Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Suami. Show all posts
Showing posts with label Suami. Show all posts

Siapakah Suami Anak Kita?


Menentukan suami untuk anak perempuan kita adalah suatu hal yang sangat penting dan tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Suami adalah penentu masa depan dan jati diri anak kita.
 
Tentu, seluruh orang tua menginginkan anak mereka bahagia di masa mendantang. Salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk menciptakan kebahagiaan ini adalah memilih suami yang baik bagi anak-anak kita.

Mungkin setiap keluarga memiliki tolok ukur-tolok ukur tertentu untuk menciptakan kebahagiaan anak-anak mereka di bawah payung suami mereka.

Tetapi, tolok ukur yang telah dipatenkan oleh agama Islam sungguh adalah sebuah tolok ukur yang sangat sederhana dan mudah dipratikkan oleh semua orang. Memang inilah kelebihan yang dimiliki agama terakhir Ilahi ini.

Seseorang sahabat datang menjumpai Imam Hasan Mujtaba as dan bertanya, “Siapakah suami yang layak saya pilih untuk anak perempuanku?” “Orang yang berkomitmen kepada agama,” jawab Imam Hasan ringkas. “Mengapa?” tanya sahabat itu lagi. Imam Hasan menjawab, “Jika ia menyukai anakmu, maka ia pasti memuliakan dan menghormatinya. Tetapi, apabila ia tidak menyukainya, maka paling tidak ia tidak akan melaliminya.”

Komitmen kepada agama akan tampak dalam sisi ini. Seseorang yang benar-benar meyakini Allah tidak akan pernah melalimi siapapun. Jika kita menyaksikan banyak suami yang menginjak-injak istri mereka, maka faktor utama hal ini adalah keyakinan semacam itu tidak tertanam dalam kalbu mereka.

(Shabestan/ABNS)

Fatwa Wahabi, Mufti Saudi: Suami Boleh Memakan Isteri Apabila Kelaparan


Sebagaimana diberitakan oleh berbagai media Arab, termasuk al-Quds al-Arabi, al-Yaoum al-Sabea, al-Alam al-Youm, dan Erem News beberapa jam lalu, Mufti Besar Arab Saudi berpendapat bahwa suami boleh memakan satu anggota tubuh atau bahkan keseluruhan tubuh isterinya apabila kelaparan yang dialami suami “mencapai batas yang besar”.

Menurut Kantor Berita ABNA, Nama Mufti Besar Arab Saudi Syeikh Abdul Aziz al-Sheikh kembali menjadi gunjingan orang, terutama di media sosial masyarakat Timur Tengah. Pasalnya, ulama beraliran Wahabisme kelahiran tahun 1943 ini dikabarkan telah mengeluarkan fatwa baru yang belum pernah didengar orang sebelumnya, yaitu membolehkan suami memakan tubuh isteri apabila sedang dalam kondisi kelaparan sehingga dikhawatirkan jiwanya terancam.

Sebagaimana diberitakan oleh berbagai media Arab, termasuk al-Quds al-Arabi, al-Yaoum al-Sabea, al-Alam al-Youm, dan Erem News beberapa jam lalu, Mufti Besar Arab Saudi berpendapat bahwa suami boleh memakan satu anggota tubuh atau bahkan keseluruhan tubuh isterinya apabila kelaparan yang dialami suami “mencapai batas yang besar”.

Syeikh Abdul Aziz al-Sheikh yang merupakan salah satu keturunan Mohammad bin Abdul Wahhab, pendiri aliran Wahabisme, tersebut mengatakan bahwa fatwa ini merupakan dalil tentang pengorbanan dan ketaatan isteri bagi suaminya serta keinginan isteri untuk mempersatukan dua raga.

Fatwa aneh ini tak ayal membangkitkan kontroversi luas di jejaring sosial, khususnya Twitter. Banyak pemilik akun Twitter asal Arab Saudi menyatakan terusik oleh fatwa tersebut.

Satu akun di antaranya, Ahmad, mengejek dengan berkicau, “Sebagian orang terheran-heran oleh fatwa (Mufti Saudi) yang telah mensyariatkan suami memakan isteri saat kelaparan!! Padahal, mufti yang sama juga telah mengafirkan setiap orang yang mengatakan bahwa bumi bentuknya bulat.”

Akun lain, Ali Majid, menuliskan, “Mufti Saudi mengeluarkan fatwa suami boleh memakan isteri apabila dalam kondisi sangat kelaparan adalah supaya semua orang mengetahui bahwa perempuan sama dengan roti falafel.”

Sedemikian aneh fatwa itu sehingga sebagian akun menyatakan ragu bahwa fatwa itu benar-benar dikeluarkan oleh Mufti Besar Arab Saudi.


(Source)

Menonton film-film porno dengan maksud mempelajarinya guna memuaskan pasangan pada malam pertama


Apakah boleh menonton film-film porno dengan maksud mempelajarinya guna memuaskan pasangan pada malam pertama?
Pertanyaan:
Apakah dosa orang yang menonton film porno dengan maskud dapat memasuki malam pertama dengan lebih siap? Apakah amalan-amalan yang dilakukan dalam film berseberangan dengan amalan-amalan yang dianjurkan dalam Islam? Apakah bermasalah saya menonton film atau foto porno yang hanya memancing syahwat saya dan apakah saya harus mandi wajib?
Jawaban Global:
Malam pertama atau yang disebut sebagai zafâf adalah malam ketika dua pasangan yang telah dikat oleh hubungan suami-istri tidur seranjang dan sepembaringan untuk pertama kalinya.  Malam ini merupakan malam yang sangat penting dan penuh berkah serta banyak menyisakan pengaruh pada kehidupan dan masa depan kedua pasangan. Karena itu, sebaiknya kedua pasangan suami-istri mempelajari adab-adab yang sesuai dengan tradisi Islam dan apa yang disebutkan pada sebagian riwayat dan sebagian literatur Islam. Kedua pasangan yang baru saja melepas masa lajangnya ini harus sedapat mungkin menghindari dosa dan maksiat untuk melaksanakan amalan-amalan pada malam istimewa ini seperti menonton film-film porno dengan dalih ingin mempelajari praktik-praktik yang harus dilakukan pada malam ini.

Amat sering terjadi akibat dari menonton film-film seperti ini banyak orang terjerat perangkap setan sehingga terjadi penyimpangan pada mereka dan juga pada keluarga.

Imam Khamenei dalam menjawab pertanyaan, “Apa hukumnya menonton film-film yang mengajarkan tata cara menggauli istri yang sedang hamil bagi suami, supaya mereka tidak terjerembab dalam perbutan haram (lainnya)? Jawabnya, “Tidak dibenarkan menonton film-film seperti ini karena senantiasa disertai dengan pandangan penuh syahwat dan membangkitkan birahi.”[1]

Demikian juga dalam menjawab pertanyaan, “Apakah menonton film-film yang membangkitkan syahwat dibolehkan bagi pria yang telah beristri?” Imam Khameni menjawab, “Tidak dibolehkan apabila mereka  menonton dengan tujuan untuk mengundang syahwat atau membangkitkan birahi mereka.”[2]

Karena itu, menonton film-film seperti ini bahkan dengan dalih ingin memperlajari bagiamana melewati malam pertama (zafâf) dan orang yang menonton juga tidak akan melakukan dosa tetap tidak dibolehkan karena menonton film-film seperti ini selalu disertai dengan pandangan penuh syahwat. Lain halnya bagi bagi orang-orang yang cacat pikiran dan orang-orang yang termasuk terbelakang dari sisi akal sehat dan jasmaninya dan mereka hanya dapat mengetahui bagaimana menggauli pasangan dengan cara seperti ini.

Adapun jawaban Ayatullah Mahdi Hadawi (Semoga Allah Swt Melanggengkan Keberkahannya) terkait dengan pertanyaan sepert iini adalah sebagai berikut:
"Anda harus menghindari melihat film-film dan foto-foto seperti ini. Dan mandi tidak wajib bagi Anda selama sperma tidak keluar.".

Referensi:
[1]. Taudhih al-Masâil (al-Muhassyâ lil Imâm al-Khomeini), jil. 2, hal. 974, Pertanyaan 1200.
[2]. Taudhih al-Masâil (al-Muhassyâ lil Imâm al-Khomeini), jil. 2, hal. 974, Pertanyaan 1199.

Empat Jenis Hubungan Pasutri


Dalam al-Qur’an ada empat jenis hubungan pasangan suami-istri (pasutri). Masing2 hubungan ini merefleksikan hubungan pasutri dari sejak zaman bahela hinggi kiwari ini. Yuk kita tengok.

Pertama, hubungan saling mendukung menuju kesempurnaan dan kebaikan, seperti hubungan Muhammad dan Khadijah, serta Ali dan Fathimah. Mereka disebut dalam ayat, “Wa yuth’imunath-tha’ama ‘ala hubbihi miskinan wa yatiman wa asira.” Artinya: “Mereka memberi makan dengan suka rela pada orang miskin, anak yatim dan tawanan.” Ya Allah, jadikan aku dan istriku sebagai pasangan yang meniru mereka. Amien!

Kedua, suami-istri yang bergandengan dalam keburukan. Allah berfirman, “Tabbat yada abilahab…wamraatuhu hammalatal khathab.” Ini surah tentang Abu Lahab dan istrinya. Mengerikan. Nasib mereka sungguh sengsara di dunia, jangan tanya bagaimana di akhirat.

Ketiga, suaminya di jalan yang benar, tapi istrinya tersesat—seperti dalm kasus Nabi Nuh dan Lut.

Keempat, istrinya di jalan yang benar, tapi suaminya tidak benar—seperti dalam kasus Fir’aun dan Asiah.

Minta Maaf kepada Istri Dapat Memperpanjang Umur







Bagi seorang pria mungkin terkadang gengsi untuk meminta maaf kepada pasangannya, bila melakukan kesalahan yang menyakiti pasangan.

Tapi sebenarnya, meminta maaf kepada istri atau pasangan memiliki dampak positif bagi kesehatan Pria.
Sejumlah peneliti Amerika Serikat, seperti dilberitakan DailyMail, mengungkapkan bahwa, meminta maaf pada istri dapat memperpanjang umur.

Lantas, apa hubungan antara meminta maaf dengan umur panjang?
Hubungannya, dengan meminta maaf seseorang akan merasa lebih rileks dan terhindar dari stress.
Seseorang yang terhindar dari stress dapat terhindar dari resiko kerusakan jantung.

Detak jantung Pria yang merasa bersalah dan tak mau meminta maaf pada pasangan akan lebih cepat 20 kali.

Setelah mereka meminta maaf maka detak jantung dan tekanan darah akan kembali normal.
Peneliti tersebut, melakukan riset pada sekira 29 pria dan 59 pria dengan memeriksa tekanan diastolik pada darah.

Tekanan diastolik merupakan ukuran tekanan pada darah selain sistolik. tekanan diastolik yang tinggi dapat terhubung dengan resiko penyakit stroke.

Hasil penelitian lain juga menunjukkan, bahwa tekanan diastolik perempuan lebih cepat kembali normal ketimbang pria, setelah meminta maaf. “Hasil penelitian menunjukkan, neminta maaf memiliki manfaat bagi kesehatan,” ujar salah seorang peneliti.

Nah, mulai sekarang, bersediakah para pria meminta maaf pada pasangan Anda?. 

(www.suaramedia.com)

Suami-Isteri Yang Serasi


Sitti Fatimah (as) dengan perasaan bahagia pindah ke rumah suaminya yang sangat sederhana itu. Selama ini ia telah menerima pelajaran cukup dari ayahandanya tentang apa artinya kehidupan ini. Rasul Allah (saww) telah mendidiknya, bahwa kemanusiaan itu adalah intisari kehidupan yang paling berharga. Ia juga telah diajar bahwa kebahagiaan rumah-tangga yang ditegakkan di atas fondasi akhlaq utama dan nilai-nilai Islam, jauh lebih agung dan lebih mulia dibanding dengan perkakas-perkakas rumah yang serba megah dan mewah.
Imam Ali (as) bersama isterinya hidup dengan rasa penuh kebanggaan dan kebahagiaan. Dua-duanya selalu riang dan tak pernah mengalami ketegangan. Sitti Fatimah (as) menyadari, bahwa dirinya tidak hanya sebagai puteri kesayangan Rasul Allah (saww), tetapi juga isteri seorang pahlawan Islam, yang senantiasa sanggup berkorban, seorang pemegang panji-panji perjuangan Islam yang murni dan agung. Sitti Fatimah berpendirian, dirinya harus dapat menjadi tauladan. Terhadap suami ia berusaha bersikap seperti sikap ibunya (Sitti Khadijah (as)) terhadap ayahandanya, Nabi Muhammad (saww).

Dua sejoli suami isteri yang mulia dan bahagia itu selalu bekerja sama dan saling bantu dalam mengurus keperluan-keperluan rumah tangga. Mereka sibuk dengan kerja keras. Sitti Fatimah (as) menepung gandum dan memutar gilingan dengan tangan sendiri. Ia membuat roti, menyapu lantai dan mencuci. Hampir tak ada pekerjaan rumah-tangga yang tidak ditangani dengan tenaga sendiri.

Rasul Allah (saww) sendiri sering menyaksikan puterinya sedang bekerja bercucuran keringat. Bahkan tidak jarang beliau bersama Imam Ali (as) ikut menyingsingkan lengan baju membantu pekerjaan Sitti Fatimah (as).
Banyak sekali buku-buku sejarah dan riwayat yang melukiskan betapa beratnya kehidupan rumah-tangga Imam Ali (as). Sebuah riwayat mengemukakan: Pada suatu hari Rasul Allah (saww). berkunjung ke tempat kediaman Sitti Fatimah (as). Waktu itu puteri beliau sedang menggiling tepung sambil melinangkan air mata. Baju yang dikenakannya kain kasar. Menyaksikan puterinya menangis, Rasul Allah (saww) ikut melinangkan air mata. Tak lama kemudian beliau menghibur puterinya: “Fatimah, terimalah kepahitan dunia untuk memperoleh kenikmatan di akhirat kelak.”

Riwayat lain mengatakan, bahwa pada suatu hari Rasul Allah (saww) datang menjenguk Sitti Fatimah (as), tepat: pada saat ia bersama suaminya sedang bekerja menggiling tepung. Beliau terus bertanya: “Siapakah di antara kalian berdua yang akan kugantikan?”
“Fatimah! ” Jawab Imam Ali (as). Sitti Fatimah lalu berhenti diganti oleh ayahandanya menggiling tepung bersama Imam Ali (as).

Masih banyak catatan sejarah yang melukiskan betapa beratnya penghidupan dan kehidupan rumah-tangga Imam Ali (as). Semuanya itu hanya menggambarkan betapa besarnya kesanggupan Sitti Fatimah (as) dalam menunaikan tugas hidupnya yang penuh bakti kepada suami, taqwa kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya.

Ada sebuah riwayat lain yang menuturkan betapa repotnya Sitti Fatimah (as) sehari-hari mengurus kehidupan rumah-tangganya. Riwayat itu menyatakan sebagai berikut: Pada satu hari Rasul Allah (saww) bersama sejumlah sahabat berada dalam masjid menunggu kedatangan Bilal bin Rabbah, yang akan mengumandangkan adzan sebagaimana biasa dilakukan sehari-hari. Ketika Bilal terlambat datang, oleh Rasul Allah (saww) ditegor dan ditanya apa sebabnya. Bilal menjelaskan:
“Aku baru saja datang dari rumah Fatimah. Ia sedang menggiling tepung. Al Hasan, puteranya yang masih bayi, diletakkan dalam keadaan menangis keras. Kukatakan kepadanya, “Manakah yang lebih baik, aku menolong anakmu itu, ataukah aku saja yang menggiling tepung.” Ia menyahut, “Aku kasihan kepada anakku.” Gilingan itu segera kuambil lalu aku menggiling gandum. Itulah yang membuatku datang terlambat!”
Mendengar keterangan Bilal itu Rasul Allah (saww) berkata: “Engkau mengasihani dia dan Allah mengasihani dirimu!”

Hal-hal tersebut di atas adalah sekelumit gambaran tentang kehidupan suatu keluarga suci di tengah-tengah masyarakat Islam. Kehidupan keluarga yang penuh dengan semangat gotong-royong. Selain itu kita juga memperoleh gambaran betapa sederhananya kehidupan pemimpin-pemimpin Islam pada masa itu. Itu merupakan contoh kehidupan masyarakat yang dibangun oleh Islam dengan prinsip ajaran keluhuran akhlaq. Itupun merupakan pencerminan kaidah-kaidah agama Islam, yang diletakkan untuk mengatur kehidupan rumah-tangga.

Rasul Allah (saww), Imam Ali (as) dan Sitti Fatimah (as), ketiganya merupakan tauladan bagi kehidupan seorang ayah, seorang suami dan seorang isteri di dalam Islam. Hubungan antar anggota keluarga memang seharusnya demikian erat dan serasi seperti mereka.

Tak ada tauladan hidup sederhana yang lebih indah dari tauladan yang diberikan oleh keluarga Nubuwwah itu. Padahal jika mereka mau, lebih-lebih jika Rasul Allah (saww) sendiri menghendaki, kekayaan dan kemewahan apakah yang tidak akan dapat diperoleh beliau?
Tetapi sebagai seorang pemimpin yang harus menjadi tauladan, sebagai seorang yang menyerukan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan serta persamaan, sebagai orang yang hidup menolak kemewahan duniawi, beliau hanya mengehendaki supaya ajaran-ajarannya benar-benar terpadu dengan akhlaq dan cara hidup ummatnya. Beliau mengehendaki agar tiap orang, tiap pendidik, tiap penguasa dan tiap pemimpin bekerja untuk perbaikan masyarakat. Masing-masing supaya mengajar, memimpin dan mendidik diri sendiri dengan akhlaq dan perilaku utama, sebelum mengajak orang lain. Sebab akhlaq dan perilaku yang dapat dilihat dengan nyata, mempunyai pengaruh lebih besar, lebih berkesan dan lebih membekas dari pada sekedar ucapan-ucapan dan peringatan-peringatan belaka. Dengan praktek yang nyata, ajakan yang baik akan lebih terjamin keberhasilannya.

Sebuah riwayat lagi yang berasal dari Imam Ali (as) sendiri mengatakan: Sitti Fatimah pernah mengeluh karena tapak-tangannya menebal akibat terus-menerus memutar gilingan tepung. Ia keluar hendak bertemu Rasul Allah (saww). Karena tidak berhasil, ia menemui Aisyah (ra). Kepadanya diceritakan maksud kedatangannya. Ketika Rasul Allah (saww) datang, beliau diberitahu oleh Aisyah (ra) tentang maksud kedatangan Fatimah yang hendak minta diusahakan seorang pembantu rumah-tangga. Rasul Allah (saww) kemudian datang ke rumah kami. Waktu itu kami sedang siap-siap hendak tidur. Kepada kami beliau berkata: “Kuberitahukan kalian tentang sesuatu yang lebih baik daripada yang kalian minta kepadaku. Sambil berbaring ucapkanlah tasbih 33 kali, tahmid 33 kali dan takbir 34 kali. Itu lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu yang akan melayani kalian.”

Sambutan Nabi Muhammad (saww) atas permintaan puterinya agar diberi pembantu, merupakan sebuah pelajaran penting tentang rendah-hatinya seorang pemimpin di dalam masyarakat Islam. Kepemimpinan seperti itulah yang diajarkan Rasul Allah (saww) dan dipraktekan dalam kehidupan konkrit oleh keluarga Imam Ali (as). Mereka hidup setaraf dengan lapisan rakyat yang miskin dan menderita. Pemimpin-pemimpin seperti itulah dan yang hanya seperti itulah, yang akan sanggup menjadi pelopor dalam melaksanakan prinsip persamaan, kesederhanaan dan kebersihan pribadi dalam kehidupan ini.
_______________
Dikutip dari Sejarah Hidup Imam Ali (AS), oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini, Muslim Cyber Book

Sunni ijinkan memperkosa Budak/tawanan perang, Versi Syi’ah bahwa budak wajib dinikahi sebelum disetubuhi

Versi  Syi’ah bahwa budak wajib dinikahi sebelum disetubuhi..Inilah Prinsip  Syi’ah tentang BUDAK.. Sebagian hadis sunni dibuat buat oleh raja raja zalim untuk mengkondisikan seolah olah Nabi SAW sama biadabnya dengan Mu’awiyah cs… Kami menolak hadis bar bar buatan sunni…

Hadis hadis Sunni membuat buat fitnah terhadap Nabi kami :
1. Muhammad Tidak Melarang TINDAKAN COITUS terhadap BUDAK!
MUSLIM, Book 008, Number 3388:
Jabir (Allah be pleased with him) reported: We used to practise ‘azl during the lifetime of Allah’s Messenger (saw). This (the news of this practise) reached Allah’s Apostle (saw), and he did not forbid us.
2.Hadis hadis Sunni membuat buat fitnah terhadap Nabi kami : Bahkan Mengijinkan dan Menyetujui Tindakan Ali (menantu muhammad) MENG-Coitus Budak dari Khumus (harta rampasan perang hak milik muhammad).

BUKHARI, Volume 5, Book 59, Number 637:
Narrated Buraida:
The Prophet sent ‘Ali to Khalid to bring the Khumus (of the booty) and I hated Ali, and ‘Ali had taken a bath (after a sexual act with a slave-girl from the Khumus). I said to Khalid, “Don’t you see this (i.e. Ali)?” When we reached the Prophet I mentioned that to him. He said, “O Buraida! Do you hate Ali?” I said, “Yes.” He said, “Do you hate him, for he deserves more than that from the Khumus.”.

Dari roman yg disadur dari kisah-kisah nyata:

 Ilustrasi : Tentara Turki Sunni siap menjemput wanita2 tahanan perang yg akan dijadikan anggota harem.

Pasar Perlelangan Budak di Afrika !  

Pasar budak : baik lelaki maupun perempuan bisa dijadikan budak seks. Inilah keadilan dlm Sunni. Sunni tidak membedakan jenis kelamin.

Pasar lelang budak di Zanzibar paling terkenal dgn budak2 putihnya !  

 Tanda Permanen sbg Budak: Lelaki Turki Menandai tubuh Gadis2 Yahudi yg mereka Perbudak.

Satu Lagi Macam Tanda Budak (sori, bukan om ali mau jorok. Tapi kenyataannyaSunni memang membuat Muslim jorok!).

 Selamat nak ! Kau naik pangkat, dari tahanan menjadi anggota harem.



 Menunggu hukuman ala sunni bagi budak yg melawan majikan Atau langsung ditikam saja. Nggak perlu revot !

OOOhhhh sunni…
anehhh sekali isi dari perintah2 mu, bikin aku tambah yakin ajaran sunni = ajaran sesat
wah ada lambang aloh di dekat MRS.V budak… tanda itu di taruh disitu mungkin mksudnya spy yg mendapat budak itu selalu ingat ajaran sunni.
Syi’ah  datang justru untuk menghapus perbudakan !!
Sunni  menghalalkan PERKOSAAN  terhadap tawanan perang wanita  yang dijadikan budak setelah suami-suami mereka dibunuh  !!!

Sunni menghalalkan zina dan perkosaan terhadap tawanan perang  wanita (budak) tanpa akad nikah, tanpa mas kawin, tanpa prosesi apapun. Jika hamil maka si perempuan dan anaknya tetap menjadi BUDAK,,,

Syi’ah  membantahnya !!!
Versi  Syi’ah bahwa budak wajib dinikahi sebelum disetubuhi...
Dalam hal ini kami katakan kepada para Nashibi Wahabi maupun kepada saudara Sunni :
“Janganlah melempari rumah orang lain dengan batu, jika rumah kalian terbuat dari kaca  !!!”
Hadis Hadis Yang Ada Dalam Kitab Shahih Sunni bukan semua hadis Nabi yang asli, tetapi ada REKAAN ORANG ORANG  TERTENTU  yang dinisbatkan kepada Nabi untuk mengkondisikan bahwa Nabi  seolah olah  sama biadabnya  dengan  Mu’awiyah  bin ABU SOFYAN
======
Ayat ayat perbudakan  masih relevan untuk dipakai, tidak ada yang  mansukh apalagi  basi...
Prinsip  Syi’ah tentang BUDAK :
1. Sebelumnya diberi kesempatan untuk menebus dirinya dengan cara memungut tebusan, jika tidak mampu maka boleh mengajar baca tulis kepada anak anak kaum muslimin, dalil : Qs. 24:33, Qs. 47:4, Qs. 4:25
2. Tawanan perang wanita (kafir) dihalalkan disetubuhi dengan syarat :
a. Telah mau masuk islam alias bukan kafir/musyrik, sehingga terputuslah hubungan perkawinan dengan suaminya yang masih kafir atau musyrik, dalil : Qs 2 :21.
b. Budak perempuan harus dinikahi sebelum disetubuhi, dalil : Qs. 4:3, Qs. 23:6, Qs. 33:50, Qs.4:24, Qs.33:50, Qs.70:30.
3. Setelah nikah, budak menjadi orang merdeka. Pernikahan dengan budak merupakan upaya syi’ah melepas perbudakan, dalil : Qs. 90:13.
4. Memperkosa budak atau menzinai budak apalagi yang kafir musyrik maka haram hukumnya, dalil : Qs.17:32, Qs.24:33.
5. Zakat merupakan upaya syi’ah melepas perbudakan , dalil : Qs.9:60.
=======
“Penghalalan Budak Wanita” Terdapat Dalam Sunni Umar Bin Khatab Dan Budak Wanita
RIWAYAT PERTAMA:
Imam al-Bayhaqi mencatat dalam “Al Sunan al Kubra” jilid 2 , hal.227:

عن جده أنس بن مالك قال كن إماء عمر رضي الله عنه يخدمننا كاشفات عن شعورهن تضطرب ثديهن قال الشيخ والآثار عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه في ذلك صحيحة

Anas bin Malik berkata : “Budak perempuan Umar melayani kami dengan rambut tidak tertutup dan payudara mereka bergetar”
Al-Bayhaqi menyatakan kedudukan riwayat diatas “Shahih” Al-Bani Sang Wahabi dalam “Irwa al-Ghalil” jilid. hal. 204 mengatakan : “Rantai (sanad) riwayat tersebut SEMPURNA”

RIWAYAT KEDUA:
Dalam Al-Mushanaf oleh Ibn Abi Syaibah (j.2 h.41 H.6236 ) mencatat :
Anas berkata : Umar melihat budak perempuan milik kami (milik Anas)
menggunakan syal (kerudung), lalu Umar memukulnya dan berkata
kepadanya (kpd budak wanita tsb) : Jangan berperilaku seperti wanita
merdeka”
Ibnu Hajar dalam “al-Diraya” (j.1 h.124) dan Al-Bani Sang Wahabi dalam
“Irwa al-Ghalil” j.6 h.203 menyatakan kedudukan riwayat tersebut “Shahih.

RIWAYAT KETIGA:
عن المسيب بن دارم قال : رأيت عمر وفي يده درة فضرب رأس أمة حتى سقط القناع عن رأسها ، قال : فيم الأمة تشبه بالحرة
Al-Musayyab bin Darum berkata : “Aku melihat Umar memegang tongkat
ditangannya dan memukul seorang budak perempuan hingga penutup
kepalanya (kerudung) terjatuh, lalu ia (umar) berkata : “Mengapa
berperilaku seperti wanita merdeka”
Riwayat diatas ada dalam Kanzul Umal, jilid.15 hal. 486 : كنز العمال في سنن الأقوال والأفعال
Kanzul Umal, j.15 h. 486 (online)
Tarikh Damisyq, j.58 h.191 (online)
Salahkah seorang budak wanita menggunakan “hijab”..?? Apa motif Umar
melarang seorang wanita menggunakan kerudung..??
.
Ibn Umar Dan Budak Wanita
Ulama Sunni, Al Bayhaqi dalam Sunnan Al-Kubra, jilid.5 hal. 329:

عن نافع ، عن ابن عمر ” أنه كان إذا اشترى جارية كشف عن ساقها ووضع يده بين ثدييها و على عجزها
Nafi’i meriwayatkan bahwa kapanpun ketika Ibn Umar ingin membeli budak wanita, ia (ibn Umar) akan memeriksa (budak tsb) dengan menganalisa kakinya dan meletakkan tangan di antara payudara dan bokongnya “.
الكتاب : السنن الكبرى للبيهقي
Sunnan Al-Kubra, jilid.5 hal. 329 (online)

Keterangan Sang Nashibi Wahabi :
Al-Bani Sang Wahabi menyatakan riwayat tersebut “Shahih” dalam “Mukhtasir Irwa Al-Ghalil Fi Takhrij
Ahadits Manar Al-Sabil” jilid.1 hal.355 , H.1792.

Dan dalam Al Mushanaf Abdul Razaq jilid.7 , hal.286 , H.13204)
“Mujahid meriwayatkan bahwa Ibn Umar meletakkan tangannya diantara payudara dan mengguncangnya.
.
Mushanaf Abdul Razaq (online)

NB : yang ingin protes silahkan protes kepada penyusun kitab-kitab diatas.

IBN HAZM.
Ulama Sunni, Ibn Hazm (Al-Mahala j.12, h. 207-209) memberikan keterangan jelas dan rinci mengenai permasalah budak wanita, dan bagi siapa sajakah budak wanita dapat dihalalkan untuk orang lain.
.
Hamam meriwayatkan dari Ibn Mufaraj dari Ibn Arabi dai Al Dari dari Abdul Razaq dari Ibn Juraij dari Amr bin Dinar dari Tawus bahwa Ibn Abbas Berkata : “Jika seorang wanita (merdeka) membuat budak wanitanya halal untuk seorang laki-laki atau anak perempuannya atau saudaranya, biarkan (laki2 tsb) melakukan hubungan intim dengannya, ia (budak wanita tsb) akan tetap milik nya (wanita merdeka/pemiliknya), biarkan ia (laki-laki tsb) melakukan hubungan cepat
diantara pahannya.
Dalam halaman yang sama disebutkan bahwa budak wanita dihalalkan melahirkan (memberikan/mengandung) anak dari seorang laki-laki yang telah di halalkan budak wanita tersebut oleh istrinya sendiri :
Ibn Juraij meriwayatkan dari Ibn Thawus dari ayahnya bahwa ia tidak melihat adanya masalah dalam hal tesebut dan berkata : “Itu Halal, jika ia (budak wanita)
melahirkan seorang anak, maka anak tersebut bebas (merdeka) dan budak wanita (tetap) milik istri (laki2 tsb) dan tidak ada hukuman
apapun untuk suaminya”.
Selanjutnya tercatat :
Ibn Juraij meriwayatkan dari Ibrahim bin Abi Bakr dari Abdurrahman bin Zadwih dari Thawus, berkata : Itu Halal sebagaimana (halalnya) makanan, jika ia (budak wanita tsb) melahirkan seorang anak, anak tersebut sah dan dimiliki oleh pemilik (tuan-nya) yg pertama”.
Dalam pandangan ulama sunni diatas jelas bahwa seorang laki-laki diperbolehkan berhubungan intim dengan budak wanita yang telah dihalalkan untuknya, dan budak wanita tersebut jika melahirkan anak, maka anaknya sah, dan anak yang dilahirkan tersebut menjadi pemilik budak wanita tersebut
.
Ini yang dilaporkan Bukhari:Abu Saeed berkata: “Kami pergi bersama Rasul Allâh ke Ghazwa tempat Banu Al-Mustaliq dan kami menerima tawanan2 diantar tawanan2 Arab dan kami berhasrat pada wanita2 dan sukar untuk tidak berhubungan seks dan kami senang melakukan azl. Maka ketika kami hendak melakukan azl, kami berkata, ‘Bagaimana kami bisa melakukan azl sebelum bertanya pada Rasul Allâh yang ada diantara kita?’ Kami lalu bertanya padanya dan dia berkata, ‘Lebih baik jangan lakukan itu, karena jikalau sebuah jiwa (sampai hari kiamat) telah ditakdirkan akan ada, maka jiwa itu akan tetap ada.”[1]
sumber :
[1] Bukhari, Volume 5, Buku 59, Nomer 459. Banyak hadis sahih menyatakan bagaimana Muhammad mengijinkan hubungan seks dengan budak2 wanita, tapi tidak perlu melakukan azl/coitus interruptus karena jika Allâh memang mau seseorang untuk lahir, maka jiwa orang itu
akan lahir meskipun dilakukan azl/coitus interruptus.

Lihat juga hadis sahih di bawah ini:
Bukhari 3.34.432: “Dikisahkan oleh Abu Saeed Al-Khudri: ketika dia duduk bersama Rasul Allâh dia berkata, “Wahai Rasul Allâh! Kami memiliki tawanan2 wanita sebagai jatah jarahan perang, dan kami ingin tertarik mengetahui harga mereka, apakah pendapatmu tentang azl/coitus interruptus?” Sang Nabi berkata, “Apakah kau memang melakukan itu?
Sebaiknya jangan. Jiwa yang sudah ditakdirkan Allâh untuk ada, akan
tetap ada.”

Sahih Muslim juga dianggap sahih oleh semua Muslim. Inilah hadis Sahih Muslim 8.3381: “Rasul Allâh (s.a.w.) ditanyai tentang azl/coitus interruptus dan dia menjawab: Seorang anak tidak terbentuk dari semua cairan (sperma) dan jika Allâh memang merencanakan menciptakan sesuatu maka tiada yang dapat mencegahnya.”.
Kaum Muslim juga menganggap hadis Abud Daud sahih. Inilah hadis sahih Abu Daud, 29.29.32.100: “Yahya mengisahkan padaku dari Malik dari Humayd ibn Qays al-Makki bahwa seorang pria bernama Dhafif berkata bahwa Ibn Abbas ditanyai tentang azl/coitus interruptus. Dia memanggil seorang budak wanita dan katanya, ‘Katakan pada mereka.’ Budak wanita itu merasa malu. Ibn Abbas berkata, ‘Baiklah, aku katakan sendiri..’
Malik berkata, ‘Seorang pria tidak melakukan coitus interruptus dengan wanita merdeka kecuali jika wanita itu mengijinkannya. Tidak ada salahnya melakukan coitus interruptus dengan seorang budak wanita tanpa ijin darinya. Seseorang mengawini budak orang lain tidak melakukan coitus interruptus dengannya kecuali jika kalangan budak wanita itu memberinya ijin.”.

Juga lihat Bukhari 3.46.718, 5.59.459, 7.62.135, 7.62.136, 7.62.137, 8.77.600, 9.93.506 Sahih Muslim 8.3383, 8.3388, 8.3376, 8.3377, dan banyak lagi.
IMAM MALIK :
Masih dalam halaman yang sama ada sedikit perbedaaan dalam pandangan Imam Malik :
“Ia (budak wanita tsb) tetap milik tuannya selama ia (budak wanita) tsb tidak hamil, jika ia hamil, kepemilikannya berpindah kepada orang yang mana ia dihalalkan bagi orang tersebut”. Pernah ia berkata : “Kepemilikannya akan berpindah mengikuti (dengan siapa) pertama kali ia berhubungan intim”.
Masih dalam halaman yang sama disebutkan bahwa tidak ada hukuman untuk “berbagi” seorang budak wanita :
Abu Muhammad (ra) berkata : “Ini adalah sebuah pandangan dan Sufyan Al Thawri, (Abu Muhammad) berkata : “Malik dan sahabat-sahabatnya berkata : ” Tidak ada hukuman (hadd) dalam semua itu”
Perbedaan Sunni dan Syiah dalam hal ini sangat jelas bahwa kehalalan budak wanita untuk orang lain
dalam Syiah harus dengan pernikahan dan tidak cukup hanya dengan kata “Halal”. Dan dalam pandangan Sunni riwayat-riwayat dalam Al Mahala oleh Ibn Hazm sangatlah jelas.
.
I’arat al furuj dalam Sunni :
“Tidak ada hadd (hukuman) dalam hal ini karena menurut Ata’ “meminjamkan Kemaluan” (I’arat al furuj) diperbolehkan”.
(Syarh al-Kabir oleh Abu Barakat, j.3 h. 25) =>Mazhab MALIKI. Ulama Sunni, Ibn Qudamah dalam karya besarnya “Al Mughni” ( j. 9 h. 157) mencatat :
“Jika budak wanita “dibagi” kepada dua orang dan keduanya melakukan hubungan intim dengannya (dg budak wanita tsb), dia (budak wanita tsb) harus melakukan dua istibra.
====
Buka pikiran kita dengan jernih dan selamat membaca.
Kami tidak habis pikir mengapa para Nashibi selalu menggunakan cara yang paling hina untuk melawan Syiah, fitnah kepada Syiah Imamiyah selalu mereka gunakan, dan anehnya sebagian oknum sunni dengan senang membela mereka seolah seperti “pemandu sorak” sebuah team pemfitnah, jika memang oknum tersebut seorang pencari kebenaran, maka sudah pasti ia akan menjadi penengah atau paling tidak bersikap diam atas apa yang tidak mereka ketahui alih-alih membantu para nashibi tersebut dengan ucapan-ucapan konyol demi mengurangi “sakit hati” mereka atas fakta sejarah yang termaktub dalam kitab-kitab mereka sendiri yang terkuak akibat fitnah dan serangan mereka sendiri kepada Syiah Imamiyah. 
Dalam hal ini kami katakan kepada para Nashibi Wahabi maupun kepada saudara Sunni :
“Janganlah melempari rumah orang lain dengan batu, jika rumah kalian tebuat dari kaca”
.
FITNAH WAHABI NASHIBI.
Fitnah Pertama :
Beberapa waktu lalu seorang Nashibi Wahabi dengan percaya diri mengcopy paste tulisan para Nashibi lainnya seperti dibawah ini, dengan alasan ia mengutip dari al Kafi :
Muhammad Ibnu Mudharrib berkata: Berkata kepadaku Abu Abdullah: “Hai Muhammad, ambillah PUTRI ini untuk melayanimu dan untuk kamu setubuhi. Maka bila kamu telah selesai menyetubuhinya, kembalikan dia kepadaku.” (Furu al Kafi hal. 200).
Sepintas orang yang membaca akan tercengang dengan fitnah yang sangat keji ini, orang awam seperti saya akan kaget membaca apa yangg dia bawakan, dan sebagian orang mungkin akan mengatakan : “Jadi seperti ini Syiah, mengahalalkan anak perempuan untuk disetubuhi orang lain, pantas aja sesat..!”
.
Sekarang saatnya kita bongkar satu persatu fitnah Nashibi tersebut, dengan membawakan teks asli dari al Kafi, saya akan mengutip dari Al Kafi Jilid 5 halaman 470 (Darul Kitab Islamiyah) dan teks aslinya ada dalam bab “Seorang laki-laki boleh menghalalkan budak wanitanya untuk saudaranya, dan seorang wanita boleh menghalalkan budak wanitanya untuk suaminya”:
باب الرَّجُلُ يُحِلُّ جَارِيَتَهُ لِأَخِيهِ وَ الْمَرْأَةُ تُحِلُّ جَارِيَتَهَا لِزَوْجِهَا وَ بِإِسْنَادِهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ مُضَارِبٍ قَالَ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) يَا مُحَمَّدُ خُذْ هَذِهِ الْجَارِيَةَ إِلَيْكَ تَخْدُمُكَ فَإِذَا خَرَجْتَ فَرُدَّهَا إِلَيْنَا
Dengan sanad sampai kepada Muhammad Ibnu Mudharib.
Muhammad Ibnu Mudharib berkata; berkata Abu Abdillah (as) ; “Wahai Muhammad ambillah JARIYAH (BUDAK WANITA) ini untuk melayanimu dan untuk kamu setubuhi. Maka bila kamu telah selesai menyetubuhinya, kembalikan dia kepadaku
(teks yang sama juga terdapat dalam “Al-Istibshar”, jilid 3, hal. 136, riwayat no. 488). 
Si Nashibi tersebut telah melakukan kebohongan besar dan fitnah yang keji, dengan menerjemahkan kata “JARIYAH” sebagai “PUTRI”, padahal seharusnya “BUDAK WANITA.
Catatan : Al-Kafi jilid 5 sama dengan Furu’ al Kafi jilid 3
.

Fitnah Kedua :
Lagi, si Nashibi tersebut membawa copy paste tangan-tangan
Nashibi lainnya seperti dibawah ini :
Abu Ja’far Muhammad Ibnu Hasan At-Thusimenyebutkan dari Muhammad bin Muslim dari Abu Ja’far, ia berkata: Aku tanyakan kepadanya: “Halalkah laki-laki MEMINJAMKAN pada temannya tubuh PUTRINYA untuk disetubuhi?” Jawabnya: “Boleh. Bahwa halal bagi dia sebagaimana halal bagi temannya meminjamkan kemaluan PUTRINYA untuk disetubuhi. (Al-Istibshar, Juz III, hal. 136). 

Mari kita lihat kalimat/tesk asli dari Al-Istibshar jilid 3, halaman 136, riwayat 487:

عنه عن جعفر بن محمد بن حكيم عن كرام بن عمرو عن محمد بن مسلم عن أبي جعفر(ع) قال قلت له الرجل يحل لاخيه فرج جاريته قال: نعم لا بأس به له ما أحل له منها.
Al-Thusi meriwayatkan dari jalur Muhammad bin Muslim, dari Abu Ja’far as: Aku bertanya kepada beliau: “Apakah boleh seseorang menghalalkan (menjadikan halal) kemaluan BUDAK WANITA (jariyah)-nya bagi saudaranya?” Beliau menjawab: “Ya, tidak masalah. Hal itu halal bagi saudaranya, sebagaimana halalnya ia terhadap
BUDAK WANITANYA itu.”.
(“Al-Istibshar”, jilid 3, hal. 136, riwayat no. 487)
Sekali lagi Si Nashibi tersebut melakukan kebohongan besar mengartikan Kata“JARIYAH” sebagai “PUTRI” dan seharusnya “JARIYAH” berarti “BUDAK WANITA”, dan TIDAK ADA KATA MEMINJAMKAN, yang ada adalahMENGHALALKAN

Catatan :
1. Al-Kafi jilid 5 sama dengan Furu’ al Kafi jilid 3.
2. Kesimpulannya adalah Nashibi tersebut telah berbohong dan memfitnah syiah dengan merubah kata “JARIYAH” yang beraati “BUDAK WANITA” menjadi “PUTRI” (anak kandung perempuan).
.
PENJELASAN LEBIH.
Untuk mencagah kesalah pahaman dan untuk melengkapi dua riwayat tersebut lebih jauh akan kita lihat beberapa riwayat mengenai “budak wanita” dan bagaimana bisa dihalalkan bagi orang lain. Apakah hanya dengan menghalalkan saja tanpa ada syarat-syarat lain..?
Jika ada, apa syaratnya..?
Bagaimana “Penghalalan Budak Wanita dalam Sunni”..?
Insya Allah Bersambung
Nih sambungannya :
Dibawah ini adalah bukti Fitnah Nashbi tersebut :
Inilah contoh Nashibi berotak dekil dan tukang copas catatan nashibi2 lainnya..dengan dekilnya dia mengartikan Kata “JARIYAH” dengan makna “PUTRI”, dan Kata “Menghalalkan ” diartikan “MEMINJAMKAN”
.
Mari kita lihat kalimat/tesk asli dari Al-Istibshar jilid 3, halaman 136, riwayat 487:
عنه عن جعفر بن محمد بن حكيم عن كرام بن عمرو عن محمد بن مسلم عن أبي جعفر(ع) قال قلت له الرجل يحل لاخيه فرج جاريته قال: نعم لا بأس به له ما أحل له منها.
Al-Thusi meriwayatkan dari jalur Muhammad bin Muslim, dari Abu Ja’far as: Aku bertanya kepada beliau: “Apakah boleh seseorang menghalalkan (menjadikan halal) kemaluan BUDAK WANITA (jariyah)-nya bagi saudaranya?” Beliau menjawab: “Ya, tidak masalah. Hal itu halal bagi saudaranya, sebagaimana halalnya ia terhadap BUDAK WANITANYA itu.” (“Al-Istibshar”, jilid 3, hal. 136, riwayat no. 487).
Al Kafi Jilid 5 halaman 470 Darul Kitab Islamiyah :
باب الرَّجُلُ يُحِلُّ جَارِيَتَهُ لِأَخِيهِ وَ الْمَرْأَةُ تُحِلُّ جَارِيَتَهَا لِزَوْجِهَا وَ بِإِسْنَادِهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ مُضَارِبٍ قَالَ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) يَا مُحَمَّدُ خُذْ هَذِهِ الْجَارِيَةَ إِلَيْكَ تَخْدُمُكَ فَإِذَا خَرَجْتَ فَرُدَّهَا إِلَيْنَا
Dengan sanad sampai kepada Muhammad Ibnu Mudharib. Muhammad Ibnu Mudharib berkata; berkata Abu Abdillah (as) ; “Wahai Muhammad ambillah JARIYAH (BUDAK WANITA) ini untuk melayanimu dan untuk kamu setubuhi. Maka bila kamu telah selesai menyetubuhinya, kembalikan dia kepadaku.
Sungguh Biadab dan Keji para Nashibi tsb.
I’arat al furuj (MEMINJAMKAN Kemaluan) dalam Sunni :
“Tidak ada hadd (hukuman) dalam hal ini karena menurut Ata’ MEMINJAMKAN Kemaluan”
(I’arat al furuj) diperbolehkan”. (Syarh al-Kabir oleh Abu Barakat, jilid.3 hal. 25) =>Mazhab MALIKI.
Ulama Sunni, Ibn Qudamah dalam karya besarnya “Al Mughni” jilid 9 hal. 157 mencatat :
“Jika budak wanita “dibagi” kepada dua orang dan keduanya melakukan hubungan intim dengannya (dg budak wanita tsb), dia (budak wanita tsb) harus melakukan dua istibra.
Setelah membaca tulisan yang lalu yang berjdudul “Fitnah Nashibi I” ,maka ada beberapa riwayat penjelas
yang harus dicantumkan agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai riwayat-riwayat yang ada dalam
catatan “Fitnah Nashibi I” tersebut.

HALAL DENGAN PERNIKAHAN
Dalam Tahdib al-Ahkam Jilid 7 hal.244 tercatat ucapan Imam Musa Al Kadzim (as) ketika ditanya mengenai
Budak Wanita :
Ali bin Yaqtin meriwayatkan, Abu al Hasan (as) ditanya mengenai budak. Apakah diperbolehkan berhubungan intim dengan budak wanita TANPA PERNIKAHAN dimana pemilik (pemilik budak tsb) menghalalkan baginnya (utk org lain): Imam (as) menjawab : “Tidak diperbolehkan baginya” (tanpa pernikahan).
Catatan : Allamah Hilli dlm Mukhtalaf al-Syiah Jilid 7 hal. 275, Syaikh Jawahiri dlm Jawahir al-Kalam Jilid 30 hal. 231, Sayyid Khu’i dlm kitab al-Nikah Jilid 2 hal.119, menyatakan riwayat diatas Sahih.

يجوز للرجل أن يبيح مملوكته لغيره على معنى أنه يعقد عليها عقد النكاح الذي الذي فيه معنى الإباحة ، ولا يقتضي ذلك أن النكاح ينعقد بلفظ الإباحة
“Diperbolehkan untuk seseorang laki-laki menghalalkan budak wanitanya untuk orang lain, dengan arti (org lain tsb) melakukan pernikahan untuk menjadikannya halal untuknya. DAN TIDAK CUKUP menghalalkannya hanya dengan mengucap kata ‘Halal'”

Ref : Syarif Murtadha dalam Al-Intisar hal. 281
Syaikh Mufid dalam al Muqana :
“Jika seorang laki-laki menikahkan budak wanitanya dengan orang bebas (merdeka) atau budak, maka dilarang baginya (pemilik yang menikahkan budak tsb) untuk melakukan hubungan intim dengannya”
Ref :Al-Muqana h. 543
Masih banyak riwayat yang menjelasakan mengenai keharusan menikahkan budak wanita yg ia miliki jika ingin menjadikannya halal bagi orang lain, namun riwayat diatas tsb sudah cukup jelas.
“Dari Ruwaifi Al-Anshariy –ia berdiri di hadapan kita berkhuthbah-, ia berkata: Adapun sesungguhnya aku tidak mengatakan kepada kamu kecuali apa-apa yang aku dengan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan pada hari Hunain, beliau bersabda: “TIDAK HALAL bagi seorang yang BERIMAN KEPADA ALLAH dan hari akhir untuk MENYIRAMKAN AIR (mani)nya KE TANAMAN ORANG
LAIN (menyetubuhi wanita yang sedang hamil) dan TIDAK HALAL bagi seorang yang BERIMAN KEPADA ALLAH dan hari akhir untuk MENYETUBUHI WANITA DARI TAWANAN PERANG sampai PEREMPUAN ITU BERSIH (catt: versi  syi’ah  artinya sah menjadi istrinya). Dan tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menjual harta rampasan perang sampai dibagikan.
Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia menaiki kendaraan dari harta fa’i kaum muslimin sehingga apabila binatang tersebut telah lemah ia baru mengembalikannya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia memakai pakaian dari harta fa’i kaum muslimin sehingga apabila pakaian tersebut telah rusak ia baru megembalikannya”
(HR. Abu Dawud no. 2158 dan 2150 dan Ahmad no. 4/108-109, sanad Hasan)
.
“Meminjamkan” atau “Menjadikan Halal” (Yu’hillu) ?
Perlu diketahui bahwa dalam Syiah, hanya dengan “meminjamkan al furuj” Budak Wanita kepada orang lain dan hanya mengatakan “halal” (lalu kedunya melakukan hubungan intim) tanpa ada pernikahan, maka hal tersebut adalah HARAM. Jadi Pengertian yang benar adalah “Menjadikannya Halal dengan cara Pernikahan”.

Syarif Murthadha mencatat dalam Al Intisar h. 208 :
“Apa yang telah digunakan untuk memfitnah Imamiyah adalah (klaim) bahwa mereka membolehkan peminjaman kemaluan (I’arat al furuj) dan “kemaluan” dapat sah atas nama pinjaman.”
“Menurut penelitian dalam hal ini, kami tidak menemukan ahli hukum (fiqih) yang membolehkannya ataupun mereka menulis tentangnya (diperbolehkannya hal tsb) dalam kitab manapun.
Lebih lanjut :
“Tidak diperbolehkan meminjamkan budak wanita untuk kepentingan sexual.
Ref :
1. Allamah al-Hili dlm Al-Tadkira, jilid 2 hal 210.
2. Muhaqiq al-Kurki dlm Jami’ al-Maqasid, jilid 6 hal.62.
3. Ali Asghar Mirwarid dlm Yanabi al-Fiqya, Jilid17 hal. 87.

Syaikh Thusi dalam al-Mabsut, Jilid 3 hal. 57 menyatakan :
“Tidak diperbolehkan meminjamkan (budak wanita) untuk tujuan “kenikmatan”, karena hubungan intim tidak sah melalui peminjaman”.

 

Hak Suami dan Hak Istri


Hak Suami.

Oleh: AF Machtum

Agar bahtera pernikahan selamat berlayar ke pulau tujuan, nahkoda bahtera ini harus diberi hak penuh. Boleh jadi hak pertama yang diberikan Allah SWT kepada suami adalah hak kepemimpinan (qaimumah).

Allah SWT berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (an-Nisa: 34)

Hak kepemimpinan diperoleh suami karena keunggulan struktur dirinya daripada perempuan, juga karena dia memikul tanggung jawab kehidupan sehari-hari yang berat. Tapi, kepemimpinan suami tidak membolehkannya untuk otoriter (tasalluth) dan keluar dari lingkaran tanggung jawab ke lingkaran penguasaan dan interaksi yang bersifat pemaksaan pada istri, karena hal ini bertentangan dengan hak istri untuk mendapatkan perlakuan yang baik yang ditegaskan oleh al-Quran:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (an-Nisa: 19)

Tidak diragukan bahwa Islam telah menuntut istri untuk tunduk kepada suami dalam segala hal yang dibolehkan oleh akal dan syariat. Jika kondisi ini tidak terpenuhi, maka tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.

Islam tidak membolehkan kepemimpinan ini digunakan sebagai media untuk merendahkan istri atau mengurangi kehormatannya. Memang benar bahwa manusia yang haknya paling besar atas seorang istri adalah suami, tapi hak ini tidak boleh ditafsirkan atau diterapkan secara salah yang membawa pada perendahan terhadap istri.

Istri adalah bunga yang lembut. Dia tidak memiliki kekuatan, ketegasan, dan kehendak. Karena itu, dia membutuhkan tenda yang melindunginya dari angin yang beracun agar bunga ini tidak kehilangan kesegarannya ketika bunga ini sedang mekar-mekarnya. Tenda itu adalah suami, karena suami memiliki kekuatan, kehendak, dan kesiapan untuk berkorban.

Hak lain bagi suami adalah istri bersiap sedia baginya setiap dia berkehendak kecuali pada kondisi pengecualian alamiah yang dialami oleh kaum perempuan. Rasulullah saw bersabda:

إنَّ مِن خَيرِ [ نِسَائِكُم ] الوَلود الوَدُود ، والسَّتِيرة [ العَفِيفَة ] ، العَزِيزَة في أهْلِهَا ، الذَّليلَةُ مَع بَعْلِها ، الحصَانُ مَع غَيرِهِ ، التي تَسْمَعُ لَهُ وتُطِيعُ أمْرَه ، إذَا خَلا بِهَا بَذلَتْ مَا أرَادَ مِنْهَا

“Wanita yang terbaik di antara kamu adalah yang banyak anak dan penyayang, penutup diri, penjaga kesucian diri, yang agung di mata keluarganya, tunduk di hadapan suaminya, terjaga dari orang selain suaminya, mendengar dan patuh kepada suaminya, jika dia berdua-duaan dengan suaminya, dia memberikan apa saja yang diminta kepadanya.”

Rasulullah saw bersabda:

خَيرُ نِسَائِكُم الَّتي إذَا دَخَلَتْ مَع زَوجِهَا خَلَعَتْ دِرْعَ الحَيَاءِ

“Wanita yang terbaik di antara kamu adalah yang jika suaminya masuk, maka dia menanggalkan baju rasa malunya.”

Banyak hadits lain yang melarang istri menjauh dari peraduan rumah tangga. Dia akan dihukum di kehidupan dunia jika melakukannya dan dikutuk oleh malaikat sampai dia kembali. Dia juga harus menghormati suami dan berperan serta dalam menciptakan cinta kasih sayang bersama sang suami. Rasulullah saw bersabda:

لو أمَرْتُ أحَداً أن يَسْجُدَ لأحَدٍ لأمَرْتُ المَرأةَ أنْ تَسجُدَ لِزَوجِهَا

“Sekiranya aku memerintah seseorang untuk bersujud kepada seseorang, tentu aku akan memerintahkan istri bersujud kepada suaminya.”

Berdasarkan arahan Nabi saw ini istri harus berperilaku lembut pada suami, berbicara dengan ungkapan-ungkapan yang memasukkan rasa bahagia ke dalam hati suami, khususnya ketika suami pulang kerja dengan energi yang terkuras, syaraf yang lelah. Dia harus menyambut suami dengan kegembiraan yang meruah pada wajahnya, menawarkan khidmat kepada suami, sehingga dia memperoleh ridha suami.

Rasulullah saw bersabda:

وَطُوبَى لامْرَأةٍ رَضِي عَنْهَا زَوجُهَا

“Sangat beruntung seorang istri yang suaminya ridha padanya.”

Tentang masalah ini, Imam al-Baqir mengatakan:

لا شَفِيعَ للمرأة أنجَحُ عِندَ رَبِّها مِنْ رِضَاء زَوجِها ، وَلمَّا مَاتَتْ فَاطِمَة ( عَلَيها السَّلامُ ) قَامَ عَلَيهَا أمَيرُ المُؤمِنِينَ ( عَلَيهِ السَّلامُ ) وقَال : اللَّهُمَّ إنِّي رَاضٍ عَنِ ابْنَةِ نَبِيِّكَ ، اللَّهُمَّ إنَّهَا قَدْ أوْحشَتْ ، فَانسهَا

“Tidak ada pemberi syafaat bagi seorang wanita pada sisi Tuhan yang lebih ampuh daripada ridha suaminya. Ketika Fathimah wafat, Amirul Mukminin berdiri di sisinya dan berkata, ‘Ya Allah, aku ridha pada putri Nabi-Mu. Ya Allah, dia telah dibuat sedih, maka hiburlah dia.’”

Dari penjelasan ini jelaslah bahwa suami memiliki hak kepemimpinan, hak dipenuhi keinginannya atau disenangkan. Lebih dari itu, ketika dia diberikan tampuk kepemimpinan keluarga, maka dia memiliki hak dipatuhi dalam batasan-batasan syariat. Salah satu isi hak ini adalah istri tidak boleh keluar dari rumah kecuali atas izinnya. Di dalam hadits disebutkan:

وَلا تَخرُجُ مِن بَيتِهِ إلاَّ بِإذنِهِ ، فَإنْ فَعَلَتْ لَعنَتْها مَلائِكَةُ السَّمَاوَاتِ ومَلائِكَةُ الأرْضِ ومَلائِكةُ الرِّضَاء ومَلائِكةُ الغَضَب

“Dia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya. Jika dia melakukan, maka malaikat di langit dan di bumi, serta malaikat ridha dan benci melaknatnya.”

Istri adalah harta karun yang sangat berharga dan wajib dijaga di tempat yang aman. Rumah adalah tempat aman yang melindungi istri. Karena itu, al-Quran memerintahkan kaum perempuan:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (al-Ahzab: 33)

Ada hak lain bagi suami, yaitu dijaga kehormatannya dan hartanya ketika dia tidak ada, tidak diungkap kekurangannya, istri tidak puasa sunnah kecuali dengan izinnya. Secara umum, agar kehidupan rumah tangga langgeng, harus ada ridha dan penghormatan dan khidmat dari kedua belah pihak, sebagaimana bunga butuh cahaya, udara, dan air untuk bisa mekar.

Komitmen suami istri terhadap hak satu sama lain, selain menggugurkan kewajiban, juga mendatangkan pahala yang besar. Sebaliknya juga benar. Jika suami memberi minuman bagi istrinya, dia mendapat pahala, dan Allah SWT akan memanjangkan umurnya dikarenakan kebaikannya kepada istrinya.

Sebaliknya, istri yang berkhidmat kepada suami selama 7 hari, Allah SWT akan menutup 7 pintu neraka baginya dan membuka 8 pintu surga yang dapat dia masuki dari mana saja. Istri yang mengangkat sesuatu di rumah suaminya dari satu tempat ke tempat lain untuk terlihat lebih baik, maka Allah SWT akan memandangnya, dan siapa saja yang dipandang Allah SWT, maka tidak akan Dia azab.

Jaminan keharusan memenuhi hak dalam syariat ilahiah lebih banyak daripada di dalam hukum positif. Sebab, dalam hukum positif, orang dapat menghindar dan tidak memenuhi kewajibannya dengan tipu muslihat, suap, ancaman, paksaan, dsb. Sedangkan dalam hukum ilahi, selain menggunakan media pemaksaan eksternal, seperti polisi dan pengadilan, ada juga faktor-faktor pemaksaan internal, yaitu rasa takut terhadap siksa dan murka Allah SWT di akhirat.

Seorang muslim akan berusaha meraih ridha Allah SWT dengan cara menunaikan kewajibannya kepada orang lain. Al-Quran memandang kezaliman seseorang kepada orang lain adalah kezaliman pada dirinya sendiri. Allah SWT berfirman:

وَلاَ تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لَّتَعْتَدُواْ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ

“Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (al-Baqarah: 231)

Motif relijius adalah alat terbesar untuk membendung dorongan setan yang mendorong orang mangkir dari kewajiban dan komitmennya. Sedangkan orang yang hanya tunduk kepada hukum positif, dia tidak memiliki alat pembendung internal tersebut, kecuali nurani dan etika yang seringkali menyimpang dari jalan lurus karena berbagai sebab, sehingga kriteria-kriteria yang dia miliki terbalik, kemungkaran menjadi kebaikan dan kebaikan menjadi kemungkaran.

Lebih dari itu, di dalam Islam, terdapat ikatan yang erat antara dimensi sosial dan dimensi ibadah. Setiap celah di dimensi pertama, disebabkan tiadanya komitmen terhadap hak orang lain, akan berefek negatif terhadap dimensi ibadah. Inilah yang dijelaskan oleh hadits Nabi saw:

مَنْ كَان له امرأة تُؤذِيه لَم يَقْبل اللهُ صَلاتَهَا ، وَلا حَسَنَة مِن عَمَلِها ، حَتَّى تُعِينَه وتُرضِيه وإنْ صَامَتِ الدَّهْرَ ، وعَلَى الرَّجُلِ مِثلُ ذَلكَ الوِزْر ، إذا كَانَ لَهَا مُؤذياً ظَالِماً

“Orang yang memiliki istri yang menyakitinya, Allah SWT tidak menerima shalat atau kebaikan yang dilakukan istrinya itu, sampai istri itu menolong dan membuatnya ridha meskipun si istri berpuasa dahr. Suami juga akan mendapat dosa seperti itu jika dia menyakiti dan menzalimi istrinya.”

Dengan demikian jelaslah bahwa suami istri memiliki hak timbal balik yang jika ditelantarkan maka akan mengancam eksistensi keluarga, dan komitmen padanya akan menciptakan kesatuan sosial yang erat.

 

Hak Istri.

Oleh: AF Machtum

Al-Quran membantah konsep-konsep batil yang dianut manusia pada zaman dahulu dan menegaskan bahwa sifat dan asal penciptaan laki-laki sama dengan perempuan. Tidak benar bahwa laki-laki diciptakan dari bahan yang mulia sedangkan perempuan dari bahan yang hina. Allah SWT menciptakan keduanya dari unsur yang sama, yaitu tanah, dan dari jiwa yang sama.

Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاء

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (an-Nisa: 1)

Jadi, al-Quran telah meningkatkan derajat perempuan dengan menjadikannya persis seperti laki-laki dari segi tabiat penciptaan dan dengan demikian memberikannya hak kemuliaan manusia sepenuhnya. Selain itu, al-Quran menyatukan laki-laki dengan perempuan dalam hal memikul tanggung jawab. Allah SWT berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An-Nahl: 97)

Tapi kesamaan dalam asal penciptaan, kemuliaan, dan tanggung jawab, sedikit pun tidak berarti pengingkaran perbedaan fitrah dan tabiat yang ada di antara mereka yang mengakibatkan perbedaan hak dan kewajiban. Neraca keadilan adalah menyamakan antara seseorang dengan kewajibannya dan bukan menyamakan hak dan kewajiban antara dua jenis yang berbeda struktur dan tabiatnya.

Dengan dasar ini pengutamaan laki-laki dalam warisan bukanlah pencederaan terhadap keadilan, melainkan keadilan itu sendiri. Laki-laki wajib memberikan mas kawin sejak awal relasi suami istri, dan wajib memberi nafkah sampai akhir.

Dari sisi lain, al-Quran tidak ingin membatasi kebebasan dan posisi perempuan dengan kewajiban berjilbab (hijab), melainkan hendak melindunginya dengan jilbab dan bukannya mengekang, disertai penetapan kehormatan perempuan pada dirinya dan orang lain. Al-Quran ingin perempuan keluar ke masyarakat—jika dia keluar—tanpa merangsang naluri yang terpendam di dalam diri laki-laki. Dengan demikian, dia melindungi dirinya dan tidak membahayakan orang lain.

Al-Quran menetapkan hak perempuan untuk berkeyakinan dan bekerja berdasarkan aturan tertentu, dan memberikannya hak sipil secara penuh. Perempuan memiliki hak memiliki, memberi, menggadai, menjual, dsb.

Al-Quran memberi perempuan hak untuk belajar dan mencapai derajat keilmuan yang tinggi, mendorong watak membebaskan dri dari kezaliman dan tiranitas. Al-Quran memberi contoh dengan Asiyah istri Firaun yang tetap menjaga akidah tauhid yang dia anut meskipun dalam kondisi terjepit, sehingga dia menjadi teladan. Allah SWT berfirman:

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ آمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِندَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِن فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah Aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah Aku dari kaum yang zhalim. (at-Tahrim: 11)

Demikianlah al-Quran mengungkap keteguhan yang dapat dilakukan oleh seorang perempuan jika dia memiliki iman dan persepsi yang benar. Tapi kebalikannya akan terjadi jika dia menyimpang dari jalur hidayah seperti yang dilakukan oleh Istri Nuh. Dia menjadi tawanan perasaan dan hawa nafsunya, menjadi seperti bulu ditiup angin.

Hak istri menurut Sunnah

Masalah perempuan dan hak-haknya sebagai istri atau ibu adalah objek perhatian Sunnah. Nabi saw bersabda:

مَا زَالَ جِبرائِيل يُوصِينِي بِالمَرْأةِ ، حَتَّى ظَنَنْتُ أنَّه لا يَنْبَغي طَلاقُهَا إلاَّ مِن فَاحِشَةٍ مُبِينَة

“Jibril terus menerus mewasiatkan istri kepadaku, sampai aku menyangka tidak boleh mentalaknya kecuali karena kekejian yang nyata.”

Kemudian, beliau menetapkan tiga hak asasi seorang istri atas suaminya, yaitu memenuhi kebutuhan pangan, memenuhi kebutuhan sandang yang pantas baginya, dan pergaulan yang baik dengannya. Beliau bersabda:

حَقُّ المَرْأةِ عَلَى زَوجِهَا : أنْ يَسدَّ جُوعَهَا ، وأنْ يَستُرَ عَورَتَها ، وَلا يُقَبِّحُ لَهَا وَجْهاً

“Hak istri atas suami, diatasi rasa laparnya, ditutupi auratnya, dan tidak diberikan wajah yang masam.”

Hadits ini tidak membatasi hak istri pada masalah-masalah material yang primer seperti makanan dan pakaian saja, tapi menyandingkan hal itu dengan hak mental, yaitu tidak diberikan wajah yang masam, atau dengan ungkapan lain diperlakukan dengan baik. Apalagi istri adalah mitra hidup, partner kerja. Salah jika dia diperlakukan sebagai alat kesenangan dan pembantu dan diperlakukan dengan cara diberikan perintah.

Selain itu ada hadits Nabi saw yang mendorong untuk memperlakukan istri secara manusiawi bahkan meminta pendapatnya meskipun suami tidak bermaksud menerima pendapat itu di dalam masalah tersebut, karena sikap suami meminta pendapat pada istri berarti melakukan dialog secara terus menerus dengannya. Inilah yang diperintahkan oleh akal dan syariat.

Jadi, istri memiliki hak mental yang menyempurnakan hak-hak materialnya, yaitu hak untuk dihormati dan dihargai, dan dipilihkan ungkapan-ungkapan yang pantas ketika berbicara yang melahirkan suasana tenang, menyalakan pelita cinta. Rasulullah saw bersabda:

قَولُ الرَّجل للمرأة : إنِّي أُحِبُّكِ ، لا يَذْهَبُ مِن قَلْبِهَا أبَداً

“Kata-kata seorang suami kepada istrinya, ‘Aku mencintaimu’, tidak akan hilang dari hati istrinya selama-lamanya.”

Jadi, menghormati istri, menyayanginya, memaafkan kesalahannya yang normal, adalah satu-satunya jaminan dan cara terbaik untuk kelanggengan rumah tangga. Tanpa menjaga hal-hal ini, bangunan keluarga akan rapuh. Survey membuktikan bahwa kebanyakan perceraian terjadi disebabkan oleh penyebab yang sepele.

Seorang hakim yang selama 40 tahun bertugas menangani kasus perselisihan suami istri, mengatakan, “Engkau pasti akan selalu menemukan hal-hal yang sepele di dalam setiap perselisihan suami istri. Jika mereka mau bersabar dan menutup mata atas kesalahan yang terjadi tanpa disengaja, maka bahtera rumah tangga pasti dapat diselamatkan dari kehancuran.”

Di dalam Risalah al-Huquq Imam Zain al-Abidin menerangkan hak istri dan memberikan keterangan tambahan terhadap hak mentalnya yang berupa kasih sayang dan keintiman. Beliau berkata:

وَأمَّا حَقّ رَعيَّتك بِملك النِّكاحِ ، فأنْ تَعلَمَ أنَّ اللهَ جعلَهَا سَكناً ومُستَراحاً وأُنساً وَوِاقِية ، وكذلك كُلّ واحدٍ مِنكُما يَجِبُ أنْ يَحمدَ اللهَ عَلَى صَاحِبِه ، ويَعلَمَ أنَّ ذَلِكَ نِعمةً مِنهُ عَلَيه . وَوَجَبَ أن يُحسِنَ صُحبَة نِعمَةِ اللهِ ، ويُكرمَهَا ، ويرفقَ بِها ، وإنْ كانَ حَقُّك عَلَيها أغْلَظَ ، وطَاعَتُك بِها ألزَمَ ، فِيمَا أحبَبْتَ وكرهْتَ ، ما لَم تَكن مَعصِية فإنَّ لَهَا حَقَّ الرَّحمَةِ والمُؤَانَسةِ ولا قُوَّة إلاَّ بالله

“Adapun hak istrimu yang engkau miliki dengan nikah, engkau harus mengetahui bahwa Allah SWT telah menjadikannya sebagai penenang, penenteram, pengintim, dan pelindung. Demikianlah masing-masing orang dari kalian berdua harus memuji Allah SWT atas pasangannya, dan mengetahui bahwa pasangannya adalah nikmat yang berikan Allah SWT kepadanya. Dia wajib memperlakukan nikmat Allah SWT dengan baik, menghormatinya, dan bersikap lembut kepadanya, meskipun hakmu atasnya lebih besar, dia lebih wajib taat kepadamu, di dalam hal-hal yang kamu sukai atau tidak kamu sukai selama bukan maksiat, maka dia memiliki hak kasih sayang dan keintiman, dan tiada daya kecuali karena Allah.”

Jika kita mencermati keterangan ini, jelas bagi kita bahwa ikatan suami istri adalah nikmat terbesar yang harus disyukuri secara verbal dengan cara mengucapkan puji kepada Allah, dan syukur secara praktis yakni seseorang harus menghormati istrinya, lembut dan memperlakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang, menjalin pertemanan yang sejati sebagaimana dia menjalin ikatan persahabatan dengan orang lain.

Jika dia bersikap kasar, menghitung setiap kesalahan dan kealpaan, maka urat-urat cinta dan kasih sayang akan putus. Sikap ini akan menjadi pisau yang sangat tajam untuk memutus hubungan suami istri yang kudus.

Imam Shadiq menjelaskan cara yang harus ditempuh seorang suami untuk menarik hati istrinya dan tidak memutus tali cintanya. Beliau berkata:

لا غِنَى بالزَّوجِ عَن ثلاثَةِ أشياءٍ فِيمَا بَينَه وبَين زَوجَتِه ، وهي : الموافَقَة ، ليَجتلِبَ بِها مُوافقَتها ومَحبَّتها وهَواهَا ، وحُسن خُلقِه مَعها واسْتِعمَاله استمَالَةَ قَلبِهَا بالهَيئة الحَسَنة في عَينِها ، وتوسِعته عَلَيها

“Seorang suami tidak bisa mengabaikan tiga hal dalam relasinya dengan istrinya. Keharmonisan, agar dia memperoleh keharmonisan, cinta, dan gairah istrinya. Akhlak yang baik terhadap istrinya dan mengupayakan menarik hati istrinya dengan penampilan yang baik di mata istri. Dan, berlapang dada pada istri.”

Harus disebutkan di sini bahwa ungkapan-ungkapan tersebut bukanlah sekadar kata-kata yang dilontarkan ke udara oleh para imam sebagai sebuah nasihat, tapi mereka telah mempraktekkannya sampai detail dalam kehidupan nyata. Di dalam perilaku para imam tidak terdapat problematika adanya jurang antara kesadaran dan kenyataan. Salah satu buktinya adalah, al-Hasan bin al-Jaham meriwayatkan: Aku melihat Abu al-Hasan bercelak (ihtidhab). Maka, aku berkata, “Aku rela jadi tebusanmu, engkau bercelak?” Beliau berkata:

( نَعَمْ ، إنَّ التهيِئَة مِمَّا يُزيدُ في عِفَّة النِّسَاء ، ولقَد تَرَك النِّسَاءُ العفَّة بِتَركِ أزواجهنَّ التهيئة ، أيَسُرّكَ أن تَراهَا عَلى مَا تَراكَ عَلَيه إذا كُنتَ عَلى غَيرِ تَهْيئة ؟ ) ، قلت : لا ، فقال ( عليه السلام ) : ( فَهوَ ذَاكَ ) .

“Ya. Berdandannya suami adalah tindakan yang menambah iffah seorang istri. Wanita menanggalkan iffah karena suami mereka tidak berdandan. Apakah engkau senang melihatnya seperti dia melihatmu ketika engkau tidak berdandan?” Aku berkata, “Tidak.” Beliau berkata, “Itu sama.”

Imam mengetahui bahwa menarik hati istri merupakan poin sentral dalam kehidupan rumah tangga. Karena itu, beliau menjaga hak istri dan berusaha menarik hati istrinya dengan cara berdandan. Sebab, tidak harmonis dalam masalah ini merupakan salah satu penyebab utama kegagalan perkawinan.

Memang benar bahwa pernikahan di dalam Islam bukanlah untuk pemuasan hasrat seksual. Seks hanya media untuk mencapai tujuan pernikahan, yaitu mempersembahkan generasi yang baik bagi umat manusia. Akan tetapi hal ini tidak membenarkan tindakan mengabaikan hak istri dalam pemuasan seksual. Karena itu, syariat tidak membolehkan meninggalkan istri lebih dari 4 bulan.

 

Jangan Ceritakan Kepada Suamimu Kecantikan Wanita Lain


Imam Baqir as berkata: “Pada zaman Nabi Uzair as (nama beliau terdapat dalam al-Qur’an, dalam surat al-Baqarah dan at-Taubah ayat 30) terdapat seorang Hakim Agung yang memiliki hubungan sangat erat dengan raja. Sayangnya, ia sangat mata keranjang. Ia telah mendengar dari istrinya bahwa istri salah satu saudaranya sangat cantik (makanya kenapa agama melarang kepada seorang istri untuk tidak menceritakan keadaan -yang berhubungan dengan penampilan fisik- kepada suaminya, karena mungkin saja hal tersebut dapat menjerumuskan suami berbuat dosa). Sewaktu mendengar bahwa istri salah satu saudaranya sangat cantik, tersirat rasa penasaran untuk melihatnya.

Ketika istri saudaranya mendengar bahwa Hakim Agung mata keranjang, maka ia berusaha sedapat mungkin untuk selalu menjauhinya. Sampai akhirnya pada suatu hari raja mengutarakan kepada Hakim Agung bahwa ia memerlukan seorang duta untuk ditugaskan di sebuah kota atau negeri, seraya berkata: “Wahai Hakim Agung, apakah engkau dapat memperkenalkan kepadaku seseorang untuk menjadi duta?”. Hakim menjawab: “Ya, ia adalah saudaraku, tidak ada yang lebih baik darinya”. Saudaranya telah mengetahui bahwa Hakim Agung mata keranjang, tetapi karena diiming-imingi bayaran yang berjumlah banyak akhirnya iapun menerima tawaran tersebut untuk menjadi duta.

Hari kedua dari kepergian saudaranya, Hakim Agung mendatangi rumah saudaranya, sesampai di rumahnya lalu ia mengetok pintu. Dan dari dalam rumah terdengar suara seorang perempuan bertanya: “Siapa?”. “Saya Hakim Agung”, jawabnya. Perempuan kembali bertanya: “Ada perlu apa?”. “Saya datang untuk menengok istri saudaraku”, jawab Hakim Agung. Perempuan kembali berkata: “Silahkan anda datang kemari ketika suamiku telah datang. Saya perempuan bukan mahram-mu sehingga tidak diizinkan untuk memasukkan anda ke dalam rumah. Dan Anda sebagai seorang Hakim Agung pasti tidak suka berbuat dosa”. Sewaktu Hakim Agung menyaksikan istri saudaranya sangat tegas, akhirnya ia pergi meninggalkan rumah tersebut.

Empat hari setelahnya, Hakim Agung kembali mendatangi rumah saudaranya dan berkata: “Saya datang untuk menengok istri saudaraku”. Perempuan berkata: “Istri saudaramu?, memangnya ada urusan apa dengan istri saudaramu? Saya tidak mengerti, apakah Anda suamiku?”. Hakim kembali bertanya: “Apakah engkau tidak ada perlu?”. Perempuan menjawab: “Apabila saya ada perlu, terdapat orang yang dapat menolongku. Saya tidak ingin merepotkan Anda”. Perempuan tersebut tidak membuka pintu dan berkata dari balik pintu.

Sewaktu Hakim tidak berhasil melakukan niat jahatnya, akhirnya ia mencari tipu muslihat lain dan kembali mendatangi rumah saudaranya sambil tergopoh-gopoh, kemudian ia mengetuk pintu dan berkata: “Tolong bukakan pintu, tolong bukakan pintu…!?”. Perempuan bertanya: “Ada apa?”. “Cepat, tolong bukakan pintu, cepat tolong bukakan pintu, saya ingin pergi ke WC…!?”, kata Hakim Agung. Kemudian perempuan membuka pintu dan mempersilahkannya masuk. Hakim pergi ke WC dan kembali seraya berkata: “Sebenarnya ada satu hal yang ingin saya utarakan kepadamu”. “Saya menginginkan Anda tidak mengatakan apa-apa. Anda telah kembali dari wc, pintupun terbuka, silahkan keluar!”, sahut perempuan muda itu dengan tegas. Hakim Agung kembali bertanya: “Tahukan Anda siapakah saya? Saya adalah Hakim Agung ”. “Siapapun diri Anda, apakah Anda datang kemari untuk menyalahgunakan kedudukan anda? Saya bukan orang yang bersalah sehingga harus takut pada Anda. Dan sayapun tidak mempunyai masalah, sehinggga Anda kujadikan perantara untuk menyelesaikan masalahku (nepotisme)”, ujar perempuan.

“Apabila engkau tidak melayaniku maka saya akan membuatmu celaka”, ancam Hakim. “Jika sedetik lagi Anda tinggal di sini, maka saya akan berteriak sehingga semua orang tahu siapa dirimu dan akhirnya harga dirimu akan jatuh di hadapan masyarakat”, jawab perempuan kembali mengancamnya. Hakim kembali berkata: “Anda telah mengusirku?”. “Ya, pergilah, pergilah dari sini”, sahut perempuan itu. Kemudian Hakim keluar dari rumah sambil menutup pintu dengan keras. Ia pergi menuju istana raja. Sewaktu raja melihatnya dalam keadaan murung, kemudian ia bertanya: “Apa yang telah terjadi? Kenapa Anda murung?”. “Tidak ada apa-apa, hanya sedikit masalah keluarga”, jawab Sang Hakim. Namun raja terus memaksanya untuk menjelaskan kepadanya. Akhirnya ia berujar: “Istri saudaraku telah menghianati kami. Ia telah menyeleweng dengan seorang laki-laki lain”. “Apa, ia telah berkhianat?”, tanya raja kaget. “Ya”, jawab Sang Hakim. “Harus diberi pelajaran dia”, ujar raja. “Ya, benar”, sahut Hakim bersemangat.

Keesokan harinya, raja memerintahkan untuk menangkap perempuan itu dan dibawa ke hadapannya. Perempuan muda itu bertanya: “Ada apa Tuan raja?”. “Engkau telah mengkhianati dutaku”, jawab raja. Dikala itu, perempuan melihat Hakim dari kejauhan yang sedang memandang kepadanya dengan penuh perasaan puas. Perempuan kembali berkata: “Siksalah diriku tuan!? Namum saya katakan lagi, bahwa saya tidak bersalah. Saya rela menyerahkan jiwa dan raga untuk disiksa. Tetapi saya tidak akan pernah menyerahkan kesucian dan kehormatanku”. Berdasarkan keputusan raja akhirnya perempuan diberi hukuman rajam (diletakan di sebuah lubang dan kemudian ditutup tanah dalam posisi berdiri hingga lehernya, dan orang-orang melemparinya dengan batu .red).

Pada sore hari, ketika kepala perempuan itu telah dipenuhi dengan batu, orang-orang mengira ia telah meninggal. Kemudian mereka meninggalkannya dan berencana akan menguburkannya pada keesokan harinya.

Imam Baqir as berkata: “Perempuan tersebut tidak mati. Pada tengah malam ia berusaha mengeluarkan diri dari lobang dan lari untuk menyelamatkan diri dengan tubuh yang dipenuhi luka. Ia berjalan sampai akhirnya tidak sadarkan diri. Ia telah diselamatkan oleh seorang rahib (orang yang selalu beribadah .red). Ketika sadar, ia sangat kaget seraya bertanya: “Dimanakah saya?”. “Ini tempat ibadah”, jawab rahib. “Engkau telah menyelamatkanku. Apa yang dapat saya lakukan untuk membalas kebaikan tuan?”, tanyanya kembali. “Saya sudah tua dan tidak berniat untuk menikah lagi, Akan tetapi saya memiliki anak-anak kecil sementara ibu mereka telah meninggal dunia. Jadilah engkau ibu bagi mereka. Selain itu aku mmepunyai pembantu yang akan membantumu pekerjaanmu”, kata rahib lanjutnya.

Imam Baqir as berkata: “Namun sayangnya ternyata pembantu laki-laki tersebut pun bermata keranjang. Pada suatu hari, ia mengajak perempuan muda nan cantik jelita itu untuk melakukan perbuatan mesum. Mendengar ajakannya, perempuan itupun tertawa. “Kenapa engkau tertawa?”, tanya sang pembantu. “Nasibku sampai di sini karena saya tidak ingin berbuat mesum”, katanya lirih. “Akan kulempar engkau dengan batu jika tidak mau melayaniku”, ancam pembantu. Perempuan kembali tertawa seraya berkata: “Saya telah dilempari beribu-ribu batu. Apakah saya harus takut hanya dengan satu batu saja”, tegasnya. Ternyata benar, pembantu itu melemparnya dengan batu. Namun batu itu mengenai anak rahib yang akhirnya menyebabkannya meninggal dunia karena lemparan batu tersewbut. Mendengar hal itu Rahib sangat marah sekali. Pembantu melemparkan perbuatannya itu kepada sang perempuan muda. Dan akhirnya rahib pun mengusirnya. Sebelum pergi, perempuan kembali berkata: “Sumpah demi Tuhan, saya tidak melakukannya tuan”. “Enyahlah engkau dari sini! Saya tidak ingin melihatmu lagi! Apakah saya harus mempercayai ucapanmu yang baru tinggal di sini dan tidak mempercayai ucapan pembantuku yang sudah bertahun-tahun tinggal di rumahku?!”, ujar sang rahib.

Akhirnya perempuan itu pergi meninggalkan rumah sang rahib dengan dibekali uang sejumlah 120 dinar. Ia berjalan hingga sampai di sebuah kota. Di kota tersebut ia menyaksikan seorang laki-laki yang digantung setengah badan sedang berteriak-teriak meminta tolong. Rasa penasaran membuat perempuan bertanya: “Kenapa ia diperlakukan seperti itu?”. “Pengadilan telah memberikan hukum seperti itu bagi yang tidak dapat membayar hutang, hingga ada orang yang merasa belas kasihan dan membayari hutangnya”, jelas orang-orang. “Berapa jumlah hutangnya?”, tanyanya lagi. “120 Dinar”, jawab orang-orang. Kemudian perempuan mengeluarkan uang yang dimilikinya untuk membayar hutang laki-laki tersebut. Setelah bebas, laki-laki itu berterima kasih kepada perempuan seraya bertanya: “Engkau dari mana?”. “Saya sendirian dan asing di kota ini”, jawab perempuan tersebut. Ketika laki-laki mengetahui perempuan itu asing dan sendirian, akhirnya ia memiliki pikiran jahat. Tanpa sepengetahuan perempuan muda tadi, ia telah menjual perempuan tersebut ke tempat jual-beli para budak.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba pembeli budak mengikat tangannya. “Lepaskan saya”, ujar perempuan itu. “Bukankah engkau seorang budak? Saya telah membelimu dari laki-laki itu”, tanya pembeli budak. Mendengar hal itu, kemudian perempuan menatap ke arah langit dan berguman: “Ya Tuhan, sungguh mengherankan orang-orang ini, diselamatkan malah seperti ini balasannya”.

Imam Baqir as berkata: Kala itu, di pelabuhan terdapat dua kapal. Satu kapal barang dan satunya lagi kapal penumpang. Pembeli budak menempatkan perempuan di kapal barang, karena kecantikannya sehingga ia takut perempuan itu diganggu oleh para penumpang. Perempuan itu menempati kapal barang. Tetapi di tengah perjalanan, kapal itu berhadapan dengan badai dan topan laut. Kapal oleng dan akhirnya perempuan dengan kapalnya terdampar di sebuah pulau, sementara penumpang lainnya tenggelam. Perempuan itu akhirnya tinggal di pulau tersebut. Bertahun-tahun lamanya ia beribadah kepada Kekasih Sejatinya (Allah SWT) di pulau tersebut”.

Imam Baqir as berkata: Tuhan mewahyukan kepada Nabi Uzair as bahwa, Ia akan menurunkan azab bagi kaumnya. Nabi Uzair as menyampaikan kabar tersebut kepada kaumnya. Kaumnya meminta kepadanya untuk memohonkan kepada Tuhan agar menangguhkan azab-Nya tadi. Tuhan mewahyukan kepada Nabi Uzair as bahwa azab itu tidak akan dapat ditangguhkan kecuali jika mereka dimaafkan oleh salah seorang hamba-Nya yang tinggal di sebuah pulau. Kemudian mereka berbondong-bondong pergi ke pulau tersebut hingga akhirnya mereka menemui seorang perempuan yang sangat bercahaya wajahnya dan memiliki kharisma yang terpancar darinya. Satu persatu dari mereka meminta maaf kepada perempuan tersebut. Namun tidak seorangpun mengetahui siapa perempuan tadi. Raja berkata: “Saya dulu telah merajam seorang perempuan muda yang tidak bersalah, karena saya tidak mengira Hakim Agungku seperti itu. Maka mohonkan kepada Tuhan agar Ia sudi memaafkanku”. Perempuan itu berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah dia!?”. Tiba giliran Hakim Agung berkata: “Aku bukanlah orang yang baik. Aku telah menuduh istri saudaraku yang baik dan taat itu. Maka mohonkan kepada Tuhan agar Ia memaafkanku”. “Ya Tuhanku, ampunilah ia”, doanya. Kemudian datanglah seorang rahib sambil berkata: “Aku tidak mengetahui jika pembantuku telah berpikiran busuk. Aku telah mengusir seorang perempuan yang tidak bersalah. Maka mohonkan dari Tuhan agar memaafkanku”. “Ya Tuhanku, ampunilah ia”, doanya. Kini giliran pembantu rahib datang sambil berkata: “Saya telah menuduh perempuan tidak bersalah dengan tuduhan membunuh. Mohonkan kepada Tuhan agar memaafkanku”. “Ya Tuhanku, ampunilah ia”, doanya”.

Akhirnya tiba giliran laki-laki yang telah dibayarkan semua hutangnya tadi. Ia datang seraya berkata: “Saya telah menjual perempuan asing dan sendirian itu, dan telah merusak kehormatannya sebagai seorang yang baik. Maka mohonkan kepada Tuhan agar sudi memaafkanku”. “Ya Tuhan, janganlah Engkau ampuni penjual kehormatan seorang perempuan ini!”, doa sang perempuan. Setelah itu, bumi pun terbelah dan laki-laki tersebut masuk ke dalamnya dan akhirnya binasa. Setelah menyaksikan kejadian itu, mereka yang datang ke pulau itu berkata: “Wahai tuan, silahkan datang ke kota kami, istana tersedia untuk tuan”. “Tidak usah repot-repot. Azab tidak jadi diturunkan kepada kalian. Silahkan pergi dari pulau ini!?”, jawab sang perempuan. Mereka kembali bertanya: “Tuan, siapakah Anda sebenarnya?”. “Aku adalah perempuan yang telah kalian zalimi itu. Aku telah mengatakan bahwa tidak bersalah, namun tipu daya syetan telah menguasai diri dan jiwa kalian. Sekarang pergilah kalian semua dari sini!”.

[ED, sumber: Karamat wa Hikayat Asyiqane- Khuda, Jibrail Haji Zadeh, jil 2, hal 218-228].

Terkait Berita: