Pesan Rahbar

Home » » Sejarah Peradaban Islam: Berawal dari Sains dan berakhir dengan Politik

Sejarah Peradaban Islam: Berawal dari Sains dan berakhir dengan Politik

Written By Unknown on Monday, 25 January 2016 | 23:36:00


Oleh: Karel H Susetyo (Mahasiswa S2 Filsafat Islam, ICAS-Paramadina)
Islam adalah sebuah kemajuan, hal tersebutlah yang telah menjadi catatan dalam sejarah peradaban umat manusia. Sebuah peradaban yang oleh Seyyed Hossein Nasr dikatakan sebagai Peradaban yang didasarkan pada kewahyuan Nabi Muhammad, Kesederhanan ritual agama warisan Adam dan Ibrahim, Pembaharuan atas primordialisme Arab dan Persatuan Umat. Kemajuan ini telah menjadi api obor yang menerangi peradaban manusia dari kegelapan peradaban. Dibandingkan dengan peradaban Eropa, Peradaban Islam justru menjadi cahaya baru bagi era Renaissance dan Revolusi sains yang lebih luas. Islam dan kelompok pemikirnya seakan merambah dan mempengaruhi kaum ilmuwan Eropa, yang terbilang sedikit, melalui sains. Kota2 muslim seperti : Baghdad, Damascus, Cairo, Cordoba dan Qum telah lahir sebagai pusat – pusat peradaban dunia dengan segala kemajuan sainsnya seperti : Fisika, Matematika, Metafisika, Filsafat, Astronomi, Sastra, dll. Situasi yang bertolak belakang justru terjadi di Eropa. Kegagalan gereja Katolik, sebagai sebuah institusi terkuat di Eropa, untuk melahirkan pembaruan-pembaruan ilmu pengetahuan justru membentuk radikalisasi Eropa yang berujung pada Perang Salib. Tak berlebihan kiranya A. Lewis menjelaskan bahwa tentara perang salib adalah “Manusia yang haus darah dan bukan manusia yang haus akan ilmu”. Akan tetapi disinilah mulai terjadi pergeseran titik peradaban manusia, dari Islam bergeser ke Eropa.


Hadirnya sebuah Peradaban

Titik penting dari kelahiran sains dalam peradaban Islam dimulai dengan penerjemahan karya-karya klasik sains dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, yang diawali oleh Hunayn ibn Ishaq (809-873) dan kemudian diteruskan oleh Ishaq, Hubaish dan Isa bin Yahia. Perkembangan ini kemudian memicu penerjemahan berbagai karya – karya sains seperti Matematika dari India dan Cina, sedangkan karya –karya dalam bidang kedokteran banyak diterjemahkan dari Persia. Pertukaran dan transformasi sains merupakan hal yang biasa dalam Peradaban Islam. Sebagaimana kita dapat melihat betapa terbukanya kota – kota besar yang menjadi “Center of Excellent” (Pusat kemajuan), dengan berdatangannya para intelektual dari berbagai penjuru dunia. Selain memang secara infrastruktur, kota-kota tersebut sangatlah siap untuk membangun atmosfir ilmiahnya, seperti tiga perpustakaan terbesar di dunia, Fatimiyyah di Mesir, Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Kordoba. Pada akhirnya, Kordoba sebagai pusat peradaban kaum muslim di belahan Eropa, telah menjadi cahaya penerang bagi seantero jagad Eropa. Seluruh ide awal masa Renaissance dan Revolusi sains Eropa berawal dari Kordoba. Ribuan Peneliti, Pengajar dan Siswa dari seluruh dunia dan terkhusus ,Eropa, telah menjadikan Kordoba sebagai kiblat ilmu pengetahuan dan kemajuan sains. Banyak berdirinya akademi-akademi di sana merupakan daya tarik utama bagi seluruh peneliti, pengajar dan siswa untuk mengembangkan ilmunya. Akademi merupakan sebuah tradisi ilmiah yang telah dibangun sejak lama oleh kaum Muslim mulai tahun 600 – 700. Dimana hal yang sama justru baru dilakukan oleh peradaban Eropa pada abad 13 dengan Universitas Paris dan Universitas Oxford sebagai avant garde. Pembentukan –pembentukan pendidikan pascasarjana di Eropa merupakan kelanjutan dari ide orisinal pola pendidikan Islam, seperti Sarjana (Undergraduate) atau Mutafaqqih, dan Pascasarjana (Graduate) atau Sahib.

Kecemerlangan Intelektual Muslim telah tercatatkan dalam sejarah manusia, berbagai penemuan dan kemajuan sains telah direngkuhnya. Dalam bidang Matematika, pengenalan angka 0 dan sistem desimal yang diperkenalkan oleh Intelektual Muslim dapat menjadi contoh sederhana yang merupakan basis awal bagi Revolusi sains Dunia. Berbagai karya dari Intelektual muslim telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Eropa seperti misalnya : Al-Khwarizmi pada bidang Matematika, di barat dikenal dengan Alghorismus. Begitu pula karya-karya dari Alkirmani yang terkait dengan Trigonometri, dimana menjadi awal bagi penggunaan fungsi sinus dan cosinus. Penelitian tentang Optik juga telah dibukukan oleh Ibnul Hairham dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di Eropa, yang secara langsung banyak mengilhami Isaac Newton dalam mengembangkan keilmuannya. Sedangkan dalam bidang Kimia, Islam memiliki Intelektual Jabir ibn Hayyan sebagai avant garde dan menjadikan berbagai istilah Kimia seperti Alkohol, Alembic, Alkali dan Elixir sebagai warisan sains dunia. Akan tetapi ilmu kedokteran lah yang menjadi kunci pertama dari Intelektual Muslim bagi penulusuran lebih mendalam atas sains. Tersebutlah nama-nama mashyur seperti : Ibnu Sina, Al-Razi dan Ala’alDin Ibn al-Nafis. Perkembangan ilmu kedokteran tentunya juga didukung oleh infrastruktur yang berkualitas. Hampir di setiap kota-kota besar terdapat rumah sakit – rumah sakit (Bimarisman) dengan kualitas pelayanan medik terbaik. Dikisahkan bahwa Kairo pernah memiliki rumah sakit dengan daya tampung 8000 tempat tidur dengan pemisahan pada berbagai kasus medis. Bukan hanya sekedar pelayanan medik yang terkemuka, setiap rumah sakit memiliki perpustakaan dan ruang kuliah untuk memajukan pendidikan medis.


Hilangnya Sebuah Permata
Kecemerlangan dan kegemilangan sejarah Islam dalam sains akan berbanding terbalik apabila kita melihat sejarah perkembangan politik Islam. Apabila dalam sains, Islam banyak memberikan sumbangan bagi peradaban umat manusia, maka sebaliknya dalam politik Islam justru memperlihatkan kuatnya pengaruh kekerasan dalam setiap proses transformasi kekuasaan politik. Sebagaimana sejak awal terjadi pasca Nabi, dengan lahirnya kepemimpinan Khulafa’ur Rasyidin (AbuBakr (632-634), Umar bin Khattab (634-644), Ustman bin Affan (644-650) dan Ali bin Abi Thalib (650-661) ), yang telah menjadikan benih kekerasan politik berangsur–angsur tumbuh sebagai sebuah tradisi tunggal dalam proses sirkulasi kekuasaan politik. Hal ini tentunya menarik untuk dikaji, mengingat tradisi pengembangan sains hanya dapat lahir dari stabilitas rezim penguasa. Karena hanya dengan komitmen yang kuat dari penguasa-lah, sains tumbuh dan berkembang. Menurut Penulis ada beberapa hal yang merupakan sebab utama terbentuknya tradisi kekerasan politik dalam Peradaban Islam :

1. Para penguasa lebih mengutamakan tumbuh dan berkembangnya ilmu dan sains di luar ilmu politik dan pemerintahan. Pada masa kejayaannya , Kekalifahan Islam lebih tertarik untuk mendirikan berbagai akademi, perpustakan, pusat kajian, observatorium, rumah sakit, madrasah dan zawiyyah, yang berkonsentrasi pada fisika, matematika, metafisika, astronomi, filsafat, mistis, kedokteran ataupun Teologi. Atau dengan kata lain, Ilmu teoritis lebih mendapatkan tempat ketimbang ilmu-ilmu praktis seperti: etika, politik dan ekonomi. Hal ini dapat dimengerti, bahwa perkembangan ilmu politik akan membangkitkan pengetahuan dan kesadaran politik dari Umat, dan tentunya hal tersebut menjadi bahaya laten bagi kelangsungan rezim penguasa. Kajian politik dalam peradaban Islam bukanlah tidak sama sekali ada. Sejarah mencatat kehadiran pemikir politik Islam terkemuka seperti : Ibn Muqaffa (720-756), Abu Yusuf (731-798), Al-Jahiz (776-868), Al Farabi (870-950) sampai dengan Ibnu Khaldun (1332-1406). Akan tetapi mereka belum menyentuh dasar permasalahan dalam politik Islam, yakni proses transformasi kekuasaan dan pola hubungan antara penguasa dan rakyat. Selain itu para intelektual yang mengkaji ilmu politik menjalani kehidupan yang sangat berbahaya dan memperlihatkan keberanian yang luar biasa dalam menghadapi penyiksaan, bencana politik dan tragedi pribadi dari ancaman Penguasa dan Pimpinan agama. Ibn Muqaffa secara resmi dieksekusi dan Syafii dibunuh oleh seorang muridnya, ataupun Al Ghazali yang selalu menyelamatkan diri dari ancaman pembunuhan Nizariyah . Hal ini menunjukkan pemikiran politik yang juga terkait dengan filsafat, sangatlah rentan terhadap serangan dari para pemimpin agama yang populis dan tentunya Rezim penguasa. Dan keberlangsungan filsafat politik sangatlah bergantung pada perlindungan istana semata.

2. Sistem pemerintahan dalam peradaban Islam yang berdasarkan pada Patrimonalime, tidak mengenal sistem primogenitum, di mana anak tertua dari seorang Raja akan otomatis menjadi penerus tahta selanjutnya. Sistem ini dikembangkan di Eropa pada sejak awal berdirinya kerajaan – kerajaan. Dibutuhkan ketaatan dan kedisiplinan dari seluruh pihak untuk menjalankan sistem ini. Dan mengingat kuatnya pengaruh tradisi Arab dalam politik Islam, maka budaya post–tribalisme akan mendominasi kultur politik Islam. Di mana tradisi itu menunjuk pada perang antar suku, perpecahan antar klan dan cara–cara resolusi konflik non rasionalis lainnya.

3. Terjadinya terus pertentangan antara kelompok neo-tribalisme dengan patrimonalisme, di mana berlangsung sampai saat ini. Neo-tribalisme direpresentasikan dalam sikap yang ekslusif terhadap kalangan luar muslim, tekanan yang lebih besar pada hubungan personal, termasuk mereka yang terlibat dalam penyebaran pengetahuan agama, kepercayaan pada tanggung jawab dan teori ilmu pengetahuan naratif. Sedangkan patrimonialisme sendiri dimanifestasikan dalam teori lingkaran kekuasaan dan dalam model sempurna hierarki sosial yang diekspresikan dalam perbedaan universal antara elit dan massa. Meski selalu bertentangan, keduanya memiliki persamaan dalam sebuah keyakinan atas konsep pewarisan otoritas sebagai indikator penting terhadap nilai keagamaan dan status sosial. Dan keduanya pun tidak mengenal konsep jabatan publik, tentang negara sebagai institusi yang terpisah dari penguasa dan tentang perbedaan anatara wilayah privat dan publik. Disamping itu gagasan tentang konstitusi, pemerintahan berdasarkan hukum, prosedur yang secara rinci menetapkan masa jabatan kekuasaan yang sah, meniscayakan pemisahan otoritas dari seseorang. Dalam peradaban Islam, otoritas tetap terikat pada seseorang atau dinasti yang paling hebat.


Kesemua penjelasan di atas semakin membuat kita yakin bahwa Peradaban Islam hancur akibat pembusukan yang terjadi dari dalam, dan bukan semata mata merupakan serbuan dari pihak asing. Adapun serangan pihak luar atas peradaban Islam terjadi setelah melemahnya stabilitas atas otoritas politik dan ekonomi dinasti–dinasti Islam.

Hal ini bisa dilihat pada masa–masa akhir dari dinasti Usmani, di mana pada abad 16 Raja Sulaiman justru memberikan kekebalan diplomatik bagi para pedagang Eropa yang bermukim di kawasan kerajaannya. Bahkan lebih jauh, perjanjian-perjanjian yang disebut dengan kapitulasi tersebut memungkinkan para pedagang Eropa yang tinggal di kawasan Usmani untuk tidak mematuhi hukum dan peraturan Usmani.

Raja Sulaiman memang merundingkan berbagai perjanjian tersebut dengan bangsa–bangsa Eropa dalam posisi yang setara. Akan tetapi pada abad 18 jelas bahwa kapitulasi ini melemahkan kedaulatan Usmani, khususnya ketika pada 1740 kapitulasi juga diperluas kepada petani padi Kristen di imperium tersebut. Yang “dilindungi” seperti para ekspatriat Eropa dan tidak lagi tunduk pada kekuasaan. Pada akhir abad 18 imperium Usmani berada dalam keadaan kritis. Perdagangan mengalami kemunduran lebih jauh lagi, suku Badui yang bermukim di provinsi–provinsi Arab tidak dapat dikendalikan lagi, dan para pejabat lokal tidak lagi dikelola dengan baik oleh Istanbul, sering bertindak korup dan lebih mengeksploitasi rakyatnya. Sultan Salim III mencoba melakukan reformasi angkatan bersenjata sebagai bagian dari merestorasi keseimbangan kekuasaan. Akan tetapi hal tersebut berujung pada kesia-siaan belaka.

Ketiga imperium terakhir dan terbesar Islam (Safawiyyah, Moghul dan Usmani) pada akhirnya mengalami kemunduran pada akhir abad 18. Kelemahan Muslim pada akhir abd 18 bertepatan dengan munculnya sejenis peradaban yang seluruhnya berbeda di Eropa, dan saat ini dunia Muslim akan merasa jauh lebih sulit untuk memenuhi tantangan ini.


Menyongsong Cahaya Baru.

Tidak ada yang abadi di dunia ini. Semua pasti akan berakhir dan kembali pada Sang Maha Pemilik Waktu yakni Allah SWT. Begitupun kejayaan dari sebuah peradaban. Ia akan berakhir dimakan zaman dan meninggalkan goresan sejarah dalam lintasan panjang perjalanan umat manusia. Itulah yang terjadi pada peradaban Yunani kuno, India, Cina dan Islam.

Hal yang sama yang juga akan terjadi pada peradaban Barat saat ini. Di mana pada abad 12 dan 13 negara-negara Eropa Barat mengejar kebudayaan inti lainnya dari berbagai penjuru dunia dan pada abad 16 memulai sebuah transformasi penting yang akan memungkinkan Barat mendominasi dunia. Hal yang sama yang pernah dilakukan pada awal Muslim Arab sebagai sebuah kekuasaan dunia terpenting pada abad-abad 7 dan 8.

Masyarakat baru Eropa dan koloni Amerika-nya memiliki dasar ekonomi yang berbeda dengan Peradaban Islam sebelumnya. Hal ini dikarenakan Eropa didirikan di atas sebuah teknologi, tatanan politik yang mantap dan investasi modal yang memungkinkan Barat mereproduksi sumber–sumber secara tidak terbatas. Eropa tidak lagi mengandalkan pada surplus produk pertanian, sehingga masyarakat Barat tidak lagi tunduk pada keterbatasan yang sama sebagai kebudayaan agraris. Barat telah menutup Revolusi pertama (baca: Revolusi sains) mereka dengan membangun era poros kedua, yang menuntut sebuah revolusi prinsip-prinsip moral yang mantap yakni Politik, Sosial dan Intelektual.

Proyek pencerahan dan modernitas ini merupakan hasil dari sebuah proses kompleks yang menuntun pada penciptaan struktur demokratis dan sekuler. Bukannya melihat dunia diatur oleh hukum yang tidak bisa berubah, masyarakat Eropa justru menemukan bahwa mereka bisa mengubah proses yang alami. Ketika masyarakat konservatif yang diciptakan oleh kebudayaan agraris belum mampu melakukan perubahan semacam itu, maka masyarakat Eropa semakin percaya diri. Hal inilah yang tidak dilakukan dunia Islam, dimana setelah mencapai kemajuan yang pesat atas penguasan sains tidak segera dilanjutkan dengan perbaikan pada tataran politik dan sosial. Sehingga kemajuan teknologi hanya untuk mendukung sebuah kekuasaan sebuah rezim semata. Islam gagap dalam menyiapkan Revolusi keduanya, yakni perubahan atas sistem patrimonialnisme dan tradisi politik post–tribalisme Arab.

Modernisasi masyarakat melibatkan perubahan sosial dan intelektual. Kata kuncinya adalah Efisiensi : suatu penemuan atau sebuah masyarakat/pemerintahan harus terlihat bekerja secara efektif. Diketahui bahwa untuk menjadi efisien dan produktif, sebuah bangsa modern harus diorganisasi dengan dasar sekulerisme dan demokratis. Berbagai perbedaan relijius dan cita-cita spiritual tidak diizinkan menghambat kemajuan dari masyarakat, dan ilmuwan, penguasa dan pejabat pemerintah bersikeras bahwa mereka harus terbebas dari kontrol gereja. Itulah yang dilakukan oleh Eropa pada masa- masa awal era pencerahan. Sifat progresif masyarakat modern dan perekonomian industri berarti keharusan melakukan inovasi secara terus menerus. Inilah konsekuensi yang harus dihadapi dunia Islam pada saat ini.

Dunia Islam telah diganggu oleh proses modernisasi. Bukannya menjadi salah satu pemimpin peradaban dunia, kekuasaan Islam dengan cepat dan permanen turun menjadi blok kekuatan-kekuatan Eropa dan bergantung pada mereka. Muslim seringkali melihat sendiri keangkuhan Barat, yang amat terindoktrinasi dengan berbagai etos modern, sehingga mereka seringkali dikejutkan oleh apa yang hanya bisa melihat ketertinggalan, inefisiensi, fatalisme dan korupsi dalam masyarakat Muslim, yang berujung pada kebodohan dan kemiskinan generasi Muslim.

Peradaban Barat sudah mendekati titik jenuhnya. Layaknya sebuah Juggernaut, maka peradaban Barat saat ini mulai bergerak tanpa arah. Globalisasi sebagai runutan sejarah tak bisa terbantahkan. “The Wolrd is Flat”, sebagaimana dikatakan oleh Friedman.

Segala ekses negatif atas globalisasi juga mulai dituai oleh semua pihak di seluruh dunia, tak terkecuali oleh Barat sendiri. Seperti: kemiskinan, kebodohan, kelaparan dan perang. Dunia saat ini tengah menanti sebuah peradaban umat manusia yang baru, dimana lebih humanis dan menjaga kesimbangan ekosistem dunia.

Lebih dari sekedar menawarkan solusi atas kecenderungan sebuah skenario konflik antar peradaban (Clash of Civilization) yang dikemukakan oleh Huntington, maka dunia Islam sendiri harus menanggapi kondisi dunia yang telah berubah dan menjadi lebih rasional dan modern. Islam harus mampu bangkit kembali dan menjadi alternatif atas peradaban Barat, yang berdiri diatas kemajuan teknologi, stabilitas politik dan industrialisasi.

Oleh karenanya kaum Muslim haruslah melawan penutupan gerbang ijtihad dan menggunakan logika mereka sendiri yang merdeka dan rasional, sebagaimana disampaikan oleh Nabi Muhammad dan Al Quran. Islam dapat mempelajari dan menyerap apa-apa yang terbaik dari peradaban Barat, sebagaimana Barat juga melakukan hal yang sama terhadap Islam ketika sedang membangun peradabannya.

Hal inilah yang dinamakan sebagai dialog antar peradaban, di mana Islam juga menyerap peradaban Yunani, India dan Cina pada saat kelahirannya. Akhir kata, peradaban Islam haruslah kembali bangkit dari tidurnya dan tawarannya adalah Islam yang terbuka terhadap modernitas (bukan westernisasi) dan sekularisme, tanpa harus kehilangan wujud dan ciri aslinya. Perubahan ini tentunya harus memegang prinsip Al-Muhaafazatu’ala al-qadim al-shaalih wal-akhdzu bil jadiid al-ashlah (mempertahankan tradisi yang baik dan menggantinya dengan yang baru apabila nilai tersebut lebih baik)”. Taqlid buta tanpa bersandar pada rasionalitas terhadap sebuah tradisi dan pemikiran hanya akan mendorong Islam menuju lorong gelap peradaban, serta tereduksi dalam proyek historis Modernisme.

Wassalam.

(Ahmad-Samantho/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: