Kerajaan Perlak
Daftar isi[sembunyikan] |
Sejarah.
Kesultanan Perlak merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia yang berdiri pada tanggal 1 Muharam 225 H atau 804 M. Kesultanan ini terletak di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.a. Sejarah Masuknya Islam
Kesultanan Perlak berdiri pada tahun 840 dan berakhir pada tahun 1292. Proses berdirinya tidak terlepas dari pengaruh Islam di wilayah Sumatera. Sebelum Kesultanan Perlak berdiri, di wilayah Perlak sebenarnya sudah berdiri Negeri Perlak yang raja dan rakyatnya merupakan keturunan dari Maharaja Pho He La (Meurah Perlak Syahir Nuwi) serta keturunan dari pasukan-pasukan pengikutnya.Pada tahun 840 ini, rombongan berjumlah 100 orang dari Timur Tengah menuju pantai Sumatera yang dipimpin oleh Nakhoda Khilafah. Rombongan ini bertujuan untuk berdagang sekaligus membawa sejumlah da'i yang bertugas untuk membawa dan menyebarkan Islam ke Perlak. Dalam waktu kurang dari setengah abad, raja dan rakyat Perlak meninggalkan agama lama mereka (Hindu dan Buddha), yang kemudian secara sukarela berbondong-bondong memeluk Islam.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa salah seorang anak buah dari Nakhoda Khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja'far Shadiq dikawinkan dengan Makhdum Tansyuri, yang merupakan adik dari Syahir Nuwi, Raja Negeri Perlak yang berketurunan Parsi. Dari buah perkawinan mereka lahirlah Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah, yang menjadi sultan pertama di Kesultanan Perlak sejak tahun 840. Ibu kotanya Perlak yang semula bernama Bandar Perlak kemudian diubah menjadi Bandar Khalifah sebagai bentuk perhargaan terhadap jasa Nakhoda Khalifah.
b. Masa Permusuhan Sunni-Syiah.
Sejarah keislaman di Kesultanan Perlak tidak luput dari persaingan antara kelompok Sunni dan Syiah. Perebutan kekuasaan antara dua kelompok Muslim ini menyebabkan terjadinya perang saudara dan pertumpahan darah. Silih berganti kelompok yang menang mengambil alih kekuasaan dari tangan pesaingnya.Aliran Syi'ah datang ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia. Mereka masuk pertama kali melalui Kesultanan Perlak dengan dukungan penuh dari dinasti Fatimiah di Mesir. Ketika dinasti ini runtuh pada tahun 1268, hubungan antara kelompok Syi'ah di pantai Sumatera dengan kelompok Syi'ah di Mesir mulai terputus. Kondisi ini menyebabkan konstelasi politik Mesir berubah haluan. Dinasti Mamaluk memerintahkan pasukan yang dipimpin oleh Syaikh Ismail untuk pergi ke pantai timur Sumatra dengan tujuan utamanya adalah melenyapkan pengikut Syi'ah di Kesultanan Perlak dan Kerajaan Samudera Pasai.
Sebagai informasi tambahan bahwa raja pertama Kerajaan Samudera Pasai, Marah Silu dengan gelar Malikul Saleh berpindah agama, yang awalnya beragama Hindu kemudian memeluk Islam aliran Syiah. Oleh karena dapat dibujuk oleh Syaikh Ismail, Marah Silu kemudian menganut paham Syafii. Dua pengikut Marah Silu, Seri Kaya dan Bawa Kaya juga menganut paham Syafii, sehingga nama mereka berubah menjadi Sidi Ali Chiatuddin dan Sidi Ali Hasanuddin. Ketika berkuasa Marah Silu dikenal sebagai raja yang sangat anti terhadap pemikiran dan pengikut Syi'ah.
Aliran Sunni mulai masuk ke Kesultanan Perlak, yaitu pada masa pemerintahan sultan ke-3, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah. Setelah ia meninggal pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni, yang menyebabkan kesultanan dalam kondisi tanpa pemimpin. Pada tahun 302 H (915 M), kelompok Syiah memenangkan perang. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah kemudian memegang kekuasaan kesultanan sebagai sultan ke-4 (915-918). Ketika pemerintahannya berakhir, terjadi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni, hanya saja untuk kali ini justru dimenangkan oleh kelompok Sunni.
Kurun waktu antara tahun 918 hingga tahun 956 relatif tidak terjadi gejolak yang berarti. Hanya saja, pada tahun 362 H (956 M), setelah sultan ke-7, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat meninggal, terjadi lagi pergolakan antara kelompok Syiah dan Sunni selama kurang lebih empat tahun. Bedanya, pergolakan kali ini diakhiri dengan adanya itikad perdamaian dari keduanya. Kesultanan kemudian dibagi menjadi dua bagian. Pertama, Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988). Kedua, Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023).
Kedua kepemimpinan tersebut bersatu kembali ketika salah satu dari pemimpin kedua wilayah tersebut, yaitu Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal. Ia meninggal ketika Perlak berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Kondisi perang inilah yang membangkitkan semangat bersatunya kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya hanya menguasai Perlak Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada Kesultanan Perlak. Ia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006. Sultan ke-8 sebenarnya berpaham aliran Sunni, namun sayangnya belum ditemukan data yang menyebutkan apakah terjadi lagi pergolakan antar kedua aliran tersebut.
Silsilah.
Sebelum berdirinya Kesultanan Perlak, di wilayah Negeri Perlak sudah ada rajanya, yaitu Meurah Perlak Syahir Nuwi. Namun, data tentang raja-raja Negeri Perlak secara lengkap belum ditemukan. Sedangkan daftar nama sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Pelak adalah sebagai berikut:1. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (840-864)
2. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864-888)
3. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888-913)
4. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915-918)
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (928-932)
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (932-956)
7. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (956-983)
8. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986-1023)
9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1023-1059)
10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Shah Johan Berdaulat (1059-1078)
11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan Berdaulat (1078-1109)
12. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat (1109-1135)
13. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1135-1160)
14. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat (1160-1173)
15. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan Berdaulat (1173-1200)
16. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Shah Johan Berdaulat (1200-1230)
17. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (1230-1267
18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267-1292)
Catatan: Sultan-sultan di atas dibagi menurut dua dinasti, yaitu dinasti Syed Maulana Abdul Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat, yang merupakan keturunan dari Meurah Perlak asli (Syahir Nuwi).
Periode Pemerintahan.
Sultan Perlak ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat, melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga. Ia menikahkan dua orang puterinya, yaitu: Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara) dan Putri Ganggang dinikahkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, al-Malik al-Saleh.Kesultanan Perlak berakhir setelah Sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun 1292. Kesultanan Perlak kemudian menyatu dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah kekuasaan sultan Samudera Pasai yang memerintah pada saat itu, Sultan Muhammad Malik Al Zahir yang juga merupakan putera dari al-Malik al-Saleh.
Wilayah Kekuasaan.
Sebelum bersatu dengan Kerajaan Samudera Pasai, wilayah kekuasaan Kesultanan Perlak hanya mencakup kawasan sekitar Perlak saja. Saat ini, kesultanan ini terletak di pesisir timur daerah aceh yang tepatnya berada di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.Struktur Pemerintahan.
Kehidupan Sosial-Budaya.
Perlak dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang didukung dengan letaknya yang sangat strategis. Apalagi, Perlak sangat dikenal sebagai penghasil kayu perlak, yaitu jenis kayu yang sangat bagus untuk membuat kapal. Kondisi semacam inilah yang membuat para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia tertarik untuk datang ke daerah ini. Masuknya para pedagang tersebut juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam di kawasan ini. Kedatangan mereka berpengaruh terhadap kehidupan sosio-budaya masyarakat Perlak pada saat itu. Sebab, ketika itu masyarakat Perlak mulai diperkenalkan tentang bagaimana caranya berdagang. Pada awal abad ke-8, Perlak dikenal sebagai pelabuhan niaga yang sangat maju.Model pernikahan percampuran mulai terjadi di daerah ini sebagai konsekuensi dari membaurnya antara masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang. Kelompok pendatang bermaksud menyebarluaskan misi Islamisasi dengan cara menikahi wanita-wanita setempat. Sebenarnya tidak hanya itu saja, pernikahan campuran juga dimaksudkan untuk mengembangkan sayap perdagangan dari pihak pendatang di daerah ini.
Sumber:
Syi’ah Adalah Pembawa Masuk Islam Pertama Kali ke Asia Tenggara.
Syi’ah Adalah Pembawa Masuk Islam Pertama Kali ke Asia Tenggara jadi bagaimana mungkin kami sesat ???
Iran, Syiah, dan Pengaruhnya di Indonesia.Syiah bukanlah idiom yang asing dan berbahaya, melainkan menunjukkan tradisi keilmuan yang tinggi sebagaimana yang dikembangkan di Iran. Kesemua fakta ini menunjukkan kenyataan terjadinya proses sinkretisasi antara Syiah dengan kebudayaan setempat di Indonesia yang sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke nusantara.
Iran, Syiah, dan Pengaruhnya di Indonesia.Keberhasilan Revolusi Islam Iran yang terinspirasi dari doktrin-doktrin Islam Syiah, dalam banyak hal menghembuskan angin perubahan (the wind of changes). Tidak hanya di dalam negeri Iran, peta politik di Timur Tengah namun juga memberikan pengaruh yang tidak sedikit pada pergulatan pemikiran di Indonesia.
Tentang pengaruh revolusi tersebut, Dr Richard N Frye, ahli masalah Iran di Universitas Harvard, berkomentar: “Revolusi Islam di Iran bukan hanya titik-balik dalam sejarah Iran saja. Revolusi itu juga merupakan satu titik-balik bagi rakyat di seluruh negara- negara Islam, bahkan bagi massa rakyat di dunia ketiga”.
Pemikiran tokoh-tokoh di balik Revolusi Islam Iran, seperti Ayatullah Khomenei, Syahid Muthahari, Dr Ali Syariati, dan Allamah Thabathabai serta merta menjadi kiblat politik alternatif bagi cendekiawan dan para pemikir Islam di Indonesia.
Karenanya, tidak mengherankan jika kita dengan mudah menemukan intelektual Indonesia dengan begitu fasih mengutip transkrip-transkrip pemikiran Ali Syari’ati, Muthahhari atau pemikir-pemikir Syi’ah lainnya. Bukan hanya Jalaluddin Rahmat yang mendapat gelar Syiah hanya karena menamakan yayasan yang didirikannya: Yayasan Muthahhari.
Amien Rais pernah menerima gelar Syi’ah juga, karena dalam banyak kesempatan, ia sering mengutip Ali Syari’ati bahkan juga menyempatkan diri menerjemahkan karya tulis Ali Syariati.
Masuknya karya-karya para pemikir Iran di Indonesia menjadi oase bagi banyak intelektual Indonesia. Kajian filsafat, misalnya, yang dalam diskursus pemikiran Syiah tidak pernah terputus.
Sehingga, ketika pemikiran mereka bersentuhan dengan kalangan intelektual Indonesia, banyak yang tercengang. Tentang karya Murthada Muthahhari Sejarah dan Masyarakat misalnya, Damam Rahardjo berkomentar: “Sulit membayangkan, seorang dengan pakaian jubah, seperti para kyai dan ulama di Indonesia, menulis buku seperti itu, penuh dengan ulasan-ulasan yang spekulatif, menunjukkan olah pikir yang intens”.
Tentang khazanah keilmuan Syi’ah, Prof DR H Umar Shihab (Ketua MUI Pusat) dalam kunjungannya ke Iran beberapa hari lalu bersama Prof Dr HM Galib MA (sekretaris MUI Sulsel) berkomentar: “Dalam kunjungan ini, kami tercengang melihat khazanah kepustakaan Islam yang begitu lengkap di Teheran, Masyhad dan Qom, dan sangat menyesal baru mengunjunginya di usia saya yang 70 tahun ini.”
Tradisi Syiah.
Kajian tentang Syi’ah di Indonesia, telah dilakukan oleh sejumlah ahli dan pengamat sejarah, sebagian besar diantaranya berkesimpulan bahwa orang-orang Persia -yang pernah tinggal di Gujarat- yang berpaham Syiahlah yang pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia.
Bahkan dikatakan Syi’ah pernah menjadi kekuatan politik yang tangguh di nusantara.
M Yunus Jamil dalam bukunya Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh (1968) menulis kerajaan Islam yang pertama berdiri di Nusantara adalah Kerajaan Peureulak (Perlak) yang didirikan pada 225H/845M. Pendiri kerajaan ini adalah para pelaut-pedagang Muslim asal Persia, Arab dan Gujarat dan mengangkat seorang Sayyid Maulana ‘Abd al-Aziz Syah, keturunan Arab-Quraisy, yang menganut paham politik Syi’ah, sebagai sultan Perlak.
Agus Sunyoto, staf Lembaga Penerangan dan Laboratorium Islam (LPII) Surabaya yang dipimpin Dr Saleh Jufri, seperti dilaporkan Majalah Prospek (10 Nopember 1991), melalui penelitiannya menyimpulkan, bahwa Syaikh ‘Abd al-Ra’uf Al-Sinkli, salah seorang ulama besar nusantara asal Aceh pada abad ke-17, adalah pengikut dan penggubah sastra Syi’ah. Ia pun setelah melakukan penelitian terhadap kuburan-kuburan di Jawa Timur, berkesimpulan bahwa dari segi fisik dan arsitekturnya itu adalah kuburan-kuburan orang Syi’ah.
Bahkan Agus Sunyoto lewat bukti-bukti sejarah, berspekulasi, sebagian besar dari Walisongo adalah ulama Syi’ah. Dengan tegas ia menulis, Syekh Maulana Malik Ibrahim, guru dari semua sunan wali songo adalah Syiah
Mazhab Syafi’i.
Dalam masyarakat NU, pengaruh Syi’ah pun cukup kuat di dalammya, Dr Said Agil Siraj, Wakil Katib Syuriah PBNU secara terang mengatakan, “Harus diakui, pengaruh Syi’ah di NU sangat besar dan mendalam. Kebiasaan membaca Barzanji atau Diba’i yang menjadi ciri khas masyarakat NU misalnya, jelas berasal dari tradisi Syi’ah”.
KH Abdurrahman Wahid bahkan pernah mengatakan bahwa Nahdatul Ulama secara kultural adalah Syi’ah. Ada beberapa shalawat khas Syi’ah yang sampai sekarang masih dijalankan di pesantren-pesantren.
Ada wirid-wirid tertentu yang jelas menyebutkan lima keturunan Ahlul Bait. Kemudian juga tradisi ziarah kubur, lalu membuat kubah pada kuburan. Itu semua tradisi Syi’ah.
Tradisi itu lahir di Indonesia dalam bentuk mazhab Syafi’i padahal sangat berbeda dengan mazhab Syafi’i yang dijalankan di negara-negara lain. Berkembangnya ajaran pantheisme (kesatuan wujud, union mistik, Manunggal ing Kawula Gusti), di Jawa dan Sumatera merupakan pandangan teologi dan mistisisme (tasawuf falsafi) yang sinkron dengan aqidah Syiah dan sangat bertentangan dengan paham Islam wahabi yang literal.
Ritus-ritus Tabut di Bengkulu dan Sumatera dan Gerebek Sura di Jogjakarta dan Ponorogo adalah ritus teologi Syiah yang datang dari Gujarat-Persia. Doktor Muhammad Zafar Iqbal dalam bukunya, Kafilah Budaya meruntut berbagai fakta tentang adanya pengaruh-pengaruh tradisi Syiah dan Iran di tanah air terutama bagi masyarakat Minangkabau yang masih terjaga sampai kini.
Perguruan Tinggi pertama di Aceh bernama Universitas Syiah Kuala, menunjukkan fakta lainnya. Universitas yang disingkat Unsyiah yang diresmikan berdirinya oleh Presiden Soekarno tahun 1959 menunjukkan bahwa idiom Syiah telah sangat dikenal masyarakat.
Syiah bukanlah idiom yang asing dan berbahaya, melainkan menunjukkan tradisi keilmuan yang tinggi sebagaimana yang dikembangkan di Iran. Kesemua fakta ini menunjukkan kenyataan terjadinya proses sinkretisasi antara Syiah dengan kebudayaan setempat di Indonesia yang sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke nusantara.
Karenanya, lewat tulisan ini saya menggugat, jika dikatakan tradisi Iran dan Syiah baru datang ke Indonesia belakangan ini dan dikatakan tidak sesuai dengan tradisi masyarakat Muslim Indonesia yang bermazhab Sunni. Justru yang bertentangan dengan tradisi masyarakat Muslim Indonesia adalah yang menganggap bid’ah dan sesat hal-hal yang selama ini ditradisikan masyarakat kita, terutama Muslim Bugis-Makassar, seperti shalawatan, barazanji, maulid dan menyimpan gambar-gambar wajah wali yang dianggap mendatangkan keberkahan.
Tentunya, kajian tentang Syi’ah memang dibutuhkan. Tidak saja untuk kepentingan akademisi dan mengenal lebih dekat pemikiran Syiah, namun ia juga mempunyai kepentingan ganda: Untuk menentukan sikap! Sebab, sebagaimana pesan Imam Ali as, “Seseorang cenderung memusuhi yang tidak diketahuinya”.
Teori Persia.
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran).
Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:
a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
b. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.
c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tandatanda bunyi Harakat.
d. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
e. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.
Akan tetapi, hampir setiap pendapat itu memiliki konsekwensi. Jika seseorang memercayainya suatu pendapat dari pendapat-pendapat itu, maka, bagaimana pun, ia mesti menerima konsekwensi-konsekwensi yang ada.
Seperti jika percaya pendapat bahwa Islam dibawa masuk dari Persia, sedikit-banyaknya, akan membuat kita berpikir, para penyebar Islam pertama kali di Nusantara adalah orang-orang Syiah. Dan karena itu, Syiah adalah bentuk akidah pertama yang diterima di Indonesia. Baru setelah itu Islam ahlu Sunnah wal Jamaah yang berkembang.
Hoesein Djajadiningrat mengemukakan pendapat tentang masuknya Islam di Indonesia. Djajadiningrat dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang mempertahankan disertasi di Universitas Leiden, Belanda, pada 1913. Disertasinya itu berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten(Pandangan Kritis Mengenai Sejarah Banten).
Menurut Hoesein Djajadiningrat , Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia. Djajadiningrat beralasan, peringatan 10 Muharram atau hari Asyura sebagai hari kematian Husein bin Ali bin Abi Thalib yang ada di Indonesia berasal dari perayaan kaum Syiah di Persia. Peringatan 10 Muharram itu lebih dikenal sebagai perayaan Hari Karbala.
Djajadiningrat juga yakin dengan pendapat ini, karena keberadaan pengaruh bahasa Persia di beberapa tempat di Indonesia. Selain itu, keberadaan Syeikh Siti Jenar dan Hamzah Fansuri dalam sejarah Indonesia menandakan adanya pengaruh ajaran wihdatul wujud Al-Hallaj, seorang Sufi ekstrem yang berasal dari tanah Persia.
Unlike · · Share · Yesterday
-
You, Bin Alwi Idrus Shahab and 29 others like this.
-
-
Akhi Abdi Ali Syukran…3x. Semoga posting ini bs menambah kekayaan khazanah keilmuan bagi masyarakat kita di asia tenggara khususnya di nusantara sehingga bs mengembalikan kesadaran serta semangat kita agar mengkaji lg lebih dalam secara jujur “Sejarah Kita” khususnya oleh pemerintah sbg pembuat kebijakan dalam penyusunan kurikulum sejarah khususnya “Sejarah masuknya Islam di Nusantara” bagi sekolah2 hingga perguruan tinggi di negeri kita utk membangun “Masyarakat Ilmiyah atau Masyarakat Pecinta Kebenaran” demi melaksanakan Amanat UUD’45 yaitu “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Semoga bangsa kita khususnya Ummat Islam kembali kpd jati dirinya sbg Makhluq Tuhan yg diwajibkan utk Menghamba kepada-NYA” serta Mencintai Ahlulbait as (QS.ASY-SYURA: 23) dan Mentaati Ahlulbait as (QS.AN-NISA: 59) sbg Ulil-Amri atau “Imam bagi manusia (QS.AL-BAQARAH: 124)” yg telah “disucikan Allah sesuci-sucinya sbg AL-MUTHOHHARUN (QS.AL-AHZAB: 33)” yg sdh ALLAH tetapkan bhw hanya merekalah yg mampu menyentuh KITABULLAH yg ada di LAUHUL-MAHFUZ (QS.AL-WAQI`AH: 78-79), merekalah AHLI-QUR`AN (MANUSIA-QUR`AN) yg ALLAH wajibkan kpd kita utk bertanya kpd mereka (QS.AN-NAHL: 43) yg ALLAH TA’ALA & Malaikat2-NYA ber-SHOLAWAT yg kita pun diperntahkan-NYA ber-SHOLAWAT (QS.AL-AHZAB: 56) : “ALLAHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD WA AALI MUHAMMAD”, Ilahi amien YRA…
Post a Comment
mohon gunakan email