Oleh: Ustadz Abu Hilya
Setiap bid’ah adalah sesat, itu anggapan sebagian muslim yang anti adanya bid’ah hasanah. Anggapan itu terbukti salah akibat kekeliruan dalam memahami hadits ‘kullu bid’atin dhalalah’. Kesalahan mereka sudah dibahas dalam artikel-artikel terdahulu. Sungguh tidak benar anggapan sebagian muslim bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Generalisasi semua Bid’ah adalah Sesat, tampaknya merupakan wujud brutalisme halus sebagian muslim kepada muslim yang lain. Bahkan lebih dari itu, mereka telah berlaku brutal terhadap ajaran Islam yang sesuai dengan pemahaman Sahabat dan Ulama Salaf Shalihin, na’udzu billah min dzaalik.
Ketika sebagian muslim beranggapan setiap bid’ah adalah sesat, bagaimana dengan Sayyidina Umar bin al Khattab yang mengatakan ada bidah yang baik (hasanah)?
Jika Setiap Bidah adalah sesat, bagaimana dengan Imam Syafi’i yang mengatakan ada Bid’ah Hasanah (bid’ah yang baik) dan ada bid’ah sayyi’ah (bid’ah yang jelek)?
Apakah Sayyidina Umar dan Imam Syafi’i menentang Nabi Muhammad, ataukah sebagian muslim yang justru salah memahami hakekat bidah ?
Berikut ini adalah analisa kritis terhadap generalisasi (gebyah uyah atau hantam kromo) bahwa bidahkesemunya adalah sesat.
ANALISA KRITIS TERHADAP GENERALISASI BID’AH SEBAGAI BID’AH SESAT
Ketika Bid’ah difahami dengan pendekatan bahasa, namun di sisi lain menolak adanya pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah madzmumah (sayyi’ah), hanya akan berakibat kebuntuan. Dan berikut contohnya:Dalam kitabnya Al Ibda’ Fi Kamalis Syar’i Wa Khothor al Ibtida’ Syekh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin berkata :
قَوْلُهُ (كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ) كُلِّيَّةٌ, عَامَّةٌ, شَامِلَةٌ, مُسَوَّرَةٌ بِأَقْوَى أَدَوَاتِ الشُّمُوْلِ وَالْعُمُوْمِ (كُلُّ), اَفَبَعْدَ هَذِهِ الْكُلِّيَّةِ يَصِحُّ اَنْ نَقْسَمَ الْبِدْعَةَ اِلَى اَقْسَامٍ ثَلَاثَةٍ, أَوْ اِلَى خَمْسَةٍ ؟ اَبَدًا هَذَا لَايَصِحُّ.
Hadits “Kullu Bid’atin Dholalatun” (semua bid’ah adalah sesat), bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti umum yang paling kuat yaitu kata-kata seluruh (Kullu). Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian ? selamanya pembagian ini tidak akan pernah sah. (Syeh al ‘Utsaimin dalam al Ibda’ fi Kamalis Syar’iy wa Khothoril Ibtida’, hal; 13).Dalam uraian diatas kita dapati syekh al ‘Utsaimin menutup kemungkinan kata كل untuk memiliki makna lain, bahkan beliau mensifati Qodhiyah “Kullu Bid’atin Dholalatun” tersebut dengan sifat Kulliyah (general), ‘Ammah (Umum), Syamilah (menyeluruh) dan memandang qodhiyah “Bid’atin Dholalah” (bid’ah adalah sesat) telah dipagari dengan Adat Syumul wal Umum (kata yang berindikasi umum dan menyeluruh) terkuat, yang berarti tanpa kecuali. Sehingga dalam akhir redaksi di atas kita dapati pernyataan; selamanya pembagian ini tidak akan pernah sah.
Selanjutnya mari kita buktikan apakah syeh al ‘Utsimin konsisten dengan pernyataannya tentang :
- Kata كلyang tidak dapat bermakna sebagian.
- Bid’ah tidak akan pernah sah untuk dibagi selamanya… (benarkah ?)
Dalam kitabnya yang lain Syeh al ‘Utsaimin berkata :
اَنَّ مِثْلَ هَذَا التَّعْبِيْرِ (كُلُّ شَيْئٍ) عَامٌّ قَدْ يُرَادُ بِهِ الْخَاصُّ, مِثْلُ قَوْلِهِ تَعَالَى عَنْ مَلَكَةِ سَبَأٍ : (وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْئٍ) وَقَدْ خَرَجَ شَيْئٌ كَثِيْرٌ لَمْ يَدْخُلْ فِي مُلْكِهَا مِنْهُ شَيْئٌ مِثْلُ مُلْكِ سُلَيْمَانَ.
Sesungguhnya redaksi seperti ini “Kullu Syaiin” (segala sesuatau) adalah kalimat general yang terkadang dimaksudkan pada makna terbatas, seperti firman Alloh tentang ratu Saba’; “Ia dikaruniai segala sesuatu”. (QS, An Naml: 23). Sedangkan banyak sekali sesuatu yang tidak masuk dalam kekuasaannya, seperti kerajaan Nabi Sulaiman. (Syeh al ‘Utsaimin, Syarah al Aqidah al Wasithiyyah,hal 336).Di sini kita dapati Syeh al ‘Utsaimin mematahkan tesisnya sendiri tentang ke-umum-an arti kataKullu dengan mengacu pada kenyataan, bahwa tidak semua berada dalam kekuasaan ratu Saba’, karena kenyataannya banyak yang tidak masuk dalam kekuasaannya termasuk kerajaan Nabi Sulaiman. Pertanyaannya, mengapa beliau tidak melakukan hal yang sama (melihat kenyataan) pada hadits “Kullu Bid’atin Dholalatun”. Terlebih jika memperhatikan hadits-hadis yang lain….
Berikutnya, apakah beliau tetap konsisten dengan pernyataanya; selamanya pembagian ini (bid’ah) tidak akan pernah sah ?
berikut pernyataan beliau selanjutnya :
اَلْاَصْلُ فِي اُمُوْرِ الدُّنْيَا اَلْحِلُّ فَمَا اُبْتُدِعَ مِنْهَا فَهُوَ حَلَالٌ اِلَّا اَنْ يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهِ, لَكِنْ اُمُوْرِ الدِّيْنِ اَلْاَصْلُ فِيْهَا الْحَظَرُ,فَمَا اُبْتُدِعَ مِنْهَا فَهُوَ حَرَامٌبِدْعَةٌ اِلَّا بِدَلِيْلٍ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ عَلَى مَشْرُوْعِيَّتِهِ
Hukum asal dalam perkara perkara dunia adalah halal, maka inofasi (bid’ah) dalam urusan dunia adalah halal, kecuali ada dalil yang menunjukkan ke-haram-annya. Tetapi hukum asal dalam urusan agama adalah terlarang, maka apa yang diadakan (bid’ah) dalam urusan-urusan agama adalah haram dan bid’ah, kecuali ada dalil dari al Kitab dan Sunnah yang menunjukkan kemasyru’annya. (Syeh al ‘Utsaimin,Syarah al Aqidah al Wasithiyyah, hal 639-640).Dalam penjelasannya diatas Syeh al ‘Utsimin mematahkan pernyataannya yang lain setidaknya dalam dua hal :
- “Selamanya pembagian ini (bidah) tidak akan pernah sah”, kenyataannya beliau membagi bid’ah dengan dua macam : yakni Bidah Dunia dan Bidah Agama
- Keumuman makna kata Kullu, karena disini kita dapati adanya bid’ah yang tidak sesat yakni bidah dunia.
Selanjutnya mari kita cermati pandangan beliau tentang realita pendirian pondok pesantren, menyusun ilmu, mengarang kitab dan yang lain sbb :
وَمِنَ الْقَوَاعِدِ الْمُقَرَّرَةِ اَنَّ الْوَسَائِلَ لَهَا اَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ, فَوَسَائِلُ الْمَشْرُوْعِ مَشْرُوْعَةٌ, وَوَسَائِلُ غَيْرِ الْمَشْرُوْعِ غَيْرُ مَشْرُوْعَةٍ, بَلْ وَسَائِلُ الْمُحَرَّمِ حَرَامٌ, فَالْمَدَارِسُ وَتَصْنِيْفُ الْعِلْمِ وَتَأْلِيْفُ الْكُتُبِ وَاِنْ كَانَتْ بِدْعَةً لَمْ يُوْجَدْ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ اِلَّا اَنَّهُ لَيْسَ مَقْصَدًا بَلْ هُوَ وَسِيْلَةٌ, وَالْوَسَائِلُ لَهَا اَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ, وَلِهَذَا لَوْ بَنَى شَحْصٌ مَدْرَسَةً لِتَعْلِيْمِ عِلْمٍ مُحَرَّمٍ كَانَ الْبِنَاءُ حَرَامًا,وَلَوْ بَنَى مَدْرَسَةً لِتَعْلِيْمِ عِلْمٍ شَرْعِيٍّ كَانَ الْبِنَاءُ مَشْرُوْعًا
“ Dan diantara kaedah yang ditetapkan adalah bahwa “Perantara (wasilah) itu memiliki hukum-hukum maqoshid (tujuan) nya. Jadi perantara untuk tujuan yang disyari’atkan adalah disyari’atkan (pula), dan perantara untuk tujuan yang tidak disyari’atkan (perantara tsb) juga tidak disyari’atkan, bahkan perantara tujuan yang diharamkan adalah haram (hukumnya). Adapun pembangunan madrasah-madrasah, menyusun ilmu, mengarang kitab, meskipun itu semua Bid’ah dan tidak ditemukan/tidak didapati pada masa Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam dalam bentuk seperti ini, namun ia bukan tujuan melainkan hanya perantara, sedang hukum perantara (wasilah) mengikuti hukum tujuannya. Oleh karena itu bila seseorang membangun madrasah untuk mengajarkan ilmu yang diharamkan maka membangunnya dihukumi haram, dan bila membangun madrasah untuk mengajarkan ilmu syari’at, maka pembangunannya disyari’atkan.” (Syeh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin, al Ibda’ fi Kamalis Syar’iy wa Khothoril Ibtida’ , hal; 18-19).Coba kita perhatikan tulisan merah yang bergaris bawah diatas, sekali lagi secara implisit beliau mematahkan tesisnya tentang ke-umum-an arti kata Kullu, bahkan secara implisit pula beliau telah membagi bid’ah dalam kategori “Wasilah” (perantara) dan “Maqoshid” (tujuan). Sehingga jika kita cerna dengan logika bahasa, maka mafhum dari apa yang beliau katakan adalah :
- Jika Bid’ah itu berupa “Wasilah” (perantara) maka hukumnya mengikuti “Maqoshid” (tujuan) tanpa memandang apakah itu urusan dunia atau urusan agama.
- Adanya “Wasilah Bid’ah” dan “Wasilah bukan Bid’ah”
- Hukum “Wasilah Bid’ah” mengikuti hukum “Maqoshid” yang berarti terbagi menjadi lima, yakni wajib, mandzubah, mubah, makruh dan haram.
Jika mereka tidak mau mengkategorikan “Wasilah” termasuk bidah, lantas apakah bisa dikategorikan sunnah dalam pengertian mereka? Kenyataanya mereka tidak mau menganggap sunnah terhadap apa-apa yang tidak ada pada masa Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam dan para Sahabat…( perlu diketahui bahwa dalam kamus salafi/wahabi tidak ada bid’ah hasanah, yang ada hanya Bid’ah VS Sunnah ).
Selanjutnya jika mereka (salafi/wahabi) memang konsisten dengan pendapat Syeh al ‘Utsimain diatas tentang hukum “Wasilah”, lantas mengapa mereka menganggap membaca kitab-kitab Maulid (Siroh Nabawi, pujian melalui qoshidah dan Sholawat) adalah Bid’ah Sesat?
Apakah memang mereka tidak tahu adanya perintah baca sholawat?
Apakah memang mereka tidak tahu ada parasahabat yang bercerita tentang Nabi shollallahu‘alaihi wa sallam?
apakah mereka memang tidak tahu ada sahabat yang memuji Nabi shollallahu‘alaihi wa sallam dengan senandung Nasyid mereka…?
Atau karena memang mereka (salafi) tidak/belum tahu?
Atau tidak mau tahu…?
Atau mereka menganggap kitab-kitabMaulid adalah Maqoshid (tujuan)?
Padahal jelas itu bukan maqpshid tetapi washilah, dan maqoshidnya adalah ekspresi cinta kepada Nabi Muhammad Saw.
Post a Comment
mohon gunakan email