Ketua ISIS di Baghdad
Akibat parasitisme akut itu maka tak heran bila di antara berbagai faksi yang menganut ideologi Wahabi Takfiri kerapkali terjadi saling klaim baiat, saling caplok imarah (wilayah kekuasaan), saling kafir, saling tuding pengkhianatan dan akhirnya saling bunuh untuk mempertahankan watak kejumudan dan parasitismenya sendiri.
Parasitisme adalah fenomena makhluk yang hidupnya bergantung dengan menghisap sumber hidup makhluk lain. Inilah yang persisnya menimpa pelbagai milisi salafi wahhabi takfiri yang “berjihad” di Suriah. Lebih tepatnya antara Al-Daulah Al-Islamiyyah fi Al-Iraq wa Al-Syam (DAIIS) pimpinan Abu Bakr Baghdadi (ABB) dan berbagai milisi salafi takfiri lain di bawah payung Jabhah Al-Nusra (JN) pimpinan Abu Muhammad Julani (AMJ) dan Al-Jabhah Al-Islamiyyah (JI) pimpinan Zahran Allousy. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ideologi salafi wahabi takfiri ini dengan mudah membuhuh anak-anaknya sendiri sebelum mampu berkembang biak?
Ada banyak jawaban. Tapi gampangnya begini: Ideologi takfiri yang bersifat jumud dan anti adaptasi ini sejak dalam konsep sesungguhnya sudah mati, karena salah satu ciri hidup adalah berubah dan beradaptasi. Kejumudan, seperti kita ketahui, adalah sifat benda mati. Sifatnya mirip dengan sifat senjata apapun: tidak berkehendak, memilih, dan berikhtiar sendiri. Maka itu, ideologi ini hanya dapat berfungsi jika dan hanya jika ada elit pengendali di luar dirinya. Jika elit itu terancam, maka ideologi ini akan dilepaskan untuk membuat fitnah, kekacuan atau kehancuran massal demi menyelamatkannya atau setidaknya menepis energi perubahan yang datang menghunjam tuannya. Dari sinilah kita bisa memahami mengapa beberapa kekuatan yang kita kenal sebagai sekuler bahkan mungkin anti agama begitu dekat dengan ideologi macam ini.
Lebih jauh, meski tampak sebagai makhluk hidup, para penganut ideologi ini sebenarnya sudah kehilangan ciri utama kehidupan manusia: kemampuan untuk berpikir dan berubah. Parahnya, otak yang menjadi pengendali seluruh sistem saraf dalam dirinya juga digenggam oleh kekuatan dari luar dirinya. Tak ayal bila mereka sebenarnya telah berubah menjadi senjata pemusnah massal yang dikendalikan dari jarak jauh, siap melumat apa saja, meledakkan apa pun, semata-mata demi menyelamatkan pengendalinya nun jauh di tempat lain.
Tapi, apa bukti bahwa kelompok-kelompok semacam ini tak lebih dari senjata pemusnah yang dikendalikan elit lain atau produk operasi intelijen yang licik? Jawabannya banyak. Tapi indikator sederhananya yang tampak adalah berikut ini: nyaris semua pimpinan tertinggi kelompok takfiri wahabi itu adalah orang-orang yang tidak dikenal oleh lingkungannya. Tampang amir mereka seperti Baghdadi dan Julani malah sama sekali tidak pernah terlihat oleh khalayak. Ini seharusnya pertanda yang mencurigakan manusia yang berakal. Bagaimana mungkin gerakan keagamaan yang menuntut baiat dan ketaatan mutlak dipimpin oleh orang-orang yang tidak dikenal oleh umatnya, bahkan oleh lingkungan terdekatnya sendiri? Bukankah ada ijmak jumhur ulama Islam yang melarang baiat pada pemimpin yang tidak dikenal? Bukankah asal-usul imam atau amir, menurut jumhur ulama, tidak boleh berasal dari turunan anak haram misalnya? Lalu, mengapa mereka yang tidak dikenal itu dapat dengan mudah memimpin gerakan-gerakan ekstremis takfiri itu? Jawaban sederhananya begini: visi, misi, desain, strategi, struktur, logistik dan taktik gerakan-gerakan tersebut memang datang dari dalam ruang gelap sebuah operasi intelijen yang canggih.
Lebih anehnya lagi, hampir seluruh unsur pimpinan gerakan itu, di mana pun mereka timbul dan tumbuh, berasal dari luar lingkungan sekitar. Mereka ibarat benalu yang menghisap sumber hidup sekitarnya, memunculkan berbagai kontradiksi, gesekan dan ketegangan di lingkungan hidupnya. Karakteristiknya bertolak belakang dengan semua gerakan perlawanan lain. Gerakan perlawanan seperti Hizbullah, misalnya, merupakan gerakan yang tumbuh dalam mileu yang secara ideologis dan sosial-politik memang mendukungnya. Segenap unsur pimpinannya juga tumbuh dari bawah, dikenali dan dihormati sekelilingnya. Ideologi, strategi, taktik dan logistik Hizbullah pun mengalami mutualisme simbiosis dengan sekelilingnya, sehingga segenap tahap dan pencapaiannya merupakan refleksi dari situasi alam sekitarnya.
Sebaliknya, gerakan-gerakan wahabi salafi takfiri ini semuanya tumbuh secara abnormal dalam situasi pertentangan yang akut, sedemikian rupa sehingga wajar bila akhirnya berujung pada kanibalisme sebagai hasil puncak dari proses parasitisme yang menakjubkan itu. Jika keamanan yang menjadi dalih utama segala rupa ketersembunyian dan kerahasian mereka, maka tantangan serupa sebenarnya dihadapi oleh seluruh gerakan pembebasan dan perlawanan lain seperti Hizbullah yang sejak puluhan tahun dicap sebagai organisasi teroris internasional di berbagai belahan dunia. Akibat parasitisme akut itu maka tak heran bila di antara berbagai faksi yang menganut ideologi Wahabi Takfiri kerapkali terjadi saling klaim baiat, saling caplok imarah (wilayah kekuasaan), saling kafir, saling tuding pengkhianatan dan akhirnya saling bunuh untuk mempertahankan watak kejumudan dan parasitismenya sendiri.
Akar Dendam
Marilah kita telusuri latarbelakang pertikaian antara DAIIS pimpinan ABB dan JN pimpinan AMJ menurut pemilik akun twitter @wikibaghdady yang agaknya merupakan mantan anggota DAIIS yang membelot ke JN. Menurut @wikibaghdady, ABB adalah orang yang tidak dikenal. Namanya sekonyong-konyong muncul pasca tewasnya Abu Umar Baghdadi, pemimpin Al-Daulah Al-Islamiyyah fi AL-Iraq (Negara Islam Irak sebelum kemudian berubah menjadi DAIIS berarti Negara Islam Irak dan Suriah) yang tewas tahun 2010. Orang yang pertama memunculkan nama ABB adalah seorang mantan kolonel militer Irak era Saddam bernama Hajji Bakr. Fase baru DAIIS dimulai oleh duet ABB dan Hajji Bakr. Kolonel Bakr yang semula tak berjenggot dan menyebabkan banyak pihak terganggu, menurut @wikibaghdady, sontak mengubah penampilan dan gayanya. Dalam organisasi ini, anggota tak boleh menyelidiki pimpinan, "lantaran penyelidikan berarti keraguan, dan keraguan dapat memecah barisan, yang dapat berujung dengan hukuman mati.”
Medan Jihad di Suriah
Saat krisis Suriah meletup, sejumlah anggota DAIIS mulai menengok ke Suriah. Kolonel Bakr khawatir pasukannya bakal meninggalkan Irak menuju Suriah dan meruntuhkan DAIIS dari dalam. Maka itu, Kolonel Bakr menyarankan ABB melarang siapapun pergi ke Suriah dan yang menentang akan ditindak sebagai pembelot. Alasannya bahwa situasi belum jelas dan perlu waktu untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di bumi Syam.
Pada saat yang sama, Kolonel Bakr mengusulkan ide pembentukan batalion yang terdiri dari prajurit non-Irak untuk pergi ke Suriah di bawah komando warga Suriah. Tujuannya agar tak ada perwira Irak yang dapat bergabung dengan fron Suriah tanpa persetujuan pimpinan DAIIS lebih dulu dan menjamin tidak adanya alasan bagi mereka yang ingin keluar dari barisan. Dalam usulan itu, batalion Suriah itu nantinya dapat merekrut militan asing non-Irak.
Dari sinilah lantas Jabhah An-Nusrah (JN) terbentuk di bawah komando Abu Muhammad Julani (AMJ). JN pun kemudian kesohor ke seantero dunia, menjadi bintang baru kelomok takfiri dunia dan menarik simpati “jihadis" dari kawasan Teluk, Afrika Utara, Yaman, Asia Tenggara (termasuk Indonesia) dan bahkan Eropa. (Catatan: salah seorang ustad dan dai pop di Indonesia berinisial BN pun mengikuti akun twitter JN @JbhatALnusra).
Kolonel Hajji Bakr dan ABB merasa khawatir dengan melesatnya popularitas JN dan AMJ, dan dalam jangka menengah hal ini dapat mereduksi kekuatan DAIIS di Irak yang tetap menjadi salah satu prioritas jihad yang tak mungkin diabaikan. Karena itu, keduanya bertekad untuk meminta JN dan AMJ menyatakan secara terbuka keharusan seluruh anggota baru JN berbaiat kepada ABB dan siap berjihad di bawah struktur DAIIS. Hajji Bakr usul ke ABB untuk menyuruh AMJ menyatakan dalam rekaman suara bahwa JN secara resmi di bawah kepemimpinan DAIIS dan ABB. AMJ berjanji untuk segera memikirkan saran itu. Berbulan-bulan kemudian AMJ tak juga memberikan pengumuman itu hingga ABB memberinya peringatan. AMJ kembali mengulang janjinya untuk memikirkan saran itu dan bermusyawarah dengan para “mujahidin” dan ulama di sekelilingnya. Akhirnya AMJ mengirim surat jawaban buat ABB yang menjelaskan bahwa pengumuman seperti itu bertentangan dengan kemaslahatan “revolusi”, bersandar pada pendapat dewan syura JN.
ABB dan Kolonel Bakr naik pitam, apalagi surat itu datang justru setelah Amerika Serikat memasukkan JN dalam daftar organisasi teroris dan menjadikan AMJ sebagai orang paling dicari di Suriah. Dalam pikiran kedua petinggi DAIIS itu, popularitas JN di tingkat nasional, regional dan internasional bakal menggusur DAIIS sebagai organisasi payung dan menjadikannya suatu saat sebagai pesaing utama DAIIS di kawasan--sesuatu yang tak bisa diterima ABB yang merasa mengeram AMJ sekian lama di Irak, mendidik, melatih dan membesarkannya di medan jihad Irak.
Secara politik, langkah AMJ sebenarnya cukup pragmatis. Tapi kemarahan dan kekhawatiran ABB dan Hajji Bakr jauh lebih besar dari jaminan-jaminan yang diberikan AMJ, sehingga memaksa para petinggi DAIIS mengambil inisiatif menggabungkan JN dengan DAIIS. Dalam sebuah pertemuan di Turki, ABB meminta AMJ untuk melakukan operasi militer atas pimpinan Tentara Bebas Suriah (Free Syrian Army atau yang biasa disingkat dengan FSA), dengan dalih "menghabisi potensi agen-agen AS yang sebelum membesar di Suriah." Dewan syura JN bertemu dan memutuskan secara bulat menolak perintah ABB tersebut. ABB dan Sang Kolonel menganggapnya sebagai pembangkangan yang tegas. ABB mengirim surat kecaman keras kepada AMJ dan memberinya dua opsi: kembali taat atau JN dibubarkan dan diganti dengan organ yang sama sekali baru. Mereka menanti jawaban AMJ yang tak pernah datang. Bahkan, saat mereka mengutus seseorang untuk menemui AMJ, utusan itupun tak ditemuinya.
ABB kian merasakan ancaman dari AMJ yang berubah sebagai aktor yang tidak dapat dikendalikan. ABB lantas mengirim sejumlah komandan DAIIS dari Irak untuk menemui sejumlah perwira JN, membujuk mereka dengan impian negara Islam yang merentang dari Irak sampai Suriah, di bawah satu kepemimpinan tunggal. Sebagian dari mereka akhirnya terbujuk, terutama mereka yang datang dari faksi muhajirin (yang datang dari negara-negara asing). Orang-orang itupun lalu dibuang ke terungku oleh pimpinan JN dengan dalih menyebarkan takfir dan penyesatan terhadap sesama Muslim.
Melihat situasi yang terjadi, ABB pun mengambil langkah berani mengumumkan penyatuan JN dengan DAIIS. Dewan pimpinan DAIIS menyetujui agar ABB pergi ke Suriah dan mengumumkan merger di sana, demi menciptakan momentum baru bagi DAIIS. Amir DAIIS itu pun bertemu dengan sejumlah petinggi JN untuk meyakinkan mereka bahwa pengumuman merger itu tak lain hanyalah untuk menyatukan barisan mujahidin sambil memanggil AMJ untuk datang dalam acara pengumuman tersebut. AMJ menolak hadir dengan alasan keamanan, sehingga ABB memintanya menerbitkan pernyataan atas namanya, dalam rangka menjaga persatuan barisan mujahid, mengumumkan pembubaran JN dan penggabungannya dengan entitas baru bernama DAIIS (Negara Islam Irak dan Suriah). AMJ menentang keras ide itu dan menganggapnya sebagai kesalahan besar, yang akan mengoyak popularitas JN di tengah rakyat Suriah dan dunia Islam.
Pada saat ini, Kolonel Bakr menyarankan agar ABB menyatakan pembubaran JN atas namanya sendiri, tanpa mengisolasi AMJ, dengan harapan dia bakal kembali dalam barisan. Para petinggi DAIIS dan sejumlah pimpinan JN menyepakati tanggal pengumunan, supaya mereka bersiap menyatakan baiat pada ABB dalam kehadirannya di Suriah. ABB memanfaatkan kenyataan bahwa AMJ senantiasa bersembunyi dari para komandan dan syaikh utama yang bergabung dengan NJ.
Pasca pengumunan penggabungan itu, JN pecah dalam tiga kelompok. Pertama ikut dengan ABB, kedua memilih AMJ, yang ketiga bersikap netral. Dari sinilah awal saling lempar tuduhan memecah barisan jihad di kalangan umat Islam. Dalam keadaan kacau ini muncul mantan perwira militer Saudi bernama Bandar al-Syaalan yang menjadi penghubung antara ABB dan beberapa petinggi JN yang lantas bergabung dengan DAIIS. Kolonel Bakr dan ABB percaya bahwa AMJ tidak akan tinggal diam dan mempersiapkan pernyataan sikap terbuka atas situasi yang terjadi.
Sang Kolonel mulai main kayu dan menyarankan ABB membentuk satuan keamanan dengan dua tugas utama. Pertama, mengambil alih seluruh gudang senjata JN dan menembak mati siapa saja yang menolak penyerahan senjata. Cara ini akan melucuti loyalis AMJ dari amunisi dan persenjataan, sehingga akhirnya terpaksa meninggalkan JN untuk bergabung dengan DAIIS. Tugas kedua ialah untk menghabisi AMJ dan lingkaran dekatnya melalui sejumlah bom yang dipasang dalam mobil mereka. Keadaan ini memaksa AMJ meminta bantuan Pemimpin al-Qaeda, Ayman al-Zawahiri, untuk memecahkan persoalan dan menjaga jaringannya dari kehancuran. Zawahiri mengundang sejumlah tokoh dari Yaman dan Saudi untuk menengahi perselisihan kedua pihak tersebut, tapi ABB selalu menghindar bertemu dengan mereka. Situasi makin memburuk saat ancaman konstan terus diarahkan kepada AMJ, yang menyatakan terang-terangan menolak pembubaran JN dan meletakkan keputusan di tangan Zawahiri.
Pernyataan Zawahiri yang meminta masing-masing tetap bertahan di posisinya menambah perseteruan antara ABB dan AMJ. Amir DAIIS menolak solusi Zawahiri, yang diperkuat oleh dukungan mutlak Sang Kolonel dan ulama Saudi bernama Abu Bakr al-Qahtani. Untuk memperkuat posisi DAIIS, Qahtani meminta Bandar bin Syaalan sebagai perwakilan di Arab Saudi dan penghubung dengan kelompok inti salafi di Teluk untuk mendukung ABB. Syaalan mulai menghimpun para pendukung ABB. Berita gembira yang pertama ialah keberhasilannya meyakinkan Nasser al-Thaqil, seorang mufti Saudi, yang menyatakan bahwa dia telah menemui ABB beberapa kali saat membantunya di Irak. Syaalani meluaskan aktivitasnya di Bahrain, bertemu dengan Turki Binali, yang berminat mendukung gagasan ABB dalam DAIIS. Utusan Saudi itu terus mengukuhkan usahanya dan membentuk dewan Syariah yang khusus mendukung DAIIS. Syaalan juga aktif menarik donor dan mengkoordinasikan mobilisasi pasukan dari seluruh dunia, selain bertanggungjawab urusan media dan pendukung teguh DAIIS.
Parasitisme Takfiri : Belati di Leher al-Qaeda.
Puak-puak
takfiri yang tertipu ini sekarang sudah dapat merayakan upacara saling
bunuh di antara mereka dengan melontarkan tuduhan bahwa musuh-musuh yang
berasal dari kalangan mereka sendiri itu adalah syabiha rafidhah Syiah
Nusairiyya bla-bla-bla yang pro rezim Assad.
Dunia Takfiri Penuh Intrik Versi @wikibaghdadi
Mari
kita lanjutkan sebentar saja kisah perseteruan Al-Daulah Al-Islamiyyah
fi Al-Iraq wa Al-Syam (DAIIS) dan Jabhah Al-Nusrah (JN) seperti yang
dituturkan oleh pemilik akun @wikibaghdady. Menurut @wikibaghdady,
perseteruan antara kedua faksi utama yang membawahi puluhan faksi
takfiri lain tersebut sebenarnya telah berlangsung cukup lama. Dimulai
dengan adu dalil, adu legitimasi, adu ancam, adu saraf dan berakhir
dengan adu gorok leher. Latarbelakang perseteruan berdarah antara banteng ketaton DAIIS dan kebo giras
JN secara sederhana menguak karakteristik ideologis faksi-faksi wahabi
salafi takfiri itu, yakni ideologi kekacauan yang tidak mungkin dapat
hidup tanpa menghisap nutrisi dari segala yang di sekitarnya.
Setelah semua upaya mediasi gagal, takdir pertumpahan darah antara
saudara kandung DAIIS (ISIS) dan JN pun terjadi. Keretakan serius
bermula manakala dua komandan laskar Chechnya bernama Omar al-Syisyani
dan Salahuddin al-Syisyani bertemu dengan dua militan Saudi bernama Abu
Azzam al-Najdi dan Abdul-Wahhab al-Saqoub. Tergiur iming-iming
rekan-rekan takfiri Saudi tersebut, dua komandan laskar Chechnya itu
akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Abu Bakr Baghdadi (ABB) yang
menjadi amir DAIIS berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh sejumlah
ulama.Tapi Omar al-Syisyani tidak mendapat persetujuan sejumlah perwira senior dalam laskar Chechnya. Omar lalu menyatakan tak bisa melanjutkan kesepakatan sebelumnya kepada sejawatnya, Salahuddin. Katanya, jiwanya bakal melayang bila dia benar-benar melepas baiat dari ABB. Pada saat yang sama, Omar menyatakan kepada Kolonel Hajji Bakr bahwa bila dia dipaksa membaiat ABB, maka setengah dari laskarnya yang terdiri atas 1.650 pasukan yang berbendera Jaisy Al-Muhajirin akan membelot. Hajji Bakr tak peduli dengan ancaman itu dan memaksa Omar berbaiat. Lalu dia menyatakan kepada Salahuddin jika dia dan para pendukungnya berpaling dari DAIIS, maka mereka semua akan dinyatakan sebagai “khawarij” yang akan dikenai hukuman mati.
Di
tengah tekanan, Omar menyatakan baiat kepada ABB, diiringi oleh
lepasnya Salahuddin dari barisan DAIIS bersama 800 kombatan. Terkejut
dengan besarnya jumlah laskar yang membelot, Hajji Bakr cepat-cepat
memberi peringatan kepada Salahuddin agar bungkam soal pembelotan
tersebut atau terancam fatwa mati. Omar menurut tapi dia tetap ingin
menyebut laskarnya sebagai Jaisy Al-Muhajirin.
(Catatan:
Televisi Al-Manar dan sejumlah media Timur Tengah pernah
mempublikasikan ratusan nama orang asing yang bergabung dengan Jaisy
Al-Muhajirin, termasuk puluhan warga Indonesia).
Untuk
mengurangi bobot pembelotan itu, Hajji Bakr meminta sejumlah rekannya
seperti Abu Bakr al-Qahtani, Utsman Nazeh, dan seorang warga Irak
bernama Abu Ali al-Anbari untuk membesar-besarkan aksi baiat Omar
al-Syisyani kepada DAIIS. Pada saat yang bersamaan, sang kolonel meminta
mereka mengancam para komandan yang membelot dan sejumlah ulama yang
berfatwa mengabsahkan pembelotan itu agar berdiam diri. Jika tidak,
mereka semua akan dikenai hukuman mati.
Tapi,
propaganda faksi ABB tampaknya gagal meredam dampak hengkangnya 800
prajurit sekaligus. Terlebih ketika beberapa saat setelahnya gelombang
pembelotan kepada Salahudiin terus meningkat. ABB, Hajji Bakr, dan Abu
Ali al-Anbari mencoba menahan gelombang itu dengan membeslah seluruh
paspor asing dan menanam mata-mata untuk memantau gelagat pembelotan.
Selain upaya-upaya taktis tadi, pimpinan DAIIS juga mengintensifkan
propaganda mimbar dan masjid dalam rangka menjelaskan dosa pengkhianatan
dan bahwa mereka kelak akan terbakar abadi di neraka.
Senyampang
keretakan berangsur meluas, berbagai laporan sampai ke telinga para
petinggi DAIIS tentang rencana pembentukan blok militer dengan nama
Al-Jabhah Al-Islamiyyah (JI). Untuk mengantisipasi blok tandingan itu,
pimpinan DAIIS berusaha untuk menanamkan mata-mata di berbagai brigade
yang paling ditakuti di Suriah. Hajji Bakr paling berhasrat menyusupi
dan menggembosi Harakah Ahrar Al-Syam (HAS), lantaran dia mengendus
bahwa HAS adalah tantangan terbesar bagi proyek ekspansionis DAIIS.
Untuk itu, Bakr memasang beberapa spion dalam HAS. Upaya Bakr berbuah
manis saat komandan batalion HAS membelot ke DAIIS. Pada gilirannya,
komandan itu memasok informasi tentang titik-titik kekuatan dan
kelemahan HAS serta keseriusan rencana penggabungan HAS dengan sejumlah
faksi militer di bawah nama JI.
Untuk
menangkis ancaman serius itu, Bakr mengajukan dua usulan pada pimpinan
DAIIS. Pertama, kampanye media untuk mendiskreditkan pembentukan blok
itu dan melabelinya sebagai kelompok yang bekerja sama dengan rezim
Assad seperti gerakan Al-Shahawat di Irak. Dan kedua, melakukan
propaganda tentang rencana DAIIS menuju pembentukan khilafah. Ide
terakhir ini kemudian digaungkan oleh tokoh senior bernama Firas Al-Absi
yang menjabat sebagai gubernur negara Islam di Suriah. Tak lama
berselang, Firas terbunuh setelah mengibarkan bendera al-Qaeda di area
perbatasan Turki-Suriah yang dikuasai oleh Brigade Al-Farouq dan HAS.
Adiknya, Amr al-Absi, menyimpan dendam kesumat terhadap brigade-brigade
Tentara Bebas Suriah (Free Syrian Army) yang diyakininya bertanggungjawab atas kematian kakaknya. Amr lalu mengambil alih tugas Firas dalam Dewan Syura DAIIS dan terlibat lebih dalam mengumpulkan pasukan.
Hasilnya,
dari 180 sebelum kematian kakaknya kini dia membawahi 540 jihadis. Amr
juga kian gencar menggelorakan cita-cita kekhalifahan Islam di bawah
kepemimpinan ABB dengan, antara lain, mengirim utusan ke Saudi untuk
bertemu sejumlah ulama senior seperti Sulayman al-Alwan, Abdul Aziz
al-Tarifi, Abdul-Rahman al-Barrak, dan Abdullah al-Ghunayman.
Puncaknya,
tatkala JI benar-benar dideklarasikan sebagai blok jihad Suriah yang
mewadahi HAS, Jaisy Al-Islam, Shuqur al-Syam, dan Liwaa al-Tawhid, Amr
al-Absi merasakan sebuah ancaman nyata. Kontan dia mengusulkan kepada
ABB sebagai Amir DAIIS untuk meningkatkan status DAIIS sebagai negara (daulah)
menjadi khilafah. Dia pun langsung mengusung agenda besar pengangkatan
ABB sebagai khalifah umat di Afghanistan, Chechnya, Yaman, Libya,
Tunisia, Maroko, Aljazair, dan Sinai (Mesir). Tapi sebelum menerima
mentah-mentah usulan bandang tersebut, ABB meminta pendapat pimpinan
al-Qaeda di Yaman, Nasser al-Wahishi, yang segera menolaknya dengan
tegas. Dia juga meminta pendapat pimpinan al-Qaedah di Afghanistan, yang
juga menyepaknya. Demikian pula reaksi pimpinan al-Qaedah di Maroko.
Meski demikian, ABB menerima sejumlah rekaman video baiat dari para
jihadi di Sinai, Tunisia, dan Libya yang terus meluncur kian dalam ke
jurang perang saudara. Dan memang begitulah adanya, gagasan besar itu
terkubur bersamaan dengan para sponsor mereka.
Berkat
kerja keras mendukung DAIIS dan kesetiaannya pada ABB, Amr Al-Absi
berhasi merenggut jabatan penting dalam peta persaingan internal
takfiri: Gubernur DAIIS di Aleppo yang langsung diangkat oleh Sang Amir.
Pengangkatannya itulah yang kemudian membuatnya langsung berhadapan
dengan Liwaa al-Tawhid, sebuah kekuatan bandang yang terdiri atas 20.000
pasukan, sekitar lima kali lebih besar dari DAIIS. Absi merasa bahwa
Liwaa al-Tawhid adalah rintangan terbesar bagi cita-cita
kekhalifahannya, terutama karena komandannya, Abdul Qadir Saleh,
terbilang sangat populer. Tak bisa tidak Absi bertekad menghabisi Saleh
sesudah divonis sebagai komprador dan murtad. Absi juga menyatakan
niatnya kepada ABB secara umum tanpa menguraikan rinciannya. Tak berapa
lama, dia mengumumkan bahwa Saleh telah terbunuh. Seolah belum puas, dia
mengajukan daftar sejumlah tokoh dari JI dan Tentara Bebas Suriah yang
harus dibunuh, dengan alasan untuk mempreteli potensi kemunculan gerakan
Al-Shahawat model Irak yang bekerjasama dengan rezim.
Untuk
menggantikan posisi Hajji Bakr, pimpinan DAIIS memungut beberapa
komandan baru di samping Al-Anbari yang cukup lama berperan sebagai
orang dalam ABB. Mereka adalah Abu Ayman al-Iraqi, anggota klan Bidour
dari Iraq selatan, Utsman Nazeh, warga negara Saudi yang bertindak
sebagai pelobi donatur di Teluk, dan terakhir namun yang paling gahar
adalah Abu Yahya al-Iraqi. Orang yang disebut terakhir ini dikenal
pendiam, misterius, penuh perhitungan dan paling dipercaya ABB untuk
menggantikan posisi Sang Kolonel.
Akhirul Kalam.
Seperti
sudah kita ketahui bersama meski dicoba-tutup-erat oleh media takfiri
seperti arrahmah.com, voa-islam.com, nahimunkar.com, dan lain-lain,
perang berdarah di antara sesama jenis takfiri mulai berlangsung sengit
pada 4 Januari silam. Sejak hari itu hingga kini, menurut Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), tidak kurang dari 1800 nyawa melayang. Sampai
hari ini, pertempuran brutal di antara DAIIS di satu sisi dan JI
dibantu oleh JN di sisi lain terus meluas dan mengeras. Sejauh ini
tampaknya DAIIS bergerak lebih militan dan cekatan di lapangan dalam
menghadapi musuh-musuhnya yang kian tidak berdaya. Kekuatan DAIIS
sebenarnya didukung oleh pengalaman panjangnya bergerilya di Irak,
akumulasi berbagai eksperimen dalam perang kota, kepakaran militer yang
berasal dari sekian banyak eks tentara dan perwira militer Saddam, serta
kesiap-siagaan untuk menggunakan bom bunuh diri lebih daripada
faksi-faksi lawannya.
Terbukti,
meskipun terlebih dahulu digempur dalam suatu serangan mendadak oleh
seterunya di Aleppo, DAIIS kini pelan-pelan tapi pasti berhasil merebut
kembali pangkalan-pangkalan yang lepas dari genggamannya. Seperti telah
disebutkan, keterlibatan eks militer Irak era Saddam dalam struktur dan
kader DAIIS, ditambah berjubelnya sumber daya manusia dari para
gerilyawan Chechnya yang dikenal jago perang, DAIIS tak bisa dipungkiri
merupakan organisasi tempur yang cukup sakti. Selain itu, DAIIS juga
memiliki jaringan pendukung, suplai logistik dan aliran dana yang lebih
stabil dan luas dibandingkan seteru-seterunya. Sejauh ini, DAIIS telah
berhasil sepenuhnya menguasai wilayah Riqqah yang berbatasan dengan Irak
yang dijadikan sebagai paru-paru untuk menyalurkan pasokan logistik.
Meski begitu, serangan militer Irak atas basis DAIIS di wilayah Anbar
dua pekan terakhir bakal memperlemah moral dan memecah konsentrasi
kekuatannya di Suriah.
(Catatan:
PM Nuri Maliki telah memutuskan memerangi DAIIS dan turunannya di
wilayah Anbar yang didukung penuh seluruh anggota Dewan Keamanan PBB dan
sejumlah negara regional. Aksi ini mau tidak mau akan mematahkan tulang
punggung DAIIS dan simpatisan Al-Qaedah lain di wilayah Irak dan Suriah
yang sering hilir mudik lintas negara untuk bersembunyi dan melakukan
teror-lari di berbagai wilayah kedua negara tersebut. Sejumlah sumber
media Timur Tengah menyebutkan bahwa Irak dan Suriah telah menjalin
koordinasi intelijen dan keamanan untuk memutus jalur logistik DAIIS).
Upaya
Saudi untuk mengkambinghitamkan DAIIS sebagai biang aksi teror selama
lebih dari 2 tahun di Suriah dan menampilkan seteru-seterunya sebagai
kawanan revolusioner yang beraliran moderat lebih jauh dapat memperlemah
posisi DAIIS di kawasan. Meski tidak bertujuan mengguncang Irak dan
Suriah, kesalahan strategis Saudi memperkuat blok JI dan JN untuk
mengalahkan DAIIS yang secara nyata merupakan organisasi teror paling
kuat dalam jangka menengah dan panjang dapat memperlemah jaringan teror
ini secara keseluruhan. Dukungan Saudi pada seteru DAIIS praktis akan
membuat dua kubu itu cukup berimbang untuk dapat saling menghabisi dalam
sebuah zero sum game di Suriah, di saat yang sama mereka terus
tergerus di Irak. Bukan tidak mungkin perangkap ini dibuat sejumlah
pihak intelijen Barat yang selama ini mengendalikan jaringan teror
tersebut, agar tidak mengganggu pekarangan mereka sendiri.
Apalagi, secara ideologis, kedua pihak yang berperang itu sama-sama merasa paling mewakili Allah
di muka bumi sebagai pembawa panji kebenaran mutlak yang datang
langsung dari-Nya. Bagi mereka, kebenaran itu tunggal, setunggal Allah
itu sendiri. Walaupun agaknya mereka keberatan disebut sebagai kaum
panteis yang percaya bahwa Allah manunggal dengan manusia, tapi sikap
dan kelakuan mereka sebenarnya praktis mengungkapkan keyakinan itu
secara blak-blakan dan lebih psikopatik dari kaum panteis itu sendiri.
Mereka merasa demikian dekat dengan Allah hingga mereka percaya bahwa
Kebenaran Allah itu sudah bersatu dalam diri mereka, bukan sekadar
manusia atau hamba biasa yang tiap saat meminta diberi petunjuk jalan
yang lurus sebagaimana umumnya Muslim memahami Ihdinash-shiratal-mustaqim.
Demikianlah,
perang muspra di antara takfiri ini boleh jadi berakhir dengan dua
kemungkinan: berhenti secara absurd seperti ia bermula secara absurd
atau berlanjut terus secara absurd seperti ia bermula secara absurd.
Toh, para penganut ideologi ini selalu bisa mencari ilusi atau dalil
palsu ihwal dalil-dalil “jihad” dalam kitab-kitab fantastik mereka.
Dengan mudah mereka bisa mengumbar omong kosong konspirasi untuk
menjelaskan kebrutalan mereka. Puak-puak takfiri yang tertipu ini
sekarang sudah dapat merayakan upacara saling bunuh di antara mereka
dengan melontarkan tuduhan bahwa musuh-musuh yang berasal dari kalangan
mereka sendiri itu adalah syabiha rafidhah Syiah Nusairiyya bla-bla-bla yang pro rezim Assad.
Sebagai
sesama manusia, tentu kita semua kasihan dan bersimpati pada apa yang
terjadi pada penganut mazhab wahabi salafi takfiri ini. Tapi, sebagai
orang berakal yang dikarunia daya analisis dan kritis, kita dapat dengan
mudah menyimpukan kesudahan berdarah-darah ini pada mereka berdasarkan
kausalitas yang sederhana: penganjur ideologi kekerasan, kebencian dan
keranjingan perang itu suatu saat di suatu tempat juga akan termakan
dengan ideologinya sendiri.
Post a Comment
mohon gunakan email