Siapa Bilang Kaum Munafik Bukan Sahabat Nabi Saw.?! Sekali lagi Anda saya ajak melihat dari dekat kerancuan konsep keadilan seluruh sahabat yang menjadi andalan Mazhab Sunni dalam mempertahankan berbagai doktrinnya di samping kerancuan dan celah yang sudah saya sebutkan dalam beberapa artikel sebelumnya.
Apabila ada peneliti yang menyajikan data-data penyimpangan, pelanggaran, pembangkangan para sahabat mereka (ulama Sunni dan tentunya juga kaum awamnya) segera mengatakan mereka yang disebutkan dalam data-data dan nash (Al Quran dan Sunnah) adalh kaum munafik! Dan kaum munafik bukan termasuk sahabat Nabi! Jangan masukan munafik ke dalam daftar sahabat Nabi Saw.! Munafik ya munafik!
Demikianlah kurang lebih pembelaan yang mereka lontarkan.
Tetapi benarkan kaum munafik itu bukan sahabat Nabi Saw.?
Sepertinya seluruh data bertolak belakang dengan pembelaan yang mereka kkatakan. Sebab kenyataannya iaalah bahwa kaum munafik adalah mereka yang menyatakan (mengikrarkan) syahâdatain dengan lisan mereka, kendati hati mereka tidak menerimanya. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa umat manusia di hadapan da’wah Nabi saw. Terkelompkkan menjadii tiga kelompok:
1) Mereka yang menerima da’wah dan beriman kepada kenabian beliau dengan tulus. Mereka adalah kaum Mu’min.
2) Kedua kaum yang menginkari kebenaran da’wah dan menolak kenabian beliau. Mereka iitu adalah kaum kafir. Kaum kafir yang ingkkar ini terbagi menjadi dua kelompok: A) Mereka yang berterus terang dalam kekafiran dan menentangannya. Mereka disebut kafir dan
3) B) Mereka yang tidak berterus terang daalam kekafiiran dan pengingkarannya. Mereka menampakkkan keimanan sementara pada hakikatnya mereka adalah kafir! Mereka ini disebut sebagai kaum munafik!
Nah, jelslah sekarang siapa sebenarnya kaum munafik itu? Mereka yang secara lahrriyah muslim akan tetepi pada hakikatnya mereka itu kafir!
Mereka yang menampakkan keislaman dan keimanan itu pastilah akan dberlakukan atas mereka hukum Islam. Nabi saw. Akan mempperlakukan mereka sebagai orang-orang Muslim dan memberlakukan atas mereka hukum-hukum Islam sebagaimana diberlakukan atas yang lainnya.
Demikianlah sejaraan mencatat. Kaum munafik itu bergabung bersama kaum muslim lainnya di zaman Nabi saw.’ Mereka shalat berjama’ah bermaza Nabi saw., menunaikan haji bersama beliau bahkan berjihad melawan musuh-musuh Islam bersama Nabi saw. Dan kaum Muslim lainnya.
Jika demikian kenyataannya, apa alasan kita mengatakan bahwa kaum munafik itu buan sahabat Nabi saw.?!
Bukankah mereka yang berikrar dengan syahâdatain di hadapan Nabi saw. atau di zaman beliau lalu bergabung dengan jama’ah kaum muslim lainnnya sudah cukup syarat untuk disebut sebagai sahabat Nabi saw.?
Selain kenyataan di atas banyak data di mana Nabi saw. Menyebut kaum munafik sebagai sahabat beliau! Dalam kesempatan ini saya hanya ingin mengajak Anda melihat dari dekat data tersebut dan merenungkannya baik=baik.
Para mufassir Sunni ketika menerangkan atar-ayat surah al Munâfqûn demikian juga para sejarawan Islam ketika mereka menyebutkan perang Muraisi’ atau nama lainnya perang bani Mushthaliq pasti menyebutkan sebuah pristiwa percek-cokan antara dua orang sahabat; satu dari kalangan Anshar dan yang satu dari kalangan Muhajrin dalam urusan perebutan yangkemudian berakhir dengan luapan kemaraham Abdullah ibn Ubay ibn Salûl (yang kata data-data Sunni disebut sebagai gembong kaum Munafik) yang iia tuang dalam kata-kata busuk yang mengejek-ejek dan mengancam untuk mengusir Nabi saw. dan kaum Muslim dari kota Madinah. Kemdian setelah ucapannya yang menjelaskan kekentalan kemunafikannya iitu dilaporkan kepada Nabi saw. dan beliau pun menegurnya lalu Abdullah ibn Ubay pun mengelak dengan mengatakan bahwa ia tidak pernah mengatakan apa-apaun seperti yang dilaporkan kepada beliau.
Menyikapi kekejian kata-kata Abdullah ibn Ubay ibn Salûl sebagai sahabat lainnya (khususnya Umar ibn al Khaththâb) meminta (atau mengslkan) agar Nabi saw. memerintah untuk membunuh saja Abdullah ibn Ubay si gembong munafik iitu. Tetapi mereka (dan saya yakin, kaum awam Sunni yang selama ini menjadi korbar pembuutaan) benar-benar dikejutkan dengan jawaban Nabi saw.
Apa jawaban Nabi saw. terhadap Umar yang mengusulkan agar Abdullah ibn Ubay dibunuh saja?
Perhatikan keterangan yang diabadikan para ulama Islam di bawah ini;
Ibnu Jarir ath Thabari, al Baghawi, al Khâzin, Ibnu Katsîr, as Suyûthi, asy Syaukâni dll menyebutkan banyak riwayat: bahwa ketika Umar berkata kepada Nabi, ‘Wahai Nabi, perintahkan Mu’âdz ibn Jabal agar memenggal kepala si munafik itu!’ Maka Nabi saw. menjawab:
“Jangan sampai orang-orang berbicara bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya.”.
Riwayat di atas dengan berbagai jalur dan perincian pristiwanya dapat Anda baca dalam :
1) Tafsir ath Thabari, ayat 8 surah al Munâqûn,28/112-115.
2) Tafsir al Baghwi,7/99.
3) Tafsir al Khizin,7/99.
4) Tafsir Ibnu Katsîr,4/370.
5) Tafsir asy Syaukâni,5/233.
Dan Masihbanyak lainnya.
Ibnu Jakfari berkata:
Nah, kini jelaslah bagi kita bahwa kaum munafik juga disebut Nabi saw. sebagai Sahabat beliau!
Aneh, Sahabat Anshar Kok Munafik?!
Sebuah Renungan Terhadap Konsep Keadilan Sahabat
Diantara doktrin yang tak henti-hentinya ditalqinkan oleh jumhûr penganut mazhab Ahlusunnah, khususnya yang Sunni Plus/Nashîbi (Ekstrimis Wahhâbi/Salafi) adalah bahwa seluruh sahabat[1] Nabi saw. adalah bersifat ‘Udûl (baik, tidak mungkin jahat dan menyengaja melanggar syari’at tanpa dasar). Dan barang siapa yang meragukan doktrin ini akan berhadapan dengan Pasukan Pembela Sahabat yang siap meluncurkan edisi fatwa terekstrim: Zindiq, Kafir dll!
Apabila ada yang mengatakan bahwa sahabat A atau B itu fasik apalagi munafik mereka segera menuduh Anda telah terpengaruh oleh Abdullah Ibnu Saba’ (si aktor Yahudi yang merusak Islam dengan menjelak-jelekkan para sahabat)….
Menuduh Anda berusaha meruntuhkan risalah agama dengan mencacat para pengembannya. Demikianlah doktrin itu dicekokkan di hampir setiap kesempatan, khususnya di pengajian atau pengkajian yang bernuansa menghujat ajaran Syi’ah!
Saya tidak pedulu dengan itu semua. Karena masalah ini telah lama menjadi bahan perdebatan mandul antara mereka yang menganut “Mazhab Pokoknya” dan para kritikus sejarah. Saya hanya mengajak Anda merenungkan beberapa catatan yang mungkin dapat membuka mata hati dan pikiran Anda (bukan mereka yang menganut “Mazhab Pokoknya”. Sebab bagi mereka apapun yang dapat meruntuhkan doqma mazhab mereka harus disingkirkan jauh-jauh….
Ayat-ayat Al Qur’an yang membombardir doqma mazhab mereka harus dilawan. Sesekali ditakwil dan sesekali dilupakan! Hadis-hadis palsu pun yang tak henti-hentinya diproduksi di masa subur pemalsuan. Dan diobral untuk mengggertak kaum awam di masa kini! Data-data sejarah pun harus diabaikan dan diragukan bahkan dibohongkan…
Pokoknya, semua sahabat harus adil! Titik!!
Jangan-jangan Nabi saw. ”Agak Terpengaruh” Syi’ah!
Ketika mereka dikagetkan dengan banyak hadis Nabi saw. yang membongkar bahwa di antara sahabat-sahabat beliau tenyata ada yang munafik, (walaupun tidak semestinya mereka kaget sebab Al Qur’an penuh dengan ayat-ayat yang membongkar kemunafikan sebagian sahabat, bahkan yang dekat sekalipun)…
ketika memergoki hadis-hadis seperti itu dalam kitab-kitab hadis standar mungkin terbesit dalam kepala sebagian awam (yang sudah “tercerahkan” oleh doktrin “Mazhab Pokoknya”): jangan-jangan Nabi saw. sendiri sudah terpengaruh fitnah Syi’ah Sabaiyyah?!
Atau jangan-jangan Nabi saw’ agak berpihak kepada kaum Syi’ah?!
Imam Ahmad dan para muhaddistîn lain telah meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda:
“Di antara para sahabatku ada yang munafik.” [2]
Atau sabda Nabi saw. “Di antara sahabatku ada dua belas orang munafik, delapan di antaranya tidak pernah masuk surga sehingga onta memasuki lubang jarum.” Seperti diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya[3].
Jumlah kaum munafik di antara sahabat Nabi saw. tidaklah sedikit. Terbukti bahwa dalam peperangan Uhud, Abdullah ibn Ubay ibn Salûl –gembong kaum Munafikin- membelot bersama tiga ratusan prajurit dari total jumlah prajurit sekitar seribut personil. [4] Akan tetapi karena satu dan lain hal, identitas sebagian mereka dirahasiakan demi menjaga nama baik mereka… akan tetapi ketika mereka tidak termasuk kelompok “Saqifah Group” maka kekebalan itu tidak lagi dipertahankan! Nama mereka akan disebutkan!
Kedok kemunafikan mereka segera dibongkar. Mereka dijadikan tumbal untuk keselamatan teman-teman lainnya!
Karenanya kaum munafik dari kalangan Anshar dibongkar kedok kemunafikan mereka, sementara kaum munafik dari kaum Quraisy dirahasiakan identitas mereka!
Ibnu Hisyam Membongkar Kedok Kemunafikan Kaun Ashar!
Gelar Anshar yang artinya para pembela kini tak lagi sakral. Kaum Anshar yang dikenal membela perjuangan da’wah Nabi saw. yang untuk mereka beberapa ayat turun memuji ketulusan keimanan dan perjuangan mereka, kini dibongkar data-data yang menaburkan keraguan atas mereka. Kaum Anshar ternyata tidak semuanya seperti yang kita bayangkan selama ini!
Ibnu Hisyam melaporkan dalam Sirahnya yang sangat terkenal itu di bawah judul pasal:
Man Ijtama’a Ilâ al Yahûd Min Munafiqî al Anshâr/Kaum Munafik dari kalangan Anshar yang bergabung dengan kaum Yahudi, pada laporannya itu ia mengatakan:
“(Dari bani ‘Amr) Ibnu Ishaq berkata, “Dan di antara kaum munafik dari suku Aus dan Khazraj[5] yang bergabung dengan kaum Yahudi –dalam persekongkolan mengkhianati Nabi saw.- yang nama-nama mereka disampaikan kepada kami adalah (Allah Maha Mengetahui): dari suku Aus tepatnya dari keluarga bani ‘Amr ibn Auaf ibn Mâlik ibn Aus kemudian dari suku bani Laudzân ibn ‘Amr ibn Auf adalah: Zuwai ibn al Hârits.
(Dari suku bani Habîb):
Dan dari suku bani Habîb ibn ‘Amr ibn ‘Auf adalah Julâs ibn Suwaid ibn Shâmid dan saudaranya yang bernama al Hârits ibn Suwaid.
Sekilas Tentang Julâs ibn Suwaid.
Julâs adalah orang yang berkata -ketika ia membelot dari rombongan pasukan nabi dalam peperangan Tabûk-, “Jika orang ini (Nabi saw. maksudnya) benar, pastilah kita ini lebih jahat/jelek dari keledai.” Lalu ucapannya ini dilaporkan kepada Nabi saw. oleh ‘Umair ibn Sa’ad (anak tirinya sendiri). Lalu setelah dipanggil Nabi saw. dan ditanyakan kepadanya atas ucapannya itu, ia mengelak dengan bersumpah bahwa ia tidak mengatakannya. Lau turunlan beberapa ayat tentangnya:
Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam, dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertobat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali- kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.” (QS. At Taubah [9];74).
Sekilas Tentang al Hârits ibn Suwaid.
Ia bergabung bersama pasukan kaum Muslim dalam peperangan Uhud dalam keadaan munafik, kemudian dia membunuh dua orang Muslim; al Mujadzdzar ibn Diyâb al Balwi dan Qais ibn Zaid[6], karena dahulu di sa’at terjadi peperangan di masa jahiliyah antara suku Aus dan Khazraj, al Mujadzdzar membunuh ayahnya. Dan setelahnya ia melarikan diri bergabung dengan kaum kafir Quraisy.[7]
(Dari suku bani Dhabî’ah):
Dan dari suku bani Dhabî’ah ibn Zaid ibn Mâlik ibn ‘Auf ibn ‘Amr ibn ‘Auf adalah: Bijâd ibn Utsman ibn ‘Âmir.
(Dari suku bani Ladzân):
Dan dari suku bani Ladzân ibn ‘Amr ibn ‘Auf adalah Nabtal ibn al Hârits. Dialah yang Nabi saw. bersabda tentangnya, “Barang siapa ingin menyaksikan setan maka hendaknya ia melihat Nabtal ibn al Hârits.” Dialah yang gemar menukil pembicaraan Nabi saw. kepada rekan-rekan kaum munafiknya dan mengejek Nabi saw. dengan ejekan bahwa beliau adalah bak telinga yang tak mampu membedakan omongan apapun, semuanya ia terima!
Maka Allah SWT menurunkan ayat:
“Di antara mereka (orang- orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan:” Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya”. Katakanlah:” Ia mempercayai semua yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang- orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang- orang yang beriman di antara kamu”. Dan orang- orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih.” (QS. At Taubah [9];61).
(Dari suku bani Dhabî’ah):
Dan dari suku bani Dhabî’ah[8] adalah:
1) Abu Habîbah ibn al Az’ar. -dia termasuk yang terlibat dalam pembangunan masjid Dhirâr-,
2) Tsa’labah ibn Hâthib,
3) Mu’tab ibn Qusyair- kedua orang ini yang berjanji jika ia diberi kelapangan rizki untuk bersedekah dan menjadi orang-orang yang shaleh.
Tsa’labah ini yang berbicara ketika perang Uhud berkecamuk, “Andai kita punya kekuasaan pastilah kita tidak terbunuh di sini.”. Maka Allah SWT menurunkan ayat mengecam sikapnya:
“… sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah. Mereka berkata:” Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini” Katakanlah:”Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah”. Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata:” Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu) hak campur tangan (dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini”. Katakanlah:” Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang- orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh”. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” (QS. Âlu “imrân [3];154).
Dan dialah yang juga berkomentar miring pada hari peperangan Ahzâb/Khandaq, “Muhammad menjanjikan kita untuk menikmati harta simpanan raja Kisra dan Kaisar, sementara seorang dari kita kini tidak merasa aman atas dirinya ketika pergi ke tempat buang air. Maka Allah SWT menurunkan ayat:
“Dan (ingatlah) ketika orang- orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata:” Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.” (QS. Al Ahzâb [33];12
( 4) al Hârits ibn Hâthib.
Ibnu Jakfari berkata:
Sebagian orang –termasuk Ibnu Hisyâm- meragukan bahwa Mu’tab dan kedua putra Hâthib adalah termasuk kaum munafik, dengan satu alasan yang terkesan lugu yaitu karena mereka ikut serta dalam perang Badr. Akan tetapi jujur saja harus dikatakan bahwa tidak alasan yang meinscayakan bahwa tidak mungkin seorang pun dari yang ikut serta dalam peperangan Badr itu munafik! Mungkin anggapanj itu didasarkan kepada sebuah riwayat yang sangat ganjil dari sisi kandungannya konon diriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Bisa jadi Allah telah menyaksikan para peserta peperangan Badr lalu berfirman, ‘lakukan sekehandak kalian, Aku telah ampuni kalian semua.’”
Selain mereka, Ibnu Hisyam juga menyebutkan nama-nama sebagai berikut:
5) ‘Abbâd ibn Hunaif saudara Sahl ibn Hunaif,
6) Bahzaj. Mereka termasuk yang terlibat dalam pembangunan masjid Dhihrâr.
7) ‘Amr ibn Khidâm dan
8.). Abdullah ibn Nabtal.
(Dari bani Tsa’labah):
Dan dari suku bani Tsa’labah ibn ‘Amr ibn ‘auf adalah:
1) Jâriyah ibn ‘Âmir ibn al ‘Aththâf, dan keduan putranya
2) Zaid dan
3) Mujamma’.
Mereka termasduk yang terlibat dalam pembangunan masjid Dhihrâr.
Catatan Penting!
Yang sangat membingungkan adalah laporan Ibnu Hisyâm bahwa Mujamma’ adalah seorang pemuda cerdas yang telah menghafal hampir seluruh Al Qur’an. Dialah yang bertindak sebagai imam dalam shalat di masjid Dhirâr itu. Dan di masa kekhalifahan Umar ibn al Khaththâb ada usulan agar ia diangkat kembali menjadi imam shalat, tetapi Umar menolak dengan alasan: “Bukankah ia adalah imamnya kaum munafikin di masjid Dhirâr!” Dan setelah ia berasalan di hadapan Umar bahwa ia tidak tau apa-apa tentang niatan jahat mereka. Ia hanya diminta memimpin mereka shalat maka ia lakukan, maka Umar pun mengizinkan kembali.
Ibnu Jakfari berkata:
Selain nama-nama yang telah saya sebutkan banyak nama lainnya yang dibongkar Ibnu Hisyâm dalam kitab Sirâh-nya hal mana menimbulkan pertanyaan serius, bagaimana di kalangan sahabat Anshar kok ada yang munafik? Bukankah mereka semua itu ‘udûl?
Lalu bagaimana nasib doktrin yang selama ini disakralkan bahwa semua sahabat Nabi saw. itu‘udûl?
Lalu apakah ada pula kaum munafik dari suku Quraisy yang selama bertahun-tahun getol memerangi Nabi Muhammad saw. dan hanya terpaksa berhenti berterang-terangan memerangi Nabi saw. ketika mereka ditaklukkan dengan ditaklukkannya kota suci Mekkkah?
Sementara ada ayat yang sangat serius turun untuk sebagian mereka, khususnya aimmatul kufri, para pembesar kafir Quraisy yang selalu menjadi pelopor dalam memerangi Nabi saw…
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang kafir tidak berbeda bagi mereka, baik engkau memberikan peringatan kepada mereka atau tidak; mereka tidak akan beriman* Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka (dihalangi oleh) sebuah penutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat. ” (QS. Al Baqarah [2];6-7).
Para mufassirin, di antaranya adalah Ibnu Jarîr ath Thabari, Ibnu Mundzir dan ibnu Abi Hâtim meriwayatkan bahwa kedua ayat ini turun berkaitan dengan para pembesar kafir Quraisy, di antaranya adalah Abu Sufyân [9] (ayah Mu’awiyah dan kakek Yazid serta suami Hindun si pengunyah jantung Sayyidina Hamzah; paman Nabi saw.) dan al Hakam ibn al ‘Âsh (moyang para penguasa bani Marwân/dinasti Umayyah)[10].
Jadi pertanyaan yang mungkin muncul ialah: mungkinkah orang-orang yang oleh Allah divonis tidak akan beriman: Sesungguhnya orang-orang kafir tidak berbeda bagi mereka, baik engkau memberikan peringatan kepada mereka atau tidak; mereka tidak akan beriman, dan telah dikabarkan bahwa Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka (dihalangi oleh) sebuah penutup, mungkinkah mereka itu akan beriman dengan sepenuh hati?
Mereka tidak mungkin akan beriman dengan tulus walaupun mereka mengikrarkannya dengan lisan!
Selain itu, Anda berhak mempertanyakan, mengapakah hanya kaum Anshar saja yang menjadi bulan-bulanan pembongkaran data kemunafikan ini?
Dan terakhir yang menarik untuk diteliti adalah mengapakah maraknya terma munafik dan kenufikan itu hanya ada di masa hidup Nabi saw. saja, sementara, sepeninggal beliau seakan tidak ada lagi kaum munafikin! Lalu kemanakah mereka itu?
Apakah mereka kini, sepeninggal Nabi saw. mendadak berubah menjadi kaum Mukminin yang tulus keimanannya?
Lalu apakah yang menghalangi mereka di masa hidup Nabi saw. untuk menjadi mukmin sejati?
Apakah keberadaan Nabi saw. di tengah-tengah mereka dengan serba-serbi mu’jizat yang beliau miliki jusretu menghalangi mereka dari beriman dengan tulus?
Mengapa? Mungkinkah keberadaan beliau ssaw. menjadi penghalang bagi keimanan mereka?
Jika keberadaan Nabi saw. menjadi penghalang bagi keimanan mereka, lalu siapakah yang dapat menjadi pelancar keimanan kaum munafikin itu?
Atau justru, kekuasaan menuntut kita untuk merahasiakan nama dan data kaum munafik, karena mereka kini berpartisipasi dalam kabinet gotong royong pemerintahan “Saqifah Group”?
Atau kini kemunafikan telah tidak lagi menjadi trend yang digemari kaum munafikin, sebab berterang-terang dalam menampakkan kekafiran tidak menjadi apa-apa, ia sudah menjadi fenomena biasa yang ditoleransi?
Atau ada alasan lain, lastu adri!
Wallahu A’lam Bihaqîqatil Umûr.
Catatan Kaki:
[1] Para ulama Ahlsunnah mendefenisikan Sahabat dengan: Setiap orang yang melihat Nabi saw. dalam keadaan Muslim walaupun hanya melihatnya sebentar saja. Lebih lanjut baca: Syarah Imam Nawawi atas Shahih Muslim,16/85.
[2] Musnad Ahmad,4/83 hadis dengan nomer urut:16810 dan Musnad ath Thayâlisi,1/128 hadis dengan nomer urut:949.
[3] Shahih Muslim,4/2143 hadis dengan nomer urut 2779.
[4] Târîkh ath Thabari,2/60. Demikian juga dalam peparangan Tabûk ada sekitar delapan puluh sahabat sengaja absen tidak mau ikut serta bergabung bersama pasukan kaum Muslimin. (Baca Fathu al Bâri,8/113).
[5] Suku Aus dan Khazraj adalah dua suku yang membentuk masyarakat kota madinah yang menyambut Nabi saw… yang kemudian mereka disebut dengan nama Al anshar.
[6] Ada yang mengatakan bahwa ia hanya membunuh al Mujadzdzar seorang.
[7] Ketarngan selengkapnya dipersilahlkan dirujuk dalam Sirah Ibnu Hisyam.
[8] Bisa jadi ia bukan suku bani Dhabî’ah ibn Zaid yang telah disebutkan sebelumnya.
[9] Para sejarawan Islam seperti ath Thabari melaporkan bahwa dalam peperangan Hunain, ketika Abu Sufyan ikut serta bersama para sahabat lainnya (tentunya setelah ia mengikrarkan syahadatain dengan lisan kerena terpaksa sebagai syarat formal menjadi sahabat Nabi saw. yang diyakini kaadilannya oleh Ahlusunnah), ia menanti-nantikan saat kekalahan kaum Muslimin dan ia selalu membawa serta azlâm, arca-arca kecil sesembahannya. (Târîkh ath Thabari,2/168). Abu Sufyan, Hakîm ibn Hizâm dan Shafwân ibn Umayyah –mereka adalah gembong kagfir Quraisy yang terpaksa mengikrarkan syahadatain- mereka menanti-nanti kekalahan atas kaum Muslimin. (Mushannaf; Ibnu Abi Syaibah,7/418 hadis dengan nomer urut:36996.)
[10] Dalam banyak hadis, seperti diriwayatkan ulama dari Aisyah dan lain bahwa Nabi saw. telah mengutuk al Hakam dan Marwan anaknya serta keturunan dari sulbinya.
Sahabat Nabi Yang Dikatakan Munafik Dalam Shahih Muslim?
Oleh: J Algar.Judul yang sensasional, mungkin ya tapi silakan dibaca dulu dengan seksama dan berikan penilaian yang objektif. Pembicaraan seputar sahabat Nabi memang sangat sensitif, setidaknya bagi kalangan tertentu. Kenapa? Karena sahabat Nabi lebih dikenal sebagai orang-orang yang mulia, suri tauladan yang agung dan orang yang berjasa besar bagi umat Islam. Saya tidak menyangkal hal itu, tetapi seperti biasa cara berpikir fallacyus ala generalisasi yang menjangkiti sebagian orang terkadang mengundang tanda tanya bagi orang yang mau menggunakan akalnya. Mereka beranggapan bahwa sahabat Nabi tidak boleh dikritik, barang siapa yang berani mengkritik sahabat Nabi maka tak peduli kritikannya benar atau tidak, ia akan dianggap telah mencela sahabat Nabi.
Singkat cerita mencela sahabat Nabi akan dianggap zindiq minimal sesat. Apa jadinya jika mereka menemukan dalam kitab-kitab shahih terdapat kritikan terhadap Sahabat Nabi?. Mereka akan menolak, menakwilkan, berdalih atau apapun, intinya anda salah mereka benar dan Sahabat Nabi selalu mulia. Bagaimana jika ada yang mengatakan bahwa diantara Sahabat Nabi terdapat orang-orang munafik?. Oooh sudah pasti orang tersebut pasti akan mendapat cap sesat dhalalah bin dhalalah.
Dalam kitab Shahih Muslim 4/2143 no 2779 (9) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi disebutkan bahwa diantara sahabat Nabi terdapat orang munafik.
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Aswad bin Amir yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah bin Hajjaj dari Qatadah dari Abi Nadhrah dari Qais yang berkata “saya pernah bertanya kepada Ammar, bagaimana pendapatmu tentang perang terhadap Ali? Atau bagaimana pesan yang disampaikan Rasulullah SAW kepadamu?. Ammar menjawab “Rasulullah SAW tidak pernah menyampaikan pesan kepada kami suatu pesan yang tidak Beliau sampaikan juga kepada orang-orang”. Saya diberitahu oleh Huzaifah dari Nabi SAW yang bersabda “Di antara SahabatKu ada dua belas orang munafik. Di antara mereka ada delapan orang yang tidak akan masuk surga sampai unta masuk ke lubang jarum”. Delapan orang diantara mereka akan mendapat Dubailah, sedangkan empat lainnya aku tidak hafal yang dikatakan Syu’bah tentang mereka.
Matan hadis Shahih Muslim di atas menyatakan bahwa Rasulullah SAW sendiri yang menyebutkan ada sahabat Beliau yang munafik. Sudah menjadi kenyataan bahwa dalil sejelas apapun selalu bisa dicari-cari penolakannya. Mereka yang menolak ada sahabat Nabi munafik mengatakan bahwa hadis Shahih Muslim di atas menceritakan bahwa ada dua belas orang munafik dari Umat Nabi SAW dan mereka bukanlah sahabat Nabi SAW. Mereka berdalih dengan hadis berikutnya dalam Shahih Muslim 4/2143 no 2779 (10) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Muhammad bin Bisyr (lafaz ini lafaz Al Mutsanna) yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Qatadah dari Abi Nadhrah dari Qais bin Abad yang berkata “saya bertanya kepada Ammar, bagaimana pendapatmu tentang perang yang kamu lakukan? Karena pendapat itu bisa benar dan bisa salah. Atau bagaimana pesan yang disampaikan Rasulullah SAW kepadamu?. Ammar menjawab “ Rasulullah SAW tidak pernah menyampaikan pesan kepada kami yang tidak Beliau sampaikan pula kepada orang-orang. Ammar berkata “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda “bahwa diantara umatku”. Syu’bah berkata Ammar berkata telah diberitahu Huzaifah dan Ghundar berkata “saya melihat Rasulullah SAW bersabda “Diantara umatKu ada dua belas orang munafik yang tidak akan masuk surga bahkan mereka tidak mencium bau surga hingga unta masuk ke lubang jarum. Delapan orang diantara mereka akan mendapat Dubailah yaitu api yang menyengat punggung mereka hingga tembus ke dada.
Kedua hadis Shahih Muslim diatas adalah Shahih, tetapi dalih sebagian orang bahwa dua belas orang munafik itu bukan sahabat Nabi tetapi Umat Nabi tidak bisa diterima begitu saja. Justru jika kita menerima keshahihan kedua hadis ini maka tidak ada pertentangan antara hadis yang satu dengan yang lain hingga kita harus menolak salah satunya:
1. Hadis yang satu menyatakan Di antara SahabatKu ada dua belas orang munafik.
2. Hadis yang lain menyatakan Diantara UmatKu ada dua belas orang munafik.
Coba pikirkan dengan baik, mengapa harus dikatakan bahwa orang munafik itu ada di antara Umat Nabi tetapi bukan Sahabat Nabi. Apakah sahabat Nabi bukan termasuk Umat Nabi?. Kalau bukan lantas umat siapa, kalau iya maka penyelesaiannya mudah. Hadis yang menyebutkan kata SahabatKu adalah penjelasan yang mengkhususkan dari hadis dengan kata UmatKu. Sehingga makna hadis tersebut adalah diantara Umat Nabi SAW yaitu dari kalangan Sahabat Nabi ada dua belas orang munafik. Makna ini sesuai dengan kedua hadis di atas dan tidak menolak atau menyangkal salah satu hadis. Berbeda dengan penakwilan bahwa dua belas orang munafik itu diantara Umat Nabi tetapi bukan sahabat Nabi, karena penakwilan ini dengan terpaksa telah menentang hadis yang shahih dan jelas yaitu hadis dengan lafaz SahabatKu. Begitulah adanya, dan silakan direnungkan.
Fakta Bukti 10 Sahabat yang Dijamin Masuk Surga, Benarkah???
Sunni Wahabi mengatakan 10 Sahabat yang Dijamin Masuk Surga sebagai berikut:
Ada sepuluh orang dari sahabat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang dijamin pasti masuk ke dalam surga. Nama-nama mereka tersebut di dalam hadits yang shahih berikut ini:
“Dari Abdurrahman bin ‘Auf, dia berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: Abu Bakr di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, Az Zubair di surga, Abdurrahman bin ‘Auf di surga, Sa’d di surga, Sa’id di surga, dan Abu Ubaidah ibnul Jarrah di surga.” [HR At Tirmidzi (3747), hadits shahih].
Berikut ini perincian nama-nama mereka yang tersebut di dalam hadits:
1. Abu Bakr, yaitu Abdullah bin Utsman At Taimi, digelari dengan Ash Shiddiq Al Akbar. Wafat pada bulan Jumadil Awal tahun 13 H pada umur 63 tahun.
2. Umar, yaitu ibnul Khaththab Al ‘Adawi, Abu Hafsh, digelari dengan Al Faruq. Syahid pada bulan Dzulhijjah tahun 23 H.
3. Utsman, yaitu bin Affan Al Umawi, Abu Abdillah, digelari dengan Dzunnurain. Syahid pada bulan Dzulhijjah setelah Idul Adha tahun 35 H dalam umur sekitar 80 tahun.
4. Ali, yaitu bin Abi Thalib Al Hasyimi, Abul Hasan, digelari dengan Abu Turob. Anak paman Nabi صلى الله عليه وسلم dan suami dari anak perempuannya, yaitu Fatimah radhiallahu ‘anha. Syahid pada bulan Ramadhan tahun 40 H pada umur 63 tahun.
5. Thalhah, yaitu bin Ubaidillah At Taimi, Abu Muhammad. Digelari dengan Thalhah Al Fayyadh. Syahid pada perang Jamal tahun 36 H dalam umur 63 tahun.
6. Az Zubair, yaitu ibnul ‘Awwam Al Asadi, Abu Abdillah. Syahid pada tahun 36 H setelah pulang dari perang Jamal.
7. Sa’d, yaitu bin Abi Waqqash Az Zuhri, Abu Ishaq. Orang yang paling pertama memanah dalam perang jihad fi sabilillah. Wafat di ‘Aqiq pada tahun 55 H. Beliau adalah yang paling terakhir meninggal di antara sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga.
8. Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Muhammad Az Zuhri. Termasuk sahabat yang paling dahulu masuk Islam. Wafat pada tahun 32 H.
9. Sa’id, yaitu bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail Al ‘Adawi, Abul A’war. Wafat pada sekitar tahun 50 H.
10. Abu Ubaidah ibnul Jarrah, yaitu Amir bin Abdillah Al Fihri. Digelari dengan Aminu Hadzihil Ummah (Orang yang sangat terpercaya di umat ini). Termasuk dari anggota pasukan Perang Badr. Wafat syahid disebabkan oleh wabah menular Amwas pada tahun 18 H dalam umur 58 tahun.
Jawaban Kami sebagai berikut:
Mari baca disini
1. Kesalahan Abu Bakar: Abu Bakr Dan Umar Bukanlah Kafir Sebagaimana Yg Termaktub Dlm Kitab-Kitab Syiah.Benarkah Demikian syiah menganggapnya kafir? Lalu Dimana letak kesalahan Abu bakar yang merasa dirinya sahabat Utama. Mari kita lihat Kesalahan Abu Bakar.
2. Kesalahan Umar Bin Khattab: Kesalahan Umar bin Khathab
Meneladani Para Sahabat yang Dijamin Surga.
Artikel ini mengoreksi buku ini :
Judul : 10 Sahabat yang Dijamin Masuk Surga.
Penulis : Abdus Sattar As-Syaikh.
Cetakan pertama : April 2011.
Penerbit : Darus Sunnah Press.
Tebal : 964 Halaman.
Buku ini keliru menyebut Abubakar-Umar dan usman dijamin SURGA !!!
Syi’ah Yang Sezaman dengan Nabi SAW dikaitkan dengan QS. Al-Bayyinah:7-8:
(1) Abu Dzar Al Ghifari,
(2) Salman al Farisi,
(3) AlMiqdad bin al Aswad al Kindi
(4) ‘Ammar bin Yasir.
Mengutip dari hadis yang diriwayatkan oleh Al Hafizh Abu Na’im, yangmeriwayatkan dengan sanad dari IbnuAbbas, ketika turun ayat yang mulia: ” Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh mereka itu sebaik-baik makhluk” (QS. Al-Bayyinah:7-8), kemudian Rasulullah saw bersabda kepada Ali bin AbiThalib, “Wahai Ali, itu adalah engkau dan syi’ahmu…”.
“Manifestasi pengejawantahan syi’ah awal ini muncul usai wafatnya Rasulullah SAWW, sebagai bentuk loyalitas dan kepatuhan para sahabat kepadaRasulullah SAW yang telah menetapkan Ali Bin Abi Talib (Ahlul Ba’it Rasulullah SAW dan Ittrah Rasulullah SAW ) – di Ghadir Kum – sebagai yangharus di patuhi pasca beliau SAW tiada.
Seorang ulama ahlu sunnah bernama Abu Hatim ar Razi dalam kitabnya al-Zinah, menuliskan, nama pertama yang diberikan dalam Islam sebagai julukan bagi sekelompok orang pada masa Rasulullah SAW masih hidup sebagi Syi’ah adalah (1) Abu Dzar Al Ghifari, (2) Salman al Farisi, (3) AlMiqdad bin al Aswad al Kindi (4) ‘Ammar bin Yasir.
Ayatullah Sayyid Muhammad al Musawi mengomentari hal tersebut sebagai berikut, “…mereka adalah sahabat yang ikhlas, mereka mendengar Nabi SAW bersabda, “Syiah Ali adalah makhluk terbaik dan mereka adalah orang-orangyang beroleh kemenangan “, oleh karena itu mereka bangga menjadi bagian darimakhluk terbaik itu, dan mereka dikenal di kalangan sahabat dengan julukan syi’ah.
Di berbagai kesempatan Rasulullah SAW banyak memuji ke empatsahabat –syi’ah awal- tersebut, diantaranya :
1. Sunan Tirmidzi 5/636 no 3718 menuliskanDiriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengatakan kalau Allah SWT memerintahkan Beliau untuk mencintai empat orang sahabat dan Rasulullah SAW juga diberitahubahwa Allah SWT mencintai keempat sahabat tersebut. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW siapakah keempat sahabat yang mendapatkeistimewaan seperti itu. Rasulullah SAW menyebutkan bahwa mereka adalah Ali RA, Abu Dzar RA, Miqdad bin Aswad RA, dan Salman Al Farisi RA. Hadis ini diriwayatkan dalam,. Berikut hadis riwayat Tirmidzi :
حدثنا إسماعيل بن موسىالفزاري ابن بنت السدي حدثنا شريك عن أبي ربيعة عن ابن بريدة عن أبيه قال قال رسولالله صلى الله عليه و سلم إن الله أمرني بحب أربعة وأخبرني أنه يحبهم قيل يا رسولالله سمهم لنا قال علي منهم يقول ذلك ثلاثا و أبو ذر المقداد و سلمان أمرنيبحبهم وأخبرني أنه يحبهم
Telah menceritakan kepada kami Ismail binMusa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kamiSyarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
2. Sunan Ibnu Majah 1/53 no 149 (Dengan redaksi sama dengan di atas).
Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
3. Musnad Ahmad 5/351 no 23018 (Dengan redaksi sama dengan no.1).
حدثنا إسماعيل بن موسى الفزاري ابن بنت السدي حدثنا شريك عنأبي ربيعة عن ابن بريدة عن أبيه قال قال رسو الله صلى الله عليه و سلم إن اللهأمرني بحب أربعة وأخبرني أنه يحبهم قيل يا رسول الله سمهم لنا قال علي منهم يقولذلك ثلاثا و أبو ذر المقداد و سلمان أمرني بحبهم وأخبرني أنه يحبهم
Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai. Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
4. Mustadrak Al Hakim 3/130 no 4649 (Dengan redaksi sama dengan no 1).
Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
5. Al Kuna Al Bukhari 1/31 no 271 Dengan redaksi samadengan no 1).
Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
6. Tarikh Ibnu Asakir 21/409. )
Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al-Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarikdari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empatorang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkanitu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
7. Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya.
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dari Syarik yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata Rasulullah SAW bersabda “sesungguhnya Allah Azza wajalla mencintai empat orang dari sahabatKu. Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia mencintai Mereka dan memerintahkanKu untuk mencintai Mereka. Para sahabat berkata “siapa mereka wahai Rasulullah?”. Rasulullah SAW berkata”Ali diantaranya, Abu Dzar Al Ghiffari, Salman Al Farisi dan Miqdad bin Aswad Al Kindi.
8. Al Hafizh Abu Na’im, dalam Hilayah al Awliyajilid I hlm 172 meriwayatkan dari Buraidah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadaku untuk mencintai empat orang. Dia memberitahukan kepadaku bahwa Dia mencintai mereka, lalu ditanyakan, “Siapa mereka itu ?” Rasulullah saw menjawab, “Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, AbuDzar, al Miqdad dan Salman.
9. Ibnu Hajar al Makki dalam kitabnya al Shawa’iq alMuhriqah, dalam hadis ke lima dari empat puluh hadis yang menukil tentangkeutamaan Ali bin Abi Thalib meriwayatkan hadis dari Turmudizi dan al Hakimdari Buraidah bahwa Rasulullah saw bersabda, ” Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadaku untuk mencintai empat orang. Dia memberitahukan kepadaku bahwa Dia mencintai mereka, lalu ditanyakan, “Siapa mereka itu ?” Rasulullah saw menjawab, “Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar, al Miqdad dan Salman.
10. Ibnu Hajar al Makki dalam kitabnya al Shawa’iq alMuhriqah dalam hadis nomor 29 menukil dari Turmudzi dan al Hakim dari Anas binMalik, bahwa Rasulullah saw bersabda :”Surga merindukan tiga orang, mereka adalah Ali, Ammar dan Salman”.
11. Ibn Maghazali al Syafi’i dalam Manaqib ‘Ali bin Abi Thalib hadis no 331, meriwayatkan hadis dengan sanadnya dari Buraidah: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai empat orang dari sahabatku. Allah mengabarkan bahwa Dia mencintai mereka dan Dia memerintahkan kepadaku untuk mencintai mereka,” Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah saw?” Beliau menjawab, “Mereka adalah Ali, Abu Dzar, Salman dan al Miqdad bin al Aswad al-Kindi” Imam Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan dalam Musnad 5/351dengan sanad dari Muhammad bin al Thufail dari syarik. Al Hakim meriwayatkan dalam al Mustadrak 3/30 melalui Imam Ahmad bin Hanbal darial Aswad bin ‘Amir dan Abdullah bin Numair yang disahihkan oleh al-Dzahabi dalam Talkhis. Al Hafizh al Qazwini meriwayatkan pula dalam Sunan alMushthafa 1/52.
Jadi hati-hati mengatakan Syi’ah itu sesat, karena akan kembali kepada dirimu sendiri …
Tidak seperti yang 10, Inilah 4 orang yang dijanjikan Surga dan tidak ada seorang Ulama pun yang berselisih paham.
Ada banyak hadits yang memberitakan tentang adanya 4 sahabat Rasulillah SAWW yang dijamin Surga dan terbukti hingga akhir hayat mereka kisah perjalanan hidup mereka telah membuktikan ke shahihan hadits ini, beda dengan hadits 10 orang dijamin masuk surga, perilaku hidup sebagian dari mereka tidak mecerminkan perilaku orang yang dijamin sesungguhnya.
Adapun beberapa hadits yang bisa dirujuk adalah:
1. Musnad Ahmad 5/351 no 23018 (Dengan redaksi sama dengan no.1)
Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
2. Sunan Tirmidzi 5/636 no 3718 menuliskan Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengatakan kalau Allah SWT memerintahkan Beliau untuk mencintai empat orang sahabat dan Rasulullah SAW juga diberitahu bahwa Allah SWT mencintai keempat sahabat tersebut. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW siapakah keempat sahabat yang mendapat keistimewaan seperti itu. Rasulullah SAW menyebutkan bahwa mereka adalah Ali RA, Abu Dzar RA, Miqdad bin Aswad RA, dan Salman Al Farisi RA. Hadis ini diriwayatkan dalam,. Berikut hadis riwayat Tirmidzi :
Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
3. Mustadrak Al Hakim 3/130 no 4649 (Dengan redaksi sama dengan no 1).
Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
Mereka yang dijanjikan yaitu : Ali (as) , Abu Dzar , Miqdad dan Salman, yang disebut terkhir adalah yang dikenal sebagai Syi’ah Ali yabna Abi Thalib AS. mereka ini tidak pernah :
1. Lari dari pertempuran baik di Uhud , Khaibar maupun Hunain.
2. Tidak membatalkan Baiat Ridwan.
3. Mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya dengan mengikuti Imam Ali KW sebagai Pemimpin mereka.
4. Penderitaan Abu Dzar (Sahabat Rasulullah Saw), Dibuang Ustman Karena Perjuangannya Mempertahankan Kebenaran Dan Keadilan Ummat.
Abu Dzar Al-Ghifari adalah salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. yang paling tidak disukai oleh oknum-oknum Bani Umayyah yang mendominasi pemerintahan Khalifah Utsman r.a., seperti Marwan bin Al-Hakam, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain.
Ia berasal dari qabilah Bani Ghifar. Suatu qabilah yang pada masa pra-Islam terkenal amat liar, kasar dan pemberani. Tidak sedikit kafilah Arab yang lewat daerah pemukiman mereka menjadi sasaran penghadangan, pencegatan dan perampasan. Abu Dzar sendiri seorang pemimpin terkemuka di kalangan mereka.
Ia mempunyai sifat-sifat pemberani, terus terang dan jujur. Ia tidak menyembunyikan sesuatu yang menjadi pemikiran dan pendiriannya.
Ia mendapat hidayat Allah s.w.t. dan memeluk Islam di kala Rasul Allah s.a.w. menyebarkan da’wah risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang lebih oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar tanpa menghitung-hitung resiko mengumumkan secara terang-terangan keislamannya di hadapan orang-orang kafir Qureiys. Sekembalinya ke daerah pemukimannya dari Makkah, Abu Dzar berhasil mengajak semua anggota qabilahnya memeluk agama Islam. Bahkan qabilah lain yang berdekatan, yaitu qabilah Aslam, berhasil pula di Islamkan.
Demikian gigih, berani dan cepatnya Abu Dzar bergerak menyebarkan Islam, sehingga Rasul Allah s.a.w. sendiri merasa kagum dan menyatakan pujiannya. Terhadap Bani Ghifar dan Bani Aslam, Nabi Muhammad s.a.w. dengan bangga mengucapkan: “Ghifar…, Allah telah mengampuni dosa mereka! Aslam…, Allah menyelamatkan kehidupan mereka!”
Sejak menjadi orang muslim, Abu Dzar benar-benar telah menghias sejarah hidupnya dengan bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk menegakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit memberontak terhadap penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasul Allah s.a.w. sebagai “cahaya terang benderang.”
Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan dan perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain.
Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang melaksanakan perintah Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar serius, keras dan tulus. Namun demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.
Pada suatu hari ia pernah ditanya oleh Rasul Allah s.a.w. tentang tindakan apa kira-kira yang akan diambil olehnya jika di kemudian hari ia melihat ada para penguasa yang mengangkangi harta ghanimah milik kaum muslimin. Dengan tandas Abu Dzar menjawab: “Demi Allah, yang mengutusmu membawa kebenaran, mereka akan kuhantam dengan pedangku!”
Menanggapi sikap yang tandas dari Abu Dzar ini, Nabi Muhammad s.a.w. sebagai pemimpin yang bijaksana memberi pengarahan yang tepat. Beliau berkata: “Kutunjukkan cara yang lebih baik dari itu. Sabarlah sampai engkau berjumpa dengan aku di hari kiyamat kelak!” Rasul Allah s.a.w. mencegah Abu Dzar menghunus pedang. Ia dinasehati berjuang dengan senjata lisan.
Sampai pada masa sepeninggal Rasul Allah s.a.w., Abu Dzar tetap berpegang teguh pada nasehat beliau. Di masa Khalifah Abu Bakar r.a. gejala-gejala sosial ekonomi yang dicanangkan oleh Rasul Allah s.a.w. belum muncul. Pada masa Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a., berkat ketegasan dan keketatannya dalam bertindak mengawasi para pejabat pemerintahan dan kaum muslimin, penyakit berlomba mengejar kekayaan tidak sempat berkembang di kalangan masyarakat. Tetapi pada masa-masa terakhir pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan r.a., penyakit yang membahayakan kesentosaan ummat itu bermunculan laksana cendawan di musim hujan. Khalifah Utsman bin Affan r.a. sendiri tidak berdaya menanggulanginya. Nampaknya karena usia Khalifah Utsman r.a. sudah lanjut, serta pemerintahannya didominasi sepenuhnya oleh para pembantunya sendiri yang terdiri dari golongan Bani Umayyah.
Pada waktu itu tidak sedikit sahabat Rasul Allah s.a.w. yang hidup serba kekurangan, hanya karena mereka jujur dan setia kepada ajaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Sampai ada salah seorang di antara mereka yang menggadai, hanya sekedar untuk dapat membeli beberapa potong roti. Padahal para penguasa dan orang-orang yang dekat dengan pemerintahan makin bertambah kaya dan hidup bermewah-mewah. Harta ghanimah dan Baitul Mal milik kaum muslimin banyak disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongan. Di tengah-tengah keadaan seperti itu, para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan kaum muslimin pada umumnya dapat diibaratkan seperti ayam mati kelaparan di dalam lumbung padi.
Melihat gejala sosial dan ekonomi yang bertentangan dengan ajaran Islam, Abu Dzar Al-Ghifari sangat resah. Ia tidak dapat berpangku tangan membiarkan kebatilan merajalela. Ia tidak betah lagi diam di rumah, walaupun usia sudah menua. Dengan pedang terhunus ia berangkat menuju Damsyik. Di tengah jalan ia teringat kepada nasihat Rasul Allah s.a.w.: jangan menghunus pedang. Berjuang sajalah dengan lisan! Bisikan suara seperti itu terngiang-ngiang terus di telinganya. Cepat-cepat pedang dikembalikan kesarungnya.
Mulai saat itu Abu Dzar dengan senjata lidah berjuang memperingatkan para penguasa dan orang-orang yang sudah tenggelam dalam perebutan harta kekayaan. Ia berseru supaya mereka kembali kepada kebenaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Pada waktu Abu Dzar bermukim di Syam, ia selalu memperingatkan orang: “Barang siapa yang menimbun emas dan perak dan tidak menginfaqkannya di jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksa yang Pedih Pada hari kiamat.
Di Syam Abu Dzar memperoleh banyak pendukung. Umumnya terdiri dari fakir miskin dan orang-orang yang hidup sengsara. Makin hari pengaruh kampanyenya makin meluas. Kampanye Abu Dzar ini merupakan suatu gerakan sosial yang menuntut ditegakkannya kembali prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, sesuai dengan perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya.
Muawiyah bin Abi Sufyan, yang menjabat kedudukan sebagai penguasa daerah Syam, memandang kegiatan Abu Dzar sebagai bahaya yang dapat mengancam kedudukannya. Untuk membendung kegiatan Abu Dzar, Muawiyyah menempuh berbagai cara guna mengurangi pengaruh kampanyenya. Tindakan Muawiyyah itu tidak mengendorkan atau mengecilkan hati Abu Dzar. Ia tetap berkeliling kemana-mana, sambil berseru kepada setiap orang: “Aku sungguh heran melihat orang yang di rumahnya tidak mempunyai makanan, tetapi ia tidak mau keluar menghunus pedang!”
Seruan Abu Dzar yang mengancam itu menyebabkan makin banyak lagi jumlah kaum muslimin yang menjadi pendukungnya. Bersama dengan itu para penguasa dan kaum hartawan yang telah memperkaya diri dengan cara yang tidak jujur, sangat cemas.
Keberanian Abu Dzar dalam berjuang tidak hanya dapat dibuktikan dengan pedang, tetapi lidahnya pun dipergunakan untuk membela kebenaran. Di mana-mana ia menyerukan ajaran-ajaran kemasyarakatan yang pernah didengarnya sendiri dari Rasul Allah s.a.w.: “Semua manusia adalah sama hak dan sama derajat laksana gigi sisir…,” “Tak ada manusia yang lebih afdhal selain yang lebih besar taqwanya…”, “Penguasa adalah abdi masyarakat,” “Tiap orang dari kalian adalah penggembala, dan tiap penggembala bertanggung jawab atas kegembalaannya….” dan lain sebagainya.
Para penguasa Bani Umayyah dan orang-orang yang bergelimang dalam kehidupan mewah sangat kecut menyaksikan kegiatan Abu Dzar. Hati nuraninya mengakui kebenaran Abu Dzar, tetapi lidah dan tangan mereka bergerak di luar bisikan hati nurani. Abu Dzar dimusuhi dan kepadanya dilancarkan berbagai tuduhan. Tuduhan-tuduhan mereka itu tidak dihiraukan oleh Abu Dzar. Ia makin bertambah berani.
Pada suatu hari dengan sengaja ia menghadap Muawiyah, penguasa daerah Syam. Dengan tandas ia menanyakan tentang kekayaan dan rumah milik Muawiyyah yang ditinggalkan di Makkah sejak ia menjadi penguasa Syam. Kemudian dengan tanpa rasa takut sedikit pun ditanyakan pula asal-usul kekayaan Muawiyyah yang sekarang! Sambil menuding Abu Dzar berkata: “Bukankah kalian itu yang oleh Al-Qur’an disebut sebagai penumpuk emas dan perak, dan yang akan dibakar tubuh dan mukanya pada hari kiyamat dengan api neraka?!”
Betapa pengapnya Muawiyah mendengar kata-kata Abu Dzar yang terus terang itu! Muaw iyah bin Abu Sufyan memang bukan orang biasa. Ia penguasa. Dengan kekuasaan di tangan ia dapat berbuat apa saja. Abu Dzar dianggap sangat berbahaya. Ia harus disingkirkan. Segera ditulis sepucuk surat kepada Khalifah Utsman r.a. di Madinah. Dalam surat itu Muawiyah melaporkan tentang Abu Dzar menghasut orang banyak di Syam. Disarankan supaya Khalifah mengambil salah satu tindakan. Berikan kekayaan atau kedudukan kepada Abu Dzar. Jika Abu Dzar menolak dan tetap hendak meneruskan kampanyenya, kucilkan saja di pembuangan.
Khalifah Utsman r.a. melaksanakan surat Muawiyah itu. Abu Dzar dipanggil menghadap. Kepada Abu Dzar diajukan dua pilihan: kekayaan atau kedudukan. Menanggapi tawaran Khalifah itu, Abu Dzar dengan singkat dan jelas berkata: “Aku tidak membutuhkan duniamu!”
Khalifah Utsman r.a. masih terus menghimbau Abu Dzar. Dikemukakannya: “Tinggal sajalah di sampingku!”
Sekali lagi Abu Dzar mengulangi kata-katanya: “Aku tidak membutuhkan duniamu!”
Sebagai orang yang hidup zuhud dan taqwa, Abu Dzar berjuang semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Abu Dzar hanya menghendaki supaya kebenaran dan keadilan Allah ditegakkan, seperti yang dulu telah dilaksanakan oleh Rasul Allah s.a.w., Khalifah Abu Bakar r.a. dan Khalifah Umar r.a. Memang justru itulah yang sangat sukar dilaksanakan oleh Khalifah Utsman r.a., sebab ia harus memotong urat nadi para pembantu dan para penguasa bawahannya.
Abu Dzar tidak bergeser sedikit pun dari pendiriannya. Akhirnya, atas desakan dan tekanan para pembantu dan para penguasa Bani Umayyah,Khalifah Utsman r.a. mengambil keputusan: Abu Dzar harus dikucilkan dalam pembuangan di Rabadzah. Tak boleh ada seorang pun mengajaknya berbicara dan tak boleh ada seorang pun yang mengucapkan selamat jalan atau mengantarkannya dalam perjalanan.
Bagi Abu Dzar pembuangan bukan apa-apa. Sekuku-hitam pun ia tidak syak, bahwa Allah s.w.t. selalu bersama dia. Kapan saja dan di mana saja. Menanggapi keputusan Khalifah Utsman r.a. ia berkata: “Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di kayu salib yang tinggi atau di atas bukit, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Aku pandang hal itu lebih baik bagiku. Seandainya Utsman memerintahkan aku harus berjalan dari kutub ke kutub lain, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang, hal itu lebih baik bagiku. Dan seandainya besok ia akan mengembalikan diriku ke rumah pun akan kutaati, aku akan sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang hal itu lebih baik bagiku.”
Itulah Abu Dzar Ghifari, pejuang muslim tanpa pamrih duniawi, yang semata-mata berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, demi keridhoan Al Khalik. Ia seorang pahlawan yang dengan gigih dan setia mengikuti tauladan Nabi Muhammad s.a.w. Ia seorang zahid yang penuh taqwa kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak berpangku tangan membiarkan kebatilan melanda ummat.
Peristiwa dibuangnya Abu Dzar Al Ghifari ke Rabadzah sangat mengejutkan kaum muslimin, khususnya para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. Imam Ali r.a. sangat tertusuk perasaannya. Bersama segenap anggota keluarga ia menyatakan rasa sedih dan simpatinya yang mendalam kepada Abu Dzar.
Abu Bakar Ahmad bin Abdul Aziz Al Jauhariy dalam bukunya As Saqifah, berdasarkan riwayat yang bersumber pada Ibnu Abbas, menuturkan antara lain tentang pelaksanaan keputusan Khalifah Utsman r.a. di atas:
Khalifah Utsman r.a. memerintahkan Marwan bin Al Hakam membawa Abu Dzar berangkat dan mengantarnya sampai di tengah perjalanan. Tak ada seorang pun dari penduduk yang berani mendekati Abu Dzar, kecuali Imam Ali r.a., Aqil bin Abi Thalib dan dua orang putera Imam Ali r.a., yaitu Al-Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Beserta mereka ikut pula Ammar bin Yasir.
Menjelang saat keberangkatannya, Al Hasan mengajak Abu Dzar bercakap-cakap. Mendengar itu Marwan bin Al-Hakam dengan bengis menegor: “Hai Hasan, apakah engkau tidak mengerti bahwa Amirul Mukminin melarang bercakap-cakap dengan orang ini? Kalau belum mengerti, ketahuilah sekarang!”
Melihat sikap Marwan yang kasar itu, Imam Ali r.a. tak dapat menahan letupan emosinya. Sambil membentak ia mencambuk kepala unta yang dikendarai oleh Marwan: “Pergilah engkau dari sini! Allah akan menggiringmu ke neraka.”
Sudah tentu unta yang dicambuk kepalanya itu meronta-ronta kesakitan. Marwan sangat marah, tetapi ia tidak punya keberanian melawan Imam Ali r.a. Cepat-cepat Marwan kembali menghadap Khalifah untuk mengadukan perbuatan Imam Ali r.a. Khalifah Utsman meluap karena merasa perintahnya tidak dihiraukan oleh Imam Ali r.a. dan anggota-anggota keluarganya.
Tindakan Imam Ali r.a. terhadap Marwan itu ternyata mendorong orang lain berani mendekati Abu Dzar guna mengucapkan selamat jalan. Di antara mereka itu terdapat seorang bernama Dzakwan maula Ummi Hani binti Abu Thalib.
Dzakwan di kemudian hari Menceritakan pengalamannya sebagai berikut: Aku ingat benar apa yang dikatakan oleh mereka. Kepada Abu Dzar, Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Hai Abu Dzar engkau marah demi karena Allah! Orang-orang itu, yakni para penguasa Bani Umayyah, takut kepadamu, sebab mereka takut kehilangan dunianya. Oleh karena itu mereka mengusir dan membuangmu. Demi Allah, seandainya langit dan bumi tertutup rapat bagi hamba Allah, tetapi hamba itu kemudian penuh taqwa kepada Allah, pasti ia akan dibukakan jalan keluar. Hai Abu Dzar, tidak ada yang menggembirakan hatimu selain kebenaran, dan tidak ada yang menjengkelkan hatimu selain kebatilan!”
Atas dorongan Imam Ali r.a., Aqil berkata kepada Abu Dzar: “Hai Abu Dzar, apa lagi yang hendak kukatakan kepadamu! Engkau tahu bahwa kami ini semua mencintaimu, dan kami pun tahu bahwa engkau sangat mencintai kami juga. Bertaqwa sajalah sepenuhnya kepada Allah, sebab taqwa berarti selamat. Dan bersabarlah, karena sabar sama dengan berbesar hati. Ketahuilah, tidak sabar sama artinya dengan takut, dan mengharapkan maaf dari orang lain sama artinya dengan putus asa. Oleh karena itu buanglah rasa takut dan putus asa.”
Kemudian Al-Hasan berkata kepada Abu Dzar: “Jika seorang yang hendak mengucapkan selamat jalan diharuskan diam, dan orang yang mengantarkan saudara yang berpergian harus segera pulang, tentu percakapan akan menjadi sangat sedikit, sedangkan sesal dan iba akan terus berkepanjangan. Engkau menyaksikan sendiri, banyak orang sudah datang menjumpaimu. Buang sajalah ingatan tentang kepahitan dunia, dan ingat saja kenangan manisnya. Buanglah perasaan sedih mengingat kesukaran di masa silam, dan gantikan saja dengan harapan masa mendatang. Sabarkan hati sampai kelak berjumpa dengan Nabi-mu, dan beliau itu benar-benar ridho kepadamu.”
Setelah Al Hasan, kini berkatalah Al Husein: “Hai paman, sesungguhnya Allah s.w.t. berkuasa mengubah semua yang paman alami. Tidak ada sesuatu yang lepas dari pengawasan dan kekuasaan-Nya. Mereka berusaha agar paman tidak mengganggu dunia mereka. Betapa butuhnya mereka itu kepada sesuatu yang hendak paman cegah! Berlindunglah kepada Allah s.w.t. dari keserakahan dan kecemasan. Sabar merupakan bagian dari ajaran agama dan sama artinya dengan sifat pemurah. Keserakahan tidak akan mempercepat datangnya rizki dan kebatilan tidak akan menunda datangnya ajal!”
Dengan nada marah Ammar bin Yasir menyambung: “Allah tidak akan membuat senang orang yang telah membuatmu sedih, dan tidak akan menyelamatkan orang yang menakut-nakutimu. Seandainya engkau puas melihat perbuatan mereka, tentu mereka akan menyukaimu. Yang mencegah orang supaya tidak mengatakan seperti yang kaukatakan, hanyalah orang-orang yang merasa puas dengan dunia. Orang-orang seperti itu takut menghadapi maut dan condong kepada kelompok yang berkuasa. Kekuasaan hanyalah ada pada orang-orang yang menang. Oleh karena itu banyak orang “menghadiahkan” agamanya masing-masing kepada mereka, dan sebagai imbalan, mereka memberi kesenangan duniawi kepada orang-orang itu. Dengan berbuat seperti itu, sebenarnya mereka menderita kerugian dunia dan akhirat. Bukankah itu suatu kerugian yang senyata-nyatanya?!”
Sambil berlinangan air mata Abu Dzar berkata: “Semoga Allah merahmati kalian, wahai Ahlu Baitur Rahman! Bila melihat kalian aku teringat kepada Rasul Allah s.a.w. Suka-dukaku di Madinah selalu bersama kalian. Di Hijaz aku merasa berat karena Utsman, dan di Syam aku merasa berat karena Muawiyah. Mereka tidak suka melihatku berada di tengah-tengah saudara-saudaraku di kedua tempat itu. Mereka memburuk-burukkan diriku, lalu aku diusir dan dibuang ke satu daerah, di mana aku tidak akan mempunyai penolong dan pelindung selain Allah s.w.t. Demi Allah, aku tidak menginginkan teman selain Allah s.w.t. dan bersama-Nya aku tidak takut menghadapi kesulitan…”
Tutur Dzakwan lebih lanjut: Setelah semua orang yang mengantarkan pulang, Imam Ali r.a. segera datang menghadap Khalifah Utsman bin Affan r.a. Kepada Imam Ali r.a. Khalifah bertanya dengan hati gusar: “Mengapa engkau berani mengusir pulang petugasku –yakni Marwan– dan meremehkan perintahku?”
“Tentang petugasmu,” jawab Imam Ali r.a. dengan tenang “ia mencoba menghalang-halangi niatku. Oleh karena itu ia kubalas. Adapun tentang perintahmu, aku tidak meremehhannya.”
“Apakah engkau tidak mendengar perintahku yang melarang orang bercakap-cakap dengan Abu Dzar?” ujar Khalifah dengan marah.
“Apakah setiap engkau mengeluarkan larangan yang bersifat kedurhakaan harus kuturut?” tanggap Imam Ali r.a. terhadap kata-kata Khalifah tadi dalam bentuk pertanyaan.
“Kendalikan dirimu terhadap Marwan!” ujar Khalifah memperingatkan Imam Ali r.a.
“Mengapa?” tanya Imam Ali r.a.
“Engkau telah memaki dia dan mencambuk unta yang dikendarainya” jawab Khalifah.
“Mengenai untanya yang kucambuk,” Imam Ali menjelaskan sebagai tanggapan atas keterangan Khalifah Utsman r.a., “bolehlah ia membalas mencambuk untaku. Tetapi kalau dia sampai memaki diriku, tiap satu kali dia memaki, engkau sendiri akan kumaki dengan makian yang sama. Sungguh aku tidak berkata bohong kepadamu!”
“Mengapa dia tidak boleh memakimu?” tanya Khalifah Utsman r.a. dengan mencemooh. “Apakah engkau lebih baik dari dia?!”
“Demi Allah, bahkan aku lebih baik daripada engkau!” sahut Imam Ali r.a. dengan tandas. Habis mengucapkan kata-kata itu Imam Ali r.a. cepat-cepat keluar meninggalkan tempat.
Beberapa waktu setelah terjadi insiden itu, Khalifah Utsman r.a. memanggil tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan Anshar termasuk tokoh-tokoh Bani Umayyah. Di hadapan mereka itu ia menyatakan keluhannya terhadap sikap Imam Ali r.a.
Menanggapi keluhan Khalifah Utsman bin Affan r.a., para pemuka yang beliau ajak berbicara menasehatkan: “Anda adalah pemimpin dia. Jika anda mengajak berdamai, itu lebih baik.”
“Aku memang menghendaki itu,” jawab Khalifah Utsman r.a. Sesudah ini beberapa orang dari pemuka muslimin itu mengambil prakarsa untuk menghapuskan ketegangan antara Imam Ali r.a. dan Khalifah Utsman r.a. Mereka menghubungi Imam Ali r.a. di rumahnya. Kepada Imam Ali r.a. mereka bertanya: “Bagaimana kalau anda datang kepada Khalifah dan Marwan untuk meminta maaf?”
“Tidak,” jawab Imam Ali r.a. dengan cepat. “Aku tidak akan datang kepada Marwan dan tidak akan meminta maaf kepadanya. Aku hanya mau minta maaf kepada Utsman dan aku mau datang kepadanya.”
Tak lama kemudian datanglah panggilan dari Khalifah Utsman r.a. Imam Ali r.a. datang bersama beberapa orang Bani Hasyim. Sehabis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah s.w.t., Imam Ali r.a. berkata: “Yang kauketahui tentang percakapanku dengan Abu Dzar, waktu aku mengantar keberangkatannya, demi Allah, tidak bermaksud mempersulit atau menentang keputusanmu. Yang kumaksud semata-mata hanyalah memenuhi hak Abu Dzar. Ketika itu Marwan menghalang-halangi dan hendak mencegah supaya aku tidak dapat memenuhi hak yang telah diberikan Allah ‘Azza wa Jalla kepada Abu Dzar. Karena itu aku terpaksa menghalang-halangi Marwan, sama seperti dia menghalang-halangi maksudku. Adapun tentang ucapanku kepadamu, itu dikarenakan engkau sangat menjengkelkan aku, sehingga keluarlah marahku, yang sebenarnya aku sendiri tidak menyukainya.”
Sebagai tanggapan atas keterangan Imam Ali r.a. tersebut, Khalifah Utsman r.a. berkata dengan nada lemah lembut: “Apa yang telah kau ucapkan kepadaku, sudah kuikhlaskan. Dan apa yang telah kaulakukan terhadap Marwan, Allah sudah memaafkan perbuatanmu. Adapun mengenai apa yang tadi engkau sampai bersumpah, jelas bahwa engkau memang bersungguh-sungguh dan tidak berdusta. Oleh karena itu ulurkanlah tanganmu….!”
Imam Ali r.a. segera mengulurkan tangan, kemudian ditarik oleh Khalifah Utsman r.a. dan dilekatkan pada dadanya.[4]
Bagaimanakah keadaan Abu Dzar Al Ghifari di tempat pembuangannya? Tidak lain..Ia mati kelaparan bersama isteri dan anak-anaknya. Ia wafat dalam keadaan sangat menyedihkan, sehingga batu pun bisa turut menangis sedih!
Menurut riwayat tentang penderitaannya dan kesengsaraannya di tempat pembuangan, dituturkan sebagai berikut:
Setelah ditinggal mati oleh anak-anaknya, ia bersama isteri hidup sangat sengsara. Berhari-hari sebelum akhir hayatnya, ia bersama isteri tidak menemukan makanan sama sekali. Ia mengajak isterinya pergi ke sebuah bukit pasir untuk mencari tetumbuhan. Keberangkatan mereka berdua diiringi tiupan angin kencang menderu-deru. Setibanya di tempat tujuan mereka tidak menemukan apa pun juga. Abu Dzar sangat pilu. Ia menyeka cucuran keringat, padahal udara sangat dingin. Ketika isterinya melihat kepadanya, mata Abu Dzar kelihatan sudah membalik. Isterinya menangis, kemudian ditanya oleh Abu Dzar: “Mengapa engkau menangis?”
“Bagaimana aku tidak menangis,” jawab isterinya yang setia itu, “kalau menyaksikan engkau mati di tengah padang pasir seluas ini? Sedangkan aku tidak mempunyai baju yang cukup untuk dijadikan kain kafan bagimu dan bagiku! Bagaimana pun juga akulah yang akan mengurus pemakamanmu!”
Betapa hancurnya hati Abu Dzar melihat keadaan isterinya. Dengan perasaan amat sedih ia berkata: “Cobalah lihat ke jalan di gurun pasir itu, barangkali ada seorang dari kaum muslimin yang lewat!”
“Bagaimana mungkin?” jawab isterinya. “Rombongan haji sudah lewat dan jalan itu sekarang sudah lenyap!”
“Pergilah kesana, nanti engkau akan melihat,” kata Abu Dzar menirukan beberapa perkataan yang dahulu pernah diucapkan oleh Rasul Allah s.a.w. “Jika engkau melihat ada orang lewat, berarti Allah telah menenteramkan hatimu dari perasaan tersiksa. Tetapi jika engkau tidak melihat seorang pun, tutup sajalah mukaku dengan baju dan letakkan aku di tengah jalan. Bila kaulihat ada seorang lewat, katakan kepadanya: Inilah Abu Dzar, sahabat Rasul Allah. Ia sudah hampir menemui ajal untuk menghadap Allah, Tuhannya. Bantulah aku mengurusnya!”
Dengan tergopoh-gopoh isterinya berangkat sekali lagi ke bukit pasir. Setelah melihat ke sana-ke mari dan tidak menemukan apa pun juga, ia kembali menjenguk suaminya. Di saat ia sedang mengarahkan pandangan mata ke ufuk timur nan jauh di sana, tiba-tiba melihat bayang-bayang kafilah lewat, tampak benda-benda muatan bergerak-gerak di punggung unta. Cepat-cepat isteri Abu Dzar melambai-lambaikan baju memberi tanda. Dari kejauhan rombongan kafilah itu melihat, lalu menuju ke arah isteri Abu Dzar berdiri. Akhirnya mereka tiba di dekatnya, kemudian bertanya: “Hai wanita hamba Allah, mengapa engkau di sini?”
“Apakah kalian orang muslimin?” isteri Abu Dzar balik bertanya. “Bisakah kalian menolong kami dengan kain kafan?”
“Siapa dia?” mereka bertanya sambil menoleh kepada Abu Dzar.
“Abu Dzar Al-Ghifari!” jawab wanita tua itu.
Mereka saling bertanya di antara sesama teman. Pada mulanya mereka tidak percaya, bahwa seorang sahabat Nabi yang mulia itu mati di gurun sahara seorang diri. “Sahabat Rasul Allah?” tanya mereka untuk memperoleh kepastian.
“Ya, benar!” sahut isteri Abu Dzar.
Dengan serentak mereka berkata: “Ya Allah…! Dengan ini Allah memberi kehormatan kepada kita!”
Mereka meletakkan cambuk untanya masing-masing, lalu segera menghampiri Abu Dzar. Orangtua yang sudah dalam keadaan payah itu menatapkan pendangannya yang kabur kepada orang-orang yang mengerumuninya. Dengan suara lirih ia berkata:
“Demi Allah…, aku tidak berdusta…, seandainya aku mempunyai baju bakal kain kafan untuk membungkus jenazahku dan jenazah isteriku, aku tidak akan minta dibungkus selain dengan bajuku sendiri atau baju isteriku…..Aku minta kepada kalian, jangan ada seorang pun dari kalian yang memberi kain kafan kepadaku, jika ia seorang penguasa atau pegawai.”
Mendengar pesan Abu Dzar itu mereka kebingungan dan saling pandang-memandang. Di antara mereka ternyata ada seorang muslim dari kaum Anshar. Ia menjawab: “Hai paman, akulah yang akan membungkus jenazahmu dengan bajuku sendiri yang kubeli dengan uang hasil jerih-payahku. Aku mempunyai dua lembar kain yang telah ditenun oleh ibuku sendiri untuk kupergunakan sebagai pakaian ihram…”
“Engkaukah yang akan membungkus jenazahku? Kainmu itu sungguh suci dan halal….!” Sahut Abu Dzar.
Sambil mengucapkan kata-kata itu Abu Dzar kelihatan lega dan tentram. Tak lama kemudian ia memejamkan mata, lalu secara perlahan-lahan menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan tenang berserah diri ke hadirat Allah s.w.t. Awan di langit berarak-arak tebal teriring tiupan angin gurun sahara yang amat kencang menghempaskan pasir dan debu ke semua penjuru. Saat itu Rabadzah seolah-olah berubah menjadi samudera luas yang sedang dilanda tofan.
Selesai di makamkan, orang dari Anshar itu berdiri di atas kuburan Abu Dzar sambil berdoa: “Ya Allah, inilah Abu Dzar sahabat Rasul Allah s.a.w., hamba-Mu yang selalu bersembah sujud kepada-Mu, berjuang demi keagungan-Mu melawan kaum musyrikin, tidak pernah merusak atau mengubah agama-Mu. Ia melihat kemungkaran lalu berusaha memperbaiki keadaan dengan lidah dan hatinya, sampai akhirnya ia dibuang, disengsarakan dan di hinakan sekarang ia mati dalam keadaan terpencil. Ya Allah, hancurkanlah orang yang menyengsarakan dan yang membuangnya jauh dari tempat kediamannya dan dari tempat suci Rasul Allah!”
Mereka mengangkat tangan bersama-sama sambil mengucapkan “Aamiin” dengan khusyu’.
Orang mulia yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari telah wafat, semasa hidupnya ia pernah berkata: “Kebenaran tidak meninggalkan pembela bagiku…”.
KISAH ANTARA ALI, ABU DZAR DAN UTSMAN
Ali bin Abi Thalib tengah galau memikirkan kondisi negara dan umat Islam yang dilanda kekacauan akhir-akhir ini yang disebabkan kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan. Gaya kepemimpinannya yang sangat nepotis itulah yang menjadi penyebabnya. Cara hidup yang mementingkan kesenangan duniawi di kalangan keluarga penguasa, dan sistem kekuasaan yang berdasarkan kerabat dan keluarga, telah membangkitkan rasa tidak puas yang semakin merata di kalangan ummat Islam.
Beberapa waktu setelah terbai’at sebagai Khalifah, Utsman bin Affan mengangkat orang-orang dari kalangan keluaganya (Bani Umayyah) dan di tempatkan pada kedudukankedudukan penting atau lebih penting dibanding dengan orang-orang dari qabilah lain. Posisi-posisi penting dalam kekuasaan negara dibagi-bagikan kepada mereka. Kalau tidak sebagai kepala daerah atau gubernur, mereka diangkat sebagai panglima-panglima pasukan, atau diserahi tanah-tanah yang sangat luas.
Salah satu prestasi besar selama kakhalifahan Utsman, ummat lslam berhasil membebaskan Afrika Utara dari kekuasaan Byzantium. Sayangnya, seperlima dari hasil harta jarahan (ghanimah) yang didapat oleh kaum muslimin dari daerah-daerah Afrika Utara, banyak yang dihadiahkan oleh Khalifah Utsman kepada para pembantunya, terutama Marwan bin Al Hakam. Marwan ini adalah kerabatnya dan kemudian dipungut sebagai menantu. Pembagian ini jelas-jelas bertentangan dengan nash Al Qur’an.
Ibnu Abil Hadid dalam bukunya Syarh Nahjil Balaghah, jilid I, halaman 97-152 telah mengungkapkan kebijaksanaan Khalifah Utsman yang dikendalikan oleh kerabat dekatnya, Marwan bin Hakam dan kawan-kawannya, yang sangat meresahkan kaum muslimin.
Di antara tindakan-tindakan itu disebut pemberian uang sebanyak 400.000 dirham kepada Abdullah bin Khalid bin Asid. Khalifah Utsman juga merehabilitasi dan membolehkan Al-Hakam bin Al-Ash kembali bermukim di Madinah. Padahal Al-Hakam ini dahulu telah diusir oleh Rasul Allah s.a.w. dari kota suci itu, karena penghianatannya terhadap kaum muslimin. Bahkan oleh Khalifah ia diberi modal hidup berupa uang sebesar 100.000 dirham. Sedangkan Khalifah-khalifah yang terdahulu tidak ada yang berani melanggar keputusan yang telah diambil oleh Rasul Allah s.a.w. mengenai pengusiran Al-Hakam.
Masih ada lagi serentetan tindakan atau kebijaksanaan yang dilakukan oleh Khalifah Utsman atas desakan para penasehat dan pembantunya. Yaitu tindakan atau kebijaksanaan yang menyuburkan benih-benih ke-tidak-puasan di kalangan kaum muslimin. Sebuah tempat pusat perdagangan di kota Madinah, yang waktu itu terkenal dengan nama “Mazhur”, oleh Khalifah Utsman dikuasakan kepada Al-Harits bin Al-Hakam, saudara Marwan bin Al-Hakam. Padahal tempat itu dahulunya oleh Rasul Allah s.a.w. telah diserahkan kepada kaum muslimin sebagai milik umum.
Namun yang sangat menyakitkan Ali adalah pengambil-alihan tanah Fadak oleh khalifah dan kemudian diserahkannya kepada kepada pembantu dekatnya. Padahal tanah Fadak ini memiliki arti yang sangat khusus di mata Ali dan mengingatnya selalu membuat hatinya sedih sekaligus marah.
Tanah fadak adalah tanah pampasan perang yang oleh Rosulullah telah diberikan kepada putri tercintanya, Fathimah az-Zahra sang bunga surga, yang juga istri tercinta Ali bin Abi Thalib. Tindakan Rosulullah memberikan tanah Fadak kepada Fathimah adalah mengikuti perintah Allah yang diturunkan dalam Al Qur’an: “Dan kepada kerabatmu, berikanlah akan haknya.” Tanah ini sangat subur dan luas dan selama bertahun-tahun dalam masa pemerintahan Rosulullah telah memberikan banyak keuntungan bagi keluarga Ali dan Fathimah.
Saat Abu Bakar berkuasa sebagai khalifah, ia mengambil tindakan yang sangat menyakitkan Fathimah dan Ali, yaitu merampas tanah itu dengan dalih sebuah hadits yang sangat kontroversial. Abu Bakar berdalih bahwa Rosulullah pernah bersabda bahwa sebagai seorang rosulullah beliau tidak meninggalkan warisan. Atas dasar hadits itu maka Abu Bakar mengambil alih tanah fadak dan menyerahkannya sebagai harta kekayaan negara (baithul mal).
Fathimah dan Ali tidak pernah mendengar hadits tersebut tentu saja menolak klaim Abu Bakar. Bagaimana mungkin sebagai ahli waris, Fathimah tidak diberitahu oleh Rosulullah langsung kalau memang beliau pernah mengatahan hal itu. Selain itu hadits tersebut juga bertentangan dengan Al Qur’an yang menyebutkan para rosul juga meninggalkan warisan sebagaimana Nabi Daud memberi warisan kepada Nabi Sulaiman dan Nabi Zakaria memberi warisan kepada Nabi Yahya. Bahkan ketika Fathimah berdalih tanah tersebut bukan warisan karena telah diberikan Rosulullah beberapa tahun sebelum meninggal, Abu Bakar tidak bergeming. Dengan dalih sebagai amirul umat ia tetap mengambil alih tanah fadak sehingga membuat Fathimah marah dan membawa kemarahannya hingga ke liang kubur.
Abu Bakar telah membuat Ali marah karena merampas tanah fadak untuk kepentingan umat. Apalagi Usman yang telah merampasnya untuk diserahkannya kepada kerabatnya sendiri.
Khalifah Utsman juga mengeluarkan sebuah peraturan yang menggelisahkan penduduk Madinah. Di dalam peraturan itu ditetapkan, bahwa padang ilalang sekitar kota, yang secara tradisional sudah menjadi padang penggembalaan umum, dinyatakan tertutup kecuali bagi ternak milik orang-orang Bani Umayyah.
Lebih dari itu, daerah Afrika Barat bagian utara, yang sekarang dikenal dengan wilayah-wilayah Marokko, Aljazair, Tunisia, Libya dan terus ke timur sampai Mesir, dikuasakan seluruhnya kepada Abdullah bin Abi Sarah dengan wewenang penuh. Dengan kekuasaan penuh itu Abdullah mempunyai posisi penguasa mutlak di daerah itu, seolah-olah seorang penguasa negara di dalam negara.
Abdullah adalah saudara sesusuan Khalifah yang pernah dijatuhi hukuman mati oleh Rosulullah sewaktu Penaklukan Mekkah, karena kejahatannya yang luar biasa kepada Islam. Ia selamat setelah Utsman menghalang-halangi niat nabi untuk mengeksekusinya. Sebenarnya Nabi tidak pernah mengampuninya. Beliau hanya menghindari perselisihan dengan Utsman yang ngotot membela saudara sesusuannya meski Allah telah memerintahkan kaum muslimin untuk memenuhi perintah Rosulnya, tanpa reserve karena perintah Allah memang tidak untuk diperdebatkan.
Kepada Abu Sufyan, dedengkot Quraisy yang dulunya terkenal peranannya sebagai salah seorang tokoh paling getol memerangi Rasul Allah s.a.w., dan baru masuk Islam setelah jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum muslimin, oleh Khalifah Utsman diberi hadiah sebesar 200.000 dirham. Uang itu diambil dari Baitul Mal. Sedangkan ketika Marwan bin Al-Hakam dipungut sebagai menantu untuk dinikahkan dengan puterinya yang bernama Aban, Khalifah Utsman membekalinya lagi dengan uang sebesar 100.000 dirham, juga diambil dari Baitul Mal.
Sebuah riwayat mengisahkan, ketika Khalifah Utsman mengambil uang 100.000 dirham dari Baitul Mal untuk diserahkan kepada menantunya, Marwan bin Al Hakam, datanglah pengurus Baitul Mal, Zaid bin Arqam (salah satu sahabat utama yang paling awal masuk Islam dan rumahnya dijadikan sebagai tempat dakwah awal Rosulullah), menghadap Khalifah. Ia datang sambil menangis untuk menyerahkan kunci Baitul Mal.
Dengan keheran-heranan. Khalifah bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Mengapa engkau menangis? Apakah karena aku hendak memungut Marwan bin Al-Hakam jadi menantu?”
“Tidak!”, jawab Zaid sambil menundukkan kepala dan mengusap air mata. “Aku menangis karena aku menduga anda mengambil harta Baitul Mal itu sebagai pengganti kekayaan anda yang dahulu anda infakkan di jalan Allah, yaitu pada masa Rasul Allah s.a.w. masih hidup. Demi Allah, uang 100.000 dirham yang anda berikan kepada Marwan itu sungguh terlampau banyak.”
“Hai Ibnu Arqam, letakkan kunci itu!” hardik Khalifah dengan wajah merah padam. “Kami bisa mendapatkan orang lain yang tidak seperti engkau.”
Pada masa itu kaum muslimin benar-benar merasakan adanya perbedaan yang sangat menyolok antara kebijaksanaan yang dilakukan Khalifah-khalifah terdahulu dengan penerusnya yang sekarang ini. Aparatur pemerintahan Khalifah tidak mau menanggulangi, sehingga keamanan dan ketertiban sangat terganggu. Ini menambah keresahan dan kecemasan penduduk.
Ali dan banyak para sahabat Rasul Allah s.a.w. yang heran menyaksikan tindakan-tindakan Khalifah Utsman. Sebab mereka tahu, ia terkenal sebagai seorang sahabat terdekat Nabi Muhammad. Seorang mukmin yang taqwa dan shaleh, tidak pernah mementingkan diri sendiri atau golongannya. Dermawan besar yang tak pernah menghitung-hitung untung-rugi dan resiko dalam berjuang untuk kejayaan Islam dan kaum muslimin.
Namun Ali kemudian ingat hadits Rosulullah, bahwa sebagian dari para sahabat yang dahulu iklhas berjuang menegakkan Islam, setelah kematian Rosulullah akan saling bertikai karena memperebutkan dunia. Ali juga ingat dengan peringatan Allah kepada Rosulullah mengenai “melencengnya” para sahabat dari jalan Allah sepeninggal beliau. Hingga di akhirat kelak Rosul akan bersaksi sebagaimana kesaksian Nabi Isa atas pengikut-pengikutnya: “Aku menjadi saksi atas mereka selama aku berada di tengah-tengah mereka. Kemudian setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka.” (QS Al Maidah 117).
Betapa klalifah telah menyimpang dari ajaran Rosul. Ia bahkan berani menentang nash-nash yang telah jelas dalam Al Qur’an dan hadits, misalnya dalam hal pembagian ghanimah dan merehabilitasi musuh Rosulullah. Ali masih mengingat dengan jelas apa yang telah disumpahkan oleh Uthsman sebelum dilantik sebagai khalifah.
Saat itu, sidang majelis syoru yang dibentuk untuk memilih khalifah pengganti Umar bin Khattab sampai pada satu titik di mana kandidat khalifah telah mengerucut menjadi dua orang: Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan. Abdurrahman bin Auf kemudian mengambil inisiatif. Ia mendatangi Ali dan manyatakan bahwa ia dan anggota-anggota majelis lainnya akan membai’at Ali jika mau bersumpah akan menjalankan pemerintahan berdasar Al Qur’an, sunnah Rosul dan sunnah Abu Bakar dan Umar.
Ali dengan tegas menolak permintaan tersebut dan hanya mau bersumpah menjalankan pemerintahan berdasar Al Qur’an dan hadits Rosul.
Kemudian Abdurrahman mendatangi Uthsman dan mengajukan permintaan yang sama. Dengan tegas Uthsman menyetujuinya. Maka terpilihlah Uthsman sebagai khalifah. Namun kebijakan pemerintahan pertama yang dilakukannya justru melanggar sumpahnya, yaitu mengganti para pejabat yang telah diangkat Abu Bakar dan Umar dengan pejabat dari kerabatnya sendiri.
Abu Dzar dibuang
Abu Dzar Al-Ghifari adalah salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. yang paling tidak disukai oleh oknum-oknum Bani Umayyah yang mendominasi pemerintahan Khalifah Utsman seperti Marwan bin Al-Hakam, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain.
Ia berasal dari qabilah Bani Ghifar. Suatu qabilah yang pada masa pra-Islam terkenal amat liar, kasar dan pemberani. Tidak sedikit kafilah Arab yang lewat daerah pemukiman mereka menjadi sasaran penghadangan, pencegatan dan perampasan. Abu Dzar sendiri seorang pemimpin terkemuka di kalangan mereka.
Ia mempunyai sifat-sifat pemberani, terus terang dan jujur. Ia tidak menyembunyikan sesuatu yang menjadi pemikiran dan pendiriannya. Ia mendapat hidayat Allah s.w.t. dan memeluk Islam di kala Rasul Allah s.a.w. menyebarkan da’wah risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang lebih oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar tanpa menghitung-hitung resiko mengumumkan secara terang-terangan keislamannya di hadapan orang-orang kafir Qureiys hingga ia nyaris meninggal karena dikeroyok orang-orang Qureiys yang marah. Sekembalinya ke daerah pemukimannya dari Makkah, Abu Dzar berhasil mengajak semua anggota qabilahnya memeluk agama Islam. Bahkan qabilah lain yang berdekatan, yaitu qabilah Aslam, berhasil pula di Islamkan.
Demikian gigih, berani dan cepatnya Abu Dzar bergerak menyebarkan Islam, sehingga Rasul Allah s.a.w. sendiri merasa kagum dan menyatakan pujiannya. Terhadap Bani Ghifar dan Bani Aslam, Nabi Muhammad s.a.w. dengan bangga mengucapkan: “Ghifar…, Allah telah mengampuni dosa mereka! Aslam…, Allah menyelamatkan kehidupan mereka!”
Sejak menjadi orang muslim, Abu Dzar benar-benar telah menghias sejarah hidupnya dengan bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk menegakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit memberontak terhadap penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasul Allah s.a.w. sebagai “cahaya terang benderang.”
Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan dan perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain.
Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang melaksanakan perintah Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar serius, keras dan tulus. Namun demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.
Pada suatu hari ia pernah ditanya oleh Rasul Allah s.a.w. tentang tindakan apa kira-kira yang akan diambil olehnya jika di kemudian hari ia melihat ada para penguasa yang mengangkangi harta ghanimah milik kaum muslimin. Dengan tandas Abu Dzar menjawab: “Demi Allah, yang mengutusmu membawa kebenaran, mereka akan kuhantam dengan pedangku!”
Menanggapi sikap yang tandas dari Abu Dzar ini, Nabi Muhammad s.a.w. sebagai pemimpin yang bijaksana memberi pengarahan yang tepat. Beliau berkata: “Kutunjukkan cara yang lebih baik dari itu. Sabarlah sampai engkau berjumpa dengan aku di hari kiyamat kelak!” Rasul Allah s.a.w. mencegah Abu Dzar menghunus pedang. Ia dinasehati berjuang dengan senjata lisan.
Sampai pada masa sepeninggal Rasul Allah s.a.w., Abu Dzar tetap berpegang teguh pada nasehat beliau. Di masa Khalifah Abu Bakar, gejala-gejala sosial ekonomi yang dicanangkan oleh Rasul Allah s.a.w. belum muncul. Pada masa Khalifah Umar Ibnul Khattab, berkat ketegasan dan keketatannya dalam bertindak mengawasi para pejabat pemerintahan dan kaum muslimin, penyakit berlomba mengejar kekayaan tidak sempat berkembang di kalangan masyarakat. Tetapi pada masa-masa terakhir pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, penyakit yang membahayakan kesentosaan ummat itu bermunculan laksana cendawan di musim hujan. Khalifah Utsman bin Affan sendiri tidak berdaya menanggulanginya. Nampaknya karena usia Khalifah Utsman sudah lanjut, serta pemerintahannya didominasi sepenuhnya oleh para pembantunya sendiri yang terdiri dari golongan Bani Umayyah.
Pada waktu itu tidak sedikit sahabat Rasul Allah s.a.w. yang hidup serba kekurangan, hanya karena mereka jujur dan setia kepada ajaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Sampai ada salah seorang di antara mereka yang menggadai, hanya sekedar untuk dapat membeli beberapa potong roti. Padahal para penguasa dan orang-orang yang dekat dengan pemerintahan makin bertambah kaya dan hidup bermewah-mewah. Harta ghanimah dan Baitul Mal milik kaum muslimin banyak disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongan. Di tengah-tengah keadaan seperti itu, para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan kaum muslimin pada umumnya dapat diibaratkan seperti ayam mati kelaparan di dalam lumbung padi.
Melihat gejala sosial dan ekonomi yang bertentangan dengan ajaran Islam, Abu Dzar Al-Ghifari sangat resah. Ia tidak dapat berpangku tangan membiarkan kebatilan merajalela. Ia tidak betah lagi diam di rumah, walaupun usia sudah menua. Dengan pedang terhunus ia berangkat menuju Damsyik. Di tengah jalan ia teringat kepada nasihat Rasul Allah s.a.w.: jangan menghunus pedang. Berjuang sajalah dengan lisan! Bisikan suara seperti itu terngiang-ngiang terus di telinganya. Cepat-cepat pedang dikembalikan kesarungnya.
Mulai saat itu Abu Dzar dengan senjata lidah berjuang memperingatkan para penguasa dan orang-orang yang sudah tenggelam dalam perebutan harta kekayaan. Ia berseru supaya mereka kembali kepada kebenaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Pada waktu Abu Dzar bermukim di Syam, ia selalu memperingatkan orang dengan ayat-ayat Al Qur’an: “Barang siapa yang menimbun emas dan perak dan tidak menginfaqkannya di jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih pada hari kiamat.”
Di Syam Abu Dzar memperoleh banyak pendukung. Umumnya terdiri dari fakir miskin dan orang-orang yang hidup sengsara. Makin hari pengaruh kampanyenya makin meluas. Kampanye Abu Dzar ini merupakan suatu gerakan sosial yang menuntut ditegakkannya kembali prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, sesuai dengan perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya.
Muawiyah bin Abi Sufyan, yang menjabat kedudukan sebagai penguasa daerah Syam, memandang kegiatan Abu Dzar sebagai bahaya yang dapat mengancam kedudukannya. Untuk membendung kegiatan Abu Dzar, Muawiyyah menempuh berbagai cara guna mengurangi pengaruh kampanyenya. Tindakan Muawiyyah itu tidak mengendorkan atau mengecilkan hati Abu Dzar. Ia tetap berkeliling kemana-mana, sambil berseru kepada setiap orang: “Aku sungguh heran melihat orang yang di rurnahnya tidak mempunyai makanan, tetapi ia tidak mau keluar menghunus pedang!”
Seruan Abu Dzar yang mengancam itu menyebabkan makin banyak lagi jumlah kaum muslimin yang menjadi pendukungnya. Bersama dengan itu para penguasa dan kaum hartawan yang telah memperkaya diri dengan cara yang tidak jujur, sangat cemas.
Keberanian Abu Dzar dalam berjuang tidak hanya dapat dibuktikan dengan pedang, tetapi lidahnya pun dipergunakan untuk membela kebenaran. Di mana-mana ia menyerukan ajaran-ajaran kemasyarakatan yang pernah didengarnya sendiri dari Rasul Allah s.a.w.: “Semua manusia adalah sama hak dan sama derajat laksana gigi sisir…,” “Tak ada manusia yang lebih afdhal selain yang lebih besar taqwanya…”, “Penguasa adalah abdi masyarakat,” “Tiap orang dari kalian adalah penggembala, dan tiap penggembala bertanggung jawab atas kegembalaannya….” dan lain sebagainya.
Para penguasa Bani Umayyah dan orang-orang yang bergelimang dalam kehidupan mewah sangat kecut menyaksikan kegiatan Abu Dzar. Hati nuraninya mengakui kebenaran Abu Dzar, tetapi lidah dan tangan mereka bergerak di luar bisikan hati nurani. Abu Dzar dimusuhi dan kepadanya dilancarkan berbagai tuduhan. Tuduhan-tuduhan mereka itu tidak dihiraukan oleh Abu Dzar. Ia makin bertambah berani.
Pada suatu hari dengan sengaja ia menghadap Muawiyah, penguasa daerah Syam. Dengan tandas ia menanyakan tentang kekayaan dan rumah milik Muawiyyah yang ditinggalkan di Makkah sejak ia menjadi penguasa Syam. Kemudian dengan tanpa rasa takut sedikit pun ditanyakan pula asal-usul kekayaan Muawiyyah yang sekarang! Sambil menuding Abu Dzar berkata: “Bukankah kalian itu yang oleh Al-Qur’an disebut sebagai penumpuk emas dan perak, dan yang akan dibakar tubuh dan mukanya pada hari kiyamat dengan api neraka?!”
Betapa pengapnya Muawiyah mendengar kata-kata Abu Dzar yang terus terang itu! Muawiyah bin Abu Sufyan memang bukan orang biasa. Ia penguasa. Dengan kekuasaan di tangan ia dapat berbuat apa saja. Namun meski membahayakan kekuasaan, Abu Dzar adalah sahabat Rosul yang mulia. Muawiyah tidak berani bertindak keras terhadapnya. Ia hanya harus disingkirkan dari daerah kekuasaannya.
Segera Muawiyah menulis sepucuk surat kepada Khalifah Utsman di Madinah. Dalam surat itu Muawiyah melaporkan tentang Abu Dzar yang menghasut orang banyak di Syam. Disarankan supaya Khalifah mengambil salah satu tindakan. Berikan kekayaan atau kedudukan kepada Abu Dzar. Jika Abu Dzar menolak dan tetap hendak meneruskan kampanyenya, kucilkan saja di pembuangan.
Khalifah Utsman melaksanakan surat Muawiyah itu. Abu Dzar dipanggil menghadap. Kepada Abu Dzar diajukan dua pilihan: kekayaan atau kedudukan. Menanggapi tawaran Khalifah itu, Abu Dzar dengan singkat dan jelas berkata: “Aku tidak membutuhkan duniamu!”
Khalifah Utsman masih terus menghimbau Abu Dzar. Dikemukakannya: “Tinggal sajalah di sampingku!”
Sekali lagi Abu Dzar mengulangi kata-katanya: “Aku tidak membutuhkan duniamu!”
Sebagai orang yang hidup zuhud dan taqwa, Abu Dzar berjuang semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Abu Dzar hanya menghendaki supaya kebenaran dan keadilan Allah ditegakkan, seperti yang dulu telah dilaksanakan oleh Rasul Allah s.a.w., Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar. Memang justru itulah yang sangat sukar dilaksanakan oleh Khalifah Utsman, sebab ia harus memotong urat nadi para pembantu dan para penguasa bawahannya.
Abu Dzar tidak bergeser sedikit pun dari pendiriannya. Akhirnya, atas desakan dan tekanan para pembantu dan para penguasa Bani Umayyah,Khalifah Utsman mengambil keputusan: Abu Dzar harus dikucilkan dalam pembuangan di Rabadzah, satu daerah di tengah padang pasir yang tidak berpenghuni dan tandus. Tak boleh ada seorang pun mengajaknya berbicara dan tak boleh ada seorang pun yang mengucapkan selamat jalan atau mengantarkannya dalam perjalanan.
Bagi Abu Dzar pembuangan bukan apa-apa. Sekuku-hitam pun ia tidak syak, bahwa Allah s.w.t. selalu bersama dia. Kapan saja dan di mana saja. Menanggapi keputusan Khalifah Utsman. Ia berkata: “Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di kayu salib yang tinggi atau di atas bukit, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Aku pandang hal itu lebih baik bagiku. Seandainya Utsman memerintahkan aku harus berjalan dari kutub ke kutub lain, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang, hal itu lebih baik bagiku. Dan seandainya besok ia akan mengembalikan diriku ke rumah pun akan kutaati, aku akan sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang hal itu lebih baik bagiku.”
Itulah Abu Dzar Ghifari, pejuang muslim tanpa pamrih duniawi, yang semata-mata berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, demi keridhoan Al Khalik. Ia seorang pahlawan yang dengan gigih dan setia mengikuti tauladan Nabi Muhammad s.a.w. Ia seorang zahid yang penuh taqwa kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak berpangku tangan membiarkan kebatilan melanda ummat.
Peristiwa dibuangnya Abu Dzar Al Ghifari ke Rabadzah sangat mengejutkan kaum muslimin, khususnya para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. Imam Ali r.a. sangat tertusuk perasaannya. Bersama segenap anggota keluarga ia menyatakan rasa sedih dan simpatinya yang mendalam kepada Abu Dzar.
Abu Bakar Ahmad bin Abdul Aziz Al Jauhariy dalam bukunya As Saqifah, berdasarkan riwayat yang bersumber pada Ibnu Abbas, menuturkan antara lain tentang pelaksanaan keputusan Khalifah Utsman di atas: Khalifah Utsman memerintahkan Marwan bin Al Hakam membawa Abu Dzar berangkat dan mengantarnya sampai di tengah perjalanan. Tak ada seorang pun dari penduduk yang berani mendekati Abu Dzar, kecuali Imam Ali r.a., Aqil bin Abi Thalib dan dua orang putera Imam Ali r.a., yaitu Al-Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Beserta mereka ikut pula Ammar bin Yasir.
Menjelang saat keberangkatannya, Al Hasan mengajak Abu Dzar bercakap-cakap. Mendengar itu Marwan bin Al-Hakam dengan bengis menegor: “Hai Hasan, apakah engkau tidak mengerti bahwa Amirul Mukminin melarang bercakap-cakap dengan orang ini? Kalau belum mengerti, ketahuilah sekarang!”
Melihat sikap Marwan yang kasar itu, Imam Ali r.a. tak dapat menahan letupan emosinya. Sambil membentak ia mencambuk kepala unta yang dikendarai oleh Marwan: “Pergilah engkau dari sini! Allah akan menggiringmu ke neraka.”
Sudah tentu unta yang dicambuk kepalanya itu meronta-ronta kesakitan. Marwan sangat marah, tetapi ia tidak punya keberanian melawan Imam Ali r.a. Cepat-cepat Marwan kembali menghadap Khalifah untuk mengadukan perbuatan Imam Ali r.a. Khalifah Utsman meluap karena merasa perintahnya tidak dihiraukan oleh Imam Ali r.a. dan anggota-anggota keluarganya.
Tindakan Imam Ali r.a. terhadap Marwan itu ternyata mendorong orang lain berani mendekati Abu Dzar guna mengucapkan selamat jalan. Di antara mereka itu terdapat seorang bernama Dzakwan maula Ummi Hani binti Abu Thalib.
Dzakwan di kemudian hari menceritakan pengalamannya sebagai berikut: Aku ingat benar apa yang dikatakan oleh mereka. Kepada Abu Dzar, Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Hai Abu Dzar engkau marah demi karena Allah! Orang-orang itu, yakni para penguasa Bani Umayyah, takut kepadamu, sebab mereka takut kehilangan dunianya. Oleh karena itu mereka mengusir dan membuangmu. Demi Allah, seandainya langit dan bumi tertutup rapat bagi hamba Allah, tetapi hamba itu kemudian penuh taqwa kepada Allah, pasti ia akan dibukakan jalan keluar. Hai Abu Dzar, tidak ada yang menggembirakan hatimu selain kebenaran, dan tidak ada yang menjengkelkan hatimu selain kebatilan!”
Atas dorongan Imam Ali r.a., Aqil berkata kepada Abu Dzar: “Hai Abu Dzar, apa lagi yang hendak kukatakan kepadamu! Engkau tahu bahwa kami ini semua mencintaimu, dan kami pun tahu bahwa engkau sangat mencintai kami juga. Bertaqwa sajalah sepenuhnya kepada Allah, sebab taqwa berarti selamat. Dan bersabarlah, karena sabar sama dengan berbesar hati. Ketahuilah, tidak sabar sama artinya dengan takut, dan mengharapkan maaf dari orang lain sama artinya dengan putus asa. Oleh karena itu buanglah rasa takut dan putus asa.”
Kemudian Al-Hasan berkata kepada Abu Dzar: “Jika seorang yang hendak mengucapkan selamat jalan diharuskan diam, dan orang yang mengantarkan saudara yang berpergian harus segera pulang, tentu percakapan akan menjadi sangat sedikit, sedangkan sesal dan iba akan terus berkepanjangan. Engkau menyaksikan sendiri, banyak orang sudah datang menjumpaimu. Buang sajalah ingatan tentang kepahitan dunia, dan ingat saja kenangan manisnya. Buanglah perasaan sedih mengingat kesukaran di masa silam, dan gantikan saja dengan harapan masa mendatang. Sabarkan hati sampai kelak berjumpa dengan Nabi-mu, dan beliau itu benar-benar ridho kepadamu.”
Setelah Al Hasan, kini berkatalah Al Husein: “Hai paman, sesungguhnya Allah s.w.t. berkuasa mengubah semua yang paman alami. Tidak ada sesuatu yang lepas dari pengawasan dan kekuasaan-Nya. Mereka berusaha agar paman tidak mengganggu dunia mereka. Betapa butuhnya mereka itu kepada sesuatu yang hendak paman cegah! Berlindunglah kepada Allah s.w.t. dari keserakahan dan kecemasan. Sabar merupakan bagian dari ajaran agama dan sama artinya dengan sifat pemurah. Keserakahan tidak akan mempercepat datangnya rizki dan kebatilan tidak akan menunda datangnya ajal!”
Dengan nada marah Ammar bin Yasir menyambung: “Allah tidak akan membuat senang orang yang telah membuatmu sedih, dan tidak akan menyelamatkan orang yang menakut-nakutimu. Seandainya engkau puas melihat perbuatan mereka, tentu mereka akan menyukaimu. Yang mencegah orang supaya tidak mengatakan seperti yang kaukatakan, hanyalah orang-orang yang merasa puas dengan dunia. Orang-orang seperti itu takut menghadapi maut dan condong kepada kelompok yang berkuasa. Kekuasaan hanyalah ada pada orang-orang yang menang. Oleh karena itu banyak orang “menghadiahkan” agamanya masing-masing kepada mereka, dan sebagai imbalan, mereka memberi kesenangan duniawi kepada orang-orang itu. Dengan berbuat seperti itu, sebenarnya mereka menderita kerugian dunia dan akhirat. Bukankah itu suatu kerugian yang senyata-nyatanya?!”
Sambil berlinangan air mata Abu Dzar berkata: “Semoga Allah merahmati kalian, wahai Ahlu Baitur Rahman! Bila melihat kalian aku teringat kepada Rasul Allah s.a.w. Suka-dukaku di Madinah selalu bersama kalian. Di Hijaz aku merasa berat karena Utsman, dan di Syam aku merasa berat karena Muawiyah. Mereka tidak suka melihatku berada di tengah-tengah saudara-saudaraku di kedua tempat itu. Mereka memburuk-burukkan diriku, lalu aku diusir dan dibuang ke satu daerah, di mana aku tidak akan mempunyai penolong dan pelindung selain Allah s.w.t. Demi Allah, aku tidak menginginkan teman selain Allah s.w.t. dan bersama-Nya aku tidak takut menghadapi kesulitan…”
Tutur Dzakwan lebih lanjut: Setelah semua orang yang mengantarkan pulang, Imam Ali r.a. segera datang menghadap Khalifah Utsman bin Affan r.a. Kepada Imam Ali r.a. Khalifah bertanya dengan hati gusar: “Mengapa engkau berani mengusir pulang petugasku, yakni Marwan dan meremehkan perintahku?”
“Tentang petugasmu,” jawab Imam Ali r.a. dengan tenang “ia mencoba menghalang-halangi niatku. Oleh karena itu ia kubalas. Adapun tentang perintahmu, aku tidak meremehhannya.”
“Apakah engkau tidak mendengar perintahku yang melarang orang bercakap-cakap dengan Abu Dzar?” ujar Khalifah dengan marah.
“Apakah setiap engkau mengeluarkan larangan yang bersifat kedurhakaan harus kuturut?” tanggap Imam Ali r.a. terhadap kata-kata Khalifah tadi dalam bentuk pertanyaan.
“Kendalikan dirimu terhadap Marwan!” ujar Khalifah memperingatkan Imam Ali r.a.
“Mengapa?” tanya Imam Ali r.a.
“Engkau telah memaki dia dan mencambuk unta yang dikendarainya” jawab Khalifah.
“Mengenai untanya yang kucambuk,” Imam Ali menjelaskan sebagai tanggapan atas keterangan Khalifah Utsman, “bolehlah ia membalas mencambuk untaku. Tetapi kalau dia sampal memaki diriku, tiap satu kali dia memaki, engkau sendiri akan kumaki dengan makian yang sama. Sungguh aku tidak berkata bohong kepadamu!”
“Mengapa dia tidak boleh memakimu?” tanya Khalifah Utsman dengan mencemooh. “Apakah engkau lebih baik dari dia?!”
“Demi Allah, bahkan aku lebih baik daripada engkau!” sahut Imam Ali r.a. dengan tandas. Habis mengucapkan kata-kata itu Imam Ali r.a. cepat-cepat keluar meninggalkan tempat.
Sikap Ali bukanlah cerminan kesombongan, melainkan cerminan integritas diri. Ali menyadari sepenuhnya keutamaannya dibandingkan Uthsman: Ali lebih dahulu masuk Islam, Ali lebih banyak jasanya dalam menegakkan perjuangan Islam, Ali kerabat dekat Rosul sekaligus suami dari anak kesayangan Rosul. Ia orang yang oleh Rosul dinyatakan sebagai “saudara Rosul sebagaimana Nabi Harun bagi Nabi Musa”, “kunci kota ilmu”, “orang yang diridhoi Allah dan Rosulnya” serta julukan-julukan bernada pujian lainnya yang tidak disandang orang lain. Dan lebih dari itu Ali adalah seorangahlul bait yang oleh Allah telah dinyatakan suci.
Beberapa waktu setelah terjadi insiden itu, Khalifah Utsman memanggil tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan Anshar termasuk tokoh-tokoh Bani Umayyah. Di hadapan mereka itu ia menyatakan keluhannya terhadap sikap Imam Ali r.a.
Menanggapi keluhan Khalifah Utsman bin Affan, para pemuka yang beliau ajak berbicara menasehatkan: “Anda adalah pemimpin dia. Jika anda mengajak berdamai, itu lebih baik.”
“Aku memang menghendaki itu,” jawab Khalifah Utsman. Sesudah ini beberapa orang dari pemuka muslimin itu mengambil prakarsa untuk menghapuskan ketegangan antara Imam Ali r.a. dan Khalifah Utsman. Mereka menghubungi Imam Ali r.a. di rumahnya. Kepada Imam Ali r.a. mereka bertanya: “Bagaimana kalau anda datang kepada Khalifah dan Marwan untuk meminta maaf?”
“Tidak,” jawab Imam Ali r.a. dengan cepat. “Aku tidak akan datang kepada Marwan dan tidak akan meminta maaf kepadanya. Aku hanya mau minta maaf kepada Utsman dan aku mau datang kepadanya.”
Tak lama kemudian datanglah panggilan dari Khalifah Utsman. Imam Ali r.a. datang bersama beberapa orang Bani Hasyim. Sehabis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah s.w.t., Imam Ali r.a. berkata: “Yang kau ketahui tentang percakapanku dengan Abu Dzar, waktu aku mengantar keberangkatannya, demi Allah, tidak bermaksud mempersulit atau menentang keputusanmu. Yang ku maksud semata-mata hanyalah memenuhi hak Abu Dzar. Ketika itu Marwan menghalang-halangi dan hendak mencegah supaya aku tidak dapat memenuhi hak yang telah diberikan Allah ‘Azza wa Jalla kepada Abu Dzar. Karena itu aku terpaksa menghalang-halangi Marwan, sama seperti dia menghalang-halangi maksudku. Adapun tentang ucapanku kepadamu, itu dikarenakan engkau sangat menjengkelkan aku, sehingga keluarlah marahku, yang sebenarnya aku sendiri tidak menyukainya.”
Sebagai tanggapan atas keterangan Imam Ali r.a. tersebut, Khalifah Utsman berkata dengan nada lemah lembut: “Apa yang telah kau ucapkan kepadaku, sudah ku ikhlaskan. Dan apa yang telah kaulakukan terhadap Marwan, Allah sudah memaafkan perbuatanmu. Adapun mengenai apa yang tadi engkau sampai bersumpah, jelas bahwa engkau memang bersungguh-sungguh dan tidak berdusta. Oleh karena itu ulurkanlah tanganmu….!”
Imam Ali r.a. segera mengulurkan tangan, kemudian ditarik oleh Khalifah Utsman dan dilekatkan pada dadanya.
Bagaimana keadaan Abu Dzar Al Ghifari di tempat pembuangannya? Ia mati kelaparan bersama isteri dan anak-anaknya. Ia wafat dalam keadaan sangat menyedihkan, sehingga batu pun turut menangis sedih!
Menurut riwayat tentang penderitaannya dan kesengsaraannya di tempat pembuangan, dituturkan sebagai berikut: Setelah ditinggal mati oleh anak-anaknya, ia bersama isteri bertahan hidup dengan sangat sengsara. Berhari-hari sebelum akhir hayatnya, ia bersama isteri tidak menemukan makanan sama sekali. Ia mengajak isterinya pergi ke sebuah bukit pasir untuk mencari tetumbuhan.
Keberangkatan mereka berdua diiringi tiupan angin kencang menderu-deru. Setibanya di tempat tujuan mereka tidak menemukan apa pun juga. Abu Dzar sangat pilu. Ia menyeka cucuran keringat, padahal udara sangat dingin. Ketika isterinya melihat kepadanya, mata Abu Dzar kelihatan sudah membalik.
Isterinya menangis, kemudian ditanya oleh Abu Dzar: “Mengapa engkau menangis?”
“Bagaimana aku tidak menangis,” jawab isterinya yang setia itu, “kalau menyaksikan engkau mati di tengah padang pasir seluas ini? Sedangkan aku tidak mempunyai baju yang cukup untuk dijadikan kain kafan bagimu dan bagiku! Bagaimana pun juga akulah yang akan mengurus pemakamanmu!”
Betapa hancurnya hati Abu Dzar melihat keadaan isterinya. Dengan perasaan amat sedih ia berkata: “Cobalah lihat ke jalan di gurun pasir itu, barangkali ada seorang dari kaum muslimin yang lewat!”
“Bagaimana mungkin?” jawab isterinya. “Rombongan haji sudah lewat dan jalan itu sekarang sudah lenyap!”
“Pergilah kesana, nanti engkau akan melihat,” kata Abu Dzar menirukan beberapa perkataan yang dahulu pernah diucapkan oleh Rasul Allah s.a.w. “Jika engkau melihat ada orang lewat, berarti Allah telah menenteramkan hatimu dari perasaan tersiksa. Tetapi jika engkau tidak melihat seorang pun, tutup sajalah mukaku dengan baju dan letakkan aku di tengah jalan. Bila kaulihat ada seorang lewat, katakan kepadanya: Inilah Abu Dzar, sahabat Rasul Allah. Ia sudah hampir menemui ajal untuk menghadap Allah, Tuhannya. Bantulah aku mengurusnya!”
Dengan tergopoh-gopoh isterinya berangkat sekali lagi ke bukit pasir. Setelah melihat ke sana-kemari dan tidak menemukan apa pun juga, ia kembali menjenguk suaminya. Di saat ia sedang mengarahkan pandangan mata ke ufuk timur nan jauh di sana, tiba-tiba melihat bayang-bayang kafilah lewat, tampak benda-benda muatan bergerak-gerak di punggung unta. Cepat-cepat isteri Abu Dzar melambai-lambaikan baju memberi tanda. Dari kejauhan rombongan kafilah itu melihat, lalu menuju ke arah isteri Abu Dzar berdiri. Akhirnya mereka tiba di dekatnya, kemudian bertanya: “Hai wanita hamba Allah, mengapa engkau di sini?”
“Apakah kalian orang muslimin?” isteri Abu Dzar balik bertanya. “Bisakah kalian menolong kami dengan kain kafan?”
“Siapa dia?” mereka bertanya sambil menoleh kepada Abu Dzar.
“Abu Dzar Al-Ghifari!” jawab wanita tua itu.
Mereka saling bertanya di antara sesama teman. Pada mulanya mereka tidak percaya, bahwa seorang sahabat Nabi yang mulia itu mati di gurun sahara seorang diri. “Sahabat Rasul Allah?” tanya mereka untuk memperoleh kepastian.
“Ya, benar!” sahut isteri Abu Dzar.
Dengan serentak mereka berkata: “Ya Allah…! Dengan ini Allah memberi kehormatan kepada kita!”
Mereka meletakkan cambuk untanya masing-masing, lalu segera menghampiri Abu Dzar. Orangtua yang sudah dalam keadaan payah itu menatapkan pendangannya yang kabur kepada orang-orang yang mengerumuninya. Dengan suara lirih ia berkata: “Demi Allah…, aku tidak berdusta…, seandainya aku mempunyai baju bakal kain kafan untuk membungkus jenazahku dan jenazah isteriku, aku tidak akan minta dibungkus selain dengan bajuku sendiri atau baju isteriku…..Aku minta kepada kalian, jangan ada seorang pun dari kalian yang memberi kain kafan kepadaku, jika ia seorang penguasa atau pegawai.”
Mendengar pesan Abu Dzar itu mereka kebingungan dan saling pandang-memandang. Di antara mereka ternyata ada seorang muslim dari kaum Anshar. Ia menjawab: “Hai paman, akulah yang akan membungkus jenazahmu dengan bajuku sendiri yang kubeli dengan uang hasil jerih payahku.
Aku mempunyai dua lembar kain yang telah ditenun oleh ibuku sendiri untuk kupergunakan sebagai pakaian ihram…”
“Engkaukah yang akan membungkus jenazahku? Kainmu itu sungguh suci dan halal….!” Sahut Abu Dzar.
Sambil mengucapkan kata-kata itu Abu Dzar kelihatan lega dan tentram. Tak lama kemudian ia memejamkan mata, lalu secara perlahan-lahan menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan tenang berserah diri ke hadirat Allah s.w.t. Awan di langit berarak-arak tebal teriring tiupan angin gurun sahara yang amat kencang menghempaskan pasir dan debu ke semua penjuru. Saat itu Rabadzah seolah-olah berubah menjadi samudera luas yang sedang dilanda tofan.
Selesai dimakamkan, orang Anshar itu berdiri di atas kuburan Abu Dzar sambil berdoa: “Ya Allah, inilah Abu Dzar sahabat Rasul Allah s.a.w., hamba-Mu yang selalu bersembah sujud kepada-Mu, berjuang demi keagungan-Mu melawan kaum musyrikin, tidak pernah merusak atau mengubah agama-Mu. Ia melihat kemungkaran lalu berusaha memperbaiki keadaan dengan lidah dan hatinya, sampai akhirnya ia dibuang, disengsarakan dan dihinakan. Sekarang ia mati dalam keadaan terpencil. Ya Allah, hancurkanlah orang yang menyengsarakan dan yang membuangnya jauh dari tempat kediamannya dan dari tempat suci Rasul Allah!”
Mereka mengangkat tangan bersama-sama sambil mengucapkan “Aamiin” dengan khusyu’. Orang mulia yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari telah wafat. Semasa hidupnya Rosulullah pernah berkata kepadanya: “Engkau datang sendirin. Engkau pun akan maninggal dalam kesendirian.” Sementara Abu Dzar pernah berpesan: “Kebenaran tidak meninggalkan pembela bagiku…”
Namun tragisnya, para musuh Abu Dzar masih terus berusaha mendeskreditkan manusia “mulia” ini. Misal adanya sebuah cerita bahwa Abu Dzar pernah meminta suatu jabatan pemerintahan kepada khalifah. Permintaan tersebut ditolak karena Abu Dzar dianggap sebagai orang yang lemah dan itu menjadi penyebab ia menentang khalifah.
Yah begitulah. Bahkan kepada para ahlul bait yang oleh Allah telah disucikan sesuci-sucinya pun, mereka masih berusaha mendeskreditkannya, sampai sekarang.
ALLAH dan Rasulullah menggunakan kosa kata SAHABAT untuk orang2 yang masuk surga (Jannah) dan orang2 yang masuk api neraka
SHOHIB = kawan, teman, penghuni, pemilik dll
ASHABU = kawan2, teman2, penghuni2, pemilik2 dll
ALQURAN 7:50;
Ahabu Nar (sahabat2 di api neraka) berkata kepada Ashabu Jannah (sahabat2 di dalam surga): “Berikanlah kami sedikit air atau makanan yang telah diberikan oleh ALLAH kepada kamu!”
ALQURAN 5:10;
Orang2 Kafir yang mendustakan ayat ayat kami (AlQuran); sesungguhnya mereka Ashabu Al Jahim (sahabat2 di dalam neraka Jahim).
Jika kita membaca semua kosa kata ASHABU (sahabat2, kawan2, teman2) di dalam AlQuran dengan teliti; maka kita bisa melihat bahwa ALLAH menggunakan kosa kata SAHABAT untuk mereka yang masuk api neraka dan juga untuk mereka yang masuk surga.
Ulama Sunni sengaja memutar-balikan ayat ayat AlQuran untuk membodohi ummat Islam
SYIRIK (dosa terbesar yang tidak akan diampuni oleh ALLAH); adalah aqidah (kepercayaan & keyakinan) kaum Sunni; karena Kaum Sunni rajin memuji para sahabat; sehingga Kaum Sunni tidak bisa melihat dan tidak bisa mempelajari kesalahan2 yang dilakukan oleh para sahabat; padahal semua pujian hanya dimiliki oleh ALLAH.
Kaum Syiah sengaja mempelajari kesalahan2 yang dilakukan oleh para sahabat setelah Rasulullah wafat; supaya kamu Syiah tidak mengulangi kesalahan2 yang sama; karena Kaum Syiah tidak mau dihukum oleh ALLAH di dunia ini dan di akhirat nanti.
ASHABI (kawan-kawanku, teman-temanku, sahabat-sahabatku).
SHOHIH BUKHARI, Kitab 60 no 149;
Ibn Abbas melaporkan bahwa Rasulullah berkata (di depan para sahabatnya): “Ya manusia, kamu akan dikumpulkan pada hari Qiyammah di depan ALLAH dalam keadaan telanjang, tidak ada alas kaki dan tidak disunat. Rasulullah mengucapkan ayat ayat ALLAH
ALQURAN 21:104;
Pada hari kami gulung langit seperti kami gulung lembaran lembaran kertas; sebagaimana kami telah menciptaan ciptaan kami yang pertama; kami akan mengulanginya; karena itu adalah janji kami; sesungguhnya akan terjadi karena kami akan melaksanakannya.
Rasulullah melanjutkan dan berkata: “Orang pertama yang akan diberikan pakaian adalah Nabi Ibrahim pada hari kebangkitan. Banyak orang yang mengikuti saya akan dibawa kepada saya; kemudian mereka dimasukan ke dalam api neraka!”
Rasulullah akan berkata (kepada ALLAH): “Mereka adalah ASHABI (sahabat-sahabatku, kawan-kawnku, teman-temanku)!”
ALLAH akan berkata (kepada Nabi Muhammad): “Kamu tidak mengetahui perbuatan mereka setelah kepergianmu (setelah Muhammad wafat); mereka telah MURTAD setelah kepergian kamu!”.
Rasulullah akan mengutip ayat Al-Quran yang diucapkan oleh Nabi Isa Al Masih.
ALQURAN 5:118;
Jika anda menyiksa mereka; sesungguhnya mereka adalah hamba-hambamu; jika anda mengampuni mereka; sesungguhnya anda maha perkasa dan maha bijaksana.
KESIMPULAN:
Perhatikan kosa kata ASHABI (sahabat-sahabatku, kawan-kawanku, teman-temanku) dipergunakan oleh Rasulullah untuk para sahabat yang akan dimasukan ke dalam api neraka.
Ulama Sunni sengaja menyembunyikan atau rajin menutup-nutupi Hadith ini; supaya SYIRIK (dosa terbesar) tersebar di dalam kalangan Kaum Ahlul Sunnah Wal Jamaah.
Ulama Sunnah sengaja menyembunyika Hadith tersebut; supaya semua sahabat bisa dipuji oleh ummat Islam; ini adalah kesalahan besar yang dilakukan oleh Ulama Sunnah; karena semua pujian hanya dimiliki oleh ALLAH; bukan dimiliki oleh para sahabat.
Tidakkah mereka membaca Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada ‘Ali : “Tidaklah seseorang yang mencintaimu kecuali dia adalah seorang mukmin dan tidak membencimu kecuali dia adalah seorang munafik”?
Anehnya hadits ini selalu terpampang di salah blog nashibi.
Definisi keadilan cuma satu yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Mengenai masalah munafik ini adalah masalah hati, makanya Nabi tidak menghukum Abdullah bin Ubay padahal nabi mengetahui tentang kemunafikannya. Terus saya koreksi sedikit bahwa memang sahabat itu manusia biasa dan tidak maksum. Jadi sahabat bisa melakukan kesalahan dan dosa.
Siapa nama-nama kaum munafik yang hidup di madinah di zaman Nabi saw seperti yang disebutkan oleh ayat Qs. At taubah 101 biar sunni tidak terkena hadis-hadis palsu yang mereka susupkan, yang terlanjur tercantum dikitab-kitab hadis/shahih sunni.
Saya juga minta tolong kepada syekh-syekh salafiyun barangkali tau atau dapat wangsit tentang siapa nama-nama kaum munafik yang hidup di madinah di zaman Nabi saw… seperti yang disebutkan oleh ayat ini (biar kami tidak terkena hadis-hadis palsu yg mereka susupkan, yg terlanjur tercantum dikitab-kitab hadis/shahih sunni :
Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar (Al Qur’an, S. At Taubah[9]: 101).
bacalah ALQURAN 25:30-31;
30. Rasulullah berkata: “Ya Tuhanku, KAUMKU telah meninggalkan AlQuran!”.
31. ALLAH berkata: “dan seperti itulah (yang terjadi); telah kami adakan untuk semua nabi; musuh dari orang orang yang berdosa; dan cukuplah ALLAH menjadi penolong dan pemberi petunjuk.
Perhatikanlah kosa kata KAUMKU di dalam ayat ayat Al-Quran tersebut. Para sahabat juga termasuk KAUM MUHAMMAD. Sebagian dari para sahabat melanggar Al-Quran setelah kepergian Rasulullah (setelah Nabi Muhammad wafat).
Mereka yang melanggar Al-Quran akan dijadikan musuh-musuh Nabi Muhammad pada hari Qiyammah nanti. Berapa banyak sahabat yang melanggar Al-Quran; sehingga mereka saling membunuh di dalam perang Riddah, perang Siffin, perang Jamal dan perang perang yang lain.
Mayoritas Ulama Sunni adalah orang-orang yang pintar dan yang mengagumkan; tetapi minoritas Ulama Sunni adalah orang-orang yang sombong.
Minoritas Ulama Sunni ingin ummat Islam memuji para sahabat; dengan alasan semua sahabat adalah manusia yang sempurna; padahal semua pujian hanya dimiliki oleh ALLAH; sehingga tidak mungkin para sahabat melakukan kesalahan-kesalahan.
Jika Kaum Syiah mempelajari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para sahabat setelah Rasulullah wafat; supaya Kaum Syiah tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama; maka Ulama Sunni tersebut akan marah dan akan tersinggung; kemudian Ulama Sunni tersebut menuduh Kaum Syiah sebagai orang-orang yang suka menghamun (mencela, menghina) para sahabat; padahal SYIRIK (dosa terbesar) adalah keyakinan Kaum Sunni.
Apa yang dimaksud “wafat dalam keadaan islam”?. Apakah setiap orang yang dinyatakan sahabat oleh Ibnu Hajar [dalam Al Ishabah] memiliki data riwayat bahwa mereka wafat dalam keadaan islam.
ucapan anda dipertanggungjawabkan di hadapan Allah lho…jangan asal ucap, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar!”(QS. AlBaqarah: 111).
Di dalam Bab II, “Sawaiq al-Muhriqah”, Ibn Hajar mencatatkan Hafiz Jamaluddin Mohammad bin Yusuf Zarandi Madani (seorang faqih dan ulama di kalangan mazhab Sunni) yang mengatakan, “…
Tatkala engkau dan pengikut-pengikut (Syi’ah) engkau akan datang pada Hari Pembalasan kelak di dalam keadaan diridhai Allah dan Allah ridha terhadap kamu semua. Musuh-musuh engkau akan berasa cemburu dan tangan mereka akan dibelenggu ke leher mereka.”. Kemudian Ali as bertanya siapakah musuhnya. Rasulullah saww menjawab, “Orang-orang yang memusuhi engkau dan yang menghina engkau.” Allamah Samhudi di dalam “Jawahirul”, dengan pengesahan Hafiz Jamaluddin Zarandi Madani dan Nuruddin Ali bin Mohammad bin Ahmad Maliki Makki yang terkenal sebagai Ibn Sabbagh, yang dianggap sebagai ulama yang berwibawa dari kalangan ulama Sunni dan juga seorang ahli ilmu kalam, di dalam bukunya “Fusul al-Muhimmah”, pada halaman 122, memetik dari Abdullah bin Abbas bahwa, ketika ayat tersebut diwahyukan Rasulullah saww bersabda kepada Ali as, “Engkau dan Syi’ahmu. Engkau dan merekalah yang akan datang di Hari Pembalasan kelak dengan penuh keridhaan dan kepuasan, manakala musuh-musuh engkau akan datang dengan kesedihan dan terbelenggu tangan-tangan mereka.”.
Mir Syed Ali Hamdani Syafie, salah seorang daripada ulama Sunni yang terpercaya, menyebut di dalam bukunya “Mawaddatul Qurba.” Juga Ibn Hajar, seorang yang terkenal sebagai anti-Syi’ah di dalam bukunya “Sawaiq al-Muhriqah” meriwayatkan dari Ummul Mukminin Ummu Salamah, isteri Nabi saww, bahwa Rasulullah saww bersabda, “Hai Ali, engkau dan Syi’ahmu akan kekal di dalam Syurga, engkau dan Syi’ahmu akan kekal di dalam Syurga.”.
Seorang ulama yang terkemuka, Khawarazim Muaffaq bin Ahmad di dalam “Manqib”nya, Bab 19, meriwayatkan dari Rasulullah saww di atas pengesahan yang tidak dapat diragukan, bahwa Baginda Nabi bersabda kepada Ali as, “Di kalangan umatku, engkau adalah seumpama Isa al-Masih Ibn Mariam as, yakni sebagaimana pengikut Nabi Isa as yang telah berpecah kepada tiga kelompok, yaitu yang benar-benar beriman yang dikenali sebagai Hawariyyin, penentangnya yaitu orang-orang Yahudi dan satu lagi golongan yang melampaui batas, yang menyamakan beliau dengan sifat-sifat ketuhanan. Seperti itu juga umat Muslim, yang akan berpecah kepada tiga kelompok terhadap engkau. Salah satu dari mereka adalah Syi’ahmu, dan mereka inilah golongan yang benar-benar beriman. Yang lainnya adalah musuh-musuh engkau dan mereka itulah yang memungkiri janji-janji untuk taat setia kepadamu, dan yang ketiganya adalah golongan yang melampaui batas mengenai kedudukan engkau dan mereka adalah orang-orang yang menolak kebenaran serta tersesat. Jadi, engkau, hai Ali, dan juga Syi’ahmu akan berada di dalam Syurga, dan juga orang-orang yang mencintaimu akan berada di dalam Syurga sedangkan musuh-musuhmu dan mereka yang berlebih-lebihan terhadapmu akan berada di dalam Neraka.”.
Biarin aja mas. Konsekuensi dari kalimat tsb adalah;
(1) Bahwa tidak selalu orang-orang yang beserta Nabi saw akan mati dalam keadaan Islam.
Bagaimana kalau nashibi maksa semuanya harus atau pasti mati dalam keadaan Islam? Wah kalau udah gitu sy nyerah deh.
(2) Bahwa sebelum mereka mati, mereka belum bisa disebut sahabat. Jadi nanti saat mati baru ketahuan mana sahabat mana yang bukan.
(3) Bahkan yang mati pun belum bisa disebut sahabat kalau ga ketahuan matinya kapan, dimana dan bagaimana.
Nah, tinggal nanya ke nashibi: “berapa banyak data yang mereka punyai mengenai orang-orang di sekitar Nabi saw yang matinya ketahuan dalam keadaan Islam?”
Malah bagus kan?
Perawi-perawi dan para ulama telah memberitakan bahwa terdapat sahabat Nabi saw yang munafik serta macam-macam prilaku buruk. Ayat-ayat Alquran sdh memastikan adanya orang-orang di sekitar Nabi saw yang munafik. Hanya salafiyyun yang bersikeras dan ngotot bahwa sahabat Nabi saw tidak ada yang munafik, bahwa semua sahabat ‘adil. Bagi mereka yang mau membaca dan menggunakan akal sehatnya akan mampu melihat secara terang benderang mana pemahaman yang benar mana yang keliru.
Semoga Allah swt memberikan hidayah-Nya kepada kita semua.
(Syiahali/Scondprince/Jakfari/berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Apabila ada peneliti yang menyajikan data-data penyimpangan, pelanggaran, pembangkangan para sahabat mereka (ulama Sunni dan tentunya juga kaum awamnya) segera mengatakan mereka yang disebutkan dalam data-data dan nash (Al Quran dan Sunnah) adalh kaum munafik! Dan kaum munafik bukan termasuk sahabat Nabi! Jangan masukan munafik ke dalam daftar sahabat Nabi Saw.! Munafik ya munafik!
Demikianlah kurang lebih pembelaan yang mereka lontarkan.
Tetapi benarkan kaum munafik itu bukan sahabat Nabi Saw.?
Sepertinya seluruh data bertolak belakang dengan pembelaan yang mereka kkatakan. Sebab kenyataannya iaalah bahwa kaum munafik adalah mereka yang menyatakan (mengikrarkan) syahâdatain dengan lisan mereka, kendati hati mereka tidak menerimanya. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa umat manusia di hadapan da’wah Nabi saw. Terkelompkkan menjadii tiga kelompok:
1) Mereka yang menerima da’wah dan beriman kepada kenabian beliau dengan tulus. Mereka adalah kaum Mu’min.
2) Kedua kaum yang menginkari kebenaran da’wah dan menolak kenabian beliau. Mereka iitu adalah kaum kafir. Kaum kafir yang ingkkar ini terbagi menjadi dua kelompok: A) Mereka yang berterus terang dalam kekafiran dan menentangannya. Mereka disebut kafir dan
3) B) Mereka yang tidak berterus terang daalam kekafiiran dan pengingkarannya. Mereka menampakkkan keimanan sementara pada hakikatnya mereka adalah kafir! Mereka ini disebut sebagai kaum munafik!
Nah, jelslah sekarang siapa sebenarnya kaum munafik itu? Mereka yang secara lahrriyah muslim akan tetepi pada hakikatnya mereka itu kafir!
Mereka yang menampakkan keislaman dan keimanan itu pastilah akan dberlakukan atas mereka hukum Islam. Nabi saw. Akan mempperlakukan mereka sebagai orang-orang Muslim dan memberlakukan atas mereka hukum-hukum Islam sebagaimana diberlakukan atas yang lainnya.
Demikianlah sejaraan mencatat. Kaum munafik itu bergabung bersama kaum muslim lainnya di zaman Nabi saw.’ Mereka shalat berjama’ah bermaza Nabi saw., menunaikan haji bersama beliau bahkan berjihad melawan musuh-musuh Islam bersama Nabi saw. Dan kaum Muslim lainnya.
Jika demikian kenyataannya, apa alasan kita mengatakan bahwa kaum munafik itu buan sahabat Nabi saw.?!
Bukankah mereka yang berikrar dengan syahâdatain di hadapan Nabi saw. atau di zaman beliau lalu bergabung dengan jama’ah kaum muslim lainnnya sudah cukup syarat untuk disebut sebagai sahabat Nabi saw.?
Selain kenyataan di atas banyak data di mana Nabi saw. Menyebut kaum munafik sebagai sahabat beliau! Dalam kesempatan ini saya hanya ingin mengajak Anda melihat dari dekat data tersebut dan merenungkannya baik=baik.
Para mufassir Sunni ketika menerangkan atar-ayat surah al Munâfqûn demikian juga para sejarawan Islam ketika mereka menyebutkan perang Muraisi’ atau nama lainnya perang bani Mushthaliq pasti menyebutkan sebuah pristiwa percek-cokan antara dua orang sahabat; satu dari kalangan Anshar dan yang satu dari kalangan Muhajrin dalam urusan perebutan yangkemudian berakhir dengan luapan kemaraham Abdullah ibn Ubay ibn Salûl (yang kata data-data Sunni disebut sebagai gembong kaum Munafik) yang iia tuang dalam kata-kata busuk yang mengejek-ejek dan mengancam untuk mengusir Nabi saw. dan kaum Muslim dari kota Madinah. Kemdian setelah ucapannya yang menjelaskan kekentalan kemunafikannya iitu dilaporkan kepada Nabi saw. dan beliau pun menegurnya lalu Abdullah ibn Ubay pun mengelak dengan mengatakan bahwa ia tidak pernah mengatakan apa-apaun seperti yang dilaporkan kepada beliau.
Menyikapi kekejian kata-kata Abdullah ibn Ubay ibn Salûl sebagai sahabat lainnya (khususnya Umar ibn al Khaththâb) meminta (atau mengslkan) agar Nabi saw. memerintah untuk membunuh saja Abdullah ibn Ubay si gembong munafik iitu. Tetapi mereka (dan saya yakin, kaum awam Sunni yang selama ini menjadi korbar pembuutaan) benar-benar dikejutkan dengan jawaban Nabi saw.
Apa jawaban Nabi saw. terhadap Umar yang mengusulkan agar Abdullah ibn Ubay dibunuh saja?
Perhatikan keterangan yang diabadikan para ulama Islam di bawah ini;
Ibnu Jarir ath Thabari, al Baghawi, al Khâzin, Ibnu Katsîr, as Suyûthi, asy Syaukâni dll menyebutkan banyak riwayat: bahwa ketika Umar berkata kepada Nabi, ‘Wahai Nabi, perintahkan Mu’âdz ibn Jabal agar memenggal kepala si munafik itu!’ Maka Nabi saw. menjawab:
لا يتَحَدَّثُ الناسُ أَنَّ مُحمدًا يَقْتُلُ أَصْحابَهُ
“Jangan sampai orang-orang berbicara bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya.”.
Riwayat di atas dengan berbagai jalur dan perincian pristiwanya dapat Anda baca dalam :
1) Tafsir ath Thabari, ayat 8 surah al Munâqûn,28/112-115.
2) Tafsir al Baghwi,7/99.
3) Tafsir al Khizin,7/99.
4) Tafsir Ibnu Katsîr,4/370.
5) Tafsir asy Syaukâni,5/233.
Dan Masihbanyak lainnya.
Ibnu Jakfari berkata:
Nah, kini jelaslah bagi kita bahwa kaum munafik juga disebut Nabi saw. sebagai Sahabat beliau!
__________________________________________
Aneh, Sahabat Anshar Kok Munafik?!
Sebuah Renungan Terhadap Konsep Keadilan Sahabat
Diantara doktrin yang tak henti-hentinya ditalqinkan oleh jumhûr penganut mazhab Ahlusunnah, khususnya yang Sunni Plus/Nashîbi (Ekstrimis Wahhâbi/Salafi) adalah bahwa seluruh sahabat[1] Nabi saw. adalah bersifat ‘Udûl (baik, tidak mungkin jahat dan menyengaja melanggar syari’at tanpa dasar). Dan barang siapa yang meragukan doktrin ini akan berhadapan dengan Pasukan Pembela Sahabat yang siap meluncurkan edisi fatwa terekstrim: Zindiq, Kafir dll!
Apabila ada yang mengatakan bahwa sahabat A atau B itu fasik apalagi munafik mereka segera menuduh Anda telah terpengaruh oleh Abdullah Ibnu Saba’ (si aktor Yahudi yang merusak Islam dengan menjelak-jelekkan para sahabat)….
Menuduh Anda berusaha meruntuhkan risalah agama dengan mencacat para pengembannya. Demikianlah doktrin itu dicekokkan di hampir setiap kesempatan, khususnya di pengajian atau pengkajian yang bernuansa menghujat ajaran Syi’ah!
Saya tidak pedulu dengan itu semua. Karena masalah ini telah lama menjadi bahan perdebatan mandul antara mereka yang menganut “Mazhab Pokoknya” dan para kritikus sejarah. Saya hanya mengajak Anda merenungkan beberapa catatan yang mungkin dapat membuka mata hati dan pikiran Anda (bukan mereka yang menganut “Mazhab Pokoknya”. Sebab bagi mereka apapun yang dapat meruntuhkan doqma mazhab mereka harus disingkirkan jauh-jauh….
Ayat-ayat Al Qur’an yang membombardir doqma mazhab mereka harus dilawan. Sesekali ditakwil dan sesekali dilupakan! Hadis-hadis palsu pun yang tak henti-hentinya diproduksi di masa subur pemalsuan. Dan diobral untuk mengggertak kaum awam di masa kini! Data-data sejarah pun harus diabaikan dan diragukan bahkan dibohongkan…
Pokoknya, semua sahabat harus adil! Titik!!
Jangan-jangan Nabi saw. ”Agak Terpengaruh” Syi’ah!
Ketika mereka dikagetkan dengan banyak hadis Nabi saw. yang membongkar bahwa di antara sahabat-sahabat beliau tenyata ada yang munafik, (walaupun tidak semestinya mereka kaget sebab Al Qur’an penuh dengan ayat-ayat yang membongkar kemunafikan sebagian sahabat, bahkan yang dekat sekalipun)…
ketika memergoki hadis-hadis seperti itu dalam kitab-kitab hadis standar mungkin terbesit dalam kepala sebagian awam (yang sudah “tercerahkan” oleh doktrin “Mazhab Pokoknya”): jangan-jangan Nabi saw. sendiri sudah terpengaruh fitnah Syi’ah Sabaiyyah?!
Atau jangan-jangan Nabi saw’ agak berpihak kepada kaum Syi’ah?!
Imam Ahmad dan para muhaddistîn lain telah meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda:
إنَّ فِي أصحابِي مُنافِقِيْنَ.
“Di antara para sahabatku ada yang munafik.” [2]
Atau sabda Nabi saw. “Di antara sahabatku ada dua belas orang munafik, delapan di antaranya tidak pernah masuk surga sehingga onta memasuki lubang jarum.” Seperti diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya[3].
Jumlah kaum munafik di antara sahabat Nabi saw. tidaklah sedikit. Terbukti bahwa dalam peperangan Uhud, Abdullah ibn Ubay ibn Salûl –gembong kaum Munafikin- membelot bersama tiga ratusan prajurit dari total jumlah prajurit sekitar seribut personil. [4] Akan tetapi karena satu dan lain hal, identitas sebagian mereka dirahasiakan demi menjaga nama baik mereka… akan tetapi ketika mereka tidak termasuk kelompok “Saqifah Group” maka kekebalan itu tidak lagi dipertahankan! Nama mereka akan disebutkan!
Kedok kemunafikan mereka segera dibongkar. Mereka dijadikan tumbal untuk keselamatan teman-teman lainnya!
Karenanya kaum munafik dari kalangan Anshar dibongkar kedok kemunafikan mereka, sementara kaum munafik dari kaum Quraisy dirahasiakan identitas mereka!
Ibnu Hisyam Membongkar Kedok Kemunafikan Kaun Ashar!
Gelar Anshar yang artinya para pembela kini tak lagi sakral. Kaum Anshar yang dikenal membela perjuangan da’wah Nabi saw. yang untuk mereka beberapa ayat turun memuji ketulusan keimanan dan perjuangan mereka, kini dibongkar data-data yang menaburkan keraguan atas mereka. Kaum Anshar ternyata tidak semuanya seperti yang kita bayangkan selama ini!
Ibnu Hisyam melaporkan dalam Sirahnya yang sangat terkenal itu di bawah judul pasal:
Man Ijtama’a Ilâ al Yahûd Min Munafiqî al Anshâr/Kaum Munafik dari kalangan Anshar yang bergabung dengan kaum Yahudi, pada laporannya itu ia mengatakan:
“(Dari bani ‘Amr) Ibnu Ishaq berkata, “Dan di antara kaum munafik dari suku Aus dan Khazraj[5] yang bergabung dengan kaum Yahudi –dalam persekongkolan mengkhianati Nabi saw.- yang nama-nama mereka disampaikan kepada kami adalah (Allah Maha Mengetahui): dari suku Aus tepatnya dari keluarga bani ‘Amr ibn Auaf ibn Mâlik ibn Aus kemudian dari suku bani Laudzân ibn ‘Amr ibn Auf adalah: Zuwai ibn al Hârits.
(Dari suku bani Habîb):
Dan dari suku bani Habîb ibn ‘Amr ibn ‘Auf adalah Julâs ibn Suwaid ibn Shâmid dan saudaranya yang bernama al Hârits ibn Suwaid.
Sekilas Tentang Julâs ibn Suwaid.
Julâs adalah orang yang berkata -ketika ia membelot dari rombongan pasukan nabi dalam peperangan Tabûk-, “Jika orang ini (Nabi saw. maksudnya) benar, pastilah kita ini lebih jahat/jelek dari keledai.” Lalu ucapannya ini dilaporkan kepada Nabi saw. oleh ‘Umair ibn Sa’ad (anak tirinya sendiri). Lalu setelah dipanggil Nabi saw. dan ditanyakan kepadanya atas ucapannya itu, ia mengelak dengan bersumpah bahwa ia tidak mengatakannya. Lau turunlan beberapa ayat tentangnya:
يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ ما قالُوا وَ لَقَدْ قالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَ كَفَرُوا بَعْدَ إِسْلامِهِمْ وَ هَمُّوا بِما لَمْ يَنالُوا وَ ما نَقَمُوا إِلاَّ أَنْ أَغْناهُمُ اللَّهُ وَ رَسُولُهُ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنْ يَتُوبُوا يَكُ خَيْراً لَهُمْ وَ إِنْ يَتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ عَذاباً أَليماً فِي الدُّنْيا وَ الْآخِرَةِ وَ ما لَهُمْ فِي الْأَرْضِ مِنْ وَلِيٍّ وَ لا نَصيرٍ
Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam, dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertobat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali- kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.” (QS. At Taubah [9];74).
Sekilas Tentang al Hârits ibn Suwaid.
Ia bergabung bersama pasukan kaum Muslim dalam peperangan Uhud dalam keadaan munafik, kemudian dia membunuh dua orang Muslim; al Mujadzdzar ibn Diyâb al Balwi dan Qais ibn Zaid[6], karena dahulu di sa’at terjadi peperangan di masa jahiliyah antara suku Aus dan Khazraj, al Mujadzdzar membunuh ayahnya. Dan setelahnya ia melarikan diri bergabung dengan kaum kafir Quraisy.[7]
(Dari suku bani Dhabî’ah):
Dan dari suku bani Dhabî’ah ibn Zaid ibn Mâlik ibn ‘Auf ibn ‘Amr ibn ‘Auf adalah: Bijâd ibn Utsman ibn ‘Âmir.
(Dari suku bani Ladzân):
Dan dari suku bani Ladzân ibn ‘Amr ibn ‘Auf adalah Nabtal ibn al Hârits. Dialah yang Nabi saw. bersabda tentangnya, “Barang siapa ingin menyaksikan setan maka hendaknya ia melihat Nabtal ibn al Hârits.” Dialah yang gemar menukil pembicaraan Nabi saw. kepada rekan-rekan kaum munafiknya dan mengejek Nabi saw. dengan ejekan bahwa beliau adalah bak telinga yang tak mampu membedakan omongan apapun, semuanya ia terima!
Maka Allah SWT menurunkan ayat:
وَ مِنْهُمُ الَّذينَ يُؤْذُونَ النَّبِيَّ وَ يَقُولُونَ هُوَ أُذُنٌ قُلْ أُذُنُ خَيْرٍ لَكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَ يُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنينَ وَ رَحْمَةٌ لِلَّذينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَ الَّذينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ لَهُمْ عَذابٌ أَليمٌ
(Dari suku bani Dhabî’ah):
Dan dari suku bani Dhabî’ah[8] adalah:
1) Abu Habîbah ibn al Az’ar. -dia termasuk yang terlibat dalam pembangunan masjid Dhirâr-,
2) Tsa’labah ibn Hâthib,
3) Mu’tab ibn Qusyair- kedua orang ini yang berjanji jika ia diberi kelapangan rizki untuk bersedekah dan menjadi orang-orang yang shaleh.
Tsa’labah ini yang berbicara ketika perang Uhud berkecamuk, “Andai kita punya kekuasaan pastilah kita tidak terbunuh di sini.”. Maka Allah SWT menurunkan ayat mengecam sikapnya:
وَ طائِفَةٌ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ يُخْفُونَ في أَنْفُسِهِمْ ما لا يُبْدُونَ لَكَ يَقُولُونَ لَوْ كانَ لَنا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ ما قُتِلْنا هاهُنا قُلْ لَوْ كُنْتُمْ في بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلى مَضاجِعِهِمْ وَ لِيَبْتَلِيَ اللَّهُ ما في صُدُورِكُمْ وَ لِيُمَحِّصَ ما في قُلُوبِكُمْ وَ اللَّهُ عَليمٌ بِذاتِ الصُّدُورِ
Dan dialah yang juga berkomentar miring pada hari peperangan Ahzâb/Khandaq, “Muhammad menjanjikan kita untuk menikmati harta simpanan raja Kisra dan Kaisar, sementara seorang dari kita kini tidak merasa aman atas dirinya ketika pergi ke tempat buang air. Maka Allah SWT menurunkan ayat:
وَ إِذْ يَقُولُ الْمُنافِقُونَ وَ الَّذينَ في قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ ما وَعَدَنَا اللَّهُ وَ رَسُولُهُ إِلاَّ غُرُوراً
“Dan (ingatlah) ketika orang- orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata:” Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.” (QS. Al Ahzâb [33];12
( 4) al Hârits ibn Hâthib.
Ibnu Jakfari berkata:
Sebagian orang –termasuk Ibnu Hisyâm- meragukan bahwa Mu’tab dan kedua putra Hâthib adalah termasuk kaum munafik, dengan satu alasan yang terkesan lugu yaitu karena mereka ikut serta dalam perang Badr. Akan tetapi jujur saja harus dikatakan bahwa tidak alasan yang meinscayakan bahwa tidak mungkin seorang pun dari yang ikut serta dalam peperangan Badr itu munafik! Mungkin anggapanj itu didasarkan kepada sebuah riwayat yang sangat ganjil dari sisi kandungannya konon diriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Bisa jadi Allah telah menyaksikan para peserta peperangan Badr lalu berfirman, ‘lakukan sekehandak kalian, Aku telah ampuni kalian semua.’”
Selain mereka, Ibnu Hisyam juga menyebutkan nama-nama sebagai berikut:
5) ‘Abbâd ibn Hunaif saudara Sahl ibn Hunaif,
6) Bahzaj. Mereka termasuk yang terlibat dalam pembangunan masjid Dhihrâr.
7) ‘Amr ibn Khidâm dan
8.). Abdullah ibn Nabtal.
(Dari bani Tsa’labah):
Dan dari suku bani Tsa’labah ibn ‘Amr ibn ‘auf adalah:
1) Jâriyah ibn ‘Âmir ibn al ‘Aththâf, dan keduan putranya
2) Zaid dan
3) Mujamma’.
Mereka termasduk yang terlibat dalam pembangunan masjid Dhihrâr.
Catatan Penting!
Yang sangat membingungkan adalah laporan Ibnu Hisyâm bahwa Mujamma’ adalah seorang pemuda cerdas yang telah menghafal hampir seluruh Al Qur’an. Dialah yang bertindak sebagai imam dalam shalat di masjid Dhirâr itu. Dan di masa kekhalifahan Umar ibn al Khaththâb ada usulan agar ia diangkat kembali menjadi imam shalat, tetapi Umar menolak dengan alasan: “Bukankah ia adalah imamnya kaum munafikin di masjid Dhirâr!” Dan setelah ia berasalan di hadapan Umar bahwa ia tidak tau apa-apa tentang niatan jahat mereka. Ia hanya diminta memimpin mereka shalat maka ia lakukan, maka Umar pun mengizinkan kembali.
Ibnu Jakfari berkata:
Selain nama-nama yang telah saya sebutkan banyak nama lainnya yang dibongkar Ibnu Hisyâm dalam kitab Sirâh-nya hal mana menimbulkan pertanyaan serius, bagaimana di kalangan sahabat Anshar kok ada yang munafik? Bukankah mereka semua itu ‘udûl?
Lalu bagaimana nasib doktrin yang selama ini disakralkan bahwa semua sahabat Nabi saw. itu‘udûl?
Lalu apakah ada pula kaum munafik dari suku Quraisy yang selama bertahun-tahun getol memerangi Nabi Muhammad saw. dan hanya terpaksa berhenti berterang-terangan memerangi Nabi saw. ketika mereka ditaklukkan dengan ditaklukkannya kota suci Mekkkah?
Sementara ada ayat yang sangat serius turun untuk sebagian mereka, khususnya aimmatul kufri, para pembesar kafir Quraisy yang selalu menjadi pelopor dalam memerangi Nabi saw…
Allah SWT berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُوْنَ خَتَمَ اللّهُ عَلَى قُلُوْبِهمْ وَ عَلَى سَمْعِهِمْ وَ عَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَ لَهُمْ عَذَابٌ عظِيْمٌ
“Sesungguhnya orang-orang kafir tidak berbeda bagi mereka, baik engkau memberikan peringatan kepada mereka atau tidak; mereka tidak akan beriman* Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka (dihalangi oleh) sebuah penutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat. ” (QS. Al Baqarah [2];6-7).
Para mufassirin, di antaranya adalah Ibnu Jarîr ath Thabari, Ibnu Mundzir dan ibnu Abi Hâtim meriwayatkan bahwa kedua ayat ini turun berkaitan dengan para pembesar kafir Quraisy, di antaranya adalah Abu Sufyân [9] (ayah Mu’awiyah dan kakek Yazid serta suami Hindun si pengunyah jantung Sayyidina Hamzah; paman Nabi saw.) dan al Hakam ibn al ‘Âsh (moyang para penguasa bani Marwân/dinasti Umayyah)[10].
Jadi pertanyaan yang mungkin muncul ialah: mungkinkah orang-orang yang oleh Allah divonis tidak akan beriman: Sesungguhnya orang-orang kafir tidak berbeda bagi mereka, baik engkau memberikan peringatan kepada mereka atau tidak; mereka tidak akan beriman, dan telah dikabarkan bahwa Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka (dihalangi oleh) sebuah penutup, mungkinkah mereka itu akan beriman dengan sepenuh hati?
Mereka tidak mungkin akan beriman dengan tulus walaupun mereka mengikrarkannya dengan lisan!
Selain itu, Anda berhak mempertanyakan, mengapakah hanya kaum Anshar saja yang menjadi bulan-bulanan pembongkaran data kemunafikan ini?
Dan terakhir yang menarik untuk diteliti adalah mengapakah maraknya terma munafik dan kenufikan itu hanya ada di masa hidup Nabi saw. saja, sementara, sepeninggal beliau seakan tidak ada lagi kaum munafikin! Lalu kemanakah mereka itu?
Apakah mereka kini, sepeninggal Nabi saw. mendadak berubah menjadi kaum Mukminin yang tulus keimanannya?
Lalu apakah yang menghalangi mereka di masa hidup Nabi saw. untuk menjadi mukmin sejati?
Apakah keberadaan Nabi saw. di tengah-tengah mereka dengan serba-serbi mu’jizat yang beliau miliki jusretu menghalangi mereka dari beriman dengan tulus?
Mengapa? Mungkinkah keberadaan beliau ssaw. menjadi penghalang bagi keimanan mereka?
Jika keberadaan Nabi saw. menjadi penghalang bagi keimanan mereka, lalu siapakah yang dapat menjadi pelancar keimanan kaum munafikin itu?
Atau justru, kekuasaan menuntut kita untuk merahasiakan nama dan data kaum munafik, karena mereka kini berpartisipasi dalam kabinet gotong royong pemerintahan “Saqifah Group”?
Atau kini kemunafikan telah tidak lagi menjadi trend yang digemari kaum munafikin, sebab berterang-terang dalam menampakkan kekafiran tidak menjadi apa-apa, ia sudah menjadi fenomena biasa yang ditoleransi?
Atau ada alasan lain, lastu adri!
Wallahu A’lam Bihaqîqatil Umûr.
Catatan Kaki:
[1] Para ulama Ahlsunnah mendefenisikan Sahabat dengan: Setiap orang yang melihat Nabi saw. dalam keadaan Muslim walaupun hanya melihatnya sebentar saja. Lebih lanjut baca: Syarah Imam Nawawi atas Shahih Muslim,16/85.
[2] Musnad Ahmad,4/83 hadis dengan nomer urut:16810 dan Musnad ath Thayâlisi,1/128 hadis dengan nomer urut:949.
[3] Shahih Muslim,4/2143 hadis dengan nomer urut 2779.
[4] Târîkh ath Thabari,2/60. Demikian juga dalam peparangan Tabûk ada sekitar delapan puluh sahabat sengaja absen tidak mau ikut serta bergabung bersama pasukan kaum Muslimin. (Baca Fathu al Bâri,8/113).
[5] Suku Aus dan Khazraj adalah dua suku yang membentuk masyarakat kota madinah yang menyambut Nabi saw… yang kemudian mereka disebut dengan nama Al anshar.
[6] Ada yang mengatakan bahwa ia hanya membunuh al Mujadzdzar seorang.
[7] Ketarngan selengkapnya dipersilahlkan dirujuk dalam Sirah Ibnu Hisyam.
[8] Bisa jadi ia bukan suku bani Dhabî’ah ibn Zaid yang telah disebutkan sebelumnya.
[9] Para sejarawan Islam seperti ath Thabari melaporkan bahwa dalam peperangan Hunain, ketika Abu Sufyan ikut serta bersama para sahabat lainnya (tentunya setelah ia mengikrarkan syahadatain dengan lisan kerena terpaksa sebagai syarat formal menjadi sahabat Nabi saw. yang diyakini kaadilannya oleh Ahlusunnah), ia menanti-nantikan saat kekalahan kaum Muslimin dan ia selalu membawa serta azlâm, arca-arca kecil sesembahannya. (Târîkh ath Thabari,2/168). Abu Sufyan, Hakîm ibn Hizâm dan Shafwân ibn Umayyah –mereka adalah gembong kagfir Quraisy yang terpaksa mengikrarkan syahadatain- mereka menanti-nanti kekalahan atas kaum Muslimin. (Mushannaf; Ibnu Abi Syaibah,7/418 hadis dengan nomer urut:36996.)
[10] Dalam banyak hadis, seperti diriwayatkan ulama dari Aisyah dan lain bahwa Nabi saw. telah mengutuk al Hakam dan Marwan anaknya serta keturunan dari sulbinya.
Sahabat Nabi Yang Dikatakan Munafik Dalam Shahih Muslim?
Oleh: J Algar.Judul yang sensasional, mungkin ya tapi silakan dibaca dulu dengan seksama dan berikan penilaian yang objektif. Pembicaraan seputar sahabat Nabi memang sangat sensitif, setidaknya bagi kalangan tertentu. Kenapa? Karena sahabat Nabi lebih dikenal sebagai orang-orang yang mulia, suri tauladan yang agung dan orang yang berjasa besar bagi umat Islam. Saya tidak menyangkal hal itu, tetapi seperti biasa cara berpikir fallacyus ala generalisasi yang menjangkiti sebagian orang terkadang mengundang tanda tanya bagi orang yang mau menggunakan akalnya. Mereka beranggapan bahwa sahabat Nabi tidak boleh dikritik, barang siapa yang berani mengkritik sahabat Nabi maka tak peduli kritikannya benar atau tidak, ia akan dianggap telah mencela sahabat Nabi.
Singkat cerita mencela sahabat Nabi akan dianggap zindiq minimal sesat. Apa jadinya jika mereka menemukan dalam kitab-kitab shahih terdapat kritikan terhadap Sahabat Nabi?. Mereka akan menolak, menakwilkan, berdalih atau apapun, intinya anda salah mereka benar dan Sahabat Nabi selalu mulia. Bagaimana jika ada yang mengatakan bahwa diantara Sahabat Nabi terdapat orang-orang munafik?. Oooh sudah pasti orang tersebut pasti akan mendapat cap sesat dhalalah bin dhalalah.
Dalam kitab Shahih Muslim 4/2143 no 2779 (9) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi disebutkan bahwa diantara sahabat Nabi terdapat orang munafik.
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا أسود بن عامر حدثنا شعبة بن الحجاج عن قتادة عن أبي نضرة عن قيس قال قلت لعمار أرأيتم صنيعكم هذا الذي صنعتم في أمر علي أرأيا رأيتموه أو شيئا عهده إليكم رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ فقال ما عهد إلينا رسول الله صلى الله عليه و سلم شيئا لم يعهده إلى الناس كافة ولكن حذيفة أخبرني عن النبي صلى الله عليه و سلم قال قال النبي صلى الله عليه و سلم في أصحابي اثنا عشر منافقا فيهم ثمانية لا يدخلون الجنة حتى يلج الجمل في سم الخياط ثمانية منهم تكفيكهم الدبيلة وأربعة لم أحفظ ما قال شعبة فيهم
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Aswad bin Amir yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah bin Hajjaj dari Qatadah dari Abi Nadhrah dari Qais yang berkata “saya pernah bertanya kepada Ammar, bagaimana pendapatmu tentang perang terhadap Ali? Atau bagaimana pesan yang disampaikan Rasulullah SAW kepadamu?. Ammar menjawab “Rasulullah SAW tidak pernah menyampaikan pesan kepada kami suatu pesan yang tidak Beliau sampaikan juga kepada orang-orang”. Saya diberitahu oleh Huzaifah dari Nabi SAW yang bersabda “Di antara SahabatKu ada dua belas orang munafik. Di antara mereka ada delapan orang yang tidak akan masuk surga sampai unta masuk ke lubang jarum”. Delapan orang diantara mereka akan mendapat Dubailah, sedangkan empat lainnya aku tidak hafal yang dikatakan Syu’bah tentang mereka.
Matan hadis Shahih Muslim di atas menyatakan bahwa Rasulullah SAW sendiri yang menyebutkan ada sahabat Beliau yang munafik. Sudah menjadi kenyataan bahwa dalil sejelas apapun selalu bisa dicari-cari penolakannya. Mereka yang menolak ada sahabat Nabi munafik mengatakan bahwa hadis Shahih Muslim di atas menceritakan bahwa ada dua belas orang munafik dari Umat Nabi SAW dan mereka bukanlah sahabat Nabi SAW. Mereka berdalih dengan hadis berikutnya dalam Shahih Muslim 4/2143 no 2779 (10) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi.
حدثنا محمد بن المثنى ومحمد بن بشار ( واللفظ لابن المثنى ) قالا حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن قتادة عن أبي نضرة عن قيس بن عباد قال قلنا لعمار أرأيت قتالكم أرأيا رأيتموه ؟ فإن الرأي يخطئ ويصيب أو عهدا عهده إليكم رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ فقال ما عهد إلينا رسول الله صلى الله عليه و سلم شيئا لم يعهده إلى الناس كافة وقال إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال إن في أمتي قال شعبة وأحسبه قال حدثني حذيفة وقال غندر أراه قال في أمتي اثنا عشر منافقا لا يدخلون الجنة ولا يجدون ريحها حتى يلج الجمل في سم الخياط ثمانية منهم تكفيكهم الدبيلة سراج من النار يظهر في أكتافهم حتى ينجم من صدورهم
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Muhammad bin Bisyr (lafaz ini lafaz Al Mutsanna) yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Qatadah dari Abi Nadhrah dari Qais bin Abad yang berkata “saya bertanya kepada Ammar, bagaimana pendapatmu tentang perang yang kamu lakukan? Karena pendapat itu bisa benar dan bisa salah. Atau bagaimana pesan yang disampaikan Rasulullah SAW kepadamu?. Ammar menjawab “ Rasulullah SAW tidak pernah menyampaikan pesan kepada kami yang tidak Beliau sampaikan pula kepada orang-orang. Ammar berkata “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda “bahwa diantara umatku”. Syu’bah berkata Ammar berkata telah diberitahu Huzaifah dan Ghundar berkata “saya melihat Rasulullah SAW bersabda “Diantara umatKu ada dua belas orang munafik yang tidak akan masuk surga bahkan mereka tidak mencium bau surga hingga unta masuk ke lubang jarum. Delapan orang diantara mereka akan mendapat Dubailah yaitu api yang menyengat punggung mereka hingga tembus ke dada.
Kedua hadis Shahih Muslim diatas adalah Shahih, tetapi dalih sebagian orang bahwa dua belas orang munafik itu bukan sahabat Nabi tetapi Umat Nabi tidak bisa diterima begitu saja. Justru jika kita menerima keshahihan kedua hadis ini maka tidak ada pertentangan antara hadis yang satu dengan yang lain hingga kita harus menolak salah satunya:
1. Hadis yang satu menyatakan Di antara SahabatKu ada dua belas orang munafik.
2. Hadis yang lain menyatakan Diantara UmatKu ada dua belas orang munafik.
Coba pikirkan dengan baik, mengapa harus dikatakan bahwa orang munafik itu ada di antara Umat Nabi tetapi bukan Sahabat Nabi. Apakah sahabat Nabi bukan termasuk Umat Nabi?. Kalau bukan lantas umat siapa, kalau iya maka penyelesaiannya mudah. Hadis yang menyebutkan kata SahabatKu adalah penjelasan yang mengkhususkan dari hadis dengan kata UmatKu. Sehingga makna hadis tersebut adalah diantara Umat Nabi SAW yaitu dari kalangan Sahabat Nabi ada dua belas orang munafik. Makna ini sesuai dengan kedua hadis di atas dan tidak menolak atau menyangkal salah satu hadis. Berbeda dengan penakwilan bahwa dua belas orang munafik itu diantara Umat Nabi tetapi bukan sahabat Nabi, karena penakwilan ini dengan terpaksa telah menentang hadis yang shahih dan jelas yaitu hadis dengan lafaz SahabatKu. Begitulah adanya, dan silakan direnungkan.
Fakta Bukti 10 Sahabat yang Dijamin Masuk Surga, Benarkah???
Sunni Wahabi mengatakan 10 Sahabat yang Dijamin Masuk Surga sebagai berikut:
بسم الله الرحمن الرحيم
Ada sepuluh orang dari sahabat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang dijamin pasti masuk ke dalam surga. Nama-nama mereka tersebut di dalam hadits yang shahih berikut ini:
عن عبد الرحمن بن عوفقال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أبو بكر في الجنة وعمر في الجنة وعثمان فيالجنة وعلي في الجنة وطلحة في الجنة والزبير في الجنة وعبد الرحمن بن عوف في الجنةوسعد في الجنة وسعيد في الجنة وأبو عبيدة بن الجراح في الجنة
“Dari Abdurrahman bin ‘Auf, dia berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: Abu Bakr di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, Az Zubair di surga, Abdurrahman bin ‘Auf di surga, Sa’d di surga, Sa’id di surga, dan Abu Ubaidah ibnul Jarrah di surga.” [HR At Tirmidzi (3747), hadits shahih].
Berikut ini perincian nama-nama mereka yang tersebut di dalam hadits:
1. Abu Bakr, yaitu Abdullah bin Utsman At Taimi, digelari dengan Ash Shiddiq Al Akbar. Wafat pada bulan Jumadil Awal tahun 13 H pada umur 63 tahun.
2. Umar, yaitu ibnul Khaththab Al ‘Adawi, Abu Hafsh, digelari dengan Al Faruq. Syahid pada bulan Dzulhijjah tahun 23 H.
3. Utsman, yaitu bin Affan Al Umawi, Abu Abdillah, digelari dengan Dzunnurain. Syahid pada bulan Dzulhijjah setelah Idul Adha tahun 35 H dalam umur sekitar 80 tahun.
4. Ali, yaitu bin Abi Thalib Al Hasyimi, Abul Hasan, digelari dengan Abu Turob. Anak paman Nabi صلى الله عليه وسلم dan suami dari anak perempuannya, yaitu Fatimah radhiallahu ‘anha. Syahid pada bulan Ramadhan tahun 40 H pada umur 63 tahun.
5. Thalhah, yaitu bin Ubaidillah At Taimi, Abu Muhammad. Digelari dengan Thalhah Al Fayyadh. Syahid pada perang Jamal tahun 36 H dalam umur 63 tahun.
6. Az Zubair, yaitu ibnul ‘Awwam Al Asadi, Abu Abdillah. Syahid pada tahun 36 H setelah pulang dari perang Jamal.
7. Sa’d, yaitu bin Abi Waqqash Az Zuhri, Abu Ishaq. Orang yang paling pertama memanah dalam perang jihad fi sabilillah. Wafat di ‘Aqiq pada tahun 55 H. Beliau adalah yang paling terakhir meninggal di antara sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga.
8. Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Muhammad Az Zuhri. Termasuk sahabat yang paling dahulu masuk Islam. Wafat pada tahun 32 H.
9. Sa’id, yaitu bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail Al ‘Adawi, Abul A’war. Wafat pada sekitar tahun 50 H.
10. Abu Ubaidah ibnul Jarrah, yaitu Amir bin Abdillah Al Fihri. Digelari dengan Aminu Hadzihil Ummah (Orang yang sangat terpercaya di umat ini). Termasuk dari anggota pasukan Perang Badr. Wafat syahid disebabkan oleh wabah menular Amwas pada tahun 18 H dalam umur 58 tahun.
*****
Jawaban Kami sebagai berikut:
Mari baca disini
1. Kesalahan Abu Bakar: Abu Bakr Dan Umar Bukanlah Kafir Sebagaimana Yg Termaktub Dlm Kitab-Kitab Syiah.Benarkah Demikian syiah menganggapnya kafir? Lalu Dimana letak kesalahan Abu bakar yang merasa dirinya sahabat Utama. Mari kita lihat Kesalahan Abu Bakar.
2. Kesalahan Umar Bin Khattab: Kesalahan Umar bin Khathab
Meneladani Para Sahabat yang Dijamin Surga.
Artikel ini mengoreksi buku ini :
Judul : 10 Sahabat yang Dijamin Masuk Surga.
Penulis : Abdus Sattar As-Syaikh.
Cetakan pertama : April 2011.
Penerbit : Darus Sunnah Press.
Tebal : 964 Halaman.
Buku ini keliru menyebut Abubakar-Umar dan usman dijamin SURGA !!!
Syi’ah Yang Sezaman dengan Nabi SAW dikaitkan dengan QS. Al-Bayyinah:7-8:
(1) Abu Dzar Al Ghifari,
(2) Salman al Farisi,
(3) AlMiqdad bin al Aswad al Kindi
(4) ‘Ammar bin Yasir.
Mengutip dari hadis yang diriwayatkan oleh Al Hafizh Abu Na’im, yangmeriwayatkan dengan sanad dari IbnuAbbas, ketika turun ayat yang mulia: ” Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh mereka itu sebaik-baik makhluk” (QS. Al-Bayyinah:7-8), kemudian Rasulullah saw bersabda kepada Ali bin AbiThalib, “Wahai Ali, itu adalah engkau dan syi’ahmu…”.
“Manifestasi pengejawantahan syi’ah awal ini muncul usai wafatnya Rasulullah SAWW, sebagai bentuk loyalitas dan kepatuhan para sahabat kepadaRasulullah SAW yang telah menetapkan Ali Bin Abi Talib (Ahlul Ba’it Rasulullah SAW dan Ittrah Rasulullah SAW ) – di Ghadir Kum – sebagai yangharus di patuhi pasca beliau SAW tiada.
Seorang ulama ahlu sunnah bernama Abu Hatim ar Razi dalam kitabnya al-Zinah, menuliskan, nama pertama yang diberikan dalam Islam sebagai julukan bagi sekelompok orang pada masa Rasulullah SAW masih hidup sebagi Syi’ah adalah (1) Abu Dzar Al Ghifari, (2) Salman al Farisi, (3) AlMiqdad bin al Aswad al Kindi (4) ‘Ammar bin Yasir.
Ayatullah Sayyid Muhammad al Musawi mengomentari hal tersebut sebagai berikut, “…mereka adalah sahabat yang ikhlas, mereka mendengar Nabi SAW bersabda, “Syiah Ali adalah makhluk terbaik dan mereka adalah orang-orangyang beroleh kemenangan “, oleh karena itu mereka bangga menjadi bagian darimakhluk terbaik itu, dan mereka dikenal di kalangan sahabat dengan julukan syi’ah.
Di berbagai kesempatan Rasulullah SAW banyak memuji ke empatsahabat –syi’ah awal- tersebut, diantaranya :
1. Sunan Tirmidzi 5/636 no 3718 menuliskanDiriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengatakan kalau Allah SWT memerintahkan Beliau untuk mencintai empat orang sahabat dan Rasulullah SAW juga diberitahubahwa Allah SWT mencintai keempat sahabat tersebut. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW siapakah keempat sahabat yang mendapatkeistimewaan seperti itu. Rasulullah SAW menyebutkan bahwa mereka adalah Ali RA, Abu Dzar RA, Miqdad bin Aswad RA, dan Salman Al Farisi RA. Hadis ini diriwayatkan dalam,. Berikut hadis riwayat Tirmidzi :
حدثنا إسماعيل بن موسىالفزاري ابن بنت السدي حدثنا شريك عن أبي ربيعة عن ابن بريدة عن أبيه قال قال رسولالله صلى الله عليه و سلم إن الله أمرني بحب أربعة وأخبرني أنه يحبهم قيل يا رسولالله سمهم لنا قال علي منهم يقول ذلك ثلاثا و أبو ذر المقداد و سلمان أمرنيبحبهم وأخبرني أنه يحبهم
Telah menceritakan kepada kami Ismail binMusa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kamiSyarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
2. Sunan Ibnu Majah 1/53 no 149 (Dengan redaksi sama dengan di atas).
حدثنا إسماعيل بن موسى الفزاري ابن بنت السدي حدثنا شريك عن أبيربيعة عن ابن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن الله أمرنيبحب أربعة وأخبرني أنه يحبهم قيل يا رسول الله سمهم لنا قال علي منهم يقول ذلك ثلاثاو أبو ذر المقداد و سلمان أمرني بحبهم وأخبرني أنه يحبهم
Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
3. Musnad Ahmad 5/351 no 23018 (Dengan redaksi sama dengan no.1).
حدثنا إسماعيل بن موسى الفزاري ابن بنت السدي حدثنا شريك عنأبي ربيعة عن ابن بريدة عن أبيه قال قال رسو الله صلى الله عليه و سلم إن اللهأمرني بحب أربعة وأخبرني أنه يحبهم قيل يا رسول الله سمهم لنا قال علي منهم يقولذلك ثلاثا و أبو ذر المقداد و سلمان أمرني بحبهم وأخبرني أنه يحبهم
Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai. Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
4. Mustadrak Al Hakim 3/130 no 4649 (Dengan redaksi sama dengan no 1).
حدثنا إسماعيل بن موسى الفزاري ابن بنت السدي حدثنا شريك عنأبي ربيعة عن ابن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن اللهأمرني بحب أربعة وأخبرني أنه يحبهم قيل يا رسول الله سمهم لنا قال علي منهم يقولذلك ثلاثا و أبو ذر المقداد و سلمان أمرني بحبهم وأخبرني أنه يحبهم
5. Al Kuna Al Bukhari 1/31 no 271 Dengan redaksi samadengan no 1).
حدثنا إسماعيل بن موسى الفزاري ابن بنت السدي حدثنا شريك عنأبي ربيعة عن ابن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن اللهأمرني بحب أربعة وأخبرني أنه يحبهم قيل يا رسول الله سمهم لنا قال علي منهم يقولذلك ثلاثا و أبو ذر المقداد و سلمان أمرني بحبهم وأخبرني أنه يحبهم
Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
6. Tarikh Ibnu Asakir 21/409. )
حدثنا إسماعيل بن موسىالفزاري ابن بنت السدي حدثنا شريك عن أبي ربيعة عن ابن بريدة عن أبيه قال قال رسولالله صلى الله عليه و سلم إن الله أمرني بحب أربعة وأخبرني أنه يحبهم قيل يا رسولالله سمهم لنا قال علي منهم يقول ذلك ثلاثا و أبو ذر المقداد و سلمان أمرني بحبهموأخبرني أنه يحبهم
Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al-Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarikdari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empatorang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkanitu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
7. Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya.
حدثنا عبد اللهحدثني أبي ثنا بن نمير عن شريك ثنا أبو ربيعة عن بن بريدة عن أبيه قال قال رسولالله صلى الله عليه و سلم ان الله عز و جل يحب من أصحابي أربعة أخبرني انه يحبهموأمرني ان أحبهم قالوا من هم يا رسول الله قال ان عليا منهم وأبو ذر الغفاريوسلمان الفارسي والمقداد بن الأسود الكندي
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dari Syarik yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata Rasulullah SAW bersabda “sesungguhnya Allah Azza wajalla mencintai empat orang dari sahabatKu. Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia mencintai Mereka dan memerintahkanKu untuk mencintai Mereka. Para sahabat berkata “siapa mereka wahai Rasulullah?”. Rasulullah SAW berkata”Ali diantaranya, Abu Dzar Al Ghiffari, Salman Al Farisi dan Miqdad bin Aswad Al Kindi.
8. Al Hafizh Abu Na’im, dalam Hilayah al Awliyajilid I hlm 172 meriwayatkan dari Buraidah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadaku untuk mencintai empat orang. Dia memberitahukan kepadaku bahwa Dia mencintai mereka, lalu ditanyakan, “Siapa mereka itu ?” Rasulullah saw menjawab, “Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, AbuDzar, al Miqdad dan Salman.
9. Ibnu Hajar al Makki dalam kitabnya al Shawa’iq alMuhriqah, dalam hadis ke lima dari empat puluh hadis yang menukil tentangkeutamaan Ali bin Abi Thalib meriwayatkan hadis dari Turmudizi dan al Hakimdari Buraidah bahwa Rasulullah saw bersabda, ” Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadaku untuk mencintai empat orang. Dia memberitahukan kepadaku bahwa Dia mencintai mereka, lalu ditanyakan, “Siapa mereka itu ?” Rasulullah saw menjawab, “Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar, al Miqdad dan Salman.
10. Ibnu Hajar al Makki dalam kitabnya al Shawa’iq alMuhriqah dalam hadis nomor 29 menukil dari Turmudzi dan al Hakim dari Anas binMalik, bahwa Rasulullah saw bersabda :”Surga merindukan tiga orang, mereka adalah Ali, Ammar dan Salman”.
11. Ibn Maghazali al Syafi’i dalam Manaqib ‘Ali bin Abi Thalib hadis no 331, meriwayatkan hadis dengan sanadnya dari Buraidah: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai empat orang dari sahabatku. Allah mengabarkan bahwa Dia mencintai mereka dan Dia memerintahkan kepadaku untuk mencintai mereka,” Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah saw?” Beliau menjawab, “Mereka adalah Ali, Abu Dzar, Salman dan al Miqdad bin al Aswad al-Kindi” Imam Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan dalam Musnad 5/351dengan sanad dari Muhammad bin al Thufail dari syarik. Al Hakim meriwayatkan dalam al Mustadrak 3/30 melalui Imam Ahmad bin Hanbal darial Aswad bin ‘Amir dan Abdullah bin Numair yang disahihkan oleh al-Dzahabi dalam Talkhis. Al Hafizh al Qazwini meriwayatkan pula dalam Sunan alMushthafa 1/52.
Jadi hati-hati mengatakan Syi’ah itu sesat, karena akan kembali kepada dirimu sendiri …
Tidak seperti yang 10, Inilah 4 orang yang dijanjikan Surga dan tidak ada seorang Ulama pun yang berselisih paham.
Ada banyak hadits yang memberitakan tentang adanya 4 sahabat Rasulillah SAWW yang dijamin Surga dan terbukti hingga akhir hayat mereka kisah perjalanan hidup mereka telah membuktikan ke shahihan hadits ini, beda dengan hadits 10 orang dijamin masuk surga, perilaku hidup sebagian dari mereka tidak mecerminkan perilaku orang yang dijamin sesungguhnya.
Adapun beberapa hadits yang bisa dirujuk adalah:
1. Musnad Ahmad 5/351 no 23018 (Dengan redaksi sama dengan no.1)
حدثنا إسماعيل بن موسى الفزاري ابن بنت السدي حدثنا شريك عن أبي ربيعة عن ابن بريدة عن أبيه قال قال رسو الله صلى الله عليه و سلم إن الله أمرني بحب أربعة وأخبرني أنه يحبهم قيل يا رسول الله سمهم لنا قال علي منهم يقول ذلك ثلاثا و أبو ذر المقداد و سلمان أمرني بحبهم وأخبرني أنه يحبهم
Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
2. Sunan Tirmidzi 5/636 no 3718 menuliskan Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengatakan kalau Allah SWT memerintahkan Beliau untuk mencintai empat orang sahabat dan Rasulullah SAW juga diberitahu bahwa Allah SWT mencintai keempat sahabat tersebut. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW siapakah keempat sahabat yang mendapat keistimewaan seperti itu. Rasulullah SAW menyebutkan bahwa mereka adalah Ali RA, Abu Dzar RA, Miqdad bin Aswad RA, dan Salman Al Farisi RA. Hadis ini diriwayatkan dalam,. Berikut hadis riwayat Tirmidzi :
حدثنا إسماعيل بن موسى الفزاري ابن بنت السدي حدثنا شريك عن أبي ربيعة عن ابن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن الله أمرني بحب أربعة وأخبرني أنه يحبهم قيل يا رسول الله سمهم لنا قال علي منهم يقول ذلك ثلاثا و أبو ذر المقداد و سلمان أمرني بحبهم وأخبرني أنه يحبهم
Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
3. Mustadrak Al Hakim 3/130 no 4649 (Dengan redaksi sama dengan no 1).
حدثنا إسماعيل بن موسى الفزاري ابن بنت السدي حدثنا شريك عن أبي ربيعة عن ابن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن الله أمرني بحب أربعة وأخبرني أنه يحبهم قيل يا رسول الله سمهم لنا قال علي منهم يقول ذلك ثلاثا و أبو ذر المقداد و سلمان أمرني بحبهم وأخبرني أنه يحبهم
Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
Mereka yang dijanjikan yaitu : Ali (as) , Abu Dzar , Miqdad dan Salman, yang disebut terkhir adalah yang dikenal sebagai Syi’ah Ali yabna Abi Thalib AS. mereka ini tidak pernah :
1. Lari dari pertempuran baik di Uhud , Khaibar maupun Hunain.
2. Tidak membatalkan Baiat Ridwan.
3. Mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya dengan mengikuti Imam Ali KW sebagai Pemimpin mereka.
4. Penderitaan Abu Dzar (Sahabat Rasulullah Saw), Dibuang Ustman Karena Perjuangannya Mempertahankan Kebenaran Dan Keadilan Ummat.
Abu Dzar Al-Ghifari adalah salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. yang paling tidak disukai oleh oknum-oknum Bani Umayyah yang mendominasi pemerintahan Khalifah Utsman r.a., seperti Marwan bin Al-Hakam, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain.
Ia berasal dari qabilah Bani Ghifar. Suatu qabilah yang pada masa pra-Islam terkenal amat liar, kasar dan pemberani. Tidak sedikit kafilah Arab yang lewat daerah pemukiman mereka menjadi sasaran penghadangan, pencegatan dan perampasan. Abu Dzar sendiri seorang pemimpin terkemuka di kalangan mereka.
Ia mempunyai sifat-sifat pemberani, terus terang dan jujur. Ia tidak menyembunyikan sesuatu yang menjadi pemikiran dan pendiriannya.
Ia mendapat hidayat Allah s.w.t. dan memeluk Islam di kala Rasul Allah s.a.w. menyebarkan da’wah risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang lebih oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar tanpa menghitung-hitung resiko mengumumkan secara terang-terangan keislamannya di hadapan orang-orang kafir Qureiys. Sekembalinya ke daerah pemukimannya dari Makkah, Abu Dzar berhasil mengajak semua anggota qabilahnya memeluk agama Islam. Bahkan qabilah lain yang berdekatan, yaitu qabilah Aslam, berhasil pula di Islamkan.
Demikian gigih, berani dan cepatnya Abu Dzar bergerak menyebarkan Islam, sehingga Rasul Allah s.a.w. sendiri merasa kagum dan menyatakan pujiannya. Terhadap Bani Ghifar dan Bani Aslam, Nabi Muhammad s.a.w. dengan bangga mengucapkan: “Ghifar…, Allah telah mengampuni dosa mereka! Aslam…, Allah menyelamatkan kehidupan mereka!”
Sejak menjadi orang muslim, Abu Dzar benar-benar telah menghias sejarah hidupnya dengan bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk menegakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit memberontak terhadap penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasul Allah s.a.w. sebagai “cahaya terang benderang.”
Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan dan perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain.
Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang melaksanakan perintah Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar serius, keras dan tulus. Namun demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.
Pada suatu hari ia pernah ditanya oleh Rasul Allah s.a.w. tentang tindakan apa kira-kira yang akan diambil olehnya jika di kemudian hari ia melihat ada para penguasa yang mengangkangi harta ghanimah milik kaum muslimin. Dengan tandas Abu Dzar menjawab: “Demi Allah, yang mengutusmu membawa kebenaran, mereka akan kuhantam dengan pedangku!”
Menanggapi sikap yang tandas dari Abu Dzar ini, Nabi Muhammad s.a.w. sebagai pemimpin yang bijaksana memberi pengarahan yang tepat. Beliau berkata: “Kutunjukkan cara yang lebih baik dari itu. Sabarlah sampai engkau berjumpa dengan aku di hari kiyamat kelak!” Rasul Allah s.a.w. mencegah Abu Dzar menghunus pedang. Ia dinasehati berjuang dengan senjata lisan.
Sampai pada masa sepeninggal Rasul Allah s.a.w., Abu Dzar tetap berpegang teguh pada nasehat beliau. Di masa Khalifah Abu Bakar r.a. gejala-gejala sosial ekonomi yang dicanangkan oleh Rasul Allah s.a.w. belum muncul. Pada masa Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a., berkat ketegasan dan keketatannya dalam bertindak mengawasi para pejabat pemerintahan dan kaum muslimin, penyakit berlomba mengejar kekayaan tidak sempat berkembang di kalangan masyarakat. Tetapi pada masa-masa terakhir pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan r.a., penyakit yang membahayakan kesentosaan ummat itu bermunculan laksana cendawan di musim hujan. Khalifah Utsman bin Affan r.a. sendiri tidak berdaya menanggulanginya. Nampaknya karena usia Khalifah Utsman r.a. sudah lanjut, serta pemerintahannya didominasi sepenuhnya oleh para pembantunya sendiri yang terdiri dari golongan Bani Umayyah.
Pada waktu itu tidak sedikit sahabat Rasul Allah s.a.w. yang hidup serba kekurangan, hanya karena mereka jujur dan setia kepada ajaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Sampai ada salah seorang di antara mereka yang menggadai, hanya sekedar untuk dapat membeli beberapa potong roti. Padahal para penguasa dan orang-orang yang dekat dengan pemerintahan makin bertambah kaya dan hidup bermewah-mewah. Harta ghanimah dan Baitul Mal milik kaum muslimin banyak disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongan. Di tengah-tengah keadaan seperti itu, para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan kaum muslimin pada umumnya dapat diibaratkan seperti ayam mati kelaparan di dalam lumbung padi.
Melihat gejala sosial dan ekonomi yang bertentangan dengan ajaran Islam, Abu Dzar Al-Ghifari sangat resah. Ia tidak dapat berpangku tangan membiarkan kebatilan merajalela. Ia tidak betah lagi diam di rumah, walaupun usia sudah menua. Dengan pedang terhunus ia berangkat menuju Damsyik. Di tengah jalan ia teringat kepada nasihat Rasul Allah s.a.w.: jangan menghunus pedang. Berjuang sajalah dengan lisan! Bisikan suara seperti itu terngiang-ngiang terus di telinganya. Cepat-cepat pedang dikembalikan kesarungnya.
Mulai saat itu Abu Dzar dengan senjata lidah berjuang memperingatkan para penguasa dan orang-orang yang sudah tenggelam dalam perebutan harta kekayaan. Ia berseru supaya mereka kembali kepada kebenaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Pada waktu Abu Dzar bermukim di Syam, ia selalu memperingatkan orang: “Barang siapa yang menimbun emas dan perak dan tidak menginfaqkannya di jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksa yang Pedih Pada hari kiamat.
Di Syam Abu Dzar memperoleh banyak pendukung. Umumnya terdiri dari fakir miskin dan orang-orang yang hidup sengsara. Makin hari pengaruh kampanyenya makin meluas. Kampanye Abu Dzar ini merupakan suatu gerakan sosial yang menuntut ditegakkannya kembali prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, sesuai dengan perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya.
Muawiyah bin Abi Sufyan, yang menjabat kedudukan sebagai penguasa daerah Syam, memandang kegiatan Abu Dzar sebagai bahaya yang dapat mengancam kedudukannya. Untuk membendung kegiatan Abu Dzar, Muawiyyah menempuh berbagai cara guna mengurangi pengaruh kampanyenya. Tindakan Muawiyyah itu tidak mengendorkan atau mengecilkan hati Abu Dzar. Ia tetap berkeliling kemana-mana, sambil berseru kepada setiap orang: “Aku sungguh heran melihat orang yang di rumahnya tidak mempunyai makanan, tetapi ia tidak mau keluar menghunus pedang!”
Seruan Abu Dzar yang mengancam itu menyebabkan makin banyak lagi jumlah kaum muslimin yang menjadi pendukungnya. Bersama dengan itu para penguasa dan kaum hartawan yang telah memperkaya diri dengan cara yang tidak jujur, sangat cemas.
Keberanian Abu Dzar dalam berjuang tidak hanya dapat dibuktikan dengan pedang, tetapi lidahnya pun dipergunakan untuk membela kebenaran. Di mana-mana ia menyerukan ajaran-ajaran kemasyarakatan yang pernah didengarnya sendiri dari Rasul Allah s.a.w.: “Semua manusia adalah sama hak dan sama derajat laksana gigi sisir…,” “Tak ada manusia yang lebih afdhal selain yang lebih besar taqwanya…”, “Penguasa adalah abdi masyarakat,” “Tiap orang dari kalian adalah penggembala, dan tiap penggembala bertanggung jawab atas kegembalaannya….” dan lain sebagainya.
Para penguasa Bani Umayyah dan orang-orang yang bergelimang dalam kehidupan mewah sangat kecut menyaksikan kegiatan Abu Dzar. Hati nuraninya mengakui kebenaran Abu Dzar, tetapi lidah dan tangan mereka bergerak di luar bisikan hati nurani. Abu Dzar dimusuhi dan kepadanya dilancarkan berbagai tuduhan. Tuduhan-tuduhan mereka itu tidak dihiraukan oleh Abu Dzar. Ia makin bertambah berani.
Pada suatu hari dengan sengaja ia menghadap Muawiyah, penguasa daerah Syam. Dengan tandas ia menanyakan tentang kekayaan dan rumah milik Muawiyyah yang ditinggalkan di Makkah sejak ia menjadi penguasa Syam. Kemudian dengan tanpa rasa takut sedikit pun ditanyakan pula asal-usul kekayaan Muawiyyah yang sekarang! Sambil menuding Abu Dzar berkata: “Bukankah kalian itu yang oleh Al-Qur’an disebut sebagai penumpuk emas dan perak, dan yang akan dibakar tubuh dan mukanya pada hari kiyamat dengan api neraka?!”
Betapa pengapnya Muawiyah mendengar kata-kata Abu Dzar yang terus terang itu! Muaw iyah bin Abu Sufyan memang bukan orang biasa. Ia penguasa. Dengan kekuasaan di tangan ia dapat berbuat apa saja. Abu Dzar dianggap sangat berbahaya. Ia harus disingkirkan. Segera ditulis sepucuk surat kepada Khalifah Utsman r.a. di Madinah. Dalam surat itu Muawiyah melaporkan tentang Abu Dzar menghasut orang banyak di Syam. Disarankan supaya Khalifah mengambil salah satu tindakan. Berikan kekayaan atau kedudukan kepada Abu Dzar. Jika Abu Dzar menolak dan tetap hendak meneruskan kampanyenya, kucilkan saja di pembuangan.
Khalifah Utsman r.a. melaksanakan surat Muawiyah itu. Abu Dzar dipanggil menghadap. Kepada Abu Dzar diajukan dua pilihan: kekayaan atau kedudukan. Menanggapi tawaran Khalifah itu, Abu Dzar dengan singkat dan jelas berkata: “Aku tidak membutuhkan duniamu!”
Khalifah Utsman r.a. masih terus menghimbau Abu Dzar. Dikemukakannya: “Tinggal sajalah di sampingku!”
Sekali lagi Abu Dzar mengulangi kata-katanya: “Aku tidak membutuhkan duniamu!”
Sebagai orang yang hidup zuhud dan taqwa, Abu Dzar berjuang semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Abu Dzar hanya menghendaki supaya kebenaran dan keadilan Allah ditegakkan, seperti yang dulu telah dilaksanakan oleh Rasul Allah s.a.w., Khalifah Abu Bakar r.a. dan Khalifah Umar r.a. Memang justru itulah yang sangat sukar dilaksanakan oleh Khalifah Utsman r.a., sebab ia harus memotong urat nadi para pembantu dan para penguasa bawahannya.
Abu Dzar tidak bergeser sedikit pun dari pendiriannya. Akhirnya, atas desakan dan tekanan para pembantu dan para penguasa Bani Umayyah,Khalifah Utsman r.a. mengambil keputusan: Abu Dzar harus dikucilkan dalam pembuangan di Rabadzah. Tak boleh ada seorang pun mengajaknya berbicara dan tak boleh ada seorang pun yang mengucapkan selamat jalan atau mengantarkannya dalam perjalanan.
Bagi Abu Dzar pembuangan bukan apa-apa. Sekuku-hitam pun ia tidak syak, bahwa Allah s.w.t. selalu bersama dia. Kapan saja dan di mana saja. Menanggapi keputusan Khalifah Utsman r.a. ia berkata: “Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di kayu salib yang tinggi atau di atas bukit, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Aku pandang hal itu lebih baik bagiku. Seandainya Utsman memerintahkan aku harus berjalan dari kutub ke kutub lain, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang, hal itu lebih baik bagiku. Dan seandainya besok ia akan mengembalikan diriku ke rumah pun akan kutaati, aku akan sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang hal itu lebih baik bagiku.”
Itulah Abu Dzar Ghifari, pejuang muslim tanpa pamrih duniawi, yang semata-mata berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, demi keridhoan Al Khalik. Ia seorang pahlawan yang dengan gigih dan setia mengikuti tauladan Nabi Muhammad s.a.w. Ia seorang zahid yang penuh taqwa kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak berpangku tangan membiarkan kebatilan melanda ummat.
Peristiwa dibuangnya Abu Dzar Al Ghifari ke Rabadzah sangat mengejutkan kaum muslimin, khususnya para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. Imam Ali r.a. sangat tertusuk perasaannya. Bersama segenap anggota keluarga ia menyatakan rasa sedih dan simpatinya yang mendalam kepada Abu Dzar.
Abu Bakar Ahmad bin Abdul Aziz Al Jauhariy dalam bukunya As Saqifah, berdasarkan riwayat yang bersumber pada Ibnu Abbas, menuturkan antara lain tentang pelaksanaan keputusan Khalifah Utsman r.a. di atas:
Khalifah Utsman r.a. memerintahkan Marwan bin Al Hakam membawa Abu Dzar berangkat dan mengantarnya sampai di tengah perjalanan. Tak ada seorang pun dari penduduk yang berani mendekati Abu Dzar, kecuali Imam Ali r.a., Aqil bin Abi Thalib dan dua orang putera Imam Ali r.a., yaitu Al-Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Beserta mereka ikut pula Ammar bin Yasir.
Menjelang saat keberangkatannya, Al Hasan mengajak Abu Dzar bercakap-cakap. Mendengar itu Marwan bin Al-Hakam dengan bengis menegor: “Hai Hasan, apakah engkau tidak mengerti bahwa Amirul Mukminin melarang bercakap-cakap dengan orang ini? Kalau belum mengerti, ketahuilah sekarang!”
Melihat sikap Marwan yang kasar itu, Imam Ali r.a. tak dapat menahan letupan emosinya. Sambil membentak ia mencambuk kepala unta yang dikendarai oleh Marwan: “Pergilah engkau dari sini! Allah akan menggiringmu ke neraka.”
Sudah tentu unta yang dicambuk kepalanya itu meronta-ronta kesakitan. Marwan sangat marah, tetapi ia tidak punya keberanian melawan Imam Ali r.a. Cepat-cepat Marwan kembali menghadap Khalifah untuk mengadukan perbuatan Imam Ali r.a. Khalifah Utsman meluap karena merasa perintahnya tidak dihiraukan oleh Imam Ali r.a. dan anggota-anggota keluarganya.
Tindakan Imam Ali r.a. terhadap Marwan itu ternyata mendorong orang lain berani mendekati Abu Dzar guna mengucapkan selamat jalan. Di antara mereka itu terdapat seorang bernama Dzakwan maula Ummi Hani binti Abu Thalib.
Dzakwan di kemudian hari Menceritakan pengalamannya sebagai berikut: Aku ingat benar apa yang dikatakan oleh mereka. Kepada Abu Dzar, Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Hai Abu Dzar engkau marah demi karena Allah! Orang-orang itu, yakni para penguasa Bani Umayyah, takut kepadamu, sebab mereka takut kehilangan dunianya. Oleh karena itu mereka mengusir dan membuangmu. Demi Allah, seandainya langit dan bumi tertutup rapat bagi hamba Allah, tetapi hamba itu kemudian penuh taqwa kepada Allah, pasti ia akan dibukakan jalan keluar. Hai Abu Dzar, tidak ada yang menggembirakan hatimu selain kebenaran, dan tidak ada yang menjengkelkan hatimu selain kebatilan!”
Atas dorongan Imam Ali r.a., Aqil berkata kepada Abu Dzar: “Hai Abu Dzar, apa lagi yang hendak kukatakan kepadamu! Engkau tahu bahwa kami ini semua mencintaimu, dan kami pun tahu bahwa engkau sangat mencintai kami juga. Bertaqwa sajalah sepenuhnya kepada Allah, sebab taqwa berarti selamat. Dan bersabarlah, karena sabar sama dengan berbesar hati. Ketahuilah, tidak sabar sama artinya dengan takut, dan mengharapkan maaf dari orang lain sama artinya dengan putus asa. Oleh karena itu buanglah rasa takut dan putus asa.”
Kemudian Al-Hasan berkata kepada Abu Dzar: “Jika seorang yang hendak mengucapkan selamat jalan diharuskan diam, dan orang yang mengantarkan saudara yang berpergian harus segera pulang, tentu percakapan akan menjadi sangat sedikit, sedangkan sesal dan iba akan terus berkepanjangan. Engkau menyaksikan sendiri, banyak orang sudah datang menjumpaimu. Buang sajalah ingatan tentang kepahitan dunia, dan ingat saja kenangan manisnya. Buanglah perasaan sedih mengingat kesukaran di masa silam, dan gantikan saja dengan harapan masa mendatang. Sabarkan hati sampai kelak berjumpa dengan Nabi-mu, dan beliau itu benar-benar ridho kepadamu.”
Setelah Al Hasan, kini berkatalah Al Husein: “Hai paman, sesungguhnya Allah s.w.t. berkuasa mengubah semua yang paman alami. Tidak ada sesuatu yang lepas dari pengawasan dan kekuasaan-Nya. Mereka berusaha agar paman tidak mengganggu dunia mereka. Betapa butuhnya mereka itu kepada sesuatu yang hendak paman cegah! Berlindunglah kepada Allah s.w.t. dari keserakahan dan kecemasan. Sabar merupakan bagian dari ajaran agama dan sama artinya dengan sifat pemurah. Keserakahan tidak akan mempercepat datangnya rizki dan kebatilan tidak akan menunda datangnya ajal!”
Dengan nada marah Ammar bin Yasir menyambung: “Allah tidak akan membuat senang orang yang telah membuatmu sedih, dan tidak akan menyelamatkan orang yang menakut-nakutimu. Seandainya engkau puas melihat perbuatan mereka, tentu mereka akan menyukaimu. Yang mencegah orang supaya tidak mengatakan seperti yang kaukatakan, hanyalah orang-orang yang merasa puas dengan dunia. Orang-orang seperti itu takut menghadapi maut dan condong kepada kelompok yang berkuasa. Kekuasaan hanyalah ada pada orang-orang yang menang. Oleh karena itu banyak orang “menghadiahkan” agamanya masing-masing kepada mereka, dan sebagai imbalan, mereka memberi kesenangan duniawi kepada orang-orang itu. Dengan berbuat seperti itu, sebenarnya mereka menderita kerugian dunia dan akhirat. Bukankah itu suatu kerugian yang senyata-nyatanya?!”
Sambil berlinangan air mata Abu Dzar berkata: “Semoga Allah merahmati kalian, wahai Ahlu Baitur Rahman! Bila melihat kalian aku teringat kepada Rasul Allah s.a.w. Suka-dukaku di Madinah selalu bersama kalian. Di Hijaz aku merasa berat karena Utsman, dan di Syam aku merasa berat karena Muawiyah. Mereka tidak suka melihatku berada di tengah-tengah saudara-saudaraku di kedua tempat itu. Mereka memburuk-burukkan diriku, lalu aku diusir dan dibuang ke satu daerah, di mana aku tidak akan mempunyai penolong dan pelindung selain Allah s.w.t. Demi Allah, aku tidak menginginkan teman selain Allah s.w.t. dan bersama-Nya aku tidak takut menghadapi kesulitan…”
Tutur Dzakwan lebih lanjut: Setelah semua orang yang mengantarkan pulang, Imam Ali r.a. segera datang menghadap Khalifah Utsman bin Affan r.a. Kepada Imam Ali r.a. Khalifah bertanya dengan hati gusar: “Mengapa engkau berani mengusir pulang petugasku –yakni Marwan– dan meremehkan perintahku?”
“Tentang petugasmu,” jawab Imam Ali r.a. dengan tenang “ia mencoba menghalang-halangi niatku. Oleh karena itu ia kubalas. Adapun tentang perintahmu, aku tidak meremehhannya.”
“Apakah engkau tidak mendengar perintahku yang melarang orang bercakap-cakap dengan Abu Dzar?” ujar Khalifah dengan marah.
“Apakah setiap engkau mengeluarkan larangan yang bersifat kedurhakaan harus kuturut?” tanggap Imam Ali r.a. terhadap kata-kata Khalifah tadi dalam bentuk pertanyaan.
“Kendalikan dirimu terhadap Marwan!” ujar Khalifah memperingatkan Imam Ali r.a.
“Mengapa?” tanya Imam Ali r.a.
“Engkau telah memaki dia dan mencambuk unta yang dikendarainya” jawab Khalifah.
“Mengenai untanya yang kucambuk,” Imam Ali menjelaskan sebagai tanggapan atas keterangan Khalifah Utsman r.a., “bolehlah ia membalas mencambuk untaku. Tetapi kalau dia sampai memaki diriku, tiap satu kali dia memaki, engkau sendiri akan kumaki dengan makian yang sama. Sungguh aku tidak berkata bohong kepadamu!”
“Mengapa dia tidak boleh memakimu?” tanya Khalifah Utsman r.a. dengan mencemooh. “Apakah engkau lebih baik dari dia?!”
“Demi Allah, bahkan aku lebih baik daripada engkau!” sahut Imam Ali r.a. dengan tandas. Habis mengucapkan kata-kata itu Imam Ali r.a. cepat-cepat keluar meninggalkan tempat.
Beberapa waktu setelah terjadi insiden itu, Khalifah Utsman r.a. memanggil tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan Anshar termasuk tokoh-tokoh Bani Umayyah. Di hadapan mereka itu ia menyatakan keluhannya terhadap sikap Imam Ali r.a.
Menanggapi keluhan Khalifah Utsman bin Affan r.a., para pemuka yang beliau ajak berbicara menasehatkan: “Anda adalah pemimpin dia. Jika anda mengajak berdamai, itu lebih baik.”
“Aku memang menghendaki itu,” jawab Khalifah Utsman r.a. Sesudah ini beberapa orang dari pemuka muslimin itu mengambil prakarsa untuk menghapuskan ketegangan antara Imam Ali r.a. dan Khalifah Utsman r.a. Mereka menghubungi Imam Ali r.a. di rumahnya. Kepada Imam Ali r.a. mereka bertanya: “Bagaimana kalau anda datang kepada Khalifah dan Marwan untuk meminta maaf?”
“Tidak,” jawab Imam Ali r.a. dengan cepat. “Aku tidak akan datang kepada Marwan dan tidak akan meminta maaf kepadanya. Aku hanya mau minta maaf kepada Utsman dan aku mau datang kepadanya.”
Tak lama kemudian datanglah panggilan dari Khalifah Utsman r.a. Imam Ali r.a. datang bersama beberapa orang Bani Hasyim. Sehabis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah s.w.t., Imam Ali r.a. berkata: “Yang kauketahui tentang percakapanku dengan Abu Dzar, waktu aku mengantar keberangkatannya, demi Allah, tidak bermaksud mempersulit atau menentang keputusanmu. Yang kumaksud semata-mata hanyalah memenuhi hak Abu Dzar. Ketika itu Marwan menghalang-halangi dan hendak mencegah supaya aku tidak dapat memenuhi hak yang telah diberikan Allah ‘Azza wa Jalla kepada Abu Dzar. Karena itu aku terpaksa menghalang-halangi Marwan, sama seperti dia menghalang-halangi maksudku. Adapun tentang ucapanku kepadamu, itu dikarenakan engkau sangat menjengkelkan aku, sehingga keluarlah marahku, yang sebenarnya aku sendiri tidak menyukainya.”
Sebagai tanggapan atas keterangan Imam Ali r.a. tersebut, Khalifah Utsman r.a. berkata dengan nada lemah lembut: “Apa yang telah kau ucapkan kepadaku, sudah kuikhlaskan. Dan apa yang telah kaulakukan terhadap Marwan, Allah sudah memaafkan perbuatanmu. Adapun mengenai apa yang tadi engkau sampai bersumpah, jelas bahwa engkau memang bersungguh-sungguh dan tidak berdusta. Oleh karena itu ulurkanlah tanganmu….!”
Imam Ali r.a. segera mengulurkan tangan, kemudian ditarik oleh Khalifah Utsman r.a. dan dilekatkan pada dadanya.[4]
Bagaimanakah keadaan Abu Dzar Al Ghifari di tempat pembuangannya? Tidak lain..Ia mati kelaparan bersama isteri dan anak-anaknya. Ia wafat dalam keadaan sangat menyedihkan, sehingga batu pun bisa turut menangis sedih!
Menurut riwayat tentang penderitaannya dan kesengsaraannya di tempat pembuangan, dituturkan sebagai berikut:
Setelah ditinggal mati oleh anak-anaknya, ia bersama isteri hidup sangat sengsara. Berhari-hari sebelum akhir hayatnya, ia bersama isteri tidak menemukan makanan sama sekali. Ia mengajak isterinya pergi ke sebuah bukit pasir untuk mencari tetumbuhan. Keberangkatan mereka berdua diiringi tiupan angin kencang menderu-deru. Setibanya di tempat tujuan mereka tidak menemukan apa pun juga. Abu Dzar sangat pilu. Ia menyeka cucuran keringat, padahal udara sangat dingin. Ketika isterinya melihat kepadanya, mata Abu Dzar kelihatan sudah membalik. Isterinya menangis, kemudian ditanya oleh Abu Dzar: “Mengapa engkau menangis?”
“Bagaimana aku tidak menangis,” jawab isterinya yang setia itu, “kalau menyaksikan engkau mati di tengah padang pasir seluas ini? Sedangkan aku tidak mempunyai baju yang cukup untuk dijadikan kain kafan bagimu dan bagiku! Bagaimana pun juga akulah yang akan mengurus pemakamanmu!”
Betapa hancurnya hati Abu Dzar melihat keadaan isterinya. Dengan perasaan amat sedih ia berkata: “Cobalah lihat ke jalan di gurun pasir itu, barangkali ada seorang dari kaum muslimin yang lewat!”
“Bagaimana mungkin?” jawab isterinya. “Rombongan haji sudah lewat dan jalan itu sekarang sudah lenyap!”
“Pergilah kesana, nanti engkau akan melihat,” kata Abu Dzar menirukan beberapa perkataan yang dahulu pernah diucapkan oleh Rasul Allah s.a.w. “Jika engkau melihat ada orang lewat, berarti Allah telah menenteramkan hatimu dari perasaan tersiksa. Tetapi jika engkau tidak melihat seorang pun, tutup sajalah mukaku dengan baju dan letakkan aku di tengah jalan. Bila kaulihat ada seorang lewat, katakan kepadanya: Inilah Abu Dzar, sahabat Rasul Allah. Ia sudah hampir menemui ajal untuk menghadap Allah, Tuhannya. Bantulah aku mengurusnya!”
Dengan tergopoh-gopoh isterinya berangkat sekali lagi ke bukit pasir. Setelah melihat ke sana-ke mari dan tidak menemukan apa pun juga, ia kembali menjenguk suaminya. Di saat ia sedang mengarahkan pandangan mata ke ufuk timur nan jauh di sana, tiba-tiba melihat bayang-bayang kafilah lewat, tampak benda-benda muatan bergerak-gerak di punggung unta. Cepat-cepat isteri Abu Dzar melambai-lambaikan baju memberi tanda. Dari kejauhan rombongan kafilah itu melihat, lalu menuju ke arah isteri Abu Dzar berdiri. Akhirnya mereka tiba di dekatnya, kemudian bertanya: “Hai wanita hamba Allah, mengapa engkau di sini?”
“Apakah kalian orang muslimin?” isteri Abu Dzar balik bertanya. “Bisakah kalian menolong kami dengan kain kafan?”
“Siapa dia?” mereka bertanya sambil menoleh kepada Abu Dzar.
“Abu Dzar Al-Ghifari!” jawab wanita tua itu.
Mereka saling bertanya di antara sesama teman. Pada mulanya mereka tidak percaya, bahwa seorang sahabat Nabi yang mulia itu mati di gurun sahara seorang diri. “Sahabat Rasul Allah?” tanya mereka untuk memperoleh kepastian.
“Ya, benar!” sahut isteri Abu Dzar.
Dengan serentak mereka berkata: “Ya Allah…! Dengan ini Allah memberi kehormatan kepada kita!”
Mereka meletakkan cambuk untanya masing-masing, lalu segera menghampiri Abu Dzar. Orangtua yang sudah dalam keadaan payah itu menatapkan pendangannya yang kabur kepada orang-orang yang mengerumuninya. Dengan suara lirih ia berkata:
“Demi Allah…, aku tidak berdusta…, seandainya aku mempunyai baju bakal kain kafan untuk membungkus jenazahku dan jenazah isteriku, aku tidak akan minta dibungkus selain dengan bajuku sendiri atau baju isteriku…..Aku minta kepada kalian, jangan ada seorang pun dari kalian yang memberi kain kafan kepadaku, jika ia seorang penguasa atau pegawai.”
Mendengar pesan Abu Dzar itu mereka kebingungan dan saling pandang-memandang. Di antara mereka ternyata ada seorang muslim dari kaum Anshar. Ia menjawab: “Hai paman, akulah yang akan membungkus jenazahmu dengan bajuku sendiri yang kubeli dengan uang hasil jerih-payahku. Aku mempunyai dua lembar kain yang telah ditenun oleh ibuku sendiri untuk kupergunakan sebagai pakaian ihram…”
“Engkaukah yang akan membungkus jenazahku? Kainmu itu sungguh suci dan halal….!” Sahut Abu Dzar.
Sambil mengucapkan kata-kata itu Abu Dzar kelihatan lega dan tentram. Tak lama kemudian ia memejamkan mata, lalu secara perlahan-lahan menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan tenang berserah diri ke hadirat Allah s.w.t. Awan di langit berarak-arak tebal teriring tiupan angin gurun sahara yang amat kencang menghempaskan pasir dan debu ke semua penjuru. Saat itu Rabadzah seolah-olah berubah menjadi samudera luas yang sedang dilanda tofan.
Selesai di makamkan, orang dari Anshar itu berdiri di atas kuburan Abu Dzar sambil berdoa: “Ya Allah, inilah Abu Dzar sahabat Rasul Allah s.a.w., hamba-Mu yang selalu bersembah sujud kepada-Mu, berjuang demi keagungan-Mu melawan kaum musyrikin, tidak pernah merusak atau mengubah agama-Mu. Ia melihat kemungkaran lalu berusaha memperbaiki keadaan dengan lidah dan hatinya, sampai akhirnya ia dibuang, disengsarakan dan di hinakan sekarang ia mati dalam keadaan terpencil. Ya Allah, hancurkanlah orang yang menyengsarakan dan yang membuangnya jauh dari tempat kediamannya dan dari tempat suci Rasul Allah!”
Mereka mengangkat tangan bersama-sama sambil mengucapkan “Aamiin” dengan khusyu’.
Orang mulia yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari telah wafat, semasa hidupnya ia pernah berkata: “Kebenaran tidak meninggalkan pembela bagiku…”.
KISAH ANTARA ALI, ABU DZAR DAN UTSMAN
Ali bin Abi Thalib tengah galau memikirkan kondisi negara dan umat Islam yang dilanda kekacauan akhir-akhir ini yang disebabkan kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan. Gaya kepemimpinannya yang sangat nepotis itulah yang menjadi penyebabnya. Cara hidup yang mementingkan kesenangan duniawi di kalangan keluarga penguasa, dan sistem kekuasaan yang berdasarkan kerabat dan keluarga, telah membangkitkan rasa tidak puas yang semakin merata di kalangan ummat Islam.
Beberapa waktu setelah terbai’at sebagai Khalifah, Utsman bin Affan mengangkat orang-orang dari kalangan keluaganya (Bani Umayyah) dan di tempatkan pada kedudukankedudukan penting atau lebih penting dibanding dengan orang-orang dari qabilah lain. Posisi-posisi penting dalam kekuasaan negara dibagi-bagikan kepada mereka. Kalau tidak sebagai kepala daerah atau gubernur, mereka diangkat sebagai panglima-panglima pasukan, atau diserahi tanah-tanah yang sangat luas.
Salah satu prestasi besar selama kakhalifahan Utsman, ummat lslam berhasil membebaskan Afrika Utara dari kekuasaan Byzantium. Sayangnya, seperlima dari hasil harta jarahan (ghanimah) yang didapat oleh kaum muslimin dari daerah-daerah Afrika Utara, banyak yang dihadiahkan oleh Khalifah Utsman kepada para pembantunya, terutama Marwan bin Al Hakam. Marwan ini adalah kerabatnya dan kemudian dipungut sebagai menantu. Pembagian ini jelas-jelas bertentangan dengan nash Al Qur’an.
Ibnu Abil Hadid dalam bukunya Syarh Nahjil Balaghah, jilid I, halaman 97-152 telah mengungkapkan kebijaksanaan Khalifah Utsman yang dikendalikan oleh kerabat dekatnya, Marwan bin Hakam dan kawan-kawannya, yang sangat meresahkan kaum muslimin.
Di antara tindakan-tindakan itu disebut pemberian uang sebanyak 400.000 dirham kepada Abdullah bin Khalid bin Asid. Khalifah Utsman juga merehabilitasi dan membolehkan Al-Hakam bin Al-Ash kembali bermukim di Madinah. Padahal Al-Hakam ini dahulu telah diusir oleh Rasul Allah s.a.w. dari kota suci itu, karena penghianatannya terhadap kaum muslimin. Bahkan oleh Khalifah ia diberi modal hidup berupa uang sebesar 100.000 dirham. Sedangkan Khalifah-khalifah yang terdahulu tidak ada yang berani melanggar keputusan yang telah diambil oleh Rasul Allah s.a.w. mengenai pengusiran Al-Hakam.
Masih ada lagi serentetan tindakan atau kebijaksanaan yang dilakukan oleh Khalifah Utsman atas desakan para penasehat dan pembantunya. Yaitu tindakan atau kebijaksanaan yang menyuburkan benih-benih ke-tidak-puasan di kalangan kaum muslimin. Sebuah tempat pusat perdagangan di kota Madinah, yang waktu itu terkenal dengan nama “Mazhur”, oleh Khalifah Utsman dikuasakan kepada Al-Harits bin Al-Hakam, saudara Marwan bin Al-Hakam. Padahal tempat itu dahulunya oleh Rasul Allah s.a.w. telah diserahkan kepada kaum muslimin sebagai milik umum.
Namun yang sangat menyakitkan Ali adalah pengambil-alihan tanah Fadak oleh khalifah dan kemudian diserahkannya kepada kepada pembantu dekatnya. Padahal tanah Fadak ini memiliki arti yang sangat khusus di mata Ali dan mengingatnya selalu membuat hatinya sedih sekaligus marah.
Tanah fadak adalah tanah pampasan perang yang oleh Rosulullah telah diberikan kepada putri tercintanya, Fathimah az-Zahra sang bunga surga, yang juga istri tercinta Ali bin Abi Thalib. Tindakan Rosulullah memberikan tanah Fadak kepada Fathimah adalah mengikuti perintah Allah yang diturunkan dalam Al Qur’an: “Dan kepada kerabatmu, berikanlah akan haknya.” Tanah ini sangat subur dan luas dan selama bertahun-tahun dalam masa pemerintahan Rosulullah telah memberikan banyak keuntungan bagi keluarga Ali dan Fathimah.
Saat Abu Bakar berkuasa sebagai khalifah, ia mengambil tindakan yang sangat menyakitkan Fathimah dan Ali, yaitu merampas tanah itu dengan dalih sebuah hadits yang sangat kontroversial. Abu Bakar berdalih bahwa Rosulullah pernah bersabda bahwa sebagai seorang rosulullah beliau tidak meninggalkan warisan. Atas dasar hadits itu maka Abu Bakar mengambil alih tanah fadak dan menyerahkannya sebagai harta kekayaan negara (baithul mal).
Fathimah dan Ali tidak pernah mendengar hadits tersebut tentu saja menolak klaim Abu Bakar. Bagaimana mungkin sebagai ahli waris, Fathimah tidak diberitahu oleh Rosulullah langsung kalau memang beliau pernah mengatahan hal itu. Selain itu hadits tersebut juga bertentangan dengan Al Qur’an yang menyebutkan para rosul juga meninggalkan warisan sebagaimana Nabi Daud memberi warisan kepada Nabi Sulaiman dan Nabi Zakaria memberi warisan kepada Nabi Yahya. Bahkan ketika Fathimah berdalih tanah tersebut bukan warisan karena telah diberikan Rosulullah beberapa tahun sebelum meninggal, Abu Bakar tidak bergeming. Dengan dalih sebagai amirul umat ia tetap mengambil alih tanah fadak sehingga membuat Fathimah marah dan membawa kemarahannya hingga ke liang kubur.
Abu Bakar telah membuat Ali marah karena merampas tanah fadak untuk kepentingan umat. Apalagi Usman yang telah merampasnya untuk diserahkannya kepada kerabatnya sendiri.
Khalifah Utsman juga mengeluarkan sebuah peraturan yang menggelisahkan penduduk Madinah. Di dalam peraturan itu ditetapkan, bahwa padang ilalang sekitar kota, yang secara tradisional sudah menjadi padang penggembalaan umum, dinyatakan tertutup kecuali bagi ternak milik orang-orang Bani Umayyah.
Lebih dari itu, daerah Afrika Barat bagian utara, yang sekarang dikenal dengan wilayah-wilayah Marokko, Aljazair, Tunisia, Libya dan terus ke timur sampai Mesir, dikuasakan seluruhnya kepada Abdullah bin Abi Sarah dengan wewenang penuh. Dengan kekuasaan penuh itu Abdullah mempunyai posisi penguasa mutlak di daerah itu, seolah-olah seorang penguasa negara di dalam negara.
Abdullah adalah saudara sesusuan Khalifah yang pernah dijatuhi hukuman mati oleh Rosulullah sewaktu Penaklukan Mekkah, karena kejahatannya yang luar biasa kepada Islam. Ia selamat setelah Utsman menghalang-halangi niat nabi untuk mengeksekusinya. Sebenarnya Nabi tidak pernah mengampuninya. Beliau hanya menghindari perselisihan dengan Utsman yang ngotot membela saudara sesusuannya meski Allah telah memerintahkan kaum muslimin untuk memenuhi perintah Rosulnya, tanpa reserve karena perintah Allah memang tidak untuk diperdebatkan.
Kepada Abu Sufyan, dedengkot Quraisy yang dulunya terkenal peranannya sebagai salah seorang tokoh paling getol memerangi Rasul Allah s.a.w., dan baru masuk Islam setelah jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum muslimin, oleh Khalifah Utsman diberi hadiah sebesar 200.000 dirham. Uang itu diambil dari Baitul Mal. Sedangkan ketika Marwan bin Al-Hakam dipungut sebagai menantu untuk dinikahkan dengan puterinya yang bernama Aban, Khalifah Utsman membekalinya lagi dengan uang sebesar 100.000 dirham, juga diambil dari Baitul Mal.
Sebuah riwayat mengisahkan, ketika Khalifah Utsman mengambil uang 100.000 dirham dari Baitul Mal untuk diserahkan kepada menantunya, Marwan bin Al Hakam, datanglah pengurus Baitul Mal, Zaid bin Arqam (salah satu sahabat utama yang paling awal masuk Islam dan rumahnya dijadikan sebagai tempat dakwah awal Rosulullah), menghadap Khalifah. Ia datang sambil menangis untuk menyerahkan kunci Baitul Mal.
Dengan keheran-heranan. Khalifah bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Mengapa engkau menangis? Apakah karena aku hendak memungut Marwan bin Al-Hakam jadi menantu?”
“Tidak!”, jawab Zaid sambil menundukkan kepala dan mengusap air mata. “Aku menangis karena aku menduga anda mengambil harta Baitul Mal itu sebagai pengganti kekayaan anda yang dahulu anda infakkan di jalan Allah, yaitu pada masa Rasul Allah s.a.w. masih hidup. Demi Allah, uang 100.000 dirham yang anda berikan kepada Marwan itu sungguh terlampau banyak.”
“Hai Ibnu Arqam, letakkan kunci itu!” hardik Khalifah dengan wajah merah padam. “Kami bisa mendapatkan orang lain yang tidak seperti engkau.”
Pada masa itu kaum muslimin benar-benar merasakan adanya perbedaan yang sangat menyolok antara kebijaksanaan yang dilakukan Khalifah-khalifah terdahulu dengan penerusnya yang sekarang ini. Aparatur pemerintahan Khalifah tidak mau menanggulangi, sehingga keamanan dan ketertiban sangat terganggu. Ini menambah keresahan dan kecemasan penduduk.
Ali dan banyak para sahabat Rasul Allah s.a.w. yang heran menyaksikan tindakan-tindakan Khalifah Utsman. Sebab mereka tahu, ia terkenal sebagai seorang sahabat terdekat Nabi Muhammad. Seorang mukmin yang taqwa dan shaleh, tidak pernah mementingkan diri sendiri atau golongannya. Dermawan besar yang tak pernah menghitung-hitung untung-rugi dan resiko dalam berjuang untuk kejayaan Islam dan kaum muslimin.
Namun Ali kemudian ingat hadits Rosulullah, bahwa sebagian dari para sahabat yang dahulu iklhas berjuang menegakkan Islam, setelah kematian Rosulullah akan saling bertikai karena memperebutkan dunia. Ali juga ingat dengan peringatan Allah kepada Rosulullah mengenai “melencengnya” para sahabat dari jalan Allah sepeninggal beliau. Hingga di akhirat kelak Rosul akan bersaksi sebagaimana kesaksian Nabi Isa atas pengikut-pengikutnya: “Aku menjadi saksi atas mereka selama aku berada di tengah-tengah mereka. Kemudian setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka.” (QS Al Maidah 117).
Betapa klalifah telah menyimpang dari ajaran Rosul. Ia bahkan berani menentang nash-nash yang telah jelas dalam Al Qur’an dan hadits, misalnya dalam hal pembagian ghanimah dan merehabilitasi musuh Rosulullah. Ali masih mengingat dengan jelas apa yang telah disumpahkan oleh Uthsman sebelum dilantik sebagai khalifah.
Saat itu, sidang majelis syoru yang dibentuk untuk memilih khalifah pengganti Umar bin Khattab sampai pada satu titik di mana kandidat khalifah telah mengerucut menjadi dua orang: Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan. Abdurrahman bin Auf kemudian mengambil inisiatif. Ia mendatangi Ali dan manyatakan bahwa ia dan anggota-anggota majelis lainnya akan membai’at Ali jika mau bersumpah akan menjalankan pemerintahan berdasar Al Qur’an, sunnah Rosul dan sunnah Abu Bakar dan Umar.
Ali dengan tegas menolak permintaan tersebut dan hanya mau bersumpah menjalankan pemerintahan berdasar Al Qur’an dan hadits Rosul.
Kemudian Abdurrahman mendatangi Uthsman dan mengajukan permintaan yang sama. Dengan tegas Uthsman menyetujuinya. Maka terpilihlah Uthsman sebagai khalifah. Namun kebijakan pemerintahan pertama yang dilakukannya justru melanggar sumpahnya, yaitu mengganti para pejabat yang telah diangkat Abu Bakar dan Umar dengan pejabat dari kerabatnya sendiri.
Abu Dzar dibuang
Abu Dzar Al-Ghifari adalah salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. yang paling tidak disukai oleh oknum-oknum Bani Umayyah yang mendominasi pemerintahan Khalifah Utsman seperti Marwan bin Al-Hakam, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain.
Ia berasal dari qabilah Bani Ghifar. Suatu qabilah yang pada masa pra-Islam terkenal amat liar, kasar dan pemberani. Tidak sedikit kafilah Arab yang lewat daerah pemukiman mereka menjadi sasaran penghadangan, pencegatan dan perampasan. Abu Dzar sendiri seorang pemimpin terkemuka di kalangan mereka.
Ia mempunyai sifat-sifat pemberani, terus terang dan jujur. Ia tidak menyembunyikan sesuatu yang menjadi pemikiran dan pendiriannya. Ia mendapat hidayat Allah s.w.t. dan memeluk Islam di kala Rasul Allah s.a.w. menyebarkan da’wah risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang lebih oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar tanpa menghitung-hitung resiko mengumumkan secara terang-terangan keislamannya di hadapan orang-orang kafir Qureiys hingga ia nyaris meninggal karena dikeroyok orang-orang Qureiys yang marah. Sekembalinya ke daerah pemukimannya dari Makkah, Abu Dzar berhasil mengajak semua anggota qabilahnya memeluk agama Islam. Bahkan qabilah lain yang berdekatan, yaitu qabilah Aslam, berhasil pula di Islamkan.
Demikian gigih, berani dan cepatnya Abu Dzar bergerak menyebarkan Islam, sehingga Rasul Allah s.a.w. sendiri merasa kagum dan menyatakan pujiannya. Terhadap Bani Ghifar dan Bani Aslam, Nabi Muhammad s.a.w. dengan bangga mengucapkan: “Ghifar…, Allah telah mengampuni dosa mereka! Aslam…, Allah menyelamatkan kehidupan mereka!”
Sejak menjadi orang muslim, Abu Dzar benar-benar telah menghias sejarah hidupnya dengan bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk menegakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit memberontak terhadap penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasul Allah s.a.w. sebagai “cahaya terang benderang.”
Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan dan perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain.
Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang melaksanakan perintah Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar serius, keras dan tulus. Namun demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.
Pada suatu hari ia pernah ditanya oleh Rasul Allah s.a.w. tentang tindakan apa kira-kira yang akan diambil olehnya jika di kemudian hari ia melihat ada para penguasa yang mengangkangi harta ghanimah milik kaum muslimin. Dengan tandas Abu Dzar menjawab: “Demi Allah, yang mengutusmu membawa kebenaran, mereka akan kuhantam dengan pedangku!”
Menanggapi sikap yang tandas dari Abu Dzar ini, Nabi Muhammad s.a.w. sebagai pemimpin yang bijaksana memberi pengarahan yang tepat. Beliau berkata: “Kutunjukkan cara yang lebih baik dari itu. Sabarlah sampai engkau berjumpa dengan aku di hari kiyamat kelak!” Rasul Allah s.a.w. mencegah Abu Dzar menghunus pedang. Ia dinasehati berjuang dengan senjata lisan.
Sampai pada masa sepeninggal Rasul Allah s.a.w., Abu Dzar tetap berpegang teguh pada nasehat beliau. Di masa Khalifah Abu Bakar, gejala-gejala sosial ekonomi yang dicanangkan oleh Rasul Allah s.a.w. belum muncul. Pada masa Khalifah Umar Ibnul Khattab, berkat ketegasan dan keketatannya dalam bertindak mengawasi para pejabat pemerintahan dan kaum muslimin, penyakit berlomba mengejar kekayaan tidak sempat berkembang di kalangan masyarakat. Tetapi pada masa-masa terakhir pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, penyakit yang membahayakan kesentosaan ummat itu bermunculan laksana cendawan di musim hujan. Khalifah Utsman bin Affan sendiri tidak berdaya menanggulanginya. Nampaknya karena usia Khalifah Utsman sudah lanjut, serta pemerintahannya didominasi sepenuhnya oleh para pembantunya sendiri yang terdiri dari golongan Bani Umayyah.
Pada waktu itu tidak sedikit sahabat Rasul Allah s.a.w. yang hidup serba kekurangan, hanya karena mereka jujur dan setia kepada ajaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Sampai ada salah seorang di antara mereka yang menggadai, hanya sekedar untuk dapat membeli beberapa potong roti. Padahal para penguasa dan orang-orang yang dekat dengan pemerintahan makin bertambah kaya dan hidup bermewah-mewah. Harta ghanimah dan Baitul Mal milik kaum muslimin banyak disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongan. Di tengah-tengah keadaan seperti itu, para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan kaum muslimin pada umumnya dapat diibaratkan seperti ayam mati kelaparan di dalam lumbung padi.
Melihat gejala sosial dan ekonomi yang bertentangan dengan ajaran Islam, Abu Dzar Al-Ghifari sangat resah. Ia tidak dapat berpangku tangan membiarkan kebatilan merajalela. Ia tidak betah lagi diam di rumah, walaupun usia sudah menua. Dengan pedang terhunus ia berangkat menuju Damsyik. Di tengah jalan ia teringat kepada nasihat Rasul Allah s.a.w.: jangan menghunus pedang. Berjuang sajalah dengan lisan! Bisikan suara seperti itu terngiang-ngiang terus di telinganya. Cepat-cepat pedang dikembalikan kesarungnya.
Mulai saat itu Abu Dzar dengan senjata lidah berjuang memperingatkan para penguasa dan orang-orang yang sudah tenggelam dalam perebutan harta kekayaan. Ia berseru supaya mereka kembali kepada kebenaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Pada waktu Abu Dzar bermukim di Syam, ia selalu memperingatkan orang dengan ayat-ayat Al Qur’an: “Barang siapa yang menimbun emas dan perak dan tidak menginfaqkannya di jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih pada hari kiamat.”
Di Syam Abu Dzar memperoleh banyak pendukung. Umumnya terdiri dari fakir miskin dan orang-orang yang hidup sengsara. Makin hari pengaruh kampanyenya makin meluas. Kampanye Abu Dzar ini merupakan suatu gerakan sosial yang menuntut ditegakkannya kembali prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, sesuai dengan perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya.
Muawiyah bin Abi Sufyan, yang menjabat kedudukan sebagai penguasa daerah Syam, memandang kegiatan Abu Dzar sebagai bahaya yang dapat mengancam kedudukannya. Untuk membendung kegiatan Abu Dzar, Muawiyyah menempuh berbagai cara guna mengurangi pengaruh kampanyenya. Tindakan Muawiyyah itu tidak mengendorkan atau mengecilkan hati Abu Dzar. Ia tetap berkeliling kemana-mana, sambil berseru kepada setiap orang: “Aku sungguh heran melihat orang yang di rurnahnya tidak mempunyai makanan, tetapi ia tidak mau keluar menghunus pedang!”
Seruan Abu Dzar yang mengancam itu menyebabkan makin banyak lagi jumlah kaum muslimin yang menjadi pendukungnya. Bersama dengan itu para penguasa dan kaum hartawan yang telah memperkaya diri dengan cara yang tidak jujur, sangat cemas.
Keberanian Abu Dzar dalam berjuang tidak hanya dapat dibuktikan dengan pedang, tetapi lidahnya pun dipergunakan untuk membela kebenaran. Di mana-mana ia menyerukan ajaran-ajaran kemasyarakatan yang pernah didengarnya sendiri dari Rasul Allah s.a.w.: “Semua manusia adalah sama hak dan sama derajat laksana gigi sisir…,” “Tak ada manusia yang lebih afdhal selain yang lebih besar taqwanya…”, “Penguasa adalah abdi masyarakat,” “Tiap orang dari kalian adalah penggembala, dan tiap penggembala bertanggung jawab atas kegembalaannya….” dan lain sebagainya.
Para penguasa Bani Umayyah dan orang-orang yang bergelimang dalam kehidupan mewah sangat kecut menyaksikan kegiatan Abu Dzar. Hati nuraninya mengakui kebenaran Abu Dzar, tetapi lidah dan tangan mereka bergerak di luar bisikan hati nurani. Abu Dzar dimusuhi dan kepadanya dilancarkan berbagai tuduhan. Tuduhan-tuduhan mereka itu tidak dihiraukan oleh Abu Dzar. Ia makin bertambah berani.
Pada suatu hari dengan sengaja ia menghadap Muawiyah, penguasa daerah Syam. Dengan tandas ia menanyakan tentang kekayaan dan rumah milik Muawiyyah yang ditinggalkan di Makkah sejak ia menjadi penguasa Syam. Kemudian dengan tanpa rasa takut sedikit pun ditanyakan pula asal-usul kekayaan Muawiyyah yang sekarang! Sambil menuding Abu Dzar berkata: “Bukankah kalian itu yang oleh Al-Qur’an disebut sebagai penumpuk emas dan perak, dan yang akan dibakar tubuh dan mukanya pada hari kiyamat dengan api neraka?!”
Betapa pengapnya Muawiyah mendengar kata-kata Abu Dzar yang terus terang itu! Muawiyah bin Abu Sufyan memang bukan orang biasa. Ia penguasa. Dengan kekuasaan di tangan ia dapat berbuat apa saja. Namun meski membahayakan kekuasaan, Abu Dzar adalah sahabat Rosul yang mulia. Muawiyah tidak berani bertindak keras terhadapnya. Ia hanya harus disingkirkan dari daerah kekuasaannya.
Segera Muawiyah menulis sepucuk surat kepada Khalifah Utsman di Madinah. Dalam surat itu Muawiyah melaporkan tentang Abu Dzar yang menghasut orang banyak di Syam. Disarankan supaya Khalifah mengambil salah satu tindakan. Berikan kekayaan atau kedudukan kepada Abu Dzar. Jika Abu Dzar menolak dan tetap hendak meneruskan kampanyenya, kucilkan saja di pembuangan.
Khalifah Utsman melaksanakan surat Muawiyah itu. Abu Dzar dipanggil menghadap. Kepada Abu Dzar diajukan dua pilihan: kekayaan atau kedudukan. Menanggapi tawaran Khalifah itu, Abu Dzar dengan singkat dan jelas berkata: “Aku tidak membutuhkan duniamu!”
Khalifah Utsman masih terus menghimbau Abu Dzar. Dikemukakannya: “Tinggal sajalah di sampingku!”
Sekali lagi Abu Dzar mengulangi kata-katanya: “Aku tidak membutuhkan duniamu!”
Sebagai orang yang hidup zuhud dan taqwa, Abu Dzar berjuang semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Abu Dzar hanya menghendaki supaya kebenaran dan keadilan Allah ditegakkan, seperti yang dulu telah dilaksanakan oleh Rasul Allah s.a.w., Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar. Memang justru itulah yang sangat sukar dilaksanakan oleh Khalifah Utsman, sebab ia harus memotong urat nadi para pembantu dan para penguasa bawahannya.
Abu Dzar tidak bergeser sedikit pun dari pendiriannya. Akhirnya, atas desakan dan tekanan para pembantu dan para penguasa Bani Umayyah,Khalifah Utsman mengambil keputusan: Abu Dzar harus dikucilkan dalam pembuangan di Rabadzah, satu daerah di tengah padang pasir yang tidak berpenghuni dan tandus. Tak boleh ada seorang pun mengajaknya berbicara dan tak boleh ada seorang pun yang mengucapkan selamat jalan atau mengantarkannya dalam perjalanan.
Bagi Abu Dzar pembuangan bukan apa-apa. Sekuku-hitam pun ia tidak syak, bahwa Allah s.w.t. selalu bersama dia. Kapan saja dan di mana saja. Menanggapi keputusan Khalifah Utsman. Ia berkata: “Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di kayu salib yang tinggi atau di atas bukit, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Aku pandang hal itu lebih baik bagiku. Seandainya Utsman memerintahkan aku harus berjalan dari kutub ke kutub lain, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang, hal itu lebih baik bagiku. Dan seandainya besok ia akan mengembalikan diriku ke rumah pun akan kutaati, aku akan sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang hal itu lebih baik bagiku.”
Itulah Abu Dzar Ghifari, pejuang muslim tanpa pamrih duniawi, yang semata-mata berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, demi keridhoan Al Khalik. Ia seorang pahlawan yang dengan gigih dan setia mengikuti tauladan Nabi Muhammad s.a.w. Ia seorang zahid yang penuh taqwa kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak berpangku tangan membiarkan kebatilan melanda ummat.
Peristiwa dibuangnya Abu Dzar Al Ghifari ke Rabadzah sangat mengejutkan kaum muslimin, khususnya para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. Imam Ali r.a. sangat tertusuk perasaannya. Bersama segenap anggota keluarga ia menyatakan rasa sedih dan simpatinya yang mendalam kepada Abu Dzar.
Abu Bakar Ahmad bin Abdul Aziz Al Jauhariy dalam bukunya As Saqifah, berdasarkan riwayat yang bersumber pada Ibnu Abbas, menuturkan antara lain tentang pelaksanaan keputusan Khalifah Utsman di atas: Khalifah Utsman memerintahkan Marwan bin Al Hakam membawa Abu Dzar berangkat dan mengantarnya sampai di tengah perjalanan. Tak ada seorang pun dari penduduk yang berani mendekati Abu Dzar, kecuali Imam Ali r.a., Aqil bin Abi Thalib dan dua orang putera Imam Ali r.a., yaitu Al-Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Beserta mereka ikut pula Ammar bin Yasir.
Menjelang saat keberangkatannya, Al Hasan mengajak Abu Dzar bercakap-cakap. Mendengar itu Marwan bin Al-Hakam dengan bengis menegor: “Hai Hasan, apakah engkau tidak mengerti bahwa Amirul Mukminin melarang bercakap-cakap dengan orang ini? Kalau belum mengerti, ketahuilah sekarang!”
Melihat sikap Marwan yang kasar itu, Imam Ali r.a. tak dapat menahan letupan emosinya. Sambil membentak ia mencambuk kepala unta yang dikendarai oleh Marwan: “Pergilah engkau dari sini! Allah akan menggiringmu ke neraka.”
Sudah tentu unta yang dicambuk kepalanya itu meronta-ronta kesakitan. Marwan sangat marah, tetapi ia tidak punya keberanian melawan Imam Ali r.a. Cepat-cepat Marwan kembali menghadap Khalifah untuk mengadukan perbuatan Imam Ali r.a. Khalifah Utsman meluap karena merasa perintahnya tidak dihiraukan oleh Imam Ali r.a. dan anggota-anggota keluarganya.
Tindakan Imam Ali r.a. terhadap Marwan itu ternyata mendorong orang lain berani mendekati Abu Dzar guna mengucapkan selamat jalan. Di antara mereka itu terdapat seorang bernama Dzakwan maula Ummi Hani binti Abu Thalib.
Dzakwan di kemudian hari menceritakan pengalamannya sebagai berikut: Aku ingat benar apa yang dikatakan oleh mereka. Kepada Abu Dzar, Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Hai Abu Dzar engkau marah demi karena Allah! Orang-orang itu, yakni para penguasa Bani Umayyah, takut kepadamu, sebab mereka takut kehilangan dunianya. Oleh karena itu mereka mengusir dan membuangmu. Demi Allah, seandainya langit dan bumi tertutup rapat bagi hamba Allah, tetapi hamba itu kemudian penuh taqwa kepada Allah, pasti ia akan dibukakan jalan keluar. Hai Abu Dzar, tidak ada yang menggembirakan hatimu selain kebenaran, dan tidak ada yang menjengkelkan hatimu selain kebatilan!”
Atas dorongan Imam Ali r.a., Aqil berkata kepada Abu Dzar: “Hai Abu Dzar, apa lagi yang hendak kukatakan kepadamu! Engkau tahu bahwa kami ini semua mencintaimu, dan kami pun tahu bahwa engkau sangat mencintai kami juga. Bertaqwa sajalah sepenuhnya kepada Allah, sebab taqwa berarti selamat. Dan bersabarlah, karena sabar sama dengan berbesar hati. Ketahuilah, tidak sabar sama artinya dengan takut, dan mengharapkan maaf dari orang lain sama artinya dengan putus asa. Oleh karena itu buanglah rasa takut dan putus asa.”
Kemudian Al-Hasan berkata kepada Abu Dzar: “Jika seorang yang hendak mengucapkan selamat jalan diharuskan diam, dan orang yang mengantarkan saudara yang berpergian harus segera pulang, tentu percakapan akan menjadi sangat sedikit, sedangkan sesal dan iba akan terus berkepanjangan. Engkau menyaksikan sendiri, banyak orang sudah datang menjumpaimu. Buang sajalah ingatan tentang kepahitan dunia, dan ingat saja kenangan manisnya. Buanglah perasaan sedih mengingat kesukaran di masa silam, dan gantikan saja dengan harapan masa mendatang. Sabarkan hati sampai kelak berjumpa dengan Nabi-mu, dan beliau itu benar-benar ridho kepadamu.”
Setelah Al Hasan, kini berkatalah Al Husein: “Hai paman, sesungguhnya Allah s.w.t. berkuasa mengubah semua yang paman alami. Tidak ada sesuatu yang lepas dari pengawasan dan kekuasaan-Nya. Mereka berusaha agar paman tidak mengganggu dunia mereka. Betapa butuhnya mereka itu kepada sesuatu yang hendak paman cegah! Berlindunglah kepada Allah s.w.t. dari keserakahan dan kecemasan. Sabar merupakan bagian dari ajaran agama dan sama artinya dengan sifat pemurah. Keserakahan tidak akan mempercepat datangnya rizki dan kebatilan tidak akan menunda datangnya ajal!”
Dengan nada marah Ammar bin Yasir menyambung: “Allah tidak akan membuat senang orang yang telah membuatmu sedih, dan tidak akan menyelamatkan orang yang menakut-nakutimu. Seandainya engkau puas melihat perbuatan mereka, tentu mereka akan menyukaimu. Yang mencegah orang supaya tidak mengatakan seperti yang kaukatakan, hanyalah orang-orang yang merasa puas dengan dunia. Orang-orang seperti itu takut menghadapi maut dan condong kepada kelompok yang berkuasa. Kekuasaan hanyalah ada pada orang-orang yang menang. Oleh karena itu banyak orang “menghadiahkan” agamanya masing-masing kepada mereka, dan sebagai imbalan, mereka memberi kesenangan duniawi kepada orang-orang itu. Dengan berbuat seperti itu, sebenarnya mereka menderita kerugian dunia dan akhirat. Bukankah itu suatu kerugian yang senyata-nyatanya?!”
Sambil berlinangan air mata Abu Dzar berkata: “Semoga Allah merahmati kalian, wahai Ahlu Baitur Rahman! Bila melihat kalian aku teringat kepada Rasul Allah s.a.w. Suka-dukaku di Madinah selalu bersama kalian. Di Hijaz aku merasa berat karena Utsman, dan di Syam aku merasa berat karena Muawiyah. Mereka tidak suka melihatku berada di tengah-tengah saudara-saudaraku di kedua tempat itu. Mereka memburuk-burukkan diriku, lalu aku diusir dan dibuang ke satu daerah, di mana aku tidak akan mempunyai penolong dan pelindung selain Allah s.w.t. Demi Allah, aku tidak menginginkan teman selain Allah s.w.t. dan bersama-Nya aku tidak takut menghadapi kesulitan…”
Tutur Dzakwan lebih lanjut: Setelah semua orang yang mengantarkan pulang, Imam Ali r.a. segera datang menghadap Khalifah Utsman bin Affan r.a. Kepada Imam Ali r.a. Khalifah bertanya dengan hati gusar: “Mengapa engkau berani mengusir pulang petugasku, yakni Marwan dan meremehkan perintahku?”
“Tentang petugasmu,” jawab Imam Ali r.a. dengan tenang “ia mencoba menghalang-halangi niatku. Oleh karena itu ia kubalas. Adapun tentang perintahmu, aku tidak meremehhannya.”
“Apakah engkau tidak mendengar perintahku yang melarang orang bercakap-cakap dengan Abu Dzar?” ujar Khalifah dengan marah.
“Apakah setiap engkau mengeluarkan larangan yang bersifat kedurhakaan harus kuturut?” tanggap Imam Ali r.a. terhadap kata-kata Khalifah tadi dalam bentuk pertanyaan.
“Kendalikan dirimu terhadap Marwan!” ujar Khalifah memperingatkan Imam Ali r.a.
“Mengapa?” tanya Imam Ali r.a.
“Engkau telah memaki dia dan mencambuk unta yang dikendarainya” jawab Khalifah.
“Mengenai untanya yang kucambuk,” Imam Ali menjelaskan sebagai tanggapan atas keterangan Khalifah Utsman, “bolehlah ia membalas mencambuk untaku. Tetapi kalau dia sampal memaki diriku, tiap satu kali dia memaki, engkau sendiri akan kumaki dengan makian yang sama. Sungguh aku tidak berkata bohong kepadamu!”
“Mengapa dia tidak boleh memakimu?” tanya Khalifah Utsman dengan mencemooh. “Apakah engkau lebih baik dari dia?!”
“Demi Allah, bahkan aku lebih baik daripada engkau!” sahut Imam Ali r.a. dengan tandas. Habis mengucapkan kata-kata itu Imam Ali r.a. cepat-cepat keluar meninggalkan tempat.
Sikap Ali bukanlah cerminan kesombongan, melainkan cerminan integritas diri. Ali menyadari sepenuhnya keutamaannya dibandingkan Uthsman: Ali lebih dahulu masuk Islam, Ali lebih banyak jasanya dalam menegakkan perjuangan Islam, Ali kerabat dekat Rosul sekaligus suami dari anak kesayangan Rosul. Ia orang yang oleh Rosul dinyatakan sebagai “saudara Rosul sebagaimana Nabi Harun bagi Nabi Musa”, “kunci kota ilmu”, “orang yang diridhoi Allah dan Rosulnya” serta julukan-julukan bernada pujian lainnya yang tidak disandang orang lain. Dan lebih dari itu Ali adalah seorangahlul bait yang oleh Allah telah dinyatakan suci.
Beberapa waktu setelah terjadi insiden itu, Khalifah Utsman memanggil tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan Anshar termasuk tokoh-tokoh Bani Umayyah. Di hadapan mereka itu ia menyatakan keluhannya terhadap sikap Imam Ali r.a.
Menanggapi keluhan Khalifah Utsman bin Affan, para pemuka yang beliau ajak berbicara menasehatkan: “Anda adalah pemimpin dia. Jika anda mengajak berdamai, itu lebih baik.”
“Aku memang menghendaki itu,” jawab Khalifah Utsman. Sesudah ini beberapa orang dari pemuka muslimin itu mengambil prakarsa untuk menghapuskan ketegangan antara Imam Ali r.a. dan Khalifah Utsman. Mereka menghubungi Imam Ali r.a. di rumahnya. Kepada Imam Ali r.a. mereka bertanya: “Bagaimana kalau anda datang kepada Khalifah dan Marwan untuk meminta maaf?”
“Tidak,” jawab Imam Ali r.a. dengan cepat. “Aku tidak akan datang kepada Marwan dan tidak akan meminta maaf kepadanya. Aku hanya mau minta maaf kepada Utsman dan aku mau datang kepadanya.”
Tak lama kemudian datanglah panggilan dari Khalifah Utsman. Imam Ali r.a. datang bersama beberapa orang Bani Hasyim. Sehabis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah s.w.t., Imam Ali r.a. berkata: “Yang kau ketahui tentang percakapanku dengan Abu Dzar, waktu aku mengantar keberangkatannya, demi Allah, tidak bermaksud mempersulit atau menentang keputusanmu. Yang ku maksud semata-mata hanyalah memenuhi hak Abu Dzar. Ketika itu Marwan menghalang-halangi dan hendak mencegah supaya aku tidak dapat memenuhi hak yang telah diberikan Allah ‘Azza wa Jalla kepada Abu Dzar. Karena itu aku terpaksa menghalang-halangi Marwan, sama seperti dia menghalang-halangi maksudku. Adapun tentang ucapanku kepadamu, itu dikarenakan engkau sangat menjengkelkan aku, sehingga keluarlah marahku, yang sebenarnya aku sendiri tidak menyukainya.”
Sebagai tanggapan atas keterangan Imam Ali r.a. tersebut, Khalifah Utsman berkata dengan nada lemah lembut: “Apa yang telah kau ucapkan kepadaku, sudah ku ikhlaskan. Dan apa yang telah kaulakukan terhadap Marwan, Allah sudah memaafkan perbuatanmu. Adapun mengenai apa yang tadi engkau sampai bersumpah, jelas bahwa engkau memang bersungguh-sungguh dan tidak berdusta. Oleh karena itu ulurkanlah tanganmu….!”
Imam Ali r.a. segera mengulurkan tangan, kemudian ditarik oleh Khalifah Utsman dan dilekatkan pada dadanya.
Bagaimana keadaan Abu Dzar Al Ghifari di tempat pembuangannya? Ia mati kelaparan bersama isteri dan anak-anaknya. Ia wafat dalam keadaan sangat menyedihkan, sehingga batu pun turut menangis sedih!
Menurut riwayat tentang penderitaannya dan kesengsaraannya di tempat pembuangan, dituturkan sebagai berikut: Setelah ditinggal mati oleh anak-anaknya, ia bersama isteri bertahan hidup dengan sangat sengsara. Berhari-hari sebelum akhir hayatnya, ia bersama isteri tidak menemukan makanan sama sekali. Ia mengajak isterinya pergi ke sebuah bukit pasir untuk mencari tetumbuhan.
Keberangkatan mereka berdua diiringi tiupan angin kencang menderu-deru. Setibanya di tempat tujuan mereka tidak menemukan apa pun juga. Abu Dzar sangat pilu. Ia menyeka cucuran keringat, padahal udara sangat dingin. Ketika isterinya melihat kepadanya, mata Abu Dzar kelihatan sudah membalik.
Isterinya menangis, kemudian ditanya oleh Abu Dzar: “Mengapa engkau menangis?”
“Bagaimana aku tidak menangis,” jawab isterinya yang setia itu, “kalau menyaksikan engkau mati di tengah padang pasir seluas ini? Sedangkan aku tidak mempunyai baju yang cukup untuk dijadikan kain kafan bagimu dan bagiku! Bagaimana pun juga akulah yang akan mengurus pemakamanmu!”
Betapa hancurnya hati Abu Dzar melihat keadaan isterinya. Dengan perasaan amat sedih ia berkata: “Cobalah lihat ke jalan di gurun pasir itu, barangkali ada seorang dari kaum muslimin yang lewat!”
“Bagaimana mungkin?” jawab isterinya. “Rombongan haji sudah lewat dan jalan itu sekarang sudah lenyap!”
“Pergilah kesana, nanti engkau akan melihat,” kata Abu Dzar menirukan beberapa perkataan yang dahulu pernah diucapkan oleh Rasul Allah s.a.w. “Jika engkau melihat ada orang lewat, berarti Allah telah menenteramkan hatimu dari perasaan tersiksa. Tetapi jika engkau tidak melihat seorang pun, tutup sajalah mukaku dengan baju dan letakkan aku di tengah jalan. Bila kaulihat ada seorang lewat, katakan kepadanya: Inilah Abu Dzar, sahabat Rasul Allah. Ia sudah hampir menemui ajal untuk menghadap Allah, Tuhannya. Bantulah aku mengurusnya!”
Dengan tergopoh-gopoh isterinya berangkat sekali lagi ke bukit pasir. Setelah melihat ke sana-kemari dan tidak menemukan apa pun juga, ia kembali menjenguk suaminya. Di saat ia sedang mengarahkan pandangan mata ke ufuk timur nan jauh di sana, tiba-tiba melihat bayang-bayang kafilah lewat, tampak benda-benda muatan bergerak-gerak di punggung unta. Cepat-cepat isteri Abu Dzar melambai-lambaikan baju memberi tanda. Dari kejauhan rombongan kafilah itu melihat, lalu menuju ke arah isteri Abu Dzar berdiri. Akhirnya mereka tiba di dekatnya, kemudian bertanya: “Hai wanita hamba Allah, mengapa engkau di sini?”
“Apakah kalian orang muslimin?” isteri Abu Dzar balik bertanya. “Bisakah kalian menolong kami dengan kain kafan?”
“Siapa dia?” mereka bertanya sambil menoleh kepada Abu Dzar.
“Abu Dzar Al-Ghifari!” jawab wanita tua itu.
Mereka saling bertanya di antara sesama teman. Pada mulanya mereka tidak percaya, bahwa seorang sahabat Nabi yang mulia itu mati di gurun sahara seorang diri. “Sahabat Rasul Allah?” tanya mereka untuk memperoleh kepastian.
“Ya, benar!” sahut isteri Abu Dzar.
Dengan serentak mereka berkata: “Ya Allah…! Dengan ini Allah memberi kehormatan kepada kita!”
Mereka meletakkan cambuk untanya masing-masing, lalu segera menghampiri Abu Dzar. Orangtua yang sudah dalam keadaan payah itu menatapkan pendangannya yang kabur kepada orang-orang yang mengerumuninya. Dengan suara lirih ia berkata: “Demi Allah…, aku tidak berdusta…, seandainya aku mempunyai baju bakal kain kafan untuk membungkus jenazahku dan jenazah isteriku, aku tidak akan minta dibungkus selain dengan bajuku sendiri atau baju isteriku…..Aku minta kepada kalian, jangan ada seorang pun dari kalian yang memberi kain kafan kepadaku, jika ia seorang penguasa atau pegawai.”
Mendengar pesan Abu Dzar itu mereka kebingungan dan saling pandang-memandang. Di antara mereka ternyata ada seorang muslim dari kaum Anshar. Ia menjawab: “Hai paman, akulah yang akan membungkus jenazahmu dengan bajuku sendiri yang kubeli dengan uang hasil jerih payahku.
Aku mempunyai dua lembar kain yang telah ditenun oleh ibuku sendiri untuk kupergunakan sebagai pakaian ihram…”
“Engkaukah yang akan membungkus jenazahku? Kainmu itu sungguh suci dan halal….!” Sahut Abu Dzar.
Sambil mengucapkan kata-kata itu Abu Dzar kelihatan lega dan tentram. Tak lama kemudian ia memejamkan mata, lalu secara perlahan-lahan menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan tenang berserah diri ke hadirat Allah s.w.t. Awan di langit berarak-arak tebal teriring tiupan angin gurun sahara yang amat kencang menghempaskan pasir dan debu ke semua penjuru. Saat itu Rabadzah seolah-olah berubah menjadi samudera luas yang sedang dilanda tofan.
Selesai dimakamkan, orang Anshar itu berdiri di atas kuburan Abu Dzar sambil berdoa: “Ya Allah, inilah Abu Dzar sahabat Rasul Allah s.a.w., hamba-Mu yang selalu bersembah sujud kepada-Mu, berjuang demi keagungan-Mu melawan kaum musyrikin, tidak pernah merusak atau mengubah agama-Mu. Ia melihat kemungkaran lalu berusaha memperbaiki keadaan dengan lidah dan hatinya, sampai akhirnya ia dibuang, disengsarakan dan dihinakan. Sekarang ia mati dalam keadaan terpencil. Ya Allah, hancurkanlah orang yang menyengsarakan dan yang membuangnya jauh dari tempat kediamannya dan dari tempat suci Rasul Allah!”
Mereka mengangkat tangan bersama-sama sambil mengucapkan “Aamiin” dengan khusyu’. Orang mulia yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari telah wafat. Semasa hidupnya Rosulullah pernah berkata kepadanya: “Engkau datang sendirin. Engkau pun akan maninggal dalam kesendirian.” Sementara Abu Dzar pernah berpesan: “Kebenaran tidak meninggalkan pembela bagiku…”
Namun tragisnya, para musuh Abu Dzar masih terus berusaha mendeskreditkan manusia “mulia” ini. Misal adanya sebuah cerita bahwa Abu Dzar pernah meminta suatu jabatan pemerintahan kepada khalifah. Permintaan tersebut ditolak karena Abu Dzar dianggap sebagai orang yang lemah dan itu menjadi penyebab ia menentang khalifah.
Yah begitulah. Bahkan kepada para ahlul bait yang oleh Allah telah disucikan sesuci-sucinya pun, mereka masih berusaha mendeskreditkannya, sampai sekarang.
ALLAH dan Rasulullah menggunakan kosa kata SAHABAT untuk orang2 yang masuk surga (Jannah) dan orang2 yang masuk api neraka
SHOHIB = kawan, teman, penghuni, pemilik dll
ASHABU = kawan2, teman2, penghuni2, pemilik2 dll
ALQURAN 7:50;
Ahabu Nar (sahabat2 di api neraka) berkata kepada Ashabu Jannah (sahabat2 di dalam surga): “Berikanlah kami sedikit air atau makanan yang telah diberikan oleh ALLAH kepada kamu!”
ALQURAN 5:10;
Orang2 Kafir yang mendustakan ayat ayat kami (AlQuran); sesungguhnya mereka Ashabu Al Jahim (sahabat2 di dalam neraka Jahim).
Jika kita membaca semua kosa kata ASHABU (sahabat2, kawan2, teman2) di dalam AlQuran dengan teliti; maka kita bisa melihat bahwa ALLAH menggunakan kosa kata SAHABAT untuk mereka yang masuk api neraka dan juga untuk mereka yang masuk surga.
Ulama Sunni sengaja memutar-balikan ayat ayat AlQuran untuk membodohi ummat Islam
SYIRIK (dosa terbesar yang tidak akan diampuni oleh ALLAH); adalah aqidah (kepercayaan & keyakinan) kaum Sunni; karena Kaum Sunni rajin memuji para sahabat; sehingga Kaum Sunni tidak bisa melihat dan tidak bisa mempelajari kesalahan2 yang dilakukan oleh para sahabat; padahal semua pujian hanya dimiliki oleh ALLAH.
Kaum Syiah sengaja mempelajari kesalahan2 yang dilakukan oleh para sahabat setelah Rasulullah wafat; supaya kamu Syiah tidak mengulangi kesalahan2 yang sama; karena Kaum Syiah tidak mau dihukum oleh ALLAH di dunia ini dan di akhirat nanti.
ASHABI (kawan-kawanku, teman-temanku, sahabat-sahabatku).
SHOHIH BUKHARI, Kitab 60 no 149;
Ibn Abbas melaporkan bahwa Rasulullah berkata (di depan para sahabatnya): “Ya manusia, kamu akan dikumpulkan pada hari Qiyammah di depan ALLAH dalam keadaan telanjang, tidak ada alas kaki dan tidak disunat. Rasulullah mengucapkan ayat ayat ALLAH
ALQURAN 21:104;
Pada hari kami gulung langit seperti kami gulung lembaran lembaran kertas; sebagaimana kami telah menciptaan ciptaan kami yang pertama; kami akan mengulanginya; karena itu adalah janji kami; sesungguhnya akan terjadi karena kami akan melaksanakannya.
Rasulullah melanjutkan dan berkata: “Orang pertama yang akan diberikan pakaian adalah Nabi Ibrahim pada hari kebangkitan. Banyak orang yang mengikuti saya akan dibawa kepada saya; kemudian mereka dimasukan ke dalam api neraka!”
Rasulullah akan berkata (kepada ALLAH): “Mereka adalah ASHABI (sahabat-sahabatku, kawan-kawnku, teman-temanku)!”
ALLAH akan berkata (kepada Nabi Muhammad): “Kamu tidak mengetahui perbuatan mereka setelah kepergianmu (setelah Muhammad wafat); mereka telah MURTAD setelah kepergian kamu!”.
Rasulullah akan mengutip ayat Al-Quran yang diucapkan oleh Nabi Isa Al Masih.
ALQURAN 5:118;
Jika anda menyiksa mereka; sesungguhnya mereka adalah hamba-hambamu; jika anda mengampuni mereka; sesungguhnya anda maha perkasa dan maha bijaksana.
KESIMPULAN:
Perhatikan kosa kata ASHABI (sahabat-sahabatku, kawan-kawanku, teman-temanku) dipergunakan oleh Rasulullah untuk para sahabat yang akan dimasukan ke dalam api neraka.
Ulama Sunni sengaja menyembunyikan atau rajin menutup-nutupi Hadith ini; supaya SYIRIK (dosa terbesar) tersebar di dalam kalangan Kaum Ahlul Sunnah Wal Jamaah.
Ulama Sunnah sengaja menyembunyika Hadith tersebut; supaya semua sahabat bisa dipuji oleh ummat Islam; ini adalah kesalahan besar yang dilakukan oleh Ulama Sunnah; karena semua pujian hanya dimiliki oleh ALLAH; bukan dimiliki oleh para sahabat.
Tidakkah mereka membaca Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada ‘Ali : “Tidaklah seseorang yang mencintaimu kecuali dia adalah seorang mukmin dan tidak membencimu kecuali dia adalah seorang munafik”?
Anehnya hadits ini selalu terpampang di salah blog nashibi.
Definisi keadilan cuma satu yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Mengenai masalah munafik ini adalah masalah hati, makanya Nabi tidak menghukum Abdullah bin Ubay padahal nabi mengetahui tentang kemunafikannya. Terus saya koreksi sedikit bahwa memang sahabat itu manusia biasa dan tidak maksum. Jadi sahabat bisa melakukan kesalahan dan dosa.
Siapa nama-nama kaum munafik yang hidup di madinah di zaman Nabi saw seperti yang disebutkan oleh ayat Qs. At taubah 101 biar sunni tidak terkena hadis-hadis palsu yang mereka susupkan, yang terlanjur tercantum dikitab-kitab hadis/shahih sunni.
Saya juga minta tolong kepada syekh-syekh salafiyun barangkali tau atau dapat wangsit tentang siapa nama-nama kaum munafik yang hidup di madinah di zaman Nabi saw… seperti yang disebutkan oleh ayat ini (biar kami tidak terkena hadis-hadis palsu yg mereka susupkan, yg terlanjur tercantum dikitab-kitab hadis/shahih sunni :
وَمِمَّنْ حَوْلَكُم مِّنَ الأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُواْ عَلَى النِّفَاقِ لاَ تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُم مَّرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ
Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar (Al Qur’an, S. At Taubah[9]: 101).
bacalah ALQURAN 25:30-31;
30. Rasulullah berkata: “Ya Tuhanku, KAUMKU telah meninggalkan AlQuran!”.
31. ALLAH berkata: “dan seperti itulah (yang terjadi); telah kami adakan untuk semua nabi; musuh dari orang orang yang berdosa; dan cukuplah ALLAH menjadi penolong dan pemberi petunjuk.
Perhatikanlah kosa kata KAUMKU di dalam ayat ayat Al-Quran tersebut. Para sahabat juga termasuk KAUM MUHAMMAD. Sebagian dari para sahabat melanggar Al-Quran setelah kepergian Rasulullah (setelah Nabi Muhammad wafat).
Mereka yang melanggar Al-Quran akan dijadikan musuh-musuh Nabi Muhammad pada hari Qiyammah nanti. Berapa banyak sahabat yang melanggar Al-Quran; sehingga mereka saling membunuh di dalam perang Riddah, perang Siffin, perang Jamal dan perang perang yang lain.
Mayoritas Ulama Sunni adalah orang-orang yang pintar dan yang mengagumkan; tetapi minoritas Ulama Sunni adalah orang-orang yang sombong.
Minoritas Ulama Sunni ingin ummat Islam memuji para sahabat; dengan alasan semua sahabat adalah manusia yang sempurna; padahal semua pujian hanya dimiliki oleh ALLAH; sehingga tidak mungkin para sahabat melakukan kesalahan-kesalahan.
Jika Kaum Syiah mempelajari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para sahabat setelah Rasulullah wafat; supaya Kaum Syiah tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama; maka Ulama Sunni tersebut akan marah dan akan tersinggung; kemudian Ulama Sunni tersebut menuduh Kaum Syiah sebagai orang-orang yang suka menghamun (mencela, menghina) para sahabat; padahal SYIRIK (dosa terbesar) adalah keyakinan Kaum Sunni.
Apa yang dimaksud “wafat dalam keadaan islam”?. Apakah setiap orang yang dinyatakan sahabat oleh Ibnu Hajar [dalam Al Ishabah] memiliki data riwayat bahwa mereka wafat dalam keadaan islam.
ucapan anda dipertanggungjawabkan di hadapan Allah lho…jangan asal ucap, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar!”(QS. AlBaqarah: 111).
Di dalam Bab II, “Sawaiq al-Muhriqah”, Ibn Hajar mencatatkan Hafiz Jamaluddin Mohammad bin Yusuf Zarandi Madani (seorang faqih dan ulama di kalangan mazhab Sunni) yang mengatakan, “…
Tatkala engkau dan pengikut-pengikut (Syi’ah) engkau akan datang pada Hari Pembalasan kelak di dalam keadaan diridhai Allah dan Allah ridha terhadap kamu semua. Musuh-musuh engkau akan berasa cemburu dan tangan mereka akan dibelenggu ke leher mereka.”. Kemudian Ali as bertanya siapakah musuhnya. Rasulullah saww menjawab, “Orang-orang yang memusuhi engkau dan yang menghina engkau.” Allamah Samhudi di dalam “Jawahirul”, dengan pengesahan Hafiz Jamaluddin Zarandi Madani dan Nuruddin Ali bin Mohammad bin Ahmad Maliki Makki yang terkenal sebagai Ibn Sabbagh, yang dianggap sebagai ulama yang berwibawa dari kalangan ulama Sunni dan juga seorang ahli ilmu kalam, di dalam bukunya “Fusul al-Muhimmah”, pada halaman 122, memetik dari Abdullah bin Abbas bahwa, ketika ayat tersebut diwahyukan Rasulullah saww bersabda kepada Ali as, “Engkau dan Syi’ahmu. Engkau dan merekalah yang akan datang di Hari Pembalasan kelak dengan penuh keridhaan dan kepuasan, manakala musuh-musuh engkau akan datang dengan kesedihan dan terbelenggu tangan-tangan mereka.”.
Mir Syed Ali Hamdani Syafie, salah seorang daripada ulama Sunni yang terpercaya, menyebut di dalam bukunya “Mawaddatul Qurba.” Juga Ibn Hajar, seorang yang terkenal sebagai anti-Syi’ah di dalam bukunya “Sawaiq al-Muhriqah” meriwayatkan dari Ummul Mukminin Ummu Salamah, isteri Nabi saww, bahwa Rasulullah saww bersabda, “Hai Ali, engkau dan Syi’ahmu akan kekal di dalam Syurga, engkau dan Syi’ahmu akan kekal di dalam Syurga.”.
Seorang ulama yang terkemuka, Khawarazim Muaffaq bin Ahmad di dalam “Manqib”nya, Bab 19, meriwayatkan dari Rasulullah saww di atas pengesahan yang tidak dapat diragukan, bahwa Baginda Nabi bersabda kepada Ali as, “Di kalangan umatku, engkau adalah seumpama Isa al-Masih Ibn Mariam as, yakni sebagaimana pengikut Nabi Isa as yang telah berpecah kepada tiga kelompok, yaitu yang benar-benar beriman yang dikenali sebagai Hawariyyin, penentangnya yaitu orang-orang Yahudi dan satu lagi golongan yang melampaui batas, yang menyamakan beliau dengan sifat-sifat ketuhanan. Seperti itu juga umat Muslim, yang akan berpecah kepada tiga kelompok terhadap engkau. Salah satu dari mereka adalah Syi’ahmu, dan mereka inilah golongan yang benar-benar beriman. Yang lainnya adalah musuh-musuh engkau dan mereka itulah yang memungkiri janji-janji untuk taat setia kepadamu, dan yang ketiganya adalah golongan yang melampaui batas mengenai kedudukan engkau dan mereka adalah orang-orang yang menolak kebenaran serta tersesat. Jadi, engkau, hai Ali, dan juga Syi’ahmu akan berada di dalam Syurga, dan juga orang-orang yang mencintaimu akan berada di dalam Syurga sedangkan musuh-musuhmu dan mereka yang berlebih-lebihan terhadapmu akan berada di dalam Neraka.”.
Biarin aja mas. Konsekuensi dari kalimat tsb adalah;
(1) Bahwa tidak selalu orang-orang yang beserta Nabi saw akan mati dalam keadaan Islam.
Bagaimana kalau nashibi maksa semuanya harus atau pasti mati dalam keadaan Islam? Wah kalau udah gitu sy nyerah deh.
(2) Bahwa sebelum mereka mati, mereka belum bisa disebut sahabat. Jadi nanti saat mati baru ketahuan mana sahabat mana yang bukan.
(3) Bahkan yang mati pun belum bisa disebut sahabat kalau ga ketahuan matinya kapan, dimana dan bagaimana.
Nah, tinggal nanya ke nashibi: “berapa banyak data yang mereka punyai mengenai orang-orang di sekitar Nabi saw yang matinya ketahuan dalam keadaan Islam?”
Malah bagus kan?
Perawi-perawi dan para ulama telah memberitakan bahwa terdapat sahabat Nabi saw yang munafik serta macam-macam prilaku buruk. Ayat-ayat Alquran sdh memastikan adanya orang-orang di sekitar Nabi saw yang munafik. Hanya salafiyyun yang bersikeras dan ngotot bahwa sahabat Nabi saw tidak ada yang munafik, bahwa semua sahabat ‘adil. Bagi mereka yang mau membaca dan menggunakan akal sehatnya akan mampu melihat secara terang benderang mana pemahaman yang benar mana yang keliru.
Semoga Allah swt memberikan hidayah-Nya kepada kita semua.
(Syiahali/Scondprince/Jakfari/berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email