Pesan Rahbar

Home » » Kerajaan Samudera Pasai dan Sebuah Kejayaan Masa Lalu

Kerajaan Samudera Pasai dan Sebuah Kejayaan Masa Lalu

Written By Unknown on Saturday, 15 November 2014 | 20:05:00


Kerajaan Samudera Pasai dideklarasikan secara resmi sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia. Ini menurut buku-buku teks pelajaran di sekolah-sekolah. Namun, sebenarnya, Kerajaan Perlak lah yang pertama kali berdiri sebelumnya.

Kerajaan Perlak, Kerajaan Islam Indonesia yang Pertama


Ada banyak kerajaan Islam di Indonesia. Tentu ini adalah salah satu faktor yang menjadikan Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Dari sekian banyak kerajaan, kerajaan Islam yang pertama di Indonesia adalah Kerajaan Perlak yang berlokasi di Aceh Timur, daerah Perlak di Aceh sekarang. Ada sedikit yang ganjal di sini. Dalam buku-buku teks pelajaran di sekolah, disebutkan kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah Kerajaan Samudera Pasai. Namun, fakta menyebutkan Perlak lebih dulu ada daripada Samudera Pasai. Kerajaan Perlak muncul mulai tahu 840 M sampai tahun 1292 M. Bandingkan dengan kerajaan Samudera Pasai yang sama-sama mengambil lokasi di Aceh. Berdiri tahun 1267, Kerajaan ini akhirnya lenyap tahun 1521. Entah mengapa dalam buku-buku pelajaran, tertulis secara jelas kerajaan Samudera Pasai-lah kerajaan Islam yang pertama di Indonesia. Sebuah kesengajaan atau sebuah kebetulan ? Berbeda dengan kesepakatan yang pasti tentang daerah yang pertama kali dimasuki Islam ataupun kerajaan Islam pertama di Jawa, kerajaan Islam pertama di Indonesia masih simpang siur kepastiannya.

Kerajaan Perlak berdiri tahun 840 M dengan rajanya yang pertama, Sultan Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah. Sebelumnya, memang sudah ada Negeri Perlak yang pemimpinnya merupakan keturunan dari Meurah Perlak Syahir Nuwi atau Maharaja Pho He La. Pada tahun 840 ini, datanglah rombongan berjumlah 100 orang yang dipimpin oleh Nakhoda Khalifah. Tujuan mereka adalah berdagang sekaligus berdakwah menyebarkan agama Islam di Perlak. Pemimpin dan para penduduk Negeri Perlak pun akhirnya meninggalkan agama lama mereka untuk berpindah ke agama Islam. Selanjutnya, salah satu anak buah Nakhoda Khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja`far Shadiq dinikahkan dengan Makhdum Tansyuri, adik dari Syahir Nuwi. Dari perkawinan mereka inilah lahir kemudian Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah, Sultan pertama Kerjaan Perlak. Sultan kemudian mengubah ibukota Kerajaan, yang semula bernama Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah, sebagai penghargaan atas Nakhoda Khalifah. Sultan dan istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, dimakamkan di Paya Meuligo, Perlak, Aceh Timur.

Sultan Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah merupakan sultan yang beralirah paham Syiah. Aliran Syi’ah datang ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia. Mereka masuk pertama kali melalui Kesultanan Perlak dengan dukungan penuh dari dinasti Fatimiah di Mesir. Ketika dinasti ini runtuh pada tahun 1268, hubungan antara kelompok Syi’ah di pantai Sumatera dengan kelompok Syi’ah di Mesir mulai terputus. Kondisi ini menyebabkan konstelasi politik Mesir berubah haluan. Dinasti Mamaluk memerintahkan pasukan yang dipimpin oleh Syaikh Ismail untuk pergi ke pantai timur Sumatra dengan tujuan utamanya adalah melenyapkan pengikut Syi’ah di Kesultanan Perlak dan Kerajaan Samudera Pasai.

Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah, aliran Sunni mulai masuk ke Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada sultan. Kaum Syiah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah naik tahta. Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni yang kali ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Sunni.

Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian. Bagian pertama, Perlak Pesisir (Syiah), dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988). Bagian kedua, Perlak Pedalaman (Sunni), dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023). (Wikipedia.com)

Kedua kepemimpinan tersebut bersatu kembali ketika salah satu dari pemimpin kedua wilayah tersebut, yaitu Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal. Ia meninggal ketika Perlak berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Kondisi perang inilah yang membangkitkan semangat bersatunya kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya hanya menguasai Perlak Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada Kesultanan Perlak. Ia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.

Sultan Perlak ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat, melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga. Ia menikahkan dua orang puterinya dengan para pemimpin kerajaan tetangga. Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara) dan Putri Ganggang dinikahkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, al-Malik al-Saleh. Kesultanan Perlak berakhir setelah Sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun 1292. Kesultanan Perlak kemudian menyatu dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah kekuasaan sultan Samudera Pasai yang memerintah pada saat itu, Sultan Muhammad Malik Al Zahir yang juga merupakan putera dari al-Malik al-Saleh.

Kerajaan Perlak merupakan negeri yang terkenal sebagai penghasil kayu Perlak, yaitu kayu yang berkualitas bagus untuk kapal. Tak heran kalau para pedagang dari Gujarat, Arab dan India tertarik untuk datang ke sini. Pada awal abad ke-8, Kerajaan Perlak berkembang sebagai bandar niaga yang amat maju. Kondisi ini membuat maraknya perkawinan campuran antara para saudagar muslim dengan penduduk setempat. Efeknya adalah perkembangan Islam yang pesat dan pada akhirnya munculnya Kerajaan Islam Perlak sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia.

______________________________

Yah, hal tersebut tidak usah lagi diperdebatkan. Sebab, kedua kerajaan sama-sama berlokasi di negeri Aceh, daerah pertama yang pertama dimasuki Islam. Lagipula, Kerajaan Perlak nantinya akan bergabung dengan Samudera Pasai.

Samudera Pasai didirikan oleh Nizamudin Al-Kamil pada tahun 1267. Nizamudin Al-Kamil adalah seorang laksamana angkatan laut dari Mesir sewaktu dinasti Fatimiyah berkuasa. Ia ditugaskan untuk merebut pelabuhan Kambayat di Gujarat pada tahun 1238 M. Setelah itu, ia mendirikan Kerajaan Pasai untuk menguasai perdagangan Lada. Dinasti Fatimiyah merupakan dinasti yang beraliran paham syiah, maka bisa kita anggap bahwa pada waktu itu Kerajaan Pasai juga berpaham Syiah. Naas, pada saat ekspansi ke daerah Sampar Kanan dan Sampar Kiri sang laksamana gugur.

Pada tahun 1284, setelah keruntuhan dinasti Fatimiyah yang beraliran syiah, dinasti Mamaluk yang bermadzhab Syafi`i berinisiatif mengambil alih Kerajaan Pasai. Selain untuk menghilangkan pengaruh syiah, penaklukan ini juga bertujuan untuk menguasai pasar rempah-rempah lada dan pelabuhan Pasai. Maka, Syekh Ismail bersama Fakir Muhammad menunaikan tugas tersebut. Di sana mereka bertemu dengan Merah Silu, keturunan Marah Pasai, dan menjalin persekutuan. Mereka akhirnya berhasil merebut Pasai. Dan dinobatkanlah Merah Silu sebagai raja Samudera Pasai yang pertama, dengan gelar Malik As-Salih pada tahun 1285. Ada kisah-kisah menarik yang diterangkan dalam Hikayat Raja Pasai seputar Merah Silu.

______________________________

Samudera Pasai: Bumi para Wali (bahagian I)

Assalamualaikum. Tiba-tiba timbul gerak untuk memaparkan isi daripada buku "Berpetualang ke Aceh: Mencari Diri dan Erti", daripada bab bertajuk "Samudera Pasai: Bumi para wali." Silalah baca...


SAMUDERA PASAI: BUMI PARA WALI

“Sepeninggal aku telah wafat kelak,
akan muncul sebuah negeri di bawah angin, Samudera namanya.”
“Apabila terdengar kamu nama negeri itu, maka suruhlah sebuah bahtera untuk membawa perkakas dan alat kerajaan ke negeri itu,
serta kamu Islamkan sekalian isi negeri itu,
serta ajar mereka mengucap dua kalimah syahadat.
Kerana dalam negeri itu kelak banyak orang yang akan menjadi wali Allah.”
“Tetapi semasa kamu hendak pergi ke negeri itu,
hendaklah kamu singgah mengambil seorang fakir di negeri Mengiri,
bawalah fakir itu bersama-sama belayar ke negeri Samudera itu.”

- Sabda Rasulullah SAW dalam kitab Hikayat Raja-raja Pasai.


Pada satu hari, Merah Silu keluar memburu bersama orang-orangnya membawa anjing pemburunya, si Pasai. Sampai ke satu tempat, baginda menitahkan supaya anjing itu dilepaskan. Seketika kemudian si Pasai menyalak pada satu tanah tinggi. Rupa-rupanya, ia ternampak seekor semut besar, hampir seekor kucing besarnya!

Merah Silu pun menyuruh orang-orangnya menangkap semut itu lalu dibawa pulang ke istana. Entah mengapa, semut itu terus dimakan baginda. Kemudian Merah Silu menyuruh orang-orangnya menebas dan menerangkan tempat tadi kerana raja itu hendak membuat negeri. Baginda pun membangunkan sebuah istana yang cukup lengkap dengan kota dan paritnya serta sebuah penempatan.

Selepas siap segalanya, Merah Silu dan orang-orangnya pun berpindahlah ke negeri yang baru dibuka. Maka negeri itu dinamakan baginda Samudera, ertinya semut besar...

______________________________

Rasyid tertarik apabila mendapat tahu kitab Hikayat Raja-raja Pasai ada menceritakan Nabi Muhammad SAW pernah berpesan kepada seorang sahabat, satu hari nanti akan muncul negeri bawah angin bernama Samudera. Apabila ini terjadi hendaklah dihantar orang membawa perkakas dan alat kerajaan ke sana dan Islamkan sekalian isi negeri kerana di situ ramai orang akan muncul menjadi wali. Rasulullah SAW juga berwasiat supaya rombongan ini singgah di negeri Mengiri mengambil seorang fakir untuk dibawa bersama ke Samudera. Kitab Sulalatus Salatin atau Sejarah Melayu karangan Tun Sri Lanang ada meriwayatkan cerita yang sama tetapi menyebut negeri itu bernama Muktabar pula.

Wasiat itupun sampai kepada Sharif Mekah iaitu Raja yang memerintah Mekah dan sekitarnya, Madinah dan wilayah Hijaz. Menurut satu kisah, baginda mendapat tahu tentang kewujudan Samudera daripada jemaah haji Nusantara yang datang ke Mekah lalu menitahkan supaya diperbuat sebuah bahtera untuk membawa perkakas dan alat kerajaan ke sana. Seorang ulamak besar bernama Sheikh Ismail dijadikan mualim atau nakhoda kapal. Beliau dan orang-orangnya pun belayar ke negeri Mengiri seperti diwasiatkan Nabi, sebuah negeri yang terletak di benua Hindi...

Adapun negeri Mengiri ini diperintah oleh seorang raja bernama Sultan Muhammad. Menurut ceritanya, baginda berasal dari keturunan sahabat karib Rasulullah SAW, Saidina Abu Bakar Al-Siddiq Radiallahuanhu, Khalifah pertama umat Islam.

Sebaik sahaja mendapat tahu ada kapal hendak ke Samudera atas titah Sharif Mekah dan diketuai Sheikh Ismail berlabuh di negerinya, baginda terus turun takhta lalu menabalkan seorang anaknya sebagai Raja Mengiri yang baru. Malah baginda juga melucutkan pakaian kebesaran kerajaan di tubuh-badannya lalu menukarkannya dengan pakaian seorang fakir!

Raja yang telah menjadi fakir inipun membawa seorang anaknya yang muda untuk turut serta meninggalkan istana dan menjadi fakir. Mereka pergi berjumpa Sheikh Ismail lalu meminta supaya dibawa belayar ke Samudera untuk bersama menunaikan wasiat Nabi...

______________________________

“Fakir tu apa uncle Acid?” tiba-tiba Afiq yang baru berumur enam tahun menegur Rasyid yang sedang leka menaip dalam komputer laptop.

Pemuda itu terjaga daripada dunia pemikirannya lalu tersenyum memandang anak lelaki comel kepada seorang rakan tempatnya menumpang minggu itu. “Mengapa Afiq hendak tahu?” dia bertanya.

“Tadi Afiq dengar uncle baca cerita, ada kapallah, ada apa... em... semut? Semut dera? Ada syeikh mail... em... Lepas itu ada orang jadi ha...jadi fakir... Fakir tu apa uncle ? Macam kafir ke?” tanya kanak-kanak itu lagi, innocent...

“Hmm...” getus pemuda itu. Rupa-rupanya dalam sedar tidak sedar dia sudah terbaca kuat isi fikirannya semasa menulis sehingga kanak-kanak ini boleh terdengar hampir setiap kata-katanya. Bagaimana hendak bercerita tentang ini? Budak-budak boleh fahamkah konsep sebenar fakir? Ah... Bagi sahaja jawaban senanglah... Yang biasa orang sebut, fakir itu fakir miskin. Orang sengkek... Merempat, hidup melarat...

Lalu Rasyid menjawab: “Fakir tu orang miskin Fiq... Tak ada kereta, tak ada duit... Kadang-kadang rumah pun tak ada. Tidur kat mana-mana aje, masjid, surau, tepi jalan... Pakai baju pun buruk-buruk belaka...”

“Macam uncle lah, selalu pakai baju buruk juga? Tak ada rumah, suka tidur rumah Afiq?” tanyanya jujur sambil menuding ke arah t-shirt lusuh pemuda itu yang sudah luntur dan berlubang di beberapa tempat.

Rasyid tersenyum mendengar celoteh anak itu. Betul juga katanya... Fakir itu lebih kurang macam dia. Memang pemuda itu lebih selesa berpakaian buruk, lusuh. Dan dia sudah lebih empat tahun tidak bekerja, tidak ada apa-apa sumber pendapatan tetap, apalagi memiliki sebuah rumah.

“A’a lah... Pandai Afiq. Fakir tu macam uncle lah,” anak muda itu menjawab lalu melakonkan gaya seorang peminta sedekah disusuli gelak ketawa.

Tiba-tiba kanak-kanak itu terdiam. Seolah-olah teringatkan sesuatu. Lama kemudian baru dia bersuara: “Tapi Ayah cakap dulu uncle banyak duit! Kerja best dapat jalan macam-macam tempat. Dulukan uncle selalu datang rumah Afiq naik motor besar? Vroom! Vroom!... Best ! Afiq suka motor besar. Nak naiklah... Mana pergi motor uncle?” dia bertanya pula.

Rasyid terdiam panjang. Tidak tahu bagaimana hendak menjawab. Bolehkah kanak-kanak ini faham kalau diberitahu uncle ini telah meninggalkan sedikit kemewahan hidup yang pernah dikecapinya dahulu demi mencari kefahaman, jawaban kepada beberapa persoalan yang sudah lama membelenggu jiwanya? Sesekali sahaja berjumpa kawan-kawan dan saudara-mara, baru merasa duduk di tempat yang lebih selesa...

“Ah...” getus hatinya. “Apa yang aku buat ini kira sedikit sahaja. Bukan seperti wali Allah Ibrahim bin Adham yang sanggup meninggalkan takhta untuk menelusuri jalan kerohanian. Bukan seperti Siddharta Gautama Buddha yang lebih dahulu berbuat begitu untuk mencari makna kewujudan, erti kehidupan yang sejati.” Dan bukan juga seperti Sultan Muhammad dalam Hikayat Raja-raja Pasai yang sanggup menjadi fakir semata-mata untuk mengikuti rombongan Sheikh Ismail ke Samudera.

“Hmm...” tiba-tiba Rasyid terfikir. “Kenapa anak cucu Saidina Abu Bakar As-Siddiq ini sanggup berbuat begitu?” Hikayat itu mahupun kitab Sejarah Melayu tidak menceritakan sebab-musababnya. Setakat yang dia tahu, Sultan Muhammad terdengar berita persinggahan rombongan Sheikh Ismail di negerinya lalu terus tergerak menjadi fakir untuk mengekori sama.

Apakah baginda pernah mendengar wasiat Nabi mengenai Samudera daripada keluarganya? Mungkin ia telah disampaikan kepada Saidina Abu Bakar lalu diturunkan kepada anak cucunya, menunggu masa sahaja untuk dilaksanakan? Atau baginda telah mendapat alamat melalui mimpi? Yang pasti, Sultan atau Fakir Muhammad inilah fakir yang dimaksudkan...

______________________________

Rombongan Sheikh Ismail yang disertai Fakir Muhammad itupun belayar mencari negeri Samudera. Tetapi mereka tidak pasti di manakah letak kedudukannya sehingga tersasar ke Barus, Lamuri dan Perlak.

Rombongan ini singgah ke negeri-negeri itu untuk mengIslamkan raja dan penduduknya tetapi apabila disuruh membaca Quran yang dibawa dari Mekah, tiada seorang pun dapat membacanya...

Maka tersebutlah kisah Merah Silu di Samudera. Pada suatu malam, sedang baginda lena beradu, maka bermimpilah ia melihat seorang tua berbaju jubah datang seraya memegang dagu Merah Silu dan menutup mata baginda dengan tangannya.

Kata orang tua yang muncul itu: “Hai Merah Silu, ucaplah olehmu akan kalimah syahadat”.

Maka sahut Merah Silu: “Bagaimana hamba hendak mengucap kalimah syahadat itu?”

Ujar orang tua itu: “Bukalah mulutmu.”

Merah Silu pun membuka mulutnya lalu diludahi orang itu.

Orang tua itupun mengisytiharkan: “Hai Merah Silu, engkaulah raja negeri ini dan namamu Sultan Malikus Salih. Segala binatang yang kamu sembelih halal kamu makan, tetapi jangan memakan binatang yang tidak bersembelih. Sekarang kamu adalah dalam syariat agama Islam, iaitu agama Allah. Dalam empat hari lagi akan sampai sebuah kapal dari Mekah, maka hendaklah kamu turut apa juga yang dikatakan orang kapal itu, jangan kamu bantah atau lawani sebarang kata mereka itu.”

Merah Silu bertanya: “Siapakah kamu ini?”

Maka sahut suara orang tua berjubah dalam mimpi itu: “Akulah Nabi Muhammad SAW yang di Mekah.”

______________________________

Orang tua itu melepaskan dagu Merah Silu daripada tangannya lalu berkata: “Hai Merah Silu, tunduklah kamu ke bawah.”

Merah Silu pun tunduk lalu terjaga daripada beradu. Kemaluannya pula terasa seperti sudah dikhatankan orang... Boleh dilihat kesannya nyata pada tubuh-badan, bukannya khayalan. Baginda juga sentiasa mengucapkan kalimah syahadat tiada berhenti, kemudian membaca Al-Quran tiga puluh juzuk dengan lancar sehingga tamat. Segala orang-orang besar dan menteri hulubalang sekalian pun merasa hairan mendengar apakah yang disebut raja mereka kerana belum pernah mendengar sebutan yang demikian.

Tidak lama kemudian, rombongan Sheikh Ismail pun sampai ke Teluk Terai lalu berlabuh di situ. Fakir Muhammad bertemu seorang nelayan lalu bertanya “Apakah nama negeri ini?”

Jawab nelayan itu: “Negeri ini namanya Samudera.”

Beliau bertanya lagi: “Siapakah nama penghulunya?”

Sahut sang nelayan: “Nama penghulu atau raja negeri ini Merah Silu, gelarannya Sultan Malikus Salih.”

Selepas mendengar ini, fakir itupun kembali naik ke bahteranya lalu terus belayar ke kuala Samudera. Setelah semalaman belayar, rombongan tersebut sampailah ke pusat negeri dan kerajaan. Mereka pun naik ke darat lalu terus masuk menghadap rajanya Merah Silu.

Setelah bersua muka, Sheikh Ismail pun berkata: “Hai Merah Silu, ucap dan sebutlah olehmu akan kalimah syahadat.”

Merah Silu mengucapkan kalimah suci itu dengan petah, tiada sedikit jua pun bersalahan. Rombongan ini berpuas hati kerana raja itu sudah tahu menyebutnya dengan sempurna.

Keesokannya, Sheikh Ismail dan Fakir Muhammad masuk menghadap lagi, kali ini dengan membawa kitab suci Al-Quran yang dibawa mereka dari Mekah. Inilah ujian utama yang akan menentukan segala cerita...

Merah Silu menyambut kitab itu penuh hormat, seraya dijunjung dan dikucupnya dengan rasa merendah diri. Kitab itupun dibuka baginda dan dibacanya di hadapan mereka dengan fasih dan lancar. Alhamdulillah, tiadalah payah diajar lagi membaca Al-Quran. Ternyata inilah orang serta negeri yang dicari rombongan itu selama ini...

Sheikh Ismail dan Fakir Muhammad pun mengucapkan syukur kepada Allah Subhanahuwata’ala kerana telah berjaya menemui negeri Samudera seperti yang tersebut dalam wasiat Rasulullah SAW.

Hatta Sheikh Ismail memohon Sultan menghimpunkan sekalian orang-orang besarnya serta rakyat dari segala ceruk rantau. Setelah dihimpunkan, mereka pun diajar mengucap kalimah syahadat dengan meyakinkan maknanya dalam hati masing-masing.

Maka akhirnya negeri Samudera pun disebut Darul Islam atau Darussalam. Kerana penduduk negeri itu masuk Islam tiada perlu dipaksa atau diperangi. Jadilah ia daerah kesejahteraan...

______________________________

Kisah-kisah ini nyaris di luar nalar dan beraroma mistis. Seperti adanya sabda Rasulullah yang menubuatkan berdirinya kerajaan Pasai ataupun kisah Merah Silu yang tanpa diajari siapa pun mampu membaca Al-Quran 30 juz dengan sempurna. Terlepas dari itu, Malik As-Salih kemudian berpindah paham, dari syiah menuju madzhab syafii. Maka aliran paham di Kerajaan Samudera Pasai yang semula syiah berubah menjadi paham syafii yang sunni. Namun menurut Slamet Muljana, dominasi madzhab syafii hanya terjadi pada masa Malik As-Salih saja. Sebab, tercatat putra keduanya sendiri menyebrang ke paham syiah dan mendirikan kerajaan sendiri di Aru Barumun dengan gelar Malik al-Mansur.

Perkembangan selanjutnya, Malik As-Salih menikah dengan Ganggang Sari, putri dari Kerajaan Perlak. Dari perkawinan ini, lahirlah Malikul Dzahir, yang selanjutnya menjadi sultan kedua kerajaan Samudera Pasai. Pada masa pemerintahannya, ia menggabungkan Kerajaan Perlak dengan Samudera Pasai. Dan terbentuklah Kerajaan Samudera Pasai yang menguasai pantai timur sebelah utara Sumatera yang berdekatan dengan Selat Malaka. Tercatat, selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota di wilayah Selat Malaka dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Bersamaan dengan Pidie, Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama.

Saat itu Pasai diperkirakan mengekspor lada sekitar 8.000- 10.000 bahara setiap tahunnya, selain komoditas lain seperti sutra, kapur barus, dan emas yang didatangkan dari daerah pedalaman. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.


Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin. Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada. Pedagang-pedagang Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di pelabuhan Samudera Pasai. Mereka dibebaskan dari pembayaran cukai. (http://tarekatqodiriyah.wordpress.com)

Ibnu Battutah, seorang musafir termasyhur, dalam catatan perjalanannya, terkesan akan keindahan Samudera Pasai sebagai kota perdagangan. Setelah 25 hari menempuh perjalanan dari Barhnakar ( wilayah di Myanmar), Battutah mendarat di sebuah daerah yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju. Ditandai dengan penggunaan mata uang emas. Ketika ia turun ke kota, ia takjub dengan keadaan kota, di mana ia melihat kota besar yang indah dikelilingi oleh dinding dan menara kayu. Kota tersebut adalah ibukota Kerajaan Samudera Pasai. Battutah juga mengisahkan tentang Sultan Maliku Dzahir yang amat bersahaja. Ia menggambarkan sang sultan sebagai sultan yang saleh, pemurah, rendah hati dan mempunyai perhatian yang amat besar kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap jemawa. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah. Para tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa. Dalam lembar kisahnya yang lain ia menulis, “Sultan sangat rendah hati dan berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, Sultan dan rombongan mengelilingi kota untuk melihat keadaan rakyatnya.”

Ibnu Batutah berada di Samudera Pasai selama 15 hari. Sebelum berangkat meninggalkan wilayah Nusantara itu, ia sempat mengunjungi pedalaman Sumatera yang masih dihuni masyarakat bukan Islam.

Di sana, ia menyaksikan beberapa adat masyarakat yang cukup menakutkan, antara lain upacara bunuh diri beramai-ramai yang dilakukan para rakyat ketika pemimpinnya mati.

Beberapa karya tulis juga muncul pada zaman kerajaan Samudera Pasai. Sekelompok minoritas kreatif berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam, untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi, dan hurufnya disebut Arab Jawi. Di antara karya tulis tersebut adalah Hikayat Raja Pasai (HRP). Bagian awal teks ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360 M.

HRP menandai dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di bumi nusantara. Bahasa Melayu tersebut kemudian juga digunakan oleh Syaikh Abdurrauf al-Singkili untuk menuliskan buku-bukunya. Sejalan dengan itu, juga berkembang ilmu tasawuf. Di antara buku tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Durru al-Manzum, karya Maulana Abu Ishak. Kitab ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Makhdum Patakan, atas permintaan dari Sultan Malaka. (http://mforum1.cari.com.my/). Ini menunjukan Samudera Pasai juga berperan sebagai pusat pengembangan agama Islam di Indonesia.

Diutusnya dua ulama dari Pasai, Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak, ke Pulau Jawa, semakin mempertegas pengaruh Samudera Pasai bagi perkembangan Islam di Indonesia. Berkat dua ulama tersebut, yang memulai dakwah dari daerah Gresik, Islam tumbuh dengan pesat di Pulau Jawa. Dan karena berperan sebagai pendakwah pertama, Maulana Ishak bergelar Syekh Awwalul Islam. Fakta lain, pendiri Kerajaan Cirebon dan Banten, Fatahillah atau biasa dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, ternyata adalah seorang putra Pasai. Jelaslah peran kerajaan ini dalam penyebaran agama Islam di Indonesia, terutama Pulau Jawa.

Selain itu, bahasa Melayu dari Pasai digunakan pula dalam kitab-kitab pelajaran agama Islam sebagai pengantarnya. Istilah “bahasa Melayu” sendiri, merupakan kebiasaan baru di abad ke-18. Pada abad ke-16 dan 17, bahasa Melayu disebut dengan istilah “bahasa Jawi”. Hal ini karena bahasa itu ditulis dalam huruf Jawi, yakni huruf Arab yang telah disesuaikan dengan ucapan lidah masyarakat Nusantara. Sementara “jawi” ialah sebutan orang-orang Arab di masa itu untuk negeri-negeri di wilayah Nusantara/Asia Tenggara.

Selanjutnya, bahasa Melayu terus berkembang dan akhirnya bertransformasi menjadi bahasa nasional Indonesia. Bisa dikatakan, bahasa Melayu Pasai merupakan cikal bakal bahasa nasional orang Indonesia.

Di tahun 1350 M Kerajaan Samudera Pasai mencapai masa kebesarannya. Kerajaan Samudera Pasai juga berhubungan langsung dengan Kerajaan Cina sebagai siasat untuk mengamankan diri dari ancaman Kerajaan Siam yang daerahnya meliputi Jazirah Malaka. Perkembangan ekonomi masyarakat Kerajaan Samudera Pasai bertambah pesat, sehingga selalu menjadi perhatian sekaligus incaran dari kerajaan – kerajaan di sekitarnya. Setelah Samudera Pasai dikuasai oleh Kerajaan Malaka maka pusat perdagangan dipindahkan ke Bandar Malaka. Perkembangan pesat Kerajaan Malaka memang merupakan sebab yang membuat Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran. Pernikahan Parameswara atau Sultan Iskandar Syah, pendiri Kerajaan Malaka, dengan putri Kerajaan Samudera Pasai memang memperkuat hubungan Kerajaan Samudera Pasai dengan Kerajaan Malaka. Namun di sisi lain, Kerajaan Samudera Pasai posisinya semakin melemah. Pada akhirnya, Kerajaan Malaka mengambil alih Kerajaan Samudera Pasai dan menguasai bandarnya.

(Aceh-Pedia/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: