Apakah prinsip praktis (al-ashl al-’amali) dan dalil ijtihad? Dan apa hubungan yang terjalin di antara keduanya?
Prinsip Praktis (al-Ashl al-‘Amali)
Al-ashl al-’amali (prinsip praktis) merupakan sebuah terminologi yang digunakan dalam disiplin ilmu Ushul Fikih. Prinsip praktis ini bermakna kaidah yang diterapkan tatkala mukallaf didera keraguan dalam menentukan hukum syar’i. Tatkala mukallaf didera keraguan maka prinsip praktis ini berkedudukan menjelaskan tugas (taklif) mukallaf tatkala ia tidak menjumpai dalil dan sebuah amarah dalam beramal.
Dengan kata lain, prinsip praktis (al-ashl al-’amali) atau prinsip-prinsip praktis (al-ushûl al-‘amali) merupakan prinsip atau kaidah yang menentukan tugas apa yang harus dilakukan oleh seorang mukallaf tatkala didera keraguan dan kesangsian. Karena itu, subyek prinsip-prinsip praktis ini adalah keraguan dan kesangsian. Prinsip praktis ini juga acapkali disebut sebagai dalil faqâha (yurisprudensial). Dalil faqâha adalah sebuah dalil yang bertalian dengan inferensi (istinbâth) hukum lahir. Dalil faqâha (yurisprudensial) atau prinsip praktis ini terdiri dari empat bagian: Barâ’at (principle of exemption), ihtiyâth (principle of caution), takhyiir (principle of option) dan istishhâb (principle of continuation).
Dalil ijtihad adalah sebuah dalil yang menunjukkan hukum ril. Alasan penamaan dalil ijtihad dengan nama ini adalah karena adanya kesamaan dengan definisi ijtihad (pengerahan usaha dan kemampuan untuk memperoleh asumsi terhadap hukum-humum ril) dan karena dalil ini memunculkan asumsi terhadap hukum ril maka ia disebut sebagai dalil ijtihad. Amarah juga terkadang disebut sebagai dalil ijtihad.
Dalil ijtihad adalah terkait dengan sumber inferensi hukum-hukum ril yaitu al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Akal.
Hubungan antara Prinsip Praktis dan Dalil Ijtihad
Disebutkan bahwa tidak terdapat kontradiksi antara dalil (ijtihad) dan prinsip (al-ashl al-‘amali). Keduanya berada pada jajaran horizontal dan hubungan keduanya bersifat horizontal, atas-bawah. Karena apabila terdapat dalil pada sebuah masalah maka tidak tersisa lagi keraguan sehingga kita harus menerapkan prinsip praktis.
Sehubungan dengan kontradiksi antara prinsip dan dalil, juga harus ditinjau dan diperjelas. Apakah dalilnya merupakan dalil definitif (qath’i) atau non-definitif (ghair qath’i). Apabila dalilnya dalil definitif maka sudah barang tentu tidak satu pun prinsip praktis yang dapat dijadikan sebagai sandaran di hadapan dalil definitif ini. Karena sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa subyek yang mengemuka pada masalah prinsip praktis adalah keraguan. Dengan adanya keyakinan, maka subyek (keraguan) akan mentah dengan sendirinya.
Apabila dalil tidak bersifat definitif, seperti amârat (sesuatu yang dapat dijadikan sebagai indikasi) di hadapan prinsip-prinsip praktis, maka dalam hal ini terjadi kontradiksi antara prinsip dan amarah. Mayoritas pakar ilmu Ushul Fikih meyakini bahwa ketika terjadi kontradiksi antara prinsip dan amârat maka yang harus diprioritaskan dan didahulukan adalah amârat atas seluruh prinsip-prinsip praktis (al-ushul al-‘amaliyah) bahkan atas istishhâb sekalipun (mengikut pendapat thâriqiyat).[1]
Referensi:
[1]. Untuk telaah lebih jauh sehubungan dengan masalah ini silakan lihat buku-buku Ushul seperti Ushûl Fiqh Muzhaffar, Kifâyat al-Ushûl Âkhund Khurâsâni dan lain sebagainya.
(Islam-Quest/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email