Pesan Rahbar

Home » » Kisah Bani Hasyim Dalam Sejarah

Kisah Bani Hasyim Dalam Sejarah

Written By Unknown on Saturday, 6 December 2014 | 14:54:00

Bani Hasyim (Arab: بنی هاشم ) sebuah marga/klan terkenal dari kabilah Quraisy yang dinisbatkan kepada Hasyim (Amar) bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab. Rasulullah Saw berasal dari marga ini. Sebelum Islam, marga ini termasuk salah satu marga populer dan besar Arab. Ketika Islam muncul, marga ini pada masa kepemimpinan Abu Thalib banyak sekali membela Rasulullah Saw. Pada masa para imam juga menjadi pembela para imam As dalam banyak hal. Keluarga Bani Abbas, salah satu keluarga terpenting Bani Hasyim telah berkuasa atas negara-negara Islam pada beberapa abad. selain itu, di pelbagai kawasan dunia Islam, keluarga lainnya dari Bani Hasyim juga berkuasa dalam pelbagai periode sejarah. Orang-orang Bani Hasyim (Hasyimiyan) karena penisbatan mereka kepada Rasulullah Saw sangat dihormati oleh kaum muslimin.

 Gang Bani Hasyim, Madinah




Pra Islam

Qushai bin Kilab adalah salah seorang keturunan Nabi Ismail (As). Dia yang hidup kurang lebih satu abad sebelum kelahiran Rasulullah Saw, melalui kiprah-kiprahnya, ia menjadi pembesar Quraisy. Dia memegang kedudukan-kedudukan penting Mekah dan rumah Ka’bah.

Sepeninggalnya, kedudukan-kedudukan tersebut jatuh ke tangan keturunannya. Namun sepeninggal Abdi Manaf dan Abd al-Dar (keturunan Qushai) terjadi persengketaan yang sengit antara Hasyim dan saudaranya (Bani Abdi Manaf) dengan para sepupunya mengenai kedudukan Ka’bah, yang hal tersebut mengakibatkan Hilful Muththayyibin (kelompok harum) dan Hilful Ahlaf (kelompok sekutu). Setelah perselisihan mereda, dua kedudukan rifadah (pemberi makan para jemaah haji) dan siqoyah (pemberi minum para jemaah haji) dipegang oleh Bani Abdi Manaf yang di antara mereka adalah Hasyim.

Hasyim

Hasyim, setiap tahun dalam melaksanakan tanggung jawab memberi makan para penziarah Ka’bah mendapat keuntungan dari partisipasi dan bantuan keuangan dari keluarga-keluarga Quraisy. [1] Demikian juga, dengan menggali sumur, dia mempermudah pemberian air kepada para penyelenggara haji. [2] Hasyim juga meningkatkan perdagangan Quraisy dan dengan pakta perdagangan (dimana dalam Al-Quran dikenang dengan Îlaf al-Qurasiy) [3] mampu memperbaiki rute perdagangan Quraisy menjadi dua perjalanan; musim panas menuju Syam dan musim dingin menuju Yaman dan Habasyah. [4] Demikian juga, dia mampu menyediakan makanan untuk Quraisy pada salah satu tahun-tahun paceklik dan menyelamatkan mereka dari kelaparan. [5] Sekumpulan ini semua membuat Hasyim memiliki kedudukan yang tinggi dikalangan para Quraisy. Hasyim memiliki empat putra, yang bernama Syaibah (Abdul Muththalib), Asad, Amr (Abu Saifi), Nadla dan juga memiliki lima putri. [6]

Abdul Mutthalib

Sepeninggal Hasyim, saudaranya Muththalib bin Abdi Manaf mengemban kedudukannya dan setelah Abdul Muththalib (putra Hasyim) menjadi pengganti Muththalib. [7] Abdul Muththalib dikarenakan karakter besarnya, selain memiliki kedudukan memberi minum dan makan, ia juga memiliki kemuliaan di sisi penduduk Mekah. Demikian juga, galian sumur Zamzam juga melipat gandakan kebesaran kedudukannya dalam pandangan para pelaksana haji. Bani Abdi Manaf, termasuk Bani Hasyim merupakan kebanggaan atas selain Quraisy dan menganggap pemberian air dari sumur ini merupakan kebanggaan besar untuk dirinya. [8]

Kedudukan Abdul Muththalib dalam peristiwa serangan pasukan Abrahah ke Mekah pada tahun Gajah semakin meningkat; dikarenakan kedudukan khususnya di sisi Quraisy, ia hadir sebagai wakil dari orang-orang Mekah mendatangi Abrahah. Pertemuan Abdul Muththalib dengan Abrahah dan kemudian bimbingan kepada penduduk Mekah supaya menuju gunung-gunung di sekitar dan penjagaan mereka dari penindasan pasukan Abrahah menyebabkan Quraisy dalam peristiwa ini menjulukinya sebagai Ibrahim kedua. [9] Sebagian keturunan Abdul Muththalib hanya dikenal keturunan tersisa dari keturunan Hasyim, mereka menganggap sama antara Bani Hasyim dengan Bani Abdul Muththalib; [10] sementara dengan adanya keturunan dari Nadhlah bin Hasyim dan Amr bin Hasyim klaiman semacam ini tidaklah benar. [11]

Hubungan dengan Marga-marga Quraisy Lainnya

Dengan memperhatikan superioritas dan kebesaran Quraisy di kalangan semenanjung Arab, persaingan di kalangan marga-marga Quraisy juga memiliki prioritas tersendiri; karena inilah setiap dari marga-marga yang ada ini berusaha dengan segala cara yang mungkin dengan mendahului para lawan meraih kepemimpinan dan kedudukan istimewa di kalangan pelbagai kabilah Quraisy. Akar permusuhan Bani Umayyah dengan Bani Hasyim juga harus dirunut dalam persaingan kabilah tersebut. Meskipun sebagian laporan-laporan sejarah (yang masih juga diragukan) [12] akar permusuhan antara Bani Umayyah dan Bani Hasyim dikaitkan terhadap masalah-masalah yang lebih mendetail. Permasalahan seperti kedengkian Umayyah bin Abd asy- Syam (keponakan Hasyim) kepadanya dan percekcokan-percekcokan diantara keduanya; [13] atau “Munafaroh” (berbangga dengan kedudukan dan keturunan) Harb bin Umayyah dengan Abdul Muththalib. [14]

Bahkan sebagian riwayat-riwayat sejarah peristiwa menjustifikasikan perselisihan dan persaingan-persaingan berikutnya Bani Umayyah dengan Bani Hasyim terkait pada masa kelahiran Hasyim dan Abd asy-Syam (nenek moyang Bani Umayyah) [15].

Sepeninggal Abdul Muththalib, dan terutama dikarenakan lemahnya keuangan, kedudukan Bani Hasyim semakin merosot; namun dengan pengutusan Rasulullah Saw dikabarkan persaingan dan pelbagai percekcokan dari pihak para pesaing Bani Hasyim yang dipimpin oleh Bani Makhzum dan kemudian Bani Umayyah dengan mereka terulang kembali. Dengan yakin bahwa hal ini diambil dari perspektif orang-orang ini mengenai kenabian dan risalah Rasulullah Saw; karena menurut pandangan orang-orang ini, mereka menganggap pengutusan kenabian dari Bani Hasyim bukanlah sebuah kategori terpisah dari persaingan antar kabilah dan hal itu merupakan sebuah dalih untuk kepemimpinan Bani Hasyim dan hasil dari permainan mereka; [16] dengan demikian mereka berupaya sehingga dengan mengingkari kenabian dan konfrontasi dengan para pengikut beliau akan merintangi perkembangan kedudukan Bani Hasyim. Demikian juga, sumber-sumber dari Bani Abd al-Dar dan Bani Makhzum dapat dikategorikan sebagai marga-marga saingan lain dan musuh Bani Hasyim. Bani Abd al-Dar, dimana memiliki perselisihan pertama kalinya dengan Hasyim bin Abdi Manaf dalam peristiwa pengelolaan kedudukan Mekah (lihat: Hilful Ahlaf) dengan pengutusan Rasulullah Saw mereka berada di samping Bani Umayyah. [17] Bani Makhzum juga yang dalam Hilful Ahlaf berada di samping Bani Abd al-Dar [18] dengan dimulainya ajakan terang-terangan kepada Islam, mereka termasuk dalam pentolan penentang Rasulullah; karena dengan memperhatikan kedudukan kemuliaan Abu Jahal (pembesar Bani Makhzum) dan kepemimpinannya atas Mekah, melihat bahwa pengutusan kenabian dari Bani Hasyim merupakan sebuah ancaman untuk kemuliaan dan kedudukannya.

Dari sisi lain, termasuk marga-marga yang dapat dikategorikan sebagai koalisi dan sekutu Bani Hayim, yang mana dikalangan ini harus dianggap sebagai koalisi terbesar dan tercinta Bani Hasyim adalah dari marga Bani Muththalib bin Abdi Manaf. Mereka dengan ditemani marga-marga seperti Bani Zuhrah bin Kilab, Bani Taim bin Murrah, Bani Harits bin Fahr, dan Bani Asad bin Abdul ‘Izzi dalam Hilf al-Muththayyibin berada di samping Hasyim dan Bani Abdi Manaf dan berhadapan dengan Bani Abd al-Dar. [19] Kemudian dalam perjanjian Hilful Fudhul (perjanjian yang disertai sumpah yang utama) yang dipimpin oleh Zubair bin Abdul Muththalib juga bersumpah dengan Bani Hasyim untuk membela orang-orang tertindas. [20] Setelah munculnya Islam, Bani Muththalib dalam banyak peristiwa juga berada disamping Bani Hasyim dengan membela Rasulullah Saw. Hadir dalam Syi’ib Abu Thalib dan pengembanan tiga tahun yang sangat sukar nan pahit disamping Bani Hasyim merupakan salah satu contoh koalisi mereka dengan Bani Hasyim. [21]

Khuza’ah juga dapat dikenal sebagai koalisi lain Bani Hasyim. Sebagian referensi mengabarkan partisipasi Khuza’ah dengan Abdul Muththalib dan persekutuannya setelah peristiwa pertikaian Abdul Muththalib dan Naufal bin Abdi Manaf. [22]

Kemunculan Islam

Rasulullah Saw dalam langkah pertamanya memulai dakwah seruan Islam secara terang-terangan dari kalangan sanak keluarganya dan mengumpulkan Bani Abdul Muththalib (keluarga terpenting Bani Hasyim dan kerabat tingkat pertamanya) pada hari Indzar dan mengajak mereka supaya menerima Islam. [23]
Dikabarkan, muncul pelbagai reaksi dari pihak Bani Hasyim terhadap agama baru ini; sedikit sekali dari mereka dengan menerima Islam berada dalam barisan penolong Rasulullah Saw, yang mana sebagian di antara mereka adalah orang-orang seperti Abu Thalib yang menyembunyikan keimanannya. Abu Thalib melihat kemaslahatan dalam diamnya, sehingga dapat menjaga sebagai pembesar Quraisy dan juga pengaruh ucapannya; namun dengan dukungannya senantiasa selalu merintangi penganiayaan dan pelecehan terhadap Rasulullah Saw. [24] (lihat: Iman Abu Thalib)

Sekelompok kecil dari Hasyimi juga memusuhi dan berkonfrontasi terhadap Rasulullah, mereka di jalan ini tidak melakukan suatu tindakan apapun; Abu Lahab paman nabi [25] dan di antara orang-orang ini adalah Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muththalib yang melakukan pencercaan terhadap Rasulullah Saw. [26]


Penampakan salah satu gambar dari gang Bani Hasyim di Madinah

Meskipun banyak sekali dari Bani Hasyim beriman setelah penaklukan Mekah, akan tetapi mayoritas dari mereka membela Rasulullah Saw di hadapan reaksi negatif para pembesar Quraisy dan di hadapan penyiksaan orang-orang Mekah terhadap Rasulullah dan kaum muslimin. Hadirnya Abu Thalib, paman Rasulullah Saw, dimana pada masa itu dianggap sebagai pembesar Bani Hasyim dan Quraiys dalam pembelaan ini memiliki pengaruh yang signifikan. [27] Bahkan, ketika para pemuka marga Quraisy mengharap bahwa Bani Hasyim akan berlepas diri dari melindungi Rasulullah Saw, mereka melakukan embargo ekonomi dan sosial kepada Bani Hasyim. Orang-orang Bani Hasyim dengan permintaan Abu Thalib meminta dari orang-orang kafir dan muslim (kecuali Abu Lahab [28] dan Abu Sufyan bin Harits) [29] menuju Syi’ib Abi Thalib dan selama tiga tahun hidup dalam krisis keuangan dan sosial, namun mereka senantiasa tetap membela Rasulullah Saw. [30]

Sepeninggal Abu Thalib, Abu Lahab memegang kepemimpinan Bani Hasyim. [31] Pada masa ini, para pemimpin Bani Hasyim seperti sedia kala tidak membela Rasulullah (Saw), sehingga beliau kembali dari Thaif dengan dukungan Muth’im bin ‘Adi, salah seorang ketururan Naufal bin Abdi Manaf memasuki Mekah. [32]
Dengan hijrahnya Rasulullah Saw ke Madinah, sebagian dari Bani Hasyim seperti Hamzah dan Ali As juga lebih memprioritaskan hijrah ke Madinah ketimbang terus tinggal di Mekah; akan tetapi mayoritas Bani Hasyim tetap tinggal di Mekah. Mayoritas Bani Hasyim tidak bersedia mengiringi peran kaum musyrikin Mekah guna memerangi kaum muslimin; namun sejumlah dari orang-orang ini dengan terpaksa ikut hadir dalam pasukan kaum musyrikin dalam perang Badar, yang mana pada akhirnya menjadi tawanan kaum muslimin. [33] Sebelum dimulainya perang, Rasulullah Saw sudah mengabarkan kaum muslimin akan terpaksannya kehadiran sebagian Bani Hasyim dalam pasukan Musyrikin, beliau melarang pembunuhan kelompok ini. Dengan berakhirnya perang dan pembebasan tawanan musyrik, para tawanan Hasyimi dalam tempo singkat tinggal di Madinah, di samping Rasulullah. [34] Sesuai dengan yang tertera dalam referensi, banyak sekali dari Bani Hasyim pada tahun-tahun sebelum hijrah telah memeluk Islam, khususnya dalam pembukaan kota Mekah, sebagaimana Aqil bin Abi Thalib sebelum perjanjian Hudaibiyah [35] atau pada tahun ke delapan Hijriah, Abu Sufyan bin Harits dalam penaklukan Mekah [36], Abbas bin Abdul Muththalib juga menjadi perselisihan, memeluk Islam sebelum perang Badar atau sebelum penaklukan Khaibar. [37] Sebagian lainnya juga seperti Abu Lahab [38] mati dalam keadaan kafir dan tidak beriman kepada Rasulullah.

Periode Para Imam

Sepeninggal Rasulullah Saw, persaingan kabilah sebelum Islam, bahkan dikalangan para sahabat Rasulullah Saw dalam bentuk penentangan terhadap pengganti, Ali As semakin mencuat. Banyak dari para penentang kekhilafahan Imam Ali As menganggap kekhilafahan beliau dalam arti kelanjutan kepemimpinan Bani Hasyim atas Arab; sebagaimana perbincangan Umar dengan Ali As dan demikian juga Abbas bin Abdul Muththalib mengemukakan bahwa: Arab tidak menerima kenabian dan kekhilafahan berkumpul bersama-sama dalam satu keluarga!!! [39] Sebaliknya, Imam Ali As melalui penegasan kekhilafahan Rasulullah Saw harus berasal dari Quraisy dan Bani Hasyim menegaskan bahwa hanya orang-orang tertentu dari Bani Hasyim saja yang memiliki kelayakan atas kedudukan dan tanggung jawab ini. [40] Penentangan dengan berkumpulnya kenabian dan kekhilafahan dalam Bani Hasyim menyebabkan koalisi seluruh marga-marga Arab lainnya; dikarenakan marga-marga Quraisy lainnya, warga Madinah dan koalisi mereka beranggapan jika Ali As menjadi khalifah, maka kekhilafahan sama sekali tidak akan pernah keluar dari Bani Hasyim. [41]

Dengan dalil inilah, sebagian dari para sahabat, ketika jasad Rasulullah Saw belum dikebumikan telah berkumpul di Saqifah dan memilih seorang khalifah dari kalangan diri mereka sendiri, dengan tanpa tanpa terlebih dahulu bermusyawarah kepada Bani Hasyim dan meskipun ada pengumuman kewashian dan pengganti Ali As dari Rasulullah Saw. Meskipun penentangan-penentangan dengan kepemimpinan Bani Hasyim dan sampainya kekhilafahan kepada mereka, Bani Hasyim sangat menjaga kedudukan tingginya. Semisalnya, dalam peristiwa pembagian ghanimah (pembagian diwan), Umar, memprioritaskan Bani Hasyim sebagai keluarga Rasululllah Saw ketimbang lainnya dan menyebut mereka sebagai Arab termulia, dikarenakan kekerabatan dengan Rasulullah. [42]

Fanatisme Bani Umayyah

Dengan terpilihnya Utsman sebagai khalifah, maka perselisihan Bani Umayyah dengan Bani Hasyim kembali mencuat; dikarenakan dalam periode ini Bani Umayyah mendapatkan kekuatan dan menemukan lahan untuk menghidupkan fanatisme etnis dan balas dendam; semisalnya, Abu Sufyan meminta kepada Utsman supaya mewariskan kekhilafahan dikalangan Bani Umayyah saja, karena tidak ada surga dan neraka. [43] Dalam melawan pendekatan ini, Imam Ali dengan menolak sentimen-sentimen etnis mengenalkan unsur-unsur seperti iman, ikhlas, kebenaran dan hijrah sebagai tolok ukur keutamaan Bani Hasyim atas Bani Umayyah. [44] Namun, dalam periode tiga khalifah, Imam Ali As dan Bani Hasyim juga memiliki peran dalam mengatur pemerintahan Islam; sebagaimana Harits bin Naufal bin Harits bin Abdul Muththalib sebagai pemimpin Mekah pada masa kekhilafahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. [45]

Pemerintahan Amirul Mukminin As dan Imam Hasan As

Dengan dimulainya pemerintahan Amirul Mukminin As (35-40 H), Bani Hasyim ikut menyertai beliau dalam semua peristiwa dan meskipun pada masa ini, Madinah merupakan tempat tinggal Bani Hasyim; akan tetapi dengan perubahan markas pemerintahan dan pemindahan ke Kufah, sekelompok dari Bani Hasyim juga ikut pergi ke kota ini. Terlihat juga nama-nama sebagian dari Bani Hasyim dalam sekumpulan para pekerja beliau. [46] Sepeninggal beliau, dalam pemerintahan singkat Imam Hasan As (40-41 H) meskipun adanya dukungan dan pembelaan Bani Hasyim terhadap Imam, namun sebagian para pembesar Bani Hasyim seperti Ubaidullah bin Abbas bin Abdul Muththalib, panglima perang pasukan imam, dengan bergabung ke pasukan Muawiyah, memaksa imam untuk melakukan perdamaian. [47]

Muawiyah dan Penghidup Fanatisme

Pada masa pemerintahan Muawiyah, persaingan kabilah lebih terlihat kental ketimbang sebelumnya; semisalnya Muawiyah dalam peperangan melawan Imam Ali As memperkenalkan pasukan Kufah sebagai para pendukung Bani Hasyim. [48]

Perspektif ini, pada masa pengganti Muawiyah juga terus berlanjut. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, terdapat upaya serius untuk menciptakan persengketaan etnis dan pengingkaran atau meremehkan peran pandangan dan motifasi-motifasi ideologi dalam peristiwa-peristiwa sejarah permulaan Islam, dan bahkan kemunculan Islam. Contoh riil peristiwa ini adalah ucapan Yazid bin Muawiyah setelah peristiwa Asyura. Yazid dalam sebuah syair yang menceritakan akan kebahagiaan dan kemenangan, dengan tegas mengingkari wahyu dan kenabian dan menyebut Islam sebagai hasil permainan-permainan politik Bani Hasyim di hadapan Bani Umayyah. [49]

Sewaktu Imam Husein As di Madinah tidak mau berbaiat dengan Yazid, maka Bani Hasyim pun mendukung beliau [50] dan sebagian dari Hasyimi (keluarga Aqil dan keluarga Ali) juga menyertai beliau saat bangkit menentang Yazid. [51]

Meskipun Bani Hasyim memusuhi pemerintahan lalim Bani Umayyah, namun ketika Abdullah bin Zubair pada tahun 63 H menguasai Mekah dan memberikan banyak kerusakan terhadap pemerintahan Bani Umayyah, mereka tetap tidak mau berbait dengannya, sampai-sampai Abdullah melakukan pengasingan dan menurut sebagian riwayat pemenjaraan orang-orang seperti Muhammad bin Hanifah dan Abdullah bin Abbas. [52] Dengan tumbangnya kebangkitan Abdullah bin Zubair, Bani Umayyah kembali lagi mengarah ke Bani Hasyim dan melakukan pelecehan dan penyiksaan kepada para pendukung mereka. Perintah Hisyam bin Abdul Malik untuk memotong tangan dan lidah Kumait bin Zaid Asadi dengan kesalahan lantunan kidung untuk Zaid bin Ali bin Husein merupakan contoh dari realita ini. [53]

Meskipun pembalasan dendam Bani Umayyah menyempitkan ranah Bani Hasyim, namun pengaruh mereka di kalangan masyarakat tidaklah berkurang; semisalnya, termasuk dalil-dalil yang dituturkan untuk mengalahkan Abdullah bin Zubair adalah sikap ketidak pantasnya dengan Bani Hasyim [54] dan atau ketika Ziyad bin Shalih sewaktu memberontak melawan Bani Umayyah (133 H) mengajak masyarakat kepada Bani Hasyim. [55] Demikian juga, para pendukung Bani Abbas di daerah Khorasan menyeru masyarakat kepada pemerintahan Bani Hasyim. [56]

Bani Abbas

Pada masa Bani Umayyah, Bani Hasyim di samping keragaman marga, namun memberikan satu baris irama politik. Namun pada akhir-akhir pemerintahan Bani Umayyah, Hasyimi memiliki pembaharuan sosial dalam dua marga penting keturunan Imam Ali As dan keturunan Abbas bin Abdul Muththalib.

Melonjaknya ketidakrelaan kaum muslimin terhadap pemerintahan Bani Umayyah mengakibatkan munculnya fraksi-fraksi dan gerakan-gerakan anti Umayyah pada masa pertengahan pertama abad kedua. Tendesi peninggkatan masyarakat kepada Ahlulbait nabi Saw dan keengganan Ahlulbait As untuk menerima permintaan mereka untuk bangkit, memunculkan kesempatan untuk orang-orang dari keturunan Abbas, paman Rasulullah, yang mengklaim memiliki hak pemerintahan.

Abbasiah dengan memperhatikan kehormatan sosial Bani Hasyim, sejak semula berupaya memperbesar penisbahan mereka kepada Hasyim dan sejak tahun 111 H aktif dibawah panji “Seruan Hasyimi”. [57]
Ranah sosial perselisihan Bani Umayyah dan Bani Hasyim juga telah terprovokasi, dalam pemaparan tema “Hasyimi” juga efektif. Menurut sumber-sumber sejarah, baiat Abbasiah dilakukan dengan bersandar pada topik Baiat Hasyimi, dengan justifikasi bahwa khilafah adalah haknya Bani Hasyim dan Abbasiah juga termasuk bagian dari keluarga ini. [58]

Hasilnya, dengan pemaksaan Abbasiah dalam penyisipan dirinya sebagai keluarga Rasulullah Saw, pemerintahan Bani Abbas dikenal dengan nama “Pemerintahan Bani Hasyim”. Dan sebaliknya, orang-orang Syiah yang tidak tahan dengan pemanfaatan semacam ini, menyebut mereka dengan ungkapan “Bani Abbas”. [59]

Secara bersama-sama, sampai periode Bani Abbasiah, Istilah Bani Hasyim lebih banyak digunakan untuk orang-orang Bani Abbas, sampai-sampai maksud dari Bani Hasyim adalah orang-orang Bani Abbas di hadapan keluarga Abi Thalib dan keluarga Ali. [60] (namun sebelum periode ini, sewaktu Kumait bin Zaid Asadi (w. 126 H) melantunkan ke-Hasyimiannya, maksudnya adalah menuturkan musibah-musibah dan bencana keluarga Ali As. Sekarang ini juga di Iran, istilah Bani Hasyim dipakai dengan makna ini).
Persengketaan politik Abbasiah dengan Alawi juga mengakibatkan perbedaan dua cabang Hasyimi ini dalam perkara ideologi. Alawi populer dengan tasyayyu’ dan Abbasiah dengan keyakinan kaum muslim sunni selaras dalam bab keimamahan. [61]

Abad-abad Berikutnya

Abbasiah memegang tampuk pemerintahan sampai pada tahun 656 H. [62] Disamping mereka, silsilah keturunan Hasyimi lainnya juga memegang kendali pemerintahan, seperti Fathimiyyun di Mesir, Adrisiyyun di Maroko, dan Alawiyyun di Tabristan.

Dari abad keempat sampai pertengahan pertama abad keempat belas (1343 H) keluarga dari sadat Bani Hasan di Mekah mendapatkan kepemimpinan, yang menisbatkan dirinya kepada nenek moyang mereka, Hasyim bin Abdi Manaf. Pemerintahan Hasyimi Hijaz, Irak, dan Jordan juga berasal dari keluarga ini.

Hukum Fikih Khusus

Bani Hasyim dalam fikih juga menjadi topik sebagian hukum. Sebagian dari khumus diberikan kepada keturunan Hasyim, dari jalur Abdul Muththalib dan sebaliknya, kecuali dalam beberapa hal khusus, zakat tidak diberikan kepada mereka. [63] Dalam sebuah riwayat yang juga masyhur di kalangan Ahlusunah, dalil adanya pelarangan semacam ini karena martabat mereka yang tinggi . [64]

Sifat-sifat Bani Hasyim

Sifat-sifat terpuji seperti dermawan dan pemberi, jauh dari kehinaan dan keburukan dan kesatria untuk keturunan Hasyim dan Abdul Muththalib (Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib) juga dapat terlihat dalam laporan-laporan. [65] Hilful Fudhul (dimana di situ Bani Hasyim beserta beberapa kelompok lainnya komitmen untuk membela orang-orang lalim sampai mendapatkan haknya) merupakan contoh logis atas kedermawanan dan kesatria Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib.

Ibnu Abbas menuturkan 7 sifat untuk Bani Abdul Muththalib, di antaranya adalah: tampan, fasih, dermawan dan kesatria, pemberani, berilmu, sabar, dan memuliakan para wanita. [66] Ibnu Habib Baghdadi menuturkan dari Kalbi, yang juga menanyakan kepada Imam Ali As tentang keistimewaan Bani Hasyim dan Bani Umayyah; beliau menjawab bahwa Bani Hasyim adalah orang-orang yang tampan, fasih, dan kesatria. [67]
Demikian juga, Hasyimiyah terkenal dengan pemilik kemuliaan; [68] sifat lainnya, merasa cukup meskipun dalam kondisi paling susah, dengan adanya semua problem menganggap dirinya sebagai pemilik kedudukan dan tidak menghilangkan martabat sosialnya. [69]


Bani Hasyim dalam Riwayat-riwayat Rasulullah Saw



Gang Bani Hasyim



Dalam hal ini juga diriwayatkan dari Rasulullah Saw; bahwa suatu ketika Rasulullah keluar dari rumahnya, Ia keluar dengan sangat gembira dan masyarakat kemudian mempertanyakan penyebab kegembiraan itu, Ia menjawab, "Jibril datang sebagaimana perintah Allah Swt dan menyampaikan, Allah memilih tujuh orang dari Bani Hasyim yang mana Dia tidak menciptakan seperti mereka pada masa silam dan di masa mendatang: Engkau wahai Rasulullah, Ali washimu, Hasan dan Husain cucumu, Hamzah pamanmu, Ja’far anak pamanmu, dan Qaim (Af) yang mana Nabi Isa salat di belakangnya. [70]

Demikian juga terdapat dalam riwayat, dikarenakan kaum Muhajirin, Anshar dan Bani Hasyim berselisih manakah diantara mereka yang lebih dicintai di sisi Rasulullah, Rasululllah menyebut dirinya sebagai saudara Anshar dan di kalangan Muhajirin, akan tetapi mengenai Bani Hasyim beliau bersabda: “Kalian dariku dan bersamaku.” [71]

Banyak pula dari referensi-referensi Ahlusunnah yang menegaskan hadis-hadis yang dinisbahkan kepada Rasululah Saw yang berupaya memperkenalkan Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib sebagai Arab terbaik dan bahkan sebaik-baik manusia. [72]

Namun, dengan memperhatikan bahwa biasanya riwayat-riwayat ini dinukilkan pada masa pemerintahan Bani Abbas, maka bisa jadi riwayat ini dinukilkan dalam rangka membela penguasa Abbasiah; khususnya Abbasiah berupaya menonjolkan penisbatan dirinya kepada Bani Hasyim. Dengan demikian harus dimengerti reaksi-reaksi Rasulullah Saw di hadapan sebagian orang-orang Bani Hasyim diartikan dari sudut pandang penghormatan beliau kepada orang-orang mukmin Hasyimi dan para penolongnya. [73]

Kedudukan Bani Hasyim dikalangan Kaum Muslimin

Bani Hasyim dikarenakan kedudukan agung mereka sebelum Islam dan juga penisbahan mereka kepada Rasulullah Saw, mereka memperoleh kedudukan terhormat dalam pandangan kaum muslimin. Kecintaan dengan keluarga Hasyim sebagai keluarga Rasulullah Saw dalam dunia Islam merupakan kebudayaan yang marak. Contoh dari hal ini adalah pembelaan kaum muslimin terhadap Abbasiah sebagai Bani Hasyim atau banyak dari pemerintahan-pemerintahan muslim terbentuk dengan nama Hasyimi.

Termasuk karakteristik budaya hal ini adalah banyaknya madah-madah seperti hasyimiyah Kumait bin Zaid Asadi, yang dilantunkan dalam mensifati keluarga ini. [74] Dan manifestasi lainnya adalah banyaknya penghormatan kalangan Ahlusunnah untuk kelompok-kelompok dalam dunia Islam yang masyhur dengan sifat Hasyimi; di antaranya adalah banyaknya penghormatan kepada para Habaib (anak cucu keturunan Rasulullah Saw) di Iran.

Catatan Kaki

  1. Jump up Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 63-64.
  2. Jump up Ibn Hisyam, Zendegānī Muhammad, jld. 1, hlm. 98.
  3. Jump up Q.S. Quraisy.
  4. Jump up Ya’Qubi, Tārīkh, jld. 1, hlm. 312; Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 1, hlm. 62.
  5. Jump up Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 62.
  6. Jump up Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 62; Ibn Katsir, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 2, hlm. 201-201.
  7. Jump up Thabari, Tārīkh, jld. 3, hlm. 251, 253.
  8. Jump up Ibn Hisyam, Zendegānī Muhammad, jld. 1, hlm. 99.
  9. Jump up Ya’Qubi, Tārīkh, jld. 1, hlm. 364.
  10. Jump up Ibn Habib, Al-Munammaq fī Akhbār Quraisy, hlm. 21; Syaikh Thusi, Al-Tibyan, jld. 5, hlm. 123; Thabarsi, Majma’ al-Bayan, jld. 4, hlm. 836.
  11. Jump up Dairat al-Ma'ārif Qurāne Karīm, “Bani Hasyim”, jld. 6, hlm. 330.
  12. Jump up Dāirat al-Ma'ārif Buzurg Islāmī, pada pembahasan “Bani Hasyim”; Muntazar Qaim, Tārīkh Sadre Islām, hlm. 95.
  13. Jump up Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 62; Thabari, Tārīkh, jld. 3, hlm. 252.
  14. Jump up Thabari, Tārīkh, jld. 3, hlm. 253.
  15. Jump up Ya’Qubi, Tārīkh, jld. 1, hlm. 311.
  16. Jump up Muqrizi, Al-Niza’ wa al-Takhashum, hlm. 56; Abul Faraj Ishfahani, Al-Aghānī, jld. 6, hlm. 360-365.
  17. Jump up Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 1, hlm. 63.
  18. Jump up Ya’Qubi, Tārīkh, jld. 1, hlm. 372.
  19. Jump up Ibn Habib, Al-Munammaq fī Akhbār Quraisy, hlm. 189-190.
  20. Jump up Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 103; Ibn Habib, Al-Munammaq fī Akhbār Quraisy, hlm. 53.
  21. Jump up Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 163-164; Ya’qubi, Tārīkh, jld. 1, hlm. 389.
  22. Jump up Thabari, Tārīkh, jld. 3, hlm. 248.
  23. Jump up Ibid., hlm. 319.
  24. Jump up Dāirat al-Ma'ārif Buzurg Islāmī, prolog Abu Thalib, jld. 5, hlm. 619.
  25. Jump up Ibn Habib, Al-Munammaq fī Akhbār Quraisy, hlm. 386; Ibn Hisyam, Zendegānī Muhammad, jld. 1, hlm. 265.
  26. Jump up Muhammad bin Sayid al-Nas, ‘Uyūn al-Atsar, jld. 2, hlm. 74.
  27. Jump up Semisalnya lihat, Thabari, Tārīkh, jld. 3, hlm. 321-324.
  28. Jump up Ibn Hisyam, Zendegānī Muhammad, jld. 1, hlm. 221; Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 1, hlm. 163; Ibnu Syahr Asyub, Manāqib, jld. 1, hlm. 94.
  29. Jump up Waqidi, Al-Maghazi, hlm. 617; Ibnu Syahr Asyub, Manāqib, jld. 1, hlm. 94.
  30. Jump up Thabari, Tārīkh, jld. 3, hlm. 336-339.
  31. Jump up Dāirat al-Ma'ārif Buzurg Islāmī, prolog Abu Lahab.
  32. Jump up Thabari, Tārīkh, jld. 3, hlm. 348; Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 1, hlm. 165.
  33. Jump up Muhammad bin Sayid al-Nas, ‘Uyun al-Atsar, jld. 1, hlm. 333.
  34. Jump up Ibn Hisyam, Zendegānī Muhammad, jld. 2, hlm. 29; Abul Faraj Ishfahani, Al-Aghāni, jld. 4, hlm. 194.
  35. Jump up Thabari, Dzakhāir al-‘Uqbā, hlm. 191.
  36. Jump up Ibid., hlm. 241.
  37. Jump up Ibid., hlm. 191.
  38. Jump up Ibn Hisyam, Zendegānī Muhammad, jld. 2, hlm. 45.
  39. Jump up Thabari, Tārīkh, jld. 5, hlm. 223; Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld. 5, hlm. 209.
  40. Jump up Nahjul Balāghah, Khotbah 144.
  41. Jump up Thabari, Tārīkh, jld. 5, hlm. 223.
  42. Jump up Al-Baladzuri, Futūh al-Buldān, hlm. 627-628; Thabari, Tārīkh, jld. 5, hlm. 209.
  43. Jump up Abul Faraj Ishfahani, Al-Aghāni, jld. 6, hlm. 371; Muqrizi, Al-Niza’ wa Al-Takhashum, hlm. 9.
  44. Jump up Nahjul Balāghah, surat 17.
  45. Jump up Thabari, Dzahāir al-‘Uqbā, hlm. 244; Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 4, hlm. 59.
  46. Jump up Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld. 1, hlm. 265.
  47. Jump up Ya’qubi, Tārīkh, jld. 2, hlm. 141; Abul Faraj Ishfahani, Maqātil al-Thālibin, hlm. 42.
  48. Jump up Ibn A’tsam, Al-Futūh, jld. 3, hlm. 153.
  49. Jump up Syaikh Abbas Qommi, Nafs al-Mahmūm, hlm. 443.
  50. Jump up Ibid., hlm. 68.
  51. Jump up Abul Faraj Ishfahani, Maqātil al-Thālibīn, hlm. 52, 60-61.
  52. Jump up Abul Faraj Ishfahani, Al-Aghāni, jld. 9, hlm. 21; Ya’qubi, Tārīkh, jld. 2, hlm. 205.
  53. Jump up Abul Faraj Ishfahani, Al-Aghāni, jld. 17, hlm. 6.
  54. Jump up Al-Baladzuri, Ansāb al-Asyraf, jld. 4 (1), hlm. 317
  55. Jump up Khayath bin Khalifah, Tārīkh, jld. 2, hlm. 616.
  56. Jump up Ya’qubi, Tārikh, jld. 2, hlm. 317, 319, 322.
  57. Jump up Ibid., hlm. 319.
  58. Jump up Thabari, jld. 10, hlm. 336; jld. 11, hlm. 427.
  59. Jump up Semisalnya, Nu’mani, Al-Ghaibah, hlm. 146 dan 258; Ibn Babawaih, hlm. 41.
  60. Jump up Semisalnya, Rujuk Thabari, jld. 11, hlm. 423 dan 571.
  61. Jump up Dāirat al-Ma'ārif Buzurg Islāmī., jld. 12, dalam pembahasan “Bani Hasyim”.
  62. Jump up Ibn Katsir, Al-Bidāyah wa Al-Nihāyah, jld. 13, hlm. 171.
  63. Jump up Najafi, jld. 15, hlm. 406-415; jld. 16, hlm.104.
  64. Jump up Thusi, Tahdzīb al-Ahkām, jld. 4, hlm. 57 dan seterusnya.
  65. Jump up Habib, Al-Qaul al-Jāzim, hlm. 157; Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 75.
  66. Jump up Thabari, Dzakhāir al-‘Uqbā, hlm. 15; Habib, Al-Qaul al-Jāzim, hlm. 157.
  67. Jump up Ibn Habib, Al-Munammaq fī Akhbār Quraisy, hlm. 41.
  68. Jump up Ibn A’tsam, Al-Futūh, jld. 3, hlm. 48.
  69. Jump up Al-Baladzuri, Ansāb al-Asyraf, jld 4 (1), hlm. 111-112 dan 143.
  70. Jump up Kulaini, Al-Kāfi, jld. 8, hlm. 50; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 51, hlm. 77-78.
  71. Jump up Ibnu Syahr Asyub, Al-Manaqib, jld. 3, hlm. 379; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 22, hlm. 312.
  72. Jump up Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld. 19, hlm. 210; Suyuthi, Al-Dur al-Mantsūr, di bawah surat Al-Nisa’: 125 dan surat Al-Isra’: 70; Habib, Al-Qaul al-Jāzim, hlm. 153.
  73. Jump up Dairat al-Ma'ārif Qurāne Karīm, jld. 6, hlm. 343.
  74. Jump up Semisalnya, lihat, Amini, Al-Ghadīr, jld. 2, hlm. 181 dan seterusnya.




Daftar Pustaka

  • Prolog Bani Hasyim dalam Dāirat al-Ma'ārif Buzurg Islāmī.
  • Prolog Bani Hasyim dalam Dairat al-Ma'ārif Qurāne Karīm.
  • Ibnu Abil Hadid Mu’tazili, Syarh Nahjul Balāghah, disusun oleh A’lami, cet. 1, Beirut, Muassasah A’lami, 1415 H.
  • Ibn A’tsam Kufi, Ahmad, Al-Futūh, administrator Ali Syiri, Beirut, 1411 Q./1991.
  • Ibn Babawaih, Muhammad, Kamaluddin wa Tamam al-Ni’mah, administrator Ali Akbar Ghaffari, Qom, 1405 Q.
  • Ibn Habib, Muhammad, Al-Munammaq fī Akhbār Quraisy, administrator Ahmad Faruq, cet. 1, Beirut, Alim al-Kutub, 1405 Q.
  • Ibn Sa’ad, Muhammad bin Sa’ad bin Mani’ al-Hasyimi al-Bashri, Al-Thabaqāt al-Kubrā, tahkik Muhammad Abdul Qadir ‘Atha, Beirut, Darul Kutub al-Ilmiah, cet. 1, 1410/1990.
  • Ibn Syahr Asyub, Muhammab bin Ali, Manāqib Ali Abi Thālib, administrator Yusuf Al-Buqa’I, cet. 2, Beirut, Darul Adhwa’, 1412 Q.
  • Ibn Katsir, Abul Fida’ Ismail bin Umar al-Damisyqi, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, administrator Ali Muhammad Mu’awwidh dan Adil Ahmad, cet. 2, Beirut, Darul Kutub al-Ilmiah, 1418 Q.
  • Ibn Hisyam, Zendegānī Muhammad Saw Payombare Islām (Al-Sirah Al-Nabawiah), ter. Sayid Hasyim Rasuli, Tehran, Intisyarat Kitabci, cet. 5, 1374 S.
  • Abul Faraj al-Ishfahani, Al-Aghani, administrator Ali Muhanna dan Samir Jabir, cet. 2, Beirut, Darul Fikr (Bi Ta).
  • Abul Faraj al-ishfanai, Maqātil al-Thālibin, disusun Kadzim Mudzaffar, cet. 2, Qom, Darul Kitab, 1385 Q.
  • Amini, Abdul Husein, Al-Ghadīr, Beirut, 1379 Q.
  • Al-Baladzuri, Ahmad bin Yahya, Futūh al-Buldān, ter. Muhammad Tawakkul, Tehran, Nasyre Nuqreh, cet. 1, 1337 S.
  • Al-Baladzuri, Ahmad bin Yahya, Ansab al-Asyraf, jld. 1, administrator Muhammad Hamidullah, Kairo, 1959, jld. 4 (1), disusun Ihsan Abbas, Beirut, 1400 Q/1979.
  • Habib, Jamil Ibrahim, Al-Qaul al-Jazim fī Nasabi Banī Hāsyim, Baghdad, Maktabah Darul Kubub al-Ilmiah, 1987.
  • Khalifah bin Khayath, Tarikh, administrator Suhail Zakar, Damaskus, 1968.
  • Dāirat al-Ma'ārif Buzurg Islāmī, dibawah pengawasan Kazim Musavi Bujnurdi, Tehran, Markas Dairat al-ma’arif Buzurg-i Islami, 1383 S.
  • Dairat al-Ma'ārif Qurāne Karīm, Dairat al-Ma’arif Qurane Karim, jld. 6, disusun oleh Markas Farhang wa Ma’arfi Quran, Qom, Muassasah Bustan Kitab, 1386.
  • Suyuthi, Jalaluddin, Al-Dur al-Mantsūr fī al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr, Beirut, Darul Fikr, 1414 Q.
  • Syaikh Abbas Qummi, Nafsul Mahmum fi Mushibat Sayyidinā al-Husein al-Mazlūm, tahkik Ridha Ustadi, Qom, Maktabah Bashirati, 1405 Q.
  • Thabarsi, Fadhl bin al-Hasan, Majma’ al-Bayān fī Tafsīr al-Qurān, Beirut, Darul Ma’rifah, Afsat, Tehran, Nashir Khosro, 1406 Q.
  • Thabari, Ahmad bin Abdullah, Dzahāir al-‘Uqbā fī Manāqib Dawil Qurbā, Beirut, Darul Ma’rifah, 1974 M.
  • Thabari, Muhammad bin Jurair, Tārīkh Thabari, terj. Abul Qasim Payandeh, cet. 5, Teheran, Asathir, 1375 S.
  • Thusi, Muhammad bin al-Hasan, Al-Tibyān fi Tafsīr al-Qurān, administrator Ahmad Habib al-Amuli, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi (Bi Ta).
  • Thusi, Muhammad, "Tahdzīb al-Ahkām, administrator Hasan Musavi Khorasan, Tehran, 1364 S.
  • Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, Al-Kāfi, disusun Ali Akbar Ghaffari, cet. 3, Beirut, Darut Ta’aruf, 1401 Q.
  • Majlisi, Muhammad Baqir, Bihār al-Anwār, cet. 3, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1403 Q.
  • Muhammad bin Sayid al-Nas, ‘Uyūn al-Atsar fī Funūn al-Maghāzi wa al-Syamāil wa al-Sair, Beirut, Muassasah ‘Izzuddin, 1406 Q.
  • Muqrizi, Taqiyuddin Ahmad bin Ali, Al-Niza’ wa al-Takhashum baina Bani Umayyah wa Bani Hāsyim, disusun Husein Munis, Qom, Intisyarat Syarif Radhi, 1412 Q.
  • Muntazar Qaim, Ashghar, Tārīkh Sadre Islām, Ishfahan, Intisyarat Danesgah Ishfahan, 1377 S.
  • Najafi, Muhammad Hasan bin Baqir, Jawāhir al-Kalām fi Syarh Syarā’I al-Islām, Beirut, 1981.
  • Nu’mani, Muhammad, Al-Ghaibah, administrator Faris Hasun Karim, Qom, 1422 Q.
  • Nahjul Balāghah, cet. Shubhi Shalih, Beirut, (Tarikh Muqaddimah), cet. Afsat-Qom (Bi Ta).
  • Waqidi, Muhammad bin Umar, Maghāzi Tārikh Janghāye Payāmbar (Saw), ter. Mahmud Mahdavi Damghani, cet. 2, Tehran, Markas Nasyr Danesgahi, 1369 S.
  • Ya’qubi, Ahmad bin Abi Ya’qub bin Wadhih, Tārikh Ya’qubi, Terjmh. Muhammad Ibrahim Ayati, cet. 6, Tehran, Intisyarat Ilmi wa Farhanggi, 1371 S.

(Wikishia/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: