Pesan Rahbar

Home » » Ahlulbait As , Siapakah Mereka?

Ahlulbait As , Siapakah Mereka?

Written By Unknown on Saturday, 6 December 2014 | 14:19:00

Nama-nama Ahlulbait As

Ahlulbait (أهل البيت) berarti keluarga nabi yang mulia. Ahlulbait ini merupakan gelar khusus untuk beberapa orang dari keluarga sanak famili Nabi Muhamad Saw yang termaktub dan diisyaratkan dalam ayat Al-Tathir dan ayat Mawaddah. Mereka yang dimaksud Ahlulbait pada kedua ayat ini adalah Imam Ali As, Sayidah Fatimah Az-Zahra Sa, Imam Hasan As, dan Imam Husain As serta sembilan Imam Maksum lainnya dari anak keturunan Imam Husain As. Dalam pandangan Syiah, Ahlulbait memiliki kedudukan maksum yaitu terjaga dari dosa. Mereka memiliki keunggulan yang lebih tinggi dari para sahabat, dari sisi ketakwaan dan anugrah Ilahi. Kecintaan kepada mereka merupakan hal yang wajib bagi setiap muslim. Menurut ajaran Syiah, kewenangan dan kepemimpinan kaum Muslimin berada di tangan Ahlulbait. Kaum Muslimin harus merujuk kepada Alhlulbait dalam permasalahan-permasalahan agama dan menjadikan mereka sebagai tempat rujukan.


Defenisi Ahlulbait dalam Bahasa

Dalam sumber-sumber bahasa Arab, kata “Ahl” menunjukkan suatu hubungan dan ikatan antara manusia dengan manusia atau dengan yang lainnya; sebagai contoh, di kalangan Arab, istri terhitung sebagai ahl untuk suaminya, suatu umat bagi setiap nabi adalah ahlunya dan penduduk rumah atau kota adalah ahl atau keluarga rumah itu datau kota itu. Begitu juga, para pengikut setiap agama atau mazhab mereka terhitung sebagai ahlu agama atau mazhab tersebut. Ahlulbait dalam bahasa Arab diartikan untuk orang-orang yang menetap di rumah nabi Saw dan kerabatnya; namun istilah ini dalam ritual kaum muslimin memiliki makna tersendiri. [1]

Dan kata “aal” juga berasal dari kata “ahl” yang mana huruf “ha” berubah menjadi huruf hamzah dan kemudian menjadi “alif”. [2] Penggunaan kata “aal” dari kata “ahl” lebih terbatas; karena “aal” tidak disandarkan pada tempat dan waktu dan hanya dikhususkan untuk manusia dan berkaitan dengan manusia juga hanya disandarkan kepada manusia-manusia yang memiliki kedudukan tersendiri; seperti Aal Ibrahim, Aal Imran, Aal Fir’aun. [3]


Ahlulbait dalam Al-Quran

Kata Ahlulbait telah digunakan dalam Al-Quran sebanyak tiga kali:

1. Dalam surah Hud ayat 73 berkenaan dengan Nabi Ibrahim As dan istrinya, Allah SWT berfirman:

 «قالُوا أَ تَعْجَبینَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ رَحْمَتُ اللَّهِ وَ بَرَكاتُهُ عَلَیكُمْ أَهْلَ الْبَیتِ إِنَّهُ حَمیدٌ مَجیدٌ » 

“Para malaikat itu berkata:" Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah."

2. Dalam surah Qashash ayat 12 berkaitan dengan keluarga Musa As, Allah SWT berfirman:

 «‌فَقالَتْ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلی‏ أَهْلِ بَیتٍ یكْفُلُونَهُ لَكُمْ وَ هُمْ لَهُ ناصِحُونَ » 

“Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlulbait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?".

3. Dalam surah al-Ahzab ayat 33 yang dikenal dengan ayat Attathir , Allah SWT menyapa kepada nabi dan keluarganya dengan firmanNya:

 «إِنَّما یریدُ اللَّهُ لِیذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَیتِ وَ یطَهِّرَكُمْ تَطْهیراً» 

“Hanya Saja Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Mengenai apa yang dimaksud dalam ayat dari Ahlulbait dan siapa mereka banyak perbedaan pendapat yang dipaparkan. Dan pendapat yang diterima oleh kalangan Syiah dan juga sebagian besar dari para ulama Ahlusunah bahwa yang dimaksud dari mereka adalah Ashabul Kisa, yaitu Nabi Saw, Ali, Fatimah az-Zahra, Hasan dan Husain (semoga solawat dan salam tercurah kepada mereka).


Ahlulbait dalam Riwayat

Dalam Hadis-hadis Nabi

Kata Ahlulbait dalam hadis-hadis nabi memiliki empat kegunaan yang beragam yang mana kegunaan-kegunaan tersebut dapat dikatagorikan sebagai berikut: Kegunaan lebih umum, kegunaan umum, kegunaan khusus dan kegunaan lebih khusus.

Kegunaan lebih umumnya, adalah mencakup orang-orang yang sama sekali tidak memiliki hubungan keluarga dengan nabi baik secara penisbahan atau karena sebab. Mereka adalah kaum muslimin yang mentaati nabi secara jujur dan kokoh. Sebagaimana nabi menjadikan Salman al-Farisi [4] dan Abu Dzar Ghiffari [5] dianggap sebagai dari keluarganya, dalam sebagian riwayat Ahlulbait juga telah didefinisikan atas beberapa person yang mana Usamah bin Zaid [6] dan Watsilah bin Asqa’ [7] termasuk salah satunya.

Kegunaan secara umumnya, Ahlulbait mencakup seluruh keluarga nabi karena sebab tertentu. Yaitu orang-orang yang haram menerima sedekah wajib (zakat). [8] dalam hadis yang lain, perubahan Ahlulbait yang digunakan khusus untuk Abbas paman nabi dan anak keturunannya. [9]

Kegunaan khususnya, Ahlulbait berhubungan dengan istri-istri nabi Saw. Tanpa diragukan lagi, istri-istri nabi Saw sesuai dengan arti bahasa dan tradisinya, mereka adalah Ahlulbait nabi Saw, bait yang dimaksud di sini adalah bait yang berartikan tempat tinggal, tapi bukan bait yang berbentuk nasab atau kenabian.

Kegunaan lebih khususnya, Ahlulbait dikhususkan kepada sekelompok dari keluarga nabi Saw yang memiliki keismahan (keterjagaan mereka dari dosa). Dan bentuk kongkritnya adalah yang telah tercantum dalam riwayat yang berkaitan dengan ayat Attathir dan ayat Mubahalah, yaitu Ashabul Kisa (Ali, Fatimah, Hasan dan Husain) Salam atas mereka. [10] Dan dalam beberapa hadis seperti hadis Tsaqalain, hadis Safinah dan semacamnya yang menunjukkan keberadaan Ahlulbait di setiap saat, selain Ashabul Kisa, para imam maksum berasal dari anak keturunan Imam Husain As.


Dalam Hadis-hadis Para Imam

Ahlulbait dalam hadis-hadis para imam As juga memiliki tiga pengertian:
Penggunaan umum yang mencakup orang-orang mukmin yang sejati sebagaimana Imam Shadiq As bersabda: “Siapa saja yang bertaqwa dan beramal shaleh dia adalah dari kami. [11] Imam As membuktikan atas arti ini dengan pembuktian dua ayat Al-Quran Al-Karim:

 وَ مَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ 

“Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” [12]

 فَمَنْ تَبِعَني‏ فَإِنَّهُ مِنِّي 

“Maka barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku,” [13]
 
Penggunaan khusus, hanya dikhususkan untuk keluarga nabi Saw. Sebagaimana Imam Ali As bersabda: “Setiap kali keadaan menjadi sulit dalam peperangan dengan musuh-musuh Islam dan masyarakat sudah mulai enggan untuk menghadapi musuh, nabi Saw mengirim Ahlulbaitnya untuk ditampilkan, Ubaidah bin Harits mati syahid di perang Badr, Hamzah mati syahid di perang Uhud dan Jafar Atthayyar mati Syahid di perang Mutah.

Penggunaan lebih khusus, dikhususkan untuk segolongan dari keluarga nabi Saw yang memiliki kedudukan dan keistimewaan tertentu yang mana ucapan dan prilaku mereka adalah contoh suri tauladan tolok ukur kebenaran dan petunjuk hakekat. Sebagaimana Imam Ali As bersabda: “Tengoklah Ahlulbait nabi kalian dan bersenantiasalah pada gerak gerik mereka dan ikutilah mereka, karena mereka sama sekali tidak akan menyimpang dari jalan hidayah dan kalian tiadak akan terjerumus dalam kesesatan, jangan kalian mendahului mereka yang mana kalian akan tersesat, dan jangan kalian memisahkan diri dari mereka yang mana kalian akan hancur.” [14] Imam Hasan As menyapa kepada penduduk Irak ia bersabda: “Kami adalah Ahlulbait yang Allah SWT telah menurunkan ayat Attathir [15] berkenaan dengan mereka.” [16] Riwayat-riwayat yang berhubungan dengan hal ini sangatlah banyak.

Dari dua makna yang terakhir, dalam literatur Syiah, makna yang kedua lebih marak dipakai dan setiap kali ungkapan Ahlulbait digunakan tanpa adanya isyarat khusus, maka yang dipakai adalah mengacu pada makna yang terakhir yaitu kegunaan yang lebih khusus.


Keterjagaan Ahlulbait dari Dosa

Keistimewaan yang menonjol dari Ahlulbait dengan makna yang lebih khususnya adalah keterjagaan mereka dari dosa atau biasa yang disebut dengan ismah. Keistimewaan ini bersumber dari ayat Attathir yang dengan jelas dapat dirasakan, karena di dalam ayat ini Ahlulbait adalah sebagai manifestasi dari orang-orang yang Allah berkehendak menjauhkan segala kekejian dari mereka. Kata “innama” dalam ayat, dan riwayat sebab-sebab diturunkannya ayat ini menjelaskan bahwa permasalahan ini adalah sebuah keistimewaan dan hanya dikhususkan untuk Ahlulbait saja.

Hadis Tsaqalain juga tergolong dari hadis-hadis yang mutawatir dan dalam sisi sanadnya tidak diragukan lagi 18telah menunjukkan keismahan Ahlulbait nabi Saw (dengan makna yang lebih khusus), karena dalam hadis ini, Ahlulbait sebagai bagian kecil (Tsiql Asghar) berada di sisi Al-Quran yang merupakan bagian besar (Tsiql Akbar) dan terhitung dua pusaka warisan yang berharga yang ditinggalkan oleh nabi Saw yang tidak akan terpisah satu sama lainnya dan jika kaum muslimin berpegang teguh pada keduanya tidak akan tersesat selamanya. Tidak diragukan lagi, Al-Quran Al-Karim adalah kalamullah yang tidak akan masuk padanya kekeliruan dan penyimpangan:

لا یأْتیهِ الْباطِلُ مِنْ بَینِ یدَیهِ وَ لا مِنْ خَلْفِهِ

"Tidak akan datang kepadanya (Al Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, " [17]

dengan demikian, Ahlulbait nabi Saw juga yang berada di sisi Al-Quran, berpegang teguh kepada mereka juga mencegah manusia dari kesesatan dan tidak akan ada kekeliruan dan penyimpangan sama sekali.

Menurut keyakinan sebagian ulama Ahlussunnah mereka tidak meragukan kemaksuman moral dan prilaku Ahlulbait yakni Sayidah Zahra Sa dan para imam duabelas Syiah dan semua tidak meragukan hal itu kecuali orang-orang bodoh yang ingkar terhadap islam, yang menjadi perselisiahan adalah ismah secara keilmuan mereka [18], namun dengan memperhatikan bahwa hadis Tsaqalain yaitu berpegang pada Ahlulbait dalam batasan-batasan agama yang diyakini dapat menghalangi manusia untuk terjerumus dalam kesesatan, ismah mereka dari sisi keilmuan juga secara gamblang dan jelas dapat kita ambil.
Keunggulan Ahlulbait
Dalam Hadis Tsaqalain

Dari hadis Tsaqalain keunggulan dan keutamaan Ahlulbait nabi Saw atas yang lainnya juga dapat dilihat dengan jelas, karena nabi Saw meletakkan posisi mereka di sisi Al-Quran, maka Al-Quran dinamakan bagian yang lebih besar dan Ahlulbait dinamakan bagian yang lebih kecil dan adapun orang lain tidak disandingkan dan diletakkan dalam urutan Al-Quran. Dengan demikian, sebagaimana Al-Quran Al-Karim memiliki keunggulan dan keutamaan di atas kaum muslimin, maka Ahlulbait juga, memiliki keunggulan lebih dari yang lain.

Sa'aduddin Taftazani dalam hal ini mengatakan, "Kandungan ayat Attathir dan hadis Tsaqalain menunjukkan keunggulan Ahlulbait atas yang lainnya dan tolok ukur keunggulan mereka, tidak hanya terbatas pada penisbahan nasab mereka yang sampai kepada rasulullah saja, karena berdasarkan Al-Quran, sunnah dan ijma' tolok ukur keunggulan adalah ilmu dan taqwa, dan tolok ukur ini ada pada diri Ahlulbait, dan hal ini dihasilkan dari keberadaan mereka di sisi Al-Quran dan kewajiban berpegangteguh kepada mereka, karena berpegangteguh pada Al-Quran bukan termasuk dari perbuatan berpegangteguh kepada ilmu dan petunjuk Al-Quran sebagaiamana juga berpegangteguh pada Itrah. [19]


Dalam Ayat Mubahalah

Ayat Mubahalah juga menunjukkan keunggulan Ahlu Kisa atas para sahabat, karena ber dasarkan ayat ini, nabi Saw mendapatkan perintah untuk menyertakan beberapa orang dari anak-anak, para pemuda dan permpuan-perempuan muslim untuk diajak bermubahalah dengan orang-orang Nasrani dari Najran. Dan nabi Saw dari para pemuda memilih Ali As dan dari para perempuan Sayidah Zahra Sa dan dari anak-anak, Hasan dan Husain As. Tanpa ragu lagi untuk mengadakan mubahalah ciri-ciri orang yang dipilih dari sudut pandang iman dan kedekatannya kepada Tuhan mereka harus memiliki kedududkan yang tinggi, dan dalam sebuah mubahalah yang salah satunya adalah Rasulullah , orang yang bersamanya haruslah setara dengan martabatnya atau paling tidak mereka dari sisi makam dan kedudukan lebih tinggi dari yang lain, selain itu jika bukan orang-orang yang disebut di atas, adalah dari seorang muslim yang memiliki kedudukan tinggi dari sisi keimanan dan spriritual yang nabi Saw sendiri memilihnya, karena mengenai perangai yang bersumber dari nabi Saw tidak ada kemungkinan sekecil apapun dari kekeliruan yang menentang keadilan ata hikmah. [20]

Abu Rayyah, pelayan Ummu Salamah meriwayatkan dari nabi Saw bahwa jika di atas bumi ini ada seseorang yang kedudukannya lebih tinggi dari Ali, Fatimah, Hasan dan Husain As Allah akan memerintahkanku supaya aku bermubahalah dengan perantara mereka, akan tetapi Allah memerintahkanku supaya bermubahalah dengan pertolongan mereka(Ahlulbait), mereka adalah orang-orang teragung. [21]


Dalam Ayat-ayat dan Riwayat-riwayat

Terdapat keunggulan Ahlulbait dari ayat-ayat dan riwayat-riwayat lainnya seperti ayat Mawaddah [22] hadis Safinah, hadis Babul Hithah, hadis Nujum dan sebagainya juga dapat ditemukan.
Otoritas keilmuan Ahlulbait


Dalam Hadis Tsaqalain

Hadis Tsaqalain adalah sebuah penjelas otoritas keilmuan Ahlulbait, karena nabi Saw berharap dari kaum muslimin untuk berpegangteguh kepada Al-Quran dan al-Itrah supaya mereka tidak tersesat.

Al-Quran Al-Karim adalah sumber pertama dan paling urgennya rujukan bagi kaum muslimin. Dan sunnah nabi Saw adalah sumber kedua setelahnya dan peran Ahlulbait dalam hal ini ialah penerjemah dan penafsir Al-Quran, penjaga serta penukil sunnah nabi Saw, tidak diragukan lagi bahwa nabi Saw telah menjelaskan sebagaian besar dari kebenaran-kebenaran dan ajaran-ajaran Al-Quran kepada masyarakat, namun sebagiannya lagi ia tidak mememukan situasi dan kondisi yang tepat untuk menjelaskannya, atau sebaiknya penjelasnya ditaruh di lain kesempatan dan diserahkan penjelasannya kepada Itrah atau keluarganya yang maksum sehingga mereka yang akan menjelaskannya nanti. [23] Kesimpulannya: Menjaga secara sempurna apa yang telah dijelaskan oleh rasulullah dan menjelaskan apa yang belum jelas diserahkan kepada Ahlulbait nabi.

Jalan yang baik untuk mengenal Al-Quran dan sunnah nabi Saw adalah berpegangteguh kepada Ahlulbait nabi Saw. Dengan demikian, mereka adalah marja atau otoritas ilmu kaum muslimin untuk mengetahui lebih jauh tentang pengetahuan-pengetahuan dan hukum-hukum agama.

Mulla Ali Qari salah seorang ulama Ahlussunnah mengatakan, “Ahlulbait kebanyakan lebih mengetahui keadaan penghuni rumah dan apa yang terjadi di dalamnya dibandingkan orang lain, dengan demikian, yang dimaksud dengan Ahlulbait adalah para cendikiawan mereka dan para ahli yang lebih mengenal sirah perjalanan rasulullah Saw dan orang yang tahu terhadap jalan dan caranya, dan orang-orang pintar kepada hukum dan hikmahnya, karena inilah mereka memiliki kelayakan untuk berada di sisi kitab Allah Yang Maha Suci. [24]

Ibnu Hajar juga mengatakan, “Nabi sengaja menamakan kitab suci Al-Quran dan Itrah dengan Tsiql, karena biasanya penamaan Tsiql dikhususkan untuk sesuatu yang bernilai dan berharga dan memiliki kepentingan, dan Al-Quran serta Sunnah juga demikian, karena keduanya adalah tambang ilmu-ilmu ladunni dan rahasia-rahasia dan hikmah-hikamh yang tinggi dan merupakan hukum Syareat, dengan demikian, berpegangteguh pada keduanya dan mengambil pelajaran dan pengetahuan dari keduanya sangatlah ditekankan. Imbauan dan tekanan tentang Itrah dikhususkan bagi orang-orang yang mengenal kitab Allah dan sunnah rasulullah Saw, dan merekalah yang sampai hari kiamat tidak akan terpisah dari Al-Quran. [25]


Dalam Ayat Attathir

Al-Quran Al-Karim mengenalkan Ahlulbait nabi Saw dalam surah al-Ahzab ayat 33 yang terkenal dengan ayat Attathir sebagai orang-orang yang telah Allah bersihkan dari dosa dan kekejian dan dari sisi yang lain kita diperingatkan bahwa hakekat-hakekat yang tinggi dalam Al-Quran dan pengetahuan-pengetahuan yang terpendam di dalamnya tidak akan mampu dicerna kecuali dengan orang-orang yang disucikan dari kekejian. [26] Sebagaimana kesucian yang didapat dengan berwudhu (secara Syar'i), adalah syarat supaya anggota badan kita dapat menyentuh Al-Quran, kesucian ruh dan jiwa dari keburukan juga adalah syarat untuk memahami hakekat-hakekat Al-Quran dan pengetahuan-pengetahuannya dan semakin lunak dan dalam pengetahuan-pengetahuan dan hakekat-hakekat tersebut maka pemahaman tersebut semakin butuh pada kesucian ruh yang lebih tinggi dan lebih dalam, dan paling tingginya marabat tersebut adalah ketika berbarengan dengan kemaksuman. [27] Dengan demikian, tidak akan ada seorangpun yang dapat menggapai pengetahuan-pengetahuan dan hakekat-hakekat Al-Quran secara sempurna dan dalam, kecuali nabi Saw dan Ahlulbaitnya yang maksum. Dan untuk menggapai dan mencernanya maka harus merujuk kepada mereka.

Imam Shodiq As bersabda: Hakekat-hakekat yang berkaitan dengan yang sudah berlalu dan yang akan datang dan hukum-hukum yang memisahkan antara yang haq dan yang batil, semua itu terdapat dalam Al-Quran. Dan kami mengetahuinya. [28] Begitu pula ia bersabda: "Kami adalah orang-orang yang mendalam ilmunya dan kami mengetahui takwil Al-Quran" [29] Dan masih banyak hadis-hadis lain mengenai hal ini yang riwayatkan oleh Ahlulbait As.


Kewajiban Mengikuti Ahlulbait

Dalam Hadis Tsaqalain

Dari hadis Tsaqalain, kewajiban taat dan mengikuti Ahlulbait juga dapat dipahami secara jelas dan gamblang, karena dalam hadis ini, keselamatan umatdari kesesatan bergantung dengan berpegangteguh kepada kitabullah Al-Quran dan Ahlulbait nabi Saw, berpegangteguh dalam artian berbaur dengan Al-Quran, menyerap dan mengenal perintah-perintahnya serta mengikutinya, sebagaimana berbaur dengan Ahlulbait yaitu pertama mengenal perintah-perintah mereka kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.


Dalam Ayat Ulil Amr

Allah Swt di dalam ayat Ulil Amr mewajibkan kita untuk mentaatiNya, Rasul dan Ulil AmriNya. Allah berfirman:

«أَطیعُوا اللَّهَ وَ أَطیعُوا الرَّسُولَ وَ أُولِی الْأَمْرِ مِنْكُمْ»

taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) , dan ulil amri di antara kamu. [30]

Dengan memperhatikan bahwa Ulil Amri telah disandarkan kepada Rasul, tanpa harus menngulang kata kerja Ati'u, bisa dimaklumi bahwa tolok ukur kewajiban mentaati Ulil Amri adalah tolok ukur kewajiban mentaati Rasulullah Saw dan taat kepada Rasulullah, karena ia adalah pemimpin Ilahi yang memiliki makam dan kedudukan ismah dan hal ini merupakan sebuah kewajiban dan jika ia tidak maksum, maka tanpa syaratapaun kita tidak wajib mentaatinya, dan hal inipun berlaku terhadap Ulil Amri dan merekapun karena memiliki makam dan kedudukan ismah yang disifati dalam ayat tersebut oleh karena itu, secara absolut kita wajib mentaati mereka.

Dengan demikian, ayat Ulil Amri selain menunjukkan kemaksuman pada orang-orang yang menjadi pengganti setelah rasulullah Saw dalam kepemimpinan umat Islam, juga menunjukkan wajib taat kepada mereka.

Di sisi lain ayat Attathir dan riwayat yang berkaitan dengannya adalah mengenalkan manifestasi-manifestasi Ulil Amri yang maksum, mereka adalah Ashabul Kisa. Oleh karena itu, ketaatan terhadap Ahlulbait nabi Saw yang maksum sebagai para pengemban urusan hidayah dan petunjuk serta kepemimpinan umat Islam setelah Rasulullah Saw adalah hal yang wajib.
Dalam Hadis Safinah


Ahlulbait As Bahtera Penyelamat

Hadis Safinah Nuh (bahtera Nuh) juga menunjukkan kewajiban untuk mengikuti Ahlulbait, karena dalam hadis nabi Saw ini, Ahlulbaitnya diumpamakan sebagai bahtera Nabi Nuh yang siapa saja yang masuk ke dalamnya dia akan terjaga dari kehancuran.

Ibnu Hajar Makki berkata: "Sisi keserupaan mereka (Ahlulbait) dengan bahtera Nuh adalah siapa saja yang karena syukurnya terhadap seseorang yang telah memberikan kemuliaan ini kepada mereka, mencintai mereka, menganggap mereka agung, dan menghidayahi para cendikiawan bagaimana harus mengambil sikap dan menggunakannya dan menyelamatkan mereka dari gelapnya pertentangan dan siapa saja yang menetang mereka akan hancur ke dalam lautan para pengkufur nikmat dan jurang penyelewengan" [31]. Dia mengenai sanad hadis Safinah berkata: "Hadis ini telah diriwayatkan dari berbagai sumber yang satu dengan yang lainnya saling menguatkan" [32]


Cinta dan Kasih sayang Ahlulbait

Dalam esensi kecintaan Ahlulbait nabi Saw tidak dapat diragukan lagi.

Allah Swt berfirman dalam ayat Mawaddah:

قُلْ لا أَسْئَلُكُمْ عَلَیهِ أَجْراً إِلاَّ الْمَوَدَّةَ فِی الْقُرْبی [33]

"Katakanlah:" Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan" mencintai keluarga nabi Saw dihitung sebagai upah dari misi risalahnya. Yang dimaksud dengan al-Qurba (keluarga) dalam ayat ini adalah orang-orang yang mana karena mereka ayat Attathir diturunkan.

Ibnu Hajar Makki setelah menukil riwayat yang berkaitan dengan kecintaan ahlulbait berkata: “Kewajiban mencintai Ahlulbait dan larangan keras membenci mereka telah diketahui dari hadis-hadis sebelumnya. Baihaqi dan Bughwi dan yang lainnya menerangkan tentang kewajiban mencintai mereka dan Syafi’i dalam bait-bait syair yang dinukil darinya juga menerangkan hal tersebut, sebagaimana yang ia katakan: [34]

«یا أهلَ بیتِ رسولِ اللّهِ حُبُّکُم..... فَرضٌ مِنَ اللّهِ فِی القرآنِ أنزَلَهُ»

"Wahai Ahlulbait Rasulullah! Cinta kepada kalian adalah kewajiban yang diturunkan Allah dalam Al-Quran."

Dalil Fakhruddin Razi dalam kewajiban mencintai Ahlulbait, adalah: “Tidak diragukan lagi bahwa nabi saw mencintai Ali, Fatimah, Hasan dan Husain As, dengan dasar ini, hal tersebut adalah sebuah kewajiaban atas seluruh umat karena Allah Swt berfirman:

وَ اتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

"Dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk".

Dan dalam ayat lain Dia berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوني‏ يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ

Katakanlah:" Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kalian. Begitu juga Allah Swt berfirman:

لَقَدْ كانَ لَكُمْ في‏ رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu." [35]

Dari sekian ayat yang berkaitan dengan upah risalah nabi Saw dapat dipetik sebuah kesimpulan bahwa ia sama sekali tidak menginginkan upah dari kaum muslimin baik yang bersifat materi ataupun non materi jika hal itu kembali kepadanya, dan jika kecintaan kepada Ahlulbait dinyatakan sebagai upah risalahnya, karena sebenarnya hal itu kembali kepada diri kaum muslimin. Allah Swt berfirman:

قُلْ ما سَأَلْتُكُمْ مِنْ أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللَّهِ

Katakanlah:“Upah apa pun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu. Upahku hanyalah dari Allah,” [36]upah yang diinginkan nabi Saw dari umatnya sebenarnya kembali kepada mereka.


Wilayah dan Kepemimpinan Ahlubait



Nama-nama Ahlu al-Kisa As

Dalil-dalil akal da naql wilayah dan kepemimpinan Ahlulbait sangatlah banyak.

Dalam pandangan akal dan dengan memperhatikan pada falsafah imamah, kemaksuman adalah satu kondisi terpenting seorang imam. Ayat-ayat Al-Quran juga menunjukkan hal tersebut (lihat: Ayat Ulil Amri dan Ayat Shadiqin).

Di sisi lain, Ahlulbait memiliki keistimewaan dalam dimensi kemaksuman, dengan demikian imamah dan kepemimpinan umat Islam setelah nabi Saw dikhususkan kepada mereka.

Selain itu, ketaatan kepada Ahlulbait telah diwajibkan sebagaimana yang sudah dijelaskan. Dan dalil-dalil yang digunakan untuk wajib mengikuti Ahlulbait adalah hal yang absolut dan mencakup seluruh hal yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin dari hal-hal yang patut dan tidak patut dilakukan dan dalam hal ini tidak ada perbedaan baik dalam masalah peribadahan, perekonomian, politik maupun budaya. Sebagai contoh dalam ayat Ulil Amri, ketaatan kepada Ulil Amri memiliki kedudukan yang sama dan pengertian yang luas dengan ketaatan kepada nabi Saw. Ulil Amri juga sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, memiliki keistimewaan dari sisi kemaksuman dan keistimwaan ini hanya khusus dimiliki oleh Ahlulbait nabi Saw.

Dari pembahasan yang berkaitan dengan kecintaan Ahlulbait dapat dijelaskan bahwa kecintaan memiliki aspek perantara (pendahuluan-pendahuluan) dan tujuan aslinya adalah supaya masyarakat mengenal jalan kebenaran dan dengan melangkahkan kaki mereka di atasnya mereka akan sampai pada kebahagiaan, dan mengenal jalan kebenaran dan melangkahkan kaki di atasnya mencakup seluruh aspek kehidupan pribadi dan sosial, ibadah dan politik.

Titik yang perlu diperhatikan berkaitan dengan permasalahan ini adalah kebanyakan dari penukilan hadis Tsaqalain selain juga dijelaskannya kepatuhan untuk berpegangteguh kepada Ahlulbait, juga dijelaskan tentang kepemimpinan Amirul Mukminin As. Dengan kata lain dalam peristiwa Ghadir Khum, nabi yang mulia Saw selain berbicara tentang Itrah dan Ahlulbaitnya, ia juga memesan kepada kaum muslimin untuk mengikuti mereka dan juga mengenalkan Amirul Mukminin As sebagai pemimpin umat Islam setelahnya. [37] Nabi Saw dengan apa yang ia lakukan telah menunjukkan bahwa wilayah dan kepemimpinan Amirul Mukminin As adalah langkah awal untuk merealisasikan isi dan kandungan hadis Tsaqalain.

Titik lainnya dalam sebagian dari penukilan hadis Tsaqalain adalah bahwa telah dipakai sebuah ungkapan untuk Al-Quran dan Ahlulbait sebagai dua khalifah:

Nabi bersabda:

إنّی ترکت فیکم خلیفتین: کتاب اللّه وأهل بیتی

“Sesungguhnya aku telah meninggalkan dua khalifah: Kitabullah dan Ahlulbaitku”, [38]

sesuai dengan hadis ini, Ahlulbait adalah para pengganti nabi, dan penggantian mereka sifatnya adalah dari segala aspek kehidupan.

Di hadis lain setelah dijelaskan bahwa nabi Saw telah memperkenalkan Al-Quran dan Itrah sebagai dua pusakanya yang sangat berharga untuk umat Islam hal ini juga dijelaskan bahwa “Bumi tidak akan pernah kosong dari Ahlulbait, karena jika demikian, bumi akan murka dengan penduduknya” kemudian ia bersabda: Ya Allah, Engkau tidak akan pernah sama sekali membiarkan bumi ini kosong dari hujjahMu, mereka dari sisi jumlah bilangan sedikit dan dari sisi martabat di sisiMu mereka memiliki kedudukan yang paling besar”. [39] Dengan demikian, Ahlulbait adalah para hujjah Allah yang berada di atas muka bumi, dan imamah dan kepemimpinan adalah milik hujjah-hujjahNya.

Kesaksian lain yang menunjukkan bahwa hadis Tsaqalain adalah pembuktian akan kepemimpinan Ahlulbait As adalah bahwa Amirul Mukminin As pada hal-hal tertentu berhujjah dengan hadis tersebut yang salah satunya adalah pada hari pemilihan syura. [40]

Hal lainnya lagi adalah ketika ia berhujjah dengan Thalhah, Abdurrahman bin Auf dan Sa’at bin Abi Waqqas, [41] dan juga ketika ia berhujjah pada zaman khalifah Utsman dan di Masjid Nabi, di hadapan sekelompok dari sahabat nabi. [42]

Ahmad bin Hambal meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Hurairah bahwa nabi Saw ketika memandang kepada Ali, Hasan, Husain dan Fatimah As, berkata:

انا حرب لمن حاربکم و سلم لمن سالمکم

“Aku berperang dengan orang yang memerangi kalian dan aku berdamai dengan orang yang berdamai dengan kalian.” [43]

Dari riwayat ini juga dapat disimpulkan dan digunakan bahwa taat kepada orang-orang ini adalah sebuah kewajiban.


Catatan Kaki:

1. Al-Mufradāt fῑ gharῑb al-Qurān, hlm. 29
2. lisān al-arab, jld. 1, hlm, 186
3. Al-Mufradāt , hlm. 30
4. Manāqib Ibnu Syahr Āsyūb,jld. 1 hlm. 85; Al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 281
5. Makārim al-Akhlāq, hlm. 459
6. Al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 281
7. Tafsir al-Thabari, jld. 22, hlm. 12
8. Shahih Muslim, jld. 4, hlm. 1873, bab Fadhail Ali bin Abi Thalib, hadis 7
9. AsShawāiq , hlm. 281
10 Musykil al-Ātsār, jil. 1, hlm. 332-339; AsShawāiq al-Muhriqah, hlm. 281
11. Da’āim al-Islām, jld. 1, hlm. 62
12. QS al-Maidah, 51
13. QS Ibrahim, 36
14. Nahj al-Balāghah, surat 9
15. QS al-Ahzab, 33
16. Tafsir Ibnu Katsir, jld. 5, hlm. 458
17. QS Fusshilat, 42
18. An-Nabrās, hlm. 532, Hāsyiah Bahrul Ulum
19. Syarh al-Maqāsid, jld. 5, hlm, 301-303
20. Nahj al-Haq wa Kasfu as-Sidq, hlm. 179 dan 215, 216; Al-Lawāmi’ al-ilāhiyah, hlm. 515; dlāil As-Sidq, jld. 2, hlm. 132-133
21. Yanābῑu al-Mawaddah, hlm. 287
22. QS As-Syura 23
23. Aslu as-Syiah wa ushulihā, hlm, 162
24. Al-Mirqāt, jld. 5, hlm. 600
25. AsShawāiq al-Muhriqah, hlm. 189
26. QS, Al-Waqiah, 77-79
27. Al-Mizān Fi tafsir Al-Qurān, jld. 19, hlm. 137
28. Ushul al-Kāfi, jld. 1, bāb ar-Rād ila kitāb wa as-Sunah, hadist 9
29. Ushul al-Kāfi, jld. 1, bāb ar-Rasikhin fil ilm, hadist 1
30. QS, An-Nisa, 59
31. AsShawāiq al-Muhriqah, hlm. 191
32. Ibid
33. QS, As-Syura, 23
34. Ibid, hlm. 217
35. At-Tafsir al-Kabir, jld. 27, hlm. 166
36. QS, Saba, 48
37. Yanabiu Al-Mawaddah, hlm. 36-40
38. Al-Musnad, jld. 5, hlm. 181; Majmau az-Zawāid, jld. 9, hlm. 163; Faidhu al-Qadir, jld. 3, hlm. 14; Kanzul Ummāl, jld. 1, hlm. 166; Nafahat al-Azhār, jld. 2, hlm. 284-285
39. Yanabiu Al-Mawaddah, hlm. 34
40. Manaqib Ibnu Maghazili, hlm. 112
41. Yanabiu Al-Mawaddah, hlm. 43
42. Ibid, hlm. 137
43 Ahmad bin Hambal, Fadhailu as-shahabah, jld. 2, peneliti: Washiullah bin Muhammad Abbas, Mekah: Jamiah Ummul Qura, 1403 H/1987 M, hlm. 767.


Daftar Pustaka 

1. Syāhidi, Sayid Ja'far, Tarjumah Nahj al-Balāghah, Tehran, Ilmi wa Farhanggi, 1377 S.
2. Subhi Shāleh, Nahj al-Balāghah, Beirut, 1387 S.
3. Kāsyiful Ghitā, Muhammad Husain, Aslu as-Syiah wa Usuliha, al-Matba'ah al-Arabiah, Kairo, 1377 S.
4. Al-Kulaini, Abu Ja'far Muhammad bin Yakub, Ushul al-Kāfi, al-Maktabah al-Islamiyah, Tehran, 1388 S.
5. Syartuni, Said al-Khuri, Aqrab al-Mawarid, Maktabah al-Mar'asyi, Qom, 1403 H.
6. Ibnu Katsir Dimasyqi, Ismail, Tafsir Ibnu Katsir, Darul Andalus, Beirut, 1416 H.
7. Thabari, Muhammad bin Jarir, Tafsir Thabari, Pencatatan dan Suspensi Muhammad Syakir, Daru Ihya at-Turāts al-Arabi, Beirut, 1421 H.
8. Abu Hanifah Magribi, Nukman bin Muhammad, Da'āimul Islam, Kairo, Dārul Ma'ārif, tanpa tahun.
9. Al-Mudzaffar, Muhammad Hasan, dalāil As-Sidq, Maktabah an-Najjāh, Tehran, Tanpa Tahun.
10. Taftāzani, Sa'aduddin, Masud bin Umar, Syarhul Maqāsid, Darul Ma'arif al-Utsmaniyah, Pakistan. Tanpa Tahun.
11. Hakim Haskani, Abdullah bin Abdullah, Syawāhid at-Tanzil, penelitiMuhammad Baqir Mahmudi, Muassasah al-A'lami, Beirut, 1421 H.
12. Neisyāburi, Muslim bin Hajjāj, Sahih al-Muslim, peneliti Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dār Ihyā at-Turāts al-Islāmi, Beirut, Tanpa Tahun.
13. Haitsami Makki, Ibnu Hajar, As-Shawā'iq al-Muhriqah, al-Maktabah al-'Asriyah, Beirut, 1425 H.
14. Manawi, Muhammad Abdur Rauf, Faidh al-Qadir Fi Syarhi al-Jami' as-Shagir, Dār al-Fikr, Beirut, 1416 H.
15. Ganji Syafi'i, Muhammad bin Yusuf, Kifayatu al-Thalib, Tehran, Dār ihyā Turāts Ahlul Bait As, Tanpa Tahun.
16. Muttaqi Hindi, Kanzul Ummāl, Muassasah ar-Risalah, Beirut, 1405 H.
17. Ibnu Mandzur, Muhammad bin Mukrim, Lisānu al-Arab, Dār Shādir, Beirut, 2000 M.
18. Fadhil Miqdad, Jamaluddin Miqdad bin Abdullah, Maktabah al-Mar'asyi, Qom, 1405 H.
19. Hakim Nisyāburi, Muhammad bin Abdillah, al-Mustadrak ala as-Shahihain, Dār al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1978 M.
20. Haitsami, Ali bin Abi Bakr, Majmau az-Zawaid, Beirut, Dār al-Kutub al-Arabi, Tanpa Tahun.
21. Ibnu Hambal, Ahmad bin Muhammad, al-Musnad, Darul Hadist, Kairo, 1416 H.
22. Feiwali, Ahmad bin Muhammad, al-Mishbāh al-Munir, Kairo, Tanpa Tahun.
23. Ibrahim Musthafa dan lain-lain, al-Mu'jam al-Wasit, al-Maktabah al-Islāmiyah, Istanbul, Tanpa Tahun.
24. Ibnu Faris, Abul Husain Ahmad, Mu'jam Maqāis al-Lughah, Dār al-Fikr, Beirut, 1418 H.
25. Rāghib, Husain bin Muhammad, al-Mufradāt Fi Gharib Al-Qurān, al-Maktabah al-Murtadhawiyah, Tehran, Tanpa Tahun.
26. Thabarsi, Hasan bin Fadhl, Makārim al-Akhlāq, Muassasah al-'Alami, Beirut, 1392 H.
27. Fahruddin Razi, Muhammad bin Umar, Mafatih al-Ghaib Tafsir al-Kabir, Beirut, Dār Ihyā at-Turāts al-Arabi, Tanpa Tahun.
28. Ibnu Maghazili, Ali bin Muhammad, Manaqib, Dār al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Tanpa Tahun.
29. Allāmah Thabāthbāi, Muhammad Husain, al-Mizan fi Tafsir Al-Qurān, Muassasah al-'Alami, Beirut, 1393 H.
30. Al-Hafidz Muhammad, Abdul Aziz, an-Nabrās, Maktabah Haqqaniyah.
31. Milani, Sayid Ali, Nafahat al-Azhār Fi Khulāshati Abaqāti al-Anwar, pusat penjelasan, terjemah dan penerbitan Ārā, Qom, 1423 H.
32. Hilli, Abu Manshur Jamaluddin Hasan bin Yusuf, Nahj al-Haq wa Kasyfu as-Sidq, Dār al-Hijrah, Qom, 1414 H.
33. Qunduzi Hanafi, Syekh Sulaiman, Yanābiu al-Mawaddah, Muassasah al-'Alami, Beirut, 1418 H.

(Berbagai-Sumber-Pustaka/Wiki-Shia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: