16]

Insan kamil ini, jika dia adalah seorang nabi -di samping mendapatkan ilham-ilham inbâîy- maka dia mempunyai wahyu tasyriî; dan jika bukan (seorang nabi) maka dalam wujudnya terdapat suatu substansi yang membuatnya lebih utama dan sempurna dari lainnya, dan dalam sisi ini tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita; seperti para imam maksum As dan juga seperti hadhrat Fatimah Zahra As, ibunda Musa, dan hadhrat Maryam As.

Perlu kita ketahui bahwa sebagian dari pengalaman-pengalaman keagamaan, mungkin disertai dengan kondisi dan sifat khusus, seperti:

1. Sesuatu yang diperoleh dari mitsâl mutthashil, seperti mimpi dan kondisi-kondisi manâmiyyah (yang berkenaan dengan mimpi);

2. Pengalaman-pengalaman yang tidak diketahui dari mitsâl mutthashil atau dari mitsâl munfashil dan jalan keraguan serta zhan (persangkaan) pada mereka adalah terbuka;

3. Sesuatu yang diperoleh dari mitsâl munfashil, seperti: "…maka dia menampakkan diri dihadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna"[17]; malaikat Jibril As dalam bentuk manusia yang sempurna zahir dan menampak atas hadhrat Maryam As;

4. Seluruh musyahadah-musyahadah sahih dan pengalaman-pengalaman keagamaan benar, di bawah naungan wilayah Ilahi para Nabi As, yang menjadi bagian dari para pengikut benar mereka, dan pengujian benar dan salahnya musyahadah dan pengalaman keagamaan berada dalam kerangka komparatif dengan apa yang diperoleh oleh Para nabi As.


Evaluasi Jalan-Jalan Mendapatkan pengalaman Keagamaan
Pengalaman-pengalaman yang didapatkan manusia dari mitsâl mutthashil dan juga pengalaman-pengalaman yang tidak diketahui apakah ia dari mitsâl mutthashil ataukah dari mitsâl munfashil, semuanya itu dalam wilayah kemungkinan ditimpa kesalahan. Kendatipun alam mitsâl mutthashil dan alam yang lebih tinggi darinya adalah alam metafisika dan tidak mempunyai dimensi gerak serta tidak punya persentuhan dengan kondisi materi, akan tetapi dari dimensi pengalaman (persepsi), pelaku pengalaman (yang mempersepsi), dan obyek pengalaman (yang dipersepsi), kemungkinan ditimpa kekeliruan dan kesalahan; sebab apa yang disaksikan pelaku pengalaman dalam mimpi dan alam tidurnya, meskipun ia yakin akan kebenarannya, tetapi itu dari hasil potensi khayal dia dan dalam potensi ini, terdapat ihtimal ketidakterjagaan dari gangguan dan tipu daya setan.

Demikian pula pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari jalan mitsâl munfashil, walaupun dalam mitsâl munfashil tidak ada jalan bagi kebatilan dan kecacatan dan apa saja yang diperoleh dari alam ini semuanya adalah pengalaman rabbani, tetapi pengalaman-pengalaman ini dari aspek pelaku pengalaman (yang mempersepsi) adalah maujud yang tidak tercegah dari terpaan kekeliruan; seperti manusia bermata juling (squint-eyed) yang menyangka setiap hakikat benda di luar mempunyai dua hakikat (dikarenakan kekurangan pada alat penyaksian).

Meskipun ahwal (squint-eyed) dapat melihat obyek di luar dirinya dan memberitakan tentangnya, akan tetapi dikarenakan kecacatan alat penglihatan maka persepsi dia tidak terjaga dari kekeliruan, dan dalam masalah yang kita bahas ini juga, apa yang diperoleh dari mitsâl munfashil dengan perpindahannya pada potensi khayal maka menjadi bahan yang akan dicampuri dan ditangani oleh potensi ini dan wajah kenyataannya (aslinya) akan menjadi berubah. Dari sisi ini maka ia (sesuatu yang didapatkan dari mitsâl munfashil) berbeda dengan yang sebenarnya (hakikatnya); sebagaimana bisa saja dikarenakan pengaruh syuhud illah nâqish (penyaksian sebab tidak sempurna) kemudian menyangka bahwa illah itu sempurna atau dikarenakan kelalaian dari sebagian penghalang-penghalang atau ketidaktahuan terhadap sebagian dari syarat-syarat, dengan perhitungan sebab sudah tâm (sempurna), dia menjadi yakin; padahal hakikatnya tidaklah demikian.

Adapun sâlik dan 'ârif, memperoleh pengalaman dalam maqam akal dan kalbu dan mengetahui perkara-perkara yang tidak mempunyai bentuk, dan mereka mendapatkan itu dengan ruh dan kalbu; seperti persepsi syuhudi tentang masalah khilafah, wilayah, tauhid hakiki, dan sumber risalah dan wilayah. Dalam tataran ini, seluruh ingatan, memori, dan pengalaman adalah rabbani, namun, ketika ingatan, memori, dan pengalaman ini mendapat jalan pada tingkatan yang lebih rendah dan potensi yang lebih di bawah (seperti sampai pada potensi khayal), maka di sinilah terjadi campur tangan dari potensi tersebut. Misalnya, apa yang arif lihat (dalam bentuk pengalaman dan mukasyafah kalbu), itu adalah penglihatan benar dan pendengaran benar, dan mungkin saja dia ('ârif) menyaksikan hadhrat Amirul Mukminin Ali As berada di samping Rasulullah Saw, tapi, dalam perjalanan kembalinya, apa yang disaksikannya itu dicampuri dan dirubah oleh potensi khayalnya sehingga memperlihatkan salah seorang wajah lain dari sahabat menggantikan wajah hadhrat Amirul Mukminin As; sebab muthâlaah (studi dan pembelajaran) dan file memori si pelaku pengalaman, sebelumnya mengambil bentuk seperti ini bahwa sifulan sahabat harus berada di sisi Rasulullah Saw, bukan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As.

Matlab ini juga dikaji dan dijelaskan dalam ilmu irfan teoritis dan para urafa dalam masalah ini adalah satu pandangan; misalnya Qaishari dengan mengikuti Ibnu Arabi, dalam tafsir ayat: "Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku, dan siapa pun yang memasuki rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kehancuran"[18], menuliskan: Kalbu dan ruh adalah bersih dan suci dari kekotoran-kekotoran badani dan dari kegelapan-kegelapan jasmani dan apa yang masuk atas mereka (dari kasyf dan syuhud) semuanya sesuai dengan realitas dan hakikat. Oleh karena itu, semuanya adalah rabbani dan tidak satupun yang menyalahi realitas. Dari sisi ini, telah dikatakan bahwa ingatan-ingatan pertama (kasyf dan syuhud), semuanya dalam hakikat rabbani; kecuali apabila campur tangan dan serangan nafsâni mendapat jalan pada harîm ingatan-ingatan murni pertama dan dia menyimpangkan mereka dari jalan sahih dan mengganti mereka dengan kebohongan, kepalsuan, jeratan-jeratan nafsâni, dan was-was setan.[19]

Oleh karena itu, dalam tahapan dan tingkatan khayal dan wahm, jalan bagi setan adalah terbuka dan setan senantiasa sibuk melancarkan serangan-serangannya: "…Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-kawannya… ."[20] Maka dari itu, selama potensi khayal, tidak dalam pengaruh potensi akal murni dan tidak di bawah kekuasaan akal, maka potensi ini selalu melakukan upaya pembelokan dan membuat penyerupaan dan penggantian terhadap mitsal munfashil dan mutthashil.

Berdasarkan ini, ahli sair suluk senantiasa berhati-hati dan menjaga apa yang didapatkan oleh kalbunya supaya jangan dikotori oleh potensi khayalnya; sebagaimana ahli irfan katakan: hasil-hasil yang didapatkan setiap orang dalam potensi khayal dan mitsâl mutthashilnya -seperti mimpi-mimpi benar- adalah seukuran jernih dan terangnya hatinya, tidak seukuran kemampuan potensi khayalnya; sebab potensi khayal mempunyai kemampuan menukar dan melakukan tipuan.[21]

Berasaskan ini, kita mendapati dalam banyak hadits-hadits bahwa mimpi-mimpi shâdiq dan benar merupakan bagian dari bagian-bagian kenabian, Rasulullah Saw bersabda: …dan sesungguhnya mimpi shâdiqah adalah bagian dari tujuh puluh bagian dari kenabian.[22]

Mimpi, bergantung dengan kondisi dan keadaan seorang mukmin; apabila iman dia lebih kuat maka cermin hatinya akan lebih bening, lebih jernih, lebih terang, dan lebih bercahaya. Nabi Saw bersabda: Yang paling benar di antara mereka (mukminin) mimipi-mimpinya adalah yang paling benar (paling jujur) dari mereka ucapannya.[23]

Imam Ridha As berkata: Nabi Saw setiap pagi mempertanyakan apa yang dilalui sahabat-sahabatnya pada malam hari, yakni apa yang mereka dapatkan: Sesungguhnya Rasulullah Saw, ketika pagi, berkata pada sahabat-sahabatnya, apakah ada berita menggembirakan? Yakni berkenaan mimpi-mimpi.[24]

Nabi Saw mengevaluasi mimpi sahabat-sahabatnya, tapi mimpi-mimpi Rasulullah Saw sendiri -seperti nabi-nabi lainnya- semuanya adalah wahyu; sebab setan tidak punya jalan dalam harimnya dan dia tidak dapat menjelma serupa dengannya; sebagaimana setan juga tidak dapat menjelma menyerupai wajah Nabi Saw, Rasulullah Saw bersabda: Barang siapa yang melihatku dalam tidurnya maka sungguh dia telah melihatku, karena sesungguhnya setan tidak akan menjelma menyerupai wajahku dan wajah salah seorang dari wasiku. Pada kondisi dan tempat dimana setan tidak dapat menyerupai bentuk rupa Rasulullah Saw dan para wasinya maka lebih-lebih lagi setan niscaya tidak mampu mendapat jalan dalam harim wujud mereka dan melakukan tipu dayanya.


10
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: