Oleh : Moh. Yasin*
‘Buku adalah gizi maka kami peduli’, untaian kata-kata ini tertulis begitu besar di sebuah spanduk dan selebaran pamflet serta sticker dalam sebuah acara ulang tahun salah satu penerbit di Jogja. Gizi yang dimaksudkan dalam kalimat itu bukanlah gizi sebagaimana yang terkandung dalam makanan, namun gizi yang terkandung dalam sebuah buku, yaitu gizi intelektualitas.
Sebab, dengan membaca buku manusia mendapatkan cakrawala pengetahuan, menemukan identitas diri, meraih kebahagiaan dan kepuasan hidup, dan hanya lewat membaca buku pula manusia mendapatkan gizi intelektualitasnya. Dengan demikian tidak dapat disangkal bahwa aktivitas membaca buku adalah bagian dari kebutuhan penting bagi keberlangsungan kehidupan manusia.
Namun, di mata para pembaca tanpa mata atau mereka yang menyandang tunanetra buku menjadi permasalahan besar buat dirinya. Bagaimana tidak, jika lewat membaca buku para manusia normal dapat mengakses pengetahuan begitu cepat, para penyandang tunanetra terpaksa harus menunggu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun untuk menyerap pengetahuan dari buku yang sama. Karena kaum tunanetra hanya bisa membaca lewat mendengarkan orang lain atau dengan cara berdiskusi bersama teman (individu normal). Seiring dengan tidak adanya penerbit yang bersedia menerbitkan buku berhuruf Braille atau merekam seluruh isi buku dengan meluncurkan edisi kasetnya.
Padahal nafsu baca para pembaca tanpa mata alias tunanetra tidaklah jauh berbeda dengan semangat membaca manusia normal. Hal ini sebagaimana data yang dikeluarkan oleh perpustakaan Mitra Netra, bahwa dari sekitar 600 anggota perpustakaan Mitra Netra, lebih dari sekitar 80 penyandang tunanetra yang datang setiap harinya.
Melihat betapa urgennya sebuah buku dalam memberikan gizi intelektualitas setiap individu, tidak terkecuali individu tunanetra, ada pertanyaan mendasar dalam benak saya ketika melihat kondisi real di masyarakat bahwa penerbitan buku di Indonesia selalu hanya ditujukan buat kalangan pembaca normal, hampir bisa dipastikan belum ada penerbit yang mau menyajikan model buku untuk kalangan tunanetra yaitu dengan menerbitkan buku berhuruf Braille atau menerbitkan buku sekaligus versi audio booknya. Pertanyaan saya adalah dimanakah kepedulian manusia normal (bisa membaca dengan mata) terhadap para pembaca tanpa mata atau kalangan tunanetra terutama dunia penerbitan Indonesia? demi memberi gizi intelektualitas sesama manusia.
Jawabannya sangat jelas, cobalah kita masuk toko buku terdekat dengan tempat dimana kita tinggal. Satu buku pun tidak akan kita temukan yang tercetak dengan huruf Braille, mulai untuk sekolah dasar sampai buku-buku umum, bahkan hampir pasti tidak akan kita temukan buku yang dipajang beserta versi audio book-nya (sebagaimana di Barat). Lantas, dimanakah kepedulian dunia penerbitan terhadap kebutuhan membaca kaum tunanetra? Padahal mereka juga sangat membutuhkan gizi intelektualitas sebagaimana manusia normal membutuhkannya, demi keberlangsungan kehidupannya.
Berdasarkan eksperimen disekitar lingkungan dimana saya menempuh studi, sampai saat ini paling tidak ada dua cara para pembaca tanpa mata melakukan aktifitas membaca teks. Pertama, meminta bantuan teman untuk membacakan dan kemudian mendiskusikan bersama. kedua, mendengarkan rekaman perkuliahan atau mendengarkan buku edisi audio book yang dibeli dari buku berbahasa Inggris.
Tampaknya dalam hal ini kita harus belajar dari negeri-negeri maju dari Eropa, ada beberapa penerbit dari luar negeri yang melakukan kebijakan menarik dalam hal ini. Setiap menerbitkan buku penerbit selalu menyertakan versi rekaman yang biasa dikenal audio book. Yaitu isi buku dibacakan dan kemudian direkam menjadi dalam bentuk kaset atau CD, penerbitan Harry Potter seri pertama misalnya sekarang telah diikuti pula dengan versi audio booknya sebanyak 12 kaset yang durasi waktunya kurang lebih 12 jam.
Di Indonesia Buku versi audio book paling banyak terdapat di Perpustakaan Yayasan Mitra Netra, sekaligus satu-satunya perpustakaan paling lengkap di Indonesia yang memiliki buku audio book, kurang lebih memiliki sekitar 3 ribu judul audio book. Sementara penerbitan buku berhuruf Braille baru dicetak oleh Yayasan Mitra Netra sekitar 600 judul, sejak yayasan ini berdiri 15 tahun silam (baca: Nur Khoiri, Membaca Tanpa Mata, Tempo 26/02/ 06.
Sudikah dunia penerbitan Indonesia memberikan kepedulian sebagai sesama manusia untuk memberikan gizi intelektualitas buat para pembaca tanpa mata? Dunia penerbitan kita lah yang akan menjawabnya. Sebagai penikmat buku saya hanya bisa menyerukan mari kita bersama-sama peduli terhadap kebutuhan gizi intelektualitas sesama manusia.
*)Moh Yasin, mahasiswa master program of islamic philosophy of ICAS-Paramadina Jakarta. a branch of ICAS-London
(Muhammad-Yasin/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email