Dalam dunia kehidupan rumah tangga, bila pihak suami maupun istri bertindak tak ubahnya seorang majikan yang suka memerintah pembantunya, maka tak ada pilihan lain bagi pasangannya kecuali bersikap taat dan berserah diri. Kita seringkali menemui seorang suami yang memperlakukan istrinya seperti pelayan atau budak yang tidak punya pilihan selain ketaatan. Ini tercermin dari pertanyaan-pertanyaan sinis sang suami kepada istrinya seperti; mengapa engkau tidak mengerjakan ini, mengapa tidak engkau hidangkan makanan ini, mengapa dan mengapa. Seperti celoteh interogatif jaksa penuntut dihadapan terdakwa.
————————————————————————
Singgasana Para Pengantin; Ketegaran yang Berbuah Kebahagian
Karya: DR. Ali Qo’imi
Kehidupan keluarga hendaklah dipupuk dengan kasih saying. Masing-masing pihak, suami maupun istri, harus saling bertanggung jawab satu sama lain. Karena itu, keduanya harus saling memiliki ketegaran dan kesabaran yang penuh dalam menghadapi kehidupan. Namun sangat disesalkan, kita seringkali menjumpai sebagian orang, lantaran hasutan serta beratnya pekerjaan dan kehidupan yang digeluti, telah kehilangan sikap semacam ini. Mereka tidak mampu bersikap tegar menghadapi pasangan hidupnya dan hanya lantaran sebab yang sepele, ia langsung bertindak di luar batas sehingga mengancam kebahagiaan keluarga. Dalam tulisan ini akan diketengahkan pembahasan tentang akar-akar penyebab terjadinya persoalan tersebut.
Dalam perjalanan kehidupan manusia selalu diwarnai oleh berbagai bentuk perilaku, kebiasaan dan sikap domestiknya. Dapat dikatakan bahwa setiap orang memiliki cara bertindak dan perilaku yang khas. Dalam dunia kehidupan rumah tangga, bila pihak suami maupun istri bertindak tak ubahnya seorang majikan yang suka memerintah pembantunya, maka tak ada pilihan lain bagi pasangannya kecuali bersikap taat dan berserah diri. Kita seringkali menemui seorang suami yang memperlakukan istrinya seperti pelayan atau budak yang tidak punya pilihan selain ketaatan. Ini tercermin dari pertanyaan-pertanyaan sinis sang suami kepada istrinya seperti; mengapa engkau tidak mengerjakan ini, mengapa tidak engkau hidangkan makanan ini, mengapa dan mengapa. Seperti celoteh interogatif jaksa penuntut dihadapan terdakwa.
Sang suami tersebut lupa bahwa istrinya berdasarkan syariat Islam dan undang-undang, tidak wajib menunaikan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Dengan kata lain, pekerjaan-pekerjaan tersebut lebih dipandang sebagai pekerjaan-pekerjaan yang berbobot kemanusian nan mulia yang dilakukan istri karena kasih sayangnya, sehingga patut dipuji dan dihargai bila dilaksanakan sang istri. Sebaliknya pula, kita tak jarang menjumpai seorang istri yang memperlakukan suaminya tak lebih sebagai seorang hamba yang hina dina. Dalam hal ini, keberadaan sang suami tak ubahnya bidak-bidak catur, mengikuti perhitungan, perintah dan larangan istrinya. Dan bila suaminya jatuh miskin, seorang istri akan menyebut-nyebut hal itu seraca memperlihatkan kekayaan dirinya. Perilaku semacam ini jelas tidak sejalan dengan hakikat kemanusiaan serta prinsip dan landasan kehidupan bersama.
Akhlak buruk, sikap kasar, serta tidak adanya ketegaran dalam bergaul merupakan penyebab timbulnya pertengkaran yang dapat merusak kehidupan bersama. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa akhlak yang buruk dan tidak adanya ketegaran dalam pergaulan akan menyebabkan ketuaan yang bersifat prematur (tua sebelum waktunya). Penelitian lain membuktikan bahwasanya sebagian besar penyakit hati (lever) disebabkan lantaran pertengkaran, dan tidak adanya ketegaran, khususnya diantara pasangan suami-istri yang gemar berpetualang.
Suasana kehidupan keluarga yang selalu diliputi ketegangan akibat perilaku kasar dan pengekangan yang berlebihan akan menggiring anak-anak ke dalam situasi yang sangat berbahaya. Jiwa mereka niscaya akan terguncang hebat. Selain itu, mereka juga akan kehilangan perasaan tenang yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan mentalnya.
Untuk menelaah sebab-sebab yang tersenbunyi di balik segenap apa yang telah dijelaskan, kami akan mengemukakan sejumlah hal yang dapat menjelaskan permasalahan diatas.
1. Tidak adanya saling pengertian.
Tidak adanya sikap saling mengerti dan minimnya pengetahuan tentang pelbagai ketentuan yang harus dipelihara dalam pergaulan bersama menyebabkan timbulnya berbagai kesulitan yang menjurus pada pertengkaran. Adapun penyebab tidak adanya saling pengertian dan keharmonisan, sebagiannya bersumber pada kesenjangan usia, pengertian dan pengalaman hidup. Sementara sebagian lainnya bersumber dari perbedaan selera dan gaya hidup.
Salah satu hal yang patut disesalkan adalah pasangan suami-istri sekalipun telah menjalani kehidupan bersama selama beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun gagal mengenali kepribadian pasangannya. Padahal, dengan saling mengenal satu sama lain, berbagai persoalan hidup akan dapat diatasi dengan mudah dan keduanya akan selalu bersikap tegar demi menjaga keharmonisan hidup bersama.
2. Kemelut Hidup.
Banyak orang yang memperhatikan dan memnerlakukan aturan-aturan sedemikian rupa hanya demi memenuhi ambisinya semata. Orang-orang semacam ini begitu mudah naik pitam dan marah besar ketika mengetahui adanya kesalahan barang sedikit saja.
Dalam kasus ini, bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi misalnya, apabila seorang suami yang begitu ketat memberlakukan aturan pulang kerumahnya, sementara ia menganggap segala sesuatu dalam keadaan baik dan rapi. Namun kemudian ia menjumpai keadaan rumah yang begitu kacau balau dan semrawut. Apa lagi yang akan terjadi kalu bukan pertengkaran dan ocehan yang menykitkan hati
3. Kerja keras
Betapa banyak orang yang gampang mengumbar amarah hanya lantaran sebab-sebab yang sangat sepele. Dalam hal ini, kami menemukan alasannya, pekerjaan yang menumpuk dan melelahkan telah melemahkan jaringan saraf mereka, sehingga menghilangkan kemampuan untuk bersikap tegar dan berfikir jernih . Dalam keadaan demikian, mereka acapkali secara tiba-tiba belaku buruk terhadap istrinya tanpa menyertakan belaskasih sedikitpun dan tanpa sebab yang jelas. Situasinya bahkan sedemikian rupa, sampai-sampai kita menjumpai adanya sebagian istri yang harus bekerja rodi di rumahnya, sehingga menjadikan dirinya nampak seperti mayat hidup. Para istri tersebut sungguh telah kehilangan kemampuannya untuk berinteraksi dengan suaminya secara layak, bijak dan berimbang. Kami mewasiatkan kepada seluruh pasangan suami-istri agar senantiasa bersikap seimbang dalam hal pekerjaan serta memelihara pelbagai batasan kehidupan bersama secara konsekuen.
4. Kekacauan pikiran
Adakalanya kita menjumpai seseorang yang dilanda banyak masalah dan terus berduka lantaran mengalami kekacauan pikiran dan gangguan mental. Hal tersebut pada gilirannya menimbulkan sejumlah problema lain, seperti rasa was-was yang mendorong amarah, tidak dapat bersikap tegar, dan sering berperilaku sangat kasar, karenanya sedikit saja mereka mengalami benturan, niscaya tapi kemarahan akan segera berkobar.
5. Faktor faktor luar
Tak jarang sebuah pertangkaran dalam keluarga dipicu oleh sejumlah faktor yang datang dari luar, misalnya, seorang suami yang bekerja di suatu tempat kemudian bertengkar dengan sejawatnya. Pertengkaran tersebut pada gilirannya begitu membekas dihati sehingga menjadikannya merasa kesal dan mendendam. Kemudian, lantaran suatu sebab, atau bahkan tidak ada sebab sekalipun, ia langsung menumpahkan kemarahan dan dendamnya kepada keluarganya.
Begitu pula dengan seorang ibu rumah tangga yang tidak mampu lagi menguasai dirinya lantaran selalu mengamat-amati kehidupan tetangganya yang hidup makmur. Semua itu kemudian melahirkan penyesalan dalam diri yang tak jarang diungkapkan dalam bentuk keluhan dan tangisan. Sungguh tidak masuk akal apabila seorang suami atau istri lantaran diterjang problema diluar rumah, bersikap mementingkan dirinya sendiri, ketika pulang kerumah, dirinya berusaha menghilangkan kekesalannya dengan cara menumpahkan amarahnya kepada orang orang yang tidak bersalah.
6. Minimnya ketegaran
Seringkali seseorang sampai hilang kesabarannya dan naik pitam ketika menghadapi sejumlah pertanyaan istrinya (yang sebenarnya tidak sampai menyinggung hati). Namun entah mengapa ia langsung gelisah dan berteriak, “Mengapa engkau tidak menjauh dariku?” Biarkanlah aku dengan urusanku! Dalam kasus ini, sang suami sungguh tidak mampu bersikap tegar.
7. Tidak adanya keseimbangan jiwa
Seorang suami yang kehilangan keseimbangan jiwa niscaya akan menderita komplek rendah diri (inferiority complex). Lantaran itu, ia akan selalu menumpahkan segenap problema yang dihadapi pada keluarganya. Dalam hal ini, istri dan anak anaknya akan terjangkit dua hal, penyakit jiwa lantaran ketenangan rohaninya telah hilang sehingga mudah emosi dan menumpahkan amarah kepada segenap hal, dan penyakit sadisme (merasa senang menyaksikan dan menjadikan orang lain menderita).
8. Tidak adanya kelembutan
Tidak adanya kelembutan dan sikap menghargai perasaan orang lain dalam pegaulan acapkali menyulut terjadinya banyak pertengkaran. Keterusterangan tentu merupakan tindakan terpuji asalkan tidak sampai melanggar batas-batas etika dan sopan santun, serta dengan selalu memperhatikan ketegaran pihak lain yang menjadi pendengar. Keterusterangan seperti apakah yang bisa menyulut kobaran api yang melalap seisi rumah atau menjadi pedang beracun dalam diri manusia?
Kehidupan rumah tangga menuntut kecermatan dan kehati-hatian dalam berbicara serta bergaul. Adalah bijak menghindari keterusterangan jika itu hanya akan menyebabkan timbulnya pelbagai pengaruh destruktif. Dalam hal ini, masih banyak cara lain yang dapat ditempuh yang tidak sampai membuahkan akibat buruk. Dalam uraian sebelumnya, kita telah mengetahui bahwa sikap irasional dalam kehidupn bersama (suami-istri) merupakan penyebab langsung terjadinya pertengkaran-pertengkaran yang dapat merontokkan sendi-sendi kehidupan rumah tangga. Untuk itu, baik pihak suami maupun istri dituntut untuk selalu bersikap rasional dalam mengarungi lika-liku hidup bersama demi menepis kabut kelam yang menyelubungi cakrawala kehidupan keluarga.
(disarikan oleh Afita, Qom Iran).
Post a Comment
mohon gunakan email