Pesan Rahbar

Home » » Membaca Peta Filsafat Politik Islam

Membaca Peta Filsafat Politik Islam

Written By Unknown on Monday 25 January 2016 | 23:16:00


Oleh: Moh. Yasin*

Pemikiran politik Al Farabi tidak hanya berpengaruh pada filosof-filosof Islam klasik yang datang setelahnya. Tapi khazanah pemikiran politik Al Farabi menjadi sangat penting kaitannya dengan pemikiran politik Islam kontemporer. Pemikiran Ayatullah Khomeini (seorang tokoh revolusi Iran) misalnya, tidak beranjak jauh dari konsep-konsep yang dikembangkan oleh Al Farabi. Filsafat politiknya beranjak dari latar belakang yang sama, yaitu mengapresiasi pemikiran Plato dan teori kepemimpinan (Imamah) Syi'ah.

Tidak hanya Khomeini para pemikir Islam lain seperti Jawad Mughniyyah, Muhammad Baqir Shadr, Kahzhim Hairi juga mengembangkan pemikiran politik Al Farabi. Mereka memunculkan konsep pemerintahan yang Islami, dengan dua bentuk spektrum, mulai dari yang paling populist (berorientasi pada rakyat) sampai yang paling statist (berorientasi pada negara).

Para filosof klasik setelah Al Farbi seperti Ibn Shina, Al Razi, Al Thusi, Ibn Gabirol, dan Maimonides mengakui Al Farabi sebagai filosof politik Islam par excellence. Kualitas filsafat politik Al Farabi bagi mereka sulit untuk dilampaui. Sebagai filosof Islam klasik pertama ia mendapat julukan "guru kedua" setelah Aristoteles "guru pertama". Hal itu karena kemampuan Al Farabi mempertalikan, menghadapkan dan menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam dan membuatnya bisa di mengerti dalam konteks agama-agama wahyu.

Tulisan ini bermaksud mengupas petra pemikiran politik Islam, dengan merujuk dari pemikiran politik Al Farabi, yaitu merujuk pada karya monumental al Farabi yang berjudul Ara Ahlu al Madinah al Fadhilah. Di mana karyanya ini merupakan ikhtisar dari seluruh pemikirannya yang mencakup epistemologi, filsafat wujud, etika, filsafat kenabian

Al Farabi juga membahas tentang pencapaian kebahagiaan melalui kehidupan politik dengan mensitesakan pemahaman Plato dan hukum ilahiah Islam. Jika kebahagiaan menurut Plato puncaknya hanya dapat diraih dalam negara (politeia), bagi Al Farabi kesempurnaan dan kebahagiaan puncaknya hanya dapat diperoleh dalam negara ideal yang sempurna pemerintahannya, yang dipimpin oleh raja-filosof yang identik dengan pemberi hukum dan imam.

Pemimpin yang ideal atau orang yang berhak mendapat wewenang tertinggi dalam pemerintahan, yang disebutnya dengan al rais al awal li al madinah al fadhilah wa rais al ma'murah min al ardh kulliha, harus memiliki syarat-syarat tertentu. Di antara ciri-ciri sifatnya adalah bijak, berbadan kuat, bercita-cita tinggi, baik daya pemahamannya, hafalannya kuat, cerdas, fasih bicara, cinta ilmu, sanggup menghadapi kesulitan dan beban yang ditanggung, tidak rakus, jujur, adil, mulia dan teladan bagi umatnya.

Dan menurut Al Farabi sangatlah tidak mungkin orang akan memiliki seluruh sifat atau kriteria ini sehingga yang harus jadi pemimpin adalah mereka yang lebih banyak memiliki sifat-sifat atau kriteria itu. Paling tidak ada tiga kelompok orang dari segi kapasitas untuk memimpin yaitu untuk memandu dan menasehati: kuasa tertinggi atau kuasa sepenuhnya (unqualified ruler atau penguasa tanpa kualifikasi), penguasa subordinat (tingkat kedua), yang berkuasa dan sekaligus dikuasai, dan yang dikuasai sepenuhnya

Dengan kriteria inilah akan tercipta kota utama (negara utama) yaitu kota yang bekerjasama sesama penduduknya untuk dapat meraih kebahagiaan yang sesungguhnya. Dan tugas pemimpin dalam kota utama itu adalah bagaimana memberikan penjelasan dan membimbing dengan baik umatnya untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebenarnya.

Maka bagi al Farabi mencerdaskan dan memberikan pengetahuan pada penduduk adalah tujuan utama dari terbentuknya kota utama (negara utama). Dan untuk membedakan kota utama dengan kota lainnya Al Farabi mengelompokkan menjadi tiga yaitu kota jahiliyah, kota fasiq, kota sesat,

Sementara kota utama atau negara utama lebih mudah diwujudkan di kota demokratis dari pada ke tiga kota tersebut. Di mana kota demokratis yang dimaksudkan Al Farabi adalah kota yang tujuan penduduknya adalah kebebasan, yang setiap penduduk melakukan apa yang dikehendaki tanpa ada kekangan. Kareana dengan kebebasan, egaliter, lama kelamaan akan bermunculan orang-orang bajik, meskipun selanjutnya memiliki kelemahan. Karena penduduk dalam kota ini cenderung menginginkan pemimpin yang memudahkan keinginannya dan memberikan kebebasan pada dirinya.

Secara spesifik Al Farabi mengungkapkan bahwa kota demokrasi adalah kota terbaik kedua setelah kota utama, meskipun kota tersebut menampung kecenderungan apapun, yang buruk ataupun yang baik. Tapi memberikan peluang yang besar akan munculnya orang-orang bajik. Pemikirannya ini didasarkan pada apresiasinya atas kota utama Al Farabi yang bersifat aristokratis dan otokratis.

Filsafat politik Al Farabi mengawali teorinya dengan menentukan kriteria pemimpin yang ideal, selanjutnya bagaimana terbentuknya kota utama dengan pemimpin ideal sesuai kriteria. Satu hal lagi yang menjadi penting dalam kaitannya penyelenggaraan pemerintahan kota utama adalah administrasi pemerintahan. Dan ada lima kriteria orang yang dianggap berhak memegang kendali administrasi pemerintahan yaitu bijak, penerjemah, juru nilai, pejuang, dan orang kaya.


*Moh Yasin, mahasiswa master program of islamic philosophy of ICAS-Paramadina Jakarta. a branch of ICAS-London


(Muhammad-Yasin/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: